Anda di halaman 1dari 14

Kelemahan Otot Wajah karena Kelumpuhan Nervous Facialis

Natalie Deskla Pattiasina


102015017
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta
Alamat Korespondensi: Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat 11510, Indonesia
Email: natalie.2015fk017@civitas.ukrida.ac.id

Pendahuluan
Bell’s palsy adalah suatu kelumpuhan nervus fasialis perifer, yang terjadi secara akut dan
penyebabnya tidak diketahui atau tidak disertai penyakit lain yang dapat mengakibatkan lesi
nervus fasialis. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun paling sering terjadi pada
umur 20-50 tahun. Peluang untuk terjadi bell’s palsy pada laki-laki sama dengan pada wanita.
Pada bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal,
disekitar foramen stilomastoideus. Bell’s palsy hamper selalu terjadi unilateral. Pada sebagian
besar penderita bell’s palsy kelumpuhannya dapat menyembuh, namun pada beberapa
diantara mereka kelumpuhannya sembug dengan meninggalkan gejala sisa. Gejala sisa ini
berupa kontraktur, dan spasme spontan (lora anggraeni). Penyakit ini dapat terjadi berulang
atau kambuh. Paralisis fasialis dapat terjadi pada penyakit tertentu, misalnya diabetes
mellitus, hipertensi berat, anestesi lokal pada pencabutan gigi, infeksi telinga bagian tengah,
sindrom guillain barre.5,7

Pembahasan
Anamnesis
Merupakan hal pertama yang kita lakukan dengan pasien. Hal tersebut bisa dilakukan antara
pasien dengan dokter (autoanamnesis) dan pendamping pasien dengan dokter (allo-
anamnesis) apabila pasien berumur sangat muda, pasien berumur sangat tua dan pasien dalam
keadaan tidak sadar. Hal-hal yang perlu ditanyakan saat anamnesis/wawancara kepada pasien
yakni identitas pasien meliputi nama, tempat tinggal, umur, dan pekerjaan. Kemudian
menanyakan keluhan utama yang dirasakan pasien, lalu riwayat penyakit sekarang, obat-obat
yag dikonsumsi pasien, kemudian riwayat penyakit dahulu dan keluarga, riwayat sosial.
Dari hasil anamnesis didapatkan, pasien perempuan 52 tahun dengan keluhan mulut mencong
ke kiri sejak 1 hari yang lalu. Pasien kesulitan berbicara, mata kanannya tidak dapat tertutup
sempurna, dahi kanan tidak bisa mengkerut, sulit makan dan minum, minum sering tumpah di
bibir kanan.1

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan neurologi
Kelumpuhan nervus fasialis melibatkan semua otot wajah sesisi dan dapat dibuktikan dengan
pemeriksaan-pemeriksaan sebagai berikut:
1. Pemeriksaan motoric nervus fasialis
 Mengertukan dahi
Lipatan kulit dahi hanya tampak pada sisi yang sehat saja.
 Mengangkat alis
Alis pada sisi yang sakit tidak dapat diangkat.
 Memejamkan mata dengan kuat
Pada sisi yang sakit kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata dan
berputarnya bola mata ke atas dapat dilihat. Hal ini disebut Fenomena Bell.
Selain itu dapat dilihat juga bahwa gerakan kelopak mata yang sakit lebih
lambat dibandingkan dengan gerakan kelopak mata yang sehat, hal ini disebut
sebagai Lagoftalmus.
 Mengembungkan pipi
Pada sisi yang tidak sehat pipi tidak dapat dikembungkan.
 Pasien menyeringai
Sudut mulut sisi yang lumpuh tidak dapat diangkat sehingga mulut tampak
moncong ke arah yang sehat. Dan juga seulcus nasolabialis pada sisi wajah
yang sakit mendatar.
2. Pemeriksaan sensorik pada nervus fasialis
Sensasi pengecapan diperiksa:
 Rasa manis: pada bagian ujung lidah dengan bahan berupa garam, dan rasa
asam diperiksa pada bagian tengah lidah dengan bahan asam sitrat.
Pengecapan 2/3 depan lidah; pengecapan pada sisi yang tidak sehat kurang
tajam.
3. Pemeriksaan reflex
Pemeriksaan relfeks yang dilakukan pada penderita bell’s palsy adalah pemeriksaan
reflels kornea baik langsung maupun tidak langsung dimana pada paresis nervus VII
akan didapatkan hasil berupa pada sisi yang sakit kedipan mata yang terjadi lebih
lambat atau tudak ada sama sekali. Kemudian dapat juga diperiksa relfeks
nasopalpebra yang pada orang sehat pengetukan ujung jari pada daerah diantara kedua
alis langsung dijawab dengan pemejaman kelopak mata pada sisi, sedangkan pada
paresis fasialis jenis perifer terdapat kelemahan kontraksi m. orbikularisoculu
(pemejaman mata pada sisi yang sakit).2,3

Pemeriksaan penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakan diagnosis Bell’s Palsy,
namun pemeriksaan kadar gula darah atau HBA1c dapat dipertimbangkan untuk mengetahui
apakah pasien tersebut menderita diabetes atau tidak. Pemeriksaan HSV juga bisa dilakukan
namun biasanya tidak dapat menentukan dari mana virus tersebut berasal.
Bell’s palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang perlu dilakukan
untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis. Pemeriksaan radiologis
dengan CT-scan atau radiografi polos dapat dilakukan untuk menyingkirkan fraktur,
metastasis tulang, dan keterlibatan sistem saraf pusat (SSP). Pemeriksaan MRI dilakukan
pada pasien yang dicurigai neoplasma di tulang temporal, otak, glandula parotis, atau untuk
mengevaluasi sklerosis multipel. Selain itu, MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan
penyengatan kontras saraf fasialis. Pemeriksaan neurofisiologi pada Bells palsy sudah dikenal
sejak tahun 1970 sebagai prediktor kesembuhan, bahkan dahulu sebagai acuan pada
penentuan kandidat tindakan dekompresi intrakanikular.10,11 Grosheva et al melaporkan
pemeriksaan elektromiografi (EMG) mempunyai nilai prognostik yang lebih baik
dibandingkan elektroneurografi (ENG). Pemeriksaan serial EMG pada penelitian tersebut
setelah hari ke-15 mempunyai positive-predictivevalue (PPV) 100% dan negative-predictive-
value (NPV) 96%. Spektrum abnormalitas yang didapatkan berupa penurunan amplitudo
Compound Motor Action Potential (CMAP), pemanjangan latensi saraf fasialis, serta pada
pemeriksaan blink reflex didapatkan pemanjangan gelombang R1 ipsilateral. 11 Pemeriksaan
blink reflex ini sangat bermanfaat karena 96% kasus didapatkan abnormalitas hingga minggu
kelima, meski demikian sensitivitas pemeriksaan ini rendah. Abnormalitas gelombang R2
hanya ditemukan pada 15,6% kasus.3,4

Diagnosis kerja
Bell’s  palsy  adalah penyakit idiopatik dan merupakan penyakit saraf tepi yang bersifat akut
dan mengenai nervus fasialis (N.VII) yang menginervasi seluruh otot wajah yang
menyebabkan kelemahan atau paralisis satu sisi wajah. Paralisis ini meyebabkan asimetri
wajah serta mengganggu fungsi normal.
Bell’s palsy  merupakan salah satu gangguan neurologi yang paling sering dijumpai. Wanita
muda usia 10-19 tahun lebih sering terkena dibandingkan dengan laki-laki. Sedangkan wanita
hamil memilki resiko 3,3 kali lebih tinggidibandingkan dengan wanita yang tidak hamil.
Penyebab pasti Bell’s  palsy masih belum diketahui. Tetapi penyakit ini dianggap memiliki
hubungan dengan virus, bakteri, dan autoimun.
Bell’s  palsy meliputi inflamasi saraf atau blokade sinyal muscular dari HSV 1 lewat karier
yang belum diketahui, ketidak seimbangan imunitas (stress, HIV/AIDS, trauma)
atau apapun yang secara langsung maupun tidak langsung menekan sistem imun (seperti
infeksi baktreri pada Lyme disease dan otitis media, atau truma, tumor, dan kelainan
kongenital), serta apapun yang dapat menyebabkan inflamasi dan edem nervus fasialis
(N.VII) dapat memicu terjadinya bell’s palsy. 4

Diagnosis Banding
Kerusakan Nervus VII tipe sentral

Lesi ini melibatkan serabut corticobulbaris yang direc dan indirect. Dua tipe yang
dikenali: Voluntary dan Mimetic. Voluntary paralysis bermanifestsi pada sisi kontralateral
yang melibatkan hanya melibatkan musculus setengah bagian bawah musculus facial
terutama perioral, sedangkan musculus yang bertanggungjawab mengerutkan dahi,
memejamkan mata tidak terpengaruh. Tipe kelumpuhan UMN yang kontra lateral ini didasari
bahwa Nucleus yang bertanggungjawab terhadap musculus fasialis bagian atas mendapatkan
serabut ipsilateral dan kontralateral sedangkan nucleus yang bertanggungjawab terhadap
musculus bagian bawah facial hanya mendapatkan serabut dari kontralateral cortico bulbaris.
Lesi yang melibatkan corticobulbaris dan corticospinalis di capsula interna akan berakibat
lesi central N Facialis type voluntary(kontralateral lesi) dan hemiparese pada sisi kontalateral
tubuh dengan tanpa gangguan sensasi maupun fungsi autonom(salivary dan lacrimasi) serta
refleks cornea. Mimetic atau emosional inervation dari musculus inferior fascial bersifat
involuntary dan perjalanannya tidak diketahui. Lesi mimetic bisa tanpa disertai ganguan
voluntary atau bersama sama. Lesi pada lobus frontalis dan gangliabasalis atau thalamus
sering bermanifestasi ganguan ini.5
Stroke
Stroke merupakan defisit neurologis mendadak akibat gangguan suplai darah ke SSP. Stroke
biasanya didasari oleh terjadinya pendarahan atau tromboemboli. Klasifikasi stroke iskemik
berdasarkan penyebabnya:
1. stroke emboli

emboli dapat berasal dari jantung, arteri ekstrakranial maupun emboli paradoxical melalui
patent foramen ovale. Sumber emboli cardiogenic termasuk thrombus vulvular (seperti
mitral stenosis, endoraditis, katup prostetik), thrombus mural (seperti infark myocardm
fibrilasi atrial, cardiomyopathy dilatasi, CHF dan atrial myxoma). MI berhubungan dengan
2-3% insidensi stroke emboli, dimana 85% kasus terjadi pada bulan pertama.

2. Stroke thrombosis:

Dapat mengenai pembuluh darah besar termasuk sistem arteri carotis atau pembuluh
darah kecil (termasuk percabangan sirkulus wilis dan sirkulasi posterior). Tempat yang
umum terjadi thrombosis adalah titik percabangan arteri serebral khususnya distribusi
arteri carotis interna. Stenosis arteri dapat mengakibatkan aliran darah yang turbulen dan
meningkatkan resiko tebentuknya thrombus, atherosclerosis (seperti plak ulserasi), dan
perlengketan plateler yang kesemuanya dapat menyebabkan pembentukan bekuan darah
juga emboli atau oklusi pada arteri.6

TIA (Transient Ischemic Attack)

TIA adalah suatu episode akut yang mengakibatkan disfungsi saraf sementara akibat adanya
iskemik fokal pada otak dan tidak berhubungan dengan kerusakan otak yang permanen.
Gejala dari TIA biasanya kurang dari satu jam tetapi bisa saja gejalanya memanjang atau
lebih. TIA ini terbentuk akibat adanya beberapa gangguan seperti:7

 arteriosklerosis pada arteri karotis atau pada arteri vertebralis.


 Emboli, trombus pada ventrikel, dan pembentukan trombus akibat atrial
fiblirasi.
 Stenosis yang disebabkan hipertensi (cerebral small vessel
disease/arteriosklerosis).
Etiologi

Penyebab pasti Bell’s  palsy masih belum diketahui. Tetapi penyakit ini dianggap memiliki


hubungan dengan virus, bakteri, dan autoimun. Bell’s palsy meliputi inflamasi saraf atau
blokade sinyal muscular dari HSV 1 lewat karier yang
belum diketahui, ketidakseimbangan imunitas (stress,HIV/AIDS, trauma) atau apapun yang s
ecara langsung maupun tidak langsung menekan sistem imun (seperti infeksi bakteri pada
Lymedisease dan otitis media, atau trauma,tumor, dan kelainan kongenital), serta apapun yag 
dapa tmenyebabkan inflamasi dan edema nervus fasialis (N.VII)dapat memicu terjadinya
bell’s palsy. Bell’s palsy dapat disebabkan oleh beberapa hal lainnya seperti iklim atau faktor
meteorologi seperti suhu, kelembaban, dan tekanan barometrik. Beberapa studi menyebutkan
bahwa pasien sebelumnya merasakan wajahnya dingin atau terkena dingin sebelum onset
bell’s palsy muncul. Suhu dingin di salahs atu bagian wajah dapat menyebabkan iritasi
nervus fasialis(N.VII). Data eksperimental yang paling mendukung dalam patofisiologi
penyakit ini adalah “hipotesis suhu rendah”. Selain itu reaktivasi HSV yang merupakan salah
satu teori terjadinya bell’s palsy juga berhubungan dengan perbedaan iklim antar negara dan
polusi dari atmosfer. Selain itu stress, kehamilan, diabetes juga dapat memicu munculnya
bell’s palsy.8

Epidemiologi

Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut. Di dunia,
insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah ditemukan di
Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy
setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden
Bell’s palsy rata-rata 1530 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko
29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan
perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19
tahunlebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama.Penyakit ini
dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada
kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinankemungkinan timbulnya
Bell’s palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.8,9
Anatomi N. VII
Nervus fascialis memiliki radiks motorik dan radiks sensorik. Yang tersebut terakhir dikenal
sebagai nervus intermedius. Kedua radikses itu muncul pada permukaan bagian kaudal dari
pons di lekuk antara serebelum dan oliva inferior. Disitu tampak juga nervus oktavus atau
nervus vestibulocochlearis, yang berada di sebelah lateral nervus fascialis, bahkan komponen
sensorik dari nervus fascialis tampak lebih melekat pada nervus oktavus ketimbang pada
radiks motoria nervi fascialis. Baru kalau nervus fascialis hendak masuk meatus acusticus
internus, radiks sensoriknya benar-benar terpisah dari nervus oktavus dan tergabung menjadi
satu dengan nervus fascialis.
Radiks motoriknya mensarafi otot-otot wajah, tengkorak, daun telinga, otot buccinators,
platysma, m. stapedius, m. stilohyoideus dan venter posterior dari m. digastricus. Radiks
sensoriknya menghantarkan impuls cita rasa atau impuls gustatorik dari lidah (melalui corda
tympani) dan dari palatum (melalui nervus petrosus superfisialis mayor). Disamping kedua
jenis serabut itu nervus fascialis mengandung juga serabut parasimpatetik preganglionar
untuk menghantarkan impuls sekretomotorik kepada kelenjar submandibular, sublingual,
lakrimal dan kelenjar-kelenjar mukosa nasal dan palatinal. (sidharta dan Dewanto, hal 330)
N. fascialis berjalan ke depan di dalam substansi glandula parotidea. Saraf ini terbagi atas
lima cabang terminal:
1. Ramus Temporalis
Muncul dari pinggir atas glandula dan mempersarafi musculus auricularis anterior dan
superior, venter frontalis musculus oscippitofrontalis, musculus orbicularis oculi, dan
musculus corrugators supercilli.
2. Ramus Zygomaticus
Muncul dari pinggir anterior glandula dan mempersarafi musculus orbicularis oculi.
3. Ramus Buccalis
Muncul dari pinggir anterior glandula di bawah duktus parotideus dan mempersarafi
musculus bucinator dan otot-otot bibir atas serta nares.
4. Ramus Mandibularis
Muncul dari pinggir anterior glandula dan mempersarafi otot-otot bibir bawah.
5. Ramus Cervicalis
Muncul dari pinggir bawah glandula dan berjalan ke depan di leher di bawah
mandibula untuk mempersarafi musculus platysma. Saraf ini dapat menyilang pinggir
bawah mandibula untuk mempersarafi musculus depressor anguli oris.
N. Fascialis merupakan saraf untuk arcus pharingeus kedua dan mempersarafi semua otot-
otot ekspresi wajah. Saraf ini tidak mempersarafi kulit, tetap cabang-cabangnya berhubungan
dengan cabang-cabang nervus Trigeminus. Diyakini bahwa serabut-serabut proprioseptif
otot-otot wajah meninggalkan nervus Fascialis melalui cabang-cabang komunikans ini dan
berjalan ke susunan saraf pusat melalui nervus Trigeminus.8,9

Patofisiologi

Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di
sekitar foramen stilomastoideus. Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Namun
demikian dalam jarak waktu satu minggu atau lebih dapat terjadi paralysis bilateral. Penyakit
ini dapat berulang atau kambuh. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori
menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan
peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat
melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui
kanalis fasialis yang mempunya ibentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar
sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi,
demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik
yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear dan
infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di
jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah
somatotropik wajah di korteks motorik primer. Karena adanya suatu proses yang dikenal
awam sebagai “masuk angin” atau dalam bahasa inggris “cold”. Paparan udara dingin seperti
angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah
satu penyebab terjadinya Bell’s palsy.
Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan
menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bisa terletak di pons, di sudut
serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada
cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus
abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut
akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain
itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral
dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa
penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan
virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena
virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion
genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis
LMN. Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah
seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada
usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak
bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena
lagoftalmos, maka air mata tidak bias disalurkan secara wajar sehingga tertimbun. Gejala-
gejala pengiring seperti ageusia dan hiperakusis tidak ada karena bagian nervus fasialis yang
terjepit diforamen stilomastoideum sudah tidak mengandung lagi serabut korda timpani dan
serabut yang mensyarafi muskulus stapedius.9

Manifestasi Klinik

Biasanya timbul secara mendadak, penderita menyadari adanya kelumpuhan pada salah satu
sisi wajahnya saat bangun pagi, bercermin atau saat sikat gigi/berkumur atau diberitahukan
oleh orang lain bahwa salah satu sudut wajahnya lebih rendah. Bell’s Palsy hampir selalu
unilateral. Gambaran klinis dapat berupa hilangnya semua gerakan volunter pada
kelumpuhan total. Pada sisi wajah yang terkena, ekspresi akan menghilang sehingga lipatan
nasolabialis akan menghilang, sudut mulut menurun, bila minum atau berkumur air menetes
dari sudut ini, kelopak mata tidak dapat dipejamkan sehingga fissura palpebra melebar serta
kerut dahi menghilang. Bila penderita disuruh untuk memejamkan matanya maka kelopak
mata pada sisi yang lumpuh akan terbuka dimana kelumpuhan N.VII yang mempersarafi M.
Orbikularis okuli dapat menyebabkan lagoftalmus yaitu keadaan palpebra tidak menutup
sempurna. Kelainan ini akan mengakibatkan trauma konjungtiva dan kornea karena mata
tetap terbuka sehingga konjungtiva dan kornea menjadi kering dan terjadi infeksi. Infeksi ini
dapat dalam bentuk konjungtivitis atau suatu keratitis. Serta bola mata pasien berputar ke
atas, keadaan ini disebut dengan tanda dari Bell (lagoftalmus disertai dorsorotasi bola mata).
Karena kedipan mata yang berkurang maka akan terjadi iritasi oleh debu dan angin, sehingga
menimbulkan epifora atau mata berair. Dalam mengembungkan pipi terlihat bahwa pada sisi
yang lumpuh tidak mengembung. Disamping itu, saat makan, makanan cenderung terkumpul
diantara pipi dan gusi yang lumpuh. Selain kelumpuhan seluruh otot wajah sesisi, tidak
didapati gangguan lain yang mengiringinya, bila paresisnya benar-benar bersifat bell’s palsy.

Bila khorda timpani juga ikut terkena, maka terjadi gangguan pengecapan dari 2/3 depan
lidah yang merupakan kawasan sensorik khusus N.intermedius. dan bila saraf yang menuju
ke m.stapedius juga terlibat, maka akan terjadi hiperakusis. Keadaan ini dapat diperiksa
dengan pemeriksaan audiometri. Pada kasus yang lebih berat akan terjadi gangguan
produksi air mata berupa pengurangan atau hilangnya produksi air mata. Ini menunjukkan
terkenanya ganglion genikulatum dan dapat diperiksa dengan pemeriksaan tes Schimer.7,10

Komplikasi

Kira-kira 30% pasien Bell’s palsy yang sembuh dengan gejala sisa seperti
fungsi motorik dan sensorik yang tidak sempurna, serta kelemahan saraf  parasimpatik. Komp
likasi yang paling banyak terjadi yaitu disgeusia atau ageusia, spasme nervus fasialis yang
kronik dan kelemahan saraf parasimpatik yang menyebabkan kelenjar lakrimalis tidak
berfungsi dengan baik sehingga tampak seperti air mata buaya (crocodile tears).
Komplikasi ke bagian mata antara lain :
 Lagoftalmus
 Ektropion paralitik dari kelopak mata bagian bawah
 Alis Jatuh
 Retraksi kelopak mata atas
 Erosi Kornea
 Crocodile-tears tearing

Komplikasi ke bagian telinga antara lain:


Hampir separuh pasien yang mengalami Bell Palsy mengeluhkan nyeri pada bagian
belakang telinga. Nyeri biasanya terjadi bersamaan dengan timbulnya gejala Bell Palsy,
namun pada 25% kasus nyeri telinga terjadi lebih dulu 2-3 hari sebelum timbulnya Bell
Palsy. Beberapa pasien juga mengeluhkan terjadinya hyperacusis pada telinga
ipsilateral dari Palsy yang terjadi, yang merupakan akibat sekunder dari kelemahan otot
stapedius.
 Gangguan Pengecapan:

Sepertiga pasien Bell Palsy melaporkan gangguan pengecapan, dimana 80%dari penderita Bell Palsy
mengalami penurunan kemampuan merasa.
 Spasme Fasial
Spasme fasial adalah komplikasi yang jarang dari Bell Palsy, terjadi akibat kontraksi
tonic pada salah satu sisi wajah. Spasme ini biasanya terjadi pada saat
stress dan timbul akibat kompreksi dari akar Nervus VII akibat gangguan pembuluh darah,
tumor, ataupun proses demielinisasi akar saraf. Spasme ini lebih sering menyerang pada usia
50 atau 60an. Selain itu juga dapat timbul Synkinesis yaitu suatu kontraksi abnormal dari otot wajah
saat tersenyum atau menutup mata,contoh yang dapat terjadi adalah mulut pasien tertarik ketika tersenyum
atau ketika mengedipkan mata.5

Penatalaksanaan

Non-medikamentosa

 Tindakan fisioterapi seperti terapi panas superfisial,elektroterapi menggunakan arus


listrik.
 Perawatan mata
Pemberian air mata buatan, lubrikan, dan pelindung mata. Pemakaian kacamata
dengan lensa berwarna atau kacamata hitam kadang diperlukan untuk menjaga mata
tetap lembab saat bekerja.
 Latihan dan pemijatan wajah disertai kompres panas
 Istirahat
 Pembedahan
Jika sudah terjadi ectropion yang parah dapat dilakukan lateral tarsorrhaphy.

Medika mentosa

Untuk menghilangkan penekanan, menurunkan edema akson


dan kerusakan N.VII dapat diberikan prednisone (kortikosteroid) dan antiviral sesegera
mungkin. Window of opportunity untuk memulai pengobatan adalah 7 hari setelah onset.
Prednison dapat diberikan jika muncul tanda-tanda radang. Selain itu dapat pula diberi obat
untuk menghilangkan nyeri seperti gabapentin.5
- Kortikosteroid
- Prednison 1 mg/kgBB/hari selama 5 hari kemudian diturunkan bertahap 10 mg/hari
dan berhenti selama10-14 hari.

Tabel 1 : Dosis Prednison


1 mg/kg atau 60 mg PO qd selama 7 hari diikuti tapering off dengan total
Dosis dewasa
pemakaian 10 hari.
1 mg/kg PO qd selama 6 hari diikuti tappering off dengan total pemakaian
Dosis anak
10 hari.
Hipersensitivitas, diabetes
beratyang tak terkontrol, infeksi jamur, ulkus peptikum, TBC,osteoporosis
kontraindikasi
.

- Obat-obat antiviral
Acyclovir 400 mg dapat diberikan 5 kali perhari selama 7 hari, atau 1000mg /hari
selama 5 hari sampai 2400 mg/hari selama 10 hari. Dapat juga menggunakan
Valactclovir 1 gram yang diberikan 3 kali selama 7 hari.
Tabel 2 : Dosis Antiviral
Asikovir, obat antiviral yang menghambat kerja HSV-1. HSV-
Nama obat
2, dan VZV
Dosis dewasa Dewasa 400 mg PO 5 kali/hari selama 10 hari
<2 tahun : belum dipastikan
Dosis anak
>2 tahun : 20 mg/kg PO selama10 hari
kontraindikasi Hipersensitif, penderita gagalginjal 

- Vitamin B
Preparat aktif B12 (Metil kobalamin) berperan sebagai kofaktor dalam proses
remielenasi, dengan dosis 3x500μg/hari.

Prognosis
Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa.
Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah:
a. Usia di atas 60 tahun.
b. Paralisis komplit.
c. Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh.
d. Nyeri pada bagian belakang telinga.
e. Berkurangnya air mata.

Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh dalam
waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur 60 tahun
atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan gejala
sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya memiliki perbedaan peluang 10-15
persen antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu
4 bulan, maka penderita cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears
dan kadang spasme hemifasial.
Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita
nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya
23%kasus Bell’s palsy yang mengenai kedua sisi wajah.   Bell’s palsy kambuh pada 10-15
% penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsi lateral menderita tumor N. VII atau
tumor kelenjar parotis.9,10

Kesimpulan

Bell’s palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan paresis atau kelumpuhan yang akut dan
idiopatik akibat disfungsi nervus facialis perifer.Penyebab Bell’s palsy adalah edema,
inflamasi, dan iskemia akibat penekanan (kompresi) pada nervus fasialis.Prognosis pasien
dengan Bell’s palsy relatif baik meskipun pada beberapa pasien, gejala sisa dan rekurensi
dapat terjadi.

Daftar Pustaka
1. Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta:EGC;2009.hal.77-89.
2. Burnside JW, McGlynn TJ. Diagnosis fisik. Edisi 17. Jakarta:EGC;2003.hal. 267-83.
3. Bickley LS, Szilagyi PG. Bates buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat
kesehatan.edisi 8. Jakarta:EGC;2009. Hal. 166-290.
4. Lowis H, Gaharun MN. Bell’s palsy, diagnosis dan tata laksana pelayanan primer. J
Indon Med Assoc. 2012:62;32-7
5. Dewanto, G dkk. Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta : penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2009.
6. Rakyat D, Soeharto I. Serangan jantung dan stroke. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama; 2004. h. 123-8.

7. Mardjono, M. Sidharta, P. Nervus Fasialis dan Patologinya. Neurologi Klinis Dasar,


5thed. Jakarta : PT Dian Rakyat, 2005. 159-163.
8. Price SA, Wilson LM . Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Volume
2. Edisi 6. Jakarta: EGC; 2005. Hal.966-71.
9. Lumbantobing. Neurologi Klinik.Jakarta: Universitas Indonesia, 2007.h 150-9.
10. Djamil Y, Basjiruddin A. Paralisis bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta neurologi;
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada; 2009.h 297-300.

Anda mungkin juga menyukai