Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bell’s palsy adalah kelumpuhan nervus fasialis perifer, terjadi secara akut
dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) atau tidak menyertai penyakit lain
yang dapat mengakibatkan lesi nervus fasialis. Penyakit ini dapat mengenai semua
umur, namun lebih sering terjadi pada umur 20-50 tahun. Peluang untuk terjadinya
bell’s palsy pada laki-laki sama dengan para wanita. Pada kehamilan trimester
ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya bell’s palsy lebih
tinggi dari pada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat( Harsono).
Distribusi umur pada Bell’s palsy sangat bervariasi, namun anak usia 15 tahun
paling jarang didapatkan dibandingkan pada dewasa. Beberapa studi menyebutkan
frekuensi akan meningkat pada pasien diatas 60 tahun, sementara yang lainnya lagi
mendeskripsikan usia puncak berada pada usia 15 – 45 tahun, dengan menurunnya
insiden pada usia yang lebih tua (Kanerva, 2008)
Paralisis fasialis perifer dapat terjadi pada penyakit-penyakit tertentu,
misalnya diabetes melitus, hipertensi berat, anestesi lokal pada pencabutan gigi,
infeksi telinga bagian tengah, sindrom Guillain Barre. Apabila faktor penyebab
jelas maka disebut paralisis fasialis perifer dan bukannya bell’s palsy.1
Permasalahan yang ditimbulkan Bell’s palsy cukup kompleks, diantaranya masalah
fungsional, kosmetika dan psikologis sehingga dapat merugikan tugas profesi
penderita. Sehingga diperlukan terapi secara cepat dan tepat untuk mencapai
pemulihan terbaik fungsi saraf wajah dan penderita dapat kembali melakukan
aktivitas kerja sehari-hari serta bersosialisasi dengan masyarakat.
Definisi

Penyakit lower motor neuron yang mengenai nervus fasialis (N.VII) perifer.
Etiologi idiopatik. Gejala kelumpuhan wajah atas dan bawah unilateral. Terjadinya
akut (dalam 48 jam). Sering disertai nyeri aurikuler posterior, penurunan sekresi air
mata, gangguan rasa kecap, hiperakusi (SPM Perdossi). Para ahli menyebutkan
bahwa Bell’s Palsy terjadi proses inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah
tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bell’s palsy ini hamper selalu
terjadi unilateral. Namun demikian dalam jarak waktu satu minggu atau lebih dapat
terjadi paralisis bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau kambuh (Harsono).
fasialis perifer dapat terjadi pada penyakit – penyakit tertentu, misalnya
diabetes mellitus, hipertensi berat, anestesi local pada pencabutan gigi, infeksi
telinga bagian tengah, Gullain Barre Syndrome, kehamilan trimester akhir,
meningitis, perdarahan dan trauma. Apabila faktor penyebabnya jelas maka disebut
paralisis fasialis perifer dan bukannya Bell’s palsy (Harsono).

Epidemiologi

Bells’s palsy memiliki insidens sekitar 30 dari 100.000 individu. Angka yang lebih
tinggi didapatkan pada wanita hamil (3,3 kali lebih tinggi) dan pasien dengan
diabetes (4-5 kali lebih tinggi). Tidak terdapat perbedaan jenis kelamin, keduanya
memiliki peluang yang sama pada usia pertengahan, namun pada wanita muda
antara 10 – 19 tahun dan pria dengan usia lebih dari 40 tahun tercatat lebih memiliki
kecendenrungan untuk mengidap Bell’s Palsy (2 dan 1,5 kali lebih tinggi) (Pham,
2012). Distribusi umur pada Bell’s palsy sangat bervariasi, namun anak usia 15
tahun paling jarang didapatkan dibandingkan pada dewasa. Beberapa studi
menyebutkan frekuensi akan meningkat pada pasien diatas 60 tahun, sementara
yang lainnya lagi mendeskripsikan usia puncak berada pada usia 15 – 45 tahun,
dengan menurunnya insiden pada usia yang lebih tua (Kanerva, 2008). Nervus
fasialis kanan dan kiri dapat terlibat dalam jumlah yang sama, namun keterlibatan
secara bilateral sangat jarang ahnya sekitar 1%. Rekurensi dapat terjadi 10%, dan
hanya 10% individu dengan Bell’s palsy yang memiliki riwayat keluarga yang sama
dengan gejala yang sama (Pham, 2012).
Anatomi
Saraf fasialis atau saraf kranialis ketujuh mempunyai komponen motorik yang
mempersarafi semua otot ekspresi wajah pada salah satu sisi, komponen sensorik
kecil (nervus intermedius Wrisberg) yang menerima sensasi rasa dari 2/3 depan
lidah, dan komponen otonom yang merupakan cabang sekretomotor yang
mempersarafi glandula lakrimalis.Saraf fasialis keluar dari otak di sudut serebello-
pontin memasuki meatus akustikus internus. Saraf selanjutnya berada di dalam
kanalis fasialis memberikan cabang untuk ganglion pterygopalatina sedangkan
cabang kecilnya ke muskulus stapedius dan bergabung dengan korda timpani. Pada
bagian awal dari kanalis fasialis, segmen labirin merupakan bagian yang tersempit
yang dilewati saraf fasialis; foramen meatal pada segmen ini hanya memiliki
diameter sebesar 0,66 mm (Lowis dan Gaharu, 2012).
Nucleus komponene motoric nervus fasialis terletak di bagian ventrolateral
tegmentum pontis. Neuron nucleus motoric ini analog dengan sel – sel kornu
anterior medulla spinalis, tetapi secara embriologi berasan dari lengkung brakhialis
kedua. Serabut radik nucleus ini memiliki perjalanan yang rumit. Di dalam batang
otak, serabut ini berjalan memutari nucleus abdusens sehingga membentuk
penonjolan kecil di dasar ventrikel keempat (kolikulus fasialis). Kemudian serabut
ini membentuk berkas yang padat, yang berjalan di ventrolateral menuju ujung
kaudal pons dan kemudian keluar dari batang otak, menembus ruang subarachnoid
di cerebellopontine angle, dan kemudian memasuki meatus akustikus internus
bersama dengan nervus intermedius dan nervus kraniali VIII. Di dalam meatus,
nervus fasialis dan nervus intermedius terpisah dari nervus VIII dan berjalan kea
rah lateral di kanalis fasialis menuju ganglion genikulatum. Setinggi ganglion,
kanalis fasialis menurun curam. Pada bagian ujung bawah kanalis fasialis, nervus
fasialis keluar dari tengkorak melalui foramen stilomastoideum. Masing – masing
serabut motoriknya kemudian didistribusikan ke selutuh regio wajah. Serabut –
serabut tersebut mempersarafi semua otot ekspresi wajah yang berasal dari
lengkung brakhialis kedua, yaitu m.orbicularis oris dan m.orbicularis okuli,
m.businator, m.oksipitalis, m.frontalis, dan otot – otot yang lebih kecil di daerah
ini, dan juga m.stapedius, m.platisma, m.stilohoid dan venter posterior
m.digastrikus (DUUS, 2014). Nervus fasialis memiliki 5 cabang terminal utama
yang menginervasi otot dari ekspresi wajah, yaitu (Patel & Levin, 2015):
 Cabang temporal
Otot pada dahi dan superior dari orbicularis okuli
 Cabang zygomatika
Otot pada lipatan nasolabial dan pipi
 Cabang bukal
m.buccinator dan bagian inferior dari orbicularis occuli
 Cabang mandibularis marginal
Otot depressor pada bagian mulut seperti depressor anguli dan mentalis
 Cabang servikal
Inervasi pada m.platysma
Otot – otot dahi mendapatkan persarafan supranuklearnya dari kedua
hemisfer serebri, tetapi otot – otot ekspresi wajah lainnya hanya dipersarafi secara
unilateral, yaitu oleh korteks presentralis kontralateral. Jika jaras spranuklear
desendens terganggu hanya pada satu sisi, misalnya oleh infark serebri,
kelumpuhan wajah yang ditimbulkan tidak mengganggu otot – otot dahi, pasien
masih dapat memejamkan matanya dan menaikkan alisnya. Jenis kelumpuhan
wajah ini disebut kelumpuhan n.fasialis sentra;. Namun, pada lesi nuclear atau
perifer, semua otot- otot ekspresi wajah pada sisi lesi menjadi lemah. Dengan
demikian, seseorang dapat membedakan kelumpuhan fasialis sentral dari
kelumpuhan fasialis nuclear atau perifer melalui tampilan klinisnya (DUUS, 2014).
Etiologi
Terdapat lima teori yang kemungkinan menyebabkan terjadinya Bell’s
palsy, yaitu iskemik vaskular, virus, bakteri, herediter, dan imunologi. McGovern
memiliki postulat dari instabilitas vaskuler anatomik, yang kemungkinan
dicetuskan oleh suhu dingin atau psikosomatik, yang menghasilkan spasme
arteriole yang memberikan nutrisi pada nervus fasialis. Vaskularisasi yang
inadekuat akan menginduksi iskemia sekunder dan menghasilkan edema dari
nervus fasialis dan sebagai konsekuensinya akan mengakibatkan kompresi
sehingga terjadi paralisis pada nervus fasialis (Pham et al, 2012). Teori virus lebih
banyak dibahas sebagai etiologi penyakit ini. Burgess et al mengidentifikasi genom
virus herpes simpleks (HSV) di ganglion genikulatum seorang pria usia lanjut yang
meninggal enam minggu setelah mengalami Bell’s palsy. Murakami et al.8
menggunakan teknik reaksi rantai polimerase untuk mengamplifikasi sekuens
genom virus, dikenal sebagai HSV tipe 1 di dalam cairan endoneural sekeliling
saraf ketujuh pada 11 sampel dari 14 kasus Bell’s palsy yang dilakukan dekompresi
pembedahan pada kasus yang berat. Murakami et al. menginokulasi HSV dalam
telinga dan lidah tikus yang menyebabkan paralisis pada wajah tikus tersebut.
Antigen virus tersebut kemudian ditemukan pada saraf fasialis dan ganglion
genikulatum. Dengan adanya temuan ini, istilah paralisis fasialis herpes simpleks
atau herpetika dapat diadopsi.Gambaran patologi dan mikroskopis menunjukkan
proses demielinisasi, edema, dan gangguan vaskular saraf (Lowis Gaharu, 2012),

Manifestasi Klinis

Pada awalnya penderita merasakan ada kelianan dimulut saat bangun tidur,
menggsosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara. Setelah merasakan adanya
kealinan diaerah mulut, maka penderita biasanya memperhatikan lebih cermat
dengan menggunakan cermin. Mulut tampak mencong terlebih pada saat meringis.
Kelopak mata tidak dapat dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita disuruh
menutup kelopak matanya maka bola mata tampak terputar ke atas. Penderita tidak
dapat bersiul dan meniup, apabila berkumur atau minum maka air keluar melalui
sisi mulut yang lumuh. Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan
dengan tempat/lesi (Harsono, 2005) :

 Lesi diluar foramen stilomastoideus


Mulut tertarik kearah sisi mulut yang sehat, makanan terkumpul diantara
pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang.
Lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup
atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus – menerus
 Lesi di kanalis fasialis
Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), ditambah hilangnya ketajaman
pengecapan lidah (dua pertiga bagian depan) dan salivasidi sisi yang terkena
berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya
nervus intermedius. Sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan
titik dimana korda timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis
fasialis.
 Lesi di kanalis fasialis yang lebih tinggi
Gejala dan tanda klinik sepeti pada (a) dan (b), ditambah adanya
hiperakusis.
 Lesi yang melibatkan ganglion genikulatum
Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), (b), dan (c) disertai dengan nyeri di
belakang dan di dalam liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi
pascaherpes di membrana timpani dan konka. Sindrom Ramsay Hunt adalah
paralisis fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes zozsterdi
ganglion genikulatum. Lesi herpetik terlihat di membrana timpani, kana;lis
auditorius eksterna dan pinna.
 Lesi di meatus akustistikus internus
Gejala dan tanda klinik seperti diatas ditambah dengan tuli sebagai akibat
dari terlibatnya nervus akustikus.
 Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis di pons
Gejala dan tanda klinik sama dengan di atas, disertai gejala dan tanda
terlibatnya nervus trigeminus, nervus akustikus, dan kadang nervus
abdusens, nervus aksesorius, dan nervus hipoglosus.

Pasien dengan Bell’s Palsy biasanya berproses dari onset gejala ke paralisis
maksimal dalam waktu sekitar 3 hari dan biasanya selalu 1 minggu. Onset yang
lebih tersembunyi dan berprogres lebih dari 2 minggu harus dipertimbangkan
kembali untuk diagnosis lain. Pasien yang tidak dilakukan penanganan, 85% akan
menunjukkan perbaikan parsial dalam waktu 3 minggu setelah onset (Tiemstra dan
Kathkate, 2007).

Klasifikasi yang paling umum digunakan untuk mendeskripsikan keparahan dari


paralisis fasiali adalah skala House-Brackmann yang pertama kali dikenalkan pada
tahun 1985 dan ytelah digunakan untuk membantu dokter menentukan derajat
paralisis fasial dengan sistem yang bersifat universal. Klasifikasi dari paralisis fasial
diperlukan untuk menentukan progresifitas dan penilain respon terapi. Berikut
adalah skema dari House-Brackmann (Pham et al, 2012):
Diagnosis

Paralisis fasialis mudah didiagnosis dengan pemeriksaan fisik yang lengkap untuk
menyingkirkan kelainan sepanjang perjalanan saraf dan kemungkinan penyebab
lain. Adapun pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan gerakan dan
ekspresi wajah. Pemeriksaan ini akan menemukan kelemahan pada seluruh wajah
sisi yang terkena. Kemudian, pasien diminta menutup mata dan mata pasien pada
sisi yang terkena memutar ke atas. Bila terdapat hiperakusis, saat stetoskop
diletakkan pada telinga pasien maka suara akan terdengar lebih jelas pada sisi
cabang muskulus stapedius yang paralisis. Tanda klinis yang membedakan Bell’s
palsy dengan stroke atau kelainan yang bersifat sentral lainnya adalah tidak
terdapatnya kelainan pemeriksaan saraf kranialis lain, motorik dan sensorik
ekstremitas dalam batas normal, dan pasien tidak mampu mengangkat alis dan dahi
pada sisi yang lumpuh (Lowis Gaharu, 2012).
Dalam mendiagnosis kelum- puhan saraf fasialis, harus dibedakan
kelumpuhan sentral atau perifer. Kelumpuhan sentral terjadi hanya pada bagian
bawah wajah saja, otot dahi masih dapat berkontraksi karena otot dahi dipersarafi
oleh kortek sisi ipsi dan kontra lateral sedangkan kelumpuhan perifer terjadi pada
satu sisi wajah (Munilson, Edward, Triana).

Bell’s palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang


perlu dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf
kranialis. Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos dapat
dilakukan untuk menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan sistem
saraf pusat (SSP). Pemeriksaan MRI dilakukan pada pasien yang dicurigai
neoplasma di tulang temporal, otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi
sklerosis multipel. Selain itu, MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan
penyengatan kontras saraf fasialis. Pemeriksaan neurofisiologi pada Bells palsy
sudah dikenal sejak tahun 1970- sebagai prediktor kesembuhan, bahkan dahulu
sebagai acuan pada penentuan kandidat tindakan dekompresi intrakanikular.
Grosheva et al melaporkan pemeriksaan elektromiografi (EMG) mempunyai nilai
prognostik yang lebih baik dibandingkan elektroneurografi (ENG). Pemeriksaan
serial EMG pada penelitian tersebut setelah hari ke-15 mempunyai positive-
predictivevalue (PPV) 100% dan negative-predictive-value (NPV) 96%. Spektrum
abnormalitas yang didapatkan berupa penurunan amplitudo Compound Motor
Action Potential (CMAP), pemanjangan latensi saraf fasialis, serta pada
pemeriksaan blink reflex didapatkan pemanjangan gelombang R1 ipsilateral.11
Pemeriksaan blink reflex ini sangat bermanfaat karena 96% kasus didapatkan
abnormalitas hingga minggu kelima, meski demikian sensitivitas pemeriksaan ini
rendah. Abnormalitas gelombang R2 hanya ditemukan pada 15,6% kasus.

Diagnosis Banding

Terdapat beberapa kondisi yang dapat menghasilkan paralisis nervus fasiali yang
identik dengan Bell’s Palsy. Lesi struktural pada telinga dan glandula parotis
(kolesteatom dan tumor kelenjar ludah) dapat menghasilkan kompreis nervus
fasialis. Kasua lain paralisis nervus perifer seperti Gullain-Barre Syndrome, Lyme
Disease, otitis media, sindroma Ramsay – Hunt, sarkoidosis dan beberapa vaksin
influensa. Meskipun kondisi tersebut dapat tampil sebagai paralisis nervus fasialis,
hal diatas biasanya memiliki tanda dan gejala tambahan yang dapat membedakan
dengan Bell’s Palsy (Tiemstra dan Kathkate, 2007).

Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagi menurut lokasi lesi sentral dan
perifer. Kelainan sentral dapat merupakan stroke bila disertai kelemahan anggota
gerak sisi yang sama dan ditemukan proses patologis di hemisfer serebri
kontralateral; kelainan tumor apabila onset gradual dan disertai perubahan mental
status atau riwayat kanker di bagian tubuh lainnya; sklerosis multipel bila disertai
kelainan neurologis lain seperti hemiparesis atau neuritis optika; dan trauma bila
terdapat fraktur os temporalis pars petrosus, basis kranii, atau terdapat riwayat
trauma sebelumnya. Kelainan perifer yang ditemukan dapat merupakan suatu otitis
media supuratif dan mastoiditis apabila terjadi reaksi radang dalam kavum timpani
dan foto mastoid menunjukkan suatu gambaran infeksi; herpes zoster otikus bila
ditemukan adanya tuli perseptif, tampak vesikel yang terasa amat nyeri di pinna
dan/atau pemeriksaan darah menunjukkan kenaikan titer antibodi virus varicella-
zoster; sindroma Guillain-Barre saat ditemukan adanya paresis bilateral dan akut;
kelainan miastenia gravis jika terdapat tanda patognomonik berupa gangguan gerak
mata kompleks dan kelemahan otot orbikularis okuli bilateral; tumor serebello-
pontin (tersering) apabila disertai kelainan nervus kranialis V dan VIII; tumor
kelenjar parotis bila ditemukan massa di wajah (angulus mandibula); dan
sarcoidosis saat ditemukan tanda-tanda febris, perembesan kelenjar limfe hilus,
uveitis, parotitis, eritema nodosa, dan kadang hiperkalsemia (Lowis dan Gaharu,
2012).

Tabel . Diagnosis Banding Bell’s Palsy (Tiemstra dan Kathkate, 2007)

Penatalaksanaan

 Kortikosteroid
Kortikosteroid oral secara tradisional telah diberikan untuk mengurangi
inflamasi nervus fasialis pada pasien dengan Bells’s Palsy, prednison
biasnaya diberikan selama 10 hari secara tappering dimulai pada 60 mg per
hari (Triamse dan Kathkate, 2007). Prednisolone sebaiknya diberikan pada
semua apsien dengan bells’s palsy dengan durasu kurang dari 72 jam yang
tidak memiliki kontraindikasi terhadap terapi steroid. Prednisolone
diberikan 60 mg per hari dalam 5 hari kemudian dikurangi menjadi 10 mg
mg/hari (dengan durasi total pengobatan selama 10 hari), dan 50 mg/hari
(dibagi dalam 2 dosis) dalam 10 hari (Marthin dan Saxena, 2011).

Gambar . Algoritma penatalaksanaan Bell’s Palsy (Marthin dan Saxena, 2011)..

 Antiviral
Rasionalitas penggunaan agen antiviral adalah dengan bukti adanya
inflamasi nervus fasialis pada Bell’s Palsy yang kemungkinan berkaitan
dengan virus herpes simpleks (HSV). Pada studi autopsi HSV tipe-1 laten
yang telah diisolasi dari sampel ganglia genikulatum. HSV-1 genom
terdeteksi pada 79% cairan endoneurial nervus fasialis pada pasien cdengan
Bell’s Palsy dan tidak ditemukan pada kontrol. Meskipun begitu
keuntungan dari asiklovir dan valasiklovir sebagai agen tunggal maupun
kombinasu dengan predsinosol pada Bell’s Palsy belum dipastikan secara
pasti. Sehingga penggunaan asiklovir dan valasiklovir tidak digunakan
secara rutin karena tidak cost-efective (Marthin dan Saxena, 2011).
Asiklovir 400 mg dapat diberikan 5 kali dalam sehari selama 7 hari atau
valasiklovir 1 gr dapat diberikan 3 kali dalam sehari selama 7 hari.
Meskipun Cochrane Review memiliki bukti yang insufisien yang
mendukung penggunaan antiviral tersebut secara tunggal, dua pervobaan
dengan plasebo sebagai kontrol mendemonstrasi presentasi lebih besar
kesembuhan secara sempurna pada pasien yang diterapi dengan obat
antiviral yang dikombinasikan dengan prednisolon dibandingkan dengan
prednisolon secara tunggal. Meskipun begitu terapi yang dimulai lebih dari
4 hari setelah onset tidak akan memberikan keuntungan apapun (Triemsa
dan Kathkate, 2007).

 Non-Farmakologis
Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing.
Proteksinya dapat dilakukan dengan penggunaan air mata buatan (artificial
tears), pelumas (saat tidur), kaca mata, plester mata, penjahitan kelopak
mata atas, atau tarsorafi lateral (penjahitan bagian lateral kelopak mata atas
dan bawah).2,5,9 Masase dari otot yang lemah dapat dikerjakan secara halus
dengan mengangkat wajah ke atas dan membuat gerakan melingkar. Tidak
terdapat bukti adanya efektivitas dekompresi melalui pembedahan saraf
fasialis, namun tindakan ini kadang dilakukan pada kasus yang berat dalam
14 hari onset.4,5 Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukan
dalam empat bulan setelah onset terbukti memperbaiki fungsi pasien dengan
paralisis fasialis.12,13 Namun, diketahui pula bahwa 95% pasien sembuh
dengan pengobatan prednison dan valasiklovir tanpa terapi fisik.13
Rehabilitasi fasial meliputi edukasi, pelatihan neuro-muskular, masase,
meditasirelaksasi, dan program pelatihan di rumah. Terdapat empat kategori
terapi yang dirancang sesuai dengan keparahan penyakit, yaitu kategori
inisiasi, fasilitasi, kontrol gerakan, dan relaksasi.
Kategori inisiasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah sedang-berat
saat istirahat dan tidak dapat memulai gerakan pada sisi yang lumpuh.
Strategi yang digunakan berupa masase superfisial disertai latihan gerak
yang dibantu secara aktif sebanyak 10 kali yang dilakukan 1-2 set per hari
dan menghindari gerakan wajah berlebih.13-15 Sementara itu, kategori
fasilitasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah ringan-sedang saat
istirahat, mampu menginisiasi sedikit gerakan dan tidak terdapat sinkinesis.
Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak otot wajah yang
lebih agresif dan reedukasi neuromuskular di depan kaca (feedback visual)
dengan melakukan gerakan ekspresi wajah yang lambat, terkontrol, dan
bertahap untuk membentuk gerakan wajah yang simetris. Latihan ini
dilakukan sebanyak minimal 20-40 kali dengan 2-4 set per hari.13-15
Berikutnya adalah kategori kontrol gerakan yang ditujukan pada pasien
dengan simetri wajah ringan-sedang saat istirahat, masih mampu
menginisiasi sedikit gerakan, dan terdapat sinkinesis. Strategi yang
digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan
agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca seperti kategori fasilitasi,
namun secara simultan mengontrol gerakan sinkinesis pada bagian wajah
lainnya, dan disertai inisiasi strategi meditasi-relaksasi.13-15 Kategori
terakhir adalah relaksasi yang ditujukan pada pasien dengan kekencangan
seluruh wajah yang parah karena sinkinesis dan hipertonisitas. Strategi yang
digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan
agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca, dan fokus pada strategi
meditasi-relaksasi yaitu meditasi dengan gambar visual atau audio
difokuskan untuk melepaskan ketegangan pada otot yang sinkinesis.
Latihan ini cukup dilakukan 1-2 kali per hari.13-15 Bila setelah menjalani
16 minggu latihan otot tidak mengalami perbaikan, pasien dengan asimetri
dan sinkinesis perlu dipertimbangkan untuk menjalani kemodenervasi
untuk memperbaiki kualitas hidupnya, baik gerakan, fungsi sosial, dan
ekspresi emosi wajah. Pada keadaan demikian perlu dikonsultasikan ke
bagian kulit atau bedah plastik.15 Konsultasi ke bagian lain, seperti Telinga
Hidung Tenggorok dan kardiologi perlu dipertimbangkan apabila terdapat
kelainan pemeriksaan aufoskop atau pembengkakan glandula parotis dan
hipertensi secara berurutan pada pasien
 Perbaikan Spontan
Sulit untuk menentukan keuntungan secara statistik dari placebo-controlled
trial, karena Bell’s palsy memiliki angka yang tinggi dengan perbaikan
spontan. Berdasarkan Copenhagen Facial Nerve Study, mengevaluasi 2.570
pasien dengan palsy nervus fasialis, termasuk 1.710 pasien dengan Bell’s
Palsy dan 869 pasien dengan palsy oleh kausa lain. Fungsi akan kembali
pada waktu 3 minggu pada 85% pasien dan 71% pasien mengalami
perbaikan sempurna dengan fungsi penuh. Dari 29% pasein yang memiliki
sekuele, 12% dengan sangat ringan, 13 % ringan, dan hanya 4% dengan
sekuele berat. Dengan penemuan ini, beberapa orang mempertanyakan
apakah pengobatan Bell’s Palsy perlu diindikasikan secara rutin.pasien
dengan paralisis nervus fasialis komplit memiliki angka yang lebih kecil
untuk terjadinya perbaikan spontan dan memiliki kecenderungan untuk
memiliki keuntungan ari tatalaksana medikamentosa berupa steroid maupun
antiviral atau kombinasi keduanya (triamse dan nsj)
 Terapi Lain
Pada masa lampau, intervensi bedah dekompresi direkomendasikan pada
pasien 3 minggu setelah onset yang memiliki kehilangan fungsi secara
persisten (lebih dari 90% pada elektroneurografi) pada waktu 2 minggu.
Meskipun begitu, penelitianyang telah ada belum dapat menggambarkan
evaluasi dari outcome. Komplikasi yang paling umum ditemukan adalah
post operative hearing loss, yang terjadi pada 3 dari 15 pasien. Berdasarkan
poensi yang signifikan terhadap kerugiannya dan kurangnya data yang
mendukung maka American Academy of Neurology tidak
merekomendasikan lagi saat ini untuk bedah dekompresi pada Bell’s Palsy
(Tiemstra dan Kathkate, 2007)

Komplikasi
Sekitar 5% pasien setelah menderita Bell’s palsy mengalami sekuele berat yang
tidak dapat diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bell’s palsy,
adalah (1) regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang
menyebabkan paresis seluruh atau beberapa muskulus fasialis, (2) regenerasi
sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan pengecapan), ageusia
(hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sama
dengan stimuli normal), dan (3) reinervasi yang salah dari saraf fasialis. Reinervasi
yang salah dari saraf fasialis dapat menyebabkan (1) sinkinesis yaitu gerakan
involunter yang mengikuti gerakan volunter, contohnya timbul gerakan elevasi
involunter dari sudut mata, kontraksi platysma, atau pengerutan dahi saat
memejamkan mata, (2) crocodile tear phenomenon, yang timbul beberapa bulan
setelah paresis akibat regenerasi yang salah dari serabut otonom, contohnya air
mata pasien keluar pada saat mengkonsumsi makanan, dan (3) clonic facial spasm
(hemifacial spasm), yaitu timbul kedutan secara tiba-tiba (shock-like) pada wajah
yang dapat terjadi pada satu sisi wajah saja pada stadium awal, kemudian mengenai
sisi lainnya (lesi bilateral tidak terjadi bersamaan).
a. Crocodile tear phenomenon17
Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul
beberapa bulan setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi
yang salah dari serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi
menuju ke kelenjar lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar ganglion genikulatum.
b. Clonic fasial spasm (Hemifacial spasm)17
Timbul “kedutan” (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak terkendali)
pada wajah yang pada stadium awal hanya mengenai 1 sisi wajah saja tetapi
kemudian kontraksi ini dapat mengenai pada sisi lainnya. Bila mengenai kedua
sisi wajah, maka tidak terjadi bersamaan pada kedua sisi wajah. Kelelahan dan
kelainan psikis dapat memperberat spasme ini. Komplikasi ini terjadi bila
penyembuhan tidak sempurna, yang timbul dalam beberapa bulan atau 1-2
tahun kemudian. Kecuali sebagai komplikasi bell’s palsy, maka hemifacial
spasm dapat disebabkan oleh kompresi N.VII oleh tumor atau aneurisme pada
daerah sudut serebelo pontis atau lengkungan arteri serebeler antero inferior
yang berlebihan atau arteri auditorius internus.
c. Kontraktur17
Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga lipatan nasolabialis lebih
jelas terlihat pada sisi yang lumpuh dibanding pada sisi yang sehat. Terjadi bila
kembalinya fungsi sangat lambat. Kontraktur tidak tampak pada waktu otot
wajah istirahat, tetapi menjadi jelas saat otot wajah bergerak.

Prognosis
Perjalanan alamiah Bell’s palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini sampai
cedera saraf substansial dengan sekuele permanen. Sekitar 80-90% pasien dengan
Bell’s palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus membaik
dalam 3 minggu.11 Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus fasialis persisten,
dan 5% mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat rekuren. Faktor yang
dapat mengarah ke prognosis buruk adalah palsi komplit (risiko sekuele berat),
riwayat rekurensi, diabetes, hipertensi, usia tua, adanya nyeri hebat post-aurikular,
gangguan pengecapan, refleks stapedius, wanita hamil dengan Bell’s palsy, bukti
denervasi mulai setelah 10 hari (penyembuhan lambat), dan kasus dengan
penyengatan kontras yang jelas. (Murthy dan Saxena, 2011). Faktor yang dapat
mendukung ke prognosis baik adalah paralisis parsial inkomplit pada fase akut
(penyembuhan total), pemberian kortikosteroid dini, penyembuhan awal dan/atau
perbaikan fungsi pengecapan dalam minggu pertama. Kimura et al menggunakan
blink reflex sebagai prediktor kesembuhan yang dilakukan dalam 14 hari onset,
gelombang R1 yang kembali terlihat pada minggu kedua menandakan prognosis
perbaikan klinis yang positif. Selain menggunakan pemeriksaan neurofisiologi
untuk menentukan prognosis, House Brackmann Facial Nerve Grading System
dapat digunakan untuk mengukur keparahan dari suatu serangan dan menentukan
prognosis pasien Bell’s palsy (Lowis Gaharu, 2012).

Anda mungkin juga menyukai