Anda di halaman 1dari 17

BELL’S PALSY

OLEH:

NI MADE ARI PRAMITA (1902612021)


I KADEK ADI PURNAMA SANDHI (1902612053)
NI WAYAN BUNGA PANDANSARI (1902612076)

PEMBIMBING:
Dr. dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S (K)

PENGUJI
Dr. dr. I Putu Eka Widyhadarma, M. Sc, Sp. S (K)
LATAR BELAKANG
Kejadian sindrom Bell’s palsy ini berkisar 23 kasus per 100.000 orang setiap tahunnya.

Berdasarkan manifestasi klinisnya, terkadang masyarakat awam mengganggap sindrom


Bell’s palsy sebagai serangan stroke atau yang berhubungan dengan tumor sehingga perlu
diketahui penerapan klinis sindrom Bell’s palsy tanpa melupakan diagnosa banding
kemungkinan diperoleh dari klinis yang sama

Masalah kecacatan yang ditimbulkan oleh Bell’s palsy cukup kompleks,


DEFINISI

Bell’s palsy :

 kelumpuhan saraf fasialis perifer

 akibat proses non-supuratif, non-neoplasmatik, non-degeneratif

 akibat edema di bagian saraf fasialis foramen stilomastoideus atau


sedikit proksimal dari foramen tersebut,
EPIDEMIOLOGI

 Bell’s palsy di Indonesia  19,55%,

 sering dijumpai terjadi pada usia 20 – 50 tahun,

 angka kejadian meningkat dengan bertambahnya usia setelah 60


tahun.

 Biasanya mengenai salah satu sisi saja (unilateral), jarang bilateral


dan dapat berulang
ETIOLOGI
Menurut Djamil dan Basjiruddin, etiologi Bell’s palsy:
 IDIOPATIK

 KONGENITAL

 DIDAPAT
Terdapat empat teori yang dihubungkan dengan etiologi
Bell’s Palsy yaitu:

• Teori iskemik vaskuler

• Teori infeksi virus

• Teori herediter

• Teori imunologi
PATOGENESIS

• Patofisiologi Bell’s palsy masih belum jelas

• Terjadinya proses inflamasi yang menyebabkan peningkatan


diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi

• Bell’s palsy merupakan penyakit demielinasi akut, yang


kemungkinan memiliki mekanisme patogenesis yang mirip
dengan Guillain-Barre Syndrome
GEJALA KLINIS
• Tidak mampu mengerutkan dahi
• Kelopak mata tidak dapat menutup dengan rapat
• Sulkus nasolabialis yang mendatar TANDA
• Sudut mulut yang tidak dapat terangkat
• Pengecapan 2/3 lidah depan menurun
• Fenomena bell

• Sudut mulut yang jatuh atau tidak dapat terangkat


• Makanan atau minuman keluar dari sisi mulut
• Pengecapan terganggu GEJALA
• Kebas pada separuh wajah
• Nyeri di telinga, sensitif atau peka terhadap suara
yang normal tidak menyakitkan (hiperakusis), tinnitus
• Produksi air mata berkurang
GEJALA KLINIS
Lima letak lesi
• Setinggi meatus akustikus internus : kelemahan seluruh otot wajah
ipsilateral, gangguan pendengaran berupa tuli dan gangguan
keseimbangan.
• Setinggi ganglion genikulatum : kelemahan seluruh otot wajah ipsilateral
serta gangguan pengecapan, lakrimasi, dan salivasi
• Setinggi nervus stapedius : gangguan pengecapan, salivasi, hiperakusis,
dan kelemahan seluruh otot wajah ipsilateral.
• Setinggi kanalis fasialis : kelemahan seluruh otot wajah ipsilateral,
gangguan pengecapan, dan salivasi
• Setinggi foramen stilomastoid : kelemahan seluruh otot wajah ipsilateral
DIAGNOSIS
• Anamnesis

• Pemeriksaan fisik

• Pemeriksaan penunjang

 Uji kepekaan saraf (nerve excitability test)

 Uji konduksi saraf (nerve conduction test)

 Elektromiografi

 Uji fungsi pengecap

 Uji Schirmer
DIAGNOSIS
Skala modifikasi House-Brackmann
Derajat Pengertian
1. Normal Fungsi wajah normal
2. Disfungsi ringan Kerut dahi baik, menutup mata komplit
dengan usaha minimal, asimetri ringan, sudut
mulut bergerak dengan usaha maksimal dan
asimetri ringan
3. Disfungsi sedang Kerut dahi sedikit asimetris, menutup mata
komplit dengan usaha maksimal dan jelas
asimetris, sudut mulut bergerak dengan
usaha maksimal dan asimetri tampak jelas
4. Disfungsi sedang-berat Tidak dapat mengerutkan dahi dan menutup
mata meskipun dengan usaha maksimal
5. Disfungsi berat Tidak dapat mengerutkan dahi, menutup
mata, sudut mulut hanya bergerak sedikit
6. Lumpuh total Tidak ada pergerakan wajah sama sekali
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding Bell’s palsy dapat dibagi menurut lokasi
lesi sentral dan perifer .

Perifer :
Sentral : Otitis media supuratif,
Stroke, Kelainan mastoiditis, herpes zoster
Tumor, sclerosis otikus, Sindroma Guillian
multipel
Bare, mistenia gravis
PENATALAKSANAAN

• Tujuan dari pengobatan pada Bell’s palsy termasuk tata laksana


untuk mempercepat masa penyembuhan dan untuk meminimalisasi
komplikasi

• Terapi Farmakologi : Kortikosteroid dan Antiviral

• Terapi Non-Farmakologi : Fisioterapi dan Operatif


KOMPLIKASI

 Regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang


menyebabkan paresis seluruh atau beberapa muskulus fasialis

 Regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia


(gangguan pengecapan), ageusia (hilang pengecapan), dan
disestesia (gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sama dengan
stimuli normal)

 Reinervasi yang salah dari saraf fasialis.


PROGNOSIS

• Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau


meninggalkan gejala sisa.
KESIMPULAN
• Bell’s palsy  kelumpuhan saraf fasialis perifer

• Epidemiologi di indonesia  19,55%, sering dijumpai terjadi pada usia 20 – 50 tahun

• Etiologi dan patofisiologi masih belum jelas

• Gejala klinis yang khas: kelemahan seluruh otot wajah ipsilateral, disertai gejala lain sesuai dengan
letak lesi

• Diagonsis  Anamnesis, Pemeriksaan fisik, Pemeriksaan penunjang

• Diagnosis banding Bell’s palsy dapat dibagi menurut lokasi lesi sentral dan perifer

• Penatalaksanaan: Farmakologi (Kortikosteroid dan Antiviral) serta Terapi Non-Farmakologi (Fisioterapi


dan Operatif)

• Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa
TERIMAKASIH
MATUR SUKSMA

Anda mungkin juga menyukai