Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

KASUS BELL’S PALSY


STASE NEUROMUSCULAR
RS BALI MANDARA

A.A Sagung Dhriti Anggita Saraswati Arnaya

2002631032

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI FISIOTERAPI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bell’s palsy merupakan kelemahan atau kelumpuhan pada saraf facialis (N.VII)
perifer yang bersifat akut. Penyebab terjadinya bell’s palsy sampai saat ini belum
diketahui secara pasti atau idiopatik, meskipun saat ini bell’s palsy masih tergolong
penyakit idiopatik menurut beberapa penelitian menyebutkan bahwa kebanyakan
orang yang sudah pernah mengalami bell’s palsy sebelumnya kemungkinan akan
rentan kembali mengalami penyakit tersebut, dimana hal itu terjadi akibat adanya
paparan yang dapat memprovokasi kerusakan saraf facialis seperti terpapar udara
dingin dalam jangka waktu yang lama. Meskipun begitu belum ada penelitian lebih
lanjut yang membahas tentang pengaruh udara dingin terhadap terjadinya bell’s palsy
(Adam,2019)

Prevalensi Bell’s Palsy di beberapa negara cukup tinggi. Di dunia angka bell’s
palsy berkisar antara 23 kasus per 100.000 orang setiap tahunnya. Di Inggris dan
Amerika anka kasus bell’s palsy tercatat sebanyak 22,4%-22,8% penderita per
100.000 penduduk per tahunnya. Untuk di Indonesia kasus Bell’s Palsy yang tercatat
sampai tahun 2018 berdasarkan data yang dikumpulkan di 4 buah rumah sakit di
Indonesia diperoleh frekuensi kejadian bell’s palsy yaitu berkisar 19,55%, dimana
dari hasil survey tersebut diketahui kasus bell’s palsy di Indonesia didominasi oleh
pasien yang berusia 21-30 tahun (Bachrudin,2017)

Masalah yang ditimbulkan oleh Bell’s palsy cukup kompleks, mulai dari wajah
yang tidak simetris, yang mengakibatkan salah satu sisi wajahnya akan menjadi kaku
dan bahkan bisa menyebabkan terjadinya kontraktur. Akibat dari hal tersebut maka
penderitanya cenderung akan mengalami gangguan berupa keterbatasan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari seperti tidak dapat mengunyah makananan, kesulitan
untuk makan dan minum, menutup mata, serta gangguan berbicara dan ekspresi
wajah. Selain masalah fisik, bell’s palsy juga dapat mengakibatkan penderitanya
mengalami gangguan psikososial, seperti kesulitan untuk berkomunikasi, dan
hilangnya rasa percaya diri (Adam,2019). Untuk mengatasi masalah yang timbul
akibat bell’s palsy ini dapat diberikan penanganan dengan menggunakan farmakologi
dan juga penanganan non farmakologi seperti pemberian latihan facial mirror
exercise dan pemberian modalitas untuk membantu meningkatkan tonus otot yang
mengalami kelemahan akibat gangguan pada nervus facialisnya (Pourmomeny, 2014)

Oleh karena pentingnya pemahaman terkait bell’s palsy mulai dari definisi, tanda
dan gejala, faktor penyebab, serta penanganannya, maka didalam makalah ini akan
dibahas mengenai bell’s palsy mulai dari definisi hingga penanganannya sehingga
pembaca dapat lebih mengetahui lebih dalam tentang bell’s palsy dan pentingnya
penanganan yang sesegera mungkin pada kasus ini.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka rumusan masalah pada makalah
ini yaitu “apa itu bell’s palsy dan bagaimana cara penanganannya?”

1.3 Tujuan Makalah

Untuk memberikan gambaran umum mengenai bell’s palsy dan untuk mengetahui
penanganan fisioterapi yang tepat dalam menangani bell’s palsy

1.4 Manfaat Makalah

Untuk menambah wawasan serta pengetahuan masyarakat tentang kondisi bell’s


palsy serta penanganannya
BAB II

ISI

2.1 Definisi Bell’s Palsy

Bell’s palsy adalah kelumpuhan saraf fasialis perifer akibat proses non-
supuratif, non-neoplasmatik, non-degeneratif dan bisa juga akibat adanya edema di
bagian saraf facialis foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen
tersebut. Bell’s palsy ini umumnya terjadi secara unilateral di salah satu sisi wajah
penderitanya, umumnya gejala bell’s palsy akan muncul setelah 48 jam dan biasanya
gejalanya ini dapat hilang dengan sendirinya. Bell’s palsy pertama kali diperkenalkan
oleh ilmuan bernama Sir Charless Bell pada tahun 1821, pada saat itu Sir Charless
Bell adalah orang yang meneliti tentang penyebab wajah menjadi asimetris dan
struktur apa saja yang menyebabkan masalah tersebut. Sampai akhirnya saat ini bell’s
palsy dikenal sebagai penyakit kelumpuhan salah satu sisi wajah akibat terjadi
kerusakan pada N. VII tetapi penyebabnya masih belum diketahui (idiopatik)
(Thakur,2019).

2.2 Etiologi Bell’s Palsy

Penyebab terjadinya bell’s palsy sampai saat ini masih idiopatik, menurut
penelitian Bahrudin (2017) terdapat 4 teori penyebab terjadinya Bell’s palsy, yaitu
teori iskemik vaskuler, infeksi virus, heredeter, dan teori imunologi.

a. Teori iskemik vaskuler


Dalam teori ini menyebutkan bahwa kelumpuhan saraf facialis secara tidak
langsung dapat diakibatkan oleh karena gangguan regulasi sirkulasi darah di
kanalis facialis.
b. Teori infeksi virus
Dalam beberapa penelitian teori ini merupakan teori yang paling sering
digunakan sebagai landasan penyebab terjadinya bell’s palsy. Virus yang
dianggap paling banyak bertanggung jawab adalah virus Herpes Simplex
Virus (HSV), yang terjadi karena proses reaktivasi dari HSV (khususnya tipe
1).
c. Teori herediter
Dalam teori ini menjelaskan jika Bell’s palsy terjadi karena faktor keturunan
seperti penyempitan kanalis facialis, sehingga menyebabkan predisposisi
untuk terjadi paresis fasialis.
d. Teori imunologi
Dalam teori ini dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi imunologi
terhadap infeksi virus yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian
imunisasi.

2.3 Patofisiologi Bell’s Palsy

Patofisiologi Bell’s palsy masih diperdebatkan. Penyempitan canalis facialis


dapat menyebabkan kemungkinan terjadinya inflamasi, iskemik, dan demyelinasi
yang mengakibatkan gangguan dari konduksi saraf. Impuls motorik yang dihantarkan
oleh nervus fasialis juga bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuklear
dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di area wajah korteks motorik primer
atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan
daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer (Mardjono,2003). Terjepitnya
Nervus facialis di dalam foramen stilomastoideus akan menimbulkan kelumpuhan
fasialis LMN. Lesi pada LMN biasanya terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di
os petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang
tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens
dan fasikulus longitudinalis medialis akan menyebabkan paralisis fasialis LMN
disertai dengan kelumpuhan m. rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi.
Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul disertai dengan tuli perseptif
ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Selain
faktor penyempitan kanalis facialis, Berdasarkan beberapa penelitian menyebutkan
bahwa penyebab utama Bell’s palsy bisa diakibatkan oleh reaktivasi virus herpes
(HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus
herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang
herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga
menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN (Mardjono,2003).

2.4 Tanda dan Gejala Bell’s Palsy

Tanda dan gejala seseorang mengalami bell’s palsy biasanya kan muncul 48
jam setelah terjadi kerusakan pada N.Facialisnya, berikut merupakan tanda dan gejala
bell’s palsy: (Bahruddin,2017)

- Sulit untuk mengontrol gerak wajahnya


- Sulit mengontrol ketika ingin membuka dan menutup mulut
- Tidak dapat memejamkan salah satu sisi kelopak matanya
- Mulut tampak mencong
- Ketika diminta untuk menutup kelopak matanya maka bola matanya akan
memutar keatas (Bell Phenomen).
2.5 Diagnosis Bell’s Palsy

Penegakan diagnosis bell’s palsy dapat dilakukan berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisik, test spesifik dan pemeriksaan penunjang. Pada saat anamnesis
pasien umumnya akan mengeluhkan kesulitan untuk mengontrol gerak wajahnya dan
kesulitan ketika ingin membuka dan menutup mulutnya. Dari pemeriksaan fisik
biasanya akan diperoleh sisi wajah yang tidak simetris dan ketika diminta untuk
membuka matanya bola mata akan melihat ke atas (Bell Phenomen). Test spesifik
yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis Bell’s Palsy yaitu Ugo Fish test
yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan fungsional pasien dengan bell’s palsy,
dan pemeriksaan MMT wajah menggunakan Daniel and Worthingham test.
Interpretasi Ugo Fish test yaitu 0% untuk kekuatan otot 0 (zero,asimetris komplit,
tidak ada gerakan volunteer), 30% untuk kekuatan otot 1 (poor, kesembuhan kearah
asimetris), 70% untuk kekuatan otot 3 (fair, kesembuhan partial kearah simetris),
100% untuk kekuatan otot 5 (normal simetris komplit). Interpretasi Daniel and
Worthingham test yaitu diberikan nilai 0 apabila tidak ada kontraksi, diberikan nilai 1
apabila terdapat kontraksi minimal, nilai 3 apabila ada kontraksi tetapi dilakukan
secara susah payah, dan nilai 5 apabila kontraksi penuh dan terkontrol. (Ding,2018)
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis yaitu
elektromiografi.

2.6 Penatalaksanaan dan Penanganan Bell’s Palsy

Dalam menangani kasus bell’s palsy ini dapat dilakukan dengan terapi
farmakologi dan non-farmakologi seperti pemberian latihan-latihan.

a. Farmakologi
Untuk terapi farmakologi pemberian obat seperti prednisone yang dapat
diberikan pada pasien bell’s palsy dengan tujuan untuk membantu
memperbaiki saraf yang mengalami kerusakan yaitu N. Facialis yang
mengakibatkan terjadinya bell’s palsy. Untuk dosis yang disarankan yaitu 3
mg/ kg berat badan/hari dan jika sudah membaik maka dosis akan diturunkan
setelah 2 minggu pasca diagnosis bell’s palsy ditegakkan (Bahrudin,2017)
b. Non-farmakologi
Untuk terapi non farmakologis yang dapat diberikan untuk menangani kasus
bell’s palsy dengan tujuan untuk membantu memperbaiki kerusakan saraf
N.Facialis yang mengakibatkan kelemahan pada otot di salah satu sisi wajah.
Beberapa latihan dan modalitas yang dapat diberikan yaitu pemberian TENS
(trascutaneus electrical stimulation) dan facial mirror exercise. TENS
diberikan pada sisi wajah yang mengalami kelemahan, menggunakan
electrode bilateral dengan arus DC (direct current) dengan frekuensi 30 Hz,
Intensitas 80-120 mA dengan waktu 15-20 menit (Shrestha,2011). Facial
mirror exercise diberikan untuk membantu meningkatkan kekuatan otot wajah
dan melatih kontrol gerak wajah, untuk prosedurnya yaitu: (Robinson,2018)
- Pasien diminta untuk duduk di depan kaca kemudian fisioterapis akan
menginstruksikan pasien untuk melakukan gerakan otot wajah seperti
mengangkat dahi,menutup mata, tersenyum, dan gerakan seperti bibir
mencucu.
- Fisioterapis akan memfasilitasi setiap gerakan yang telah diinstruksikan
kemudian gerakan ini ditahan kurang lebih 2 detik dan relaks.
- Setelah pasien mampu melakukan gerakan yang diinstruksikan secara aktif
dan mandiri, maka fisioterapi akan melanjutkan dengan memberikan
pembebanan minimal pada tiap gerakannya dan nantinya pasien diminta untuk
melawan gerakan tersebut.
Setiap latihan ini dapat diberikan setiap hari dan setiap gerakannya ditahan
selama kurang lebih 2 detik dan kembali ke posisi semula, dapat diberikan 5-8
kali repetisi dengan 1-2 set, setiap sesi diberikan 15-30 menit dan dosisnya
ditingkatkan seiring berjalannya waktu sesuai dengan kondisi pasien
(Bharathi,2019)
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat dalam makalah ini yaitu, bell’s palsy
merupakan masalah neurologi yang mengakibatkan wajah menjadi asimetris
dan terjadi dikarenakan adanya kerusakan pada Nervus Facialis (N. VII).
Penyebab sesorang mengalami bell’s palsy belum dapat diketahui secara pasti
karena penyakit ini masih tergolong penyakit yang idiopatik. Terdapat
beberapa tanda dan gejala khas yang muncul pada kasus bell’s palsy ini, yaitu
wajah yang asimetris,kesulitan untuk kontrol mulut ketika akan makan dan
minum, serta bola mata akan mengarah keatas saat diminta untuk menutup
kelopak matanya (bell phenome). Untuk menegakkan diagnosisnya dapat
dilakukan beberapa pemeriksaan dan test spesifik serta dapat didukung
dengan adanya pemeriksaan penunjang seperti elektromiografi (EEG). Dalam
penanganannya bell’s palsy dapat ditangani dengan pemberian terapi
farmakologis dan non farmakologis seperti pemberian terapi modalitas dan
latihan seperti facial mirror exercise.
DAFTAR PUSTAKA
Adam OM, 2019. Bell’s Palsy. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma.
Vol.8 No.1(137-149)
Bahruddin. 2017. Bell’s Palsy. Jurnal Kedokteran Universitas Muhammadiah
Malang. Vol.1(21-26)
Pourmomeny, et.al. 2014. Facial Rehabilitation. Jpornal Of Physical
Treatment. Vol.4 No2(61-68)
Thakur, et.al. 2019. Outcome of Bell’s Palsy-An Institutional Study. Journal
Of Eastern Green Neurosurgery. Vol. 2 No.1
Mardjono M, Sidharta P, 2003, Patofisiologi nervus fasialis, Neurologi klinis
dasar; Jakarta: PT. Dian Rakyat: 161-162
Ding, et.al. 2018. Computer vision technology-based face mirroring system
providing mirror therapy for Bell’s palsy patients. Joournal of
Dissability and Rehabilitation
Shrestha, et.al. 2011. Efficiancy of Transcutaneus Electrical Stimulation
(TENS) in treatment of Bell’s Palsy. Nepal Journal Of
Neuroscience. Vol. 8(147-149)
Robinson, et.al. 2018. Facial Rehabilitation Evaluation and Treatment
Strategies for the Patient with Facial Palsy. Journal Of Facial
Rehabilitation

Anda mungkin juga menyukai