Anda di halaman 1dari 24

Case Report Session

CONGESTIVE HEART FAILURE

Oleh :

Elisda Yusra 1840312605

Charyadita Perwita P 1840312631

Helsy Honesty Haikal 1840312645

Preseptor :
Dr. dr. Arina Widya Murni, Sp.PD-Kpsi, FINASIM

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2019
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang menyebabkan
penurunan kualitas hidup dan progresif dengan angka mortalitas dan morbiditas
yang tinggi di negara maju maupun di negara berkembang termasuk Indonesia. Di
Indonesia, usia pasien gagal jantung relatif lebih muda dibanding Eropa dan
Amerika disertai dengan tampilan klinis yang lebih berat. Menurut data dari
American Heart Association (AHA) tahun 2019, sekitar 6,2 juta dewasa Amerika
menderita gagal jantung pada tahun 2013 hingga 2018 dan diketahui terus
meningkat. Hingga April 2018, sekitar 3.944 orang terdaftar menunggu menerima
tranplan jantung dan 55 orang menunggu tranplan jantung dan paru di Amerika.1
Penyebab dari gagal jantung adalah seluruh spektrum kerusakan pada
jantung baik secara struktural maupun fungsional yang tidak tertangani dengan
baik yang dalam waktu tertentu akan bermanifestasi sebagai gagal jantung pada
saat jantung tidak mampu lagi mengkompensasi kerusakan tersebut. Penyebab-
penyebab ini jika diklasifikasikan bisa berupa kelainan mekanik, kelainan
miokardium, maupun kelainan irama jantung.Penyakit jantung koroner
merupakan etiologi gagal jantung akut pada 60-70% pasien terutama pada pasien
usia lanjut, sedangkan pada usia muda, gagal jantung akut diakibatkan oleh
kardiomiopati dilatasi, aritmia, penyakit jantung kongenital atau valvular dan
miokarditis.2
Gagal jantung akut maupun gagal jantung kronik sering merupakan
kombinasi kelainan jantung dan organ sistem lain terutama penyakit metabolik. 2
Boleh dikatakan bahwa gagal jantung adalah bentuk terparah atau fase terminal
dari setiap penyakit jantung.3 Oleh sebab itu, gagal jantung di satu sisi akan dapat
dengan mudah dipahami sebagai suatu sindrom klinis, namun di sisi lain gagal
jantung merupakan suatu kondisi dengan patofisiologis yang sangat bervariasi dan
kompleks.3

1.2 Tujuan Penulisan

2
Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk mengetahui definisi,
epidemiologi, klasifikasi, faktor resiko, etiologi, patofisiologi,
diagnosis,tatalaksana dan prognosis gagal jantung kongestif.

1.3 Manfaat Penulisan


Laporan kasus ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan
khususnya tentang penyakit gagal jantung kongestif.

1.4 Metode Penulisan


Penulisan laporan kasus ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan
mengacu pada berbagai literatur.

BAB 2

3
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Gagal jantung adalah kumpulan gejala yang kompleks dimana seorang
pasien harus memiliki tampilan berupa : gejala gagal jantung (napas pendek yang
tipikal saat istirahat atau saat melakukan aktifitas disertai/tidak kelelahan); tanda
retensi cairan (kongesti paru atau edema pergelangan kaki); adanya bukti objektif
dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat istirahat.2,4

2.2 Etiologi3
Terdapat teori yang menjelaskan penyebab dari gagal jantung. Dahulu
gagal jantung dianggap akibat dari berkurangnya kontraktilitas dan daya pompa
sehingga terpai yang diberikan adalah inotropik untuk meningkatkannya dan
diuretik serta vasodilator untuk mengurangi bebas jantung yang disebut
paradigma lama atau model hemodinamik. Tetapi sekarang gagal jantung
dianggap sebagai remodelling progresif akibat beban/penyakit dari miokard
sehingga terapi yang diberikan bersifat neurohormonal baik berupa farmakologis
maupun non farmakologis.2

2.2.1 Heart Failure Reduced Ejection Fraction (disfungsi sistolik)


 Penyakit arteri koroner : infark miokard, iskemia miokard
 Overload tekanan kronis : hipertensi, penyakit katup obstruktif
 Overload volume kronis : penyakit katup regurgitasi, shunt
interkardiak (kiri ke kanan)
 Kerusakan akibat toksin atau obat : penyakit metabolic, virus
2.2.2 heart failure-preserved ejection fraction (disfungsi diastolik)
 Hipertrofi patologis : primer (kardiomiopati hipertrofi), sekunder
(hipertensi)
 Penuaan
 Fibrosis jantung
 Penyakit jantung pulmonal : cor pulmonal
 Kelainan endomiokardial3

2.3 Patofisiologi Gagal Jantung

4
 Gagal jantung dengan Reduced Ejection Fraction
Fungsi miosit yang abnormal atau fibrosis akan mengakibatkan gangguan
kontraktilitas ventrikel kanan jantung dan mengakibatkan peningkatan resistensi
vaskular di sana. Disfungsi sistolik yang terjadi mengakibatkan kegagalan
pengosongan ventrikel sehingga tekanan diastolik juga meningkat. Selama proses
diastolik, peningkatan tekanan ventrikel kiri persisten akan berpengaruh pada
atrium kiri dan vena serta kapiler paru sehingga tampakgejala dari bendungan
paru.3
 Gagal jantung dengan Preserved Ejection Fraction
Kelainan yang mengakibatkan perubahan struktur miokard yang
menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri menyebabkan kekakuan dinding ventrikel
kiri sehingga akan terganggu proses refilling (disfungsi diastolik).secara klinis
disfungsi diastolik ini akan terlihat dari tanda bendungan vena sistemik.3
 Gagal jantung kanan (Right-Sided Heart Failure)
Disfungsi ventrikel kanan dapat dikatakan saling berkaitan dengan disfungsi
ventrikel kiri pada gagal jantung apabila dilihat dari kerusakan yang diderita oleh
kedua sisi jantung, misalnya setelah terjadinya infark miokard atau tertundanya
komplikasi yang ditimbulkan akibat adanya progresifitas pada bagian jantung
sebelah kiri. Gagal jantung kiri menyebabkan disfungsi sistolik sehingga terjadi
peningkatan afterload dan peningkatan tekanan vaskular paru. Akibat dari
keadaan ini terjadilah gagal jantung kanan. Pada gagal jantung kanan, proses
pertama pada paru dapat berakibat terjadinya cor pulmonale dengan kliinis gagal
jantung kanan. Saat ventrikel kanan gagal berfungdi, peningkatan dari tekanan
diastolik menyebabkan tekanan retrograde berupa bendungan vena sistemik
berupa penumpukan cairan di hati dan seluruh tubuh terutama di ekstermitas
bawah.3

2.4 Manifestasi Klinis


Berdasarkan presentasinya gagal jantung dibagi sebagai berikut.
1. Gagal jantung akut
2. Gagal jantung menahun
3. Acute on Chronic Heart Failure

5
Gagal jantung akut didefinisikan sebagai timbulnya sesak napas secara cepat
(< 24 jam) akibat kelainan fungsi jantung, gangguan fungsi sistolik atau diastolic
atau irama jantung, atau kelebihan beban awal (preload), beban akhir (afterload),
atau kontraktilitas dan keadaan ini mengancam jiwa jika tidak ditangani dengan
tepat. 6
Gagal jantung menahun didefinisikan sebagai sindrom klinis yang kompleks
akibat kelainan structural atau fungsional yang menganggu kemampuan pompa
jantung atau menganggu pengisian jantung.6
Pasien gagal jantung akut dapat datang dengan berbagai kondisi klinis, yaitu:
 Acute decompensated hearth failure (ADHF)
- Baru pertama kali (de novo)
- Dekompensasi dari gagal jantung menahun
Kedua keadaan ini masih lebih ringan dan tidak termasuk syok
kardiogenik, edema paru atau krisis hipertensi.
 Hypertensive acute heart failure
Gejala dan tanda gagal jantung disertai dengan tekanan darah tinggi dan
fungsi ventrikel yang masih baik.
 Edema paru
Sesak napas hebat, dengan ronki basah kasar di hampir semua lapangan
paru, ortopnu, saturasi oksigen < 90% sebelum mendapat terapi oksigen.
 Syok kardiogenik
Terdapat hipoperfusi jaringan meskipun preload sudah dikoreksi. Tekanan
darah sistolik < 90 mmHg, produksi urin 0,5 cc/kgbb/jam, laju nadi > 60
x/menit dengan atau tanpa kongesti organ/paru.
 Gagal jantung kanan
Dengan gejala curah jantung rendah, peningkatan JVP, hepatomegali dan
hipotensi.6
Pada gagal jantung kronis, derajat penyakit secara klinis fungsional dapat
dikategorikan berdasarkan The New York Heart Association(NYHA)
danAmerican Heart Association(AHA)yang berfokus pada faktor resiko dan
abnormalitas struktur jantung.

6
Berdasarkan American Heart Association klasifikasi dari gagal jantung kongestif
yaitu sebagai berikut :
1. Stage A
Stage A merupakan klasifikasi dimana pasien mempunyai resiko
tinggi, tetapi belum ditemukannya kerusakan struktural pada jantung serta
tanpa adanya tanda dan gejala dari gagal jantung tersebut. Pasien yang
didiagnosa gagal jantung stage A umumnya terjadi pada pasien dengan
hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes mellitus.
2. Stage B
Pasien dikatakan mengalami gagal jantung stage B apabila
ditemukan adanya kerusakan struktural pada jantung tetapi tanpa
menunjukkan tanda dan gejala dari gagal jantung tersebut.
3. Stage C
Gagal jantung yang simtomatik berhubungan dengan penyakit
structural jantung yang mendasari.
4. Stage D
Penyakit jantung struktural lanjut serta gejala gagal jantung yang
sangat bermakna saat istirahat walaupun sudah mendapat terapi medis
maksimal (refrakter).

Klasifikasi dari gagal jantung berdasarkan The New York Heart Association
(NYHA) :
1. Kelas I
Tidak ada gejala dalam melakukan aktivitas fisik sehari-hari,
seperti berjalan, menaiki tangga. Aktivitas fisik tidak menyebabkan
dispnea, kelelahan, atau palpitasi.
2. Kelas II
Gejala ringan (sesak napas ringan dan/ angina) serta terdapat
keterbatasan ringan dalam aktifitas fisik sehari-hari.
3. Kelas III
Terdapat keterbatasan aktivitas fisik sehari-hari misalnya berjalan
20-100 meter pasien menjadi sesak. Pasien hanya nerasa nyaman saat
istirahat.

7
4. Kelas IV
Terdapat keterbatasan aktifitas yang berat, gejala dapat muncul saat
istirahat, keluhan meningkat saat beraktifitas.9

2.5 Diagnosis
Penegakan diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, serta
pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan keluhan berupa sesak napas
yang terutama meningkat dengan aktifitas, terbatasnya aktifitas dan hal-hal lain
seperti yang terdapat pada gejala klinis. Dari pemeriksaan fisik, bisa didapatkan
peningkatan JVP, pembesaran hepar, edema tungkai, refleks hepatojugular,
pergeseran apeks jantung ke lateral, maupun bising jantung. Dapat digunakan
kriteria klinis menggunakan kriteria klasik Framingham, paling sedikit 1 kriteria
mayor dan 2 kriteria minor.5
Kriteria mayor
- Paroxysmal nocturnal dyspnea
- Distensi vena-vena leher
- Peningkatan tekanan vena jugularis
- Ronki
- Kardiomegali
- Edema paru akut
- Gallop bunyi jantung III
- Refluks hepatojugular positif
Kriteria minor
- Edema ekstremitas
- Batuk malam
- Sesak saat aktifitas
- Hepatomegali
- Efusi pleura
- Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal
- Takikardi (> 120 kali/menit)

8
Gambar 2.1. Skema diagnostik untuk pasien yang dicurigai gagal jantung4

Pemeriksaan penunjang
 Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan elektrokardiogram harus dikerjakan pada semua pasien diduga
gagal jantung. Abnormalitas EKG sering dijumpai pada gagal jantung, namun
memiliki nilai prediktif yang kecil dalam mendiagnosis gagal jantung, jika EKG
normal, diagnosis gagal jantung khususnya dengan disfungsi sistolik sangat kecil
(< 10%).
 Foto Toraks
Merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung. Rontgen toraks
dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura dan dapat mendeteksi
penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau memperberat sesak nafas.
 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung adalah
darah perifer lengkap (hemo-globin, leukosit, trombosit), elektrolit, kreatinin, laju
filtrasi glomerulus (GFR), glukosa, tes fungsi hati dan urinalisis. Pemeriksaan
tambahan lain dipertimbangkan sesuai tampilan klinis.Gangguan hematologis atau

9
elektrolit yang bermakna jarang dijumpai pada pasien dengan gejala ringan
sampai sedang yang belum diterapi.
 Pemeriksaan biomarker
Brain natriuretic peptide (BNP) cukup sensitif untuk mendeteksi adanya
gagal jantung. Dikatakan gagal jantung bila nilai BNP ≥ 100 pg/mL atau NT-
proBNP≥ 300 pg/mL. Kadar peptide natriuretik meningkat sebagai respon
terhadap peningkatan tekanan dinding ventrikel.
 Troponin I atau T
Pemeriksaan troponin dilakukan pada penderita gagal jantung jika gambaran
klinisnya disertai dugaan sindroma koroner akut. Peningkatan ringan kadar
troponin kardiak sering pada gagal jantung berat atau selama episode
dekompensasi gagal jantung pada penderita tanpa iskemia miokard.
 Ekokardiografi
Konfirmasi diagnosis gagal jantung dan/atau disfungsi jantung dengan
pemeriksaan ekokardiografi adalah keharusan dan dilakukan secepatnya pada
pasien dengan dugaan gagal jantung. Pengukuran fungsi ventrikel untuk
membedakan antara pasien disfungsi sistolik dengan pasien dengan fungsi sistolik
normal adalah fraksi ejeksi ventrikel kiri (normal > 45 - 50%).
Ekokardiografi mempunyai peran penting dalam mendiagnosis gagaljantung
dengan fraksi ejeksi normal. Diagnosis harus memenuhi tigakriteria:
1. Terdapat tanda dan/atau gejala gagal jantung
2. Fungsi sistolik ventrikel kiri normal atau hanya sedikitterganggu (fraksi ejeksi
> 45 - 50%)
3. Terdapat bukti disfungsi diastolik (relaksasi ventrikel kiriabnormal / kekakuan
diastolik).4,5

2.6 Penatalaksanaan
Tujuan terapi pada pasien gagal jantung kongestif

10
Prognosis menurunkan mortalitas

Morbiditas Meringankan gejala dan tanda


Memperbaiki kualitas hidup
Menghilangkan edema dan retensi cairan
Meningkatkan kapasitas aktifitas fisik
Mengurangi kelelahan dan sesak nafas
Mengurangi kebutuhan rawat inap
Menyediakan perawatan akhir hayat
Pencegahan Timbulnya kerusakan miokard
Perburukan kerusakan miokard
Remodelling miokard
Timbul kembali gejala dan akumulasi cairan
Rawat inap

2.6.1 Tatalaksana non-farmakologi4


 Ketaatan pasien berobat
Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan kualitas hidup
pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien yang taat pada terapi
farmakologi maupun non-farmakologi.
 Pemantauan berat badan mandiri
Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan berat
badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas
pertimbangan dokter.
 Asupan cairan
Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada pasien dengan
gejala berat yang disertai hiponatremia.
 Pengurangan berat badan
Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan gagal jantung
dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung, mengurangi gejala
dan meningkatkan kualitas hidup.
 Latihan fisik

11
Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik stabil.
Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan di rumah sakit
atau di rumah.4

2.6.2 Tatalaksana farmakologi


 Angiotensin converting enzyme Inhibitor (ACE-I)
Obat-obat yang termasuk ACE I mempunyai mekanisme kerja menurunkan
sekresi angiotensin II dan aldosteron dengan cara menghambat enzim yang dapat
mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II. Termasuk juga dapat mengurangi
kejadian remodeling jantung serta retensi air dan garam. ACEI harus diberikan
pada semua pasien gagal jantung simtomatik (kecuali kontraindikasi) dan fraksi
ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %.ACEI memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas
hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan
meningkatkan angka kelangsungan hidup. ACEI kadang-kadang menyebabkan
perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk dan
angioedema (jarang), oleh sebab itu ACEI haya diberikan pada pasien dengan
fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium normal.4
 Beta bloker
β-blocker harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik
(kecuali kontraindikasi) dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. β-blocker
memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah
sakit karena perburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka kelangsungan
hidup. β-blocker boleh diberikan pada pasien yang stabil secara klinis (tidak ada
perubahan dosis diuretik, tidak ada kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda
retensi cairan berat). Mekanisme kerja dari β-blocker sendiri yaitu dengan
menghambat adrenoseptor beta (beta-bloker) di jantung, pembuluh darah perifer
sehingga efek vasodilatasi tercapai. Beta bloker dapat memperlambat konduksi
dari sel jantung dan juga mampu meningkatkan periode refractory.
 Angiotensin II receptor type 1 Inhibitor (ARB)
Mekanisme ARB yaitu menghambat reseptor angiotensin II pada subtipe
AT1. Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung
dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah

12
diberikan ACEI dan penyekat β dosis optimal, kecuali juga mendapat antagonis
aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup,
mengurangi angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung ARB
direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien intoleran ACEI.
 Diuretik
Mekanisme kompensasi pada gagal jantung kongestif yaitu dengan
meningkatkan retensi air dan garam yang dapat menimbulkan edema baik
sistemik maupun paru. Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung
dengan tanda klinis atau gejala kongesti.Tujuan dari pemberian diuretik adalah
untuk mencapai status euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang serendah
mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi
atau resistensi. Sebagain besar pasien mendapat terapi diuretik loop dibandingkan
tiazid karena efisiensi diuresis dan natriuresis lebih tinggi pada diuretik loop.
Diuretik Dosis awal (mg) Dosis harian (mg)
Diuretik Loop
Furosemid 20 – 40 40 – 240
Bumetanid 0.5 – 1 1–5
Tiazid
Hidroklorotiazid 25 12.5 – 100
Metolazon 2.5 2.5 – 10
Diuretik hemat kalium
Spironolakton (+ ACEI/ARB) 12.5 – (+ ACEI/ARB) 50
25 (-ACEI/ARB) 100-200
(-ACEI/ARB) 50
Tabel 2.1. dosis diuretik yang biasa digunakan pada pasien gagal jantung.
 Digoksin
Digoxin merupakan golongan glikosida jantung yang mempunyai sifat inotropik
positif yang dapat membantu mengembalikan kontraktilitas dan meningkatkan
dari kerja jantung. Digoxin memiliki indeks terapi sempit yang berarti dalam
penggunaan dosis rendah sudah memberikan efek terapi. Oleh karena itu,
diperlukan kehati-hatian pada penggunaan digoxin dan diperlukan monitoring
ketat bila dikhawatirkan terjadi toksik. Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi
atrial, digoksin dapat digunakan untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat,
walaupun obat lain (seperti penyekat beta) lebih diutamakan.4

13
Obat Dosis awal (mg) Dosis target (mg)
ACEI
Captopril 6.25 (3x/hari) 50 – 100 (3x/hari)
Enalapril 2.5 (2x/hari) 10 – 20 (2x/hari)
Ramipril 2.5 (1x/hari) 5 (2x/hari)
ARB
Candesartan 4/8 (1x/hari) 32 (1x/hari)
Valsartan 40 (2x/hari) 160 (2x/hari)
Antagonis aldosterone
Spironolakton 25 (1x/hari) 25 – 50 (1x/hari)
Penyekat beta
Bisoprolol 1.25 (1x/hari) 10 (1x/hari)
Carvedilol 3.125 (2x/hari) 25 – 50 (2x/hari)
Tabel 2.2. dosis obat yang biasa digunakan pada pasien gagal jantung.4

BAB 3
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS
• Nama : Tn. K
• Nomor RM : 01.06.30.22
• Umur : 66 tahun

14
• Jenis kelamin : Laki-laki
• Alamat : Kerinci, Jambi
• Status : Menikah
• Pekerjaan : Petani
• Agama : Islam

3.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama
Sesak nafas yang meningkat sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang


- Sesak nafas yang meningkat sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak
nafas mulai dirasakan sejak 2 bulan yang lalu. Sesak dipengaruhi oleh
aktivitas, sesak tidak menciut, tidak dipengaruhi cuaca, makanan, waktu dan
emosi.
- Riwayat bangun malam karena sesak ada.
- Riwayat tidur dengan bantal ditinggikan ada.
- Riwayat kaki sembab (+) sejak 1 bulan ini.
- Batuk hilang timbul sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.
- Demam hilang timbul sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.
- Bengkak dan nyeri pada kedua tangan dan kaki sejak 15 tahun lalu.
- Kedua tangan tampak membengkok seperti leher angsa sejak 15 tahun lalu.
- Kaku pagi hari > 1 jam pada sendi kedua tangan dan kaki ada.

- Mual tidak ada, muntah tidak ada.


- Penurunan berat badan tidak ada.
- BAB biasa, BAK biasa.

Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat Hipertensi (+) sejak 20 tahun lalu,kontrol tidak teratur
- Riwayat DM (-)

15
- Riwayat asma disangkal
- Riwayat PPOK disangkal
- Riwayat stroke disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluhan yang sama dalam keluarga tidak ada

Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, Kejiwaan dan Kebiasaan


Pasien seorang petani dengan aktivitas sedang sampai berat, tidak ada riwayat
merokok ataupun konsumsi alkohol.

3.3 PEMERIKSAAN FISIK


KEADAAN UMUM
- Keadaan umum : sakit sedang
- Kesadaran : composmentis
- Tekanan darah : 140/90 mmHg
- Nadi : 100 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
- Pernafasan : 27 x/menit
- Suhu : 36,7° C
- Sianosis : tidak ada
- Edema : ada
- Anemis : tidak ada
- Ikterus : tidak ada

Status Generalis :
Kulit
Warna kuning langsat, efloresensi tidak dilakukan, scar tidak ada, pigmentasi
normal, ikterus tidak ada, sianosis tidak ada, telapak tangan dan kaki pucat tidak
ada, pertumbuhan rambut normal tidak mudah rontok.

16
Kelenjar Getah Bening
Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening di leher, submandibula,
supraklavikula, infraklavikula, aksila, inguinalis.

Kepala
Bentuk normochepal, simetris, deformitas tidak ada, rambut hitam, lurus, tidak
mudah dicabut.
Mata : Edema palpebra tidak ada, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik.
Hidung: Bagian luar tidak ada kelainan, septum dan tulang-tulang dalam
perabaan baik, tidak ada deviasi septum, tidak ditemukan penyumbatan maupun
perdarahan, pernapasan cuping hidung tidak ada.
Telinga : Kedua meatus acusticus eksternus normal, cairan serumen ada, tophi
tidak ada, nyeri tekan processus mastoideus tidak ada, pendengaran baik.
Mulut : Tonsil T1-T1 tidak hiperemis, pucat pada lidah tidak ada, atrofi papil
tidak ada, gusi tidak berdarah, stomatitis tidak ada, bau pernafasan aseton tidak
ada. Oral trash tidak ada. Caries dentis ada.
Leher : Pembesaran kelenjar tiroid tidak ada, pembesaran kelenjar KGB tidak
ada, JVP (5+3) cmH2O, kaku kuduk tidak ada.

Thoraks
Bentuk dada simetris, spider nevi tidak ada.
Paru-paru
I : Statis,dinamis simetris kanan dan kiri
P : Fremitus kanan sama dengan kiri
P : Sonor, redup di RIC VI (D) ke bawah
A : Bronkovesikular, ronkhi +/+, wheezing -/-
Jantung
I : Ictus cordis tidak terlihat
P : Ictus codis teraba 2 jari lateral LMCS RIC V
P : Batas atas RIC II, batas jantung kanan LSD, batas jantung kiri 2 jari lateral
LMCS RIC V
A : Irama reguler, bising (+) pansistolik

17
Abdomen
I : tidak membuncit, venektasi tidak ada
P : supel, nyeri tekan tidak ada, hepar tidak teraba, lien tidak membesar.
balotemen negatif, undulasi tidak ada
P : timpani, shiffting dullness tidak ada
A : BU positif normal

Alat kelamin
Tidak diperiksa

Ekstremitas
Ekstremitas atas :swan neck deformities +/+, boutonniere deformities +/+, nyeri
sendi ada, gerakan bebas, edema tidak ada, jaringan parut tidak ada, pigmentasi
normal, telapak tangan pucat tidak ada, jari tabuh tidak ada, turgor kembali lambat
tidak ada, eritema palmaris tidak ada, sianosis tidak ada. Reflek fisiologis normal,
reflek patologis tidak ada.
Ekstremitas bawah :nodul reumatik +/+, nyeri sendi ada, gerakan bebas, edema
pretibia ada pada kedua tungkai, jaringan parut tidak ada, pigmentasi normal, jari
tabuh tidak ada, turgor kembali lambat tidak ada, akral pucat tidak ada, sianosis
tidak ada. Reflek fisiologis normal, reflek patologis tidak ada.

Pemeriksaan laboratorium sederhana (7-10-19)


Darah rutin :
Hb : 10,1 gr/dl Total protein : 5,6 g/dl
Leukosit : 14.030 /mm3 Albn/Glo : 2,8g/dl / 2,8 g/dl
Trombosit : 230.000/mm3 Ur/Cr : 79 mg/dl / 2,3mg/dl
Hematokrit : 32 %
Kesan :

18
Anemia, Leukositosis, Total protein menurun, Albumin dan Globulin
meningkat, Ureum & Kreatinin meningkat

EKG

Kesan : Sinus Rythm, QRS rate 97x/i axis normal, Pwave normal, PR int
0.20, QRS durasi 0.06, ST elevasi (-), LVH (+), RVH (+)

Rontgen Thorax:

19
Kesan : Cardiomegali
Diagnosis Kerja :
- CHF Fc II LVH RVH irama sinus ec HHD
- CKD stage IV ec cardiorenal syndrome
- Rheumatoid Artritis

Tatalaksana
- Ist/ Diet MB
- IVFD NaCl 0,9% 12 jam/kolf
- Furosemid 1 x 40 mg
- Bisoprolol 1 x 20 mg
- Ramipril 1 x 2,5 mg
- Paracetamol 3 x 750 mg

Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad fungtionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam

20
BAB 4
DISKUSI

Usia pada pasien ini adalah 66 tahun, beberapa literatur mengatakan


peningkatan resiko terjadinya gagal jantung terjadi saat usia di atas 40 tahun.
Beberapa literatur lainnya mengatakan usia di atas 65 tahun baru dianggap
memiliki faktor resiko yang signifikan terhadap penyakit ini.
Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien memiliki keluhan sesak nafas
yang meningkat. Sesak napas dapat disebabkan oleh kardiak dan non-kardiak.
Sesak napas kardiak memiliki karakteristik semakin sesak dengan aktivitas,
semakin sesak dengan posisi berbaring dibandingkan duduk, pasien bisa tiba-tiba
terbangun malam hari karena sesak. Sesak napas pada kardiak biasanya terjadi
pada pasien gagal jantung. Sesak napas pada non kardiak dapat disebabkan oleh
kelainan di paru, gangguan psikiatri dan gangguan metabolik. Penyakit paru yang
dapat menyebabkan sesak adalah pneumonia,efusi pleura, pneumothoraks, asma
dan PPOK. Sesak napas pada penyakit paru biasanya timbul disertai batuk, ada
pencetus seperti alergen, makanan, cuaca, infeksi, dan ada riwayat atopi sejak
kecil. Sesak napas akibat gangguan psikiatri dapat ditemukan pada panic attack
dan malingering. Sesak napas akibat gangguan metabolik terjadi pada penyakit
metabolik seperti ketoasidosis diabetikum dengan pola napas kusmaul yaitu
pernapasan yang cepat dan dalam.
Dari pemeriksaan fisik ditemukan udem pada kedua tungkai, hal ini
diakibatkan oleh peningkatan tekanan di pembuluh darah sistemik melebihi
tekanan onkotik di intravaskuler sehingga terjadi perembesan cairan ke
interstisial. Edem pada pasien ini terjadi karena kongesti vena sistemik akibat
peningkatan tekanan pada atrium kanan yang menyebabkan peningkatan tekanan
hidrostatik vena. Edema perifer biasanya terjadi pada saat terdapat gagal jantung
kanan. Edema lebih tampak pada tungkai bawah karena efek gravitasi, terutama
bila pasien banyak berdiri dan biasanya membaik pada pagi hari karena pasien
berbaring semalaman.
Pada pemeriksaan rontgen toraks ditemukan adanya pembesaran jantung
(kardiomegali). Pembesaran jantung merupakan suatu kompensasi karena
peningkatan kontraksi otot-otot jantung untuk mencukupi aliran darah ke seluruh
tubuh.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
merujuk pada kriteria Framingham, pasien memiliki 2 kriteria minor yaitu pitting
edema pada kedua tungkai dan keluhan bertambah sesak jika beraktivitas. Pada
rontgen tampak gambaran kardiomegali dengan CTR 66% yang merupakan
kriteria mayor. Jadi didapatkan 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor pada pasien,
pada kasus ini sudah memenuhi kriteria diagnosis untuk gagal jantung.
Berdasarkan kriteria diagnosis NYHA (New York Heart Association),
pasien termasuk NYHA kelas II yaitu, penderita dengan kelainan jantung yang
berakibat pada pembatasan berat aktivitas fisik. Merasa enak pada saat istirahat.
Aktivitas yang kurang dari aktivitas fisik sehari-hari menyebabkan kelelahan,
palpitasi, dispnea, atau angina. Penegakan diagnosis berdasarkan kriteria ini
penting untuk menentukan terapi yang akan diberikan pada pasien.
Pasien juga didiagnosis dengan CKD karena dari hasil pemeriksaan
laboratorium didapatkan nilai fungsi ginjal yang meningkat yaitu kreatinin
2,3mg/dl. Dari penghitungan GFR didapatkan hasil 25 ml/menit yang
menunjukkan telah terjadi gagal ginjal stage IV (nilai GFR 15-29 ml/menit).
Gagal ginjal pada pasien ini disebabkan oleh gagal jantung yang terjadi pada
pasien.
Pada gagal jantung, selain terjadi respons fisiologik yang akan
mengaktivasi sistem RAA, juga akan meyebabkan efek spiral negatif berupa
aktivasi sistem saraf simpatik, disfungsi endotel, inflamasi, dan gangguan
keseimbangan reactive oxygen/nitric oxide. Berbagai sistem yang teraktivasi
tersebut akan berinteraksi membentuk lingkaran setan yang akan mempercepat
penurunan fungsi ginjal dan fungsi jantung lebih lanjut.Mekanisme disfungsi
ginjal pada penderita gagal jantung sangat kompleks dan sangat mungkin
beberapa faktor bekerja pada penderita yang sama. Mengenal faktor-faktor yang
terlibat pada masing-masing penderita dan mengeliminasinya merupakan
komponen yang penting dalam tatalaksana sindrom kardiorenal.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien juga didiagnosis dengan
reumatoid artritis karena memenuhi 5 dari 7 kriteria ACR, yaitu kaku pagi hari > 1

22
jam, bengkak pada > 3 sendi, bengkak pada sendi MCP dan PIP, bengkak bersifat
simetris dan terdapat nodul reumatoid.
Pasien mendapatkan terapi furosemid 1 x 40 mg, bisoprolol 1 x 20 mg,
ramipril 1 x 2,5 mg, dan allopurinol 1 x 50 mg. Furosemid merupakan golongan
diuretik yang merupakan pengobatan standar untuk penderita gagal jantung
kronik. Diuretik menurunkan volume akhir diastolic dan meningkatkan stroke
volume dan cardiac output. Secara klinis, diuretik meningkatkan kapasitas kerja
jantung dan mengurangi gejala yang disebabkan edema pulmonal dan perifer.
Diuretik yang sering digunakan ialah tiazid, furosemid dan spironolakton.
Ramipril merupkan golongan ACE-I. ACE Inhibitor memperbaiki
hemodinamik dan status fungdional (mengurangi gejala dan meningkatkan
toleransi exercise), mengurangi rawatan untuk gagal jantung dan memperpanjang
harapan hidup. Apabila tidak ditemukan adanya retensi cairan, ACE inhibitor
harus diberikan pertama kali dalam menangani gagal jantung sistolik. Pada kasus
disertai retensi cairan, ACE inhibitor harus dimulai bersamaan dengan diuretik.
Pada CHF NYHA Kelas II, diuretik dengan ACE-I merupakan pilihan terapi
utama.
Bisoprolol merupakan obat golongan β-Blocker yang berfungsi untuk
memperbaiki gejala gagal jantung sistolik serta memperlambat progresivitas
ketika ditambahkan pada terapi konvensional yang biasanya terdiri atas ACE
inhibitor, diuretik, dan digoksin. Penggunaan β-Blocker jangka panjang secara
konsisten dan signifikan meningkatkan fungsi jantung kiri yang dinilai melalui
fraksi ejeksi dan menurunkan insiden rawat pasien dengan gejala klinis yang
beragam. Selain itu, penggunaan β-Blocker kronik memperbaiki semua kelas
NYHA pada gagal jantung sistolik.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Benjamin EJ, Muntner P, Alonso A, et al.Heart Disesase and Stroke


Statistics-2019 Update : A Report from the American Heart Association.
Circulation. 2019.

2. Panggabean, MM. Gagal Jantung. In : Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,


Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta : Interna Publishing; 2014. P.1132-1135.

3. Leonard, S. Lilly (editor) Patophysiology of the heart : a collaborative


project of medical students and faculty 5th Ed. : Lippicont Williams
&Wikkins, a WolterKhower Business, 2011

4. PERKI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia).


Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. 2015.

5. Wardhani DP, Eka AP, Anna U (2014). Gagal Jantung: Dalam Chris T,
Frans L, Sonia H, Eka AP. Kapita Selekta Kedokteran Essential of
Medicine. Media Aesculapius, Vol. 2, Edisi 4, pp: 811-813.

6. Rilantono L. Penyakit Kardiovaskuler (2016). Jakarta: BadanPenerbit


FKUI. Edisi 1, pp:269-276.

7. ESC (European Society of Cardiology) Guidelines(2016). ESC Guidelines


for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure.
European Heart Journal. Pp: 43-50

24

Anda mungkin juga menyukai