Anda di halaman 1dari 22

BAB

PENDAHULUAN

Bell’s palsy merupakan salah satu gangguan neurologik yang paling


sering mempengaruhi nervus cranialis. Gangguan ini berupa paresis atau
paralisis fasial perifer yang terjadi tiba-tiba, bersifat unilateral tanpa
penyebab yang jelas. Sindroma paralisis fasial idiopatik ini pertama kali
dijelaskan lebih dari satu abad yang lalu oleh Sir Charles Bell, meskipun
masih banyak kontroversi mengenai etiologi dan penatalaksanaannya,
Bell’s palsy merupakan penyebab paralisis fasial yang paling sering di
dunia.

Tujuan penatalaksanaan Bell’s palsy adalah untuk mempercepat


penyembuhan, mencegah kelumpuhan parsial menjadi kelumpuhan
komplit, meningkatkan angka penyembuhan komplit, menurunkan
insiden sinkinesis dan kontraktur serta mencegah kelainan pada mata.
Pengobatan seharusnya dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah
pengaruh psikologi pasien terhadap kelumpuhan saraf ini. Berbeda hal
nya dari orang dewasa, penyebab Bell’s Palsy pada anak masih belum
banyak terdata. Beberapa penelitian yang telah meneliti insiden, etiology,
penatalakansanaan, waktu penyembuhan dan prognosis kejadian Bell’s
Palsy pada anak saat ini masih kurang.

Pada sebagian besar penderita Bell’s Palsy kelumpuhannya dapat


menyembuh, namun pada beberapa diantara mereka kelumpuhannya
sembuh dengan meninggalkan gejala sisa. Gejala sisa ini berupa
kontraktur, dan spasme spontan. Permasalahan yang ditimbulkan Bell’s
Palsy diantaranya masalah fungsional, kosmetika dan psikologis sehingga
dapat merugikan tugas profesi penderita, permasalahan kapasitas fisik
berupa asimetris wajah, rasa kaku dan tebal pada wajah sisi lesi,
penurunan kekuatan otot wajah pada sisi lesi, potensial terjadi
kontraktur dan perlengketan jaringan, potensial terjadi iritasi pada mata
sisi lesi. Sedangkan permasahan fungsional berupa gangguan fungsi yang
melibatkan otot-otot wajah, seperti makan dan minum, berkumur,
gangguan menutup mata, gangguan bicara dan gangguan ekspresi wajah.
BAB II

BELL’S PALSY

2.1. Definisi

Bell’s palsy (BP) atau Idiopathic Facial Paralysis (IFP) adalah


kelumpuhan nervus fasialis perifer (N.VII), terjadi secara akut,
penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) dan tidak menyertai penyakit
lain yang dapat mengakibatkan lesi nervus fasialis atau kelumpuhan
fasialis perifer. Sir Charles Bell (1821), seorang dokter bedah yang
berasal dari Skotlandia adalah orang yang pertama meneliti beberapa
penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan nervus
fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut Bell's palsy.
Kelumpuhan ini adalah salah satu gangguan neurologis yang paling
umum dari saraf kranial.

2.2. Struktur anatomi

Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :


a. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m.
levator palpebrae (N.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian
posterior dan stapedius di telinga tengah
b. Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus
salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa
faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula
submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.
c. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di
dua pertiga bagian depan lidah.
d. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan
rasa raba dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh
nervus trigeminus.

Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi


seluruh otot mimik wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus
intermedius Wrisberg yang mengantarkan rasa pengecapan dari 2/3 bagian
anterior lidah dan sensasi kulit dari dinding anterior kanalis auditorius
eksterna. Serabut-serabut rasa pengecapan pertama-tama melintasi nervus
lingual, yaitu cabang dari nervus mandibularis lalu masuk ke korda timpani
dimana ia membawa sensasi pengecapan melalui nervus fasialis ke nukleus
traktus solitarius. Serabut-serabut sekretomotor menginervasi kelenjar
lakrimal melalui nervus petrosus superfisial major dan kelenjar sublingual
serta kelenjar submaksilar melalui korda timpani.
Nukleus (inti) motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus
abdusens, dan serabut nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari dan
melewati bagian ventrolateral nukleus abdusens sebelum keluar dari pons di
bagian lateral traktus kortikospinal. Karena posisinya yang berdekatan
(jukstaposisi) pada dasar ventrikel IV, maka nervus VI dan VII dapat terkena
bersama-sama oleh lesi vaskuler atau lesi infiltratif. Nervus fasialis masuk ke
meatus akustikus internus bersama dengan nervus akustikus lalu membelok
tajam ke depan dan ke bawah di dekat batas anterior vestibulum telinga dalam.
Pada sudut ini (genu) terletak ganglion sensoris yang disebut genikulatum
karena sangat dekat dengan genu.
Nervus fasialis berjalan melalui kanalis fasialis tepat di bawah ganglion
genikulatum untuk memberikan percabangan ke ganglion pterygopalatina,
yaitu nervus petrosus superfisial major, dan di sebelah yang lebih distal
memberi persarafan ke m. stapedius yang dihubungkan oleh korda timpani.
Lalu nervus fasialis keluar dari kranium melalui foramen stylomastoideus
kemudian melintasi kelenjar parotis dan terbagi menjadi lima cabang yang
melayani otot-otot wajah, m. stilomastoideus, platisma dan m. digastrikus
venter posterior.

2.3. Epidemiologi
Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralisis
fasial akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun
1986 dan insiden terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika
Serikat, insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang,
63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus
per 100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih
tinggi, dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita
dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur
10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur
yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering
terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2
minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi
daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.

2.4. Etiologi
Hingga saat ini Bell’s palsy masih belum diketahui penyebabnya.
Diperkirakan, penyebab Bell’s palsy adalah edema dan iskemia akibat
penekanan (kompresi) pada nervus fasialis. Penyebab edema dan iskemia ini
sampai saat ini masih diperdebatkan. Penyebab yang saat ini dipercaya sebagai
penyebab antara lain.(3-5)
1. Suhu. Dahulu, paparan suasana/suhu dingin (misalnya hawa dingin,
AC, atau menyetir mobil dengan jendela yang terbuka) dianggap sebagai satu-
satunya pemicu Bell’s palsy. Akan tetapi, sekarang mulai diyakini bahwa
terdapat penyebab lain yang dapat menyebabkan Bell’s palsy.(3-5)
2. Infeksi. HSV dianggap sebagai virus utama penyebab Bell’s palsy,
karena telah diidentifikasi HSV pada ganglion geniculata pada beberapa
penelitian otopsi. Murakami et all juga melakukan tes PCR (Polymerase Chain
Reaction) pada cairan endoneural N.VII penderita Bell’s palsy berat yang
menjalani pembedahan dan menemukan HSV dalam cairan endoneural. Virus
ini diperkirakan dapat berpindah secara axonal dari saraf sensorik dan
menempati sel ganglion, pada saat adanya stress, akan terjadi reaktivasi virus
yang akan menyebabkan kerusakan lokal pada myelin. Infeksi lain seperti
infeksi herpes zoster, Borrelia burgdorferi, syphilis, Epstein-Barr,
cytomegalovirus, human immunodeficiency virus (HIV), dan mycoplasma
juga dipercaya dapat menyebabkan Bell’s palsy.(3-5)
3. Autoimun. Dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi
imunologi terhadap infeksi virus yang timbul sebelumnya atau sebelum
pemberian imunisasi. Kelainan autoimun menyebabkan demyelinisasi dari
nervus fasialis dan menghasilkan paralisis nervus fasialis unilateral.(4)
4. Herediter. Riwayat keluarga pada Bell's palsy telah dilaporkan pada
sekitar 4% kasus. Kelainan genetik dalam kasus ini mungkin autosomal
dominan dengan tingkat penetrasi yang rendah. Namun, faktor-faktor
predisposisi terjadinya penurunan secara genetik belum jelas. Sejarah keluarga
mungkin juga positif bagi saraf lainnya, gangguan radix atau pleksus
(misalnya, trigeminal neuralgia) pada saudara kandung. Selain itu, ada laporan
tersendiri dari familial Bell's palsy yang disertai dengan defisit neurologis,
termasuk oftalmoplegia dan tremor esensial. Familial Bell's palsy merupakan
manifestasi Bell's palsy yang langka dan memiliki kecenderungan mengenai
perempuan remaja.(2

2.5. Patofisiologi
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses
inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar
foramen stilomastoideus. Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara unilateral.
Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya
proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter
nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui
tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui
kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada
pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik
tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan
gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis
bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear.
Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di
jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan
daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer.
Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi
dengan kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab
terjadinya Bell’s palsy. Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di
dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.
Pada lesi LMN biasa terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum
atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi
nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus
abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis
LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau
gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan
timbul bersamaan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa
mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian
bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1
dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus
herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada
radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat
sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.(1)

Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari
otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra
tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata
yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa
dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air
mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun. Gejala-gejala
pengiring seperti ageusia dan hiperakusis tidak ada karena bagian nervus
fasialis yang terjepit di foramen stilomastoideum sudah tidak mengandung lagi
serabut korda timpani dan serabut yang mensyarafi muskulus stapedius.

2.6. Gejala Klinis


Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat
didiagnosa dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat
bergerak. Lipatan-lipatan di dahi akan menghilang dan Nampak seluruh muka
sisi yang sakit akan mencong tertarik ke arah sisi yang sehat. Gejala
kelumpuhan perifer ini tergantung dari lokalisasi kerusakan.(3)
a. Kerusakan setinggi foramen stilomastoideus.
Gejala : kelumpuhan otot-otot wajah pada sebelah lesi.
Ø Sudut mulut sisi lesi jatuh dan tidak dapat diangkat
Ø Makanan berkumpul diantara pipi dan gusi pada sebelah lesi
Ø Tidak dapat menutup mata dan mengerutkan kening pada sisi
lesi
Kelumpuhan ini adalah berupa tipe flaksid, LMN. Pengecapan dan sekresi
air liur masih baik.

b. Lesi setinggi diantara khorda tympani dengan n.stapedeus (didalam kanalis


fasialis).
Gejala: seperti (a) ditambah dengan gangguan pengecapan 2/3 depan lidah
dan gangguan salivasi.
c. Lesi setinggi diantara n.stapedeus dengan ganglion genikulatum.
Gejala: seperti (b) ditambah dengan gangguan pendengaran yaitu
hiperakusis.
d. Lesi setinggi ganglion genikulatum.
Gejala: seperti (c) ditambah dengan gangguan sekresi kelenjar hidung dan
gangguan kelenjar air mata (lakrimasi).
e. Lesi di porus akustikus internus.
Gangguan: seperti (d) ditambah dengan gangguan pada N.VIII.

Yang paling sering ditemui ialah kerusakan pada tempat setinggi


foramen stilomastoideus dan pada setinggi ganglion genikulatum. Adapun
penyebab yang sering pada kerusakan setinggi genikulatum adalah : Herpes
Zoster, otitis media perforata dan mastoiditis.

2.7. Penegakan Diagnosis


Diagnosis Bell’s palsy dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis
dan pemeriksaan fisis. Pada pemeriksaan nervus kranialis akan didapatkan
adanya parese dari nervus fasialis yang menyebabkan bibir mencong, tidak
dapat memejamkan mata dan adanya rasa nyeri pada telinga. Hiperakusis dan
augesia juga dapat ditemukan. Harus dibedakan antara lesi UMN dan LMN.
Pada Bell’s palsy lesinya bersifat LMN.(4)
a. Anamnesis.
Hampir semua pasien yang dibawa ke ruang gawat darurat merasa
bahwa mereka menderita stroke atau tumor intrakranial. Hampir semua
keluhan yang disampaikan adalah kelemahan pada salah satu sisi
wajah.
Ø Nyeri postauricular: Hampir 50% pasien menderita nyeri di regio
mastoid. Nyeri sering muncul secara simultan disertai dengan
paresis, tetapi paresis muncul dalam 2-3 hari pada sekitar 25%
pasien.
Ø Aliran air mata: Dua pertiga pasien mengeluh mengenai aliran air
mata mereka. Ini disebabkan akibat penurunan fungsi orbicularis
oculi dalam mengalirkan air mata. Hanya sedikit air mata yang
dapat mengalir hingga saccus lacrimalis dan terjadi kelebihan
cairan. Produksi air mata tidak dipercepat.
Ø Perubahan rasa: Hanya sepertiga pasien mengeluh tentang
gangguan rasa, empat per lima pasien menunjukkan penurunan
rasa. Hal ini terjadi akibat hanya setengah bagian lidah yang
terlibat.
Ø Mata kering.
Ø Hyperacusis: kerusakan toleransi pada tingkatan tertentu pada
telinga akibat peningkatan iritabilitas mekanisme neuron sensoris.
b. Pemeriksaan fisik.
Gambaran paralisis wajah mudah dikenali pada pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan yang lengkap dan tepat dapat menyingkirkan
kemungkinan penyebab lain paralisis wajah. Pikirkan etiologi lain jika
semua cabang nervus facialis tidak mengalami gangguan.
Ø Definisi klasik Bell palsy menjelaskan tentang keterlibatan
mononeuron dari nervus facialis, meskipun nervus cranialis lain
juga dapat terlibat. Nervus facialis merupakan satu-satunya nervus
cranialis yang menunjukkan gambaran gangguan pada
pemeriksaan fisik karena perjalanan anatomisnya dari otak ke
wajah bagian lateral.
Ø Kelamahan dan/atau paralisis akibat gangguan pada nervus facialis
tampak sebagai kelemahan seluruh wajah (bagian atas dan bawah)
pada sisi yang diserang. Perhatikan gerakan volunter bagian atas
wajah pada sisi yang diserang.
Ø Pada lesi supranuklear seperti stroke kortikal (neuron motorik atas;
di atas nucleus facialis di pons), dimana sepertiga atas wajah
mengalami kelemahan dan dua per tiga bagian bawahnya
mengalami paralisis. Musculus orbicularis, frontalis dan
corrugator diinervasi secara bilateral, sehingga dapat dimengerti
mengenai pola paralisis wajah.
Ø Lakukan pemeriksaan nervus cranialis lain: hasil pemeriksaan
biasanya normal.
Ø Membran timpani tidak boleh mengalami inflamasi; infeksi yang
tampak meningkatkan kemungkinan adanya otitis media yang
mengalami komplikasi.
c. Pemeriksaan laboratorium.
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan
diagnosis Bell’s palsy. Namun pemeriksaan kadar gula darah atau
HbA1c dapat dipertimbangkan untuk mengetahui apakah pasien
tersebut menderita diabetes atau tidak. Pemeriksaan kadar serum HSV
juga bisa dilakukan namun ini biasanya tidak dapat menentukan dari
mana virus tersebut berasal.
d. Pemeriksaan radiologi.
Bila dari anamneses dan pemeriksaan fisik telah mengarahkan ke
diagnose Bell’s palsy maka pemeriksaan radiologi tidak diperlukan
lagi, karena pasien-pasien dengan Bell’s palsy umumnya akan
mengalami perbaikan dalam 8-10 minggu. Bila tidak ada perbaikan
ataupun mengalami perburukan, pencitraan mungkin akan membantu.
MRI mungkin dapat menunjukkan adanya tumor (misalnya
Schwannoma, hemangioma, meningioma). Bila pasien memiliki
riwayat trauma maka pemeriksaan CT-Scan harus dilakukan.

2.8. Diagnosa Banding


Kondisi lain yang dapat menyebabkan kelumpuhan nervus fasialis
diantaranya tumor, infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay
Hunt syndrom), penyakit Lyme, AIDS, infeksi Tuberculosa pada mastoid
ataupun telinga tengah, Guillen Barre syndrome.

2.9. Penatalaksanaan
a. Agen antiviral.
Meskipun pada penelitian yang pernah dilakukan masih kurang
menunjukkan efektifitas obat-obat antivirus pada Bell’s palsy, hampir
semua ahli percaya pada etiologi virus. Penemuan genom virus disekitar
nervus fasialis memungkinkan digunakannya agen-agen antivirus pada
penatalaksanaan Bell’s palsy. Oleh karena itu, zat antiviral merupakan
pilihan yang logis sebagai penatalaksaan farmakologis dan sering
dianjurkan pemberiannya. Acyclovir 400 mg selama 10 hari dapat
digunakan dalam penatalaksanaan Bell’s palsy. Acyclovir akan berguna
jika diberikan pada 3 hari pertama dari onset penyakit untuk mencegah
replikasi virus.(5)

Nama obat Acyclovir (Zovirax) – menunjukkan aktivitas hambatan


langsung melawan HSV-1 dan HSV-2, dan sel yang
terinfeksi secara selektif.
Dosis dewasa 4000 mg/24 jam peroral selama 7-10 hari.
Dosis pediatrik < 2 tahun : tidak dianjurkan.
> 2 tahun : 1000 mg peroral dibagi 4 dosis selama 10 hari.
Kontraindikasi Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas.
Interaksi obat Penggunaan bersama dengan probenecid atau zidovudine
dapat memperpanjang waktu paruh dan meningkatkan
toksisitas acyclovir terhadap SSP.
Kehamilan C – keamanan penggunaan selama kehamilan belum
pernah dilaporkan.
Perhatian Hati-hati pada gagal ginjal atau bila menggunakan obat
yang bersifat nefrotoksik.

b. Kortikosteroid.

Pengobatan Bell’s palsy dengan menggunakan steroid masih merpakan


suatu kontroversi. Berbagai artikel penelitian telah diterbitkan
mengenai keuntungan dan kerugian pemberian steroid pada Bell’s
palsy. Para peneliti lebih cenderung memilih menggunakan steroid
untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Bila telah diputuskan untuk
menggunakan steroid, maka harus segera dilakukan konsensus.
Prednison dengan dosis 40-60 mg/ hari per oral atau 1 mg/ kgBB/
hari selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari
kemudian, dimana pemberiannya dimulai pada hari kelima setelah
onset penyakit, gunanya untuk meningkatkan peluang kesembuhan
pasien.
Nama obat Prednisone (Deltasone, Orasone, Sterapred) – efek
farmakologis yang berguna adalah efek
antiinflamasinya, yang menurunkan kompresi
nervus facialis di canalis facialis.
Dosis dewasa 1 mg/kg/hari peroral selama 7 hari.
Dosis Pemberian sama dengan dosis dewasa.
pediatrik
Kontraindikasi Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas;
infeksi virus, jamur, jaringan konektif, dan infeksi
kulit tuberkuler; penyakit tukak lambung;
disfungsi hepatik; penyakit gastrointestinal.
Interaksi obat Pemberian bersamaan dengan estrogen dapat
menurunkan klirens prednisone; penggunaan
dengan digoksin dapat menyebabkan toksisitas
digitalis akibat hipokalemia; fenobarbital, fenitoin,
dan rifampin dapat meningkatkan metabolisme
glukokortikoid (tingkatkan dosis pemeliharaan);
monitor hipokalemia bila pemberian bersama
dengan obat diuretik.
Kehamilan B – biasanya aman tetapi keuntungan obat ini
dapat memperberat resiko.
Perhatian Penghentian pemberian glukokortikoid secara
tiba-tiba dapat menyebabkan krisis adrenal;
hiperglikemia, edema, osteonekrosis, miopati,
penyakit tukak lambung, hipokalemia,
osteoporosis, euforia, psikosis, myasthenia gravis,
penurunan pertumbuhan, dan infeksi dapat
muncul dengan penggunaan bersama
glukokortikoid.

c. Perawatan mata.
Mata sering tidak terlindungi pada pasien-psien dengan Bell’s palsy.
Sehingga pada mata beresiko terjadinya kekeringan kornea dan
terpapar benda asing. Atasi dengan pemberian air mata pengganti,
lubrikan, dan pelindung mata.
Ø Air mata pengganti: digunakan selama pasien terbangun untuk
mengganti air mata yang kurang atau tidak ada.
Ø Lubrikan digunakan saat sedang tidur. Dapat juga digunakan saat
terbangun jika air mata pengganti tidak cukup melindungi mata.
Salah satu kerugiannya adalah pandangan kabur selama pasien
terbangun.
Ø Kaca mata atau pelindung yang dapat melindungi mata dari jejas
dan mengurangi kekeringan dengan menurunkan jumlah udara
yang mengalami kontak langsung dengan kornea.
d. Konsultasi.
Dokter yang menangani pasien ini harus melakukan pemeriksaan
lanjutan yang ketat. Dokumentasi yang dilakukan harus mencakup
kemajuan penyembuhan pasien. Berbagai pendapat muncul mengenai
perlunya rujukan ke dokter spesialis. Indikasi untuk merujuk adalah
sebagai berikut:
Ø Ahli neurologi: bila dijumpai tanda-tanda neurologik pada
pemeriksaan fisik dan tanda-tanda yang tidak khas dari Bell palsy,
maka segera dirujuk.
Ø Ahli penyakit mata: bila terjadi nyeri okuler yang tidak jelas atau
gambaran yang abnormal pada pemeriksaan fisik, pasien harus
dirujuk untuk pemeriksaan lanjutan.
Ø Ahli otolaryngologi: pada pasien-pasien dengan paralisis persisten,
kelemahan otot wajah yang lama, atau kelemahan yang rekuren,
sebaiknya dirujuk.
Ø Ahli bedah: pembedahan untuk membebaskan nervus facialis
kadang dianjurkan untuk pasien dengan Bell palsy. Pasien dengan
prognosis yang buruk setelah pemeriksaan nervus facialis atau
paralisis persisten cukup baik untuk dilakukan pembedahan.

e. Rehabilitasi medik
Rehabilitasi medik menurut WHO adalah semua tindakan yang
ditujukan guna mengurangi dampak cacat dan handicap serta
meningkatkan kemampuan penyandang cacat mencapai integritas
sosial.

Tujuan rehabilitasi medik adalah :


• Meniadakan keadaan cacat bila mungkin
• Mengurangi keadaan cacat sebanyak mungkin
• Melatih orang dengan sisa keadaan cacat badan untuk dapat hidup
dan bekerja dengan apa yang tertinggal.
Untuk mencapai keberhasilan dalam tujuan rehabilitasi yang
efektif dan efisien maka diperlukan tim rehabilitasi medik yang terdiri
dari dokter, fisioterapis, okupasi terapis, ortotis prostetis, ahli wicara,
psikolog, petugas sosial medik dan perawat rehabilitasi medik.
Sesuai dengan konsep rehabilitasi medik yaitu usaha gabungan
terpadu dari segi medik, sosial dan kekaryaan, maka tujuan rehabilitasi
medik pada Bell’s palsy adalah untuk mengurangi/mencegah paresis
menjadi bertambah dan membantu mengatasi problem sosial serta
psikologinya agar penderita tetap dapat melaksanakan aktivitas
kegiatan sehari-hari. Program-program yang diberikan adalah program
fisioterapi, okupasi terapi, sosial medik, psikologi dan ortotik prostetik,
sedang program perawat rehabilitasi dan terapi wicara tidak banyak
berperan. (2)

1) Program Fisioterapi
• Stimulasi listrik
Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu menstimulasi
otot untuk mencegah/memperlambat terjadi atrofi sambil
menunggu proses regenerasi dan memperkuat otot yang masih
lemah. Misalnya dengan faradisasi yang tujuannya adalah
untuk menstimulasi otot, reedukasi dari aksi otot, melatih
fungsi otot baru, meningkatkan sirkulasi serta
mencegah/meregangkan perlengketan. Diberikan 2 minggu
setelah onset.

• Latihan otot-otot wajah dan massage wajah


Latihan gerak volunter otot wajah diberikan setelah fase
akut. Latihan berupa mengangkat alis tahan 5 detik,
mengerutkan dahi, menutup mata dan mengangkat sudut mulut,
tersenyum, bersiul/meniup (dilakukan didepan kaca dengan
konsentrasi penuh). (2,4,8)
Massage adalah manipulasi sitemik dan ilmiah dari
jaringan tubuh dengan maksud untuk perbaikan/pemulihan.
Pada fase akut, Bell’s palsy diberi gentle massage secara
perlahan dan berirama. Gentle massage memberikan efek
mengurangi edema, memberikan relaksasi otot dan
mempertahankan tonus otot. Setelah lewat fase akut diberi
Deep Kneading Massage sebelum latihan gerak volunter otot
wajah. Deep Kneading Massage memberikan efek mekanik
terhadap pembuluh darah vena dan limfe, melancarkan
pembuangan sisa metabolik, asam laktat, mengurangi edema,
meningkatkan nutrisi serabut-serabut otot dan meningkatkan
gerakan intramuskuler sehingga melepaskan perlengketan.
Massage daerah wajah dibagi 4 area yaitu dagu, mulut, hidung
dan dahi. Semua gerakan diarahkan keatas, lamanya 5-10
menit. (2,4,8)

2) Program Terapi
Pada dasarnya terapi disini memberikan latihan gerak pada
otot wajah. Latihan diberikan dalam bentuk aktivitas sehari-hari
atau dalam bentuk permainan. Perlu diingat bahwa latihan secara
bertahap dan melihat kondisi penderita, jangan sampai melelahkan
penderita. Latihan dapat berupa latihan berkumur, latihan minum
dengan menggunakan sedotan, latihan meniup lilin, latihan
menutup mata dan mengerutkan dahi di depan cermin. (2,4,8)
3) Program Sosial Medik
Penderita Bell’s palsy sering merasa malu dan menarik diri
dari pergaulan sosial. Problem sosial biasanya berhubungan
dengan tempat kerja dan biaya. Petugas sosial medik dapat
membantu mengatasi dengan menghubungi tempat kerja, mungkin
untuk sementara waktu dapat bekerja pada bagian yang tidak
banyak berhubungan dengan umum. Untuk masalah biaya, dibantu
dengan mencarikan fasilitas kesehatan di tempat kerja atau melalui
keluarga. Selain itu memberikan penyuluhan bahwa kerja sama
penderita dengan petugas yang merawat sangat penting untuk
kesembuhan penderita. (2,4,8)
4) Program Psikologik
Untuk kasus-kasus tertentu dimana ada gangguan psikis
amat menonjol, rasa cemas sering menyertai penderita terutama
pada penderita muda, wanita atau penderita yang mempunyai
profesi yang mengharuskan ia sering tampil di depan umum, maka
bantuan seorang psikolog sangat diperlukan. (2,4,8)
5) Program Ortotik – Prostetik
Dapat dilakukan pemasangan “Y” plester dengan tujuan
agar sudut mulut yang sakit tidak jatuh. Dianjurkan agar plester
diganti tiap 8 jam. Perlu diperhatikan reaksi intoleransi kulit yang
sering terjadi. Pemasangan “Y” plester dilakukan jika dalam waktu
3 bulan belum ada perubahan pada penderita setelah menjalani
fisioterapi. Hal ini dilakukan untuk mencegah teregangnya otot
Zygomaticus selama parese dan mencegah terjadinya kontraktur.
(2,4,8)

f. Operatif
Indikasi terapi operatif yaitu:(2)
• Produksi air mata berkurang menjadi < 25%
• Aliran saliva berkurang menjadi < 25%
• Respon terhadap tes listrik antara sisi sehat dan sakit berbeda 2,5
mA.
Beberapa terapi bedah yang dapat dilakukan antara lain
dekompresi nervus Fasialis, Subocularis Oculi Fat Lift (SOOF),
Implantasi alat ke dalam kelopak mata, tarsorrhapy, transposisi otot
muskulus temporalis, facial nerve graftingdan direct brow lift.
Tiemstra JD and Khathare N dalam American Academy of
Neurology saat ini tidak merekomendasikan dekompresi bedah untuk
Bell’s palsy. Komplikasi yang paling umum dari pembedahan adalah
pasca operasi yaitu berkurangnya pendengaran yang mempengaruhi 3
sampai 15 persen pasien. Berdasarkan potensi yang signifikan untuk
kerugian dan kurangnya manfaat data pendukung, American Academy
of Neurology saat ini tidak merekomendasikan dekompresi bedah
untuk Bell’s palsy. (2,4,8)
McAllister K pada penelitian juga menyimpulkan demikian
bahwa ada bukti kualitas yang sangat rendah dan ini tidak cukup untuk
memutuskan apakah operasi akan bermanfaat atau merugikan pada
pengelolaan palsy Bell. Penelitian ini tidak secara statistik
membandingkan kelompok tetapi nilai dan ukuran kelompok
menyarankan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan secara
statistik. Studi kedua melaporkan tidak ada perbedaan statistik yang
signifikan antara kelompok mereka dioperasikan dan kontrol. Satu
pasien yang dioperasikan dalam studi pertama memiliki 20 dB
kehilangan pendengaran sensorineural dan vertigo yang persisten.
Penelitian lebih lanjut ke dalam peran operasi tidak mungkin dilakukan
karena pemulihan spontan terjadi dalam banyak kasus.(2,4,8)

2.10. Komplikasi

Hampir semua pasien dengan Bell palsy dapat sembuh tanpa


mengalami deformitas kosmetik, tetapi sekitar 5% mengalami gejala sisa
cukup berat yang tidak dapat diterima oleh pasien.

a. Regenerasi motorik yang tidak sempurna.


Ø Bagian terbesar dari nervus facialis terdiri dari serabut saraf
eferen yang merangsang otot-otot ekspresi wajah. Bila bagian
motorik mengalami regenerasi yang tidak optimal, maka dapat
terjadi paresis semua atau beberapa otot wajah tersebut.
Ø Gangguan tampak sebagai (1) inkompetensi oral, (2) epifora
(produksi air mata berlebihan), dan (3) obstruksi nasal.
b. Regenerasi sensoris yang tidak sempurna.
Ø Dysgeusia (gangguan rasa).
Ø Ageusia (hilang rasa).
Ø Dysesthesia gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sesuai
dengan stimulus normal).
c. Reinervasi aberan dari nervus facialis.
Ø Setelah gangguan konduksi neuron pada nervus facialis dimulai
dengan regenerasi dan proses perbaikan, beberapa serabut
saraf akan mengambil jalan lain dan dapat berhubungan
dengan serabut saraf di dekatnya. Rekoneksi aberan ini dapat
menyebabkan jalur neurologik yang tidak normal.
Ø Bila terjadi gerakan volunter, biasanya akan disertai dengan
gerakan involunter (seperti gerakan menutup mata yang satu
diikuti dengan gerakan menutup mata disebelahnya). Gerakan
involunter yang menyertai gerakan volunter ini disebut
synkinesis.

2.11. Prognosis

Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala


sisa. Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah:

a. Usia di atas 60 tahun.


b. Paralisis komplit.
c. Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang
lumpuh.
d. Nyeri pada bagian belakang telinga.
e. Berkurangnya air mata.

Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 %


penderita sembuh dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada
kecacatan. Penderita yang berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai
peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa.
Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya memiliki perbedaan
peluang 10-15 persen antara sembuh total dengan meninggalkan gejala
sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita cenderung
meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang
spasme hemifasial.(6)
Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial
dibanding penderita nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh
dibanding yang non DM. Hanya 23% kasus Bell’s palsy yang mengenai
kedua sisi wajah. Bell’s palsy kambuh pada 10-15 % penderita. Sekitar 30
% penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau tumor
kelenjar parotis.




















BAB III
KESIMPULAN

Bell’s palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan paresis atau
kelumpuhan yang akut dan idiopatik akibat disfungsi nervus facialis
perifer. Penyebab Bell’s palsy adalah edema dan iskemia akibat
penekanan (kompresi) pada nervus fasialis.
Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat
didiagnosa dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat
bergerak. Lipatan-lipatan di dahi akan menghilang dan nampak seluruh
muka sisi yang sakit akan mencong tertarik ke arah sisi yang sehat. Gejala
kelumpuhan perifer ini tergantung dari lokalisasi kerusakan.
Pengobatan pasien dengan Bell’s palsy adalah dengan kombinasi
obat- obatan antiviral dan kortikosteroid serta perawatan mata yang
berkesinambungan. Penggunaan kortikosteroid pada anak sebagai
penatalaksanaan bell’s palsy masih menjadi perdebatan dikarenakan
angka kesembuhan pada anak meskipun tanpa pemberian kortikosteroid
cukup tinggi. Sehingga dalam penerapannya kesembuhan bell’s palsy
pada anak tidak dapat dinilai apakah memiliki manfaat yang baik atau
tidak. Prognosis pasien dengan Bell’s palsy relative baik meskipun pada
beberapa pasien, gejala sisa dan rekurensi dapat terjadi.












DAFTAR PUSTAKA

1. Monnel, K., Zachariah, S., Khoromi, S. 2009. Bell’s Palsy. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/1146903. Accessed february 15, 2012.
2. Holland, J. Bell’s Palsy. Brithis Medical Journal. 2008;01;1204.
3. Ropper AH, Brown RH. Bell’s Palsy Disease Of The Cranial Nerve. Adams
and Victor’s Principles of Neurology, 8th ed. New York : McGraw Hill, 2005.
1181-1184.
4. Mardjono, M. Sidharta, P. Nervus Fasialis dan Patologinya. Neurologi Klinis
Dasar, 5th ed. Jakarta : PT Dian Rakyat, 2005. 159-163.
5. Sjahrir, Hasan. Nervus Fasialis. Medan ;Yandira Agung, 2003.
6. Rohkamm, Reinhard. Facial Nerve Lesions. Color Atlas of Neurology 2nd ed.
George Thieme Verlag: German, 2003. 98-99.
7. Peneda et al. 2018. Peripheral Facial Palsu in Emergency Departement. Irian
Journal of Otorhinolaryngology, vol.30(3), serial No.98.
8. Somasundara et al. 2017. Management of Bell’s Palsy.
9. Munilson et al. Diagnosis dan penatalaksanaan Bell’s Palsy. Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas.
10. Yoo HW, et al. 2018. Comparison of conservative therapy and steroid therapy
for Bell’s palsy in children. Korean J Pediatr;6(10);332-337.

Anda mungkin juga menyukai