Anda di halaman 1dari 7

Laporan Pendahuluan Tentang Facial Palsy/bells palsy

1. Definisi
Bell's Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut nervus fasialis perifer yang tidak
diketahui sebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama meneliti beberapa
penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan nervus fasialis perifer
yang tidak diketahui sebabnya disebut Bell's pals. Pengamatan klinik, pemeriksaan
neurologik, laboratorium dan patologi anatomi menunjukkan bahwa BP bukan penyakit
tersendiri tetapi berhubungan erat dengan banyak faktor dan sering merupakan gejala
penyakit lain. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa, jarang pada anak di
bawah umur 2 tahun. Biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas yang erat
hubungannya dengan cuaca dingin.
(Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persyarafan).Kelumpuhan nervus vasialis (N.Vll) adalah kelumpuhan otot wajah,
sehingga wajah pasien tampak tidak simetris pada waktu berbicara dan berekspresi.
Hanya merupakan gejala sehingga harus dicari penyebab dan derajat kelumpuhannya
untuk mementukan terapi dan prognosis. (Kapita Selekta Kedokteran. 2000. Jakarta. Hal
92-93)
2. Etiologi
Penyebab tersering adalah virus herpes simpleks-tipe 1. Dan penyebab lain bell palsy
antara lain:1. Infeksi virus lain.
2.

Neoplasma: setelah pengangkatan tumor otak (neuroma akustik) atau tumor lain.

3.

Trauma: fraktur basal tengkorak, luka di telinga tengah, dan menyelam.

4. Neurologis: sindrom Guillain-Barre.


5. Metabolik: kehamilan, diabetes melitus, hipertiroidisme, dan hipertensi.
6. Toksik: alkohol, talidomid, tetanus, dan karbonmonoksida.
(Dewanto, George. 2010. Praktis diagnosa & tatalaksana penyakit saraf. EGC : Jakarta)
3. Patofisiologi
Bells plasy dipertimbangkan dengan beberapa tipe paralis tekanan. Saraf yang
radang dan edema saraf pada titik kerusakan, atau pembuluh nutriennya tersumbat pada
titik yang menghasilkan nekrosis iskemik dalam kanal panjangnya saluran yang paling

baik sangat sempit. Ada penyimpangan wajah berupa palisis otot wajah; peningkatan
lakrimalis (air mata); sensasi nyeri pada wajah, belakang telinga, dan pada klien yang
mengalami kerusakan bicara, dan kelamahan otot wajah atau otot wajah pada sisi yang
terkena.
4. Komplikasi
Sekitar 5% pasien setelah menderita Bell s palsy mengalami sekuele berat yang
tidak dapat diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bell s palsy, adalah
1.

Regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang menyebabkan paresis

seluruh atau beberapa muskulus fasialis.


2. Regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan pengecapan),
ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi atau sensasi yang tidak
sama dengan stimuli normal).
3. Reinervasi yang salah dari saraf fasialis. Reinervasi yang salah dari saraf fasialis
dapat menye-babkan:
a. Sinkinesis yaitu gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunter, contohnya
timbul gerakan elevasi involunter dari sudut mata, kontraksi platysma, atau pengerutan
dahi saat memejamkan mata.
b. Crocodile tear phenomenon, yang timbul beberapa bulan setelah paresis akibat
regenerasi yang salah dari serabut otonom, contohnya air mata pasien keluar pada saat
mengkonsumsi makanan.
Clonic facial spasm (hemifacial spasm), yaitu timbul kedutan secara tiba-tiba (shock
like)pada wajah yang dapat terjadi pada satu sisi wajah saja pada stadium awal, kemudian
mengenai sisi lainnya (lesi bilateral tidak terjadi bersamaan). (Artikel. Lowis, Handoko &
Maula N Gaharu. 2012. Bells Palsy, Diagnosis and Management in Primary Care. IDI)

5. Manifestasi klinis
1.

Gejala Pada Sisi Wajah Ipsilateral


Kelemahan otot wajah ipsilateral
Kerutan dahi menghilang ipsilateral
Tampak seperti orang letih
Tidak mampu atau sulit mengedipkan mata
Hidung terasa kaku
Sulit berbicara
Sulit makan dan minum

Sensitif terhadap suara ( hiperakusis )


Saliva yang berlebihan atau berkurang
Pembengkakan wajah
Berkurang atau hilangny rasa kecap
Nyeri didalam atau disekitar telinga
Air liur sering keluar
2. Gejala Pada Mata Ipsilateral
Sulit atau tidak mampu menutup mata
Air mata berkurang
Kelopak mata bawah jatuh
Sensitif terhadap cahaya

3. Residual
Mata terlihat lebih kecil
Kedipan mata jarang atau tidak sempurna
Senyum yang asimetris
Spasme hemifasial pascaparalitik
Otot hipertonik
Sinkenesia
Berkeringat saat makan atau saat beraktivitas
Otot menjadi lebih flaksid jika lelah
Otot menjadi kaku saat letih atau kedinginan
Secara klinis, saraf lain kadang-kadang ikut teriritasi, misalnya, rasa nyeri atau baal pada
wajah yang bias disebabkan oleh iritasi N. V. (Dewanto, George. 2009)
6.

diagnosis
Pada infeksi, terlihat pendataran dahi dan lipatan nasolabial pada sisi yang
terkena. Ketika pasien diminta menaikan alis mata, sisi dahi yang lumpuh terlihat datar .
ketika pasien diminta tersenyum, wajah menjadi menyimpang dan terdapat lateralisasi
kesisi yang berlawanan dari yang lumpuh. Pasien tidak dapat menutup matanya secara
sempurna pada posisi yang lumpuh. Pada saat berusa menutup mata, bola mata seolah

bergulir keatas pada sisi yang lumpuh. Hal ini disebut fenomena Bell dan merupakan
hal Yang normal pada saat menutup mata.
Pemeriksaan yang teliti pada kepala, telinga, mata, hidung, dan tenggorokan harus
dilakukan pada pasien dengan kelumpuhan wajah. Pada telinga luar harus dilihat adanya
vesikel, infeksi atau terauma, penurunan sensisbilitas rasa nyeri didaerah auricular
posterior. Pasien dengan paralisis otot stapedius mengalami hiverakusis. (Dewanto,
George. 2009)

7. Penatalaksanaan medis
1. Terapi Non-farmakologis
a. Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing. Proteksinya dapat
dilakukan dengan peng-gunaan air mata buatan (artificial tears), pelumas (saat tidur),
kaca mata, plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau tarsorafi lateral (penjahitan
bagian lateral kelopak mata atas dan bawah).
b. Masase dari otot yang lemah dapat dikerjakan secara halus dengan mengangkat
wajah ke atas dan membuat gerakan melingkar. Tidak terdapat bukti adanya efektivitas
dekompresi melalui pembedahan saraf fasialis, namun tindakan ini kadang dilakukan
pada kasus yang berat dalam 14 hari onset.
c. Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukan dalam empat bulan setelah
onset terbukti memperbaiki fungsi pasien dengan paralisis fasialis. Rehabilitasi fasial
meliputi edukasi, pelatihan neuro-muskular, masase, meditasi-relaksasi, dan program
pelatihan di rumah. Terdapat empat kategori terapi yang dirancang sesuai dengan
keparahan penyakit, yaitu kategori inisiasi, fasilitasi, kontrol gerakan, dan relaksasi.
1)

Kategori inisiasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah sedang-berat saat

istirahat dan tidak dapat memulai gerakan pada sisi yang lumpuh. Strategi yang
digunakan berupa masase superfisial disertai latihan gerak yang dibantu secara aktif
sebanyak 10 kali yang dilakukan 1-2 set per hari dan menghindari gerakan wajah
berlebih.

2)

kategori fasilitasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah ringan-sedang saat

istirahat, mampu menginisiasi sedikit gerakan dan tidak terdapat sinkinesis. Strategi yang
digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak otot wajah yang lebih agresif dan reedukasi
neuromuskular di depan kaca (feedbackvisual) dengan melakukan gerakan ekspresi
wajah yang lambat, terkontrol, dan bertahap untuk membentuk gerakan wajah yang
simetris. Latihan ini dilakukan sebanyak minimal 20-40 kali dengan 2-4 set per hari.
3)

kategori kontrol gerakan yang ditujukan pada pasien dengan simetri wajah ringan-

sedang saat istirahat, masih mampu menginisiasi sedikit gerakan, dan terdapat sinkinesis.
Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan
agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca seperti kategori fasilitasi, namun secara
simultan mengontrol gerakan sinkinesis pada bagian wajah lainnya, dan disertai inisiasi.
4)

strategi meditasi-relaksasi. Pada pasien dengan kekencangan seluruh wajah yang

parah karena sinkinesis dan hipertonisitas. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi
jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca,
dan fokus pada strategi meditasi-relaksasi yaitu meditasi dengan gambar vi-sual atau
audio difokuskan untuk melepaskan ketegangan pada otot yang sinkinesis. Latihan ini
cukup dilakukan 1-2 kali per hari.
2. Terapi Farmakologis
Inflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebab paling mungkin dalam
patogenesis Bell s palsy.
a. Steroid, terutama prednisolon yang dimulai dalam 72 jam dari onset, harus
dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil pengobatan. Penggunaan steroid dapat
mengurangi kemungkinan paralisis permanen dari pembengkakan pada saraf di kanalis
fasialis yang sempit. Dosis pemberian prednison (maksimal 40-60 mg/hari) dan
prednisolon (maksimal 70 mg) adalah 1 mg/kg/hari peroral selama enam hari diikuti
empat hari tappering off. Efek toksik dan hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan
steroid jangka panjang (lebih dari 2 minggu) berupa retensi cairan, hipertensi, diabetes,
ulkus peptikum, osteoporosis, supresi kekebalan tubuh (rentan terhadap infeksi), dan
Cushing syndrome.
b. Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2 tahun adalah 80 mg/kg/hari melalui oral
dibagi dalam empat kali pemberian selama 10 hari. Sementara untuk dewasa diberikan

dengan dosis oral 2 000-4 000 mg/hari yang dibagi dalam lima kali pemberian selama 710 hari. Sedangkan dosis pemberian valasiklovir (kadar dalam darah 3-5 kali lebih tinggi)
untuk dewasa adalah 1 000-3 000 mg/hari secara oral dibagi 2-3 kali selama lima hari.
Efek samping jarang ditemukan pada penggunaan preparat antivirus, namun kadang
dapat

ditemukan

keluhan

berupa

adalah

mual,

diare,

dan

sakit

kepala.

(Artikel. Lowis, Handoko & Maula N Gaharu. 2012. Bells Palsy, Diagnosis and
Management in Primary Care. IDI)

Anda mungkin juga menyukai