Anda di halaman 1dari 17

REFRAT

PENATALAKSANAAN SYNKINESIS PADA BELLS


PALSY

Oleh :
Lia Nurmalasari
J510155028

Pembimbing :
dr. Edy Rahardjo, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
20115

BAB I
PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Bells palsy adalah kelumpuhan fasialis akibat paralisis nervus fasial perifer
yang terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) diluar sistem
saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit neurologis lainnya (15).
Bells palsy merupakan penyebab paralisis fasialis yang paling sering
ditemukan, yaitu sekitar 75% dan seluruh paralisis fasialis. Insiden sindrom ini sekitar
23 kasus per 100.000 orang setiap tahun. Puncak insiden terjadi antara dekade kedua
dan keempat (15-45 tahyn). Tidak dijumpai perbedaan prevalensi dalam jenis
kelamin. Manifestasi klinisnya terkadang dianggap sebagai suatu serangan stroke atau
gambaran tumor yang menyebabkan separuh lumpuh atau tampilan distorsi wajah
yang akan bersifat permanen (14).
Sekitar 5% pasien setelah menderita bells palsy mengalami sekuele berat yang
tidak dapat diterima, salah satu komplikasi yang paling umum dan paling serius baik
secara psikologi dan sosial serta mempengaruhi kualitas hidup individu adalah
reinervasi yang salah dari saraf fasialis yang dapat menyebabkan synkinesis (20).
Synkinesis wajah merupakan gerakan spontan yang abnormal dari salah satu
wajah yang menyertai gerakan sukarela dari otot wajah yang berbeda. Gerakan yang
tidak diinginkan tersebut berasal dari saraf wajah yang rusak atau dikompresi yang
belum dilahirkan kembali dengan benar dan muncul sebagai sekuele akhir pengobatan
cedera saraf wajah spontan. Hal ini dapat mempengaruhi aktivitas seharhari dan
individu yang menderita kondisi ini dapat mepengaruhi pengalaman isolasi sosial.
Asimatri wajah mepengaruhi penampilan kosmetik dan dapat menyebabkan salah
tafsir dari ekspresi emosi tertentu (20). Synkinesis mengacu pada gerakan wajah
involunter abnormal yang terjadi dengan gerakan sukarela dari kelompok otot wajah
yang berbeda, contohnya timbul gerakan elevasi involunter dari sudut mata, kontraksi
platysma, atau pengerutan dahi saat memejamkan mata (12).

Modalitas terapi yang paling umum untuk pengobatan synkinesis wajah adalah
dengan tipe toksin botulinum A (BTX-A) suntikan untuk chemodenervation selektif
sekelompok otot yang terkena, pelatihan ulang neuromuskuler wajah dengan
biofeedback menggunakan cermin atau electromyography telah digunakan baik untuk
pengobatan dan pencegahan synkinesis wajah. Pilihan pengobatan lain termasuk
terapi bedah sepertu neurolysis selektif atau myectomy (19).
2. Rumusan Masalah
Apakah definisi dan penyebab Synkinesis?
Apakah definisi, etiologi dan patofisiologi Bells Palsy?
Bagaimana penatalaksanaan synkinesis pada Bells palsy
3.
Tujuan
Mampu menjelaskan defenisi dan penyebab dari synkinesis
Mampu menjelaskan definisi, etiologi dan patofisiologi Bells palsy
Mampu menjelaskan penatalaksanaan synkinesis pada Bells palsy
4. Manfaat
Memberikan informasi dan pengetahuan baik bagi penulis maupun pembaca
tentang diagnosis dan penatalaksanaan penyekit Synkinesis Pada Bells Palsy.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. SYNKINESIS
A. Defenisi
Wajah synkinesis adalah suatu kondisi klinis yang merupakan sekuel
kelumpuhan saraf wajah yang berkembang selama perbaikan saraf sepert akson
mielinasi dan regenerasi. Sinkinesis yaitu gerakan involunter yang mengikuti
gerakan volunter, contohnya timbul gerakan elevasi involunter dari sudut mata,
kontraksi patysma, atau pengerutan dahi saat memejamkan mata (12, 13).
B. Penyebab
Penyebab synkinesis adalah inervasi yang salah, serabut saraf yang mengalami
regenerasi bersambung dengan serabut-serabut oto yang salah. Ada banyak
penyebab yang berbeda dari wajah paresis saraf, paling sering merupakan sekuele
umum kelumpuhan saraf wajah idopatik, juga disebut bells palsy atau wajah palsy.
Penyebab lainnya trauma dan infeksi (12).
C. Paogenesis
Ada beberapa mekanisme yang diusulkan untuk pengembangan synkinesis.
Penjelasan paling umum diterima adalah bahwa ketika saraf melahirkan kembali,
itu mengalami regenrasi menyimpang, yang mungkin sengaja menginervarsi srrat
otot tetangga tambahan. Fenomena saraf regeneratif tumbuh kedalam cabangcabang perifer dikeal sebagai teori lipschitz. Sekitar 20% pasien akan mngalami
synkinesis setelah kelumpuhan saraf wajah. Jika synkinesis hadir, pemulihan
lengkat tidak mungkin terjadi (12).
B. BELLS PALSY
A. Definisi (1, 7)
Bell's Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak
diketahui sebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama meneliti
beberapa penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan n. fasialis
perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut Bell's pals.
Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologik, laboratorium dan patologi anatomi
menunjukkan bahwa BP bukan penyakit tersendiri tetapi berhubungan erat dengan
banyak faktor dan sering merupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini lebih sering
ditemukan pada usia dewasa, jarang pada anak di bawah umur 2 tahun. Biasanya
didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca
dingin

B. Epidemiologi (3, 4)
Bells palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis
fasial akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan
insiden terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bells
palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi
kanan. Insiden Bells palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita
diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bells palsy
mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita
muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada
kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih
sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2
minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bells palsy lebih tinggi daripada
wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat
Sedangkan di Indonesia, insiden Bells palsy secara pasti sulit ditentukan.
Data yang dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi
Bells palsy sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21
30 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan
insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan
adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin berlebihan .
C. Anatomi (5, 18)
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m. levator
palpebrae (n.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan
stapedius di telinga tengah).
2. Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius
superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga
hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan
lakrimalis.
3. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga
bagian depan lidah.
4. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba)
dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.
Nervus fasialis (N.VII) terutama merupakan saraf motorik yang menginervasi otototot ekspresi wajah. Di samping itu saraf ini membawa serabut parasimpatis ke
kelenjar ludah dan air mata dank ke selaput mukosa rongga mulut dan hidung, dan
juga menghantarkan sensasi eksteroseptif dari daerah gendang telinga, sensasi

pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah, dan sensasi visceral umum dari kelenjar
ludah, mukosa hidung dan faring, dan sensasi proprioseptif dari otot yang disarafinya.
Secara anatomis bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang menghantar
sensasi dan serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering dinamai saraf intermedius
atau pars intermedius Wisberg. Sel sensoriknya terletak di ganglion genikulatum, pada
lekukan saraf fasialis di kanal fasialis. Sensasi pengecapan daru 2/3 bagian depan
lidah dihantar melalui saraf lingual korda timpani dan kemudian ke ganglion
genikulatum. Serabut yang menghantar sensasi ekteroseptif mempunyai badan selnya
di ganglion genikulatum dan berakhir pada akar desenden dan inti akar decenden dari
saraf trigeminus (N.V). hubungan sentralnya identik dengan saraf trigeminus.
Inti motorik nervus VII terletak di pons. Serabutnya mengitari nervus VI, dan keluar
di bagian leteral pons. Nervus intermedius keluar di permukaan lateral pons, di antara
nervus V dan nervus VIII. Nervus VII bersama nervus intermedius dan nervus VIII
memasuki meatus akustikus internus. Di sini nervus fasialis bersatu dengan nervus
intermedius dan menjadi satu berkas saraf yang berjalan dalam kanalis fasialis dan
kemudian masuk ke dalam os mastoid. Ia keluar dari tulang tengkorak melalui
foramen stilomastoid, dan bercabang untuk mersarafi otot- otot wajah.
C. Patofisiologi (6)
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bells palsy terjadi proses inflamasi akut pada
nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bells
palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Namun demikian dalam jarak waktu satu
minggu atau lebih dapat terjadi paralysis bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau
kambuh. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya
proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus
fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang
temporal.
Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang
mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen
mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi
atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang
dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear dan
infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer
atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan
daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer. Karena adanya suatu proses
yang dikenal awam sebagai masuk angin atau dalam bahasa inggris cold. Paparan

udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca jendela yang
terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bells palsy. Karena itu nervus
fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan
kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bisa terletak di pons, di sudut serebelopontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada
cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti
nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis
LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan
melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul
bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap
dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab
utama Bells palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster)
yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini
menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion
genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan
fasialis LMN. Kelumpuhan pada Bells palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari
otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak
dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang
berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucukan dan
platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagophtalmos, maka air mata tidak bisa
disalurkan secara wajar sehingga tertimbun disitu.
D. ETIOLOGI (1)
Penyebab adalah kelumpuhan n. fasialis perifer. Umumnya dapat dikelompokkan
sebagai berikut:
A. Idiopatik
Sampai sekarang belum diketahui secara pasti penyebabnya yang disebut bells
palsy. Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan Bells Palsy antara lain:
sesudah bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di
lantai, hipertensi, stres, hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler,
B.
C.

gangguan imunologik dan faktor genetic.


Kongenital
a. Anomali kongenital (sindroma Moebius)
b. Trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial .dll.)
Didapat
Trauma Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)
Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan dll)
Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus)

Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster dll)


Sindroma paralisis n. fasialis familial
E. GEJALA KLINIK (1, 2)
Manifestasi klinik BP khas dengan memperhatikan riwayat penyakit dan gejala
kelumpuhan yang timbul. Pada anak 73% didahului infeksi saluran napas bagian atas
yang erat hubungannya dengan cuaca dingin. Perasaan nyeri, pegal, linu dan rasa
tidak enak pada telinga atau sekitarnya sering merupakan gejala awal yang segera
diikuti oleh gejala kelumpuhan otot wajah berupa :
Kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang lumpuh

(lagophthalmos).
Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola mata berputar

zXke atas bila memejamkan mata, fenomena ini disebut Bell's sign
Sudut mulut tidak dapat diangkat, lipat nasolabialis mendatar pada sisi yang

lumpuh dan mencong ke sisi yang sehat.


Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi lesi :
Lesi di luar foramen stilomastoideus Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang
sehat,makanan berkumpul di antar pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep
sensation) di wajah menghilang. lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata
yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus

menerus.
Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani) Gejala dan tanda klinik
seperti pada (a), ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3
bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya
pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus
menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda timpani

bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.


Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)
Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), (b), ditambah dengan adanya

hiperakusis.
Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum.
Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c) disertai dengan nyeri di belakang dan
di dalam liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di membran
timpani dan konka. Ramsay Hunt adalah paralisis fasialis perifer yang
berhubungan dengan herpes zoster di ganglion genikulatum. Lesi herpetik

terlibat di membran timpani, kanalis auditorius eksterna dan pina.


Lesi di daerah meatus akustikus interna, Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b),
(c), (d), ditambah dengan tuli sebagi akibat dari terlibatnya nervus akustikus.

F. DIAGNOSA (4, 9, 16)


A. Anamnesa
- Rasa nyeri
- Gangguan atau kehilangan pengecapan.
- Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari di
ruangan terbuka atau di luar ruangan.
- Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi saluran
pernafasan, otitis, herpes, dan lain-lain.
B. Pemeriksaan Fisik
Gerakan volunter yang diperiksa, dianjurkan minimal :
1.
Mengerutkan dahi
2.
Memejamkan mata
3.
Mengembangkan cuping hidung
4. Tersenyum
5.
Bersiul
6.
Mengencangkan kedua bibir
C. Pemeriksaan Laboratorium.
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan diagnosis
Bells palsy.
D. Pemeriksaan Radiologi.
Pemeriksaan radiologi bukan indikasi pada Bells palsy. Pemeriksaan CT-Scan
dilakukan jika dicurigai adanya fraktur atau metastasis neoplasma ke tulang,
stroke, sklerosis multipel dan AIDS pada CNS. Pemeriksaan MRI pada pasien
Bells palsy akan menunjukkan adanya penyangatan (Enhancement) pada nervus
fasialis, atau pada telinga, ganglion genikulatum.
G. Diagnosis Banding (2)
1. Infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt syndrom)
Ramsay Hunt Syndrome (RHS) adalah infeksi saraf wajah yang disertai dengan
ruam yang menyakitkan dan kelemahan otot wajah.
Tanda dan gejala RHS meliputi:
Ruam merah yang menyakitkan dengan lepuh berisi cairan di gendang
telinga, saluran telinga eksternal, bagian luar telinga, atap dari mulut (langit

langit) atau lidah


Kelemahan (kelumpuhan) pada sisi yang sama seperti telinga yang
terkinfeksi
Kesulitan menutup satu mata
Sakit telinga
Pendengaran berkurang
Dering di telinga (tinnitus)
Sebuah sensasi berputar atau bergerak (vertigo)
Perubahan dalam persepsi rasa

2. Miller Fisher Syndrom

Miller Fisher syndrom adalah varian dari Guillain Barre syndrom yang jarang
dijumpai.

Miiler

Fisher

syndrom

atau

Acute

Disseminated

Encephalomyeloradiculopaty ditandai dengan trias gejala neurologis berupa


opthalmoplegi, ataksia, dan arefleksia yang kuat. Pada Miller Fisher syndrom
didapatakan double vision akibat kerusakan nervus cranial yang menyebabkan
kelemahan otot otot mata . Selain itu kelemahan nervus facialis menyebabkan
kelemahan otot wajah tipe perifer. Kelumpuhan nervus facialis tipe perifer pada
Miller Fisher syndrom menyerang otot wajah bilateral. Gejala lain bisa
didapatkan rasa kebas, pusing dan mual.
H. TATA LAKSANA (8, 10, 11, 15)
1.
Istirahat terutama pada keadaan akut
2.
Medikamentosa
a. Pemberian kortikosteroid (perdnison dengan dosis 40 -60 mg/hari per oral
atau 1 mg/kgBB/hari selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7
hari kemudian), dimana pemberiannya dimulai pada hari kelima setelah
onset penyakit, gunanya untuk meningkatkan peluang kesembuhan pasien.
Dasar dari pengobatan ini adalah untuk menurunkan kemungkinan
terjadinya kelumpuhan yang sifatnya permanen yang disebabkan oleh
pembengkakan nervus fasialis di dalam kanal fasialis yang sempit.
b. Penggunaan obat- obat antivirus . Acyclovir (400 mg selama 10 hari) dapat
digunakan dalam penatalaksanaan Bells palsy yang dikombinasikan
dengan prednison atau dapat juga diberikan sebagai dosis tunggal untuk
penderita yang tidak dapat mengkonsumsi prednison.Penggunaan Acyclovir
akan berguna jika diberikan pada 3 hari pertama dari onset penyakit untuk
mencegah replikasi virus.
c. Perawatan mata:
Air mata buatan: digunakan selama masa sadar untuk menggantikan
lakrimasi yang hilang.
Pelumas digunakan saat tidur: Dapat digunakan selama masa sadar jika air
mata buatan tidak mampu menyedikan perlindungan yang adekuat. Satu
kerugiannya adalah pandangan kabur.
Kacamata atau tameng pelindung mata dari trauma dan menurunkan
3.

pengeringan dengan menurunkan paparan udara langsung terhadap kornea


Fisioterapi
Sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat dianjurkan pada
stadium akut. Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang

lumpuh. Cara yang sering digunakan yaitu : mengurut/massage otot wajah


selama 5 menit pagi-sore atau dengan faradisasi.
4.

Operasi
Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak-anak karena dapat
menimbulkan komplikasi lokal maupun intracranial.
Tindakan operatif dilakukan apabila :
tidak terdapat penyembuhan spontan
tidak terdapat perbaikan dengan pengobatan prednison

I. KOMPLIKASI (2, 9)
1.
Crocodile tear phenomenon.
Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul
beberapa bulan setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi yang
salah dari serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi menuju ke
2.

kele njar lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar ganglion genikulatum.


Synkinesis
Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri.
selalu timbul gerakan bersama. Misal bila pasien disuruh memejamkan mata,
maka akan timbul gerakan (involunter) elevasi sudut mulut,kontraksi platisma,
atau berkerutnya dahi. Penyebabnya adalah innervasi yang salah, serabut saraf

3.

yang mengalami regenerasi bersambung dengan serabut-serabut otot yang salah.


Tic Facialis sampai Hemifacial Spasme
Timbul kedutan pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan
tidak terkendali) dan juga spasme otot wajah, biasanya ringan. Pada stadium
awal hanya mengenai satu sisi wajah saja, tetapi kemudian dapat mengenai pada
sisi lainnya. Kelelahan dan kelainan psikis dapat memperberat spasme ini.
Komplikasi ini terjadi bila penyembuhan tidak sempurna, yang timbul dalam

beberapa bulan atau 1-2 tahun kemudian.


J. PROGNOSIS (2,9 )
Walaupun tanpa diberikan terapi, pasien Bells palsy cenderung memiliki
prognosis yang baik. Dalam sebuah penelitian pada 1.011 penderita Bells palsy, 85%
memperlihatkan tanda-tanda perbaikan pada minggu ketiga setelah onset penyakit.
15% kesembuhan terjadi pada 3-6 bulan kemudian.
Sepertiga dari penderita Bells palsy dapat sembuh seperti sedia kala tanpa gejala sisa.
1/3 lainnya dapat sembuh tetapi dengan elastisitas otot yang tidak berfungsi dengan
baik. Penderita seperti ini tidak memiliki kelainan yang nyata. 1/3 sisanya cacat
seumur hidup.
Penderita Bells palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa. Faktor resiko
yang memperburuk prognosis Bells palsy adalah:

1.
2.
3.
4.
5.

Usia di atas 60 tahun


Paralisis komplit
Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh,
Nyeri pada bagian belakang telinga dan
Berkurangnya air mata.
Pada penderita kelumpuhan nervus fasialis perifer tidak boleh dilupakan

untuk mengadakan pemeriksaan neurologis dengan teliti untuk mencari gejala


neurologis lain.
Pada umumnya prognosis Bells palsy baik: sekitar 80-90 % penderita
sembuh dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang
berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko
tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya
punya perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh total dengan meninggalkan
gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita cenderung
meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang spasme
hemifasial.
Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding
penderita nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non
DM. Hanya 23 % kasus Bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bells palsy
kambuh pada 10-15 % penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral
menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar parotis.
3. PENATALAKSANAAN SYNKINESIS (14, 19)
Penelitian eksperimental untuk pengobatan telah sebagian besar difokuskan
pada synkinesis wajah karena prevalensi melimpah dibandingkan dengan synkinesis
ekstra-okuler. Selain itu, karena otot-otot ekstra-okuler yang tersembunyi di dalam
orbit, ada batas pada jenis perawatan praktis yang dapat dibentuk (misalnya pijat).
Perawatan didirikan untuk synkinesis secara umum meliputi operasi; Selanjutnya,
synkinesis wajah memiliki manfaat perawatan kurang invasif seperti pelatihan ulang
wajah, biofeedback, terapi mime, dan Botox.
a. Bedah
Prosedur bedah praktis digunakan untuk mengobati synkinesis yang
neurolysis dan myectomy selektif. Neurolysis telah terbukti efektif dalam
mengurangi synkinesis tetapi hanya sementara dan sayangnya gejala kembali jauh
lebih buruk daripada yang.

myectomy selektif, di mana otot synkinetic

secara selektif direseksi, adalah teknik yang jauh lebih efektif yang dapat
memberikan bantuan permanen dan hasil di tingkat kekambuhan rendah;
sayangnya, juga memiliki banyak komplikasi pasca operasi yang dapat menyertai

termasuk edema , hematoma , dan ecchymosis . Oleh karena itu, prosedur bedah
yang sangat minimal digunakan oleh dokter dan disimpan sebagai pilihan
terakhir-resor untuk pasien yang tidak merespon dengan baik untuk perawatan
non-invasif.
b. Pelatihan ulang wajah
Terapi pelatihan ulang wajah dibangun berdasarkan gagasan bahwa
neuron terus-menerus dalam keadaan yang dinamis. Dengan kata lain, ada
pertumbuhan konstan dan regresi proyeksi neuron tergantung pada rangsangan
yang dihasilkan. Untuk mengurangi synkinesis, pelatihan ulang wajah
mengajarkan teknik pasien untuk meningkatkan gerakan ingin sambil
memfokuskan pada membatasi gerakan yang tidak diinginkan. Jika, misalnya,
mulut bergerak setiap kali mata berkedip secara sukarela, teknik pelatihan ulang
wajah akan mengajarkan pasien untuk perlahan-lahan menutup mata sedang aktif
berfokus pada menjaga otot-otot mulut masih. Pelatihan ulang wajah telah
terbukti sangat sukses dengan hampir penurunan rata-rata 60-70% di synkinesis
dilaporkan setelah 7 bulan.
c. Biofeedback
Biofeedback terapi untuk synkinesis wajah bertujuan untuk meningkatkan
kesadaran pasien dari postur otot wajah dan gerakan. Otot-otot wajah
mengandung beberapa none otot intrinsik reseptor sensorik (digunakan untuk
proprioseptif umpan balik) dan tambahan mereka tidak menjangkau sendi
bergerak dan kekurangan reseptor sendi (sumber lain untuk umpan balik
proprioseptif). Dengan demikian, biofeedback memungkinkan pasien untuk
secara aktif merasakan gerakan otot-otot mereka. Dua bentuk umum dari
biofeedback digunakan adalah umpan balik elektromiografi dan umpan balik
cermin. Umpan balik elektromiografi termasuk sinyal EMG visual (yang berasal
dari situs otot wajah yang ditampilkan untuk pasien dari komputer dalam bentuk
jejak gelombang) atau sinyal pendengaran yang menunjukkan kekuatan kontraksi
otot. Peran berikutnya dari pasien untuk mengontrol gerakan otot yang tidak
diinginkan selama gerakan kehendak dengan memasukkan informasi yang
dirasakan melalui EMG. Sementara umpan balik cermin adalah cara dasar lebih
banyak memberikan umpan balik pasien pada gerakan otot, penelitian telah
menunjukkan bahwa keduanya pilihan yang sangat efektif untuk mengurangi
synkinesis / paresis. Biofeedback umumnya digabungkan dengan teknik pelatihan
ulang wajah untuk mencapai efektivitas maksimal. Sebuah studi oleh Nakamura

et al. telah menunjukkan bahwa biofeedback bekerja lebih baik untuk pencegahan
synkinesis sebagai lawan pengobatan synkinesis. Karena upaya ekstrim yang
diperlukan untuk mencapai perbaikan selama synkinesis, Nakamura et al.
mengamati bahwa pasien akan sering gagal untuk mencapai tujuan yang
diinginkan karena sulitnya mempertahankan motivasi selama pelatihan. Tentu
saja yang diinginkan dari tindakan adalah untuk menangkap pasien lama setelah
trauma saraf wajah dan mengajarkan teknik biofeedback pasien. Ini tindakan
eksperimental telah terbukti secara signifikan mengurangi perkembangan
synkinesis.
d. Terapi Mime
Terapi Mime diperkenalkan di Belanda pada tahun 1980. Pada awalnya
dirancang untuk mengobati palsy wajah dengan meningkatkan simetri wajah baik
saat istirahat dan selama gerakan. Itu kemudian mengamati bahwa orang-orang
yang memiliki pasca-wajah synkinesis palsy juga manfaat dari terapi ini. Ia tidak
sampai 2003 Beurskens dan Heymans mampu eksperimental menyimpulkan
bahwa terapi mime memang pilihan pengobatan yang baik untuk synkinesis.
Selanjutnya, penelitian kemudian oleh Beurskens et al. telah menunjukkan bahwa
manfaat yang diperoleh dari terapi mime stabil 1 tahun setelah terapi. Terapi
mime sekarang terdiri dari kombinasi prosedur yang dirancang untuk
mempromosikan simetri wajah saat istirahat dan selama gerakan dan kontrol
synkinesis. Komponen meliputi: pijat, latihan peregangan, latihan untuk
mengkoordinasikan kedua bagian wajah, dll Tujuan keseluruhan dari terapi mime
adalah untuk mengembangkan hubungan sadar antara penggunaan otot-otot wajah
dan ekspresi emosional. Jadi sementara terapi pelatihan ulang wajah jauh lebih
terfokus pada mengobati gerakan synkinetic sedikit, terapi mime bertujuan untuk
meningkatkan kekuatan keseluruhan otot-otot melalui latihan aktif, sementara
dalam proses melakukannya, mengajar wajah untuk mengurangi gerakan
synkinetic tidak diinginkan.
e. Botox
Botox (botulinum toxin) adalah alat baru dan serbaguna untuk pengobatan
untuk synkinesis. Awalnya digunakan untuk mengurangi hiperkinesis setelah
palsy wajah, Botox kemudian dicoba pada pasien dengan pasca-wajah synkinesis
palsy untuk mengurangi gerakan yang tidak diinginkan. Efek dari Botox telah
terbukti luar biasa dengan gejala synkinetic menghilang dalam waktu 2 atau 3
hari. Karena jangka pendek efek Botox meskipun, pasien harus kembali ke dokter

untuk injeksi ulang kira-kira setiap 3 bulan. Lebih penting adalah bahwa
meskipun dalam sebagian besar pasien, berbagai gerakan synkinetic benar-benar
menghilang setelah 2-3 sesi suntikan Botox (setiap sesi diberikan setelah ~ 3
bulan).

Sebuah

synkinesis

lebih

spesifik,

sindrom

air

mata

buaya

(hyperlacrimation pada makan) , telah ditunjukkan untuk merespon sangat baik


untuk injeksi Botox. Botox disuntikkan langsung ke dalam kelenjar lakrimal dan
telah terbukti mengurangi hyperlacrimation dalam waktu 24-48 jam. Prosedur ini
terbukti sederhana dan aman dengan sangat sedikit kesempatan efek samping
(meskipun jarang ptosis dapat terjadi karena difusi toksin botulinum). Selain itu,
penurunan hiper-lakrimasi ditunjukkan untuk bertahan lebih lama dari yang
diharapkan 3 bulan (sekitar 12 bulan). Sejak Botox dapat meniru kelumpuhan
wajah, dosis optimal telah ditentukan yang mengurangi synkinesis paksa otot
sementara tidak mempengaruhi otot.

BAB III
KESIMPULAN
Sekitar 5% pasien setelah menderita bells palsy mengalami sekuele berat yang tidak
dapat diterima, salah satu komplikasi yang paling umum dan paling serius baik secara
psikologi dan sosial serta mempengaruhi kualitas hidup individu adalah reinervasi yang salah
dari saraf fasialis yang dapat menyebabkan synkinesis. Synkinesis mengacu pada gerakan
wajah involunter abnormal yang terjadi dengan gerakan sukarela dari kelompok otot wajah
yang berbeda, contohnya timbul gerakan elevasi involunter dari sudut mata, kontraksi
platysma, atau pengerutan dahi saat memejamkan mata. . Hal ini dapat mempengaruhi
aktivitas seharhari dan individu yang menderita kondisi ini dapat mepengaruhi pengalaman
isolasi sosial. Asimatri wajah mepengaruhi penampilan kosmetik dan dapat menyebabkan
salah tafsir dari ekspresi emosi tertentu. Modalitas terapi yang paling umum untuk
pengobatan synkinesis wajah adalah dengan tipe toksin botulinum A (BTX-A) suntikan untuk
chemodenervation selektif sekelompok otot yang terkena, pelatihan ulang neuromuskuler

wajah dengan biofeedback menggunakan cermin atau electromyography telah digunakan baik
untuk pengobatan dan pencegahan synkinesis wajah. Pilihan pengobatan lain termasuk terapi
bedah sepertu neurolysis selektif atau myectomy.
Prtotocol pengobata terbaik diantara progam rehabilitas adalah biofeedback, karena
merupakan tindakan eksperimental yang telah terbuti secara signifikan mengurangi
perkembangan synkinesis.

DAFTAR PUSTAKA
1. Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta
neurologi; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2009. hal 297-300
2. Dr
P
Nara,
Dr
Sukardi,
Bells
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/sPalsy.pdf/
tanggal08 Juni 2015)
3. Danette
C
Taylor,

DO,

MS.

Plasy

sPalsy.

html

(diakses

2011,

Bell

Palsy,

http://emedicine.medscape.com/article/1146903-overview#a0156

(diakses

tanggal 08 Juni 2015).


4. Annsilva, 2010, Bells Palsy, http://annsilva.wordpress.com/2010/04/04/bellspalsy-case-report/ (diakses tanggal 08 Juni 2015)
5. Lumbantobing. 2007.Neurologi Klinik.Jakarta: Universitas Indonesia.
6. Irga, 2009, Bells Palsy, http://www.irwanashari.com/260/bells-palsy.html,
(diakses tanggal 08 Juni 2015)
7. Weiner HL, Levitt LP. Ataksia. Wita JS, editor. Buku Saku Neurologi. Ed 5.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001. Hal. 174
8. Nurdin,
Moslem
Hendra,
2010,

Bell

Palsy,

http://coolhendra.blogspot.com/2010/08/bell-palsy.html (diakses tanggam08 Juni


2015)
9. Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Edisi ke-2. Jakarta : Dian
Rakyat, 1985 : 311-17
10. Patterson et al., 2012. Question from Practice : Bells Palsy Treatmen and
Recovery. TPJ. 289: p603
11. Murthy et al., 2011. Bells palsy : Teatmen Gudelines. A Indian Acad Neurol. 14:
70-2

12. Wienner et al., 2011. A Novel Long-term Therapy of Facial Synkinesis with
Botulinum Neurotoxin Typem A and Filler. J. Clin Aesthet Dermatol. 4(3):45-9.
13. Matto et al., 2012. Synkinesis of Facial Muculatur in a Patient with Facial
Paralysis. SEB. 3(1).
14. Pourmomeni et al., 2014. Management of Synkinesis and Asymmetry in Facial
Nerve Palsy : A Review Article. Iran J Ororhinolaryngol. 26(77): 251-56.
15. Jefrey et al., 2007. Bells Palsy : Diagnosis and Management. Am Fam Physican.
76 (7). 997;1002.
16. Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Edisi ke-2. Jakarta : Dian
Rakyat, 1985 : 311-17
17. Price and Wilson. 2006. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit.
Jakarta. EGC
18. Budianto, Anang. 2005. Guidance to Anatomy III (Revisi). Surakarta : keluarga
Besar Asistant Anatomi FKUNS.
19. Husseman J. 2008. Treatmen Synkinesis. FPS. 24(2): 242-249.
20. Lowis et al., 2012. Bells Palsy : Diagnosis and Management in Primary Care.
JIMA. 62

Anda mungkin juga menyukai