PENDAHULUAN
Angifibroma nasofaring juvenil merupakan tumor jinak hipervaskuler di
nasofaring dengan gambaran epidemiologi dan pola pertumbuhan yang khas.
Tumor secara khas mengenai remaja laki-laki pada masa pubertas, dengan gejala
klinis yang khas epistaksis berulang dan sumbatan hidung unilateral (Nicolai et
al., 2012; Garca et al., 2010).
Angiofibroma nasofaring paling sering ditemukan pada anak lak-laki
prepubertas dan remaja, yang umumnya terdapat pada rentang usia 7 sampai 21
tahun dengan insidens terbanyak antara usia 14-18 tahun. Angiofibroma
nasofaring jarang terjadi pada usia diatas 25 tahun sehingga tumor ini disebut juga
Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma
jarang ditemukan dan diperkirakan hanya 0,05% dari seluruh tumor kepala dan
leher. Insiden angiofirboma nasofaring diperkirakan antara 1 : 5.000-60.000 pada
pasien THT.(Roezin & Dharmabaktio, 2007; Asroel, 2002).
Gejala klinik yang dapat ditemukan pada Angifibroma nasofaring juvenil
dapat berupa hidung tersumbat (80-90%), merupakan gejala yang paling sering,
diikuti epistaksis (45-60%) yang kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala
(25%) khususnya bila sudah meluas ke sinus paranasal, pembengkakan wajah (10-
18%). Gejala lain seperti anosmia, rhinolalia, deafness, pembengkakan palatum
serta deformitas pipi juga dapat ditemukan pada penderita angiofibroma
nasofaring. Angiofibroma nasofaring sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus
sangat hati-hati karena sentuhan jari pada permukaan tumor dapat menimbulkan
perdarahan yang ekstensif. Diagnosis angiofibroma nasofaring ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologis. Trias
gejala dan tanda klinis dari tumor ini adalah epistaksis masif berulang, sumbatan
hidung dan massa di nasofaring sangat mendukung kecurigaan adanya
angiofibroma nasofaring (Asroel, 2002; Mansfield, 2006).
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara
histologik jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan
mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal,
pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan
(Roezin & Dharmabaktio, 2007).
Sebutan lain untuk angiofibroma di dalam literatur antara lain: juvenile
angiofibroma, juvenile nasopharyngeal angiofibroma (JNA), nasal cavity tumor,
nasal tumor, benign nasal tumor, tumor hidung (nose tumor), nasopharyngeal
tumor, atau angiofibroma nasofaring belia (Pradhana, 2009)
2.2. Anatomi
Fossa pterigopalatina adalah lekukan medial fissura pterigomaksilaris
yang terletak tepat di bawah puncak orbita antara prosesus pterigoideus dan
posterior maksila. Batas medialnya adalah pelat tegak lurus dari tulang palatina.
Hal ini penting karena menghubungkan beberapa ruangan dan dapat memfasilitasi
penyebaran patologi diantara mereka. Fossa pterigopalatina berhubungan ke
superior dengan orbita melalui bagian posterior dari fissura orbitalis inferior.
Foramen rotundum terbuka ke dalamnya, disisi superior, menghubungkannya
dengan fossa kranialis media. Disisi lateral, fossa pterigopalatina berhubungan
dengan fossa infratemporalis. Disisi medial fossa pterigopalatina berhubungan
dengan rongga hidung melalui foramen sphenopalatina pada pelat tegak lurus dari
tulang palatina, dan dengan rongga mulut melalui kanalis palatina mayor, yang
brejalan disisi inferior antara tulang palatina dan maksila. Fossa pterigopalatina
berisi cabang maksilaris dari saraf kranialis kelima, yang berjalan melalui foramen
rotundum dan ke dalam orbita melalui fisura orbilatis inferior. Fossa
pterigopalatina juga berisi segmen pterigopalatina dari arteri maksilaris, yang
membuat loop karakteristik dan memberikan cabang ke fossa kranialis media dan
infratemporalis, ke rongga hidung, palatum dan faring (Ryan et al., 2004).
Arteri karotis eksterna biasanya muncul setinggi vertebra servikalis ke tiga
(VC-3) dari percabangan arteri karotis interna. Cabang-cabang utama arteri
karotis eksterna adalah arteri tiroidea superior, arteri lingualis, arteri fasialis, arteri
faringealis asenden, arteri oksipitalis, arteri aurikularis posterior, arteri maksilaris
interna dan arteri temporalis superfisialis. Tiga cabang pertama muncul dari aspek
anteromedial dari segmen proksimal arteri. Dua atau tiga arteri di atasnya, arteri
faringealis asenden dan arteri oksipitalis, timbul dari aspek posterolateral karotis
eksterna. Pada sekitar 15% kasus, arteri tiroidea superior timbul dari karotis
interna. Arteri aurikularis posterior adalah cabang kecil yang muncul dekat
sebelum cabang terminal utama, arteri temporalis superfisialis dan arteri
maksilaris interna. Arteri maksilaris interna besar memberikan cabang pentingnya
ke arteri meningea media serta mensuplai fossa hidung, palatum, mandibula dan
daerah infraorbita (Sutton & Gregson, 2008)
2.3. Epidemiologi
Juvenile angiofibroma nasofaring merupakan tumor jarang yang timbul di
nasofaring, yang merupakan 0,5% dari semua tumor kepala dan leher, dengan
frekuensi satu diantara 5.000-60.000 pasien THT di Amerika Serikat. Meskipun
jarang, juvenile angiofibroma nasofaring merupakan tumor yang paling sering
mengenai nasofaring. Tumor terjadi secara eksklusif pada laki-laki, sehingga
wanita dengan tumor ini harus menjalani tes genetik. Usia saat terkena umumnya
pada dekade kedua, antara 7-19 tahun, dan jarang terjadi pada usia lebih dari 25
tahun (Tewfik, 2013; Garca et al., 2010; Davis, 1987; ).
2.4. Etiologi
Etiologi JNA masih belum jelas. Berbagai teori banyak diajukan, salah
satunya adalah teori jaringan asal, yaitu pendapat bahwa tempat perlekatan
spesifik angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap rongga hidung. Faktor
ketidakseimbangan hormonal juga banyak dikemukakan sebagai penyebab dari
tumor ini, bahwa JNA berasal dari sex steroid-stimulated hamartomatous tissue
yang terletak di turbinate cartilage. Pengaruh hormonal yang dikemukakan ini
dapat menjelaskan mengapa beberapa JNA jarang terjadi (ber-involute) setelah
masa remaja (Roezin & Dharmabaktio, 2007).
2.5. Patogenesis
Permukaan tumor dilapisi oleh mukosa yang dibawahnya terdapat
anyaman pembuluh darah. Massa tumor terdiri dari jaringan ikat padat dan
gumpalan sel serta terisi pembuluh vena lebar yang menumpuk di bagian pinggir.
Tumor ini tidak bermetastasis tetapi dapat tumbuh mendesak, dapat menginvasi
orbita, sinus paranasal, fossa pterigoid dan temporal atau ke ruang intrakranial.
Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan lateral
koana di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas dibawah mukosa
sepanjang atap nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke arah
bawah membentuk tonjolan massa diatap rongga hidung posterior. Perluasan ke
arah anterior akan mengisi rongga hidung, mendorong septum ke sisi kontralateral
dan memipihkan konka. Pada perluasan kearah lateral, tumor melebar kearah
foramen sfenopalatina, masuk ke fisura pterigomaksila dan akan mendesak
dinding posterior sinus maksila. Bila meluas terus, akan masuk ke fossa
intratemporal yang akan menimbulkan benjolan di pipi, dan rasa penuh di
wajah. Apabila tumor mendorong salah satu atau kedua bola mata maka akan
tampak gejala yang khas pada wajah, yang akan disebut muka kodok .
Perluasan ke intrakranial dapat terjadi melalui fossa infratemporal dan
pterigomaksila masuk ke fossa serebri media. Dari sinus ethmoid masuk ke fossa
serebri anterior atau dari sinus sfenoid ke sinus kavernosus dan fossa hipofise
(Roezin & Dharmabaktio, 2007).
2.7. Diagnosis
2.7.1. Computed Tomography
Computed tomography tetap merupakan pilihan awal pemeriksaan karena
dapat menunjukkan banyak tanda karakteristik radiologis, dan juga
menggambarkan tingkat perluasan dan kerusakan tulang. Lesi massa yang
meningkat pada nasofaring biasa terjadi tapi tidak invarian - terutama pada kasus
dengan kekambuhan (Thakar et al, 2013). CT scan berperan dalam follow-up
setelah pembedahan untuk mendeteksi sisa tumor, menilai ukuran setelah
radioterapi atau menilai pengecilan tumor.CT scan merupakan pemeriksaan
sebelum operasi yang paling penting karena dapat menunjukkan destruksi struktur
tulang dan pelebaran foramen dan fisura pada basis kranii akibat penyebaran
tumor. Keterlibatan tulang dan penyebaran tumor paling baik dilihat pada
potongan aksial atau koronal irisan tipis. CT scan aksial dan koronal dapat
menggambarkan asal dan perluasan lesi (naz et al, 2009).Karakteristik temuan
pada CT, antara lain (Thakar et al, 2013) :
Sebuah penonjolan ke anterior dari dinding posterior sinus maksilaris (Tanda
HolmanMiller)
Erosi lantai sinus sphenoid dan perluasan tumor dari nasofaring dan sinus
sphenoid.
Erosi dasar pterygoid
Karakteristik distribusi tumor dengan peningkatan yang bersifat lobulated dan
demarkasi tumor yang baik yang melibatkan fossa infratemporal, berkembang
melalui fisura orbital inferior, orbita posterior dan fisura orbital superior
Pelebaran foramen sphenopalatina, opasitas di sinus paranasal,, deviasi
septum nasi, dan perluasan intrakranial
Gambar 3. (a) Gambaran Holman Miller pada CT scan ANJ, (b) erosi dari kanal vidian
(Thakar et al, 2013)
2.7.2. MRI
Pemindaian MRI menawarkan peningkatan delineasi jaringan lunak. Tumor
dapat memberikan tampilan "garam dan merica" dengan komponen fibrous tumor
terlihat berwarna putih, dan komponen vaskular angiomatous muncul sebagai void
aliran gelap. Tumor meningkat kuat dengan gadolinium dan ekstensi tumor yang
jelas dapat ditunjukkan. MRI sangat berguna untuk penilaian tumor intrakranial
yang berada di sekitar sinus kavernosus, serta untuk menindaklanjuti evaluasi
untuk tumor residu/rekuren.
Gambar 4. MRI pada ANJ dengan tampakan salt and pepper (Thakar et al, 2013)
2.7.3.Angiografi
Angiografi adalah nilai diagnostik dengan gambaran khas tumor yang seperti
merona. Ini memberikan informasi tentang suplai vaskular utama dan
memungkinkan untuk embolisasi pra-operasi. Pasokan arterial utama pada tumor
ini adalah arteri maksilaris interna ipsilateral, sesekali pembuluh tambahan dari
arteri faringes naik, dan cabang dari ICA kavernosa atau kontra lateral karotid
eksternal (Siniluoto et al, 1993).
Pada pemeriksaan arteriografi arteri karotis akan memberikan gambaran yang
khas yaitu (Lloyd et al, 1999) :
Pendorongan arteri maksila interna ke depan sebagai akibat pertumbuhan
tumor dari nasofaring ke arah fossa pterigomaksila.
Massa tumor terisi oleh kontras pada fase kapiler dan akan mencapai
maksimum setelah 3-6 detik zat kontras disuntikan. Pemeriksaan angiografi
bertujuan untuk melihat pembuluh darah pemasok utama, mengevaluasi besar
dan perluasan serta residu tumor. Suplai darah dapat dari kedua sisi leher.
Gambar 5. Arteri maxillaris interna mensuplai tumor dengan tampakan tumour blush
(Thakar et al, 2013)
2.9.1. Pembedahan
Pembedahan membutuhkan perencanaan yang tepat. Pertimbangan juga diberikan
untuk penyusutan tumor pra tindakan dengan terapi anti androgen, dan untuk
devaskularisasi tumor oleh emboliasi tumor.
Pra tindakan untuk pengurangan volume tumor dengan anti androgen: Pengobatan
estrogen pada awalnya diajukan di pertengahan abad ke-20 namun secara bertahap
ditinggalkan bersama feminitas jaminan yang jelas dan tidak ada bukti
kemanjuran yang jelas. Ketersediaan antiandrogen generasi sekarang dengan efek
sampingnya terbatas telah menbawa untuk evaluasi ulang pengobatan anti-
androgen sebagai ajuvan. Untuk perawatan bedah flutamida, androgen non steroid
antagonis, menyebabkan resistansi reseptor situs kompetitif testosteron dan
dihydotestosterone, namun dengan peningkatan tingkat serum yang sama dan
tidak ada penekanan libido. Studi menunjukkan bahwa flutamide 6 minggu (10mg
/ kg / hari) adalah terbukti berkhasiat dalam mengurangi volume tumor (rata-rata
pengurangan 16,5%, maksimal 40%), dan juga aman. Namun kemanjuran terbatas
pada pasien pasca pubertas, dan pengobatan tidak efektif pada pasien pra pubertas
(Thakar et al, 2013).
Shciff mengemukakan suatu trilogi terjadinya tumor ini. Pertama tumor ini
terjadi oleh karena ketidakseimbangan androgen-estrogen. Kedua, aktivitas
berlebihan dari kelenjar hipotalamus, dan ketiga, respon yang berlebihan dari
jaringan pembuluh darah tersebut. Schiff memberikan estrogen pada angiofibroma
nasofaring selama 4-6 minggu, setelah itu dilakukan pembedahan untuk
pengangkatan tumor. Hasil dari tindakan tersebut adalah berupa perdarahan yang
lebih sedikit dibandingkan dengan tidak diberikan estrogen sebelumnya. Estrogen
memberikan efek pematangan jaringan fibrosa dan pembuluh darah (Firdaus et al,
2014).
Terapi hormonal pada angiofibroma nasofaring bertujuan untuk mengecilkan
masa tumor dan mengurangi perdarahan. Pemberian estrogen dapat meningkatkan
maturasi kolagen dan mengurangi pembuluh darah dari tumor, sehingga
perdarahan berkurang dan tumor mengecil. Estrogen dapat menimbulkan efek
samping berupa penurunan kadar testosteron plasma, atrofi testis dan
ginekomastia pada anak laki-laki. Harison, Walike dan Mackay memberikan
dietilstilbestrol selama 30 hari. Terlihat peningkatan jaringan ikat fibrosa dan
penurunan dari jumlah pembuluh darah. Dosis terapi yang dianjurkan tidak lebih
dari 15 mg/hari selama satu bulan dan dosis maksimal yang pernah diberikan
adalah 3.000 mg (Lee et al, 2003).
2.9.3. Radioterapi
Meski radiasi telah dilaporkan efektif bagi ANJ, pandangan umum hal itu
tidak sepenuhnya cocok untuk tumor jinak pada populasi remaja. Potensi
komplikasi jangka panjang telah membatasi penggunaaan terapi radiasi -
komplikasi yang dilaporkan meliputi transformasi ganas, karsinoma tiroid,
sarkoma tulang dan jaringan lunak, karsinoma sel basal, hipopituitarisme, katarak,
atrofi saraf optik, osteoradionekrosis, osteomielitis dasar tengkorak, dan retardasi
pertumbuhan wajah. Radiasi bagaimanapun dapat digunakan sebagai terapi primer
untuk lesi yang berat dan tidak dapat diobati, dan juga telah digunakan untuk
tumor rekuren / sisa. Sedang radiasi 3000-3500 rad di atas fraksinasi konvensional
dilaporkan dapat mengendalikan perkembangan tumor dan gejala sampai 80%.
Regresi tumor menjadi lambat selama berbulan-bulan, dan sekitar 10-63% kasus
yang ditangani terutama dengan radioterapi terus menunjukkan massa yang
terlihat secara radiologis pada periode pemantauan. Tumor non-progresif pada
individu tanpa gejala (post radioterapi) biasanya tidak memerlukan perawatan
lebih lanjut (Thakar et al, 2013).
2.9.4. Sitostatika
Geopfert et al (1985) pertama kali memberikan sitostatika terhadap 5 kasus
angiofibroma nasofaring yang mengalami residif dengan memberikan kombinasi
deksorubisin dan dekarbasin atau kombinasi vinkristin, daktinomisin dan
siklofosfamid. Hasil yang diperoleh ternyata cukup memuaskan dan tumor
mengalami regresi secara perlahan-lahan, tanpa menimbulkan komplikasi.
Sitostatika diberikan pada tumor rekuren yang besar, pasca tindakan pembedahan,
tumor dengan pertumbuhan intrakranial dan tumor yang mendapat perdarahan
utama dari pembuluh darah intrakranial. Obat yang diberikan antara lain
doksorubisin dan dacarbazine atau kombinasi vinkristin, daktinomisin dan
siklofosfamid.
2.10. Prognosis
Pada kasus-kasus di mana pertumbuhan tumor dapat diatasi dengan
pambedahan dapat dikatakan memiliki prognosis yang baik. Biasanya ini terjadi
pada pasien dengan usia yang lebih tua. Pada kasus yang lain, terutama pada
pasien berusia lebih muda, tumor jenis ini dapat berkembang menjadi degenerasi
yang ganas dan memiliki prognosis yang buruk (Roezin & Dharmabakto, 2007).
DAFTAR PUSTAKA
Lee KJ. (2003). The nose and paranasal sinuses. In Essensial Otolaryngology:
Head and Neck Surgery; 8:708-9
Siniluoto, T. M., Luotonen, J. P., Tikkakoski, T. A., Leinonen, A. S., & Jokinen, K.
E. (1993). Value of pre-operative embolization in surgery for
nasopharyngeal angiofibroma. The Journal of Laryngology &
Otology, 107(6), 514-521.
Lloyd, G., Howard, D., Phelps, P., & Cheesman, A. (1999). Juvenile
angiofibroma: the lessons of 20 years of modern imaging. The Journal of
Laryngology & Otology, 113(2), 127-134.
Kania, R. E., Sauvaget, E., Guichard, J. P., Chapot, R., Huy, P. T. B., & Herman, P.
(2005). Early postoperative CT scanning for juvenile nasopharyngeal
angiofibroma: detection of residual disease. American journal of
neuroradiology, 26(1), 82-88.
Goepfert, H., Cangir, A., & Lee, Y. Y. (1985). Chemotherapy for aggressive
juvenile nasopharyngeal angiofibroma. Archives of Otolaryngology, 111(5),
285-289.
Garca MF, Yuca SA, Yuca K. Juvenil Nasopharyngeal Angiofibroma. Eur J Gen
Med. 2010;7(4): 419-25
Mansfield E. 2006. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Available from :
http:/www.emedicine.com/med/topic 2758.htm.
Nicolai P, Schreiber A, Villaret AB. Juvenil Angiofibroma: Wvolution of
Management. International Journal of Pediatric.2012: 1-11