Anda di halaman 1dari 45

Lab/Smf Ilmu Kesehatan Anak Tutorial

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

BRONCHOPNEUMONIA DAN HIPOTIROID


KONGENITAL

Disusun oleh:
Wilanda Ayu

Pembimbing:
dr. Sukartini, Sp. A

LAB/SMF ILMU KESEHATAN ANAK


PROGRAM PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN
RSUD A.W. SJAHRANIE
SAMARINDA 2016
Tutorial Klinik

IDIOPHATIC THROMBOCYTOPENIC PURPURA


(ITP)

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian stase Anak


Lusi Rustina

Menyetujui,

dr. Diane M. Supit, Sp. A

2
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
Januari 2016

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat, hidayat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan
yang berjudul “Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP) ”

Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan referat ini tidak lepas dari
bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. dr. Diane M. Supit, Sp. A sebagai dosen pembimbing klinik selama stase
anak.
2. Dosen-dosen klinik dan preklinik FK UNMUL khususnya staf pengajar
Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak, terima kasih atas ilmu yang telah diajarkan
kepada kami.
3. Rekan-rekan dokter muda di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD AWS/FK
UNMUL dan semua pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun
tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
4. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Akhir kata, ”Tiada gading yang tak retak”. Oleh karena itu, penulis
membuka diri untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna Akhir kata
penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca
untuk perbaikan kepenulisan di masa mendatang. Terakhir, semoga Tutorial Kasus
yang sederhana ini dapat membawa berkah dan memberikan manfaat bagi seluruh
pihak serta turut berperan demi kemajuan ilmu pengetahuan.

3
Samarinda, Januari 2016

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman

DAFTAR ISI ..................................................................................................................... 4


BAB 1 ................................................................................................................................. 6
PENDAHULUAN ............................................................................................................. 6
1.1 Latar Belakang..................................................................................................... 6
1.2 Tujuan Penulisan................................................................................................. 6
BAB II ................................................................................................................................ 7
KASUS ............................................................................................................................... 7
BAB III ............................................................................................................................ 17
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................. 17
2.1 Definisi..................................................................Error! Bookmark not defined.
2.2 Etiologi..................................................................Error! Bookmark not defined.
2.3 Patofisiologi ...................................................................................................... 18
2.4 Manifestasi Klinis ............................................................................................. 21
2.5 Diagnosis .......................................................................................................... 22
2.6 Diagnosis banding............................................................................................. 28
2.7 Penatalaksanaan ................................................................................................ 28
2.8 Komplikasi ........................................................................................................ 32
2.9 Prognosis........................................................................................................... 33
BAB 4 ............................................................................................................................... 33
PEMBAHASAN .............................................................................................................. 40

4
BAB 5 ............................................................................................................................... 43
PENUTUP ....................................................................................................................... 43
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................... 45

5
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP) merupakan suatu penyakit
yang belum diketahui pasti penyebabnya. Penyakit ITP itu termasuk ke dalam
Trombocytopenia Akuisita . Kelainan ini dahulu dianggap merupakan suatu
golongan panyakit dan disebut dengan berbagai nama misalnya morbus makulosus
werlhofi, syndrome hemogenic, purpura trombocytolitic. 1,2
Dikatakan Idiophatic untuk membedakan kelainan trombosit yang dapat
diketahui penyebabnya dan biasanya disertai dengan kelainan hematologis lain
seperti anemia, kelainan leukosit. Pada ITP biasanya tidak disertai anemia atau
kelainan lainnya kecuali bila banyak darah yang hilang karena perdarahan. 2
Perjalanan penyakit ITP dapat bersifat akut dan kemudian akan hilang
sendiri (self limited) atau menahun dengan atau tanpa remisi dan kambuh. Pada
penelitian diketahui bahwa ITP merupakan suatu kelompok keadaan dengan gejala
yang sama tetapi berbeda patogenesisnya. 2

1.2 Tujuan Penulisan


Tujuan dari penulisan ini adalah agar dokter muda mampu memahami
definisi, epidemiologi, etiologi, faktor risiko, patogenesis, diagnosis dan
penatalaksanaan Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP) pada anak.

6
BAB II
KASUS

Identitas pasien :
• Ruang perawatan : Melati
• Nama : An. MG
• Jenis kelamin : Laki-laki
• Umur : 4 bulan
• Alamat : Jln.
• Anak ke : 3 dari 3 bersaudara
Identitas Orang Tua
• Nama Ayah : Tn. B
• Umur : 35 tahun
• Pekerjaan : Swasta
• Pendidikan Terakhir : SMA
• Ayah perkawinan ke :1
• Riwayat kesehatan ayah : sehat

• Nama Ibu : Ny. W


• Umur : 32 tahun
• Pekerjaan : IRT
• Pendidikan Terakhir : D3
• Ibu perkawinan ke :1
• Riwayat kesehatan ibu : sehat

Anamnesis
Anamnesis didapatkan dari alloanamnesis pada ayah dan ibu pasien tanggal
21 Juli 2016.
Keluhan Utama
Lemas dan sesak
Keluhan Tambahan
Pucat
Riwayat Penyakit Sekarang

7
Pasien masuk rumah sakit pada tanggal 10 Juli 2016 melalui IGD RSUD
Abdul Wahab Sjahrani.
Pasien datang dengan keluhan lemas sejak 2 hari sebelum masuk rumah
sakit. Pasien menjadi tidak aktif dan malas menyusu serta tidak ada menangis.
Apabila pasien diberikan dot hanya akan menyusu sebentar. Jika pasien menangis
maka tangisannya pelan. Pasien memiliki keluhan sesak namun sesak sudah
berkurang. Pasien juga mengalami keluhan batuk. Selama 2 hari di rumah pasien
tidak pernah mengalami sesak hingga biru, namun sebelum dibawa ke IGD pasien
mengalami biru setelah menangis, lemas, bibir pucat dan kuku kebiruan. Demam (-
), BAB cair (-)
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien memiliki riwayat MRS di RSUD Abdul Wahab Sjahranie selama 11 hari
dan baru saja keluar rumah sakit 2 hari yang lalu sebelum MRS ke-2. Sebelumnya
pasien mengalami batuk lebih dari 2 minggu namun tanpa disertai demam. Saat itu
ibu pasien membawa ke dokter A lalu diberikan obat namun sampai obat habis tidak
ada perubahan. Setelah itu pasien dibawa ke dokter B dan diberikan obat, saat itu
ibu pasien memberikan obat berupa puyer yang dilarutkan, saat meminumkan obat
pasien langsung ditidurkan, setelah itu pasien tersedak dan mengalami sesak nafas
setelahnya, pasien mengap – megap, tangan terjatuh, lemas, biru, dan tidak
memberikan respon saat digelitik, lalu pasien segera dibawa ke IGD RSUD AWS.
Pasien menjalani perawatan di PICU selama 2 hari dan mengalami perubahan lebih
baik, pasien kemudian dipindah ke Melati. Saat di Melati pasien kembali
mengalami sesak dan biru lalu dilakukan pemasangan O2 dengan nasal kanul, saat
mengalami perbaikan atas saran dr.S dicoba untuk lepas O2 nasal kanul, keesokan
harinya oleh dr.D disetujui untuk pulang karena dinilai sudah membaik dengan
nasihat agar hati – hati saat menyusui.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan serupa
 Ayah : sehat, merokok (-), riwayat flek paru 3 tahun yang lalu, tidak pernah
menjalani pengobatan selama berbulan- bulan.
 Ibu : sehat, tidak pernah menderita tuberkulosis paru, tekanan darah
tinggi, kencing manis, penyakit jantung.

8
Riwayat Kehamilan
• Pemeliharaan Prenatal
• Periksa di : Dokter kandungan
• Penyakit kehamilan : Ibu pasien mengalami perdarahan
mulai usia kandungan 3 bulan. Darah yang keluar merah segar dan
terkadang disertai gumpalan darah, sampai menetes, namun ibu pasien tidak
pernah mengalami perdarahan sampai lemas maupun pucat. Saat itu ibu
pasien memeriksakan ke dokter A, saat di dokter A dikatakan plasenta
pasien letaknya di bawah di dekat jalan lahir namun bayi dalam keadaan
baik – baik saja hanya observasi saja karena letak plasenta bisa berubah,
kemudian bulan berikutnya ibu pasien memeriksakan diri ke dokter B,
dikatakan plasenta letaknya baik – baik saja hanya saja rahim dari ibu pasien
terlalu kecil sehingga pergerakan janin maupun ibu dapat memicu
perdarahan. Saat itu pasien hanya disarankan untuk beristirahat, namun ibu
pasien tidak dapat berdiam diri sehingga tetap melaksanakan aktivitas
seperti biasa seperti berjualan dan mengantar – jemput anak. Pasien juga
selalu merasakan kontraksi mulai usia kandungan 3 bulan. Selain itu pasien
juga mengalami hipertensi pada saat hamil dan mengkonsumsi obat
antihipertensi. Saat usia kandungan 27 minggu pasien merasakan kontraksi
teratur dan mengalami pembukaan lengkap hingga melahirkan secara
spontan di RSUD Abdul Wahab Sjahranie
• Obat-obatan yang sering diminum : vitamin dan tablet Fe. Obat anti
hipertensi dan obat penguat kandungan dari dokter.
Riwayat Kelahiran :
• Lahir di : Rumah sakit
• di tolong oleh : Bidan
• Berapa bulan dalam kandungan : 27 minggu
• Jenis partus : Spontan
• Riwayat Persalinan : pasien lahir pada usia kehamilan 27
minggu, namun saat itu ibu pasien telah mengalami pembukaan lengkap dan
kontraksi yang teratur sehingga pasien dapat dilahirkan secara spontan. Saat
persalinan tidak ada perdarahan yang berlebihan, namun kelahiran plasenta

9
terjadi cukup lama. Saat lahir pasien tidak langsung menangis sehingga
pasien langsung dipindahkan ke ruang NICU. Pasien berada di ruang NICU
selama 2 bulan 10 hari karena lahir prematur dengan berat badan lahir
rendah yaitu 900 gram. Selama di NICU pasien menggunakan alat bantu
pernapasan dan beberapa kali ketika coba dilepas pasien menjadi biru
sehingga dipasang kembali. Pasien sempat mengalami henti nafas pada usia
3 minggu. Pasien juga sempat menjalani fototerapi selama 1 minggu saat
dirawat di NICU.
Pemeliharaan postnatal
• Periksa di :-
• Keadaan anak :-
• Keluarga berencana :-
Pertumbuhan dan perkembangan anak :
• Berat badan lahir : 900 gram
• Panjang badan lahir :-
• Senyum, tertawa : 3 bulan
• Miring : 3 bulan
Riwayat Makan Minum anak :
• ASI : mulai usia 3 hari sampai 1 bulan,
sempat mendapatkan ASI dari donor ASI.
• Susu sapi/buatan : sejak lahir sampai sekarang
• Jenis susu buatan : susu sapi Pre naan
• Takaran : 4 sendok untuk 120 mL

Riwayat Imunisasi : belum imunisasi

Keadaan Sosial Ekonomi :


• Pasien dirawat oleh kedua orang tua.
• Kamar mandi dan toilet berada di dalam rumah. 1 rumah terdiri dari 1 kepala
keluargaSumber air: PDAM
• Listrik: PLN

10
Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pada tanggal : 17 Juli 2016 di IGD RSUD Abdul Wahab Sjahranie
Samarinda
Antropometri
 Berat badan : 6.5 kg
• Panjang Badan : 57.5 cm
• Lingkar kepala : 39.5 cm
• Status gizi : gizi baik
Tanda Vital
• Nadi : 148 x/menit (reguler, isi cukup, kuat angkat)
• Frekuensi napas : 68 x/menit
• Suhu : 36,7 ⁰C
Keadaan Umum
• Kesan sakit : tidak sakit
• Kesadaran : compos mentis

Kepala
Rambut : Warna hitam, tipis, tidak mudah dicabut, UUB cembung (-)
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), mata cowong (-/-),
kornea tampak suram (-/-), refleks cahaya (+/+), pupil isokor
(2mm/2mm)
Mulut : sianosis (-),
Kulit
Tidak kering dengan turgor kulit baik
Dada :
Pulmo
• Inspeksi : bentuk simetris, gerak simetris, retraksi sub costae
(+)
• Palpasi : krepitasi (-)
• Perkusi : sonor
• Auskultasi : suara napas vesikuler, ronkhi (+/+), wheezing (-/-)
Jantung

11
• Inspeksi : Ictus Cordis tidak terlihat
• Palpasi : Ictus Cordis teraba pada ICS VI MCL Sinistra
• Perkusi : DBN
• Auskultasi : S1/S2 tunggal, reguler, suara tambahan (-)
Abdomen
• Inspeksi : distended (-)
• Palpasi : soefl (+)
• Perkusi : Timpani
• Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal
Ekstremitas
• Akral Hangat, sianosis (-), edema (- 4 ekstremitas), CRT < 2 detik
Gerak
Gerak aktif (+) kesan menurun, menangis kuat (+) kesan menurun

Pemeriksaan Penunjang
Hasil 10-7-2016 12-7-2016 13-7-2016 18-7-2016 Rujukan Satuan

HEMATOLOGI

Hemoglobin 10,3 12,3 11,0-14,0 g/dl

Leukosit 7,23 4,0-10,5


5,8 /ul
rb

Eritrosit 3,56 4,36 4,5-6,00 Juta/ul

Hematokrit 33,3 38,7 35,0-47,0 Vol%

Trombosit 355 164 150-450 Ribu/ul

LED - - 0-20 mm/jam

MCV,MCH,MCHC

MCV 93,4 88,8 80-97 Fl

MCH 28,9 28,2 27-32 Pg

MCHC 35,0 31,8 32-38 %

12
Serum Elektrolit

Natrium 137 136 133 Detik

Kalium 6,0 6,0 4,9 28-34 Detik

Cloride 104 102 102

Glukosa Darah Sewaktu 84

Hba1C 3,0

T3 0,51

T4 7,27

TSH 6,78

Albumin 4,1

CRP (-) <6

Foto Thoraks (10 Juli 2016)

Kesan : Terdapat infiltrat pada lapangan paru dextra

13
Follow Up

Tanggal Subjektif & Objektif Assesment & Planning


Hari ke- 1 S: batuk (+), sesak (+), demam (-), A: pneumonia +post
18-7-2016 benjolan pada suprapubic sinistra hipoglikemi berulang
Melati hilang timbul, muncul pada saat + hipotiroid
batuk atau menangis kongenital + hernia
BB 2,4 kg reponibel sinistra
O: T: 37,5 0C Nadi 122x/i RR 52 x/i, P:
Ane (-/-), ikt (-/-), cowong(-/-) , O2 nasal ½ lpm
Rh (+/+), Wh (-/-), Kaen 4A 260 cc/24 jam
abd soefl BU(+)N, organomegali (- Gentamisin inj 1 x 13 mg
) ascites (-) Ampicilin inj 2 x 130 mg
Edema ekstrimitas (-) Dexamethasone inj 2 x
0,8 mg
Ambroxol syr 3 x ¼ cth
Levotyroxine 2 x 8 mcg
Nebu Ventolin 1 cc
3x/hari
Susu 6 x 60 cc
Hari ke-2 S: rewel (+), sesak berkurang, tidak A: pneumonia +post
19-7-2016 dapat tidur, BAB agak cair 2x, hipoglikemi berulang
Melati terakhir seperti lendir berwrna + hipotiroid
kuning, jumlah hanya sedikit kongenital + hernia
BB 2,7 kg reponibel sinistra
0
O: T: 37,0 C Nadi 121x/i RR 47 x/i, P:
Ane (-/-), ikt (-/-), cowong(-/-) , O2 nasal ½ lpm
Rh (+/+), Wh (-/-), retraksi (+) Kaen 4A 260 cc/24 jam
subcostae Gentamisin dan
abd soefl BU(+)N, organomegali (- ampisilin stop
) ascites (-) Cefotaxime inj 2 x 125
Edema ekstrimitas (-) mg
Dexamethasone inj 2 x
0,8 mg
Ambroxol syr 3 x 0,4 cc

14
Levotyroxine 1 x 20 mcg
Nebu Ventolin 0,2 cc +
Nacl 3x/hari
Susu 6 x 10 cc
Hari ke-3 S: rewel (+), BAB cair (-) A: pneumonia +post
20-7-2016 BB 2,5 kg hipoglikemi berulang
Melati O: T: 37,4 0C Nadi 142x/i RR 28 x/i, + hipotiroid
Ane (-/-), ikt (-/-), cowong(-/-) , kongenital + hernia
sianosis (-) reponibel sinistra
Rh (+/+), Wh (-/-), retraksi (+) P:
subcostae dan substernal O2 nasal ½ lpm
abd soefl BU(+)N, organomegali (- Kaen 4A 190 cc/24 jam
) ascites (-) Cefotaxime inj 2 x 125
Edema ekstrimitas (-) mg
Dexamethasone inj 2 x
0,8 mg
Ambroxol syr 3 x 0,4 cc
Levotyroxine 1 x 20 mcg
Nebu Ventolin 0,2 cc +
Nacl 3x/hari
Susu 6 x 10 cc
Hari ke-4 S: susah tidur (+), sesak saat menangis A: pneumonia +post
21-7-2016 (+), berdahak (+), lepas O2 pasien hipoglikemi berulang
Melati menjadi biru + hipotiroid
BB 2,9 kg kongenital + hernia
O: T: 37,3 0C Nadi 144x/i RR 32 x/i, reponibel sinistra
Ane (-/-), ikt (-/-), cowong(-/-) , P:
sianosis (-) O2 nasal ½ lpm
Rh (+/+), Wh (-/-), retraksi (-) Kaen 4A 190 cc/24 jam
abd soefl BU(+)N, organomegali (- Cefotaxime inj 2 x 125
) ascites (-) mg
Edema ekstrimitas (-) Dexamethasone inj 2 x
0,8 mg
Ambroxol syr 3 x 0,4 cc
Levotyroxine 1 x 20 mcg

15
Nebu Ventolin 0,2 cc +
Nacl 3x/hari
Susu 8 x 25 cc
Hari ke-5 S: sesak (+), batuk (+), biru saat A: pneumonia +
22-7-2016 menangis (+) hipotiroid kongenital
Melati BB 2,8 kg + hernia reponibel
O: T: 37,4 0C Nadi 132x/i RR 59 x/i, sinistra
Ane (-/-), ikt (-/-), cowong(-/-) , P:
sianosis (-) O2 nasal ½ lpm
Rh (+/+), Wh (-/-), retraksi (+) Kaen 4A 100 cc/24 jam
subcostal infus pump
abd soefl BU(+)N, organomegali (- Cefotaxime inj 2 x 125
) ascites (-) mg  Resisten, stop
Edema ekstrimitas (-) Vankomisin inj 2 x 45
mg
Dexamethasone inj 2 x
0,8 mg
Ambroxol syr 3 x 0,4 cc
Levotyroxine 1 x 20 mcg
Nebu Ventolin 0,2 cc +
Nacl 2x/hari
Susu 8 x 25 cc

16
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pneumonia

2.2 Klasifikasi
 Berdasarkan klinis dan epidemiologis :
o Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)
o Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia / nosocomial
pneumonia)
o Pneumonia aspirasi
o Pneumonia pada penderita Immunocompromised
 Berdasarkan bakteri penyebab
o Pneumonia bakterial / tipikal. Dapat terjadi pada semua usia.
Beberapa bakteri mempunyai tendensi menyerang sesorang yang
peka, misalnya Klebsiella pada penderita alkoholik,
Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza.
o Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan
Chlamydia
o Pneumonia virus
o Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi
terutama pada penderita dengan daya tahan lemah
(immunocompromised)
 Berdasarkan predileksi infeksi
o Pneumonia lobaris. Sering pada pneumania bakterial, jarang pada
bayi dan orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau
segmen kemungkinan sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus
misalnya : pada aspirasi benda asing atau proses keganasan
o Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada
lapangan paru. Dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus.
Sering pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan dengan
obstruksi bronkus
o Pneumonia interstisial5

17
2.3 Etiologi
Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri)
dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain misalnya bahan kimia (hidrokarbon,
lipod substance)/benda asing yang teraspirasi. Pola kuman penyebab pneumonia
biasanya berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien. Sebagian besar kasus
pneumonia disebabkan oleh virus, sebagai penyebab tersering adalah repiratory
syncytial virus (RSV), parainfluenza virus, influenza virus dan adenovirus. Secara
umum bakteri yang berperan penting dalam pneumonia adalah
streptococcupneumoniae, Haemophillus influenza, staphylococcus aureus,
streptococcus group B, serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma. Pada masa
neonatis streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan penyebab
pneumonia paling banyak. Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada usia
prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia.2

Umur Penyebab tersering Penyebab terjarang


Lahir-20 hari Bacteria Escherichia coli Bacteria Anaerobic organisms

Group B streptococci Group D streptococci


Listeria monocytogenes Haemophilus influenza
Streptococcus pneumoniae
Ureaplasma urealyticum
Viruses Cytomegalovirus

Herpes simplex virus


3 mgg - 3 bln Bacteria Bacteria
Chlamydia trachomatis Bordetella pertussis
S. pneumonia H. influenzae type B and
nontypeable
Viruses Adenovirus Moraxella catarrhalis
Influenza virus Staphylococcus aureus
Parainfluenza virus 1,2,and U. urealyticum
3

18
Umur Penyebab tersering Penyebab terjarang
Respiratory syncytial virus Virus Cytomegalovirus

4 Bln – 5 Thn Chlamydia pneumonia Bacteria H. influenzae type B


Mycoplasma pneumoniae M. catarrhalis
S. pneumonia Mycobacterium tuberculosis
Viruses Adenovirus Neisseria meningitis

Influenza virus S. aureus


Parainfluenza virus Virus Varicella-zoster virus

Rhinovirus
Respiratory syncytial virus

2.4 Patofisiologi
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme di paru.
Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi
ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat berkembang
biak dan menimbulkan penyakit. Resiko infeksi di paru sangat tergantung pada
kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran
napas. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan : 1. Inokulasi
langsung 2. Penyebaran melalui pembuluh darah 3. Inhalasi bahan aerosol 4.
Kolonisasi dipermukaan mukosa Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak
adalah secara Kolonisasi. Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus,
mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan
ukuran 0,5 -2,0 m melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveol dan
selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas
(hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi
inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar
infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal
waktu tidur (50 %) juga pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan

19
pemakai obat (drug abuse). Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang
tinggi 10 8-10/ml, sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat
memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia (PDPI).
Virus akan menginvasi saluran nafas kecil dan alveoli, umumnya bersifat
patchy dan mengenai banyak lobus. Pada infeksi virus ditandai lesi awal berupa
kerusakan silia epitel dengan akumulasi debris ke dalam lumen. Respon inflamasi
awal berupa kerusakan silia epitel dengan akumulasi debris ke dalam lumen.
Repson inflamasi awl adalah infiltrasi sel – sel mononuclear ke dalam submucosa
dan perivascular. Bila proses ini meluas, sejumlah debris danmukus serta sel – sel
inflamasi yang meningkat dalam saluran nafas kecil maka akan menyebabkan
obstruksi baik parsial maupun total. Respon inflamasi ini akan diperberat dengan
adanya edema submukoa yang mungkin bisa meluas ke dindingalveoli. Respon
inflamasi di dalam alveoli ini juga seperti yang terjadi pada ruang interstisial yang
terdiri dari sel – sel mononuclear. Proses infeksi yang berat akan mengakibatkan
terjadinya pengelupasan epite dan akan terbentuk eksudat hemoragik. Infiltrasi ke
interstisial sangat jarang menimbulkan fibrosis. Pneumonia viral pada anak
merupakan predisposisi terjadinya pneumonia bacterial oleh karena rusaknya
barrier mukosa (old pediarik).
Pneumonia bakteroal terjadi oleh karena inhalasi atau aspirasi pathogen,
kadang – kadang terjadi melalui penyebaran hematogen. Terjadi tidaknya proses
pneumonia tergantung interaksi antara bakteri dan ketahanan system imunitas
pejamu. Ketika bakteri dapat mencapai alveoli maka beberapa mekanisme
pertahanan tubuh akan dikerahkan. Saat terjadi kontak antara bakteri dengan
dinding alveoli maka akan ditangkap oleh lapisan cairan epitelialyang mengandung
opsonin dan akan terbentuk antibody IgG spesifik. Dari proses ini akan terjadu
fagositosis oleh makrofag alveolar. Ketika mekanisme ini tidak dapat merusak
bakteri, leukosit PMN dengan aktifitas fagositosisna akandirekrut dengan perantara
sitokin sehingga akan terjadi respon inflamasi. Hal ini mengakibatkaan terjadinya
kongesti vaskuler dan edema yang luas, dan hal ini karakteristik pneumonia oleh
karena pneumokokus. Kuman akan dilapisi cairan edematous yang berasala dari
alveolus ke alveolus melalui pori – pori Kohn. Area edematous ini akan membesar
secar sentrifugal, dan akan membentuk area sentral yang terdiri dai eritrosit, eksudat

20
purulent (fibrin, sel sel lekosit PMN) dan bakteri. Fase ini secara histopatologi
dinamakan hepatisasi merah.
Tahap selanjutnya adalah hepatisasi kelabu yang ditandai dengan
fagositosis aktif oleh lekosit PMN. Pelepasan komponen dinding bakteri dan
pneumolisin melalui degradasi enzimatik akan meningkatkan terjadnya respon
inflamasi dan efek sitotoksik terhadap semu sel – sel paru.
Resolusi konsolidasi pneumonia terjadi ketika antibody antikapsular timbul
dan lekosit PMN meneruskan aktifitas fagositosisnya, sel – sel monosit akan
membersihkan debris. Sepanjang struktur reticular paru masih intak (tidak terlibat
interstisial), parenkim paru akan kembali sempurna dan perbaikan epitel alveolar
terjadi setelah terapi berhasil. Pembentukan jaringan parut pada paru minimal.

2.5 Manifestasi Klinis


Pada pneumonia yang disebabkan oleh kuman, menjadi pertanyaan penting
adalah penyebab dari Pneumoniae (virus atau bakteri). Pneumonia seringkali
dipercaya diawali oleh infeksi virus yang kemudian mengalami komplikasi infeksi
bakteri. Secara klinis pada anak sulit membedakan pneumonia bakterial dengan
pneumonia viral. Demikian pula pemeriksaan radiologis dan laboratorium tidak
menunjukkan perbedaan nyata, Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa
pneumonia bakterial awitannya cepat, batuk produktif, pasien tampak toksik,
leukositosis dan perubahan nyata pada pemeriksaan radiologis. Gambaran klinis
pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat-ringannya infeksi, secara
umum adalah sebagai berikut.
 Gejala infeksi umum yaitu, demam, sakit kepala, gelisah, malaise,
penurunan nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau
diare, kadang-kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner
 Gejala gangguan repiratori, yaitu batuk, sesak nafas, retraksi dada, takipnea,
nafas cuping hidung, air hunger, merintih dan sianosis
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak pada perkusi,
suara nafas melemah dan ronki. Pada perkusi dan auskultasi umumnya tidak
ditemukan kelainan (Said, 2012).

21
2.6 Diagnosis
2.6.1. Anamnesis
 Apakah anak menderita batuk dan atau sukar bernapas?
“Sukar bernapas” adalah pola pernapasan yang tidak biasa. Para ibu
menggambarkannya dengan berbagai cara. Mereka mungkin mengatakan
bahwa anaknya bernapas “cepat” atau “berbunyi” atau “terputus-putus”.
Jika ibu menjawab TIDAK, periksa apakah menurut pendapat Saudara anak
itu batuk atau sukar bernapas. Jika anak tidak batuk atau sukar bernapas,
tidak perlu memeriksa anak lebih lanjut untuk tanda-tanda yang
berhubungan dengan batuk atau sukar bernapas. Jika jawabannya YA,
ajukan pertanyaan berikut ini:
 TANYA: Sudah berapa lama?
Anak dengan batuk atau sukar bernapas selama lebih dari 3 minggu berarti
menderita batuk kronik. Kemungkinan ini adalah tanda TB, Asma, Batuk
Rejan atau penyakit lain.
 Apakah anak KURANG BISA minum atau menetek? (jika anak berusia <2
bulan)
Pada anak yang lebih tua adalah tidak bisa minum sama sekali, sedangkan
pada usia di bawah 2 bulan, kemampuan minumnya paling banyak hanya
setengah dari kebiasaannya menyusu/minum susu buatan. Ibu dapat
memperkirakan jumlah ASI yang dihisap anaknya berdasarkan lamanya
menyusu. Anak yang tidak bisa minum mungkin menderita pneumonia
berat, bronkiolitis, sepsis/ septikemia, infeksi otak (meningitis atau malaria
cerebral) dan abses tenggorok.
 TANYA: Apakah anak BISA minum atau menetek? (jika anak berusia 2
bulan-< 5 tahun)
Anak menunjukkan tanda “ tidak bisa minum atau menetek” jika anak
terlalu lemah untuk minum atau tidak bisa mengisap atau menelan apabila
diberi minum atau diteteki. Jika Saudara bertanya kepada ibu, apakah
anaknya bisa minum, pastikan bahwa ibu mengerti pertanyaan itu. Apakah
anak dapat menerima cairan dalam mulutnya dan menelannya. Jika Saudara
ragu akan jawaban ibu, mintalah agar ibu memberi anak tersebut minum air

22
matang atau menetekinya. Perhatikan apakah anak bisa menelan atau
menetek. Anak yang menetek, sulit mengisap jika hidungnya tersumbat.
Apabila anak dapat menetek setelah hidungnya dibersihkan, berarti anak
tidak mempunyai tanda “tidak bisa minum atau menetek”
 TANYA: Apakah anak demam? Berapa lama?
Jika ibu mengatakan anak demam maka riwayat demam sudah cukup untuk
menilai sebagai anak demam walaupun saat ini anak tidak demam.
(Kemenkes, 2012)
2.6.2. Pemeriksaan Fisik
Hitung frekuensi napas anak dalam satu menit untuk menentukan apakah
anak bernapas dengan cepat. Penghitungan frekuensi napas harus dilakukan selama
1 menit (60 detik) penuh.

Frekuensi napas bayi umur <2 bulan tidak menentu. Kadang-kadang napasnya
berhenti beberapadetik, diikuti periode napas cepat. Untuk menyatakan bayi umur
kurang dari 2 bulan bernapas cepat perhatikanlah bahwa:
 Apabila hasilnya kurang dari 60 kali per menit, anak tersebut tidak
mengalami napas cepat.
 Apabila hasilnya 60 kali per menit atau lebih, tunggulah beberapa menit dan
ulangi penghitungan
o Kalau hasil penghitungan kedua masih juga 60 kali per menit atau
lebih berarti napas cepat.
o Kalau hasil penghitungan kedua < 60 kali per menit, berarti tidak
ada napas cepat.

23
Jika Saudara tidak membuka baju anak pada saat Saudara menghitung
napas, mintalah ibu untuk membukanya sekarang. Lihatlah apakah dinding dada
tertarik ke dalam pada saat anak itu menarik napas. Perhatikan dada bagian bawah
(tulang rusuk terbawah). Pada pernapasan normal, seluruh dinding dada (atas dan
bawah) dan perut bergerak keluar ketika anak menarik napas. Anak dikatakan
mempunyai TDDK jika dinding dada bagian bawah MASUK ke dalam ketika anak
MENARIK napas.

Berhati-hatilah melihat TDDK pada bayi umur kurang dari 2 bulan, tarikan
dinding dada yang ringan biasa terjadi karena tulang rusuknya relatif masih lunak.
Tetapi jika tarikandinding dada tersebut kuat (sangat dalam dan mudah terlihat), hal
ini merupakan tandaadanya pneumonia.Anak dengan TDDK umumnya menderita
pneumonia berat. TDDK terjadi bila kemampuan paru-paru mengembang
berkurang dan mengakibatkan perlunya tenaga untuk menarik napas. Anak dengan
TDDK tidak selalu disertai pernapasan cepat. Kalau anak menjadi letih bernapas,
akhirnya anak akan bernapas lambat. Karena itu TDDK mempunyai risiko mati
yang lebih besar dibanding dengan anak yang hanya menderita napas cepat tanpa
disertai TDDK.

24
Stridor adalah bunyi khas yang terdengar pada saat anak MENARIK napas.
Stridor terjadi apabila ada pembengkakan pada laring, trakhea atau epiglottis,
sehingga menyebabkan sumbatan yang menghalangi masuknya udara ke dalam
paru dan dapat mengancam jiwa anak. Anak yang menderita stridor pada saat
tenang menunjukkan suatu keadaan yang berbahaya
Lihatlah untuk mengetahui kapan anak mengeluarkan napas. Wheezing
adalah suara bising seperti siulan atau tanda kesulitan waktu anak
MENGELUARKAN napas. Hal ini disebabkan penyempitan saluran napas. Untuk
mendengarkan wheezing, bahkan pada kasus ringan, dekatkan telinga Saudara ke
mulut anak untuk lebih jelas mendengarkan wheezing. Pada usia dua tahun pertama,
wheezing pada umumnya disebabkan oleh infeksi respiratorik akut akibat virus,
seperti bronkiolitis atau batuk dan pilek. Setelah usia dua tahun, hampir semua
wheezing disebabkan oleh asma. Kadang-kadang anak dengan pneumonia disertai
dengan wheezing. Diagnosis pneumonia harus selalu dipertimbangkan terutama
pada usia dua tahun pertama.
Anak yang kesadarannya turun akan sulit dibangunkan sebagaimana
seharusnya. Anak tampak mengantuk dan tidak punya perhatian akan apa yang
terjadi di sekelilingnya (letargis). Seringkali anak yang letargis tidak melihat
kepada ibu atau memperhatikan wajah Saudara pada waktu Saudara bicara. Anak
mungkin menatap hampa (pandangan yang kosong) dan terlihat bahwa ia tidak
memperhatikan keadaan sekitarnya. Anak yang tidak sadar tidak dapat
dibangunkan, tidak bereaksi ketika disentuh, digoyang atau diajak bicara. Tanyakan
kepada ibu apakah anaknya mengantuk tidak seperti biasanya atau tidak dapat
dibangunkan. Perhatikan apakah anak itu terbangun jika diajak bicara atau
digoyang jika Saudara bertepuk tangan. Mengantuk/letargis atau tidak sadar
merupakan salah satu tanda adanya infeksi berat pada
bayi muda.

25
Gambar . Klasifikasi anak dengan batuk

2.6.3. Pemeriksaan Penunjang


 Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah
leukosit.Hitung leukosit dapat membantu membedakan pneumonia viral
dan bakterial.Infeksi virus leukosit normal atau meningkat (tidak melebihi
20.000/mm3 dengan limfosit predominan) dan bakteri leukosit meningkat
15.000- 40.000 /mm3 dengan neutrofil yang predominan.Leukopenia
(<5.000/mm3) menunjukkan prognosis yang buruk.Leukositosis hebat
(>30.000/mm3) hampir selalu menunjukkan adanya infeksi bakteri, sering
ditemukan pada keadaan bakteremi, dan risiko terjadinya komplikasi lebih
tinggi (Bennete, 2013& IDAI, 2013).
Pada hitung jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta
peningkatan LED.Secara umum, hasil pemeriksaan darah perifer lengkap
dan LED tidak dapat membedakan antara infeksi virus dan infeksi bakteri
secara pasti.Analisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hipokarbia,
pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.Isolasi
mikroorganisme dari paru, cairan pleura atau darah bersifat invasif sehingga
tidak rutin dilakukan (Bennete, 2013& IDAI, 2013). Pemeriksaan
mikrobiologik Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia
anak tidak rutin dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di
RS.Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap
tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau
aspirasi paru (IDAI, 2013).

26
 Pemeriksaan radiologis
Foto toraks (AP/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama
untuk menegakkan diagnosis. Foto AP dan lateral dibutuhkan untuk
menentukan lokasi anatomik dalam paru. Infiltrat tersebar paling sering
dijumpai, terutama pada pasien bayi. Pada bronkopneumonia bercak-bercak
infiltrat didapatkan pada satu atau beberapa lobus. Jika difus (merata)
biasanya disebabkan oleh Staphylokokus pneumonia.

Gambar : Foto toraks PA pada pneumonia lobaris: tampak bercak-bercak infiltrat


pada paru kanan

Gambar 4 : Foto toraks PA pada bronkopneumonia.

27
 C-Reactive Protein
Adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit.
Sebagai respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP distimulai
oleh sitokin, terutama interleukin 6 (IL-6), IL-1 dan tumor necrosis factor
(TNF). Secara klinis CRP digunakan sebagai diagnostik untuk membedakan
antara faktor infeksi dan non infeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi
superfisialis dan profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi
virus dan bakteri. CRP kadang-kadang digunakan untuk evaluasi respon
terapi antibiotik.
 Pemeriksaan mikrobiologi
Diagnosis terbaik adalah berdasarkan etiologi, yaitu dengan
pemeriksaan mikrobiologi spesimen usap tenggorok, sekresi nasopharing,
sputum, aspirasi trakhea, fungsi pleura. Sayangnya pemeriksaan ini banyak
sekali kendalanya, baik dari segi teknis maupun biaya. Bahkan dalam
penelitianpun kuman penyebab spesifik hanya dapat diidentifikasi pada
kurang dari 50% kasus.

2.7 Diagnosis banding


 Infeksi perinatal/kongenital (pada neonatus)
 Hyalin membrane disease/HMD (pada neonatus)
 Aspirasi pneumonia
 Edema paru
 Atelektasis
 Tuberkulosis
 Neoplasma
 Reaksi hipersensitivitas (pneumonitis).

2.8 Penatalaksanaan
Seorang anak berumur 2 bulan - <5 tahun menderita Penyakit Sangat Berat
apabila dari pemeriksaan ditemukan salah satu “tanda bahaya” yaitu:

 Tidak bisa minum


 Kejang

28
 Kesadaran menurun atau sukar dibangunkan
 Stridor pada waktu anak tenang
 Gizi buruk

Seorang bayi berumur <2 bulan menderita penyakit sangat berat apabila dari
pemeriksaan ditemukan salah satu “tanda bahaya” yaitu:
 Kurang mau minum
 Kejang
 Kesadaran menurun atau sukar dibangunkan
 Stridor pada waktu anak tenang
 Wheezing
 Demam atau terlalu dingin
Bayi muda dengan tanda bahaya sangat berisiko untuk meninggal. Sulit
membedakan antara pneumonia, sepsis atau meningitis pada kelompok umur ini.

29
2.8.1. Antibiotik
Untuk menentukan dosis antibiotik yang tepat:
 Lihat kolom yang berisi daftar kandungan obat dan sesuaikan dengan
sediaan tablet atau sirup yang ada di Puskesmas.
 Selanjutnya pilih baris yang sesuai dengan umur atau berat badan anak.
Untuk
 menentukan dosis yang tepat, memakai berat badan lebih baik daripada
umur. Dosisyang tepat tertera pada perpotongan antara kolom jenis obat dan
baris umur atau berat badan.
 Antibiotik diberikan selama 3 hari dengan jumlah pemberian 2 kali per hari.
Jangan memberikan antibiotik bila anak atau bayi memiliki riwayat
anafilaksis atau reaksi alergi sebelumnya terhadap jenis obat tersebut.
Gunakan jenis antibiotik lain. Kalau tidak mempunyai antibiotik yang lain
maka rujuklah.

30
Pada bayi berumur <2 bulan pemberian antibiotik oral merupakan tindakan pra
rujukan dan diberikan jika bayi masih bisa minum. Jika bayi tidak bisa minum maka
diberikan dengan injeksi intra muskular.

2.8.2. Antipiretik
Anak dengan demam tinggi bisa diturunkan dengan parasetamol sehingga
anak akan merasa lebih enak dan makan lebih banyak. Anak dengan pneumonia
akan lebih sulit bernapas bila mengalami demam tinggi. Beritahukan ibunya untuk
memberikan parasetamol tiap 6 jam dengan dosis yang sesuai sampai demam
mereda. Berikan parasetamol kepada ibu untuk 3 hari. Beritahukan ibunya untuk
anak yang demam berilah pakaian yang ringan. Tak perlu dibungkus selimut terlalu
rapat atau pakaian yang berlapis, sebab justru akan menyebabkan tidak enak dan
menambah demam. Demam itu sendiri bukan indikasi untuk pemberian antibiotik,
kecuali pada bayi kurang dari 2 bulan. Pada bayi kurang dari 2 bulan kalau ada
demam harus dirujuk; jangan berikan parasetamol untuk demamnya.

2.8.3. Pengobatan Wheezing


Pada bayi berumur <2 bulan: wheezing merupakan tanda bahaya dan harus dirujuk
segera. Pada kelompok umur 2 bulan - <5 tahun: penatalaksanaan wheezing dengan

31
bronkhodilator tergantung dari apakah wheezing itu merupakan episode pertama
atau berulang.

2.9 Komplikasi
Bila bronkopneumonia tidak ditangani secara tepat, maka komplikasinya adalah
sebagai berikut (Yuwono, 2007) :

 Otitis media akut (OMA) : Terjadi bila tidak diobati, maka sputum yang
berlebihan akan masuk ke dalam tuba eustachius, sehingga menghalangi
masuknya udara ke telinga tengah dan mengakibatkan hampa udara, kemudian
gendang telinga akan tertarik kedalam dan timbul efusi. 
 Atelektasis adalah pengembangan paru-paru yang tidak sempurna atau kolaps
paru. 
 Efusi pleura. 
 Emfisema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam rongga
pleura terdapat di satu tempat atau seluruh rongga pleura. 
 Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak. 
 Abses paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang meradang.
 Endokarditis bakterial yaitu peradangan pada katup endokardial

32
2.10 Prognosis
Sembuh total bila didiagnosis dini dan ditangani secara adekuat. Mortalitas lebih
tinggi didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan
datang terlambat untuk pengobatan(Bennete, 2013)

Hipotiroid Kongenital
2.2.1. Definisi
Hipotiroid kongenital adalah keadaan menurun atau tidak berfungsinya kelenjar
tiroid yang didapat sejak bayi baru lahir. Hal ini terjadi karena kelainan anatomi
atau gangguan metabolisme pembentukan hormon tiroid atau defisiensi iodium.
Hormon Tiroid yaitu Tiroksin yang terdiri dari Tri-iodotironin (T3) dan Tetra-
iodotironin (T4), merupakan hormon yang diproduksi oleh kelenjar tiroid (kelenjar
gondok). Pembentukannya memerlukan mikronutrien iodium. Hormon ini
berfungsi untuk mengatur produksi panas tubuh, metabolisme, pertumbuhan tulang,
kerja jantung, syaraf, serta pertumbuhan dan perkembangan otak. Dengan demikian
hormon ini sangat penting peranannya pada bayi dan anak yang sedang tumbuh.
Kekurangan hormon tiroid pada bayi dan masa awal kehidupan, bisa
mengakibatkan hambatan pertumbuhan (cebol/stunted) dan retardasi mental
(keterbelakangan mental) (menkes, 2004).
2.2.2. Etiologi dan Patogenesis
Hipotiroid dapat terjadi melalui jalur berikut

Jalur 1

Agenesis tiroid dan keadaan lain yang sejenis menyebabkan sintesis dan
sekresi hormon tiroid menurun sehingga terjadi hipotiroid primer dengan
peningkatan kadar TSH tanpa adanya struma.1

Jalur 2

Defisiensi iodium berat menyebabkan sintesis dan sekresi hormon tiroid


menurun, sehingga hipofisis non sekresi TSH lebih banyak untuk memacu kelenjar
tiroid mensintesis dan mensekresi hormon tiroid agar sesuai dengan kebutuhan.
Akibatnya kadar TSH meningkat dan kelenjer tiroid membesar (stadium

33
kompensasi). Walaupun pada stadium ini terdapat struma difusa dan peningkatan
kadar TSH, tetapi kadar tiroid tetap normal. Bila kompensasi ini gagal, maka akan
terjadi stadium dekompensasi, yaitu terdapatnya struma difusa, peningktan kadar
TSH, dan kadar hormon tiroid rendah.1

Jalur 3

Semua hal yang terjadi pada kelenjer tiroid dapat mengganggu atau
menurunkan sintesis hormon tiroid (bahan/ obat goitrogenik, tiroiditis, pasca
tiroidektomi, pasca terapi dengan iodium radioaktif, dan adanya kelainan enzim
didalam jalur sintesis hormon tiroid) disebut dishormogenesis yang mengakibatkan
sekresi hormon tiroid menurun, sehingga terjadi hipotiroid dengan kadar TSH
tinggi, dengan/tanpa struma tergantung pada penyebabnya.1

Jalur 4A

Semua keadaan yang menyebabkan penurunan kadar TSH akibat kelainan


hipofisis akan mengakibatkan hipotiroid tanpa struma dengan kadar TSH yang
sangat rendah atau tidak terukur.1

Jalur 4B

Semua kelainan hipotalamus yang mengakibatkan yang menyebabkan


sekresi TSH ynag menurun akan menyebabkan hipotiroid dengan kadar TSH
rendah dan tanpa struma.1

Jalur 1, 2, dan 3 adalah patogenesis hipotiroid primer dengan kadar TSH


yang tinggi. Jalur 1 tanpa desertai struma, jalur 2 disertai struma, dan jalur 3 dapat
dengan atau tanpa struma. Jalur 4A dan 4B adalah patogenesis hipotiroid sekunder
dengan kadar TSH yang tidak terukur atau rendah dan tidak ditemukan struma.1

2.2.3. Gejala Klinis


Pada periode bayi, biasanya manifestasi klinis hipotiroidisme sangat sulit
ditemukan, 95% bayi yang lahir dengan hipotiroidisme kongenital secara klinis
tidak menunjukkan gejala, karena T4 dari ibu dapat melalui plasenta, sehingga
walaupun bayi tidak dapat memproduksi T4 samasekali, kadar dalam darahnya

34
masih 25 – 50% kadar normal. Gambaran klinis klasik (lidah besar, suara tangisan
serak, wajah sembab, hernia umbilikalis, hipotonia, kulit belang “mottling”, tangan
dan kaki dingin, serta letargi) tidak jelas, semakin jelas dengan berjalannya waktu.

Gejala nonspesifik yang menyokong diagnosis hipotiroidisme kongenital


adalah umur kehamilan lebih dari 42 minggu, icterus neonatorum yang lama,
kesulitan minum, konstipasi, hipotermia, atau distress respirasi pada bayi dengan
berat lahir lebih dari 2500 gram. Sering didpatkan fontanela anterior melebar,
fontanela posterior melebar lebih dari 0,5 cm, namun hal ini tidak spesifik. Secara
umum tampaknya gejala klinis tergantung pada penyebab, berat serta lamanya
hipotiroidisme. Bayi dengan hipotiroidisme fetomaternal inutero yang berat,
cenderung timbul banyak gejala pada saat lahir. Demikian juga bayi dengan
atireosis atau blok total hormogenesis tiroid cenderung lebih banyak tanda dan
gejala pada saat lahir, dibandingkan dengan bayi yang menderita tiroid ektopik.
Bayi yang lahir dengan hipotiroidisme kongenital, pada saat lahir ukurannya
normal, namun demikian bilamana hipotiroidisme kongenital, pada saat lahir
ukurannya normal, namun demikian bilamana diagnosis terlambat maka akan
terjadi gagal tumbuh. Apabila ditemukan jaringan tiroid pada palpasi menyokong
adanya kelainan hormogenesis atau kerja hormone tiroid (susanto, 2009)

2.2.4. Diagnosis
Jika Kadar TSH tinggi disertai kadar T4 atau FT4 rendah, maka dapat
ditegakkan diagnosis hipotiroid kongenital primer sehingga harus segera diberikan
tiroksin. Pemberian tiroksin dikonsultasikan dengan dokter spesialis anak konsultan
endokrin.

35
 Bila kadar FT4 di bawah normal (nilai rujukan menurut umur), segera
berikan terapi, tanpa melihat kadar TSH
 Bila kadar FT4 normal, tetapi kadar TSH dalam minimal 2 kali pemeriksaan
≥20 µU/mL, dianjurkan untuk mulai terapi.
Hasil pemeriksaan konfirmasi dikomunikasikan kepada keluarga, dokter
penanggung jawab petugas kesehatan atau bidan. Penjelasan diberikan oleh petugas
yang berpengalaman.

Gambar . Algoritma Skrining hipotiroid kongenital (AAP, 2007)

Setelah diagnosis ditegakan, tindakan selanjutnya adalah melakukan:

36
a) Re-anamnesis Re-anamnesis pada ibu untuk penilaian ulang dan mencoba
mencari latar belakang penyebab, antara lain :
 Ada/tidak penyakit tiroid pada ibu atau keluarga
 Ibu mengonsumsi obat antitiroid selama hamil atau tidak
 Ibu bertempat tinggal di daerah defisiensi iodium atau tidak
 Paparan preparat iodium (kompres iodium untuk tali pusat) pada
bayi
 Ada/tidak kelainan bawaan lain pada bayi.
b) Pemeriksaan fisik Melakukan pemeriksaan fisik dan mencari tanda dan
gejala HK, yang bertujuan untuk mengetahui berat ringannya penyakit,
dengan menggunakan alat bantu berupa tabel di bawah ini serta untuk
mengetahui efektifitas pengobatan.

c) Bila memungkinkan, lakukan pemeriksaan penunjang:


 Sidik tiroid (menggunakan 131I atau 99mTc)
 USG tiroid
 Pemeriksaan radiologi (pencitraan), pemeriksaan pertumbuhan
tulang (sendi lutut). Tidak tampaknya epifisis pada lutut
menunjukkan derajat hipotiroid dalam kandungan

37
 Pemeriksaan anti tiroid antibodi bayi dan ibu, bila ada riwayat
penyakit autoimun tiroid.
 Pemeriksaan kadar thyroglobulin serum
2.2.5. Penatalaksanaan
Pengobatan dengan L-T4 diberikan segera setelah hasil tes konfirmasi. Bayi
dengan HK berat diberi dosis tinggi, sedangkan bayi dengan HK ringan atau sedang
diberi dosis lebih rendah. Bayi yang menderita kelainan jantung, mulai pemberian
50% dari dosis, kemudian dinaikkan setelah 2 minggu.

Dosis harus selalu disesuaikan dengan keadaan klinis dan biokimiawi serum
tiroksin dan TSH menurut umur (age reference range). Pemberian pil tiroksin
dengan cara digerus/dihancurkan dan bisa dicampur dengan sedikit ASI atau air
putih. Obat diberikan secara teratur pada pagi hari. Pemberian obat jangan
bersamaan (diberi jeda minimal 3 jam) dengan senyawa di bawah ini karena akan
mengganggu penyerapan obat :

 Vitamin D
 Produk kacang kedelai (tahu, tempe, kecap, susu kedelai)
 Zat besi konsentrat
 Kalsium
 Aluminium hydroxide
 Cholestyramine dan resin lain
 Suplemen tinggi serat
 Sucralfate
 Singkong

38
 Tiosianat (banyak terdapat pada asap rokok)
Orang tua bayi harus diberi instruksi tertulis mengenai pemberian obat L-T4.
Dokter Puskesmas dan dokter keluarga (dokter umum) bisa memberikan
pengobatan dengan pemantauan secara periodik di bawah pengawasan dokter
spesialis anak. Pada saat kontrol secara klinis diamati tanda/gejala hipotiroid (dosis
kurang) atau tanda/gejalahipertiroid (dosis berlebih). Kalau didapat hasil
pemantauan biokimiawi (TSH dan T4/FT4) dengan hasil abnormal, perlu konsultasi
dengan dokter spesialis anak konsultan endokrin (melalui
telpon/fax/email/sms/jejaring sosial/dll). Terapi sulih hormon dengan pil tiroksin
(Natrium L-thyroxine) harus secepatnya diberikan begitu diagnosis ditegakkan.
IDAI menganjurkan pemberian dosis permulaan 10 – 15 µg/kgBB/hari. Pada bayi
cukup bulan diberikan rata-rata 37,5 – 50 µg/hari. Besarnya dosis hormon
tergantung berat ringannya kelainan. Bayi dengan hipotiroid kongenital berat,
sebaiknya diberikan 50 µg. Pemberian 50 µg lebih cepat menormalisir kadar T4
dan TSH. Sediaan pil tiroksin yang digunakan umumnya adalah berbentuk tablet
50 µg dan 100 µg. Hasil pengobatan sangat dipengaruhi oleh usia pasien saat terapi
dimulai dan jumlah dosis. Pada HK berat, perlu pemberian dosis yang lebih tinggi.

Tanda/gejala kekurangan dan kelebihan dosis tiroksin, yaitu:

Tanda/gejala hipotiroid (akibat dosis kurang) :

- Hipoaktif
- Edema/bengkak terutama di tangan, kaki dan wajah (biasanya
ditandai dengan peningkatan berat badan)
- Obstipasi/sembelit
- Kulit kering, teraba dingin, tidak berkeringat
Tanda/gejala hipertiroid (akibat kelebihan dosis)

 Gelisah Kulit panas, lembab, banyak keringat


 Berat badan menurun
 Sering buang air besar

39
BAB 4
PEMBAHASAN
TEORI KASUS

ANAMNESIS

 Gejala infeksi umum yaitu,  Pasien datang dengan keluhan


demam, sakit kepala, gelisah, lemas sejak 2 hari sebelum
masuk rumah sakit. Pasien
malaise, penurunan nafsu menjadi tidak aktif dan malas
makan, keluhan gastrointestinal menyusu
seperti mual, muntah atau diare,  Pasien memiliki keluhan sesak
kadang-kadang ditemukan namun sesak sudah berkurang.
gejala infeksi ekstrapulmoner Pasien juga mengalami keluhan
batuk.
 Gejala gangguan repiratori,
yaitu batuk, sesak nafas, retraksi  sebelum dibawa ke IGD pasien
mengalami biru setelah
dada, takipnea, nafas cuping
menangis, lemas, bibir pucat dan
hidung, air hunger, merintih kuku kebiruan
dan sianosis
 memiliki riwayat MRS di RSUD
 Hipotiroid Abdul Wahab Sjahranie selama
 Gambaran klinis klasik (lidah 11 hari dan baru saja keluar
rumah sakit 2 hari yang lalu
besar, suara tangisan serak,
sebelum MRS ke-2. Sebelumnya
wajah sembab, hernia pasien mengalami batuk lebih
umbilikalis, hipotonia, kulit dari 2 minggu namun tanpa
disertai demam
belang “mottling”, tangan dan
kaki dingin, serta letargi) tidak
jelas, semakin jelas dengan
berjalannya waktu.
PEMERIKSAAN FISIK
T: 37,5 0C Nadi 122x/i RR 52 x/i,
Ane (-/-), ikt (-/-), cowong(-/-) ,
Rh (+/+), Wh (-/-),

 abd soefl BU(+)N, organomegali (-)


ascites (-)

40
 Gejala nonspesifik yang Edema ekstrimitas (-)
menyokong diagnosis
hipotiroidisme kongenital adalah
umur kehamilan lebih dari 42
minggu, icterus neonatorum yang
lama, kesulitan minum, konstipasi,
hipotermia, atau distress respirasi
pada bayi dengan berat lahir lebih
dari 2500 gram. Sering didpatkan
fontanela anterior melebar,
fontanela posterior melebar lebih
dari 0,5 cm, namun hal ini tidak
spesifik.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Pada pemeriksaan laboratorium
terdapat peningkatan jumlah HEMATOLOGI
leukosit.Hitung leukosit dapat
T3 0,51
membantu membedakan pneumonia
viral dan bakterial. T4 7,27

TSH 6,78
 Pada hitung jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta peningkatan Hemoglobin 12,3
LED
Leukosit 7,23
 Pemeriksaan mikrobiologik untuk Hematokrit 38,7
diagnosis pneumonia anak tidak rutin
Trombosit 164
dilakukan kecuali pada pneumonia
berat yang dirawat di RS.
 Foto thoraks : Terdapat infiltrat
 Foto toraks (AP/lateral) merupakan
pada lapangan paru dextra
pemeriksaan penunjang utama
untuk menegakkan diagnosis. Pada
bronkopneumonia bercak-bercak

41
infiltrat didapatkan pada satu atau
beberapa lobus.

 Kadar CRP biasanya lebih rendah


pada infeksi virus dan bakteri. CRP
kadang-kadang digunakan untuk
evaluasi respon terapi antibiotik.

 Jika Kadar TSH tinggi disertai


kadar T4 atau FT4 rendah, maka
dapat ditegakkan diagnosis
hipotiroid kongenital primer
sehingga harus segera diberikan
tiroksin.

 Sidik tiroid (menggunakan 131I


atau 99mTc)
 USG tiroid
 Pemeriksaan radiologi
(pencitraan), pemeriksaan
pertumbuhan tulang (sendi lutut).
Tidak tampaknya epifisis pada
lutut menunjukkan derajat
hipotiroid dalam kandungan
 Pemeriksaan anti tiroid antibodi
bayi dan ibu, bila ada riwayat
penyakit autoimun tiroid.
 Pemeriksaan kadar thyroglobulin
serum

PENATALAKSANAAN
 memberikan parasetamol tiap 6 O2 nasal ½ lpm
jam dengan dosis yang sesuai Kaen 4A 100 cc/24 jam infus pump
sampai demam mereda Cefotaxime inj 2 x 125 mg  Resisten,
stop

42
 Antibiotik diberikan selama 3 hari Vankomisin inj 2 x 45 mg
dengan jumlah pemberian 2 kali Dexamethasone inj 2 x 0,8 mg
per hari. Pilihan pertama yaitu Ambroxol syr 3 x 0,4 cc
kotrimoksazol dan pilihan kedua
Levotyroxine 1 x 20 mcg
amoksisilin. Jika bayi tidak bisa
minum maka diberikan dengan Nebu Ventolin 0,2 cc + Nacl 2x/hari
injeksi intra muskular. Susu 8 x 25 cc

 Pada kelompok umur 2 bulan - <5


tahun: penatalaksanaan wheezing
dengan bronkhodilator tergantung
dari apakah wheezing itu
merupakan episode pertama atau
berulang.

 IDAI menganjurkan pemberian


dosis permulaan 10 – 15
µg/kgBB/hari. Pada bayi cukup
bulan diberikan rata-rata 37,5 – 50
µg/hari. Besarnya dosis hormon
tergantung berat ringannya
kelainan. Bayi dengan hipotiroid
kongenital berat, sebaiknya
diberikan 50 µg. Pemberian 50 µg
lebih cepat menormalisir kadar T4
dan TSH.

BAB 5
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
1. Idiopathic Thrombocytopenic Purpura adalah suatu gangguan autoimun yang
ditandai dengan trombositopenia yang menetap (angka trombosit darah perifer
kurang dari 150.000/mL) akibat autoantibodi yang mengikat antigen trombosit
menyebabkan destruksi prematur trombosit dalam sistem retikuloendotel
terutama limpa.

43
2. Penyebab ITP yang pasti sampai saat ini masih belum diketahui pasti namun
penyebab ITP dikaitkan dengan infeksi rubela, rubeola,varisella pada pasien
ITP yang sebelumnya terinfeksi.
3. ITP disebabkan oleh autoantibodi trombosit spesifik yang berikatan dengan
trombosit autolog kemudian dengan cepat dibersihkan dari sirkulasi oleh
sistem fagosit mononuklear melalui reseptor Fc makrofag
4. Pada pemeriksaan darah lengkap di dapatkannya penurunan jumlah trombosit
dengan adanya tanda perdarahan berupa petekie, purpura, epistaksis,
subkonjungtiva bleeding, melena, hematuria.
5. Standar penatalaksanaan pasien ITP dengan pemberian kortikosteroid.

5.2 Saran
Mengingat masih banyaknya kekurangan dari makalah tutorial ini, baik dari
segi diskusi, penulisan dan sebagainya, untuk itu kami mengharapkan kritik dan
saran dari dosen-dosen yang mengajar, dari rekan-rekan sesama dokter muda dan
dari berbagai pihak demi kesempurnaan referat ini.

44
DAFTAR PUSTAKA

1. Bakta IM. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC, 2006.

2. Tepie MAF, Roux GL, Beach KJ, Bennett D, Robinson NJ. Comorbidities
of Idiopathic Thrombocytopenic Purpura: A Population-Based Study
2008;2009:1-12.

3. Neunert C, Lim W, Crowther M, Cohen A, Solberg L, Crowther MA. The


American Society of Hematology 2011 evidence-based practice guideline
for immune thrombocytopenia. Blood 2011 117: 4190-4207

4. BJH. Guidelines for the investigation and management of idiopathic


thrombocytopenic purpura in adults, children and in pregnancy. British
Journal of Haematology, 120: 574–596.

5. Tim Penyusun FK UI. Ilmu Kesehatan Anak Buku Kuliah 1. Jakarta :


Bagian Ilmu Kesehatan Anak, 2007.

6. Behrman RE, Kliegman RM.Esensi Pediatri Edisi 4.Jakarta:EGC, 2010.

7. Tim Penulis. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II. Jakarta : Media


Aesculapius, 2000.

8. IDAI. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia Edisi II.
Jakarta : IDAI, 2011

9. Cines DB, Blanchette VS. Immune thrombocytopenia purpura. N Engl J


Med 2002; 346(13):995-1008

10. Siregar CD. Penggunaan Imunoglobulin Dosis Tinggi pada Purpura


Trombositopenik Idiopatik Khronik Anak. Cermin Dunia Kedokt. 1993; 86:
27–9.

45

Anda mungkin juga menyukai