BAB 1
TINJAUAN TEORI
1.1. DEFINISI
Bell’s palsy adalah kelumpuhan wajah sebelah yang timbul mendadak akibat lesi saraf
fasialis, dan mengakibatkan distorsi wajah yang khas. Dengan kata lain bell’s palsy merupakan
suatu kelainan pada saraf wajah yang menyebabkan kelemahan atau kelumpuhan tiba-tiba
pada otot di satu sisi wajah. Adalah Sir Charles Bell seorang ilmuan dari Skotlandia yang
pertama kali menemukan penyakit ini pada abad ke-19.
1.4. PATOFISIOLOGI
1.5 PEMERIKSAAN
PENUNJANG Terapi Non-
farmakologis
1. Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing. Proteksinya dapat dilakukan
dengan peng-gunaan air mata buatan (artificial tears), pelumas (saat tidur), kaca mata, plester
mata, penjahitan kelopak mata atas, atau tarsorafi lateral (penjahitan bagian lateral kelopak
mata atas dan bawah).
2. Masase dari otot yang lemah dapat dikerjakan secara halus dengan mengangkat wajah ke atas
dan membuat gerakan melingkar. Tidak terdapat bukti adanya efektivitas dekompresi melalui
pembedahan saraf fasialis, namun tindakan ini kadang dilakukan pada kasus yang berat dalam
14 hari onset.
3. Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukan dalam empat bulan setelah onset terbukti
memperbaiki fungsi pasien dengan paralisis fasialis. Rehabilitasi fasial meliputi edukasi,
pelatihan neuromuskular, masase, meditasi-relaksasi, dan program pelatihan di rumah.
Terdapat empat kategori terapi yang dirancang sesuai dengan keparahan penyakit, yaitu
kategori inisiasi, fasilitasi, kontrol gerakan, dan relaksasi.
a. Kategori inisiasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah sedang-berat saat istirahat dan
tidak dapat memulai gerakan pada sisi yang lumpuh. Strategi yang digunakan berupa masase
superfisial disertai latihan gerak yang dibantu secara aktif sebanyak 10 kali yang dilakukan 1-2
set per hari dan menghindari gerakan wajah berlebih.
b. kategori fasilitasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah ringan-sedang saat istirahat,
mampu menginisiasi sedikit gerakan dan tidak terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan
berupa mobilisasi jaringan lunak otot wajah yang lebih agresif dan reedukasi neuromuskular di
depan kaca (feedbackvisual) dengan melakukan gerakan ekspresi wajah yang lambat,
terkontrol, dan bertahap untuk membentuk gerakan wajah yang simetris. Latihan ini dilakukan
sebanyak minimal 20-40 kali dengan 2-4 set per hari.
c. kategori kontrol gerakan yang ditujukan pada pasien dengan simetri wajah ringan-sedang saat
istirahat, masih mampu menginisiasi sedikit gerakan, dan terdapat sinkinesis. Strategi yang
digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi
neuromuskular di depan kaca seperti kategori fasilitasi, namun secara simultan mengontrol
gerakan sinkinesis pada bagian wajah lainnya, dan disertai inisiasi.
d. Strategi meditasi-relaksasi. Pada pasien dengan kekencangan seluruh wajah yang parah karena
sinkinesis dan hipertonisitas. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam
otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca, dan fokus pada strategi
meditasi-relaksasi yaitu meditasi dengan gambar vi-sual atau audio difokuskan untuk
melepaskan ketegangan pada otot yang sinkinesis. Latihan ini cukup dilakukan 1-2 kali per hari.
1. Pemeriksaan Fisik
Kelumpuhan nervus fasialis mudah terlihat hanya dengan pemeriksaan fisik tetapi yang harus
diteliti lebih lanjut adalah apakah ada penyebab lain yang menyebabkan kelumpuhan nervus
fasialis. Pada lesi supranuklear, dimana lokasi lesi di atas nukleus fasialis di pons, maka lesinya
bersifat UMN. Pada kelainan tersebut, sepertiga atas nervus fasialis normal, sedangkan dua
pertiga di bawahnya mengalami paralisis. Pemeriksaan nervus kranialis yang lain dalam batas
normal.
2. Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan diagnosis Bell’s palsy.
3. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi bukan indikasi pada Bell’s palsy. Pemeriksaan CT-Scan dilakukan jika
dicurigai adanya fraktur atau metastasis neoplasma ke tulang, stroke, sklerosis multipel dan
AIDS pada CNS. Pemeriksaan MRI pada pasien Bell’s palsy akan menunjukkan adanya
penyangatan (Enhancement) pada nervus fasialis, atau pada telinga, ganglion genikulatum.
1.6 PENATALAKSANAAN
Terapi Non-farmakologis
1. Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing. Proteksinya dapat dilakukan
dengan peng-gunaan air mata buatan (artificial tears), pelumas (saat tidur), kaca mata, plester
mata, penjahitan kelopak mata atas, atau tarsorafi lateral (penjahitan bagian lateral kelopak
mata atas dan bawah).
2. Masase dari otot yang lemah dapat dikerjakan secara halus dengan mengangkat wajah ke atas
dan membuat gerakan melingkar. Tidak terdapat bukti adanya efektivitas dekompresi melalui
pembedahan saraf fasialis, namun tindakan ini kadang dilakukan pada kasus yang berat dalam
14 hari onset.
3. Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukan dalam empat bulan setelah onset terbukti
memperbaiki fungsi pasien dengan paralisis fasialis. Rehabilitasi fasial meliputi edukasi,
pelatihan neuromuskular, masase, meditasi-relaksasi, dan program pelatihan di rumah.
Terdapat empat kategori terapi yang dirancang sesuai dengan keparahan penyakit, yaitu
kategori inisiasi, fasilitasi, kontrol gerakan, dan relaksasi.
a.Kategori inisiasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah sedang-berat saat istirahat dan
tidak dapat memulai gerakan pada sisi yang lumpuh. Strategi yang digunakan berupa masase
superfisial disertai latihan gerak yang dibantu secara aktif sebanyak 10 kali yang dilakukan 1-2
set per hari dan menghindari gerakan wajah berlebih.
b.kategori fasilitasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah ringan-sedang saat istirahat,
mampu menginisiasi sedikit gerakan dan tidak terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan
berupa mobilisasi jaringan lunak otot wajah yang lebih agresif dan reedukasi neuromuskular di
depan kaca (feedbackvisual) dengan melakukan gerakan ekspresi wajah yang lambat,
terkontrol, dan bertahap untuk membentuk gerakan wajah yang simetris. Latihan ini dilakukan
sebanyak minimal 20-40 kali dengan 2-4 set per hari.
c.kategori kontrol gerakan yang ditujukan pada pasien dengan simetri wajah ringan-sedang saat
istirahat, masih mampu menginisiasi sedikit gerakan, dan terdapat sinkinesis. Strategi yang
digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi
neuromuskular di depan kaca seperti kategori fasilitasi, namun secara simultan mengontrol
gerakan sinkinesis pada bagian wajah lainnya, dan disertai inisiasi.
d.Strategi meditasi-relaksasi. Pada pasien dengan kekencangan seluruh wajah yang parah karena
sinkinesis dan hipertonisitas. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam
otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca, dan fokus pada strategi
meditasi-relaksasi yaitu meditasi dengan gambar vi-sual atau audio difokuskan untuk
melepaskan ketegangan pada otot yang sinkinesis. Latihan ini cukup dilakukan 1-2 kali per hari.
Terapi Farmakologis
Inflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebab paling mungkin
dalam patogenesis Bell’ s palsy.
1. Steroid, terutama prednisolon yang dimulai dalam 72 jam dari onset, harus dipertimbangkan
untuk optimalisasi hasil pengobatan. Penggunaan steroid dapat mengurangi kemungkinan
paralisis permanen dari pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis yang sempit. Dosis
pemberian prednison (maksimal 40-60 mg/hari) dan prednisolon (maksimal 70 mg) adalah 1
mg/kg/hari peroral selama enam hari diikuti empat hari tappering off. Efek toksik dan hal yang
perlu diperhatikan pada penggunaan steroid jangka panjang (lebih dari 2 minggu) berupa
retensi cairan, hipertensi, diabetes, ulkus peptikum, osteoporosis, supresi kekebalan tubuh
(rentan terhadap infeksi), dan Cushing syndrome.
Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2 tahun adalah 80 mg/kg/hari melalui oral dibagi dalam
empat kali pemberian selama 10 hari. Sementara untuk dewasa diberikan dengan dosis oral 2
000-4 000 mg/hari yang dibagi dalam lima kali pemberian selama 7-10 hari. Sedangkan dosis
pemberian valasiklovir (kadar dalam darah 3-5 kali lebih tinggi) untuk dewasa adalah 1 000-3
000 mg/hari secara oral dibagi 2-3 kali selama lima hari. Efek samping jarang ditemukan pada
penggunaan preparat antivirus, namun kadang dapat ditemukan keluhan berupa adalah mual,
diare, dan sakit kepala.
BAB II
TINJAUAN ASUHAN KEPERAWATAN
2.1.PENGKAJIAN
IDENTITAS
Identitas pasien
Nama : Tn. S
Umur : 45 tahun
Agama : Islam
Jenis kelamin : Laki Laki
Status Marital : Menikah
Pendidikan :
Pekerjaan : Sopir Truck
Asuransi :
Suku Bangsa : Indonesia
Alamat :
Diagnosa Medis : Bells Palsy
Riwayat Kesehatan
1. Keluhan Utama
Pasien mengeluh sudut mulutnya tertarik ke sebelah kanan dan tidak bisa kembali hal ini
terlihat saat dia tersenyum,tertawa hingga mengerutkan dahi dan menyeringai.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien berbicara pelo tetapi saat pasien tersebut minum, tidak merasakan sakit sedikitpun.
Dari hasil anamnesa yang dilakukan oleh perawat SWD pasien tidak pernah sakit seperti ini
sebelumnya ataupun menderita DM.
Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
Pasien dalam keadaan sadar composmentis.
2. Tanda Vital
TD 120mmHg,. Nadi 20x/menit, respirasi 24x/menit, suhu 37 derajat Celsius.
2.2. ANAMNESIA
1.Apa yang menyebabkan sudut mulut Tn S tertarik dan
tidak bisa kembali ?
2.Apa yang menyebabkan suara tuan S menjadi pelo dan
saat minum tidak terasa sakit ?
3.Apa fungsi dari nervus ke VII?
4.Bagaimana cara mengatasi bells palsy ?
5.Mengapa pasien bisa mengalami bells palsy sedangkan pasien
tidak pernah sakit ini sebelumnya?
2.4 PERENCANAAN
Gangguan Body Image berhubungan dengan : Biofisika (penyakit kronis), kognitif/persepsi (nyeri
kronis), kultural/spiritual, penyakit, krisis situasional, trauma/injury, pengobatan (pembedahan,
kemoterapi, radiasi)
3. Kecemasan berhubungan dengan Faktor keturunan, Krisis situasional, Stress, perubahan status
kesehatan, ancaman kematian, perubahan konsep diri, kurang pengetahuan dan hospitalisasi.
Di agnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan
Masalah Kolaborasi Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil
Kecemasan berhubungan NO C : NIC :
dengan Kontrol Anxiety Reduction (penurunan
Faktor keturunan, Krisis kecemasan kecemasan)
situasional, Stress, Koping Gunakan pendekatan yang
perubahan status Setelah dilakukan menenangkan
kesehatan, ancaman asuhan selama Nyatakan dengan jelas harapan
kematian, perubahan ……………klien terhadap pelaku pasien
konsep diri, kurang kecemasan teratasi Jelaskan semua prosedur dan apa
pengetahuan dan dgn kriteria hasil: yang dirasakan selama prosedur
hospitalisasi Klien mampu Temani pasien untuk memberikan
mengidentifikasi keamanan dan mengurangi takut
DO/DS: dan Berikan informasi faktual mengenai
Insomnia mengungkapkan diagnosis, tindakan prognosis
Kontak mata kurang gejala cemas Libatkan keluarga untuk
Kurang istirahat Mengidentifikasi, mendampingi klien
Berfokus pada diri sendiri mengungkapkan Instruksikan pada pasien untuk
Iritabilitas dan menunjukkan menggunakan tehnik relaksasi
Takut tehnik untuk Dengarkan dengan penuh
Nyeri perut mengontol cemas perhatian
Penurunan TD dan Vital sign dalam Identifikasi tingkat kecemasan
denyut nadi batas normal Bantu pasien mengenal situasi yang
Diare, mual, kelelahan Postur tubuh, menimbulkan kecemasan
Gangguan tidur ekspresi wajah, Dorong pasien untuk
Gemetar bahasa tubuh dan mengungkapkan perasaan, ketakutan,
Anoreksia, mulut kering tingkat aktivitas persepsi
Peningkatan TD, menunjukkan Kelola pemberian obat anti
denyut nadi, RR berkurangnya cemas:........
Kesulitan bernafas kecemasan
Bingung
Bloking dalam
pembicaraan
Sulit berkonsentrasi
1.5 EVALUASI
Terdapat 3 kemungkinan hasil evaluasi:
a.Tujuan tercapai, apabila pasien telah menunjukkan perbaikan sesuai dengan criteria yang telah
ditetapkan. Seperti: mulut px sudah kembali seperti semula, tidak pelo, tekanan darah sitole
naik sampai 130 mmHg.
b.Tujuan tercapai sebagian, apabila tujuan tidak tercapai secara maksimal, sehingga perlu dicari
penyebab dan cara mengatasinya. Seperti: tekanan systole naik sampai 130 mmHg, mulut
sudah kembali seperti semula, tapi bicaranya masih pelo.
c.Tujuan tidak tercapai, apabila pasien tidak menunjukkan kemajuan sama sekali bahkan timbul
masalah baru, dalam hal ini perawat perlu untuk mengkaji secara lebih mendalam apakah
terdapat data, analisis, diagnose, tindakan, dan factor lain yang tidak sesuai yang menjadi
penyebab tidak tercapainya tujuan. Seperti: gejala yang timbul tidak berubah, bahkan px
mengalami gangguan lain (pusing, mual muntah, dll).
Source » http://dikasuccess.blogspot.com#ixzz1wJQIN0pH