Anda di halaman 1dari 28

ASPEK KLINIS DAN

TATALAKSANA BELL’S PALSY

Oleh:

Florensa Krismawati (1902612049)


Ni Nyoman Arista Febrianti (1902612066)
Arinta Zirona (1902612085)
Nyoman Intan Cahaya Pertiwi (1902612186)
Dinesh Tanabbal (1902612219)

KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DI DEPARTEMEN/KSM NEUROLOGI
FK UNUD / RSUP SANGLAH DENPASAR
TOPIK
PEMBAHASAN
01 BAB I PENDAHULUAN
 Latar Belakang

02 BAB II TINJAUAN PUSTAKA


 Definisi  Diagnosis
 Epidemiologi  Diagnosis Banding
 Etiologi  Tatalaksana
 Patofisiologi  Komplikasi
 Gejala Klinis  Prognosis

03 BAB III KESIMPULAN


BAB I
PENDAHULUAN
BAB I
PENDAHULUAN
Bell's palsy merupakan kelainan dan gangguan
neurologi pada nervus cranialis VII (saraf
fasialis), unilateral dan dapat terjadi paralysis
bilateral

Dapat berulang atau kambuh, menyebabkan


kelumpuhan atau paralisis, ketidaksimetrisan
kekuatan atau aktivitas muskular pada kedua
sisi wajah (kanan dan kiri), serta distorsi wajah
yang khas

Prevalensi Bell's Palsy sebesar 19.55% dari seluruh kasus


neuropati dan terbanyak pada usia 21-50 tahun, peluang
terjadinya pada wanita dan pria sama.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI

Gangguan neurologis akibat kerusakan saraf facialis yang


01 mengakibatkan kelemahan atau paralisis satu sisi wajah,
mendadak dan menyebabkan distorsi wajah yang khas

Gejala : nyeri disekitar atau dibelakang telinga


02
kadang meluas ke daerah oksipital atau servikal
EPIDEMIOLOGI

Perbandingan Umum terjadi Laporan Kasus : Di Indonesia =


kejadian pada pada usia 30-45 23-25 prevalensi bells
pria dan wanita tahun kasus/100.000 palsy 19,5%
sama orang/tahun
ETIOLOGI

• Belum dapat ditentukan (idiopatik)


• Sering diduga : Infeksi Virus (HSV-1), iskemia vaskular, gangguan
inflamasi autoimun, dan faktor genetik
• Virus herpes simpleks (HSV) paling banyak dibahas pada etiologi bells
palsy
PATOFISIOLOGI
5 teori penyebabkan terjadinya Bell’s palsy : iskemik
vaskular, virus, bakteri, herediter, dan imunologi

Pengaktifan HSV-1

Paparan berkepanjangan
terhadap udara dingin

Perubahan vasomotor di daerah


wajah

Neuritis edematous hingga refleks


iskemik
Lokasi kerusakan saraf facialis diperkirakan dekat atau di ganglion
geniculatum

Lesi Proksimal dari Lesi antara ganglion Lesi pada


Ganglion geniculatum dan stylomastoideus
Geniculatum chorda timpani

Kelemahan motorik Efek yang sama


tanpa adanya Menyebabkan
diikuti dengan gangguan paralisis wajah
abnormalitas lakrimasi
pengecapan dan
autonomi
PATOFISIOLOGI

Teori lain penyebab bell’s palsy adalah adanya keterkaitan


01
dari faktor genetic (rekuren kontralateral atau ipsilateral)

Beberapa penelitian yang dilakukan : wanita hamil 3


02 kali lebih sering ditemukan dengan bell's palsy (pada
usia kehamilan di atas 6 bulan)

Diduga akibat tingginya komposisi cairan


ekstraseluler, adanya inflamasi virus dan
karakteristik imunosupresi selama kehamilan,
namun hingga saat ini masih kontroversi
GEJALA KLINIS
• Onset : akut (kelumpuhan selama 1/2 hari dapat di dahului dengan adanya
nyeri di belakang telinga)
• Terganggunya saraf facial di foramen stylomastoid akan dapat
menyebabkan kelumpuhan di seluruh otot ekspresi wajah.
• Penderita juga mengeluh ada rasa tebal atau mati rasa dan terkadang
mengeluh nyeri di wajah

JIKA:
1. Lesi berada di saluran saraf fasialis di atas chorda tympani tetapi di
bawah ganglion genikulatum
2. Lesi mempengaruhi saraf di otot stapedius
3. Ganglion genikulatum terpengaruh
DIAGNOSIS

01 ANAMNESIS  Perkembangan gejala (perjalanan penyakit dan gejala penyerta)


 Riwayat penyakit: stroke, tumor, trauma.

02 PEMERIKSAAN Inspeksi
Kerutan dahi
Pejaman mata
Lipatan nasolabialis
Sudut mulut
Motorik
Mengangkat alis dan mengerutkan dahi
Memejamkan mata
Menyeringai (menunjukkan geligi)
Mencucukan bibir
Menggembungkan pipi
Sensorik
Refleks stapedius
DIAGNOSIS

03 PEMERIKSAAN Beberapa pemeriksaan yang penting untuk menentukan letak


lesi dan derajat kerusakan n. Fasialis:
• Uji kepekaan saraf (nerve excitability test)
• Uji konduksi saraf (nerve conduction test)
• Elektromiografi
• Uji fungsi pengecap 2/3 bagian depan lidah
• Uji Schimer
Skala House-Brackmann
DERAJAT PENGERTIAN
1. Normal Fungsi wajah normal
2. Disfungsi ringan Kerut dahi baik, menutup mata komplit dengan usaha
minimal, asimetri ringan, sudut mulut bergerak dengan
usaha maksimal dan asimetri ringan
3. Disfungsi sedang Kerut dahi sedikit asimetris, menutup mata komplit
dengan usaha maksimal dan jelas asimetri, sudut
mulut bergerak dengan usaha maksimal dan asimetri
tampak jelas
4. Disfungsi sedang-berat Tidak dapat mengerutkan dahi dan menutup mata,
meskipun dengan usaha maksimal
5. Disfungsi berat Tidak dapat mengerutkan dahi, menutup mata, sudut
mulut hanya bergerak sedikit
6. Lumpuh total Tidak ada pergerakan wajah sama sekali
DIAGNOSIS BANDING

LOKASI PERIFER LOKASI SENTRAL

• Otitis media supuratif dan • Stroke


mastoiditis • Sklerosis multipel
• Sindrom Ramsay-Hunt • Tumor otak primer atau
• Sindrom Guillain-Barre metastasis
• Tumor sudut serebelopontin • Infeksi HIV
• Tumor kelenjar parotis • Fraktur pada basis kranii
• Penyakit Lyme atau fraktur pada tulang
temporal pars petrosus
karena trauma.
Add Text Here
TATALAKSANA

NON-FARMAKOLOGI
Penggunaan air mata buatan, pelumas (saat tidur), kacamata, plester mata,
01 penjahitan kelopak mata atas atau tarsorafi lateral (penjahitan bagian lateral
kelopak mata atas dan bawah)

Rehabilitasi fasial meliputi edukasi, pelatihan neuromuskular, mengurut otot


02 wajah yang lemah (dengan mengangkat wajah ke atas dan membuat gerakan
melingkar), meditasi-relaksasi dan program pelatihan di rumah

03 Pembedahan dekompresi
TATALAKSANA

FARMAKOLOGI

Prednison oral maksimal 40-60 mg/hari sedangkan pemberian prednisolon


dengan dosisnya 1 mg/kgBB/hari (maksimal 70 mg) selama enam hari diikuti
empat hari tappering off.

• Antiviral oral yaitu asiklovir untuk usia > 2 tahun adalah 80 mg/kgBB/hari
dibagi empat kali pemberian selama 10 hari.
Dewasa : 2000-4000 mg/hari dibagi dalam lima kali pemberian selama 7-10
hari.
• Pemberian valasiklovir oral untuk dewasa adalah 1000-3000 mg/hari dibagi
2-3 kali selama 10 hari
KOMPLIKASI

REGENERASI MOTOR REGENERASI SENSORIK


01 INKOMPLIT 02 INKOMPLIT
• Paresis pada beberapa atau seluruh • Ageusia, disgeusia, disestesia
muskulus fasialis

REINERVASI YANG SALAH DARI


03 SARAF FASIALIS 04 KONTRAKTUR OTOT WAJAH
• Crocodile Tears Phenomenon • Plika nasolabialis lebih jelas terlihat
Keluarnya air mata pasien ketika sedang dibandingkan dengan sisi yang sehat.
mengkonsumsi makanan
• Synkenesis (associated movement)
Terdapat gerakan otot yang tidak disengaja
(involunteer) yang terjadi bersamaan
dengan gerakan yang disengaja (volunteer)
• Clonic Facial Spasm (Hemifacial Spasm)
Otot-otot wajah bergerak secara spontan
dan tidak terkendali (tic fasialis)
KOMPLIKASI

Komplikasi jangka panjang dapat muncul apabila :


1. Penderita mengalami palsy komplit yang menyebabkan paralisis di satu
sisi wajah
2. Usia di atas 60 tahun
3. Nyeri parah ketika pertama kali timbul gejala
4. Memiliki riwayat hipertensi atau diabetes
5. Kehamilan
6. Mengalami kerusakan saraf fasialis yang berat
7. Tidak ada perbaikan setelah dua bulan
8. Tidak ada tanda perbaikan setelah empat bulan
PROGNOSIS
Pada 50-60% kasus 80-90% dalam 6 bulan
membaik 2 - 3 minggu dapat sembuh total dengan
setelah onset gejala ataupun tanpa pengobatan

10% kasus mengalami


asimetri muskulusfasialis 5% mengalami sekuele
persisten yang berat

Pada 7% pasien, gejala dapat


muncul kembali di area yang
sama atau di sisi lain wajah

• Pemeriksaan neurofisiologi : menentukan prognosis


• Facial Clinimetric Evaluation Scale (FaCE) dalam House-Brackmann Facial Nerve Grading
System untuk mengukur keparahan dari suatu serangan dan menilai kualitas hidup
BAB III
SIMPULAN
KESIMPULAN

Bell’s palsy merupakan gangguan neurologis akibat kerusakan saraf facialis yang
menyebabkan kelumpuhan atau kelemahan otot wajah pada satu sisi wajah yang
timbul secara mendadak (<72 jam) dan mengakibatkan distorsi wajah yang khas.

Usia 30-45 tahun baik pada perempuan ataupun laki-laki.

Idiopatik, namun infeksi virus (HSV-1), iskemia vascular, gangguan inflamasi


autoimun dan faktor genetik merupakan beberapa faktor yang juga menyebabkan
Bell’s palsy.
Gejala klinis : kelumpuhan selama 1 atau 2 hari dapat di dahului dengan nyeri di
belakang telinga, kelumpuhan di seluruh otot ekspresi wajah, sudut mulut jatuh,
garis dahi menghilang, lipatan palpebra melebar, lid margin mata tidak tertutup,
kantong mata bawah dan punctum jatuh, disertai air mata yang menetes melewati
pipi, rasa tebal atau mati rasa.
KESIMPULAN

Penegakan diagnosis Bell’s Palsy dilakukan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan


fisik dengan membedakan antara lesi sentral dan perifer.

Penentuan letak lesi dan derajat kerusakan nervus fasialis dapat dilakukan
pemeriksaan uji kepekaan saraf (nerve excitability test), uji konduksi saraf (nerve
conduction test), elektromiografi, uji fungsi pengecap 2/3 bagian depan lidah, dan
uji Schirmer.

Skala modifikasi House-Brackmann (derajat 1-6)

Penatalaksanaan mencangkup terapi non farmakologi dan farmakologi untuk


mencegah timbulnya komplikasi lebih lanjut.
TERIMAKASIH
DAFTAR
PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
1. John YS Kim. Facial Nerve Paralysis [internet]. 2015 [disitasi tanggal 7 Mei 2015]. Tersedia dari:
www.emedicine.com/plastic/topic522.html
2. Abidin Z, Amin AA, Purnomo D. Pengaruh Infra Red dan Massage terhadap Bell’s Palsy Dextra. Jurnal Fisioterapi
dan Rehabilitasi (JFR). 2017; Vol. 1, No. 1.
3. Dona RR. Laki-Laki 45 Tahun dengan Bells Palsy. 2015; 4(2) :151-154
4. Madhok VB, Gagyor I, Daly F, Somasundara D, Sullivan M, Gammie F, Sullivan F. Corticosteroids for Bell's palsy
(idiopathic facial paralysis). Cochrane Database of Systematic Reviews. 2016; 7. Art. No.: CD001942
5. Eviston TJ, Croxson GR, Kennedy PG, Hadlock T, Krishnan AV. Bell’s Palsy: Aetiology, Clinical Features and
Multidisciplinary Care. 2015;86(12):1356-1361.
6. Syahril M, Astuti N, Pristiwanto. Penerapan Metode Dempster Shafer Dalam Mendiagnosa Penyakit Bell’s Palsy.
2016; 3(6):101-105
7. Mujaddidah N. Tinjauan Anatomi Klinik dan Manajemen Bell’s Palsy. 2017; 1(2): Juli 2017
8. NINDS. Bell’s palsy Fact Sheet. 2014. http://www.ninds.nih.gov/disorders/bells/detail_bells.html, diakses pada
tanggal 11 September 2020.
9. Tiemstra JD and Khatkhate N, Bell’s palsy: diagnosis and management. Am Fam Physician. 2007;76(7):997-1002.
10. Baehr M, Frotscher M. Brainstem : Cranial nerves. Dalam : Baehr M, Frotscher M (eds). Duus’ topical diagnosis in
neurology: anatomy, physiology, signs, symptoms. Edisi ke-4. 2005:167-174
11. Gilden DH. Bell’s palsy. N Engl J Med. 2004;351(13):1323-31.
12. Zandian A, Osiro S, Hudson R, Ali IM, Matusz P, Tubbs SR, et al. The neurologist’s dilemma: A comprehensive
clinical review of Bell’s palsy, with emphasis on current management trends. Intl Med J Exp Clin Res. 2014;20: 83-
90.
13. Baugh RF, Basura GJ, Ishii LE, Schwartz SR, Drumheller CM, Burkholder R, et al. Clinical practice guideline bell’s
palsy. Otolaryngol Head Neck Surg. 2013; 149(S3): S1-S27; 34-42.
14. Olivia MA. Bell’s Palsy. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma. Maret 2019; 8(1):137-149.
DAFTAR PUSTAKA
15. Saharso. Pendekatan diagnosis dan penatalaksanaan bell’s palsy. Media IDI cabang Surabaya. 2005; volume 30
No I: 70
16. Sukardi, Nara P. Bell’s Palsy. Cermin Dunia Kedokteran. 2004; edisi IV: 72-76
17. Lowis H, Gaharu MN. Bell’s Palsy, Diagnosis dan tatalaksana di pelayanan primer. J Indon Med Assoc. 2012;
62(01); 32-7.
18. Tiemstra JD, Khatkhate N. Bell’s palsy: diagnosis and management. Am Fam Phys. 2007; 76(7): 997-1004.
19. Albers JR, Tamang S. Common questions about Bell palsy. Am Fam Physician. 2014; 89(3): 20912.
20. Gronseth GS, Paduga R. Evidence-based guideline update: Steroids and antivirals for Bell palsy. Report of the
Guideline Development Subcommittee of the American Academy of Neurology. Am Acad Neurol. 2012; 79(22):
2209-13.
21. Dong Y, Zhu Y, Ma C, Zhao H. Steroid-antivirals treatment versus steroids alone for the treatment of Bell’s palsy:
a meta-analysis. Int J Clin Exp Med. 2015; 8(1): 413-21.
22. Somasundara D, Sullivan F. Management of Bell’s Palsy. Australian Prescriber. 2017;40(3):94-97.
23. Adam OM. Bell’s palsy. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma. 2019;8(1):137-149.
24. Zandia A, Osiro S, Hudson R, Ali IM, Matusz P, Tubbs SR, Loukas M. The neurologist’s dilemma: A
comprehensive clinical review of Bell’s palsy, with emphasis on current management trends. 2014;20:83-90.
25. Murthy JMK, Saxena B. Bell’s palsy: Treatment guidelines. Ann Indian Acad Neurol. 2011;14(1):70-72.
26. Gaharu MN, Lowis H. Bell’s Palsy, Diagnosis dan Tata Laksana di Pelayanan Primer. J Indon Med Assoc.
2012;62(1):7-32.
27. Hargiani FX. Case Study Aplikasi Neuromuscular Taping Kasus Bell’s Palsy pada Pengalaman Praktek Fisioterapi
di Klinik Kineta Sidoarjo Tahun 2018. Jurnal Ilmiah Fisioterapi. 2019;2(01):10-14.

Anda mungkin juga menyukai