Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

Bell’s Palsy adalah paralisis nervus fascialis unilateral akut yang memiliki nama lain
Idiopatic fascial Paralisis. Gejala parese N fascialis ini mulai dikenalkan oleh dr charles bells
pada 1829. Isitilah bells palsy pada awalnya digunakan untuk seluruh kasus paralisis N fascialis
tanpa memandang penyebabnya,namun beberapa tahun terakhir hanya dipakai bagu paralisis N
fascialis yang tidak memiliki etiologi yang jelas.1
Bell’s palsy merupakan penyebab paralisis fasialis yang paling sering ditemukan, yaitu
sekitar 75% dan seluruh paralisis fasialis. Secara klinis, Bell’s palsy telah didefinisikan idiopatik,
dan penyebab proses inflamasi masih tidak jelas. Manifestasi klinisnya terkadang dianggap
sebagai suatu serangan stroke atau gambaran tumor yang menyebabkan separuh tubuh lumpuh
atau tampilan distorsi wajah yang akan bersifat permanen. Salah satu gejala Bell’s palsy adalah
kelopak mata sulit menutup dan saat penderita berusaha menutup kelopak matanya, matanya
terputar keatas dan matanya tetap kelihatan.Gejala ini disebut juga fenomena Bell.Pada observasi
dapat dilihat juga bahwa gerakan kelopak mata yang tidak sehat lebih lambat jika dibandingkan
dengan gerakan bola mata yang sehat (lagoftalmos).1

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
BeIl’s palsy adalah kelumpuhan atau paralisis wajah unilateral karena gangguan
nervus fasialis perifer yang bersifat akut dengan penyebab yang tidak teridentifikasi dan
dengan perbaikan fungsi yang terjadi dalam 6 bulan. Istilah Bell’s palsy (kelumpuhan
bell) biasanya digunakan untuk kelumpuhan nervus facialis jenis perifer yang timbul
secara akut, yang penyebabnya belum diketahui, tanpa adanya kelainan neurologik lain.
Pada sebagian besar penderita Bell’s palsy kelumpuhannya akan sembuh, namun pada
beberapa diantara mereka kelumpuhannya sembuh dengan meninggalkan gejala sisa.1

2. Epidemiologi
Bell’s palsy adalah penyebab terbanyak paralisis N fascialis unilateral akut,
kejadiannya berkisar 75% pasien parese N fascialis. Insidensi bell’s palsy berkisar 20-30
kasus per 100.000 penduduk pertahun. Insidensi ini tidak berhubungan dengan musim
dan letak geografis. Insidensi tertinggi ditemukan di daerah seekori , jepang dan terendah
di swedia.2
Di indonesia belum ada data pasti mengenai kejadian bel’s palsy, penelitian
mariva R pada tahun 2004 meneliti 103 kasus Bell’s Palsy dan pada tahun 2006b Arifin R
menemukan 136 kasus Bell’s Palsy . wanita dan pria mempunyai resiko yang sama, tapi
angka kejadian lebih tinggi sekitar 4,5 kali pada wanita hamil dan penderita diabetes
melitus. Semua kelompok umur dapat terkena terutama pada kelompok 15 – 45 tahun.
Tidak ada predileksi sisi wajah tertentu yg lebih sering terkena.3
Sebanyak 5-10% kasus Bell’s palsy adalah penderita diabetes mellitus. (Finsterer
2008; Monini dkk, 2010). Bell’s palsy jarang ditemukan pada anak- anak < 2 tahun.
Adanya riwayat keluarga positif diperkirakan pada 4-14% kasus Bell’s palsy (Kubik dkk,
2012) Suatu studi epidemiologi yang dilakukan oleh Monini dkk (2010) terhadap 500.000
penduduk di satu wilayah di Roma ltalia selama 2 tahun, telah rnenemukan jumlah pasien
Bell’s palsy sebanyak 381 orang, dengan insiden kumulatif sebesar 53,3 kasus pertahun.4

2
3. Anatomi
Nervus Fascialis berasal dari lepaisan mesoderm pada lengkung brakial kedua inti
N fascialis terdapat di tegmentum pontis. Inti motorik terdiri dari 2 bagian superior dan
inferior. Bagian superior mengurus persarafan otot wajah bagian atas mendapat kontrol
dari traktus kortikobulbar bilateral,sedangkan bagian inferior mengurus persarafan otot
wajah bagian bawah dan mendapat kontrol secara unilateral dari hemisfer kontralateral.
Bila terdapat lesi sentral unilateral hanya otot wajah bagian bawah kontralateral yang
lumpuh,bila lesi mengenai kedua inti motorik maupun serabut sarafnya maka seluruh otot
wajah sesisi akan mengalami kelumpuhan.5,6

Gambar 1. Cabang Nervus Fasialis

Nervus Fascialis mempunyai 4 buah inti yaitu, :


1. Nuklues Fascialis, untuk saraf somato motorik disebut sebagai nukleus motorik utama
mempersarafi otot wajah
2. Nuklues salivatorius, untuk saraf viseromotoris merupakan serabut parasimpatis yang
mempersarafi mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula
submaksilaris, sublingualis dan lakrimalis.
3. Nukleus solitarius untuk saraf viserosensoris menghantarkan impuls dari alat kecap
dua pertiga anterior lidah, dasar mulut dan palatum mole.

3
4. Nukleus sensoris trigeminus, untuk saraf sensoris menhantarkan rasa nyeri, suhu, raba
daerah kulit dan mukosa dipersarafi oleh N trigeminal.

Gambar 2. Nukleus dan Saraf Fasialis

Gbr 3. Perjalanan Nervus Facialis

4. Patofisiologi6,7
Penyebab pasti bell’s palsy saat ini belum diketahui, beberapa teori telah
dikemukakan antara lain teori iskemi vaskular dan infeksi virus.

4
Pada teori iskemi vaskular, mc groven tahun 1955 menyatakan adanya
ketidakstabilan otonomik dengan respons simpatis yang berlebihan menyebabkan spasme
pada arterior dan stasis pada vena bagian bawah kanalis spinalis. Vasospasme ini
menyebabkan bertambahnya kompresi aliran darah dalam tuba falopii eustachius, teori ini
masih menjadi kontroversial karena vaskularisasi fascialis sangat kaya,sehingga untuk
menentang teori ini diajukan teori infeksi
Teori infeksi virus mengatakan bahwa beberapa penyebab infeksi yang dapat
ditemukan pada kasus paralisis N fascialis seperti otitis media, meningitis bacterialis,
penyakit lime, infeksi HIV dan lainnya. Pada tahun 1972 Mccromik menyebutkan bahwa
pada fase latent,virus herpes simpleks ( VHS ) Tipe 1 ditemukan di ganglion genikulatum
dan dapat mengalami reaktivasi pada saat daya tahan tubuh menurun, menyebabkan
neuropati nervus fascialis.
Teori kombinasi diperkenalan oleh Zalvan, menyebutkan bahwa kemungkinan
bell’s Palsy disebabkan oleh suatu infeksi atau reaktivasi virus herpes simpleks dan
merupakan reaksi imunologis sekunder atau karena proses vaskuler sehingga
menyebabkan inflamasi dan penekanan nervus fascialis perifer ipsilateral.

Tabel 1. Neuropatologi dan kesembuhan spontan dihubungkan dengan derajat trauma saraf
fasialis
Selain itu, terdapat juga gerakan yang tidak wajar, seperti gerakan mulut dengan
berkedip, atau menutup mata dengan tersenyum. Penyebab lain dari gerakan abnormal
selama regenerasi mungkin karena terjadi perubahan pada myoneural junction. Selain

5
faktor- faktor ini, kemungkinan terjadi perubahan didalam dan disekitar nukleus saraf
fasialis di batang otak, sama seperti perubahan pada hubungan sentral menuju badan sel.
Kombinasi dari faktor- faktor ini, dapat menyebabkan spasme yang terjadi pada sisi
wajah yang paralisis, menyebabkan mata menutup dan sudut mulut menarik. spasme ini
dapat dirasakan cukup nyeri.
Apapun sebagai etiologi Bell’s palsy, proses akhir yang dianggap
bertanggungjawab atas gejala klinik Bell’s palsy adalah proses edema yang selanjutnya
menyebabkan kompresi nervus fasialis. Gangguan atau kerusakan pertama adalah
endotelium dari kapiler menjadi edema dan permeabilitas kapiler meningkat, sehingga
dapat terjadi kebocoran kapiler kemudian terjadi edema pada jaringan sekitarnya dan
akan terjadi gangguan aliran darah sehingga terjadi hipoksia dan asidosis yang
mengakibatkan kematian sel. Kerusakan sel ini mengakibatkan hadirnya enzim
proteolitik, terbentuknya peptida-peptida toksik dan pengaktifan kinin dan kallikrein
sebagai hancurnya nukleus dan lisosom. Jika dibiarkan dapat terjadi kerusakan jaringan
yang permanen.

5. Diagnosis7,8
Diagnosis bell’s palsy ditegakkan secara per eksluasionam karena penyebab bell’s
palsy masih dianggap idiopatik. Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik
berupa kelemahan otot fascialis unilateral akut yang tidak diketahui penyebabnya.
Tanda dan gejala fisik pada pemeriksaan klinis akan ditemukan :
1. Kelemahan otot wajah sesisi dimana penderita tidak dapat mengangkat
alis,mengerutkan dahi, menutup mata serta tersenyum.
2. Gejala lain yang dapat ditemukan antara lain nyeri retroaurikuler,gangguan rasa
kecap,hiperakusi, penurunan sekresi air mata, rasa baal pada sisi yang terkena
Pada pemeriksaan fisik ditemukan,ketika penderita disuruh mengangkat alis
terlihat kerutan dahi mendatar pada sisi yang terkena, pendataran plika nasolabialis
pada sisi terkena dan mulut mencong kesisi sehat, dan penderita tidak dapat menutup
mata pada sisi yang terkena.
Pemeriksaan telinga perlu dilakukan untuk menyingkirkan penyakit lain yang
mungkin bisa menyebabkan paralisis fasialis. Bila ditemukan adanya otitis rnedia
yang aktif dan massa di kelenjar parotid, kemungkinan paralisis fasialis dihubungkan
dengan kelainan- kelainan tersebut, dan bukan suatu Bell’s palsy.9

6
Umumnya pasien Bell’s palsy tidak membutuhkan pemeriksaan penunjang.
Namun, bila dijumpai indikasi tertentu, pemeriksaan lanjutan berikut dapat
dianjurkan, seperti: 10,11
1. Imaging: Computed tomography (CT) atau Magnetic Resonance lmaging (MRI)
diindikasikan jika tanda fisiknya tidak khas, tidak ada perbaikan paralisis fasial
setelah 1 bulan, adanya kehilangan perdengaran, defisit saraf kranial multipel dan
tanda- tanda paralisis anggota gerak atau gangguan sensorik. Adanya riwayat suatu
kedutan pada wajah atau spasme yang mendahului kelumpuhan wajah diduga karena
iritasi tumor harus dilakukan juga imaging.
2. Tes pendengaran: jika diduga adanya kehilangan pendengaran, tes audiologi dapat
dilakukan untuk menyingkirkan neuroma akustikus.
3. Tes laboratorium perlu jika pasien memiliki tanda- tanda keterlibatan sistemik
tanpa perbaikan lebih dari empat minggu (Garg dkk, 2012 Ronthal dkk, 2012).
1. Kriteria Diagnosis
Menurut Taverner (1954 ):
A. Paralisis dari semua kelompok otot ekspresi wajah pada satu sisi
wajah
B. Onset yang tiba- tiba
C. Tidak adanya tanda- tanda penyakit susunan saraf pusat (SSP)
D. Tidak adanya tanda penyakit telinga dan penyakit cerebellopontine
angle (Musani dkk, 2009; May 2000).
Menurut Ronthal dkk (2012):
A. Terdapat suatu keterlibatan saraf fasialis yang difus yang digambarkan dengan
paralisis dari otot- otot wajah, dengan atau tanpa kehilangan pengecapan pada dua
pertiga anterior lidah atau sekresi yang berubah dari kelenjar saliva dan lakrimal.
B. Onset akut, terjadi dalam 1 atau 2 hari, perjalanan penyakit progresif, mencapai
kelumpuhan klinIs/ paralisis maksimal dalam 3 minggu atau kurang dari hari pertama
kelemahan terlihat; dan penyembuhan yang dijumpai dalam 6 bulan.
Untuk mengevaluasi kemajuan motorik penderita Bell’s palsy digunakan Skala Ugo
Fisch
Pada dasarnya diagnosis banding untuk bell’s palsy dibedakan berdasarkan
lesi sentral dan perifer. Pada lesi perifer perlu dipikirkan penyakit lime,otitis media ,

7
sindroma ramsay hunt , sindroma gullian barre, tumor parotis dan tumor nasofaring.
Sedangkan pada lesi sentral perlu dipikirkan diagnosis multiple sclerosis,stroke dan
tumor otak.
SKALA UGO FISCH
Dinilai kondisi simetris atau asimetris antara sisi sehat dan sisi sakit pada 5 posisi :
Posisi Nilai Persentase (%) Skor
0, 30, 70, 100
Istirahat 20
Mengerutkan dahi 10
Menutup mata 30
Tersenyum 30
Bersiul 10
Total
Penilaian persentase :
- 0    %  : asimetris komplit, tidak ada gerakan volunter
- 30 % : simetris, poor/jelek, kesembuhan yang ada lebih dekat ke asimetris
komplit daripada simetris normal.
- 70 % : simetris, fair/cukup, kesembuhan parsial yang cenderung ke arah
normal
- 100% : simetris, normal/komplit

6. Komplikasi12
a. Crocodile tear phenomenon Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita
makan makanan. Ini timbul beberapa bulan setelah terjadi paresis dan
terjadinya akibat dari regenerasi yang salah dari serabut otonom yang
seharusnya ke kelenjar saliva tetapi menuju ke kelenjar lakrimalis. Lokasi lesi
di sekitar ganglion genikulatum.
b. Synkinesis. Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau
tersendiri; selalu timbul gerakan bersama. Misal bila pasien disuruh
memejamkan mata, maka akan timbul gerakan (involunter) elevasi sudut
mulut, kontraksi platisma, atau berkerutnya dahi. Penyebabnya adalah
innervasi yang salah, serabut saraf yang mengalami regenerasi bersambung
dengan serabut-serabut otot yang salah.
c. Hemifacial spasm. Timbul “kedutan” pada wajah (otot wajah bergerak secara
spontan dan tidak terkendali) dan juga spasme otot wajah, biasanya ringan.
Pada stadium awal hanya mengenai satu sisi wajah saja, tetapi kemudian dapat

8
mengenai pada sisi lainnya. Kelelahan dan kelainan psikis dapat memperberat
spasme ini. Komplikasi ini terjadi bila penyembuhan tidak sempurna, yang
timbul dalam beberapa bulan atau 1-2 tahun kemudian.
d. Kontraktur. Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga lipatan
nasolabialis lebih jelas terlihat pada sisi yang lumpuh dibanding pada sisi yang
sehat. Terjadi bila kembalinya fungsi sangat lambat. Kontraktur tidak tampak
pada waktu otot wajah istirahat, tetapi menjadi jelas saat otot wajah bergerak.

7. Penatalaksanaan8,9,10
Penatalaksanaan bell’s palsy masih kontroversi,sekitar 70% penderita sembuh
sempurna dengan atau tanpa terapi, 30 % mengalami penyembuhan inkomplit dan 5%
diantaranya mengalami gejala sisa yang berat. Terapi medika mentosa yang dapat
digunakan adalah kortikosteroid, the Quality standar subcommite of america
academy of neurology 1966-2000 memberikan hasil probably efektif, 80% akan
sembuh sempurna,pengobatan yang cepat dalam waktu 72 jam pertama menunjukkan
implikasi yang baik berdasarkan waktu dan derajtnya.
Pemberian kortikosteroid dapat menjadi pilihan, namun belum didapatkan
formulasi yang optimal, pada pasien dewasa dapat diberikan 50 – 60 mg prednisone
sehari selama 10 hari, prednisone biasa diberikan dengan dosis 1mg/Kg Bb/ hari
dengan maksimum dosis yang pernah di teliti sekitar 80 mg, pemberian sebanyak 120
mg/hari masih aman pada pasien dengan diabetes.
the Quality standar subcommite of america academy of neurology (1966-2000)
merekomendasikan pemberian asiklofir oral dengan pemberian kortikosteroid
memberikan hasil probable efektif dengan penambahan 18% dibandikan dengan
pemberian kortikosteroid saja. Dosis asiklofir yang digunakan adalah 1000 mg/hari
selama 5 hari sampai 2400 mg/hari selama 10 hari. Arifin R 2009 pemberian
kombinasi prednison dan asiklofir pada pasien bell’s palsy derajad berat memberikan
hasil lebih baik dibandingkan dengan pemberian prednison saja.
Metilkobalamin adalah preparat B 12. Metilkobalamin berperan sebagai kofaktor
dalam proses remielinisasi dengan membantu sintesa metionin, metionin diperlukan
untuk mensintesa fosfolipid dan mielin sehingga mempercepat perbaikan jaringan
saraf, dosis mekobalamin 3x500 ug/hari. Mariva R pada tahun 2004 meneliti bahwa
pemberian kombinasi terapi prednosin dengan metilkobalamin memberikan
kesembuhan lebih besar ( 94,2%) dibandingkan dengan metilkobalamin saja (84,3%)

9
Fisioterapi yang dapat diberikan berupa terapi panas superfisial dan dimulai hari
keempat. Stimulasi listrik saat ini masih kontroversial, sedangkan latihan dan
pemijatan wajah disertai kompres panas pada sisi yang terkena dikatakan dapat cukup
membantu.Tindakan bedah bukan merupakan penatalaksanaan yang rutin dilakukan.
Home Program :
1. Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20 menit
2. Massage wajah yang sakit ke arah atas dengan menggunakan tangan dari sisi
wajah yang sehat
3. Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah disisi yang sakit,
minum dengan sedotan, mengunyah permen karet
4. Perawatan mata :
- Beri obat tetes mata (golongan artificial tears) 3x sehari
- Memakai kacamata gelap sewaktu bepergian siang hari, dan Biasakan
menutup kelopak mata secara pasif sebelum tidur.

8. Prognosis11,12,13
Secara keseluruhan prognosis baik, waktu penyembuhan bervariasi antara beberapa
minggu sampai 12 bulan. Umumnya 70% akan sembuh sempurna dalam 6 minggu,
30% akan mengalami degenerasi aksonal yang akan mendasari terjadi kelemahan
menetap, sinkenesis atau kontraktur. Faktor yang mempengaruhi adalah derajad
kelumpuhan,pemberian terapi lebih awal,kombinasi terapi,usia penderita dan faktor
lain yang mempengaruhi. Prognosis buruk terjadi pada pasien dengan hiperakusis dan
penurunan sekresi air mata dan terjadi spasme hemifasial.

10
Daftar Pustaka

1. Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta neurologi;
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2009. hal 297-300
2. Tsai HS, Chang LY, Lu C Yetal.Epidemiology and Treatment of Bell’s Palsy in
Childrenin Northern Taiwan.J Microbiol Immunology and Infecton.2009;42: 351-6
3. Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP. Disorders of peripheral nerves: Bell palsy. In:
Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP, editors. Clinical Neurology. 6th Ed. USA: The
McGraw-Hill Companies, Inc; 2005. p. 182.
4. Alford BR.Anatomy of the7th cranialnerve.Baylor Collegeo fMedicine.2010
5. Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP. Disorders of peripheral nerves: Bell palsy. In:
Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP, editors. Clinical Neurology. 6th Ed. USA: The
McGraw-Hill Companies, Inc; 2005. p. 182.
6. Sukardi.Bell’s Palsy.http://www. kalbe.co.id/cdk/Spalsy.Pdf/spalsy.html
7. Lo B. Emergency medicine-neurology: Bell’s palsy. Eastern Virginia: Medscape. 2010.
8. Hauser WA, Karnes WE, Annis J, Kurland LT. Incidence and prognosis of Bell’s palsy in
the population of Rochester, Minnesota. Mayo Clin Proc. 1971;46:258.
9. Maria, Bernard L. Bell’s Palsy in Current Management in Child Neurology, Third
Edition. All Rights Reserved, BC Decker Inc. 2005 ; 366 – 369
10. Vrabec JT, Coker NJ.Acute Paralysis of Facial Nerve in:BaileyBJ, Johnson JT, Newland

SD, editors. Head & Neck Surgery-Otolaryngology .4 thEd. Lippincott Williams &
Wilkins; Texas; 2006 .P.2139-54
11. Tiemstra JD, KhatkhateN.Bell’s Palsy:Diagnosis and Management. American Family
Physician. 2007;76(7): 997-1002
12. Ginsberg L. Penglihatan dan nervus kranialis lainnya. In: Ginsberg L, editor. Lecture
Notes-Neurologi. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2005. p. 35
13. Sullivan FM, Swan IRC, Donnan PT, Morrison JM, Smith BH, McKinstry B, et al. Early
Treatment with Prednisolone or Acyclovir in Bell’s Palsy. N Eng J Med. 2007;357:1598-
607.

11

Anda mungkin juga menyukai