Anda di halaman 1dari 22

Referat

Congestive Heart Failure

Disusun Oleh:

Agung Setiawan

112019078

Pembimbing:

dr. Hendra Dwi Kurniawan, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA

PERIODE 29 JUNI SD 5 SEPTEMBER 2020


0
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul........................................................................................................i
Daftar Isi................................................................................................................1
Congestive Heart Failure.......................................................................................2
Definisi..................................................................................................................2
Klasifikasi..............................................................................................................3
Etiologi..................................................................................................................4
Epidemiologi.........................................................................................................6
Patofisiologi...........................................................................................................6
Manifestasi Klinis..................................................................................................8
Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang....................................................................11
Penatalaksanaan...................................................................................................13
A. Penatalaksanaan Non Farmakologis............................................13
B. Penatalaksaanan Farmakologis....................................................14
Prognosis.............................................................................................................20
Daftar Pustaka.....................................................................................................21

1
Congestive Heart Failure

Definisi

Congestive heart failure (gagal jantung kongestif) adalah suatu sindroma klinis yang
kompleks yang disebabkan oleh kelainan struktur dan fungsional jantung sehingga terjadi
gangguan pada ejeksi dan pengisian. Pada keadaan ini jantung tidak lagi mampu memompa
darah secara cukup ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh.1
Gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah dalam
jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap oksigen dan nutrient
dikarenakan adanya kelainan fungsi jantung yang berakibat jantung gagal memompa darah untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai
peninggian tekanan pengisian ventrikel kiri. Beberapa istilah dalam gagal jantung:1,2
1. Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik :
Kedua jenis ini terjadi secara tumpang tindih dan sulit dibedakan dari pemeriksaan
fisis, foto thoraks, atau EKG dan hanya dapat dibedakan dengan echocardiography.

Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung memompa sehingga


curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan, kemampuan aktivitas fisik
menurun dan gejala hipoperfusi lainnya.

Gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan pengisian ventrikel.
Gagal jantung diastolik didefinisikan sebagai gagal jantung dengan fraksi ejeksi lebih
dari 50%. Ada 3 macam gangguan fungsi diastolik ; Gangguan relaksasi, pseudo-normal,
tipe restriktif.

2. Low Output dan High Output Heart Failure


Low output heart failure disebabkan oleh hipertensi, kardiomiopati dilatasi, kelainan
katup dan perikard. High output heart failure ditemukan pada penurunan resistensi
vaskular sistemik seperti hipertiroidisme, anemia, kehamilan, fistula A – V, beri-beri, dan
Penyakit Paget. Secara praktis, kedua kelainan ini tidak dapat dibedakan.
3. Gagal Jantung Kiri dan Kanan
Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan tekanan vena
pulmonalis dan paru menyebabkan pasien sesak napas dan orthopnea. Gagal jantung

2
kanan terjadi kalau kelainannya melemahkan ventrikel kanan seperti pada hipertensi
pulmonal primer/sekunder, tromboemboli paru kronik sehingga terjadi kongesti vena
sistemik yang menyebabkan edema perifer, hepatomegali, dan distensi vena jugularis.
Tetapi karena perubahan biokimia gagal jantung terjadi pada miokard ke-2 ventrikel,
maka retensi cairan pada gagal jantung yang sudah berlangsung bulanan atau tahun tidak
lagi berbeda.
4. Gagal Jantung Akut dan Kronik
Contoh gagal jantung akut adalah robekan daun katup secara tiba-tiba akibat
endokarditis, trauma, atau infark miokard luas. Curah jantung yang menurun secara tiba-
tiba menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa disertai edema perifer.
Contoh gagal jantung kronik adalah kardiomiopati dilatasi atau kelainan multivalvular
yang terjadi secara perlahan-lahan. Kongesti perifer sangat menyolok, namun tekanan
darah masih terpelihara dengan baik. Curah jantung yang kurang memadai, juga disebut
forward failure, hampir selalu disertai peningkatan kongesti/ bendungan di sirkulasi vena
(backward failure), karena ventrikel yang lemah tidak mampu memompa darah dalam
jumlah normal, hal ini menyebabkan peningkatan volume darah di ventrikel pada waktu
diastol, peningkatan tekanan diastolik akhir di dalam jantung dan akhirnya peningkatan
tekanan vena. Gagal jantung kongestif mungkin mengenai sisi kiri dan kanan jantung
atau seluruh rongga jantung.

Klasifikasi

Gagal jantung dapat diklasifikasikan menurut beberapa faktor. The New York Heart
Association (NYHA) membagi gagal jantung menjadi 4 kelas, berdasarkan hubungannya dengan
gejala dan jumlah atau usaha yang dibutuhkan untuk menimbulkan gejala, sebagai berikut:3

Tabel 1. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan NYHA


Klasifikasi Fungsional NYHA

Kelas I Tidak ada pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas sehari – hari tidak
menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Kelas II Sedikit pembatasan aktivitas fisik. Berkurang dengan istirahat, tetapi
aktivitas sehari – hari menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.

3
Kelas III Adanya pembatasan yang bermakna pada aktivitas fisik. Berkurang dengan
istirahat, tetapi aktivitas yang lebih ringan dari aktivitas sehari – hari
menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Kelas IV Tidak dapat melakukan aktivitas sehari – hari tanpa adanya kelelahan.
Gejala terjadi pada saat istirahat. Jika melakukan aktivitas fisik, keluhan
akan semakin meningkat.

Etiologi

Ada beberapa penyebab dimana fungsi jantung dapat terganggu. Yang paling sering
menyebabkan kemunduran dari fungsi jantung adalah kerusakan atau berkurangnya kontraktilitas
otot jantung, iskemik akut atau kronik, meningkatnya resistensi vaskuler dengan hipertensi, atau
adanya takiaritmia seperti atrial fibrilasi (AF).

Penyakit jantung koroner adalah yang paling sering menyebabkan penyakit miokard, dan
70% akan berkembang menjadi gagal jantung. Masing -masing 10% dari penyakit jantung katup
dan kardiomiopati akan menjadi gagal jantung juga. Penyebab dari gagal jantung dapat
diklasifikasikan berdasarkan gagal jantung kiri atau gagal jantung kanan dan gagal low output
atau high output.

Tabel 2. Penyebab gagal jantung


Jantung kiri primer Jantung kanan primer
 Penyakit jantung iskemik  Gagal jantung kiri
 Penyakit jantung hipertensi  Penyakit pulmonari kronik
 Penyakit katup aorta  Stenosis katup pulmonal
 Penyakit katup mitral  Penyakit katup trikuspid
 Miokarditis  Penyakit jantung kongenital
 Kardiomiopati (VSD,PDA)
 Amyloidosis jantung  Hipertensi pulmonal
 Embolisme paru masif
Gagal output rendah Gagal output tinggi
 Kelainan miokardium  Inkompetensi katup

4
 Penyakit jantung iskemik  Anemia
 Kardiomiopati  Malformasi arteriovenous
 Amyloidosis  Overload volume plasma
 Aritmia
 Peningkatan tekanan pengisian
 Hipertensi sistemik
 Stenosis katup
 Semua menyebabkan gagal
ventrikel kanan disebabkan
penyakit paru sekunder

Gagal jantung kongestif dapat disebabkan oleh :


1.       Kelainan otot jantung
Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung, disebabkan
menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab kelainan fungsi otot
mencakup aterosklerosis koroner, hipertensi arterial, dan penyakit degeneratif atau
inflamasi.
2.       Aterosklerosis koroner
Mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah ke otot
jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam laktat). Infark
miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului terjadinya gagal jantung.
Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif berhubungan dengan gagal jantung
karena kondisi yang secara langsung merusak serabut jantung menyebabkan kontraktilitas
menurun.
3.       Hipertensi sistemik atau pulmonal 
Meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan hipertrofi
serabut otot jantung (peningkatan afterload), mengakibatkan hipertropi serabut otot
jantung. Efek tersebut (hipertropi miokard) dianggap sebagai kompensasi karena
meningkatkan kontraktilitas jantung, karena alasan yg tidak jelas hipertropi otot jantung
dapat berfungsi secara normal, akhirnya terjadi gagal jantung.

5
5.       Penyakit jantung lain
Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang sebenarnya, yang
secara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme yang biasanya terlibat mencakup
gangguan aliran darah yang masuk jantung (stenosis katup semiluner), ketidak mampuan
jantung untuk mengisi darah (tamponade, perikardium, perikarditif konstriktif, atau
stenosis AV), peningkatan mendadak after load.
6.       Faktor sistemik
Terdapat sejumlah besar faktor yang berperan dalam perkembangan dan beratnya
gagal jantung. Meningkatnya laju metabolisme (misal : demam, tirotoksikosis ), hipoksia
dan anemia memerlukan peningkatan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen
sistemik. Hipoksia dan anemia juga dapat menurunkan suplai oksigen ke jantung. Asidosis
respiratorik atau metabolik dan abnormalitas elektrolit dapat menurunkan kontraktilitas
jantung

Epidemiologi
Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4% - 2% dan meningkat pada usia yang lebih
lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun. Prevalensi gagal jantung di Amerika Serikat mencapai
4,8 juta orang dengan 500 ribu kasus baru per tahunnya. Di Indonesia belum ada angka pasti
tentang prevalensi penyakit gagal jantung, di RS Jantung Harapan Kita, setiap hari ada sekitar
400-500 pasien berobat jalan dan sekitar 65% adalah pasien gagal jantung. Meskipun terapi
gagal jantung mengalami perkembangan yang pesat, angka kematian dalam 5-10 tahun tetap
tinggi, sekitar 30-40% dari pasien penyakit gagal jantung lanjut dan 5-10% dari pasien dengan
gejala gagal jantung yang ringan.

Patofisiologi
Gagal jantung merupakan kelainan multisistem dimana terjadi gangguan pada jantung, otot
skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan neurohormonal yang
kompleks. Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan
terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi
neurohormonal, sistem Renin–Angiotensin–Aldosteron (sistem RAA) serta kadar vasopresin dan

6
natriuretik peptide yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas
jantung dapat terjaga.4
Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac output
dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta vasokonstriksi perifer
(peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat menyebabkan gangguan
pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis
miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal.4
Stimulasi sistem RAA menyebabkan peningkatan konsentrasi renin, angiotensin II plasma
dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan
sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis,
menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan
retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek
pada miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung.4
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yeng memiliki efek
yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP)
dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan
vasodilatsi. Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung,
khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriureticpeptide terbatas pada
endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan vasodilatasi
minimal. Atrial dan brain natriuretic peptide meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume
dan kelebihan tekanan dan bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi
ladosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal. Karena peningkatan natriuretic peptide pada
gagal jantung, maka banyak penelitian yang menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik
dan prognosis, bahkan telah digunakan sebagai terapi pada penderita gagal jantung.5
Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya pada gagal jantung
kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didpatkan pada pemberian diuretik yang akan
menyebabkan hiponatremia. Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan
merupakan peptide vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh
darah ginjal, yang bertanggung jawab atas retensi natrium. Konsentrasi endotelin-1 plasma akan
semakin meningkat sesuai dengan derajat gagal jantung. Selain itu juga berhubungan dengan
tekanan pulmonary arterycapillary wedge pressure, perlu perawatan dan kematian. Telah

7
dikembangkan endotelin-1 antagonis sebagai obat kardioprotektor yang bekerja menghambat
terjadinya remodelling vaskular dan miokardial akibat endotelin.5
Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard, dengan kekakuan
dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri menyebabkan gangguan pada
pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit jantung koroner, hipertensi
dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab lain seperti
infiltrasi pada penyakit jantung amiloid. Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30 – 40 %
penderita gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada penderita gagal
jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolik yang timbul bersamaan meski dapat
timbul sendiri.5

Gambar 1. Patofisiologi dan Simptomatologi CHF3

Manifestasi Klinis

8
Manifestasi klinik gagal jantung harus dipertimbangkan relatif terhadap derajat latihan
fisik yang menyebabkan timbulnya gejala. Pada awalnya, secara khas gejala hanya muncul saat
beraktivitas fisik, tetapi dengan bertambah beratnya gagal jantung, toleransi terhadap latihan
semakin menurun dan gejala-gejala muncul lebih awal dengan aktivitas yang lebih ringan.
Gejala-gejala dari gagal jantung kongestif bervariasi diantara individu sesuai dengan sistem
organ yang terlibat dan juga tergantung pada derajat penyakit.

Gejala awal dari gagal jantung kongestif adalah kelelahan. Meskipun kelelahan adalah
gejala yang umum dari gagal jantung kongestif, tetapi gejala kelelahan merupakan gejala yang
tidak spesifik yang mungkin disebabkan oleh banyak kondisi-kondisi lain. Kemampuan
seseorang untuk berolahraga juga berkurang. Beberapa pasien bahkan tidak merasakan keluhan
ini dan mereka tanpa sadar membatasi aktivitas fisik mereka untuk memenuhi kebutuhan
oksigen.6-8

Manifestasi klinis CHF sesuai dengan area yang mengalami defect dapat dibagi menjadi :
1. Gagal jantung kiri :
Kongestif paru terjadi pada venterikel kiri, karena venterikel kiri tidak mampu
memompa darah yang datang dari paru. Peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru
menyebabkan cairan terdorong ke jaringan paru. Manifestasi klinis yang dapat terjadi
meliputi dispnu, batuk, mudah lelah, denyut jantung cepat (takikardi) dengan bunyi S3,
kecemasan dan kegelisahan.
Kongesti paru menonjol pada gagal ventrikel kiri krn ventrikel kiri tak mampu
memompa darah yang datang dari paru. Manifestasi klinis yang terjadi yaitu :
 Dispnea
Terjadi akibat penimbunan cairan dalam alveoli dan mengganggu pertukaran gas.
Dapat terjadi ortopnu. Beberapa pasien dapat mengalami ortopnu pda malam hari
yang dinamakan Paroksimal Nokturnal Dispnea ( PND).
 Batuk.
 Mudah lelah.
Terjadi karena curah jantung yang kurang yang menghambat Dis jaringan dari
sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya pembuangan sisa hasil katabolisme.

9
Juga terjadi karena meningkatnya energi yang digunakan untuk bernafas dan
insomnia yang terjadi karena distress pernafasan dan batuk.
 Kegelisahan dan kecemasan
Terjadi akibat gangguan oksigenasi jaringan, stress akibat kesakitan bernafas dan
pengetahuan bahwa jantung tidak berfungsi dengan baik.

2. Gagal jantung kanan


Bila venterikel kanan gagal memompakan darah, maka yang menonjol adalah
kongestif visera dan jaringan perifer. Hal ini terjadi karena sisi kanan jantung tidak
mampu mengosongkan volume darah dengan adekuat sehingga tidak dapat
mengakomodasi semua darah yang secara normal kembali dari sirkulasi vena.
Manifestasi klinis yang tampak meliputi edema ekstremitas bawah (edema
dependen), yang biasanya merupakan pitting edema, pertambahan berat badan,
hepatomegali (pembesaran hepar), distensi vena jugularis (vena leher), asites
(penimbunan cairan di dalam rongga peritoneal), anoreksia dan mual, nokturia dan lemah
1. Kongestif jaringan perifer dan viseral.
2. Edema ekstrimitas bawah (edema dependen), biasanya edema pitting,
penambahan berat badan,
3. Hepatomegali. Dan nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen terjadi
akibat pembesaran vena di hepar…
4. Anorexia dan mual. Terjadi akibat pembesaran vena dan statis vena dalam
rongga abdomen.
5. Nokturia.
6. Kelemahan.
Untuk mendiagnosis penyakit ini, kita bisa menggunakan kriteria Framingham
yang terdiri atas kriteria mayor dan minor. Diagnosis CHF memerlukan minimal 2
kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dengan 2 kriteria minor. 5
Tabel 3. Kriteria Framingham
Kriteria Mayor Kriteria Minor
Paroxysmal Nocturnal Dyspneu Edema ekstremitas bawah bilateral
Peninggian tekanan vena jugularis Batuk malam hari

10
Ronkhi paru Dispnea d’effort
Kardiomegali Hepatomegali
Edema paru akut Efusi pleura
Bunyi jantung S3 Gallop Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
Peningkatan tekanan vena sentral Takikardi (nadi >120x/menit)
Refluks hepatojugular Penurunan BB >4,5 kg dalam 5 hari sebagai
respon terapi
Penurunan BB >4,5 kg dalam 5 hari
sebagai respon terapi

Kriteria minor hanya diterima bila tidak ada penyakit medis lainnya seperti
(hipertensi pulmonal, penyakit paru kronis, sirosis, asites, atau sindrom nephrotik)
Kriteria Framingham ini memiliki sensitivitas sebesar 100% dan spesifisitas sebesar
78% untuk mengidentifikasi seseorang yang memiliki gagal jantung kongestif.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK/PENUNJANG
Meliputi evaluasi manifestasi klinis dan pemantauan hemodinamik.
Pengukuran tekanan preload, afterload dan curah jantung dapat diperoleh melalui lubang-
lubang yang terl;etak pada berbagai interfal sepanjang kateter. Pengukuran CVP ( N 15-20
mmhg ) dapat menghasilkan pengukuran preload yang akura. PAWP atau pulmonary artery
wedge pressure adalaah tekanan penyempitan arteri pulmonal dimana yang diukur adalah
takanan akhir diastolik ventrikel kiri.
Pemeriksaan diagnostik gagal jantung kongestif adalah:9
 EKG
Dengan menggunakan EKG akan terlihat hipertrofi atrial atau ventrikuler,
penyimpangan aksis, iskemia dan kerusakan pola juga mungkin terlihat. Distrimia,
misalnya takikardia, fibrasi atrial, kenaikan segmen ST/T persisten 6 minggu atau
lebih setelah infark miokard menunjukan adanya aneurisme ventrikuler (dapat
menyebabkan gagal/disfungsi jantung)
 Sonogram (ekokardiogram, ekokardiogram doople)

11
Dapat menunjukan dimensi pembesaran bilik, perubahan dalam fungsi/struktur
katup, atau area penurunan kontratilitas ventrikuler.
 Scan jantung
Tindakan penyuntikan fraksi dan mempekirakan gerakan dinding jantung.

 Katerisasi jantung
Tekanan abnormal merupakan indikasi dan membantu membedakan gagal jantung
sisi kanan versus kiri, dan stenosis katup atau insufisiensi. Juga mengkaji patensi
arteri koroner. Zat kontras disuntikan kedalam ventrikel menunjukan ukuran
abnormal dan kontraktilitas.
 Rontgen dada
Dapat menunjukan pembesaran jantung, bayangan mencerminkan dilatasi/hipertorfi
bilik atau perubahan dalam pembuluh darah mencerminkan peningkatan tekanan
pulmonal.
 Enzim hepar
Meningkatkan dalam gagal/kongesti hepar.
 Elektrolit : mungkin berubah karena perpindahan cairan/penurunan fungsi ginjal,
terapi diuretik.
 Oksimetri nadi :
Saturasi oksigen mungkin rendah, terutama GJK akut memperburuk PPOM atau GJK
kronis.
 AGD (Analisa Gas Darah)
Gagal ventrikel kiri di tandai dengan alkalosis respiratorik ringan (dini) atau
hipoksemia dengan peningkatan PCO2 (akhir).
 BUN, kreatinin
Peningkatan BUN menandakan penurunan perfusi ginjal. Kenaikan baik BUN dan
kreatinin merupakan indikasi gagal ginjal.
 Albumin/transferin serum
Mungkin menurun sebagai akibat penurunan pemasukan protein atau penurunan
sintesis protein dalam hepar yang mengalami kongesti.
12
 Kecepatan sedimentasi (ESR).
Mungkin meningkat, menandakan reaksi inflamasi akut.
 Pemeriksaan tiroid
Peningkatan aktifitas tiroid menunjukan hiperaktifitas tiroid sebagai pre-pencetus
GJK.

Penatalaksanaan

Tatalaksana Non-Farmakologi

Manajemen Perawatan Mandiri

Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran dalam keberhasilan pengobatan


gagal jantung dan dapat memberi dampak bermakna perbaikan gejala gagal jantung,
kapasitas fungsional, kualitas hidup, morbiditas dan prognosis. Manajemen perawatan
mandiri dapat didefnisikan sebagai tindakan-tindakan yang bertujuan untuk menjaga
stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat memperburuk kondisi dan mendeteksi
gejala awal perburukan gagal jantung.2

Ketaatan pasien berobat

Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan kualitas hidup


pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien yang taat pada terapi farmakologi
maupun non-farmakologi.2

Pemantauan berat badan mandiri

Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan berat
badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas pertmbangan dokter
(kelas rekomendasi I, tingkatan bukti C).2

Asupan cairan

Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada pasien


dengan gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan rutin pada semua pasien
dengan gejala ringan sampai sedang tidak memberikan keuntungan klinis (kelas
rekomendasi IIb, tingkatan bukti C).2
13
Pengurangan berat badan

Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan gagal jantung
dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung, mengurangi gejala dan
meningkatkan kualitas hidup (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti C).2

Latihan fisik

Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik


stabil. Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan di rumah sakit
atau di rumah (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti A).2

Penatalaksanaan Farmakologis

Angiotensin-Converting Enzim Inhibitor (ACEI)

Kecuali kontraindikasi, ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal jantung
simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %.ACEI memperbaiki fungsi ventrikel dan
kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan
meningkatkan angka kelangsungan hidup (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti A). ACEI
kadang-kadang menyebabkan perburukanfungsi ginjal, hiperkalemia, hipotensi simtomatik,
batuk dan angioedema (jarang), oleh sebab itu ACEIhanya diberikan pada pasien dengan
fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium normal.2

Indikasi pemberian ACEI

Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, dengan atau tanpa gejala

Kontraindikasi pemberian ACEI

 Riwayat angioedema
 Stenosis renal bilateral
 Kadar kalium serum > 5,0 mmol/L
 Serum kreatinin > 2,5 mg/dL
 Stenosis aorta berat

14
Β Blocker

Kecuali kontraindikasi, β bloker harus diberikan pada semua pasien gagal jantung
simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. Penyekat β memperbaiki fungsi
ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal
jantung, dan meningkatkan kelangsungan hidup.2

Indikasi pemberian penyekat β

a. Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %


b. Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA)
c. ACEI / ARB (dan antagonis aldosteron jika indikasi) sudah diberikan
d. Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik, tidak ada kebutuhan
inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat)
Kontraindikasi pemberian penyekat β

a. Asma
b. Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit (tanpa pacu jantung
permanen), sinus bradikardia (nadi < 50 x/menit)

Antagonis Aldosteron

Kecuali kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil harus


dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤ 35 % dan gagal jantung
simtomatik berat (kelas fungsional III - IV NYHA) tanpa hiperkalemia dan gangguan
fungsi ginjal berat. Antagonis aldosteron mengurangi perawatan rumah sakit karena
perburukan gagal jantung dan meningkatkan kelangsungan hidup.2

Indikasi pemberian antagonis aldosteron

a. Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %


b. Gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III- IV NYHA)
c. Dosis optimal penyekat β dan ACEI atau ARB (tetapi tidak ACEI dan ARB)
Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron

a. Konsentrasi serum kalium > 5,0 mmol/L

15
b. Serum kreatinin> 2,5 mg/dL
c. Bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium
d. Kombinasi ACEI dan ARB
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian spironolakton:2

a. Hiperkalemia
b. Perburukan fungsi ginjal
c. Nyeri dan/atau pembesaran payudara

Angiotensin Receptor Blocker (ARB)

Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan


fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah diberikan ACEI
dan penyekat β dosis optimal, kecuali juga mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan
ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi angka perawatan
rumah sakit karena perburukan gagal jantung ARB direkomedasikan sebagai alternatif
pada pasien intoleran ACEI. Pada pasien ini, ARB mengurangi angka kematian karena
penyebab kardiovaskular.10

Indikasi pemberian ARB

a. Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %


b. Sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas
fungsional II - IV NYHA) yang intoleran ACEI
c. ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan hipotensi
simtomatik sama sepert ACEI, tetapi ARB tidak menyebabkan batuk

Kontraindikasi pemberian ARB

a. Sama seperti ACEI, kecuali angioedema


b. Pasien yang diterapi ACEI dan antagonis aldosteron bersamaan
c. Monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial ketika ARB digunakan bersama ACEI

Hydralzine dab Isosorbide Dinitrate (H-ISDN)

16
Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, kombinasi H-
ISDN digunakan sebagai alternatif jika pasien intoleran terhadap ACEI dan ARB (kelas
rekomendasi IIa, tingkatan bukti B).

Indikasi pemberian kombinasi H-ISDN

a. Pengganti ACEI dan ARB dimana keduanya tidak dapat ditoleransi


b. Sebagai terapi tambahan ACEI jika ARB atau antagonis aldosteron tidak dapat
ditoleransi
c. Jika gejala pasien menetap walaupun sudah diterapi dengan ACEI, penyekat β dan
ARB atau antagonis aldosteron
Kontraindikasi pemberian kombinasi H-ISDN

a. Hipotensi simtomatik
b. Sindroma lupus
c. Gagal ginjal berat

Digoksin

Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan untuk
memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti penyekat beta) lebih
diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik, fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
dengan irama sinus, digoksin dapat mengurangi gejala, menurunkan angka perawatan
rumah sakit karena perburukan gagal jantung,tetapi tidak mempunyai efek terhadap
angkakelangsungan hidup.

Indikasi pemberian Digoksin

a. Fibrilasi atrial
b. Dengan irama ventrikular saat istrahat > 80 x/menit atau saat aktifitas> 110 -
120x/menit
c. Irama sinus
d. Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
e. Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II-IV NYHA)

17
Kontraindikasi pemberian Digoksin

a. Blok AV derajat 2 dan 3 (tanpa pacu jantung tetap); hat-hat jika pasien diduga
sindroma sinus sakit
b. Sindroma pre-eksitasi
c. Riwayat intoleransi digoksin

Tabel 3. Dosis obat yang umumnya dipakai pada gagal jantung

Dosis Awal (mg) Dosis Target (mg)


ACE Inhibitor
Captopril 6,25 (3 x/hari) 50- 100 (3 x/hari)
Enalapril 2,5 (2 x/hari) 10- 20 (2 x/har)
Lisinopril 2,5 - 5 (1 x/hari) 20- 40(1 x/hari)
Ramipril 2,5 (1 x/hari) 2,5 (1 x/hari)
Perindopril 2 (1 x/hari) 2 (1 x/hari)

ARB
Candesartan 4 / 8 (1 x/hari) 32 (1 x/hari)
Valsartan 40 (2 x/hari) 160 (2 x/hari)

Antagonis aldosterone
Eplerenon 25 (1 x/hari) 50 (1 x/hari)
Spironolakton 25 (1 x/hari) 25 - 50 (1 x/hari)

Β Blocker
Bisoprolol 1,25 (1 x/hari) 10 (1 x/hari)
Carvedilol 3,125 (2 x/hari) 25 - 50 (2 x/hari)
Metoprolol 12,5 / 25 (1 x/hari) 200 (1 x/hari)

18
Diuretik

Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau gejala
kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukit B).Tujuan dari pemberian diuretik adalah
untuk mencapai status euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang serendah
mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau
retensi.

Tabel 4. Dosis diuretik yang biasa digunakan pada pasien gagal jantung

Diuretik Dosis awal (mg) Dosis harian (mg)


Diuretik Loop
Furosemide 20 – 40 40 – 240
Bumetanide 0.5 – 1.0 1–5
Torasemide 5 – 10 10 – 20
Tiazide
Hidrochlortiazide 25 12.5 – 100
Metolazone 2.5 2.5 – 10
Indapamide 2.5 2.5 – 5
Diuretik hemat kalium
Spironolakton (+ACEI/ARB) 12.5 - 25 (+ACEI/ARB) 50
(- ACEI/ARB) 50 (- ACEI/ARB) 100 - 200

Dosis diuretik (Tabel 4)

a. Mulai dengan dosis kecil dan tingkatkan sampai perbaikan gejala dan tanda kongesti
b. Dosis harus disesuaikan, terutama setelah tercapai berat badan kering (tanpa retensi
cairan),untuk mencegah risiko gangguan ginjal dan dehidrasi. Tujuan terapi adalah
mempertahankan berat badan kering dengan dosis diuretik minimal
c. Pada pasien rawat jalan, edukasi diberikan agar pasien dapat mengatur dosis diuretik
sesuai kebutuhan berdasarkan pengukuran berat badan harian dan tanda-tanda klinis
dari retensi cairan

19
Prognosis
Meskipun penatalaksanaan pasien dengan gagal jantung telah sangat berkembang, tetapi
prognosisnya masih tetap jelek, dimana angka mortalitas setahun bervariasi dari 5% pada pasien
stabil dengan gejala ringan, sampai 30-50% pada pasien dengan gejala berat dan progresif.
Prognosisnya lebih buruk jika disertai dengan disfungsi ventrikel kiri berat (fraksi ejeksi< 20%),
gejala menonjol, dan kapasitas latihan sangat terbatas (konsumsi oksigen maksimal < 10
ml/kg/menit), insufisiensi ginjal sekunder, hiponatremia, dan katekolamin plasma yang
meningkat. Sekitar 40-50% kematian akibat gagal jantung adalah mendadak. Meskipun beberapa
kematian ini akibat aritmia ventrikuler, beberapa diantaranya merupakan akibat infark miokard
akut atau bradiaritmia yang tidak terdiagnosis. Kematian lainnya adalah akibat gagal jantung
progresif atau penyakit lainnya. Pasien-pasien yang mengalami gagal jantung stadium lanjut
dapat menderita dispnea dan memerlukan bantuan terapi paliatif yang sangat cermat.

DAFTAR PUSTAKA

20
1. Panggabean M.M. Gagal jantung. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata, Setiadi S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke-VI.
Jakarta: Interna Publishing.2014.h.1134-7.
2. Siswanto BB, Hersunarti N, Erwinarto, Barack R, Pratikto RS, Nauli SE, et all. Pedoman
tatalaksana gagal jantung. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia.
2015.h. 1-47.
3. Ghanie A. Gagal jantung kronik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata,
Setiadi S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke-VI. Jakarta: Interna
Publishing.2014.h.1150-55.
4. Manurung D, Muhadi. Gagal jantung akut. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata, Setiadi S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke-VI.
Jakarta: Interna Publishing.2014.h.1134-7.
5. Dickstein K, Cohen-Solal A, Filippatos G, et al. ESC Guidelines for the diagnosis and
treatment of acute and chronic heart failure 2008. Eur Heart J 2008;29:2388–442.
6. Ponikowski P, Voors AA, Anker SD, Bueno H, Cleland JGF, Coats AJS, et al. ESC
Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2016: The
Task Force for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2016 of
the European Society of Cardiology. European Heart Journal. 2016;37:2129-200.
7. Djojodibroto R Darmanto. 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta. h. 132-5.
8. Ponikowski P, Voors AA, Anker SD, Bueno H, Cleland JGF, Coats AJS, et al. ESC
Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2016: The
Task Force for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2016 of
the European Society of Cardiology. European Heart Journal. 2016;37:2129-200.
9. Bhuiyan T, Maurer Ms. Heart failur with preserved ejection fraction: persisten diagnosis,
therapeutic enigma. Juli 2016 [internet] https://link.springer.com/article/10.1007/s12170-
011-0184-2 [diakses pada 6 Juli 2020].
10. Dumitru I. Heart failure. Mei 2018. [internet]
https://emedicine.medscape.com/article/163062-overview [diakses pada 6 juli 2020].

21

Anda mungkin juga menyukai