Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

Bell’s palsy merupakan kelemahan atau kelumpuhan saraf fasialis perifer,

bersifat akut, dan penyebabnya belum diketahui secara pasti (idiopatik). Bell’s palsy

ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1812 oleh Sir Charles Bell, seorang

peneliti Scotlandia, yang mempelajari mengenai persarafan otot-otot wajah.1

Kejadian sindrom Bell’s palsy ini berkisar 23 kasus per 100.000 orang setiap

tahunnya. Berdasarkan manifestasi klinisnya, terkadang masyarakat awam

mengganggap sindrom Bell’s palsy sebagai serangan stroke atau yang berhubungan

dengan tumor sehingga perlu diketahui penerapan klinis sindrom Bell’s palsy tanpa

melupakan diagnosa banding kemungkinan diperoleh dari klinis yang sama.2

Masalah kecacatan yang ditimbulkan oleh Bell’s palsy cukup kompleks, yaitu

meliputi impairment (kelainan di tingkat organ) berupa ketidaksimetrisnya wajah,

kaku dan bahkan bisa berakibat terjadi kontraktur; disability atau ketidakmampuan

(ditingkat individu) berupa keterbatasan dalam aktivitas sehari-hari berupa gangguan

makan dan minum, menutup mata, serta gangguan berbicara dan ekspresi wajah;

handicap (di tingkat lingkungan) berupa keterkaitan dalam profesi terutama dibidang

entertainment; dan masalah selanjutnya dari segi kejiwaan penderita.

BAB II

1
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Bell’s palsy adalah kelumpuhan saraf fasialis perifer akibat proses non-

supuratif, non-neoplasmatik, non-degeneratif dan akibat edema di bagian saraf

fasialis foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen tersebut, yang

mulainya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.3

B. ETIOLOGI

Bell’s palsy dapat dikelompokan sebagai berikut:4

1. Idiopatik

Bell’s palsy sampai saat ini belum diketahui secara pasti penyebabnya.

Faktor yang diduga berperan menyebabkan Bell’s palsy antara lain:

sesudah bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di

lantai, hipertensi, stress, hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit

vaskuler, gangguan imunologik dan factor genetik. 4

2. Kongenital4

a. Anomali kongenital (sindroma moeblus).

b. Pasca lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intracranial.

3. Didapat4

a. Trauma penyakit tulang tengkorak (osteomyelitis)

2
b. Proses intracranial (tumor, radang, perdarahan)

c. Proses di leher yang menekan daerah prosesus stillomastoideus

d. Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster)

e. Sindroma parsialsis n. fasialis familial

Banyak kontroversi mengenai etiologi dari Bell’s palsy, tetapi ada empat teori

yang dihubungkan dengan etiologi yaitu: 4

1. Teori iskemik vaskuler

Saraf fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena gangguan

regulasi sirkulasi darah di kanalis fasialis. 4

2. Teori infeksi virus

Virus yang dianggap sebagai penyebab paling bertanggung jawab adalah

Herpes Simplex Virus (HSV), yang terjadi karena proses reaktivasi dari

HSC (khususnya tipe 1). 4

3. Teori herediter

Bell’s palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada

keturunan dikeluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi untuk

terjadi paresis fasialis. 4

4. Teori imunologi

Dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap

infeksi virus yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi. 4

C. PATOGENESIS

3
Mekanisme Bell’s palsy telah diperdebatkan selama beberapa dekade, dengan

penyebab neropati tetap sukar dipahami dengan beberapa teori yang ada. Salah satu

teori menjelaskan bahwa Bell’s palsy adalah penyakit demyelinasi akut, yang

mungkin mempunyai mekanisme patogenesis yang mirip Guillain-Barre syndrome.

Diduga bahwa keduanya adalah inflamasi neuritis demyelinasi yaitu Bell’s palsy

dapat dipertimbangkan sebagai varian mononeuritis dari Guillain-Barre.5

Patogenesis Bell’s palsy diduga berasal dari edema kompresi epineural

retrograde ditandai ischemia saraf facialis. Walaupun etiologinya masih belum jelas,

teori yang menarik berasal dari vasospasme, dari beberapa penyebab, sepanjang

cabang saraf facialis mungkin juga melibatkan chorda tympani. Distensi vaskular

retrograde dan edema, di dalam epineurium dari kanalis facialis dan menekan saraf

dari luar selubung perineurium. Gaya tekanan ringan atau berat, menyebabkan variasi

derajat degenerasi ischemia reversible atau irreversible selubung myelin dan axon,

dengan derajat bervariasi dari reaksi seluler terhadap kerusakan myelin. Edema yang

terjadi dapat menyebabkan kerusakan saraf reversible atau irreversible, atau mungkin

menstimulasi pembentukan kolagen di dalam epineurium serta terjadi fibrosis.

Fibrosis epineural juga menyebabkan gangguan metabolik melalui jaringan

epineurial-endoneurial, dan mungkin menyebabkan obliterasi drainase vascular.5

Berdasarkan data terbaru, penyebab dugaan mungkin karena reaktivasi infeksi

herpes virus dalam ganglion geniculatum, dan berpindah ke saraf facialis. HSV-1 dan

HZV mungkin merupakan penyebab, dengan HZV yang dianggap lebih agresif

karena ini menyebar sepanjang saraf melalui sel satelit. Data tersebut didukung

4
dengan berhasilnya isolasi DNA HSV-1 dari cairan endoneural saraf facialis melalui

PCR selama fase akut Bell’s palsy. Saraf facialis membengkak dan mengalami

inflamasi sebagai reaksi terhadap infeksi, yang menyebabkan tekanan di dalam

Canalis Fallopian dan menyebabkan iskemia. Dalam beberapa kasus ringan, terdapat

kerusakan hanya di selubung myelin saraf.5

Akhir-akhir ini, vaksin influenza intranasal inaktif juga berkaitan dengan Bell’s

palsy. Mutsch et al (2004) melakukan studi kasus kontrol dengan analisis serial kasus,

pada 773 penderita Bell’s palsy yang mendapatkan vaksin flu. Setelah mengatur

variabel lain, dilaporkan bahwa terdapat hubungan spesifik antara risiko terjadinya

Bell’s palsy pada penderita yang mendapat vaksin mencapai 19 kali dibandingkan

kelompok kontrol tanpa vaksin flu. Penelitian Mutsch et al (2004) menemukan

insiden puncak Bell’s palsy antara 31-60 hari setelah pemberian vaksin. Dari data

tersebut, diduga bahwa aktivasi Bell’s pallsy bukan karena efek toksik langsung dari

vaksin, melainkan karena penyakit autoimun atau reaktivasi HSV.6

Penyebab infeksi lain Bell’s palsy yang diketahui meliputi: adenovirus,

coxsackie virus, CMV, EBV, influenza, mumps, dan rubella (Morgan and Nathwani,

1992). Rickettsia adalah penyebab infeksi yang jarang (Bitsori et al, 2001). Dugaan

penyebab non-infeksi meliputi proses autoimun seperti Ensefalopati Hashimoto

(Schaitkin et al, 2000), ischemia dari atherosclerosis yang mengarah di edema saraf

facialis (Goroll et al, 2009), dan familial, dengan sekitar 4 - 8% penderita Bell’s palsy

mempunyai riwayat keluarga serupa.5

5
Kondisi lain penyebab Bell’s palsy antara lain lesi struktural dalam telinga atau

kelenjar parotis (contoh cholesteatoma, tumor saliva) dapat menekan saraf facialis.

Penyebab lain kelemahan saraf facialis perifer meliputi Guillain-Barre syndrome,

Lyme disease, otitis media, Ramsay Hunt sydnrome, sarcoidosis. Kerusakan langsung

saraf facialis karena trauma pada wajah atau fraktur tengkorak juga dapat

menyebabkan Bell’s palsy.5

D. PATOFISIOLOGI

Patofisiologi pasti Bell’s palsy masih diperdebatkan. Perjalanan saraf facialis

melalui bagian os temporalis disebut sebagai facial canal. Suatu teori menduga edema

dan ischemia berasal dari kompresi saraf facialis di dalam kanal tulang tersebut.

Kompresi ini telah nampak dalam MRI dengan fokus saraf facialis.7

Bagian pertama dari canalis facialis segmen labyrinthine adalah yang paling

sempit, foramen meatus dalam segmen ini hanya mempunyai diameter 0,66 mm.

Yang bertempat dan diduga paling sering terjadi kompresi saraf facialis pada Bell’s

palsy. Karena sempitnya canalis facialis, keadaan ini nampaknya wajar apabila

inflamasi, demyelinasi, iskemia, atau proses kompresi mungkin mengganggu

konduksi neural pada tempat ini.4

Lokasi kerusakan saraf facialis diduga dekat atau di ganglion geniculatum. Jika

lesi proksimal dari ganglion geniculatum, kelemahan motorik diikuti dengan

abnormalitas pengecapan dan autonom. Lesi antara ganglion geniculatum dan chorda

6
tympani menyebabkan efek sama, namun tanpa gangguan lakrimasi. Jika lesi berada

pada foramen stylomastoideus, ini mungkin hanya menyebabkan paralisis wajah.4

E. TANDA DAN GEJALA

Onset Bell’s palsy adalah akut, sekitar satu - setengah dari kasus mencapai

kelumpuhan maksimum selama 48 jam dan hampir semua berjalan dalam waktu lima

hari. Nyeri di belakang telinga dapat mendahului kelumpuhan selama satu atau dua

hari. Terganggunya saraf facial di foramen stylomastoid dapat menyebabkan

kelumpuhan di seluruh otot ekspresi wajah. Sudut mulut jatuh, garis dan lipatan kulit

juga terpengaruh, garis dahi menghilang, lipatan palpebra melebar, dan lid margin

mata tidak tertutup. Kantong mata bawah dan punctum jatuh, disertai air mata yang

menetes melewati pipi. Makanan yang mengumpul di antara gigi, pipi dan saliva

yang menetes dari sudut mulut. Penderita juga mengeluh ada rasa tebal atau mati rasa

dan terkadang mengeluh nyeri di wajah.4

Jika lesi berada di saluran saraf facialis di atas chorda tympani tetapi di bawah

ganglion genikulatum, semua gejala dapat timbul ditambah kehilangan rasa di lidah

2/3 anterior di sisi yang sama dengan lesi. Jika lesi mempengaruhi saraf di otot

stapedius maka dapat terjadi hyperakustikus yaitu penderita sensitif dan merasa nyeri

bila mendengar suara-suara yang keras. Jika ganglion genikulatum terpengaruh,

produksi air mata dan air liur mungkin berkurang. Lesi di daerah ini Onset Bell’s

palsy adalah akut, sekitar satu - setengah dari kasus mencapai kelumpuhan

maksimum selama 48 jam dan hampir semua berjalan dalam waktu lima hari. Nyeri

7
di belakang telinga dapat mendahului kelumpuhan selama satu atau dua hari.

Terganggunya saraf facial di foramen stylomastoid dapat menyebabkan kelumpuhan

di seluruh otot ekspresi wajah. Sudut mulut jatuh, garis dan lipatan kulit juga

terpengaruh, garis dahi menghilang, lipatan palpebra melebar, dan lid margin mata

tidak tertutup. Kantong mata bawah dan punctum jatuh, disertai air mata yang

menetes melewati pipi. Makanan yang mengumpul di antara gigi, pipi dan saliva

yang menetes dari sudut mulut. Penderita juga mengeluh ada rasa tebal atau mati rasa

dan terkadang mengeluh nyeri di wajah. dapat berpengaruh juga pada saraf

vestibulokoklearis yang menyebabkan tuli, tinnitus dan pusing yang berputar

(dizziness).4

F. DIAGNOSIS

1. Anamnesis8

a. Perkembangan penyakit (perjalanan penyakit dan gejala penyerta)

1) Progresif parsial lebih dari tiga minggu harus dievaluasi untuk

neoplasma

2) Kehilangan pendengaran mendadak dan nyeri hebat disertai

paralisis wajah dapat disebabkan oleh Ramsay Hunt Syndrome.

b. Riwayat penyakit: Stroke, tumor

2. Pemeriksaan Fisik: Nervus fasialis8

a. Inspeksi

1) Kerutan dahi

8
2) Pejaman mata

3) Lipatan nasolabiais

4) Sudut mulut

b. Motorik

1) Mengangkat alis dan mengerutkan dahi

2) Memejamkan mata

3) Menyeringai (menunjukkan geligi0

4) Mencucurkan bibir

5) Menggembungkan pipi

c. Sensorik

1) Schirmer test

Digunakan untuk mengetahui fungsi produksi air mata.

Menggunakan kertas lakmus merah 5x50 mm dengan salah satu

ujung dilipat dan diselipkan di kontus medial kiri dan kanan

selama lima menit dengan mata terpejam. Normal: menjadi biru

dan basah antara sepanjang 20-30 mm.8

2) Pengecapan 2/3 anterior lidah

Menggunakan cairan Bornstein (4% glukosa, 1% asam sitrat,

2,5% sodium klorida, 0,075% quinine HCl). Penderita diminta

menjulurkan lidah, kemudian dikeringkan dahulu baru dilakukan

tes menggunakan lidi kapas. Rasa manis di ujung lidah, rasa

asam dan asin di samping lidah dan rasa pahit di belakang lidah.

9
Setiap selesai pemeriksaan, penderita berkumur dengan air

hangat kuku dan dikeringkan dahulu baru dilanjutkan

pemeriksaan berikutnya.8

3) Refleks stapedius

Memasang stetoskop pada telinga penderita kemudian dilakukan

pengetukan lembut pada diafragma stetoskop atau dengan

menggetarkan garpu tala 256Hz di dekat stetoskop. Abnormal jika

hiperakusis (suara lebih keras atau nyeri). 8

3. Pemeriksaan Penunjang

Tidak ada pemeriksaan penunjang yang spesifik untuk Belss’s palsy, tetapi

tes berikut dapat berguna untuk mengidentifikasi atau menyingkirkan

penyakit lain:8

a. CBC (Complete Blood Count)

b. Glukosa darah, HbA1c, untuk mengetahui adanya diabetes yang tidak

terdiagnosa (penderita diabetes 29% lebih berisiko terkena Bell’s

palsy).8

c. Salivary flow test

Pemeriksa menempatkan kateter kecil di kelenjar submandibular yang

paralisis dan normal, kemudian penderita diminta menghisap lemon

dan aliran saliva dibandingkan antara kedua kelenjar. Sisi yang normal

menjadi control.8

d. CT-Scan dan MRI

10
CT-Scan digunakan apabila paresis menjadi progresif dan tidak

berkurang. MRI juga dapat dugunakan untuk menyingkirkan kelainan

yang lain yang menyebabkan terjadinya paralisis. MRI pada penderita

dengan Bell’s palsy menunjukkan adanya pembengkakan dan

peningkatan yang merata pada saraf fasialis dan ganglion genikulatum.

MRI juga dapat menunjukkan adanya pembengkakan pada saraf

fascialis akibat schwannoma, hemangioma atau juga mengioma.8

G. DIAGNOSIS BANDING

1. Herpes zoster (Ramsey Hunt Syndrome)

Inflamasi saraf facialis dan ganglion geniculate yang disebabkan oleh virus

varicella zoster. Biasanya diikuti dengan peningkatan vesicular pada

membrane mukosa faring, vesikel pada chonca atau saluran pendengaran

externa. Sering melibatkan saraf vestibulocochlearis. Terdapat gejala

prodromal sebelumnya seperti malaise, sakit kepala, demam.8

2. Lyme disease

Sering bilateral, pada daerah endemic dan diketahui disebabkan oleh gigitan

kuku (erythema chronicum migrans).8

3. Fascial diplegia

Sering disebabkan oleh karena Guillainbarre syndrome, juga dapat

disebabkan oleh sarcoidosis yang dikenal sebagai uveoparotid fever

(Heefordt syndrome).8

11
4. Sarcoidosis

Granuloma sarcoid mempunyai kecenderungan untuk lebih mempengaruhi

saraf facialis daripada saraf kranialis lainnya. Gejala akut diikuti demam,

pembesaran kelenjar parotis, dan uveitis.8

5. Tumor

Tumor yang menekan saraf facialis dapat menyebabkan facial palsy

(meningioma, cholesteatoma, dermoid, carotid body tumor). Permulaannya

timbul secara tersembunyi dan semakin lama semakin memburuk.8

6. Fascial palsy with pontine lesions

Dapat disebabkan oleh karena adanya infark atau tumor.8

7. Melkersson-Rosenthal syndrome

Merupakan gangguan yang langka dan penyebabnya tidak diketahui.

Ditandai dengan facial paralisis berulang yang akhirnya menetap, labial

edema, lipatan lidah. Dapat terjadi pada anak-anak dan dewasa.8

8. Hemifacial spasm

Idiopatik, melibatkan otot wajah disalah satu sisi dan diikuti dengan

kontraksi yang tidak beraturan. Kebanyakan dialami oleh wanita dekade ke

5 dan 6. Kekakuan biasanya dimulai dari otot Orbicularis oculi kemudian

menjalar ke otot lain disisi yang terkena.8

9. Fasial hemiatrophy

Facial Hemiatrophy terjadi terutama pada wanita, ditandai dengan

hilangnya lemak dari kulit dan jaringan subkutan di satu atau kedua sisi

12
wajah. Keadaan tersebut dimulai pada usia remaja atau dewasa. Perjalanan

penyakit lambat.8

10. HIV infectionI

Beberapa individu dengan HIV mengalami unilateral atau bilateral Bell’s

palsy.8

H. TERAPI

1. Non-Medikamentosa

a. Penggunaan selotip untuk menutup kelopak mata saat tidur dan eye

patch untuk mencegah pengeringan kornea.8

b. Fisikal terapi seperti massage dan Latihan otot da[at mencegah

terjadinya kontraktur pada otot yang lemah. Pemberian suhu panas di

area yang terpengaruh dapat menurunkan rasa nyeri.8

2. Medikamentosa

a. Kortikosteroid

Oral kortikosteroid sering diberikan untuk mencegah terjadinya

inflamasi saraf pada penderita dengan Bell’s palsy. Prednisone biasanya

diberikan dengan dosis 60-80 mg per hari selama 5 hari, dan di

tappering off 5 hari selanjutnya. Hal ini dapat memperpendek masa

penyembuhan dan meningkatkan hasil akhirnya.8

b. Antivirus

13
Dikarenakan adanya kemungkinan keterlibatan HSV-1 di Bell’s palsy,

maka telah diteliti pengaruh dari Valacyclovir (1000 mg per hari,

diberikan antara 5-7 hari) dan Acyclovir (400 mg 5 kali sehari,

diberikan 10 hari). Dari hasil penelitian, penggunaan antivirus sendiri

tidak memberikan keuntungan untuk penyembuhan penyakit. Tetapi,

penggunaan Valacyclovir dan prednisone, memberikan hasil yang lebih

baik, dibandingkan penggunaan prednisone sendiri, terutama pada

penderita dengan gejala klinis yang berat.8

c. Analgesik Analgesik untuk meredakan nyeri, dan methylcellulose eye

drops untuk mencegah kekeringan pada kornea.8

I. PROGNOSIS

Prognosis umumnya sangat baik. Tingkat keparahan kerusakan syaraf

menentukan proses penyembuhan. Perbaikannya bertahap dan durasi waktu yang

dibutuhkan bervariasi. Dengan atau tanpa pengobatan, sebagian besar individu

membaik dalam waktu dua minggu setelah onset gejala dan membaik secara penuh,

fungsinya kembali normal dalam waktu 3-6 bulan. Tetapi untuk beberapa penderita

bisa lebih lama. Pada beberapa kasus, gangguan bisa muncul kembali di tempat yang

sama atau di sisi lain wajah.8

J. KOMPLIKASI

Komplikasi jangka Panjang cenderung muncul pada:8

1. Penderita terserang palsy komplit, sehingga paralisis di sisi satu wajah.

14
2. Usia lebih dari 60 tahun

3. Mengalami nyeri parah saat pertama kali timbul gejala

4. Hipertensi

5. Diabetes

6. Kehamilan

7. Saraf facialis rusak berat

8. Tidak ada perbaikan setelah dua bulan terlewati

9. Tidakada tanda perbaikan setelah empat bulan

Sekitar 14% penderita mungkin terserang Bell’s palsy di kemudian hari pada

sisi wajah lain. Hal ini cenderung muncul apabila ada Riwayat Bell’s palsy pada

keluarga.8

15
BAB III

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS

Nama : Nn. A

Umur : 16 Tahun

Alamat : Batu Gantung

Pekerjaan : Pelajar SMA

Agama : Kristen

Tempat Pemeriksaan : Ruang Poli Neurologi

Waktu Pemeriksaan : 16-03-2020 10.50 WIT

No.RM : 13-89-50

B. ANAMESIS

16
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis (Pasien)

Keluhan Utama : Wajah sebelah kiri kaku serta tidak dapat di gerakkan.

Anamesis Terpimpin : Pasien datang di Poli Neurologi RSUD Haulussy dengan

keluhan wajah sebelah kiri tidak dapat di gerakkan, keluhan dirasakan sejak 20

desember 2020 hingga saat ini. awalnya pasien merasakan merasakan kebas

pada wajah pada saat bangun pagi. sebelumnya pasien mengaku melakukan

perjalanan di malam hari dengan mobil dan duduk di bagian sudut kiri mobil

dengan kaca terbuka. pasien juga mengeluhkan mulut miring ke kanan dan

adanya bengkak pada bagian telinga kiri dan terasa sangat nyeri dan

berlangsung selama seminggu. Mata pasien tidak dapat tertutup dengan

sempurna serta pasien juga mengeluh air mata sering keluar pada mata sebelah

kiri dan pasien juga mengeluh sulit minum air dikarenakan tiap kali ingin

minum pasien tidak dapat minum dengan sempurna. keluarga pasien tidak

pernah mengalami hal yang serupa dan hal ini baru pertama kali dialami oleh

pasien. pasien memiliki hobi lari pagi sekitar jam 5 pagi setiap seminggu sekali.

a. Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien tidak pernah menderita hal yang

serupa sebelumnya.

b. Riwayat Penyakit Keluarga : Orang tua pasien tidak memiliki riwayat

serupa

c. Riwayat Kebiasaan : Merokok (-), Alkohol (-).

17
d. Riwayat Pengobatan : Pasien mengonsumsi obat

Metilprednisolon, asam diklofenak,

Vitamin B1,B6,B12.

C. PEMERIKSAAN FISIK

1. Keadaan umum

a. Pemeriksaan Umum

 Kesan : Kesadaran menurun

 Kesadaran : GCS (V6M5E4) : 15, Compos mentis

b. Vital sign

 Tekanan darah : 120/80 mmHg

 Nadi : 80x/menit

 Respirasi : 21x/menit

 Suhu : 36.3°C

 SPO2 : 98%

 Gizi : Sulit dievaluasi (Kesan Obesitas)

2. Pemeriksaan Status Generalis

 Kepala : Normocephal, rambur berwarna hitam

 Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-

 Telinga : Otore -/-

 Hidung : Rinore -/-

 Mulut: Bibir Sianosis (-), Lidah Kotor (-)

18
 Leher : Simetris, Pembesaran kelenjar getah bening-/-

 Thorax :

a. Paru-paru

1. Inspeksi : Normochest, pengembangan dada simetris kiri =

kanan), retraksi (-)

2. Palpasi : Nyeri tekan (-), : Krepitasi (tidak ditemukan),

nyeri tekan (tidak ditemukan)

3. Perkusi : Sonor kedua lapang paru (+/+/+/+)

4. Auskultasi: Bunyi nafas versikuler, wh (-), rhonki (-/-)

 Abdomen :

1. Inspeksi: Perut tampak sedikit cembung, simetris, jaringan

parut (-)

2. Palpasi: NT sulit dievaluasi

3. Auskultasi : Peristaltik usus (+) 9x/menit (kesan normal)

4. Perkusi: Tymphani seluruh regio abdomen

 Kulit : Inspeksi : ruam (-), tidak terdapat bekas jaringan parut

 Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan

 Ekstremitas :

Ekstremitas Superior Inferior


Kanan Kiri Kanan Kiri
Pucat - - - -
Edema - - - -

19
Ikterik - - - -
Gerakan Terbatas Terbatas Terbatas Terbatas
Tonus otot Normotonus Normotonus Normotonus Normotonus
Sensibilitas SDE SDE SDE SDE
Atrofi otot eutrofi eutrofi eutrofi eutrofi
Akral dingin - - - -
Luka - - - -

 Kulit: Ruam (-), tak terdapat bekas jaringan parut

D. STATUS NEUROLOGIS

 Kesadaran : compos mentis

 Pemeriksaan fungsi luhur :

Emosi dan afek : kesan baik

Proses berpikir : kesan baik

Kecerdasan : kesan baik

MMSE : kesan baik

Penyerapan : kesan baik

Kemauan : kesan baik

Psikomotor : kesan baik

 Saraf Kranial :

1. N. II (Olfactorius) : Sulit dievaluasi

20
2. N. I (Optikus)

 Ketajaman penglihatan:Sulit dievaluasi / Sulit dievaluasi

 Lapang penglihatan : Sulit dievaluasi / Sulit dievaluasi

 Funduskopi : Sulit dievaluasi / Sulit dievaluasi

3. N. III (Occulomotorius), N. IV (Troklearis), N. VI (abducens)

OD OS
➢ Celah kelopak mata - -
➢ Ptosis - -
➢ Exoftalmus/endoftalmus - -
➢ Ptosis bola mata - -
➢ Pupil:

Anisokor
o Ukuran/bentuk
+/+ -/-

➢ o Gerakan
Isokor/anisokor
bola mata Sulit dievaluasi Sulit
➢ Parese kearah Sulit dievaluasi Sulit
dievaluasi
dievaluasi
21
➢ Nistagmus Sulit dievaluasi Sulit

dievaluasi
4. N. V (Trigeminus)

 Sensibilitas

1. N.V1 : Sulit dievaluasi

2. N.V2 : Sulit dievaluasi

3. N.V3 : Sulit dievaluasi

 Motorik N. V3

1. Inspeksi/palpasi (istirahat/mengigit) : Sulit dievaluasi

2. Refleks dagu/masseter : Sulit dievaluasi

3. Refleks kornea : Sulit dievaluasi

5. N. VII (Facialis)

Motorik M. Frontalis M. Orbikularis okuli M. orbikularis oris


Istirahat - - -
Gerak - - -

mimic
 Sensorik khusus :

1. Pengecapan 2/3 lidah bagian depan : sulit dievaluasi

2. Produksi kelenjar ludah : dalam batas normal

6. N. VIII (Vestibulokoklearis)

 Pendengaran

1. Tes Rinne : tidak dilakukan

22
2. Tes Weber : tidak dilakukan

3. Tes Swabach : tidak dilakukan

 Fungsi Vestibuler : tidak dilakukan

7. N. IX (Glosofaringeus) & N. X (Vagus)

 Posisi arcus pharings (istirahat/AAH) : tidak dilakukan

 Refleks telan/muntah : tidak dilakukan

 Pengecapan 1/3 belakang lidah : tidak dilakukan

 Suara : tidak dilakukan

 Takikardi/brakikardi : -/-

8. N. XI (Asesorius)

 Memalingkan kepala (dengan/tanpa hambatan): sulit dievaluasi

 Angkat bahu : tidak dilakukan

9. N. XII (Hipoglosus)

 Deviasi lidah : (-)

 Fasikulasi : (-)

 Atrofi : (-)

 Tremor : (-)

 Ataxia : (-)

E. TANDA RANGSANGAN MENINGEAL

 Kaku kuduk : (-)

23
 Kernig sign : (-)

 Brudinzki I : (-)

 Brudinzki II : (-)

F. PEMERIKSAAN MOTORIK

Superior Inferior
Motorik
Kanan Kiri Kanan Kiri
Trofi otot eutrofi eutrofi Eutrofi eutrofi
Pergerakan normal normal normal normal
Kekuatan +5 +5 +5 +5
Tonus otot normal normal Normal Normal
Otot terganggu - - - -

Refleks Patologik Kanan Kiri


Hoffman-Tromner - -
Babinski - -
Chadock - -
Gordon - -
Schaefer - -

24
Oppenheim - -

 Klonus

1. Lutut : -/-

2. Kaki : -/-

 Pergerakan abnormal yang spontan :-

G. SENSORIK

 Eksteroseptif

1. Nyeri : (+)

2. Suhu : (+)

3. Raba halus : (+)

 Proprioseptif

1. Rasa sikap : (+)

2. Nyeri dalam : (+)

H. GANGGUAN KOORDINASI DAN KESEIMBANGAN

 Tes jari hidung : tidak dilakukan

 Tes tumit : tidak dilakukan

25
 Tes Romberg : tidak dilakukan

 Tes supinasi-pronasi : tidak dilakukan

 Tes pegang jari : tidak dilakukan

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG

J. DIAGNOSIS KERJA

a. Diagnosis Klinis : Parese N. VII sinistra tipe perifer et causa Bells Palsy

b. Topis : nervus fasialis sinistra

c. Etiologi : idiopatik

d. Tambahan :-

e. Kesimpulan : parese pada nervus fasialis sinistra

K. DIAGNOSIS BANDING

1. Herpes simplex tipe 1

2. Herpes zoster

3. Stroke Iskemik

26
L. PENATALAKSANAAN

1 Metilprednisolon tab 4 mg/12 jam/PO

2 Natrium Diklofenac tab 25 mg/24 jam/PO

3 Vitamin B1, B6, B12 2x1tab/PO

BAB IV

DISKUSI

Bell’s palsy merupakan kelemahan atau kelumpuhan saraf fasialis perifer,

bersifat akut, dan penyebabnya belum diketahui secara pasti (idiopatik). Bell’s palsy

ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1812 oleh Sir Charles Bell, seorang

peneliti Scotlandia, yang mempelajari mengenai persarafan otot-otot wajah.

Insiden Bell's palsy adalah sekitar 11-40 kasus per seratus ribu orang. Ini dapat

terjadi pada usia berapa pun, tetapi insiden puncak biasanya telah dilaporkan sekitar

usia 30 hingga 45 tahun. Risiko seumur hidup bell's palsy yang dilaporkan adalah 1

dari 60 individu. Ini terjadi sama di kedua jenis kelamin, meskipun. Studi terbaru

tentang bell's palsy menunjukkan bahwa sebagian besar kasus kambuh dilaporkan

pada wanita antara usia 17 dan 30 tahun. Pada kasus pasien berusia 16 tahun datang

27
dengan keluhan lemah pada satu sisi wajah dan hal ini merupakan kali kedua keluhan

yang dirasakan dalam 5 bulan terakhir.

Gejala klinis utama adalah keluhan nyeri telinga ipsilateral dan paresthesia pada

sisi wajah. Hal ini bisa kongenital atau didapat. Pada pasien keluhan utama adalah

kelemahan pada satu sisi wajah. Awalnya pasien merasakan kebas pada satu sisi

wajah saat bangun pada pagi hari. Pasien juga mengeluhkan mulut mencong pada

satu sisi. Pasien juga mengatakan terdapat nyeri pada telinga sebelah kiri yang

dirasakan sejak satu minggu yang lalu. Pasien juga mengeluhkan air mata yang sering

keluar pada mata kiri serta tidak dapat minum secara sempurna.

Penyebab Bell’s palsy yang didapat oleh karena berbagai faktor risiko seperti

infeksi (sebagian besar disebabkan oleh virus herpes) atau media otitis, trauma (bedah

atau setelah cedera kepala), iskemia vaskular, neurologis (multiple sclerosis, sindrom

Guillain-Barré), penyakit autoimun, gangguan imunologis atau inlamasi dan beberapa

kali idiopathic Bell's palsy. Beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa migrain

sebagai faktor risiko terkait untuk bell's palsy. Beberapa keadaan juga seperti,

diabetes melitus dan beberapa gangguan psikologis juga merupakan komorbiditas

umum. Pada pasien berdasarkan hasil anamnesis tidak didapatkan informasi yang

bermakna terkait factor risiko pada pasien, sehingga dapat dipikirkan etiologic

penyebab pada pasien adalah idiopatic. Namun perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan

untuk mencari penyebab pasti dari keluhan pada pasien.

Asimetri wajah dan kelemahan dapat terjadi pada tipe perifer maupun sentral,

yang dapat dibedakan berdasarkan hasil anamnesis dan temuan klinis. Tidak ada

28
pemeriksaan pasti Bell’spalsy, oleh karena itu pemeriksaan klinis sangat penting

untuk menentukan tipe Bell’spalsy. Untuk mengevaluasi penyebab utama,

pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat dilakukan. Tes lain termasuk

pemeriksaan dan tes serologis serebrospinal. Pada Bell's palsy, penyebab kelemahan

wajah biasanya periferal dan dalam banyak kasus tidak ada penyebab yang jelas akan

ditemukan. Dalam kasus ini, penyebabnya adalah idiopatik, dan pasien menunjukkan

prognosis yang baik setelah kedua episode. Tipe Bell’s palsy pada pasien ada perifer

berdasarkan hasil anamnesis dan temuan fisik.

Tatalaksana utama yang direkomendasikan di sebagian besar negara, adalah

penggunaan steroid sedangkan di beberapa tempat antivirus juga digunakan dalam

kombinasi dengan steroid. Beberapa penelitian juga melaporkan bahwa penggunaan

terapi kombinasi lebih efektif dibandingkan dengan steroid saja. Dalam kasus,

dilakukan pemberian steroid berupa methylprednisolone.

Hampir 70% pasien memiliki prognosis yang baik jika diobati dalam onset

waktu kurang dari 72 jam. Namun, pada kasus yang tidak diobati dan 30% pasien

yang diobati dapat mengalami perburukan, berupa kelemahan pada sisi wajah,

gangguan pisological dan nyeri pada sau sisi wajah. Faktor-faktor yang berkaitan

dengan prognosis adalah usia tua, penyakit gabungan seperti hipertensi atau diabetes,

gangguan rasa sensoris, nyeri telinga dan kelemahan seluruh wajah. Sekitar 2/3 dari

pasien bell's palsy pulih sepenuhnya, sedangkan prognosis lebih rendah dalam kasus

kekambuhan dibandingkan dengan palsy Bell primer. Namun, ada banyak perbedaan

yang dilaporkan dalam prognosis dari bell's palsy berulang. Beberapa penelitian

29
mencatat bahwa dibandingkan dengan palsies yang tidak berulang, palsies berulang

unilateral menunjukkan prognosis yang buruk. Juga dilaporkan bahwa kemungkinan

kekambuhan berkitan dengan usia pasien; lebih muda pasien lebih tinggi

kemungkinan kambuh. Pada kasus, prognosis adalah dubia ad bonam, dimana

mengingat sebelumny pasien telah mengalami keluhan yang sama 5 bulan

sebelumnya namun mengalami kekambuhan kembali. Untuk penyakit lain yang

memperberat kondisi dan prognosis pada pasien tidak ditemukan.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Kartadinata dan Tjandra R, 2011, Rehabilitasi Medik Bell’s palsy, Siaran RRI,

Instalasi Rehabilitasi Medik RSUP Dr. Kariadi Semarang

2. Lowis H dan Gaharu MN, 2012. Bell’s palsy, Diagnosis dan Tata Laksana di

Pelayanan Primer, Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian

Berkelanjutan, Departemen Saraf Rumah Sakit Jakarta Medical Center

3. Sidharta P, 2010. Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi. Dian Rakyat.

4. Harsono, 2009. Kapita selekta neurologi; Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press.

5. Greco A, Gallo A, Fusconi M, Marinelli C, Macri GF, and de Vincentiis M.

2012. Bell’s palsy and autoimmunity. Autoimmun Rev. 12(2): 323–28.

31
6. Mutsch M, Zhou W, Rhodes P, et al, 2004. Use of the inactivated intranasal

influenza vaccine and the risk of Bell’s palsy in Switzerland. N Engl J Med.

350(9):896–903.

7. Seok Jl, Lee DK and Kim KJ, 2008. The usefulness of clinical findings in

localising lesions in Bell’s palsy: comparison with MRI. J Neurol Neurosurg

Psychiatry. 79(4):418- 420.

8. Adam OM. Bell’s palsy Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma. 2019

Januari;8(1):137-149

32

Anda mungkin juga menyukai