DASAR TEORI
1.1 Definisi
BeIls palsy adalah kelumpuhan atau paralisis wajah unilateral karena gangguan
nervus fasialis perifer yang bersifat akut dan unilateral dengan penyebab yang tidak
diketahui (idiopatik), tidak disertai oleh gangguan pendengaran, kelainan neurologi lainnya
atau kelainan lokal dan dengan perbaikan fungsi yang terjadi dalam 6 bulan (Marsk et al.,
2010).
Sir Charles Bell (1774-1842) dikutip dari Singhi dan Cawthorne adalah orang
pertama yang meneliti tentang sindroma kelumpuhan saraf fasialis dan sekaligus meneliti
tentang distribusi dan fungsi saraf fasialis. Oleh karena itu nama Bell diambil untuk diagnosis
setiap kelumpuhan saraf fasialis perifer yang tidak diketahui penyebabnya (Munilson J et al.,
2007).
1.2 Epidemiologi
Bells palsy merupakan penyebab paralisis fasialis yang paling sering ditemukan,
yaitu sekitar 75% dan seluruh paralisis fasialis. Insiden bervariasi di berbagai Negara di
seluruh dunia. Di Amerika Serikat, kejadian tahunan Bell palsy adalah sekitar 23 kasus per
100.000 orang. Sangat sedikit kasus yang diamati selama bulan-bulan musim panas.
Sebagian besar umumnya menunjukkan kejadian tahunan dari 15-30 kasus per 100.000
penduduk. Bell palsy diperkirakan sekitar 60-75% dari kasus kelumpuhan wajah akut
unilateral dan 23% dari kelumpuhan wajah bilateral. Hal ini juga dapat berulang, dengan
angka kekambuhan dilaporkan 4-14% (Kim YH et al., 2008).
Bell palsy lebih sering terjadi pada orang dewasa. Angka kejadian bells palsy lebih
tinggi pada pasien usia lebih dari 65 tahun (59 kasus per 100.000 orang), dibandingkan
dengan anak-anak usia kurang dari 13 tahun (13 kasus per 100.000 orang). Insiden
terendah ditemukan pada orang yang lebih muda dari 10 tahun, dan insiden tertinggi adalah
pada orang berusia 60 tahun atau lebih. Puncak usia antara 20 dan 40 tahun. Penyakit ini
juga terjadi pada orang tua berusia 70-80 tahun (Gordon SC, 2008).
1.3 Patofisiologi
Bells palsy diyakini disebabkan oleh inflamasi saraf fasialis pada ganglion
genikulatum, yang menyebabkan kompresi, iskemia dan demielinasi. Ganglion ini terletak
didalam kanalis fasialis pada persambungan labirin dan segmen timpani, dimana
lengkungan saraf secara tajam memasuki foramen stylomastoideus (Tiemstra et al., 2007).
Secara klinis, Bells palsy telah didefinisikan idiopatik, dan penyebab proses inflamasi masih
tidak jelas. Beberapa teori telah diduga sebagai penyebab dari Bells palsy, antara lain
iskemik vaskular, imunologi, infeksi dan herediter telah diduga menjadi penyebab (Berg
2009; Kanerva 2008).
Beberapa mekanisme termasuk iskemia primer atau inflamasi saraf fasialis,
menyebabkan edema dan penjepitan saraf fasialis selama perjalanannya didalam kanal
tulang temporal dan menghasilkan kompresi dan kerusakan langsung atau iskemia
sekunder terhadap saraf. Teori ini merupakan latar belakang untuk dekompresi bedah pada
pengobatan Bells palsy (Kanerva 2008). Suatu hipotesa imunologis telah diperkenalkan
oleh Mc. Govern et al., berdasarkan penelitian eksperimental pada hewan. Begitu juga
Hughes et al., menemukan transformasi limfosit pada pasien Bells palsy dan menduga
bahwa beberapa penyebab Bells palsy merupakan hasil dari cell mediated immunity
melawan antigen saraf perifer. Hasil ini mendukung penelitian selanjutnya dengan steroid
dan imunoterapi lainnya (Berg 2009).
Mekanisme lainnya adalah infeksi virus, yang secara langsung merusak fungsi saraf
melalui mekanisme inflamasi, yang kemungkinan terjadi pada seluruh perjalanan saraf dan
bukan oleh kompresi pada kanal tulang (Kanerva 2008). Suatu penelitian systematic review
berdasarkan Cochrane database, yang dilakukan terhadap beberapa penelitian randomized
yang berkualitas tinggi telah menyimpulkan bahwa antivirus tidak lebih efektif daripada
plasebo dalam menghasilkan penyembuhan lengkap pada pasien Bells palsy. Karena tidak
efektifnya antivirus dalam mengobati pasien Bells palsy sehingga perlu dipertimbangkan
adanya penyebab Bells palsy yang lain (Lockhart et al., 2010).
Adanya peran genetik juga telah dikemukakan sebagai penyebab Bells palsy,
terutama kasus Bells palsy yang rekuren ipsilateral atau kontralateral. Kebanyakan kasus
yang dijumpai adalah autosomal dominant inheritance (Garg et al., 2012). Sejumlah
penelitian telah berusaha rnemberikan temuan objektif tentang dasar genetik dari BeIIs
palsy, dan kebanyakan terpusat pada sistem Human leucocyte antigen (HLA), yang memiliki
hubungan objektif yang kuat dengan berbagai penyakit autoimun (Kubik et al., 2012).
Facial grading system merupakan suatu sistem skor yang digunakan untuk menilai
fungsi saraf fasialis. Sistem ini diperlukan dalam menentukan keparahan dari gangguan
fungsi wajah, mengikuti progresivitas paralisis fasialis, dan membandingkan hasil
pengobatan. Beberapa sistem grading telah diperkenalkan, yaitu House Brackmann (HB)
grading system, Sunnybrook scale, dan Yanagihara grading system (Kanerva 2008). Dari
ketiga sistem ini yang sering dan telah secara luas digunakan dalam penelitian, terutama di
Amerika Serikat dan Eropa adalah HB grading system. House Brackmann grading system
telah dipakai sebagai standar oleh American Academy of Otolaryngology-Head and Neck
Surgery dan telah digunakan. Sistem ini didasarkan pada 6 tingkat skor (I-Vl) yang
memberikan evaluasi dari fungsi motorik saraf fasialis dan juga evaluasi sekuele (Berg
2009).
Diagnosis bells palsy dapat ditegakkan melalui anamnesa dan pemeriksaan fisik.
anamnesis didapatkan keluhan khas pada pasien Bells palsy adalah kelemahan atau
paralisis komplit pada seluruh otot wajah sesisi wajah sehingga pasien merasa wajahnya
perot. Makanan dan air liur dapat terkumpul pada sisi yang mengalami gangguan pada
mulut dan dapat tumpah ke luar melalui sudut mulut. Sedangkan pada pemeriksaan fisik7 :
a.Lipatan wajah dan lipatan nasolabial menghilang, lipatan dahi juga menghilang sesisi,
dan sudut mulut jatuh/ mulut mencong ke sisi yang sehat.
b.Kelopak mata tidak dapat menutup sempurna, jika pasien diminta untuk menutup mata
maka mata akan berputar-putar ke atas (fenomena Bells).
c. Produksi airmata berkurang, iritasi pada mata karena berkurangnya lubrikasi dan
paparan langsung.
Untuk pemeriksaan penunjang berupa pencitraan (CT scan kepala maupun MRI
kepala ) dan elektrodiagnosis (ENMG) dilakukan hanya pada kasus-kasus dimana tidak
terjadi kesembuhan sempurna atau untuk mencari etiologi paresis N. Facialis.
Pemeriksaan ENMG diutamakan untuk menentukan prognosis. 8
Diagnosa banding pada bells palsy lebih banyak kearah lesi perifer beberapa
diantaranya adalah 9 :
a. Otitis media: disebabkan oleh bakteri pathogen, onset perlahan, nyeri pada
telinga, demam, dan gangguan pendengaran konduktif.
b. Sindroma Ramsay Hunt: disebabkan oleh virus Herpes Zoster, nyeri semakin
memberat, erupsi vesikuler pada kanalis telinga atau faring.
c. Penyakit Lyme: disebabkan oleh Spirocheta Borrelia burgdorferi, riwayat adanya
tanda bercak atau nyeri sendi, kontak di daerah endemik penyakit Lyme.
d. Polineuropati (GBS, sarkoidosis): disebabkan respon autoimun, kebanyakan
bilateral.
e. Tumor: onset perlahan.
Selain lesi perifer didapatkan beberapa diagnosa banding pada lesi sentral akan
tetapi jarang terjadi selama tidak ada defisit neurologis lain. Beberapa contoh lesi sentral
8
:
a. Multiple sklerosis: proses demielinisasi, ditemukan defisit neurologik lain.
b. Stroke: ditemukan defisit neurologik lain.
c. Tumor: metastase atau primer di otak, onset kronik progresif, perubahan status
mental, adanya riwayat keganasan.
1.6 Penatalkasanaan
1.7.1 Medikamentosa
a. Kortikosteroid
penggunaann kortikosteroid berdasarkan patofisiologi yang terjadi pada penyakit ini.
Penggunaan Prednison 1mg/kgBB/hari diturunkan bertahap dan berhenti selama 10 hari.
Pengobatan dengan kortikosteroid (kortison, prednison atau prednisolon) pada Bells
palsy diperkenalkan pertama sekali pada tahun 1950 dan telah secara luas digunakan
hingga saat ini. Kortikosteroid berperan dalam mengurangi inflamasi, degenerasi, dan
regenerasi yang salah dari saraf fasialis (Kanerva 2008). 10
Terdapat dua penelitian yang menggunakan prednisolon dalam pengobatan BeIIs
palsy. Penelitian pertama yang dilakukan oleh Engstrom et al., (2008) menggunakan
dosis prednisolon oral 60 mg/hari selama 5 hari, kemudian dosis diturunkan 10 mg setiap
harinya, dengan total waktu pengobatan 10 hari. Obat diberikan dalam 72 jam setelah
onset Bells palsy. Follow up dilakukan antara hari ke 11-17, dan pada 1,2,3,6,12 bulan
setelah randomisasi dengan menilai fungsi saraf fasialis menggunakan dua sistem
grading, yaitu House Brackmann (HB) grading system dan Sunnybrook scale. Dari hasil
penelitian diperoleh bahwa pasien yang mendapatkan prednisolon memiliki waktu yang
lebih pendek untuk sembuh sempuma dan outcome setelah 12 bulan yang lebih baik
(kejadian sinkinesia yang lebih sedikit) dibandingkan pasien yang tidak mendapat
prednisolon. Penelitian lainnya dilakukan oleh Sullivan et al., (2007) yang menggunakan
prednisolon dengan dosis 25 mg dua kali sehari selama 10 hari yang diberikan dalam 72
11
jam setelah onset. Penilaian fungsi saraf fasialis dengan menggunakan HB grading
system. Penelitian ini menunjukkan bahwa pasien yang diberikan prednisolon
memperoleh outcome yang lebih baik dengan kesembuhan sempurna sebesar 90 %
pada pasien yang diobati dengan prednisolon dan 75% pada pasien yang tidak
mendapatkan prednisolon11.
b. Antiviral
Untuk antiviral dapat digunakan Acyclovir atau obat jenis lainnya seperti
Valaciclovir, Famciclovir dan Sorivudine yang mempunyai bioavailabilitas yang lebih
baik dari Acyclovir. Dosis Acyclovir diberikan 400 mg 5 kali sehari selama 10 hari
atau Valaciclovir 500 mg 2 kali sehari selama 5 hari. Ditemukannya genom virus di
sekitar saraf ketujuh menyebabkan preparat antivirus digunakan dalam penanganan
Bells palsy. Namun, beberapa percobaan kecil menunjukkan bahwa penggunaan
12
asiklovir tunggal tidak lebih efektif dibandingkan kortikosteroid. Penelitian
retrospektif Hato et a, mengindikasikan bahwa hasil yang lebih baik didapatkan pada
pasien yang diterapi dengan asiklovir/ valasiklovir dan prednisolon dibandingkan
yang hanya diterapi dengan prednisolon. Axelsson et al, juga menemukan bahwa
11
terapi dengan valasiklovir dan prednison memiliki hasil yang lebih baik. De Almeida
et al21 menemukan bahwa kombinasi antivirus dan kortikosteroid berhubungan
dengan penurunan risiko batas signifikan yang lebih besar dibandingkan
kortikosteroid saja. Data-data ini mendukung kombinasi terapi antiviral dan steroid
pada 48-72 jam pertama setelah onset.4,13,21 Namun, hasil analisis Cochrane 2009
pada 1987 pasien dan Quant et al22 dengan 1145 pasien menunjukkan tidak adanya
keuntungan signifikan penggunaan antiviral dibandingkan plasebo dalam hal angka
penyembuhan inkomplit dan tidak adanya keuntungan yang lebih baik dengan
penggunaan kortikosteroid ditambah antivirus dibandingkan kortikosteroid saja. Studi
lebih lanjut diperlukan untuk menentukan keuntungan penggunaan terapisimpleks
tipe 1 dan Varicella zoster virus (VZV) merupakan dua virus yang dipercaya
bertanggung jawab pada kasus Bells palsy. 12
c.Metilkobalamin
Ini merupakan deformitas terbesar dari kelumpuhan saraf fasialis. Dapat terjadi akibat
penekanan saraf motorik yang mensarafi otot-otot ekspresi wajah. Regenerasi saraf yang
tidak maksimal dapat menyebabkan kelumpuhan semua atau beberapa otot wajah.
Manifestasi dari deformitas ini dapat berupa inkompetensi oral, epifora dan hidung
tersumbat18.
2. Regenerasi Aberrant
Selama regenerasi dan perbaikan saraf fasialis, ada beberapa serabut saraf yang
tidak menyambung pada jalurnya tapi menyambung dengan serabut saraf yang ada
didekatnya. Regenerasi aberrant ini dapat menyebabkan terjadinya gerakan involunter
yang mengikuti gerakan volunter (sinkinesis). 18 Komplikasi yang dapat terjadi iritasi dan
ulserasi kornea karena pasien Bells palsy mengalami kesulitan menutup salah satu
mata yang mengalami lesi, sehingga harus selalu diberi lubrikasi dengan airmata
artificial. Kelemahan permanen pada kelopak mata mungkin memerlukan tarsorhaphy.
Asimetri wajah dan kontraktur muskuler perlu dilakukan pembedahan kosmetik atau
pemberian injeksi toksin Botulinum. 19
DAFTAR PUSTAKA
Berg, T. 2009. Medical Treatment and Grading of Bells palsy. Acta Universitatis Upsalensis.
Digital Comprehensive Summaries of Uppsala Dissertations from the Faculty of
Medicine 460. 47 pp. Uppsala
Garg, K.N., Gupta, K., Singh, S., Chaudhary, S. 2012. Bells palsy: Aetiology, Classification,
Diffrential Diagnosis and Treatment Universitas Sumatera Utara Consideration: A
Review. Available from: www.journalofdentofacialsciences.com
Jacky Munilson, Yan Edward, Wahyu Triana. 2007. Diagnosis Dan Penatalaksanan Bells
Palsy. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas, RSUP. Dr.M. Djamil Padang
Kanerva, M. 2008. Peripheral Facial Palsy: Grading, Etiology, and Melkerson- Rosenthal
Syndrome. Otolaryngology-Head and Neck Surgery, In Press
Kim YH; Choi IJ; Kim HM; Ban JH; Cho CH; Ahn JH. Bilateral simultaneous facial nerve
palsy: clinical analysis in seven cases. Otol Neurotol. 2008; 29(3):397-400
Kubik, M., Robles, L., Kung, A. 2012. Familial Bells palsy: A Case Report and Literature
Review. Hindawi Publishing Corporation.
Lockhart,P., Daly,F., Pitkethly, M., Comerford, N., Sullivan, F. 2010. Antiviral treatment for
Bells palsy (idiopathic facial paralysis). Cochrane Database of Systematic reviews.
Marsk E,Hammarstedt L,Berg et al. Early Deterioration in Bells Palsy: Prognosis and Effect
of Prednisolone. Otology & Neurotology. 2010; 31: 1503-07
Tiemstra, D.J., Khatkhate, N. 2007. Bells palsy: Diagnosis and Management. American
Academy of Family Physicians.76:997- 1002
http://repository.unand.ac.id/17446/1/DIAGNOSIS_DAN_TATALAKSANA_BELLS_PALS
Y_.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39715/4/Chapter%20II.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39715/2/Reference.pdf