Anda di halaman 1dari 35

Case Report Session

CONGESTIVE HEART FAILURE

Oleh :
dr. Irwandi Samosir
dr. Mohd. Fikra Tri Wijaya
dr. Kiki Mirna Ramadhani

Pembimbing :

dr. Evi Desrianti


dr. Wiwit Fitri Ningsih

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

RUMAH SAKIT TK. IV 01.07.04 PEKANBARU

PROVINSI RIAU

2020
Daftar Isi

Daftar isi………………………………………….……………………….2

BAB I PENDAHULUAN…………………………..…………………….3

1.1 Latar Belakang………………………………………………..3

1.2 Tujuan Penulisan……………………………………………...4

1.3 Manfaat Penulisan…………………………………………….4

1.4 Metode Penulisan……………………………………………..4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………….5

2.1 Definisi………………………………………………………..7

2.2 Etiologi……………………………………………………..…7

2.3 Patofisiologi…………………………………………………..8

2.4 Manifestasi Klinis……………………………………………..9

2.5 Diagnosis………………………………………………….….11

2.6 Penatalaksanaan………………………………………………14

BAB III LAPORAN KASUS……………………………………………..18


3.1 Identitas……………….……………………………………… 18
3.2 Anamnesis…….………………….……………………………18
3.3 Pemeriksaan Fisik…………………….……………………….20
BAB IV PEMBAHASAN……………………………………………….28
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………31
5.1 Kesimpulan……………………………………………………31
5.2 Saran…………………………………………………………..31
Daftar Pustaka…………..………………………………………………..32

2
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang menyebabkan penurunan

kualitas hidup dan bersifat progresif dengan rehospitalisasi karena kekambuhan

yang tinggi dan peningkatan angka kematian. Prevalensi kasus gagal jantung di

komunitas meningkat seiring dengan meningkatnya usia yaitu berkisar 0,7% (40 - 45

tahun), 1,3% (55 - 64 tahun) dan 8,4% (75 tahun ke atas). Pada usia 40 tahun, risiko

terjadinya gagal jantung sekitar 21% untuk lelaki dan 20,3% pada perempuan. Di

Indonesia, usia pasien gagal jantung relatif lebih muda dibanding Eropa dan

Amerika disertai dengan tampilan klinis yang lebih berat.

Menurut data dari American Heart Association (AHA) tahun 2019, sekitar 6,2

juta orang dewasa Amerika menderita gagal jantung pada tahun 2013 hingga 2018

dan diketahui terus meningkat.1 Menurut Infodatin Kemenkes tahun 2013,

prevalensi gagal jantung di Indonesia adalah 0,3%, atau sekitar 530.068 orang

Indonesia mengalami gagal jantung. Di Indonesia, usia pasien gagal jantung juga

relatif lebih muda dibanding Eropa dan Amerika disertai dengan tampilan klinis yang

lebih berat.

Penyebab dari gagal jantung berhubungan dengan seluruh spektrum

kerusakan pada jantung baik secara struktural maupun fungsional yang tidak

tertangani dengan baik yang dalam waktu tertentu akan bermanifestasi sebagai

gagal jantung pada saat jantung tidak mampu lagi mengkompensasi kerusakan

tersebut. Penyebab-penyebab ini jika diklasifikasikan bisa berupa kelainan

mekanik, kelainan miokardium, maupun kelainan irama jantung. Penyakit jantung

koroner merupakan etiologi gagal jantung akut pada 60-70% pasien terutama pada

3
pasien usia lanjut, sedangkan pada usia muda gagal jantung akut diakibatkan oleh

kardiomiopati dilatasi, aritmia, penyakit jantung kongenital atau valvular dan

miokarditis.2

Gagal jantung akut maupun gagal jantung kronik sering merupakan

kombinasi kelainan jantung dan organ sistem lain terutama penyakit metabolik. 2

Boleh dikatakan bahwa gagal jantung adalah bentuk terparah atau fase terminal

dari setiap penyakit jantung.3 Oleh sebab itu, gagal jantung di satu sisi akan dapat

dengan mudah dipahami sebagai suatu sindrom klinis, namun di sisi lain gagal

jantung merupakan suatu kondisi dengan patofisiologis yang sangat bervariasi dan

kompleks.3

1.2 Tujuan Penulisan


Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk mengetahui membahas dan
menganalisis definisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis,
tatalaksana gagal jantung dan diare.

1.3 Manfaat Penulisan


Laporan kasus ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan
khususnya tentang penyakit gagal jantung kongestif.

1.4 Metode Penulisan


Penulisan laporan kasus ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan
mengacu pada berbagai literatur.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gagal Jantung
2.1.1 Definisi
Gagal jantung adalah kumpulan gejala yang kompleks dimana seorang pasien
memiliki tampilan berupa gejala khas gagal jantung (sesak nafas saat istirahat atau
aktifitas, kelelahan, edema tungkai), tanda khas gagal jantung (takikardia,
takipnea, ronkhi paru, efusi pleura, peningkatan tekanan vena jugularis, edema
perifer, hepatomegali) dan tanda objektif gangguan struktur atau fungsional
jantung (kardiomegali, suara jantung ke tiga, murmur jantung, abnormalitas dalam
gambaran ekokardiografi, kenaikan konsentrasi peptida natriuretik).
Sampai saat ini, tidak ada tes diagnostik tunggal untuk mendiagnosis gagal
jantung. Oleh karena itu, diagnosis gagal jantung membutuhkan anamnesis detail
yang disertai dengan pemeriksaan fisik dan pengujian laboratorium. Diagnosis
secara cepat dan terapi yang tepat untuk gagal jantung sangatlah penting karena
gagal jantung memiliki prognosis yang buruk, terutama pada pasien lanjut usia..2

2.1.2 Etiologi
Terdapat teori yang menjelaskan penyebab dari gagal jantung. Dahulu gagal
jantung dianggap akibat dari berkurangnya kontraktilitas dan daya pompa
sehingga terapi yang diberikan adalah inotropik untuk meningkatkannya dan
diuretik serta vasodilator untuk mengurangi beban jantung yang disebut
paradigma lama atau model hemodinamik. Tetapi sekarang gagal jantung
dianggap sebagai remodelling progresif akibat beban/penyakit dari miokard
sehingga terapi yang diberikan bersifat neurohormonal baik berupa farmakologis
maupun non farmakologis.2,3
2.2.1 Heart Failure Reduced Ejection Fraction (disfungsi sistolik)
 Penyakit arteri koroner : infark miokard, iskemia miokard
 Overload tekanan kronis : hipertensi, penyakit katup obstruktif
 Overload volume kronis : penyakit katup regurgitasi, shunt

5
interkardiak (kiri ke kanan)
 Kerusakan akibat toksin atau obat : penyakit metabolic, virus
2.2.2 Heart Failure-Preserved Ejection Fraction (disfungsi diastolik)
 Hipertrofi patologis : primer (kardiomiopati hipertrofi), sekunder
(hipertensi)
 Penuaan
 Fibrosis jantung
 Penyakit jantung pulmonal : cor pulmonal
 Kelainan endomiokardial3

2.1.3 Klasifikasi Gagal Jantung


Pada gagal jantung kronis, derajat penyakit secara klinis fungsional dapat
dikategorikan berdasarkan The New York Heart Association (NYHA) dan
American Heart Association (AHA) yang berfokus pada faktor resiko dan
abnormalitas struktur jantung.

6
Gagal jantung juga sering diklasifikasikan sebagai gagal jantung dengan penurunan
fungsi sistolik (HFrEF) dan dengan gangguan fungsi diastolik (fraksi ejeksi normal) yang
disebut sebagai Heart Failure with Preserved Ejection Fraction (HFpEF). Selain itu,
myocardial remodeling juga akan berlanjut dan menimbulkan sindroma klinis gagal
jantung

2.1.4 Patofisiologi Gagal Jantung

7
Gagal jantung dengan Reduced Ejection Fraction
Fungsi miosit yang abnormal atau fibrosis akan mengakibatkan gangguan
kontraktilitas ventrikel kanan jantung dan mengakibatkan peningkatan resistensi
vaskular di sana. Disfungsi sistolik yang terjadi mengakibatkan kegagalan
pengosongan ventrikel sehingga tekanan diastolik juga meningkat. Selama proses
diastolik, peningkatan tekanan ventrikel kiri persisten akan berpengaruh pada
atrium kiri dan vena serta kapiler paru sehingga tampak gejala dari bendungan
paru.3
Gagal jantung dengan Preserved Ejection Fraction
Kelainan yang mengakibatkan perubahan struktur miokard yang
menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri dan juga menyebabkan kekakuan dinding
ventrikel kiri sehingga akan terganggu proses refilling (disfungsi diastolik).
Secara klinis disfungsi diastolik ini akan terlihat dari tanda bendungan vena
sistemik.3
Gagal jantung kanan (Right-Sided Heart Failure)
Disfungsi ventrikel kanan dapat dikatakan saling berkaitan dengan disfungsi
ventrikel kiri pada gagal jantung apabila dilihat dari kerusakan yang diderita oleh
kedua sisi jantung, misalnya setelah terjadinya infark miokard atau tertundanya
komplikasi yang ditimbulkan akibat adanya progresifitas pada bagian jantung
sebelah kiri. Gagal jantung kiri menyebabkan disfungsi sistolik sehingga terjadi
peningkatan afterload dan peningkatan tekanan vaskular paru. Akibat dari
keadaan ini terjadilah gagal jantung kanan. Pada gagal jantung kanan, proses
pertama pada paru dapat berakibat terjadinya cor pulmonale dengan klinis gagal

8
jantung kanan. Saat ventrikel kanan gagal berfungsi, peningkatan dari tekanan
diastolik menyebabkan tekanan retrograde berupa bendungan vena sistemik
berupa penumpukan cairan di hati dan seluruh tubuh terutama di ekstermitas
bawah.3

2.4 Manifestasi Klinis


Berdasarkan presentasinya gagal jantung dibagi sebagai berikut.
1. Gagal jantung akut
2. Gagal jantung menahun
3. Acute on Chronic Heart Failure
Gagal jantung akut didefinisikan sebagai timbulnya sesak napas secara cepat
(< 24 jam) akibat kelainan fungsi jantung, gangguan fungsi sistolik atau diastolik
atau irama jantung, atau kelebihan beban awal (preload), beban akhir (afterload),
atau kontraktilitas dan keadaan ini mengancam jiwa jika tidak ditangani dengan
tepat.4,5
Gagal jantung menahun didefinisikan sebagai sindrom klinis yang kompleks
akibat kelainan structural atau fungsional yang menganggu kemampuan pompa
jantung atau menganggu pengisian jantung.6
Pasien gagal jantung akut dapat datang dengan berbagai kondisi klinis, yaitu:
 Acute decompensated hearth failure (ADHF)
- Baru pertama kali (de novo)
- Dekompensasi dari gagal jantung menahun
Kedua keadaan ini masih lebih ringan dan tidak termasuk syok
kardiogenik, edema paru atau krisis hipertensi.
 Hypertensive acute heart failure
Gejala dan tanda gagal jantung disertai dengan tekanan darah tinggi dan
fungsi ventrikel yang masih baik.
 Edema paru
Sesak napas hebat, dengan ronki basah kasar di hampir semua lapangan
paru, ortopnu, saturasi oksigen < 90% sebelum mendapat terapi oksigen.
 Syok kardiogenik
Terdapat hipoperfusi jaringan meskipun preload sudah dikoreksi. Tekanan
darah sistolik < 90 mmHg, produksi urin 0,5 cc/kgbb/jam, laju nadi > 60

9
x/menit dengan atau tanpa kongesti organ/paru.
 Gagal jantung kanan
Dengan gejala curah jantung rendah, peningkatan JVP, hepatomegali dan
hipotensi.6

2.5 Diagnosis
Penegakan diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, serta
pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan keluhan berupa sesak napas
yang terutama meningkat dengan aktifitas, terbatasnya aktifitas dan hal-hal lain
seperti yang terdapat pada gejala klinis. Dari pemeriksaan fisik, bisa didapatkan
peningkatan JVP, pembesaran hepar, edema tungkai, refleks hepatojugular,
pergeseran apeks jantung ke lateral, maupun bising jantung. Dapat digunakan
kriteria klinis menggunakan kriteria klasik Framingham, paling sedikit 1 kriteria
mayor dan 2 kriteria minor.5
Kriteria mayor

10
Gambar 1. Skema diagnostik untuk pasien yang dicurigai gagal jantung4

Pemeriksaan penunjang
 Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan elektrokardiogram harus dikerjakan pada semua pasien diduga
gagal jantung. Abnormalitas EKG sering dijumpai pada gagal jantung, namun

11
memiliki nilai prediktif yang kecil dalam mendiagnosis gagal jantung, jika EKG
normal, diagnosis gagal jantung khususnya dengan disfungsi sistolik sangat kecil
(< 10%).
 Foto Toraks
Merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung. Rontgen toraks
dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura dan dapat mendeteksi
penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau memperberat sesak nafas.
 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung adalah
darah perifer lengkap (hemoglobin, leukosit, trombosit), elektrolit, kreatinin, laju
filtrasi glomerulus (GFR), glukosa, tes fungsi hati dan urinalisis. Pemeriksaan
tambahan lain dipertimbangkan sesuai tampilan klinis. Gangguan hematologis
atau elektrolit yang bermakna jarang dijumpai pada pasien dengan gejala ringan
sampai sedang yang belum diterapi.
 Pemeriksaan biomarker
Brain natriuretic peptide (BNP) cukup sensitif (Gold Standar) untuk
mendeteksi adanya gagal jantung. Dikatakan gagal jantung bila nilai BNP ≥ 100
pg/mL atau NT-proBNP≥ 300 pg/mL. Kadar peptide natriuretik meningkat
sebagai respon terhadap peningkatan tekanan dinding ventrikel.
 Troponin I atau T
Pemeriksaan troponin dilakukan pada penderita gagal jantung jika gambaran
klinisnya disertai dugaan sindroma koroner akut. Peningkatan ringan kadar
troponin kardiak sering pada gagal jantung berat atau selama episode
dekompensasi gagal jantung pada penderita tanpa iskemia miokard.
 Ekokardiografi
Konfirmasi diagnosis gagal jantung dan/atau disfungsi jantung dengan
pemeriksaan ekokardiografi adalah keharusan dan dilakukan secepatnya pada
pasien dengan dugaan gagal jantung. Pengukuran fungsi ventrikel untuk
membedakan antara pasien dengan disfungsi sistolik dan pasien dengan fungsi
sistolik normal adalah fraksi ejeksi ventrikel kiri (normal > 45 - 50%).
Ekokardiografi mempunyai peran penting dalam mendiagnosis gagal jantung
dengan fraksi ejeksi normal. Diagnosis harus memenuhi tiga kriteria:

12
1. Terdapat tanda dan/atau gejala gagal jantung
2. Fungsi sistolik ventrikel kiri normal atau hanya sedikit terganggu (fraksi ejeksi
> 45 - 50%)
3. Terdapat bukti disfungsi diastolik (relaksasi ventrikel kiri abnormal / kekakuan
diastolik).4,5

2.6 Penatalaksanaan
Tabel 1. Tujuan terapi pada pasien gagal jantung kongestif
Prognosis menurunkan mortalitas
Morbiditas Meringankan gejala dan tanda
Memperbaiki kualitas hidup
Menghilangkan edema dan retensi cairan
Meningkatkan kapasitas aktifitas fisik
Mengurangi kelelahan dan sesak nafas
Mengurangi kebutuhan rawat inap
Menyediakan perawatan akhir hayat
Pencegahan Timbulnya kerusakan miokard
Perburukan kerusakan miokard
Remodelling miokard
Timbul kembali gejala dan akumulasi cairan
Rawat inap

2.6.1 Tatalaksana non-farmakologi4


 Ketaatan pasien berobat
Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan kualitas hidup
pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien yang taat pada terapi
farmakologi maupun non-farmakologi.
 Pemantauan berat badan mandiri
Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan berat
badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas
pertimbangan dokter.
 Asupan cairan
Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada pasien dengan

13
gejala berat yang disertai hiponatremia.
 Pengurangan berat badan
Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan gagal jantung
dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung, mengurangi gejala
dan meningkatkan kualitas hidup.
 Latihan fisik
Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik stabil.
Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan di rumah sakit
atau di rumah.4

2.6.2 Tatalaksana farmakologi


 Angiotensin converting enzyme Inhibitor (ACE-I)
Obat-obat yang termasuk ACE I mempunyai mekanisme kerja menurunkan
sekresi angiotensin II dan aldosteron dengan cara menghambat enzim yang dapat
mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II. Termasuk juga dapat mengurangi
kejadian remodeling jantung serta retensi air dan garam. ACE I harus diberikan
pada semua pasien gagal jantung simtomatik (kecuali kontraindikasi) dan fraksi
ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. ACE I memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas
hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan
meningkatkan angka kelangsungan hidup. ACE I kadang-kadang menyebabkan
perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk dan
angioedema (jarang), oleh sebab itu ACE I hanya diberikan pada pasien dengan
fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium normal.4
 Antagonis Aldosteron
Kecuali kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil
harus dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤ 35 % dan gagal
jantung simtomatik berat (kelas fungsional III - IV NYHA) tanpa hiperkalemia
dan gangguan fungsi ginjal berat. Antagonis aldosteron mengurangi perawatan
rumah sakit karena perburukan gagal jantung dan meningkatkan kelangsungan
hidup.
Indikasi pemberian antagonis aldosteron adalah fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %,
gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III- IV NYHA) dan dosis optimal

14
penyekat β dan ACEI atau ARB (tetapi tidak ACEI dan ARB). Kontraindikasi
pemberian antagonis aldosteron adalah konsentrasi serum kalium > 5,0 mmol/L,
serum kreatinin > 2,5 mg/dL, bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau
suplemen kalium dan kombinasi ACEI dan ARB
 Beta bloker
β-blocker harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik
(kecuali kontraindikasi) dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. β-blocker
memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah
sakit karena perburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka kelangsungan
hidup. β-blocker boleh diberikan pada pasien yang stabil secara klinis (tidak ada
perubahan dosis diuretik, tidak ada kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda
retensi cairan berat). Mekanisme kerja dari β-blocker sendiri yaitu dengan
menghambat adrenoseptor beta (beta-bloker) di jantung, pembuluh darah perifer
sehingga efek vasodilatasi tercapai. Beta bloker dapat memperlambat konduksi
dari sel jantung dan juga mampu meningkatkan periode refractory.
 Angiotensin II receptor type 1 Inhibitor (ARB)
Mekanisme ARB yaitu menghambat reseptor angiotensin II pada subtipe
AT1. Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung
dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah
diberikan ACE I dan penyekat β dosis optimal, kecuali juga mendapat antagonis
aldosteron. Terapi dengan ARB dapat memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas
hidup, mengurangi angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal
jantung. ARB direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien intoleran ACE I.
 Diuretik
Mekanisme kompensasi pada gagal jantung kongestif yaitu dengan
meningkatkan retensi air dan garam yang dapat menimbulkan edema baik
sistemik maupun paru. Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung
dengan tanda klinis atau gejala kongesti. Tujuan dari pemberian diuretik adalah
untuk mencapai status euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang serendah
mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi
atau resistensi. Sebagian besar pasien mendapat terapi diuretik loop dibandingkan
tiazid karena efisiensi diuresis dan natriuresis lebih tinggi pada diuretik loop.

15
Tabel 2. dosis diuretik yang biasa digunakan pada pasien gagal jantung
Diuretik Dosis awal (mg) Dosis harian (mg)
Diuretik Loop
Furosemid 20 – 40 40 – 240
Bumetanid 0.5 – 1 1–5
Tiazid
Hidroklorotiazid 25 12.5 – 100
Metolazon 2.5 2.5 – 10
Diuretik hemat kalium
Spironolakton (+ ACEI/ARB) 12.5 – (+ ACEI/ARB) 50
25 (-ACEI/ARB) 100-200
(-ACEI/ARB) 50

 Hydralazine dan Isosorbide Dinitrate (H - ISDN)


Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri < 40%,
kombinasi H - ISDN digunakan sebagai alternatif jika pasien intoleran terhadap
ACEI dan ARB. Indikasi pemberian kombinasi H - ISDN adalah pengganti ACEI
dan ARB dimana keduanya tidak dapat ditoleransi, sebagai terapi tambahan ACEI
jika ARB atau antagonis aldosteron tidak dapat ditoleransi dan jika gejala pasien
menetap walaupun sudah diterapi dengan ACEI, penyekat β dan ARB atau
antagonis aldosteron. Kontraindikasi pemberian kombinasi H - ISDN adalah
hipotensi simtomatik, sindroma lupus dan gagal ginjal berat.
 Digoksin
Digoksin merupakan golongan glikosida jantung yang mempunyai sifat
inotropik positif yang dapat membantu mengembalikan kontraktilitas dan
meningkatkan dari kerja jantung. Digoksin memiliki indeks terapi sempit yang
berarti dalam penggunaan dosis rendah sudah memberikan efek terapi. Oleh
karena itu, diperlukan kehati-hatian pada penggunaan digoksin dan diperlukan
monitoring ketat bila dikhawatirkan terjadi toksik. Pada pasien gagal jantung
dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan untuk memperlambat laju
ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti penyekat beta) lebih
diutamakan.4
Tabel 3. dosis obat yang biasa digunakan pada pasien gagal jantung.4
Obat Dosis awal (mg) Dosis target (mg)
ACEI

16
Captopril 6.25 (3x/hari) 50 – 100 (3x/hari)
Enalapril 2.5 (2x/hari) 10 – 20 (2x/hari)
Ramipril 2.5 (1x/hari) 5 (2x/hari)
ARB
Candesartan 4/8 (1x/hari) 32 (1x/hari)
Valsartan 40 (2x/hari) 160 (2x/hari)
Antagonis aldosterone
Spironolakton 25 (1x/hari) 25 – 50 (1x/hari)
Penyekat beta
Bisoprolol 1.25 (1x/hari) 10 (1x/hari)
Carvedilol 3.125 (2x/hari) 25 – 50 (2x/hari)

17
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS
• Nama : Ny. N
• Nomor RM : 02.64.38
• Umur : 55 tahun
• Jenis kelamin : Perempuan
• Alamat : Jl. Kayu Jati, RT 03, RW 03, Simpang Tiga, Bukit Raya
• Status : Cerai Mati
• Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
• Agama : Islam
• Tanggal ke RS: 19 April 2020
• Jam ke RS : 09:30 WIB

3.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama
Sesak nafas yang memberat sejak ± 10 jam sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang


- Sesak nafas yang memberat sejak ± 10 jam sebelum masuk rumah sakit.
Awalnya sesak nafas mulai dirasakan sejak ± 2 minggu ini. Sesak
dipengaruhi oleh aktivitas (jalan 3 langkah sudah sesak) dan posisi(lebih
nyaman posisi duduk), sesak tidak menciut, tidak dipengaruhi cuaca,
makanan, waktu dan emosi.
- Riwayat bangun malam karena sesak ada. Pasien sulit tidur.
- Pasien tidak bisa melakukan aktivitas sehari-hari tanpa sesak.
- Sesak juga muncul saat istirahat.
- Pasien memiliki riwayat penyakit jantung sejak ± 2 tahun ini. Pasien rutin
kontrol ke SpJP (dr. Chandra di RS Awal Bros). Pasien mengaku sudah
pernah Echocardiography (2 bulan yang lalu, tapi tidak tau hasil), Terakhir
kontrol ± 2 bulan yang lalu. Pasien mendapat obat Warfarin, Digoksin,

18
Furosemide, Spironolakton, Candesartan (Tidak rutin diminum 2 bulan
terakhir). Pasien riwayat rawat inap karena penyakit jantung 5 kali (2 kali di
RST, 3 kali di RS Awal Bros).
- Riwayat tidur dengan bantal ditinggikan ada (3 bantal).
- Riwayat kaki sembab ada.
- Pasien merasa lemas dan nafsu makan menurun.
- Perut terus kembung, nyeri ulu hati ada.
- Nyeri dada tidak ada.
- Keringat dingin tidak ada.
- Riwayat pingsan tidak ada.
- Riwayat alergi obat tidak ada.
- Batuk tidak ada.
- Demam tidak ada.
- Mual tidak ada, muntah tidak ada.
- Penurunan berat badan tidak ada.
- BAB biasa, BAK biasa.

Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat Hipertensi (+) sejak ± 10 tahun lalu,kontrol tidak teratur
- Riwayat DM (-)
- Riwayat asma disangkal
- Riwayat stroke disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


- Ibu kandung pasien memiliki riwayat penyakit jantung.
- Riwayat Hipertensi tidak ada
- Riwayat DM tidak ada.

Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, Kejiwaan dan Kebiasaan


Pasien seorang ibu rumah tangga dengan aktivitas ringan, tidak ada riwayat
merokok ataupun konsumsi alkohol.

19
3.3 PEMERIKSAAN FISIK
KEADAAN UMUM
- Keadaan umum : sakit sedang
- Kesadaran : composmentis
- Tekanan darah : 120/80 mmHg
- Nadi : 110 x/menit, ireguler, kuat angkat
- Pernafasan : 32 x/menit
- Suhu : 36,2° C
- Sianosis : tidak ada
- Edema : tidak ada
- Anemis : tidak ada
- Ikterus : tidak ada
- BB : 49 kg
- TB : 160 cm
- IMT : 19,14 (normal)
- SpO2 : 99%

Status Generalis :
Kulit
Warna sawo matang, ikterus tidak ada, sianosis tidak ada, telapak tangan dan kaki
pucat tidak ada.

Kelenjar Getah Bening


Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening di leher, submandibula,
supraklavikula, infraklavikula, aksila, inguinalis.

Kepala
Bentuk normochepal, simetris, rambut hitam, lurus, tidak mudah dicabut.
Mata : Edema palpebra tidak ada, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak
ikterik.

20
Hidung: Bagian luar tidak ada kelainan, septum dan tulang-tulang dalam
perabaan baik, tidak ada deviasi septum, perdarahan tidak ada, pernapasan cuping
hidung tidak ada.
Telinga : Kedua meatus acusticus eksternus normal, cairan serumen ada, tophi
tidak ada, nyeri tekan processus mastoideus tidak ada, pendengaran baik.
Mulut : Tonsil T1-T1 tidak hiperemis, bau pernafasan aseton tidak ada.
Leher : JVP (5+3) cmH2O

Thoraks
Bentuk dada simetris, spider nevi tidak ada.
Paru-paru
I : Statis,dinamis simetris kanan dan kiri
P : Fremitus kanan sama dengan kiri
P : Sonor kedua lapang paru
A : SN vesikuler, menurun setinggi RIC IV kiri dan kanan, ronkhi +/+,
wheezing -/-

Jantung
I : Ictus cordis tidak terlihat
P : Ictus cordis teraba di RIC VI Linea Axilris Anterior Sinistra
P : Batas atas RIC III Sinistra, batas jantung kanan RIC VI Linea Mid Clavicula
Dextra, batas jantung kiri RIC VI Linea Axilaris Anteror Sinistra
A : S1 S2 ireguler, murmur (+)

Abdomen
I : Tidak membuncit, venektasi tidak ada
P : Supel, NTE tidak ada, hepar dan lien tidak teraba
P : Timpani
A : BU positif normal

21
Alat kelamin
Tidak diperiksa

Ekstremitas
CRT <2 detik, udem tungkai tidak ada, Reflek fisiologis +/+ N,
Reflek patologis -/-

Pemeriksaan laboratorium sederhana di RST (19 April 2020)


Darah rutin :
Hb : 14 gr/dl Hitung jenis : E/B/N/L/M=2/0/68/22/8 %
Leukosit : 7.000 /mm3 MCV : 84 fl
Trombosit : 174.000/mm3 MCH : 30 pg
Hematokrit : 42 % MCHC : 35 g/dl
Eritrosit : 4,5 juta/mm3
Kesan : Dalam Batas Normal

Pemeriksaan laboratorium di RS Awal Bros (22 Januari 2020)


Darah Rutin:
Hb : 14,1 gr/dl Hitung jenis : E/B/N/L/M=2,1/0,3/54,9/37,4/5,3%
Leukosit : 6.210 /mm3 MCV : 90,6 fl
Trombosit : 190.000/mm3 MCH : 29,4 pg
Hematokrit : 43,5 % MCHC : 32,4 g/dl
Eritrosit : 4,8 juta/mm3 LED : 8 mm/jam
Troponin I : negatif Ureum : 23,82
GDS : 119 mg/dl Kreatinin : 0,8 mg/dl
SGOT : 19,9 U/L SGPT : 13,6 U/L
Kesan: Dalam Batas Normal

22
EKG (19 April 2020)

Interpretasi:
Pemeriksaan Hasil

Irama Sinus

Frekuensi 93 x/menit

Axis Normo axis

Gelombang P 0,08 detik, P mitral (-), P pulmonale (-), P terminal force


negative pada V1

PR interval 0,16 detik

QRS complex 0,10 detik

23
Q patologis -

Segmen ST ST depresi pada V5 dan V6

Gelombang T Tall T (-), T inverted (+) pada V6

Kriteria hipertrofi LAD : (-)

Sokolow-Lyon criteria: SV1 + RV6 > 35mm : (-)

LV strain pattern (+) : ST depresi di V5 dan V6, T inverted

Cornell criteria (+) : RaVL + SV3 > 20mm

Kesan Left Ventricular Hypertrophy

Rontgen Thorax posisi PA (19 April 2020)

Interpretasi:
Trakea ditengah
Jantung membesar (CTR >50%), pinggang jantung hilang, apeks jantung tertanam
Aorta dan mediastinum superior tidak melebar
Kedua hilus tidak menebal/melebar
Corakan bronkovaskular kedua paru baik
Tidak tampak infiltrat maupun nodul dikedua lapangan paru
Diafragma kanan dan kiri licin. Sinus kostofrenikus kanan dan kiri lancip

24
Tulang kesan intak
Kesan : Cardiomegaly

Rontgen Thorax posisi AP di RS Awal Bros (22 Januari 2020)

Interpretasi:
Trakea ditengah
Jantung membesar (CTR >50%), pinggang jantung hilang, apeks jantung tertanam
Aorta dan mediastinum superior tidak melebar
Kedua hilus tidak menebal/melebar
Corakan bronkovaskular kedua paru baik
Tidak tampak infiltrat maupun nodul dikedua lapangan paru
Diafragma kanan dan kiri licin. Sinus kostofrenikus kanan dan kiri lancip
Tulang kesan intak
Kesan : Cardiomegaly

Diagnosis Kerja :
- CHF Fc Class III-IV

25
Tatalaksana
- O2 3 liter/menit via nasal kanul
- IV Plug
- Inj. Furosemid 1 amp/12 jam
- Bisoprolol tab 1x5 mg
- Captopril tab 2x25 mg

Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad fungtionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam

FOLLOW UP
Tanggal 20-04-2020, pukul 08.00 WIB (Hari rawatan ke -2)
S O A P
 Sesak (+) ↓  KU : Sedang  CHF fc  IV plug
 Sesak malam hari  Kesadaran : Composmentis class III-IV  O2 3 l/menit
(+)  TD :110/60 mmHg  AF  Inj. Furosemid 1
 Tidur 3 bantal (+)  Frek.Nadi : 102 x/menit,  Congestive amp/12 jam
 Sesak saat ireguler hepatopathy  Bisoprolol 1x5 mg
berjalan (3  Frek. Nafas : 30 x/menit  Captopril 2x25 mg
langkah) (+)  Suhu : 36,2 C  Rencana USG tanggal
 Berdebar - debar  Mata : Konjungtiva 21 april 2020 dengan
(+) tidak anemis, sklera tidak dr Helmi Sp.PD
 Nyeri ulu hati (+) iketrik
 BAK normal  Paru : SN Vesikular, Rh
 BAB normal +/+ , Wh -/-
 Jantung : S1 S2 Ireguler,
murmur (+), gallop (-)
 Abdomen : Supel, NTE tidak
ada, hepar dan lien tidak
teraba
 Ext : akral hangat, CRT
< 2”, pitting edem tungkai
bawah +/+

26
Tanggal 21-04-2020, pukul 08.00 WIB (Hari rawatan ke -3)
S O A P
 Sesak (+) ↓  KU : Sedang  CHF fc  Aff IV plug
 Sesak malam hari  Kesadaran : Composmentis class III-IV  USG Abdomen
(+)  TD :130/80 mmHg  AF  Pasien boleh pulang
 Tidur 3 bantal (+)  Frek.Nadi : 97 x/menit,  Congestive  Lasix 2x1 tab
 Sesak saat ireguler hepatopathy  Aspar K 1x1 tab
berjalan (3  Frek. Nafas : 21 x/menit  Captopril 25 mg tab
langkah) (+)  Suhu : 36,0 C 2x1
 Berdebar - debar  Mata : Konjungtiva  Bisoprolol 5 mg tab
(+) tidak anemis, sklera tidak 1x1
 Nyeri ulu hati (+) iketrik  Curcuma 1x1 tab
 BAK normal  Paru : SN Vesikular, Rh  Kontrol rutin
 BAB normal +/+ , Wh -/-
 Jantung : S1 S2 Ireguler,
murmur (+), gallop (-)
 Abdomen : Supel, NTE tidak
ada, hepar dan lien tidak
teraba
 Ext : akral hangat, CRT
< 2”, pitting edem tungkai
bawah +/+

Rehabilitasi Pasca Rawatan


- Mulai mencoba aktivitas fisik minimal
- Pemantauan berat badan mandiri.8
- Pembatasan asupan cairan maksimal 1,5 liter.4

Edukasi4
- Manajemen perawatan mandiri dapat memberi dampak bermakna perbaikan
gejala gagal jantung, kapasitas fungsional, kualitas hidup, morbiditas dan
prognosis.
- Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung yang
stabil.
- Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan kualitas
hidup pasien.
- Edukasi mengenai kemungkinan faktor resiko yang akan memunculkan
tanda kegawatan kardiovaskular, seperti tidak terkontrolnya tekanan darah,
kadar lemak ataupun kadar gula darah.

27
- Pengurangan berat badan pada pasien dengan obesitas (IMT >30kg/m2)
untuk mencegah perburukan pada gagal jantung, mengurangi gejala dan
meningkatkan kulitas hidup
- Memberikan dukungan pada keluarga untuk mengidentifikasi faktor-faktor
pendukung dan penghambat penatalaksanaan pasien, serta menyepakati
bersama peran keluarga pada masalah kesehatan pasien

Tanda Bahaya4
- Keterbatasan aktivitas fisik, sehingga pasien tidak mampu melakukan
latihan fisik hingga aktivitas ringan
- Sesak nafas
- Retensi cairan dan pembengkakan

Indikasi Rujukan9
- Pasien dengan gagal jantung harus dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan
sekunder yang memiliki dokter spesialis penyakit jantung atau spesialis
penyakit dalam untuk perawatan maupun pemeriksaan lanjutan seperti
ekokardiografi.
- Pada kondisi akut, dimana kondisi klinis mengalami perburukan dalam
waktu cepat harus segera dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan
sekunder atau tertier untuk penanganan yang lebih lanjut.

28
BAB IV
PEMBAHASAN

Seorang pasien perempuan berusia 55 tahun datang ke IGD RS TK IV


Pekanbaru jam 09:30 WIB dengan keluhan sesak napas yang semakin
memberat sejak ± 10 jam sebelum masuk rumah sakit. Usia pada pasien ini
adalah 55 tahun, beberapa literatur mengatakan peningkatan resiko terjadinya
gagal jantung terjadi saat usia di atas 40 tahun. Beberapa literatur lainnya
mengatakan usia di atas 65 tahun baru dianggap memiliki faktor resiko yang
signifikan terhadap penyakit ini.
Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien memiliki keluhan sesak nafas
yang semakin memberat sejak ± 10 jam ini.Sesak napas dapat disebabkan oleh
kardiak dan non-kardiak. Sesak napas kardiak memiliki karakteristik semakin
sesak dengan aktivitas, dan semakin sesak dengan posisi berbaring
dibandingkan duduk, pasien bisa tiba-tiba terbangun malam hari karena sesak.
Sesak napas pada kardiak biasanya terjadi pada pasien gagal jantung. Sesak
napas pada non kardiak dapat disebabkan oleh kelainan di paru, gangguan
psikiatri dan gangguan metabolik. Penyakit paru yang dapat menyebabkan
sesak adalah pneumonia,efusi pleura, pneumothoraks, asma dan PPOK. Sesak
napas pada penyakit paru biasanya timbul disertai batuk, ada pencetus seperti
alergen, makanan, cuaca, infeksi, dan ada riwayat atopi sejak kecil. Sesak
napas akibat gangguan psikiatri dapat ditemukan pada panic attack dan
malingering. Sesak napas akibat gangguan metabolik terjadi pada penyakit
metabolik seperti ketoasidosis diabetikum dengan pola napas kusmaul yaitu
pernapasan yang cepat dan dalam.
Dari pemeriksaan fisik tidak ditemukan edem pada kedua tungkai, tetapi
pasien memiliki riwayat edem tungkai sebelumnya. Hal ini diakibatkan oleh
peningkatan tekanan di pembuluh darah sistemik melebihi tekanan onkotik di
intravaskuler sehingga terjadi perembesan cairan ke interstisial. Riwayat edem
pada pasien bisa terjadi karena kongesti vena sistemik akibat peningkatan
tekanan pada atrium kanan yang menyebabkan peningkatan tekanan
hidrostatik vena. Edema perifer biasanya terjadi pada saat terdapat gagal
jantung kanan. Edema lebih tampak pada tungkai bawah karena efek gravitasi,

29
terutama bila pasien banyak berdiri dan biasanya membaik pada pagi hari
karena pasien berbaring semalaman.
Pada pemeriksaan rontgen toraks ditemukan adanya pembesaran jantung
(kardiomegali). Pembesaran jantung merupakan suatu kompensasi karena
peningkatan kontraksi otot-otot jantung untuk mencukupi aliran darah ke
seluruh tubuh.
Pada pemeriksaan USG ditemukan adanya congestive hepatopathy.
Pembesaran hepar terjadi karena kelainan pembuluh darah hepar (vena
hepatika) yang disebabkan kompensasi dari gagal jantung nya.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
merujuk pada kriteria Framingham, pasien ini memiliki 2 kriteria minor yaitu
sesak saat aktivitas dan hepatomegali. Pada rontgen tampak gambaran
kardiomegali dengan CTR >50%, Peningkatan tekanan vena jugularis yaitu
JVP 5+3 cmH2O, Paroxysmal nocturnal dyspnea yaitu terbangun malam hari
karena sesak, dan rhonki paru yang merupakan kriteria mayor. Jadi didapatkan
4 kriteria mayor dan 2 kriteria minor pada pasien, pada kasus ini sudah
memenuhi kriteria diagnosis untuk gagal jantung.
Berdasarkan kriteria diagnosis NYHA (New York Heart Association),
pasien termasuk NYHA kelas III- IV yaitu, penderita dengan kelainan jantung
yang berakibat pada pembatasan aktivitas fisik sehari-hari, gejala dapat
muncul saat istirahat, dan semakin meningkat saat aktivitas. Penegakan
diagnosis berdasarkan kriteria ini penting untuk menentukan terapi yang akan
diberikan pada pasien.
Pasien juga didiagnosis dengan AF karena dari hasil pemeriksaan fisik
didapatkan nadi ireguler dan adanya murmur pada auskultasi jantung. Hal ini
menunjukkan tanda klinis yang dapat ditemukan pada AF. Indikator lain untuk
menentukan tegaknya diagnosis AF adalah tidak adanya gelombang P pada
elektrokardiogram (EKG). Pada gagal jantung simptomatik (NYHA kelas II-
IV) didapatkan 30% pasien AF dan AF juga dapat ditemukan pada 30%-40%
pada pasien gagal jantung bergantung pada penyebab dasar dan beratnya
gagal jantung. Sehingga adanya atrial fibrilasi juga diperkirakan karena
disebabkan penyakit gagal jantung pada pasien ini. Gambaran atrial fibrilasi
merupakan salah satu bentuk komorbiditas pada gagal jantung sehingga dapat
memperburuk prognosis pasien.

30
Pasien mendapatkan terapi oksigen 3 liter/menit, Inj. Furosemid 1 amp/12
jam, Bisoprolol 1x5 mg tab, dan Captopril 2x 25 mg tab. Pasien diberikan
oksigen 3liter/menit karena saat datang pasien dalam kondisi sangat sesak
dengan pernapasan 32 kali/ menit.
Furosemid merupakan golongan diuretik yang merupakan pengobatan
standar untuk penderita gagal jantung kronik. Diuretik menurunkan volume
akhir diastolic dan meningkatkan stroke volume dan cardiac output. Secara
klinis, diuretik meningkatkan kapasitas kerja jantung dan mengurangi gejala
yang menyebabkan edema pulmonal dan perifer. Diuretik yang sering
digunakan ialah tiazid, furosemid dan spironolakton.
Captopril merupakan golongan ACE-I. ACE Inhibitor berfungsi untuk
memperbaiki hemodinamik dan status fungsional (mengurangi gejala dan
meningkatkan toleransi exercise), mengurangi rawatan untuk gagal jantung
dan memperpanjang harapan hidup. Apabila tidak ditemukan adanya retensi
cairan, ACE inhibitor harus diberikan pertama kali dalam menangani gagal
jantung sistolik. Pada kasus disertai retensi cairan, ACE inhibitor harus
dimulai bersamaan dengan diuretik. Pada CHF NYHA Kelas III-IV, diuretik
dengan ACE-I merupakan pilihan terapi utama. Selain itu, ACE inhibitor juga
berguna dalam mengurangi remodelling dan menurunkan angka kematian
penderita paska infark miokard yang disertai gangguan fungsi sitolik jantung,
dengan atau tanpa gagal jantung klinis.
Bisoprolol merupakan obat golongan β-Blocker yang berfungsi untuk
memperbaiki gejala gagal jantung sistolik serta memperlambat progresivitas
ketika ditambahkan pada terapi konvensional yang biasanya terdiri atas ACE
inhibitor, diuretik, dan digoksin. Penggunaan β-Blocker jangka panjang secara
konsisten dan signifikan meningkatkan fungsi jantung kiri yang dinilai melalui
fraksi ejeksi dan menurunkan insiden rawat pasien dengan gejala klinis yang
beragam. Selain itu, penggunaan β-Blocker kronik memperbaiki semua kelas
NYHA pada gagal jantung sistolik. Penggunaan bisoprolol pada pasien ini
juga sebagai terapi dari AF yang diderita pasien.
Prognosis quo ad vitam pada pasien dubia ad malam, karena kondisi
penyakit chf yang diderita pasien membahayakan hidup pasien mengingat
angka mortalitas nya yang tinggi. Quo ad functionam pada pasien dubia ad
malam, karena fungsi organ nya mengalami penurunan yang ireversibel. Quo

31
ad sanactionam dubia ad malam, karena kemungkinan berulang nya sangat
tinggi mengingat sifatnya yang ireversibel.

32
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Gagal jantung adalah kumpulan gejala yang kompleks dimana seorang
pasien harus memiliki tampilan gejala gagal jantung (napas pendek yang
tipikal saat istirahat atau saat melakukan aktivitas baik disertai kelelahan atau
tidak). Tanda retensi cairan (kongesti paru atau edema pergelangan kaki),
adanya bukti objektif dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat
istirahat.
2. Gagal jantung menyebabkan penurunan kualitas hidup dan progresif dengan
angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi dinegara maju maupun di negara
berkembang termasuk Indonesia.
3. Usaha preventif maupun usaha rehabilitatif pasien CHF perlu ditekankan
untuk lebih diperhatikan menimbang CHF merupakan penyakit dengan
angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi.

5.2 Saran
1. Sesuai dengan “Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung tahun 2015” yang
dikeluarkan oleh PERKI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia). Berdasarkan skema diagnostik untuk pasien yang dicurigai gagal
jantung pasien harus diperiksa BNP/NT-pro BNP dan Ekokardiography
setelah pemeriksaan EKG, X-Ray dada agar diagnosis gagal jantung bisa
dipastikan sehingga bisa ditentukan etiologi dan terapi yang tepat.

33
34
DAFTAR PUSTAKA
1. The Task Force for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic
Heart Failure of the European Society of Cardiology (ESC). 2016 ESC
Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart
Failure. European Heart Journal (2016) 37, 2129– 2200.
2. Loehr LR, Rosamond WD, Chang PP, Folsom AR, Chambless LE. Heart
Failure Incidence and Survival (from the Atherosclerosis Risk in
Communities Study). Am J Cardiol. 2008;101(7):1016-1022.
3. King M, Kingery J, Casey B. Diagnosis and Evaluation of Heart Failure.
Am Fam Physician. 2012 Jun 15;85(12):1161-8.
4. The Task Force for the Management of Arterial Hypertension of the
European Society of Cardiology (ESC) and the European Society of
Hypertension (ESH). 2018 ESC/ESH Guidelines for the Management of
Arterial Hypertension. European Heart Journal (2018) 39, 3021–3104.
5. Panggabean, MM. Gagal Jantung. In : Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,
Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta : Interna Publishing; 2014. P.1132-1135.
6. PERKI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia).
Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. 2015.
7. Wardhani DP, Eka AP, Anna U (2014). Gagal Jantung : dalam Chris T,
Frans L, Sonia H, Eka AP. Kapita Selekta Kedokteran Essential of
Medicine. Media Aesculapius, Vol. 2, Edisi 4, pp: 811-813.
8. Rilantono L. Penyakit Kardiovaskuler (2016). Jakarta: Badan Penerbit
FKUI. Edisi 1, pp:269-276.
9. IDI (Ikatan Dokter Indonesia). Panduan Praktik Klinis bagi Dokter Di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. 2017.
10. Berliner D, Schneider N, et al. The Differential Diagnosis of Dyspnea.
Dtsch Arztebl Int. 2016 Dec; 113(49): 834-845.
11. Bickley LS. Bates Buku Ajar Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan.
Jakarta : EGC. 2003.

35

Anda mungkin juga menyukai