PENDAHULUAN
BELL’S PALSY
2.1. Definisi
2.3. Epidemiologi
Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralisis
fasial akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun
1986 dan insiden terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika
Serikat, insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang,
63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus
per 100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih
tinggi, dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita
dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur
10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur
yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering
terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2
minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi
daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.
2.4. Etiologi
Hingga saat ini Bell’s palsy masih belum diketahui penyebabnya.
Diperkirakan, penyebab Bell’s palsy adalah edema dan iskemia akibat
penekanan (kompresi) pada nervus fasialis. Penyebab edema dan iskemia ini
sampai saat ini masih diperdebatkan. Penyebab yang saat ini dipercaya sebagai
penyebab antara lain.(3-5)
1. Suhu. Dahulu, paparan suasana/suhu dingin (misalnya hawa dingin,
AC, atau menyetir mobil dengan jendela yang terbuka) dianggap sebagai satu-
satunya pemicu Bell’s palsy. Akan tetapi, sekarang mulai diyakini bahwa
terdapat penyebab lain yang dapat menyebabkan Bell’s palsy.(3-5)
2. Infeksi. HSV dianggap sebagai virus utama penyebab Bell’s palsy,
karena telah diidentifikasi HSV pada ganglion geniculata pada beberapa
penelitian otopsi. Murakami et all juga melakukan tes PCR (Polymerase Chain
Reaction) pada cairan endoneural N.VII penderita Bell’s palsy berat yang
menjalani pembedahan dan menemukan HSV dalam cairan endoneural. Virus
ini diperkirakan dapat berpindah secara axonal dari saraf sensorik dan
menempati sel ganglion, pada saat adanya stress, akan terjadi reaktivasi virus
yang akan menyebabkan kerusakan lokal pada myelin. Infeksi lain seperti
infeksi herpes zoster, Borrelia burgdorferi, syphilis, Epstein-Barr,
cytomegalovirus, human immunodeficiency virus (HIV), dan mycoplasma
juga dipercaya dapat menyebabkan Bell’s palsy.(3-5)
3. Autoimun. Dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi
imunologi terhadap infeksi virus yang timbul sebelumnya atau sebelum
pemberian imunisasi. Kelainan autoimun menyebabkan demyelinisasi dari
nervus fasialis dan menghasilkan paralisis nervus fasialis unilateral.(4)
4. Herediter. Riwayat keluarga pada Bell's palsy telah dilaporkan pada
sekitar 4% kasus. Kelainan genetik dalam kasus ini mungkin autosomal
dominan dengan tingkat penetrasi yang rendah. Namun, faktor-faktor
predisposisi terjadinya penurunan secara genetik belum jelas. Sejarah keluarga
mungkin juga positif bagi saraf lainnya, gangguan radix atau pleksus
(misalnya, trigeminal neuralgia) pada saudara kandung. Selain itu, ada laporan
tersendiri dari familial Bell's palsy yang disertai dengan defisit neurologis,
termasuk oftalmoplegia dan tremor esensial. Familial Bell's palsy merupakan
manifestasi Bell's palsy yang langka dan memiliki kecenderungan mengenai
perempuan remaja.(2
2.5. Patofisiologi
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses
inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar
foramen stilomastoideus. Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara unilateral.
Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya
proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter
nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui
tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui
kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada
pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik
tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan
gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis
bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear.
Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di
jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan
daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer.
Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi
dengan kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab
terjadinya Bell’s palsy. Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di
dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.
Pada lesi LMN biasa terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum
atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi
nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus
abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis
LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau
gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan
timbul bersamaan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa
mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian
bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1
dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus
herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada
radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat
sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.(1)
Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari
otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra
tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata
yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa
dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air
mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun. Gejala-gejala
pengiring seperti ageusia dan hiperakusis tidak ada karena bagian nervus
fasialis yang terjepit di foramen stilomastoideum sudah tidak mengandung lagi
serabut korda timpani dan serabut yang mensyarafi muskulus stapedius.
2.9. Penatalaksanaan
a. Agen antiviral.
Meskipun pada penelitian yang pernah dilakukan masih kurang
menunjukkan efektifitas obat-obat antivirus pada Bell’s palsy, hampir
semua ahli percaya pada etiologi virus. Penemuan genom virus disekitar
nervus fasialis memungkinkan digunakannya agen-agen antivirus pada
penatalaksanaan Bell’s palsy. Oleh karena itu, zat antiviral merupakan
pilihan yang logis sebagai penatalaksaan farmakologis dan sering
dianjurkan pemberiannya. Acyclovir 400 mg selama 10 hari dapat
digunakan dalam penatalaksanaan Bell’s palsy. Acyclovir akan berguna
jika diberikan pada 3 hari pertama dari onset penyakit untuk mencegah
replikasi virus.(5)
b. Kortikosteroid.
c. Perawatan mata.
Mata sering tidak terlindungi pada pasien-psien dengan Bell’s palsy.
Sehingga pada mata beresiko terjadinya kekeringan kornea dan
terpapar benda asing. Atasi dengan pemberian air mata pengganti,
lubrikan, dan pelindung mata.
Ø Air mata pengganti: digunakan selama pasien terbangun untuk
mengganti air mata yang kurang atau tidak ada.
Ø Lubrikan digunakan saat sedang tidur. Dapat juga digunakan saat
terbangun jika air mata pengganti tidak cukup melindungi mata.
Salah satu kerugiannya adalah pandangan kabur selama pasien
terbangun.
Ø Kaca mata atau pelindung yang dapat melindungi mata dari jejas
dan mengurangi kekeringan dengan menurunkan jumlah udara
yang mengalami kontak langsung dengan kornea.
d. Konsultasi.
Dokter yang menangani pasien ini harus melakukan pemeriksaan
lanjutan yang ketat. Dokumentasi yang dilakukan harus mencakup
kemajuan penyembuhan pasien. Berbagai pendapat muncul mengenai
perlunya rujukan ke dokter spesialis. Indikasi untuk merujuk adalah
sebagai berikut:
Ø Ahli neurologi: bila dijumpai tanda-tanda neurologik pada
pemeriksaan fisik dan tanda-tanda yang tidak khas dari Bell palsy,
maka segera dirujuk.
Ø Ahli penyakit mata: bila terjadi nyeri okuler yang tidak jelas atau
gambaran yang abnormal pada pemeriksaan fisik, pasien harus
dirujuk untuk pemeriksaan lanjutan.
Ø Ahli otolaryngologi: pada pasien-pasien dengan paralisis persisten,
kelemahan otot wajah yang lama, atau kelemahan yang rekuren,
sebaiknya dirujuk.
Ø Ahli bedah: pembedahan untuk membebaskan nervus facialis
kadang dianjurkan untuk pasien dengan Bell palsy. Pasien dengan
prognosis yang buruk setelah pemeriksaan nervus facialis atau
paralisis persisten cukup baik untuk dilakukan pembedahan.
e. Rehabilitasi medik
Rehabilitasi medik menurut WHO adalah semua tindakan yang
ditujukan guna mengurangi dampak cacat dan handicap serta
meningkatkan kemampuan penyandang cacat mencapai integritas
sosial.
1) Program Fisioterapi
• Stimulasi listrik
Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu menstimulasi
otot untuk mencegah/memperlambat terjadi atrofi sambil
menunggu proses regenerasi dan memperkuat otot yang masih
lemah. Misalnya dengan faradisasi yang tujuannya adalah
untuk menstimulasi otot, reedukasi dari aksi otot, melatih
fungsi otot baru, meningkatkan sirkulasi serta
mencegah/meregangkan perlengketan. Diberikan 2 minggu
setelah onset.
2) Program Terapi
Pada dasarnya terapi disini memberikan latihan gerak pada
otot wajah. Latihan diberikan dalam bentuk aktivitas sehari-hari
atau dalam bentuk permainan. Perlu diingat bahwa latihan secara
bertahap dan melihat kondisi penderita, jangan sampai melelahkan
penderita. Latihan dapat berupa latihan berkumur, latihan minum
dengan menggunakan sedotan, latihan meniup lilin, latihan
menutup mata dan mengerutkan dahi di depan cermin. (2,4,8)
3) Program Sosial Medik
Penderita Bell’s palsy sering merasa malu dan menarik diri
dari pergaulan sosial. Problem sosial biasanya berhubungan
dengan tempat kerja dan biaya. Petugas sosial medik dapat
membantu mengatasi dengan menghubungi tempat kerja, mungkin
untuk sementara waktu dapat bekerja pada bagian yang tidak
banyak berhubungan dengan umum. Untuk masalah biaya, dibantu
dengan mencarikan fasilitas kesehatan di tempat kerja atau melalui
keluarga. Selain itu memberikan penyuluhan bahwa kerja sama
penderita dengan petugas yang merawat sangat penting untuk
kesembuhan penderita. (2,4,8)
4) Program Psikologik
Untuk kasus-kasus tertentu dimana ada gangguan psikis
amat menonjol, rasa cemas sering menyertai penderita terutama
pada penderita muda, wanita atau penderita yang mempunyai
profesi yang mengharuskan ia sering tampil di depan umum, maka
bantuan seorang psikolog sangat diperlukan. (2,4,8)
5) Program Ortotik – Prostetik
Dapat dilakukan pemasangan “Y” plester dengan tujuan
agar sudut mulut yang sakit tidak jatuh. Dianjurkan agar plester
diganti tiap 8 jam. Perlu diperhatikan reaksi intoleransi kulit yang
sering terjadi. Pemasangan “Y” plester dilakukan jika dalam waktu
3 bulan belum ada perubahan pada penderita setelah menjalani
fisioterapi. Hal ini dilakukan untuk mencegah teregangnya otot
Zygomaticus selama parese dan mencegah terjadinya kontraktur.
(2,4,8)
f. Operatif
Indikasi terapi operatif yaitu:(2)
• Produksi air mata berkurang menjadi < 25%
• Aliran saliva berkurang menjadi < 25%
• Respon terhadap tes listrik antara sisi sehat dan sakit berbeda 2,5
mA.
Beberapa terapi bedah yang dapat dilakukan antara lain
dekompresi nervus Fasialis, Subocularis Oculi Fat Lift (SOOF),
Implantasi alat ke dalam kelopak mata, tarsorrhapy, transposisi otot
muskulus temporalis, facial nerve graftingdan direct brow lift.
Tiemstra JD and Khathare N dalam American Academy of
Neurology saat ini tidak merekomendasikan dekompresi bedah untuk
Bell’s palsy. Komplikasi yang paling umum dari pembedahan adalah
pasca operasi yaitu berkurangnya pendengaran yang mempengaruhi 3
sampai 15 persen pasien. Berdasarkan potensi yang signifikan untuk
kerugian dan kurangnya manfaat data pendukung, American Academy
of Neurology saat ini tidak merekomendasikan dekompresi bedah
untuk Bell’s palsy. (2,4,8)
McAllister K pada penelitian juga menyimpulkan demikian
bahwa ada bukti kualitas yang sangat rendah dan ini tidak cukup untuk
memutuskan apakah operasi akan bermanfaat atau merugikan pada
pengelolaan palsy Bell. Penelitian ini tidak secara statistik
membandingkan kelompok tetapi nilai dan ukuran kelompok
menyarankan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan secara
statistik. Studi kedua melaporkan tidak ada perbedaan statistik yang
signifikan antara kelompok mereka dioperasikan dan kontrol. Satu
pasien yang dioperasikan dalam studi pertama memiliki 20 dB
kehilangan pendengaran sensorineural dan vertigo yang persisten.
Penelitian lebih lanjut ke dalam peran operasi tidak mungkin dilakukan
karena pemulihan spontan terjadi dalam banyak kasus.(2,4,8)
2.10. Komplikasi
2.11. Prognosis
1. Monnel, K., Zachariah, S., Khoromi, S. 2009. Bell’s Palsy. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/1146903. Accessed february 15, 2012.
2. Holland, J. Bell’s Palsy. Brithis Medical Journal. 2008;01;1204.
3. Ropper AH, Brown RH. Bell’s Palsy Disease Of The Cranial Nerve. Adams
and Victor’s Principles of Neurology, 8th ed. New York : McGraw Hill, 2005.
1181-1184.
4. Mardjono, M. Sidharta, P. Nervus Fasialis dan Patologinya. Neurologi Klinis
Dasar, 5th ed. Jakarta : PT Dian Rakyat, 2005. 159-163.
5. Sjahrir, Hasan. Nervus Fasialis. Medan ;Yandira Agung, 2003.
6. Rohkamm, Reinhard. Facial Nerve Lesions. Color Atlas of Neurology 2nd ed.
George Thieme Verlag: German, 2003. 98-99.
7. Peneda et al. 2018. Peripheral Facial Palsu in Emergency Departement. Irian
Journal of Otorhinolaryngology, vol.30(3), serial No.98.
8. Somasundara et al. 2017. Management of Bell’s Palsy.
9. Munilson et al. Diagnosis dan penatalaksanaan Bell’s Palsy. Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas.
10. Yoo HW, et al. 2018. Comparison of conservative therapy and steroid therapy
for Bell’s palsy in children. Korean J Pediatr;6(10);332-337.