Anda di halaman 1dari 16

BAB 1

PENDAHULUAN
Angifibroma nasofaring juvenil merupakan tumor jinak hipervaskuler di
nasofaring dengan gambaran epidemiologi dan pola pertumbuhan yang khas.
Tumor secara khas mengenai remaja laki-laki pada masa pubertas, dengan gejala
klinis yang khas epistaksis berulang dan sumbatan hidung unilateral (Nicolai et
al., 2012; Garca et al., 2010).
Angiofibroma nasofaring paling sering ditemukan pada anak lak-laki
prepubertas dan remaja, yang umumnya terdapat pada rentang usia 7 sampai 21
tahun dengan insidens terbanyak antara usia 14-18 tahun. Angiofibroma
nasofaring jarang terjadi pada usia diatas 25 tahun sehingga tumor ini disebut juga
Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma
jarang ditemukan dan diperkirakan hanya 0,05% dari seluruh tumor kepala dan
leher. Insiden angiofirboma nasofaring diperkirakan antara 1 : 5.000-60.000 pada
pasien THT.(Roezin & Dharmabaktio, 2007; Asroel, 2002).
Gejala klinik yang dapat ditemukan pada Angifibroma nasofaring juvenil
dapat berupa hidung tersumbat (80-90%), merupakan gejala yang paling sering,
diikuti epistaksis (45-60%) yang kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala
(25%) khususnya bila sudah meluas ke sinus paranasal, pembengkakan wajah (10-
18%). Gejala lain seperti anosmia, rhinolalia, deafness, pembengkakan palatum
serta deformitas pipi juga dapat ditemukan pada penderita angiofibroma
nasofaring. Angiofibroma nasofaring sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus
sangat hati-hati karena sentuhan jari pada permukaan tumor dapat menimbulkan
perdarahan yang ekstensif. Diagnosis angiofibroma nasofaring ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologis. Trias
gejala dan tanda klinis dari tumor ini adalah epistaksis masif berulang, sumbatan
hidung dan massa di nasofaring sangat mendukung kecurigaan adanya
angiofibroma nasofaring (Asroel, 2002; Mansfield, 2006).
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara
histologik jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan
mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal,
pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan
(Roezin & Dharmabaktio, 2007).
Sebutan lain untuk angiofibroma di dalam literatur antara lain: juvenile
angiofibroma, juvenile nasopharyngeal angiofibroma (JNA), nasal cavity tumor,
nasal tumor, benign nasal tumor, tumor hidung (nose tumor), nasopharyngeal
tumor, atau angiofibroma nasofaring belia (Pradhana, 2009)

2.2. Anatomi
Fossa pterigopalatina adalah lekukan medial fissura pterigomaksilaris
yang terletak tepat di bawah puncak orbita antara prosesus pterigoideus dan
posterior maksila. Batas medialnya adalah pelat tegak lurus dari tulang palatina.
Hal ini penting karena menghubungkan beberapa ruangan dan dapat memfasilitasi
penyebaran patologi diantara mereka. Fossa pterigopalatina berhubungan ke
superior dengan orbita melalui bagian posterior dari fissura orbitalis inferior.
Foramen rotundum terbuka ke dalamnya, disisi superior, menghubungkannya
dengan fossa kranialis media. Disisi lateral, fossa pterigopalatina berhubungan
dengan fossa infratemporalis. Disisi medial fossa pterigopalatina berhubungan
dengan rongga hidung melalui foramen sphenopalatina pada pelat tegak lurus dari
tulang palatina, dan dengan rongga mulut melalui kanalis palatina mayor, yang
brejalan disisi inferior antara tulang palatina dan maksila. Fossa pterigopalatina
berisi cabang maksilaris dari saraf kranialis kelima, yang berjalan melalui foramen
rotundum dan ke dalam orbita melalui fisura orbilatis inferior. Fossa
pterigopalatina juga berisi segmen pterigopalatina dari arteri maksilaris, yang
membuat loop karakteristik dan memberikan cabang ke fossa kranialis media dan
infratemporalis, ke rongga hidung, palatum dan faring (Ryan et al., 2004).
Arteri karotis eksterna biasanya muncul setinggi vertebra servikalis ke tiga
(VC-3) dari percabangan arteri karotis interna. Cabang-cabang utama arteri
karotis eksterna adalah arteri tiroidea superior, arteri lingualis, arteri fasialis, arteri
faringealis asenden, arteri oksipitalis, arteri aurikularis posterior, arteri maksilaris
interna dan arteri temporalis superfisialis. Tiga cabang pertama muncul dari aspek
anteromedial dari segmen proksimal arteri. Dua atau tiga arteri di atasnya, arteri
faringealis asenden dan arteri oksipitalis, timbul dari aspek posterolateral karotis
eksterna. Pada sekitar 15% kasus, arteri tiroidea superior timbul dari karotis
interna. Arteri aurikularis posterior adalah cabang kecil yang muncul dekat
sebelum cabang terminal utama, arteri temporalis superfisialis dan arteri
maksilaris interna. Arteri maksilaris interna besar memberikan cabang pentingnya
ke arteri meningea media serta mensuplai fossa hidung, palatum, mandibula dan
daerah infraorbita (Sutton & Gregson, 2008)

Gambar 1. Anatomi Nasofaring

2.3. Epidemiologi
Juvenile angiofibroma nasofaring merupakan tumor jarang yang timbul di
nasofaring, yang merupakan 0,5% dari semua tumor kepala dan leher, dengan
frekuensi satu diantara 5.000-60.000 pasien THT di Amerika Serikat. Meskipun
jarang, juvenile angiofibroma nasofaring merupakan tumor yang paling sering
mengenai nasofaring. Tumor terjadi secara eksklusif pada laki-laki, sehingga
wanita dengan tumor ini harus menjalani tes genetik. Usia saat terkena umumnya
pada dekade kedua, antara 7-19 tahun, dan jarang terjadi pada usia lebih dari 25
tahun (Tewfik, 2013; Garca et al., 2010; Davis, 1987; ).

2.4. Etiologi
Etiologi JNA masih belum jelas. Berbagai teori banyak diajukan, salah
satunya adalah teori jaringan asal, yaitu pendapat bahwa tempat perlekatan
spesifik angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap rongga hidung. Faktor
ketidakseimbangan hormonal juga banyak dikemukakan sebagai penyebab dari
tumor ini, bahwa JNA berasal dari sex steroid-stimulated hamartomatous tissue
yang terletak di turbinate cartilage. Pengaruh hormonal yang dikemukakan ini
dapat menjelaskan mengapa beberapa JNA jarang terjadi (ber-involute) setelah
masa remaja (Roezin & Dharmabaktio, 2007).

2.5. Patogenesis
Permukaan tumor dilapisi oleh mukosa yang dibawahnya terdapat
anyaman pembuluh darah. Massa tumor terdiri dari jaringan ikat padat dan
gumpalan sel serta terisi pembuluh vena lebar yang menumpuk di bagian pinggir.
Tumor ini tidak bermetastasis tetapi dapat tumbuh mendesak, dapat menginvasi
orbita, sinus paranasal, fossa pterigoid dan temporal atau ke ruang intrakranial.
Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan lateral
koana di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas dibawah mukosa
sepanjang atap nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke arah
bawah membentuk tonjolan massa diatap rongga hidung posterior. Perluasan ke
arah anterior akan mengisi rongga hidung, mendorong septum ke sisi kontralateral
dan memipihkan konka. Pada perluasan kearah lateral, tumor melebar kearah
foramen sfenopalatina, masuk ke fisura pterigomaksila dan akan mendesak
dinding posterior sinus maksila. Bila meluas terus, akan masuk ke fossa
intratemporal yang akan menimbulkan benjolan di pipi, dan rasa penuh di
wajah. Apabila tumor mendorong salah satu atau kedua bola mata maka akan
tampak gejala yang khas pada wajah, yang akan disebut muka kodok .
Perluasan ke intrakranial dapat terjadi melalui fossa infratemporal dan
pterigomaksila masuk ke fossa serebri media. Dari sinus ethmoid masuk ke fossa
serebri anterior atau dari sinus sfenoid ke sinus kavernosus dan fossa hipofise
(Roezin & Dharmabaktio, 2007).

Gambar 2 . Perjalanan penyebaran angiofibroma nasofaring

Beberapa literatur mengatakan adanya kemungkinan tumor tumbuh


dibawah pengaruh sirkulasi dan fluktuasi hormon seksual selama masa pubertas.
Pertumbuhan dari jaringan tumor berkaitan dengan over produksi dari estrogen
dan kurangnya produksi dari hormon androgen. Akumulasi -catenin yang
merupakan koaktifator dari androgen reseptor pada nukleus, menjelaskan
mengapa tumor ini banyak pada pasien dewasa muda, dan juga kadar hormon
pada serum yang normal. Disamping itu adanya dietilstilbestrol yang menurunkan
potensial pertumbuhan dari sel endotelial dan meningkatkan stimulasi dari
jaringan fibrosa (Mobeag, 2006). Faktor angiogenesis dan hormonal memang
telah banyak menjadi subjek penelitian pada ANJ, walaupun data yang tersedia
tidak cukup banyak dan kurang representatif serta mekanisme yang masih belum
jelas.
Saylam dkk (2005) pada penelitiannya terhadap estrogen reseptor (ER),
progesteron reseptor (PR), proliferating cell nuclear antigen (PCNA), vascular
endotelial growth factor (VEGF) dan transforming growth factor (TGF )
dengan pemeriksaan imunohistokimia terhadap sediaan patologi anatomi. Dari 27
sampel hanya 2 yang positif terhadap ER, 9 kasus positif terhadap PR, semua
sampel mengandung PCNA, 24 kasus didapatkan VEGF, dan 14 dari 27 sampel
positif TGF-. Dari data ini didapatkan hasil bahwa estrogen dan progesteron
tidak memainkan peranan penting dalam terjadinya angiogenesis pada ANJ.
PCNA, VEGF, dan TGF dicurigai meningkatkan proses proliferasi dan
angiogenesis.
Lenny dkk pada penelitiannya terhadap gambaran ekspresi reseptor estrogen
pada ANB di RSCM, didapatkan kesimpulan hasil pemeriksaan histokimia
menunjukkan ekspresi ER- pada semua kasus. Dimana pada penelitian ini hasil
berdasarkan intensitas pewarnaan dan sel yang mengandung ER- . Berdasarkan
intensitas pewarnaan terhadap ER- didapatkan 18,5% mempunyai pewarnaan
yang kuat, 29,6% intensitas pewarnaan sedang dan 51,9% memiliki intensitas
pewarnaan yang lemah. Jika dilihat dari sel yang mengandung ER- didapatkan
hasil 3,7% masuk dalam kelompok jumlah sel yang positif mengandung ER- <
25%, tiga koma tujuh persen termasuk kelompok dengan jumlah sel 25-50% dan
92,6% termasuk kelompok dengan jumlah sel yang positif mengandung ER-
>50%

2.6. Manifestasi Klinis


Tumor ini terbatas pada usia prepubescent atau peri-pubescent. Penderita laki-laki
dengan tumor jarang ditemukan sebelum usia 8 dan setelah usia 25 tahun. ANJ
pada wanita paling tidak umum, dan jika ditemukan harus dilakukan evaluasi
untuk kelainan endokrin dan kadar serum androgen. Presentasi klinis biasanya
disertai penyumbatan hidung atau epistaksis berat berulang pada pria remaja.
Klinis bervariasi tergantung pada tingkat penyakit, tapi ekstensi ke dalam
sphenoid dan sinus lainnya, orbuta, fosa infratemporal dan fosa kranial tengah
sering asimptomatis. Bergantian, ekstensi semacam itu bisa terwujud dengan
pembengkakan pipi, proptosis atau kehilangan penglihatan. Sumbatan hidung bisa
berlanjut menyebabkan mendengkur dan gejala Obstructive Sleep Apnea. (Thakar
et al, 2013). Keluhan lain berupa rinolalia, anosmia, sefalgia, tuli konduktif,
deformitas wajah, proptosis dan diplopia. Sumbatan ostium sinus dapat
menyebabkan sinusitis. Perluasan tumor ke orofaring menimbulkan disfagia, dan
dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas. Bila tumor masuk ke dalam fisura
orbitalis superior timbul proptosis, dan dapat disertai gangguan visus serta
deformitas wajah penderita. Dari nasofaring tumor dapat meluas ke fossa
pterigopalatina, lalu ke fossa infra temporal, kemudian menyusuri rahang atas
bagian belakang dan terus masuk ke jaringan lunak antara otot maseter dan
businator. Hal tersebut di atas akan menimbulkan pembengkakan pipi dan trismus.
Perluasan tumor ke rongga intra kranial akan menimbulkan gejala neurologis
(Firdaus et al, 2014).

2.7. Diagnosis
2.7.1. Computed Tomography
Computed tomography tetap merupakan pilihan awal pemeriksaan karena
dapat menunjukkan banyak tanda karakteristik radiologis, dan juga
menggambarkan tingkat perluasan dan kerusakan tulang. Lesi massa yang
meningkat pada nasofaring biasa terjadi tapi tidak invarian - terutama pada kasus
dengan kekambuhan (Thakar et al, 2013). CT scan berperan dalam follow-up
setelah pembedahan untuk mendeteksi sisa tumor, menilai ukuran setelah
radioterapi atau menilai pengecilan tumor.CT scan merupakan pemeriksaan
sebelum operasi yang paling penting karena dapat menunjukkan destruksi struktur
tulang dan pelebaran foramen dan fisura pada basis kranii akibat penyebaran
tumor. Keterlibatan tulang dan penyebaran tumor paling baik dilihat pada
potongan aksial atau koronal irisan tipis. CT scan aksial dan koronal dapat
menggambarkan asal dan perluasan lesi (naz et al, 2009).Karakteristik temuan
pada CT, antara lain (Thakar et al, 2013) :
Sebuah penonjolan ke anterior dari dinding posterior sinus maksilaris (Tanda
HolmanMiller)
Erosi lantai sinus sphenoid dan perluasan tumor dari nasofaring dan sinus
sphenoid.
Erosi dasar pterygoid
Karakteristik distribusi tumor dengan peningkatan yang bersifat lobulated dan
demarkasi tumor yang baik yang melibatkan fossa infratemporal, berkembang
melalui fisura orbital inferior, orbita posterior dan fisura orbital superior
Pelebaran foramen sphenopalatina, opasitas di sinus paranasal,, deviasi
septum nasi, dan perluasan intrakranial

Gambar 3. (a) Gambaran Holman Miller pada CT scan ANJ, (b) erosi dari kanal vidian
(Thakar et al, 2013)

2.7.2. MRI
Pemindaian MRI menawarkan peningkatan delineasi jaringan lunak. Tumor
dapat memberikan tampilan "garam dan merica" dengan komponen fibrous tumor
terlihat berwarna putih, dan komponen vaskular angiomatous muncul sebagai void
aliran gelap. Tumor meningkat kuat dengan gadolinium dan ekstensi tumor yang
jelas dapat ditunjukkan. MRI sangat berguna untuk penilaian tumor intrakranial
yang berada di sekitar sinus kavernosus, serta untuk menindaklanjuti evaluasi
untuk tumor residu/rekuren.

Gambar 4. MRI pada ANJ dengan tampakan salt and pepper (Thakar et al, 2013)
2.7.3.Angiografi
Angiografi adalah nilai diagnostik dengan gambaran khas tumor yang seperti
merona. Ini memberikan informasi tentang suplai vaskular utama dan
memungkinkan untuk embolisasi pra-operasi. Pasokan arterial utama pada tumor
ini adalah arteri maksilaris interna ipsilateral, sesekali pembuluh tambahan dari
arteri faringes naik, dan cabang dari ICA kavernosa atau kontra lateral karotid
eksternal (Siniluoto et al, 1993).
Pada pemeriksaan arteriografi arteri karotis akan memberikan gambaran yang
khas yaitu (Lloyd et al, 1999) :
Pendorongan arteri maksila interna ke depan sebagai akibat pertumbuhan
tumor dari nasofaring ke arah fossa pterigomaksila.
Massa tumor terisi oleh kontras pada fase kapiler dan akan mencapai
maksimum setelah 3-6 detik zat kontras disuntikan. Pemeriksaan angiografi
bertujuan untuk melihat pembuluh darah pemasok utama, mengevaluasi besar
dan perluasan serta residu tumor. Suplai darah dapat dari kedua sisi leher.

Gambar 5. Arteri maxillaris interna mensuplai tumor dengan tampakan tumour blush
(Thakar et al, 2013)

2.8. Stadium Tumor


Untuk menentukan perluasan tumor, dibuat sistem staging. Ada 2 sistem
yang paling sering digunakan yaitu Sessions dan Fisch (Roeszin et al, 2007).
Klasifikasi menurut Sessions sebagai berikut :
- Stage IA :Tumor terbatas pada nares posterior dan/atau nasofaring
- Stage IB :Tumor melibatkan nares posterior dan/atau nasofaring
dengan perluasan ke satu sinus paranasal.
- Stage IIA : Perluasan lateral minimal ke dalam fossa pterygomaksila.
- Stage IIB : Mengisi seluruh fossa pterygomaksila dengan atau tanpa
erosi ke tulang orbita.
- Stage IIIA :Mengerosi dasar tengkorak; perluasan intrakranial yang
minimal.
- Stage IIIB : Perluasan ke intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke
dalam sinus kavernosus.

Klasifikasi menurut Fisch :


- Stage I : Tumor terbatas pada kavum nasi, nasofaring tanpa
destruksi tulang.
- Stage II : Tumor menginvasi fossa pterygomaksila, sinus paranasal
dengan destruksi tulang.
- Stage III : Tumor menginvasi fossa infra temporal, orbita dan/atau
daerah parasellar sampai sinus kavernosus.
- Stage IV : Tumor menginvasi sinus kavernosus, chiasma optikum
dan/atau fossa pituitary.
2.9. Penatalaksanaan
Terapi yang dapat dilakukan meliputi pembedahan, radiasi, krioterapi,
elektrokoagulasi, terapi hormonal, embolisasi, dan injeksi agen sklerosing.
Pembedahan merupakan penatalaksanaan yang dianjurkan dan paling banyak
diterima, tetapi terdapat risiko perdarahan yang besar akibat tingginya
vaskularisasi tumor, seringkali lebih besar dari 2.000 ml (Naz et al 2009), .
Embolisasi preoperatif direkomendasikan sebagai prosedur standar untuk
mengurangi kehilangan darah selama operasi, sehingga memungkinkan eksisi
total, mengurangi komplikasi dan meminimalkan residu tumor. Tujuannya adalah
mengurangi suplai darah ke tumor, dan hal ini akan efisien jika agen emboli dapat
masuk ke pembuluh darah di dalam tumor, yang paling baik dicapai dengan
partikel berukuran kecil seperti polivinil alkohol. Pemilihan ukuran partikel
merupakan keseimbangan antara keamanan dan efisiensi dan tergantung apakah
posisi kateter dapat dicapai dengan injeksi langsung agen emboli ke dalam tumor.
Partikel kecil akan masuk lebih dalam ke dalam tumor tetapi mempunyai risiko
yang lebih tinggi untuk terjadi nekrosis kulit dan kelumpuhan saraf kranial. Bahan
yang paling sering digunakan adalah polivinil alkohol atau gelfoam. Embolisasi
dapat mengurangi 60- 70% perdarahan intraoperatif. Pembedahan dilakukan 2-5
hari setelah embolisasi (Kania et al, 2005).

2.9.1. Pembedahan
Pembedahan membutuhkan perencanaan yang tepat. Pertimbangan juga diberikan
untuk penyusutan tumor pra tindakan dengan terapi anti androgen, dan untuk
devaskularisasi tumor oleh emboliasi tumor.
Pra tindakan untuk pengurangan volume tumor dengan anti androgen: Pengobatan
estrogen pada awalnya diajukan di pertengahan abad ke-20 namun secara bertahap
ditinggalkan bersama feminitas jaminan yang jelas dan tidak ada bukti
kemanjuran yang jelas. Ketersediaan antiandrogen generasi sekarang dengan efek
sampingnya terbatas telah menbawa untuk evaluasi ulang pengobatan anti-
androgen sebagai ajuvan. Untuk perawatan bedah flutamida, androgen non steroid
antagonis, menyebabkan resistansi reseptor situs kompetitif testosteron dan
dihydotestosterone, namun dengan peningkatan tingkat serum yang sama dan
tidak ada penekanan libido. Studi menunjukkan bahwa flutamide 6 minggu (10mg
/ kg / hari) adalah terbukti berkhasiat dalam mengurangi volume tumor (rata-rata
pengurangan 16,5%, maksimal 40%), dan juga aman. Namun kemanjuran terbatas
pada pasien pasca pubertas, dan pengobatan tidak efektif pada pasien pra pubertas
(Thakar et al, 2013).
Shciff mengemukakan suatu trilogi terjadinya tumor ini. Pertama tumor ini
terjadi oleh karena ketidakseimbangan androgen-estrogen. Kedua, aktivitas
berlebihan dari kelenjar hipotalamus, dan ketiga, respon yang berlebihan dari
jaringan pembuluh darah tersebut. Schiff memberikan estrogen pada angiofibroma
nasofaring selama 4-6 minggu, setelah itu dilakukan pembedahan untuk
pengangkatan tumor. Hasil dari tindakan tersebut adalah berupa perdarahan yang
lebih sedikit dibandingkan dengan tidak diberikan estrogen sebelumnya. Estrogen
memberikan efek pematangan jaringan fibrosa dan pembuluh darah (Firdaus et al,
2014).
Terapi hormonal pada angiofibroma nasofaring bertujuan untuk mengecilkan
masa tumor dan mengurangi perdarahan. Pemberian estrogen dapat meningkatkan
maturasi kolagen dan mengurangi pembuluh darah dari tumor, sehingga
perdarahan berkurang dan tumor mengecil. Estrogen dapat menimbulkan efek
samping berupa penurunan kadar testosteron plasma, atrofi testis dan
ginekomastia pada anak laki-laki. Harison, Walike dan Mackay memberikan
dietilstilbestrol selama 30 hari. Terlihat peningkatan jaringan ikat fibrosa dan
penurunan dari jumlah pembuluh darah. Dosis terapi yang dianjurkan tidak lebih
dari 15 mg/hari selama satu bulan dan dosis maksimal yang pernah diberikan
adalah 3.000 mg (Lee et al, 2003).

2.9.2. Eksisi Bedah:


Berbagai pendekatan bedah telah diusulkan Pilihan pendekatan bedah tergantung
pada usia pasien, tingkat penyakit, tahap pembedahan (Primer / revisi),
vaskularitas, efektifitas emboliasi dan pengalaman ahli bedah. Terlepas dari
pendekatan bedah yang dipilih, prinsip pasti intraoperatif dasar eksisi tumor
berlaku untuk semua. Ini termasuk i) paparan yang luas, ii) diseksi lateral ke
medial, iii) ligasi arteri maksilaris internal sebelum pengambilan tumor, iv) reseksi
en-blok tanpa pelanggaran kapsul tumor, dan v) pengeboran saluran vidian
proksimal dan dasar dari pterygoid sehingga dapat menghilangkan kemungkinan
penyakit residual di sekitarnya. Strategi intraoperatif untuk mengurangi
kehilangan darah meliputi Elevasi ujung kepala, anestesi hipotensif, pembedahan
sub periosteal , kauterisasi mukosa di atas dan penggunaan sel saver24 (untuk
ekstensi sinus kavernosa) (Thakar et al, 2013).
Spector mengemukakan pilihan operasi secara transpalatal pada tumor yang
terbatas di nasofaring, hidung dan sinus sfenoid. Untuk tumor yang meluas ke
lateral melalui fisura pterigomaksila, dapat dikombinasikan pendekatan Caldwel-
Luc dan transpalatal. Bila tumor meluas ke pipi, sinus maksila dan fosa
pterigomaksila dilakukan operasi kombinasi transpalatal dan transantral atau
transbukal. Operasi kombinasi transpalatal dan rinotomi lateral dilakukan bila
perluasannya kearah sinus etmoid dan retro orbita. Bila tumor meluas ke fossa
infra temporal bagian anterior dilakukan operasi kombinasi peningkapan dan
labiomandibulotomi medial. Bila tumor meluas ke fossa infra temporalis bagian
inferior (pipi, dasar tengkorak dan rongga parafaring) dilakukan operasi
kombinasi transpalatal dan transmandibula anterior. Pada tumor yang meluas ke
intrakranial, dilakukan operasi kombinasi transpalatal dan kraniotomi
frontotemporal (Spector et al, 1988).
Spector menganjurkan untuk melakukan ekstirpasi melalui (Spector et al, 1988) :
Faringotomi suprahioid untuk tumor yang terbatas di nasofaring dan atau
rongga hidung.
Peningkapan bila tumor telah meluas ke sinus sfenoid, etmoid dan
maksila, fossa pterigomaksila dan infratemporal, pipi, rongga mata dan
palatum.
Operasi kombinasi peningkapan dan kraniotomi frontotemporal bila
tumor telah meluas ke intrakranial. Bila tumor mengenai sinus
kavernosus, kiasma optik atau kelenjar hipofisis, maka eksisi tumor akan
sangat membahayakan. Pada keadaan ini dianjurkan untuk melakukan
reseksi partial dan sisa tumor diberikan radioterapi dan atau terapi
hormonal.

2.9.3. Radioterapi
Meski radiasi telah dilaporkan efektif bagi ANJ, pandangan umum hal itu
tidak sepenuhnya cocok untuk tumor jinak pada populasi remaja. Potensi
komplikasi jangka panjang telah membatasi penggunaaan terapi radiasi -
komplikasi yang dilaporkan meliputi transformasi ganas, karsinoma tiroid,
sarkoma tulang dan jaringan lunak, karsinoma sel basal, hipopituitarisme, katarak,
atrofi saraf optik, osteoradionekrosis, osteomielitis dasar tengkorak, dan retardasi
pertumbuhan wajah. Radiasi bagaimanapun dapat digunakan sebagai terapi primer
untuk lesi yang berat dan tidak dapat diobati, dan juga telah digunakan untuk
tumor rekuren / sisa. Sedang radiasi 3000-3500 rad di atas fraksinasi konvensional
dilaporkan dapat mengendalikan perkembangan tumor dan gejala sampai 80%.
Regresi tumor menjadi lambat selama berbulan-bulan, dan sekitar 10-63% kasus
yang ditangani terutama dengan radioterapi terus menunjukkan massa yang
terlihat secara radiologis pada periode pemantauan. Tumor non-progresif pada
individu tanpa gejala (post radioterapi) biasanya tidak memerlukan perawatan
lebih lanjut (Thakar et al, 2013).
2.9.4. Sitostatika
Geopfert et al (1985) pertama kali memberikan sitostatika terhadap 5 kasus
angiofibroma nasofaring yang mengalami residif dengan memberikan kombinasi
deksorubisin dan dekarbasin atau kombinasi vinkristin, daktinomisin dan
siklofosfamid. Hasil yang diperoleh ternyata cukup memuaskan dan tumor
mengalami regresi secara perlahan-lahan, tanpa menimbulkan komplikasi.
Sitostatika diberikan pada tumor rekuren yang besar, pasca tindakan pembedahan,
tumor dengan pertumbuhan intrakranial dan tumor yang mendapat perdarahan
utama dari pembuluh darah intrakranial. Obat yang diberikan antara lain
doksorubisin dan dacarbazine atau kombinasi vinkristin, daktinomisin dan
siklofosfamid.

2.10. Prognosis
Pada kasus-kasus di mana pertumbuhan tumor dapat diatasi dengan
pambedahan dapat dikatakan memiliki prognosis yang baik. Biasanya ini terjadi
pada pasien dengan usia yang lebih tua. Pada kasus yang lain, terutama pada
pasien berusia lebih muda, tumor jenis ini dapat berkembang menjadi degenerasi
yang ganas dan memiliki prognosis yang buruk (Roezin & Dharmabakto, 2007).
DAFTAR PUSTAKA

Lee KJ. (2003). The nose and paranasal sinuses. In Essensial Otolaryngology:
Head and Neck Surgery; 8:708-9

Firdaus, M. A., Rahman, S., & Asyari, A. (2014). Penatalaksanaan Angiofibroma


Nasofaring Juvenil Dengan Pendekatan Transpalatal.

Naz, N. A. S. R. E. E. N., Ahmed, Z. E. B. A., Shaikh, S. M., & Marfani, M. S.


(2009). Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma Role of Imaging in
Diagnosis, Staging and Recurrence. Pakistan Journal of Surgery, 25(3),
185-9.

Siniluoto, T. M., Luotonen, J. P., Tikkakoski, T. A., Leinonen, A. S., & Jokinen, K.
E. (1993). Value of pre-operative embolization in surgery for
nasopharyngeal angiofibroma. The Journal of Laryngology &
Otology, 107(6), 514-521.

Lloyd, G., Howard, D., Phelps, P., & Cheesman, A. (1999). Juvenile
angiofibroma: the lessons of 20 years of modern imaging. The Journal of
Laryngology & Otology, 113(2), 127-134.

Kania, R. E., Sauvaget, E., Guichard, J. P., Chapot, R., Huy, P. T. B., & Herman, P.
(2005). Early postoperative CT scanning for juvenile nasopharyngeal
angiofibroma: detection of residual disease. American journal of
neuroradiology, 26(1), 82-88.

Spector, J. G. (1988). Management of juvenile angiofibromata. The


Laryngoscope, 98(9), 1016-1026.

Goepfert, H., Cangir, A., & Lee, Y. Y. (1985). Chemotherapy for aggressive
juvenile nasopharyngeal angiofibroma. Archives of Otolaryngology, 111(5),
285-289.

Asroel HA. 2002. Angiofibroma Nasofaring Belia, http://library.usu.ac.id, diakses


tanggal 26 Agustus 2017.

Davis RK. Embolization of Epistaxis and Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma.


AJR. 1987;148: 209-18

Garca MF, Yuca SA, Yuca K. Juvenil Nasopharyngeal Angiofibroma. Eur J Gen
Med. 2010;7(4): 419-25
Mansfield E. 2006. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Available from :
http:/www.emedicine.com/med/topic 2758.htm.
Nicolai P, Schreiber A, Villaret AB. Juvenil Angiofibroma: Wvolution of
Management. International Journal of Pediatric.2012: 1-11

Pradhana D. 2009. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Referat Kepaniteraan


Klinik Ilmu Penyakit THT Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti.
Jakarta.

Roezin A. Dharmabaktio S. Angiofibroma Nasofaring Belia. Dalam: Soepardi


AIN, editors: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
Leher. Edisi keenam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2007:188-190.

Ryan S, McNicholas M, Eustace S. Anatomy for Diagnostic Imaging. 2nd ed.


Elsevier;2004

Sutton D, Gregson RHS. Arteriography and Interventional Angiography. In:


Sutton D.Textbook of Radiology and Imaging. 7th ed. Churchill
Livingstone. 2008 : 1544-83

Tewfik TL. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. 2013. Diunduh dari


http://emedicine.medscape.com Agustus 26, 2017

Moneag AG, Tretiakova M, Rivhardson M. Steroid hormone reseptor expression


in Nasopharyngeal Angiofibromas. Am J Clin Pathol. 2006; 125: 832- 7.

Saylam G, Yucel OT, Sungur A, Onerci. Proliferation, Angigenesis and Hormonal


Markers in Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. International Journal of
Pediatric Otorhinolaryngology. 2006; 70: 227-34.

Lenny, Adham M, Musa Z, Lisnawati, Bardosono S. Gambaran Ekspresi Reseptor


Estrogen pada Angiofibroma Nasofaring Belia dengan Menggunakan
Pemeriksaan Histokimia. Otorhinolaryngologica Indonesiana. Vol 41, No 1
(2011): Januari-Juni 2011

Anda mungkin juga menyukai