Anda di halaman 1dari 35

STUDI KASUS FARMAKOTERAPI TERAPAN

GAGAL JANTUNG

Kelompok 8:

Ita Husnul Chotimah 192211101055


Navisa Noor Haifa 192211101056
Nimas Ayu Amanda Putri 192211101057
Diana Hanifiyah Sutipno 192211101058
Yesika Yuristi Mahardika 192211101059
Aissa Dinar Yanuariski 192211101060
Ulfi Mawadatur Rohmah 192211101061

PROGRAM STUDI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii


DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ............................................................................................. iv
BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1 Definisi Gagal Jantung.............................................................. 1
1.2 Tanda dan Gejala ...................................................................... 1
1.3 Patofisiologi ............................................................................. 2
1.4 Etiologi..................................................................................... 3
1.5 Faktor Risiko ............................................................................ 5
1.6 Klasifikasi ................................................................................ 6
1.7 Strategi Terapi .......................................................................... 7
1.8 Terapi Farmakologi ................................................................ 10
1.9 Terapi Non Farmakologi ......................................................... 15
BAB 3. PEMBAHASAN ............................................................................. 17
BAB 3. PENUTUP ...................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 30

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. 1 Algoritma terapi gagal jantung stage A dan B menurut ACC/AHA .. 8


Gambar 1. 2 Algoritma terapi gagal jantung stage C menurut ACC/AHA ............ 9
Gambar 1. 3 Terapi gagal jantung menurut NYHA ............................................ 15

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. 1 Etiologi gagal jantung .......................................................................... 4


Tabel 1. 2 Klasifikasi gagal jantung ..................................................................... 6

iv
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Definisi Gagal Jantung


Gagal jantung merupakan suatu sindrom klinis yang kompleks yang
dikarakteristikkan oleh penurunan kemampuan jantung untuk memompa darah.
Berdasarkan sudut pandang fisiologis, gagal jantung didefinisikan sebagai
ketidakmampuan jantung untuk menghasilkan cardiac output yang diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh (Savarese dan Lund, 2016). Gagal
jantung kanan disebabkan ketika terjadi kelainan yang mengakibatkan ventrikel
kanan menjadi lemah seperti hipertensi pulmonal primer atau sekunder dan
tromboemboli. Sedangkan gagal jantung kiri terjadi ketika ventrikel kiri melemah
sehingga dapat meningkatkan tekanan vena pulmonal dan paru-paru yang
menyebabkan sesak nafas dan ortopnea (Sari dkk., 2016).
Gagal jantung menjadi salah satu masalah kesehatan dengan angka
mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Penyakit ini menyerang kurang lebih 26
juta orang di seluruh dunia dan menjadi penyakit pendemik yang dapat diderita
baik penduduk negara maju maupun negara berkembang (Savarese dan Lund,
2016). Pada tahun 2013, di Indonesia prevalensi penyakit gagal jantung
berdasarkan diagnosis dokter diperkirakan sebanyak 229.696 orang. Sedangkan
prevalensi penyakit gagal jantung berdasarkan diagnosis dokter dan gejala
diperkirakan sebanyak 530.068 orang (Anonim, 2014).

1.2 Tanda dan Gejala


Gagal jantung dapat ditunjukkan melalui gejala tipikal seperti sesak nafas,
ortopnea, paroxysmal nocturnal dyspnoe, toleransi aktivitas yang berkurang cepat
lelah, dan bengkak di pergelangan kaki. Tahap awal gagal jantung biasanya tidak
menunjukkan tanda-tanda yang spesifik, akan tetapi jika gagal jantung telah
mencapai tahap akhir maka akan muncul tanda-tanda khas seperti takikardi,
takipnea, ronki paru, efusi pleura, peningkatan vena jugularis, edema perifer dan
2

hepatomegali. Selain itu terdapat tanda objektif seperti gangguan struktur dan
fungsional jantung saat istirahat, kardiomegali, suara jantung ketiga, murmur
jantung, abnormalitas dalam gambaran ekokardiogram, dan kenaikan konsentrasi
peptida natriuretik (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia,
2015). Penderita penyakit gagal jantung diperkirakan lebih banyak terjadi pada
perempuan dibandingkan laki-laki dan banyak ditemukan pada kelompok usia 55-
64 tahun (Anonim, 2014).

1.3 Patofisiologi
Gagal Jantung merupakan sindrom klinik yang disebabkan karena
ketidakmampuan jantung untuk memompa darah dalam jumlah yang tidak
mencukupi kebutuhan metabolik tubuh. Kondisi tersebut disebabkan oleh
kelainan struktur maupun fungsi jantung yang menyebabkan gangguan terhadap
kemampuan pengisian ventrikel (disfungsi diastolik) ataupun kemampuan
ventrikel memompa darah (disfungsi sistolik) (Wells dkk., 2015).
Penyebab disfungsi sistolik (penurunan kontraktilitas) adalah
berkurangnya massa otot (misalnya, infark miokard, dilatasi kardiomiopati, dan
hipertrofi ventrikel. Hipertrofi ventrikel dapat disebabkan oleh tekanan berlebih
(misalnya hipertensi sistemik atau paru dan stenosis katup aorta atau pulmonal)
atau volume berlebih (misalnya, regurgitasi katup, pirau, keadaan keluaran
tinggi).
Penyebab disfungsi diastolik (gangguan pengisian ventrikel) adalah
peningkatan kekakuan ventrikel, hipertrofi ventrikel, penyakit miokard infiltratif,
iskemia miokard dan MI, stenosis katup mitral atau trikuspid, dan penyakit
perikardial (misalnya, perikarditis dan tamponade perikardial). Penyebab utama
gagal jantung adalah penyakit arteri koroner dan hipertensi.
Ketika fungsi jantung berkurang setelah cedera miokard, jantung
bergantung pada mekanisme kompensasi:
1. Takikardia dan peningkatan kontraktilitas melalui aktivasi sistem saraf
simpatis;
3

2. Mekanisme Frank-Starling, di mana peningkatan preload


meningkatkan volume stroke;
3. Vasokonstriksi;
4. Hipertrofi ventrikel dan remodeling.
Namun seiring berjalannya waktu, mekanisme kompensasi untuk
meningkatkan curah jantung tersebut justru memperburuk disfungsi miokard
sampai terjadi perubahan-perubahan maladaptif berupa hipertrofi dinding
ventrikel dan ekspansi volume ventrikel (peningkatan tekanan dinding ventrikel).
Akibat perubahan-perubahan tersebut (terutaman peningkatan tekanan dinding
ventrikel yang berlebihan) menyebabkan apoptosis sel jantung dan profliferasi
jaringan ikat (fibrosis) sehingga kontraktilitas (kemampuan otot jantung
memberikan reaksi terhadap rangsang kontraksi) miokard akan menurun. Proses
yang menyebabkan perubahan maladaptif dalam struktur dan fungsi jantung
disebut proses remodelling jantung.
Proses remodelling jantung ini merupakan proses progresif dan akan
menyebabkan kontraktilitas miokard semakin menurun sehingga curah jantung
juga semakin menurun. Akibatnya terjadi dekompensasi jantung. Oleh karena itu
pengobatan gagal jantung kronik ditujukan untuk mencegah atau memperlambat
progresi remodelling miokard tersebut sedangkan pengobatan gagal jantung akut
ditujukan untuk mengurangi overload cairan, menurunkan resistensi perifer dan
memperkuat kontraktilitas miokard.
Di samping gagal jantung yang low-output tersebut diatas, ada gagal
jantung yang high-output, artinya curah jantung meningkat diatas normal tetapi
tidak memenuhi kebutuhan tubuh akan O2 yang meningkat tinggi, misalnya pada
hipertiroidisme, anemia, shunt atrioventrikular.

1.4 Etiologi
Perubahan struktur atau fungsi dari ventrikel kiri dapat menjadi faktor
predisposisi terjadinya gagal jantung pada seorang pasien, meskipun etiologi
gagal jantung pada pasien tanpa penurunan Ejection Fraction (EF) berbeda dari
4

gagal jantung dengan penurunan EF. Di negara-negara industri, Penyakit Jantung


Koroner (PJK) menjadi penyebab predominan pada 60-75% pada kasus gagal
jantung pada pria dan wanita. Hipertensi memberi kontribusi pada perkembangan
penyakit gagal jantung pada 75% pasien, termasuk pasien dengan PJK. Interaksi
antara PJK dan hipertensi memperbesar risiko pada gagal jantung, seperti pada
diabetes mellitus (Fauci dkk., 2008).
Emboli paru dapat menyebabkan gagal jantung, karena pasien yang tidak
aktif secara fisik dengan curah jantung rendah mempunyai risiko tinggi terjadinya
pembentukan thrombus pada tungkai bawah atau panggul. Emboli paru dapat
berasal dari tekanan arteri pulmonalis lebih lanjut yang dapat memperkuat
kegagalan ventrikel (Eugene, 2008).
Infeksi apapun dapat memicu gagal jantung, demam, takikardi dan
hipoksemia yang terjadi serta kebutuhan metabolik yang meningkat akan memberi
tambahan beban pada miokard yang sudah kelebihan beban meskipun masih
terkompensasi pada pasien dengan penyakit jantung kronik (Eugene, 2008).
Etiologi gagal jantung menurut Longo dkk., (2011) ditunjukkan pada Tabel 1.1.

Tabel 1. 1 Etiologi gagal jantung

DENGAN PENURUNAN EF (40%)


PJK Infark miokard Iskemia miokard
Kenaikan tekanan Hipertensi Penyakit katup obstruktif
Kenaikan volume Penyakit katup regurgitasi Left to right shunting
Extracardiac Kardiomiopati dilatasi non Familial/kelainan genetik
shunting iskemik
Kelainan Kerusakan akibat toksin / obat Penyakit metabolik
infiltrative
Virus Kelainan irama dan detak Penyakit Chagas
jantung
Bradi aritmia Takiaritmia kronis
kronis
Tanpa Penurunan EF (>40-50%)
5

Hipertrofi Primer (kardiomiopati Sekunder (hipertensi)


patologis hipertrofi)
Penuaan Kardiomiopati restriktif Fibrosis
Kelainan Kelainan infiltrative
ensomiokardium (amyloidosis, sarkoidosis)
Pulmonary Heart Disease (PHD)
Cor pulmonale Kelainan pembuluh darah
paru
Output meningkat
Kelainan Tirotoksikosis Beriberi
metabolik
Anemia kronis Aliran darah yang berlebihan Shunt arteri-vena sistemik

1.5 Faktor Risiko


Penyakit jantung koroner pada Framingham Study dikatakan sebagai
penyebab gagal jantung pada 46% laki-laki dan 27% pada wanita (Lip dkk.,
2000). Faktor risiko koroner seperti diabetes dan merokok juga merupakan faktor
yang dapat berpengaruh pada perkembangan dari gagal jantung. Selain itu berat
badan serta tingginya rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL juga dikatakan
sebagai faktor risiko independen perkembangan gagal jantung.
Hipertensi telah terbukti meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung
pada beberapa penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui
beberapa mekanisme, termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri
dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan meningkatkan
risiko terjadinya infark miokard, serta memudahkan untuk terjadinya aritmia baik
itu aritmia atrial maupun aritmia ventrikel. Ekokardiografi yang menunjukkan
hipertrofi ventrikel kiri berhubungan kuat dengan perkembangan gagal jantung
(Lip dkk., 2000).
6

1.6 Klasifikasi
Klasifikasi gagal jantung dibedakan menjadi tahapan sistem gagal jantung
menurut AHA (The American Heart Association) dan kelainan struktural jantung
atau berdasarkan gejala yang berkaitan dengan kapasitas fungsional menurut
NYHA (New York Heart Association). Deskripsi dari kedua klasifikasi tersebut
ditunjukkan pada Tabel 1.2.

Tabel 1. 2 Klasifikasi gagal jantung


Klasifikasi berdasarkan kelainan Klasifikasi berdasarkan kapsitas
struktural jantung fungsional (NYHA)
Stadium A Kelas I
Memiliki risiko tinggi untuk Tidak terdapat batasan dalam
berkembang menjadi gagal jantung. melakukan aktifitas fisik. Aktifitas
Tidak terdapat gangguan struktural fisik sehari-hari tidak menimbulkan
atau fungsional jantung, tidak terdapat kelelahan, palpitasi atau sesak nafas
tanda atau gejala.
Stadium B Kelas II
Telah terbentuk penyakit struktur Terdapat batasan aktifitas ringan.
jantung yang berhubungan dengan Tidak terdapat keluhan saat istrahat,
perkembangan gagal jantung, tidak namun aktifitas fisik sehari-hari
terdapat tanda atau gejala menimbulkan kelelahan, palpitasi atau
sesak nafas
Stadium C Kelas III
Gagal jantung yang simtomatik Terdapat batasan aktifitas bermakna.
berhubungan dengan penyakit Tidak terdapat keluhan saat istrahat,
structural jantung yang mendasari tetapi aktfitas fisik ringan
menyebabkan kelelahan, palpitasi atau
sesak
Stadium D Kelas IV
Penyakit jantung struktural lanjut serta Tidak dapat melakukan aktifitas fisik
gejala gagal jantung yang sangat tanpa keluhan. Terdapat gejala saat
7

bermakna saat istrahat walaupun sudah istrahat. Keluhan meningkat saat


mendapat terapi medis maksimal melakukan aktifitas
(refrakter)
(Sumber: Siswanto dkk., 2015)

1.7 Strategi Terapi


Strategi terapi gagal jantung dapat dilakukan berdasarkan stage.
Pengelompokan gagal jantung beradasarkan tingkat keparahannya dibagi menjadi
4 stage (Parker, 2008).
Pengobatan pada stage A ditekankan pada identifikasi dan modifikasi
faktor risiko agar tidak berkembang dan mengalami kerusakan struktural. Pasien
pada stage ini tidak mengalami kerusakan struktural dan tanpa gejala tetapi
mengalami risiko tinggi terhadap gagal jantung dengan faktor risiko seperti
hipertensi, dislipidemia, diabetes mellitus, dan coronary artery disease (CAD).
Target terapi untuk pasien stage B adalah meminimalkan kerusakan baru
dan mencegah atau memperlambat proses remodelling. Pada pasien ini kerusakan
struktural sudah ada namun belum muncul gejala dari gagal jantung itu sendiri.
Tahap ini termasuk pasien dengan left ventricular hypertrophy atau fibrosis,
pasien dengan riwayat MI, valvular disease, serta pasien left ventricularsystolic
dysfunction.
Pasien stage C mengalami kerusakan struktural serta mempunyai riwayat
gagal jantung. Kebanyakn pasien ini mendapatkan 4 terapi pengobatan yaitu ACE
inhibitor, diuretic, Beta blocker dan digoksin. Tujuan terapi pada stage ini adalah
memperlambat progesivitas gagal jantung, menurunkan mortalitas, dan morbiditas
serta memperbaiki gejala. Pada stage D adalah pasien dengan gejala gagal
jantung pada saat istirahat dan sulit disembuhkan meskipun dengan pengobatan
maksimal (Parker, 2008). Strategi terapi gagal jantung ditunjukkan pada Gambar
1.1.
8

Stage A Stage B

Kontrol faktor resiko Semua terapi pada


kardiovaskuler stage A

Apakah pasien HTN, diabetes,


merokok? hiperlipidemia? Riwayat MI dan atau
asimptomatik left ventricular
systolic dysfunction (EF<
40%)
Dorong pasien Terapi sesuai
berhenti merokok guideline
Inisiasi dan titrasi
ACE inhibitor dan
beta blocker
Apakah pasien mempunyai
arterosklerosis vaskuler
(coroner, serebral, perifer)
diabetes, HTN atau faktor
resiko kardioaskuler lain?

ACE inhibitor

Gambar 1. 1 Algoritma terapi gagal jantung stage A dan B menurut


ACC/AHA
9

Stage C

Inisiasi dan titrasi ACE


inhibitor dan beta
blocker tambah
digoksin
Pemantauan
penimbangan
Overload volume clinic
tambahan
spironolakton

Inisiasi dan titrasi Perbaikan


diuretik gejala

Spironolakton
penambahan ARB
Hospitalisasi utuk
Terapi diuretic
gejala berat
agresif
(pertimbangkan
Overload volume kombinasi loop/
yang persisten tiazid)

Hipertensi yang ARB amlodipine


persisten atau felodipin

Gejala tambahan Nitrat amlodipine


angina atau felodipin

Intoleran ARB
terhadap ACE hidratalazine/
inhibitor nitrat
Gambar 1. 2 Algoritma terapi gagal jantung stage C menurut ACC/AHA
10

1.8 Terapi Farmakologi


Tujuan terapi gagal jantung kongestif adalah untuk meredakan gejala,
menunda perkembangan penyakit, mengurangi perawatan di RS dan tingkat
mortalitas (Hudson et al., 2003). Tindakan dan pengobatan pada gagal jantung
ditunjukkan pada 5 aspek (Ganiswarna, 2005) yaitu :
a. Mengurangi beban kerja jantung
b. Memperkuat kontraktilitas miokard
c. Mengurangi kelebihan garam dan cairan
d. Melakukan tindakan dan pengobatan khusus terhadap penyebab
e. Faktor-faktor pencetus kelainan yang mendasari
Terdapat 3 obat yang menunjukkan efektifitas klinik dalam mengurangi
gejala insufisiensi jantung tapi tidak mengembalikan kondisi patologik yang asli
(Ganiswarna, 1995). Tiga golongan tersebut adalah :

1.8.1 Vasodilator
Vasodilator dapat menurunkan secara selektif beban jantung sebelum
kontraksi, sesudah kontraksi atau keduanya (vasodilator yang seimbang).
a. Vasodilator Parental
Vasodilator parental hendaknya diberikan kepada pasien dengan
kegagalan jantung berat atau tidak dapat diminum obat-obatan oral misalnya
pada pasien setelah operasi.
1. Nitrogliserin
Nitrogliserin adalah vasodilator kuat dengan pengaruh pada vena dan
pengaruh yang kuat pada jaringan pembuluh darah arteri. Penumpukan vena
paru dan sistemik dipulihkan melalui efek tersebut. Obat ini juga merupakan
vasodilator koroner yang efektif sehingga merupakan vasodilator yang lebih
disukai untuk terapi kegagalan jantung pada keadaan infark miokard akut
atau angina tak stabil.
2. Natrium nitropusida
Natrium nitropusida adalah vasodilator kuat dengan sifat- sifat
venodilator kurang kuat. Efeknya yang menonjol adalah mengurangi beban
11

jantung setelah kontraksi dan ini terutama efektif untuk pasien kegagalan
jantung yang menderita hipertensi atau reguitasi katub berat (Kelly dan Fry,
1995).
b. Vasodilator Oral
1. Penghambat ACEI
Penghambat ACEI mengeblok sistem renin angiotensin aldosteron
dengan menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II,
memproduksi vasodilator dengan membatasi angiotensin II, menginduksi
vasokonstriksi dan menurunkan retensi sodium dengan mengurangi sekresi
aldosteron (Massie dan Amidon, 2002). Obat yang serba guna tersebut
menurunkan tahanan perifer sehingga menurunkan afterload, menurunkan
resistensi air dan garam (dengan menurunkan sekresi aldosteron) dan
dengan jalan menurunkan preload (Katzung, 1992). Contoh obatnya yakni
captropil, enalapril, enalaprilat dan lisinopril.
2. Angiotensin Reseptor Blocker (ARB)
ARB merupakan pendekatan lain untuk menghambat sistem RAA
adalah yang akan mengeblok atau menurunkan sebagian besar efek sistem.
Namun demikian agen ini tidak menunjukkan efek penghambat ACEI pada
jalur potensial lain yang memproduksi peningkatan bradikinin,
prostaglandin dan nitrit oksida dalam jantung pembuluh darah dan jaringan
lain. Karena itu, ARB dapat dipertimbangkan sebagai alternatif pendapat
ACEI pada pasien yang tidak dapat menerima ACEI (Massie dan Amidon,
2002). Contoh obat pada golongan ARB yang digunakan dalam terapi gagal
adalah losartan, valsartan, dan candesartan. Ketiga obat tersebut tidak
memiliki interaksi yang berarti dengan obat- obat lain (Stokley, 1996).
3. Beta-Blocker
Beta-Blocker untuk terapi kegagalan jantung bersifat kontroversial
namun dapat efek-efek yang merugikan dari katekolamin pada jantung yang
mengalami kegagalan termasuk menekan reseptor beta pada otot jantung
situasi kegagalan jantung (Kelly dan Fry, 1995). Beta bloker digunakan
pada pasien gagal jantung stabil, ringan, sedang atau berat (Massie dan
12

Amidon, 2002). Obat yang digunakan untuk terapi gagal jantung adalah
karvedilol, bisoprolol dan metoprolol succinate (Hunt et al., 2005).
4. Antagonis Kanal Kalsium
Antagonis Kanal Kalsium secara langsung menyebabkan relaksasi otot
polos pembuluh darah dan penghambat pemasukan kalsium kedalam sel otot
jantung. Kegunaan pokok obat ini dalam terapi gagal jantung adalah berasal
dari pengurangan iskemia pada pasien dengan penyakit jantung koroner
yang mendasari. Semua antagonis kalsium mempunyai sifat inotropik
negatif sehingga digunakan secara berhati- hati pada pasien dengan difungsi
ventrikal kiri (Kelly dan Fry, 1995). Obat-obat golongan tersebut sebaiknya
dihindari kecuali untuk dipakai dalam terapi hipertensi dan angina dan
untuk indikasi tersebut hanya amlodipin yang boleh digunakan pada pasien
gagal jantung (Hunt et al., 2005) Contoh obatnya nifedipine, nicardipine,
diltiazem dan isradipine.
5. Antagonis reseptor adrenergik
Antagonis reseptor adrenergik secara teoritis dapat melawan beberapa
efek yang merugikan yang berkaitan dengan aktivasi kompensasi pada
sistem syaraf simpatik pada kegagalan jantung. Blokade adrenergik alpha
mengurangi vasokonstriksi, resistensi vaskuler sistemik danbeban jantung
sesudah kontraksi dengan melalui antagonisasi efek norepinephrin. Blokade
adrenergik beta untuk terapi kegagalan jantung bersifat kontrosepsial namun
dapat membatasi efek-efek yang merugikan dari catecholamine pada
jantung yang mengalami kegagalan termasuk menekan reseptor beta pada
otot jantung dalam situasi kegagalan jantung. Beberapa jenis antgonis
reseptor dan contohnya, diantaranya :
a. Antagonis reseptor alpha
 Prazosin adalah vasodilator yang seimbang yang mengurangi
tekanan ventrikel kiri dan kanan secara bermakna serta tekanan
darah sistemik.
 Daxozosin adalah obat antagonis reseptor alpha yang digunakan
terhadap hipertensi.
13

b. Antagonis adrenergik beta


6. Nitrat
Nitrat terutama berkhasiat venodilator dan oleh karena ini bermanfaat
untuk menyembuhkan gejala-gejala penumpukan vena dan paru-paru. Obat-
obat golongan ini mengurangi iskemia otot dengan menetralkan tekanan
pengisian ventrikel dan dengan melebarkan arteri koroner secara langsung
(Kelly dan Fry, 1995). Contoh obat golongan ini adalah Isosorbit Mono
Nitrat (ISMN) dan dinitrat (ISND).
7. Hidralazin
Hidralazin adalah obat yang murni mengurangi beban jantung setelah
konstraksi yang bekerja langsung pada otot polos arteri untuk menimbulkan
vasodilatasi. Hidralazin terutama berguna dalam pengobatan reguitasi mitral
kronis dan insufisiensi aorta (Kelly dan Fry, 1995). Hidralazin oral
merupakan dilator arterioral poten dan meningkatkan output kardiak pada
pasien gagal jantung kongestif (Massie dan Amidon, 2002).

1.8.2 Diuretik
Diuretik merupakan cara yang paling efektif meredakan gejala pada pasien
dengan gagal jantung yang kongestif sedang sampai berat. Tujuan dari pemberian
diuretik adalah mengurangi gejala retensi cairan yaitu meningkatkan tekanan vena
jugularis atau edema ataupun keduanya. Diuretik menghilangkan retensi natrium
pada CHF dengan menghambat reabsorbsi natrium atau klorida pada sisi spesifik
di tubulus ginjal. Bumetamid, furosemid, dan torsemid bekerja pada tubulus distal
ginjal (Hunt et al., 2005). Pasien dengan gagal jantung yang lebih berat sebaiknya
diterapi dengan salah satu loop diuretik, obat-obat ini memiliki onset cepat dan
durasi aksinya yang cukup singkat. Manfaat dari terapi diuretik yaitu dapat
mengurang edema pulmo dan perifer dalam beberapa hari bahkan jam. Diuretik
merupakan satu-satunya obat yang dapat mengontrol retensi cairan pada gagal
jantung (Hunt et al., 2005).
Dieuretika dibagi menjadi beberapa jenis, diantaranya :
a. Dieuretika thiazide (hidroklorotiazid, klortalidon, metalazone, indapamide)
14

b. Dieuretika Ansa Henle (furosemide, bumetanide, asam ethacrynat)


c. Dieuretika yang menahan kalium (spironolacton, triamteren, amiloride)

1.8.3 Obat-Obat Inotropik


Obat-obat inotropik positif meningkatkan kontraksi otot jantung dan
meningkatkan curah jantung. Meskipun obat- obat ini bekerja melalui mekanisme
yang berbeda, dalam tiap kasus kerja inotropik adalah akibat penigkatan
konsentrasi kalsium sitoplasma yang memicu kontraksi otot jantung (Mycek et al.,
2001). Beberapa golongan obat intropic, diantaranya :
a. Digitalis glycoside
Digitalis glycoside meningkatkan kontraktilitas miokardium melalui inhibisi
reversible terhadap aktivitas natrium-kalium ATPase pada sarcolemma. Digoxin
paling efektif bila digunakan dalam penatalaksanaan kegagalan jantung: yang
disertai atau disebabkan oleh vibrilasi atau flutter (kepak) atrium atau takikardia
supraventrikuler yang responsif terhadap digoxin. Pada pasien dengan dilatasi
ventrikel kiri dan fungsi sistolik yang terganggu dengan gejala berupa suara
jantung ketiga, fraksi ejeksi yang rendah dan ratio cardio-throracic yang besar.
Obat golongan digitalis ini memiliki berbagi mekanisme kerja sebagai berikut:
 Pengaturan konsentrasi kalsium sitosol
 Peningkatan kontraktilitas otot jantung
b. Agonis β- adrenergic stimuli β-adrenergic
Agonis β- adrenergic stimuli β-adrenergic memperbaiki kemampuan jantung
dengan efek inotropik spesifik dalam fase dilatasi. Hal ini menyebabkan
masuknya ion kalsium ke dalam sel miokard meningkat, sehingga dapat
meningkatkan kontraksi. Contoh obat ini adalah dopamine dan dobutamin (Mycek
et al., 2001).
c. Inhibitor fosfodiesterase
Inhibitor fosfodiesterase memacu konsentrasi intrasel siklik-AMP. Ini
menyebabkan peningkatan kalsium intrasel dan kontraktilitas jantung. Obat yang
termasuk dalam golongan inhibitor fosfodiesterase adalah amrinon dan mirinon
(Mycek et al., 2001).
15

d. Antagonis aldosterone
Antagonis aldosteron termasuk spironolakton dan inhibitor konduktan
natrium diktus kolektifus (triamteren dan amilorid). Obat-obat ini sangat kurang
efektif bila digunakan sendiri tanpa kombinasi dengan obat lain untuk
penatalaksanaan pada gagal jantung. Meskipun demikian, bila digunakan
kombinasi dengan Tiazid atau diuretika Ansa Henle, obat-obat golongan ini
efektif dalam mempertahankan kadar kalium yang normal dalam serum (Kelly
dan Fry, 1995). Terapi obat untuk gagal jantung menurut NYHA ditunjukkan
pada Gambar 1.3.

Gambar 1. 3 Terapi gagal jantung menurut NYHA

1.9 Terapi Non Farmakologi


Penatalaksanaan penderita gagal jantung juga meliputi penalaksanaan
secara non farmakologis disamping terapi farmakologis. Keduanya dibutuhkan
karena akan saling melengkapi untuk penatlaksaan paripurna penderita gagal
jantung (Mariyono dan Santoso, 2007)
16

Penatalaksanaan nonfarmakologis yang dapat dikerjakan antara lain adalah


dengan menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya, pengobatan serta
pertolongan yang dapat dilakukan sendiri. Perubahan gaya hidup seperti
pengaturan nutrisi dan penurunan berat badan pada penderita dengan kegemukan.
Pembatasan asupan garam, konsumsi alkohol, serta pembatasan asupan cairan
perlu dianjurkan pada penderita terutama pada kasus gagal jantung kongestif
berat. Penderita juga dianjurkan untuk berolahraga karena mempunyai efek yang
positif terhadap otot skeletal, fungsi otonom, endotel serta neurohormonal dan
juga terhadap sensitifitas terhadap insulin meskipun efek terhadap kelengsungan
hidup belum dapat dibuktikan (Mariyono dan Santoso, 2007).
Manifestasi klinis gagal jantung yang sering terjadi adalah penurunan
toleransi latihan dan sesak nafas. Kedua kondisi ini menyebabkan
ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari, mengganggu atau membatasi
pekerjaan atau aktivitas yang disukai. Akibatnya pasien kehilangan kemampuan
fungsional. Kapasitas fungsional dapat ditingkatkan, salah satunya dengan
melakukan latihan fisik. Latihan ini meliputi: tipe, intensitas, durasi, dan frekuensi
tertentu sesuai dengan kondisi pasien. Latihan fisik dengan aerobik selama 20-30
menit, 3 kali per minggu dengan intensitas 40-60% dari heart rate reserve, aman
dilakukan pada pasien gagal jantung stabil. Latihan fisik pada pasien gagal
jantung dapat meminimalkan gejala, meningkatkan toleransi latihan, kualitas
hidup, dan mungkin dapat juga memberikan efek yang memuaskan bagi
kesembuhan pasien (Suharsono, 2013)
BAB 2. PEMBAHASAN

Pharmaceutical Care Plan

I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Ny. AR
Umur : 75 Tahun BB: - TB: -
Tanggal MRS : -
Tanggal KRS :-
Diagnosis : ADHF, HF stage C/III, sindrom dispepsia, HT stage II

II. SUBYEKTIF
2.1. Keluhan Pasien :
- Sesak nafas
- Nafas ngos-ngosan
- Batuk berdahak sejak 1 minggu
- Mual muntah selama 3 hari

2.2. Riwayat Penyakit :


-Efusi pleura
-Hipertensi stage II

2.3. Riwayat Pengobatan :


- Kaptopril 3x2 mg

2.4. Riwayat Keluarga/Sosial :


-

2.5. Alergi Obat :


18

III. OBJEKTIF
A. Tanda-tanda vital
Parameter Nilai Normal Tanggal
H1 H2 H3
Suhu (C) 36,5-37,2 C 36,2 C 36,5 C 36,5 C
Tekanan darah < 120-80 mmHg 120/80 mmHg 85/60 mHg 70/45 mmHg
(mmHg)
Nadi (x/menit) 60-100 x/menit 105 x/menit 98 x/menit 88 x/menit
RR (x/menit) 11-20 x/menit 29 x/menit 26 x/menit 22 x/menit

B. Tanda-tanda klinik
Gejala fisik Tanggal
H1 H2 H3
Udema Kaki + + +
Udema Paru-Paru +
Batuk + + +
Sesak + + +
Mual + - -
Volume urin 450 mL

C. Data laboratorium
Parameter Nilai Normal Tanggal
H1 H2 H3
Hb 12-16 g/dL 13,8 g/dL 13,5 g/dL
WBC 4-11 x103/μL 7,9 x103/μL 8,1 x103/μL
Na 135-145 mEq/L 135 mEq/L 138 mEq/L
K 3,5-5 mEq/L 3,7 mEq/L 3,5 mEq/L
Cl 95-105 mEq/L 95 mEq/L 100 mEq/L
19

Ca 8,5-10,5 mg/dL 9,7 mg/dL 9,5 mg/dL


GDA <200 155 mg/dL 185 mg/dL
Saturasi O2 95-100 % 89 % 93 %
BUN 8-20 mg/dL 16 mg/dL 24 mg/dL
SCr 0,6-1,2 mg/dL 1,1 mg/dL 1,8 mg/dL

IV. TERAPI PASIEN


Nama Obat Dosis & rute Tanggal
H1 H2 H3
Furosemid 2x40 mg (iv) 2x40 mg (iv) 2x40 mg (iv)
Omeprazol 1x40 mg (iv) 1x40 mg (iv) 1x40 mg (iv)
Ondansentron 4 mg (iv) prn 4 mg (iv) prn 4 mg (iv) prn
PZ 500 cc 15 tpm (iv) 500 cc 20 tpm (iv) 500 cc 14 tpm (iv)
Kaptopril 3x25 mg (po) 3x25 mg (po) 3x25 mg (po)
ISDN 3x5 mg (po) 3x5 mg (po) 3x5 mg (po)
Dopamin 1 mcg/kg/menit (iv drip)
Diazepam 1x2 mg (po)
CPG 1x75 mg (po)
O2 3L/menit prn 3L/menit prn 3L/menit prn
20

V. ANALISIS SOAP

Problem Medis Subyektif/ Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring
Obyektif
1.ADHF SUBJEKTIF 1. Dopamin Dopamin merupakan obat Dosage too low Plan :
- Udema paru H3= 1 kardiovaskular yang bekerja Setelah pemberian Dosis dinaikkan
dan kaki mcg/kg/menit (iv sebagai agonis reseptor Beta 1. dopamin pada dosis menjadi 5 cg/kg/menit
- Sesak nafas drip) Efek klinis yang diharapkan tersebut, pasien tetap
- Nafas ngos- setelah pemberian dopamin mengalami hipotensi dan Monitoring :
ngosan adalah peningkatan tekanan dapat dilihat dari Monitor tekanan darah
- Batuk darah. Selain itu, pemberian pemeriksaan tekanan darah pasien
berdahak dopamin dalam dosis rendah pasien.
memiliki efek proteksi terhadap
OBJEKTIF renal.
- Hipoksia Dosis dopamin yang
O2 H1= 89 % diindikasikan untuk orang
O2 H2= 93 % dewasa yakni 2-5mcg/kg/min

- Anuria 2. Furosemid Furosemid merupakan Plan:


H2= 450 mL H1-H3= 2x40 mg Diuretik loop (IV) Dosage too low Dosis furosemid
(iv) direkomendasikan untuk Setelah beberapa hari secara intravena 40-80
- Takipnea mengurangi retensi cairan. pemberian furosemid mg dan dapat
H1=29 x/menit terutama udem. Diuretik loop udema kaki dan paru-paru ditingkatkan sebesar
H2=26 x/menit termasuk furosemid, bumetanid, pasien tidak bekurang 80 mg tiap interval 2
H3=22 x/menit torsemid merupakan agen dapat dilihat dari tanda jam hingga efek
banyak digunakan. Dosis fisik dan volume urin yang tercapai
- Takikardi furosemid secara intravena 40- dibawah normal. Monitoring:
H1=105 x/menit 80 mg dan dapat ditingkatkan Monitor kadar
H2=98 x/menit sebesar 20 mg tiap interval 2 jam natrium, kalium, dan
hingga efek tercapai (DIH) klorida
21

(hiponatraemia,
hipokalemia, dan
hipokloremik
alkalosis)

3.PZ PZ merupakan cairan infus Plan:


H1= 500 cc 15 tpm yang mengandung NaCl yang - Penggunaan cairan
(iv) digunakan untuk mengatasi diteruskan.
H2= 500 cc 20 tpm ketidakseimbngan elektrolit.
(iv) Larutan steril injeksi intravena Monitoring:
H3= 500 cc 14 tpm ini digunakan untuk pengobatan Kadar elektrolit
(iv) dehidrasi isotonik ekstraseluler, selama 3-5 hari sekali.
deplesi natrium dan juga dapat
digunakan sebagai pelarut
sediaan injeksi.

Problem Medis Subyektif/ Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring
Obyektif
2. Heart Failure SUBJEKTIF 1. Furosemid Furosemid merupakan Dosage too low Plan:
- Udema paru H1-H3= 2x40 mg Diuretik loop (IV) Setelah beberapa hari Dosis furosemid
dan kaki (iv) direkomendasikan untuk pemberian furosemid secara intravena 40-80
- Sesak nafas mengurangi retensi cairan. udema kaki pasien tidak mg dan dapat
- Nafas ngos- terutama udem. Diuretik loop bekurang dapat dilihat dari ditingkatkan sebesar
ngosan termasuk furosemid, bumetanid, tanda fisik dan volume 80 mg tiap interval 2
- Batuk torsemid merupakan agen urin yang dibawah normal. jam hingga efek
berdahak banyak digunakan. Dosis tercapai
furosemid secara intravena 40-
OBJEKTIF 80 mg dan dapat ditingkatkan Monitoring:
- Hipoksia sebesar 20 mg tiap interval 2 jam Monitor kadar
22

O2 H1= 89 % hingga efek tercapai (DIH) natrium, kalium, dan


O2 H2= 93 % klorida
(hiponatraemia,
- Anuria hipokalemia, dan
H2= 450 mL hipokloremik
alkalosis)
- Takipnea
H1=29 x/menit
H2=26 x/menit 2. Saturasi O2 Indikasi: digunakan untuk Plan :
H3=22 x/menit H1-H3= 3L/menit mengatasi kekurangan O2 dan Tetap melanjutkan
(prn) menurunkan kerja jantung dan penggunaan O2
- Takikardi paru-paru (Aryani, 2009). Secara hingga SO2 dan RR
H1=105 x/menit klinis, tujuan utama pemberian pasien mencapai
H2=98 x/menit O2 adalah untuk mengatasi rentang normal
keadaan hipoksemia,
menurunkan kerja nafas, dan Monitoring :
menurunkan kerja miokard SO2 dan RR
(Harahap, 2004).

Dosis : 2-3 L/menit untuk


mengalirkan oksigen dengan
aliran ringan atau rendah

3. Dopamin Dopamin merupakan obat Dosage too low Plan :


H3= 1 kardiovaskular yang bekerja Setelah pemberian Dosis dinaikkan
mcg/kg/menit (iv sebagai agonis reseptor Beta 1. dopamin, pasien tetap menjadi 5
drip) Efek klinis yang diharapkan mengalami hipotensi dapat mcg/kg/menit
setelah pemberian dopamin dilihat dari pemeriksaan
23

adalah peningkatan tekanan tekanan darah pasien. Monitoring :


darah. Selain itu, pemberian Monitor tekanan
dopamin dalam dosis rendah darah pasien
memiliki efek proteksi terhadap
renal.

4.ISDN ISDN merupakan obat golongan Ineffective Drug Therapy Plan:


H1-H3= 3x5 mg nitrat yang bekerja dengan cara Tekanan darah pasien Terapi ISDN tidak
(po) melebarkan pembuluh darah 70/45 mmHg (tekanan dilanjutkan, dan
darah sistolik < 85 tekanan darah diterapi
mmHg) atau mengalami menggunakan obat
hipotensi sehingga obat inotropik (IV) non
vasodilator seperti ISDN vasodilator seperti
tidak diberikan karena dopamin dengan dosis
dapat mendilatasi 1-5 mcg/kg/menit
pembuluh darah yang untuk meningkatkan
menyebabkan curah jantung dan
bertambahnya penurunan tekanan darah
tekanan darah pasien
Monitoring:
Monitoring EKG
secara kontinyu
karena inotropik dapat
menyebabkan aritmia

5. CPG CPG merupakan obat Unecessary Drug


H3= 1x75 mg (po) antiplatelet yang diindikasikan Therapy Plan:
untuk mengurangi tingkat CPG tidak memiliki Terapi dihentikan
kejadian aterotrombosis (DIH indikasi terhadap heart
24

edisi 7) failure.
5. Diazepam Diazepam merupakan obat
H3= 1x2 mg (po) long-acting benzodiazepines Plan:
atau ansiolitik dan efek sedatif Terapi dilanjutkan
yang mengikat spesifik reseptor
benzodiazepine pada reseptor Monitoring:
GABA. Monitoring HR,
Diazepam disini dindikasikan RR, tekanan darah
sebagai obat penenang bagi
pasien distress akibat syok
kardiogenik.

Problem Medis Subyektif/ Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring
Obyektif
3. Hipertensi 1. Kaptopril Kaptopril merupakan obat Drug Interaction Plan :
antihipertensi golongan ACE Kaptopril memiliki Terapi dihentikan
inhibitor, yang bekerja dengan interaksi dengan golongan dan digantikan
cara menghambat perubahan diuretik yaitu furosemide dengan golongan
angiotensin 1 menjadi yang beresiko ARB yaitu
angiotensin 2 sehingga terjadi menyebabkan hipotensi candesartan dengan
vasodilatasi. Vasodilatasi secara akut berkelanjutan. dosis 1x8 mg/ hari
langsung akan menurunkan (Medscape) (DIH)
tekanan darah

Monitoring :
Tekanan darah
pasien
25

Problem Medis Subyektif/ Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring
Obyektif
4. Sindrom SUBJEKTIF 1. Omeprazol Omeprazol merupakan obat Unnecessary Drug Plan:
dispepsia -Mual H1-H3= 1x40 mg golongan PPI (Proton Pump Therapy Terapi dihentikan
-Muntah (iv) Inhibitor) yang memblokir Pasien sudah tidak karena pasien sudah
sekresi asam lambung dengan mengalami mual dan tidak mengalami mual
menghambat hidrogen kalium muntah muntah
adenosin trifosfatase dalam sel
parietal lambung, menghasilkan
efek antisekresi yang mendalam
dan tahan lama.
Dosis omeprazol untuk
peptic ulcer adalah 20 atau 40
mg/hari (Wells dkk., 2015)

2. Ondansetron Ondansentron merupakan Unnecessary Drug Plan:


H1-H3= 4 mg (iv) obat untuk terjadinya mual Therapy Terapi dihentikan,
prn muntah akibat dilakukannya Pasien tidak mengalami karena pasien tidak
kemoterapi atau pasca mual dan muntah akibat sedang menjalani
operasi(Wells dkk., 2015). kemoterapi atau pasca kemoterapi
operasi
26

Pembahasan :

Pasien Ny. IR yang berusia 75 tahun didiagnosa oleh dokter mengidap


ADHF (Acute Decompensated Heart Failure), HF (Heart Failure), dyspepsia dan
hipertensi stage II. Pasien tersebut memiliki riwayat penyakit hipertensi stage II
dengan riwayat pengobatan kaptopril 3x25 mg. Kondisi hipertensi ini dapat
memperburuk fungsi jantung dan terjadi perubahan-perubahan maladaptif
(perubahan struktur dan fungsi jantung) sehingga menyebabkan penurunan
kontraktilitas miokard (kemampuan sel-sel otot jantung untuk memberikan respon
terhadap rangsang kontraksi). Proses-proses ini bersifat progresif sehingga
menyebabkan tekanan darah juga menurun / hipotensi (Farmakologi dan Terapi
Edisi V, 2012). Keadaan tersebut menyebabkan aliran darah ke ginjal menurun
dan terjadi peningkatan sekresi renin oleh ginjal. Sekresi renin ini akan membantu
terjadinya perubahan dari angiotensinogen hingga berakhir menjadi angiotensin II
yang memiliki beberapa efek utama yaitu sebagai vasokonstriktor kuat dan
sebagai perangsang produksi aldosteron di korteks adrenal. Vasokontriksi akan
menyebabkan peningkatan beban preload dan beban afterload jantung, sedangkan
aldosteron menyebabkan retensi air dan natrium yang akan meningkatkan preload
jantung yang dapat menyebabkan udem. Pada saat MRS, Ny IR juga
menunjukkan gejala gagal jantung seperti takikardi, takipnea, sesak,batuk
berdahak dan juga udem pada paru-paru serta kaki. Oleh karena itu terapi
ditujukan untuk mengurangi overload cairan, menurunkan resistensi perifer dan
memperkuat kontraktilitas miokard. serta mencegah atau memperlambat progresi
remodelling miokard tersebut.
Pada terapi ADHF dan HF, pasien IR mengalami retensi cairan yang
ditandai dengan udema pada paru-paru dan kaki. Sehingga diperlukan terapi
menggunakan obat golongan loop diuretic yaitu Furosemid. Namun dosis
pemberian furosemid terlalu rendah karena udema kaki dan paru-paru pasien
belum juga teratasi dan volume urin yang dikeluarkan sedikit yaitu sebesar
450ml/hari. Sehingga dibutuhkan penambahan injeksi sebesar 80 mg tiap interval
2 jam hingga efek tercapai. Kadar elektrolit dan udem pada paru-paru dan jantung
27

harus selalu dimonitoring. Untuk menjaga kestabilan elektrolit pasien dibutuhkan


tambahan infus PZ (NaCl) 500 cc 15 tpm .
Pasien IR juga mendapatkan terapi berupa ISDN sebesar 3x5 mg (po).
ISDN merupakan golongan nitrat yang bekrja dengan cara melebarkan pembuluh
darah. Sedangkan tekanan darah sistolik pasien kurang dari 85 mmHg sehingga
terapi vasodilator seperti ISDN tidak diberikan/ dihentikan karena dapat
mendilatasi pembuluh darah yang menyebabkan tekanan darah pasien semakin
menurun. Sebagai penggantinya pasien diterapi menggunakan obat inotropic (iv)
non vasodilator seperti dopamin untuk meningkatkan curah jantung dan tekanan
darah. Dopamin yang merupakan obat kardiovaskuler diberikan dengan tujuan
mengatasi hipotensi / meningkatkan tekanan darah untuk meningkatkan
kontraktilitas miokard jantung dengan dosis 2-5 mcg/kg/menit untuk pasien
dewasa, namun pada pemberiannya dosis dopamine yang diberikan hanya sebesar
1 mcg/kg/menit. Sehingga perlu ditingkatkan dosisnya menjadi 5mcg/kg/menit,
dengan melakukan monitoring tekanan darah pasien.
Untuk pasien IR yang mengalami gagal jantung mengalami kekurangan
oksigen yang ditandai dengan sesak nafas, saturasi oksigen kurang dari nilai
normal, dan takipnea sehingga perlu diterapi menggunakan saturasi O 2 3L/ menit.
Pasien IR mendapatkan terapi diazepam sebagai obat ansietas bagi pasien distress
akibat syok cardiogenic pada hari ketiga dengan dosis terkecil yaitu 2 mg dan
terus melakukan.l monitoring tekanan darah, RR dan HR pasien. Selain itu, pasien
juga mendapatkan terapi CPG (clopidrogel) yang merupakan obat antiplatelet dan
diindikasikan untuk mengurangi tingkat kejadian aterotrombosis, namun pada
kasus ini CPG tidak memiliki indikasi terhadap gagal jantung sehingga terapi
dihentikan.
Gagal jantung yang diderita oleh pasien merupakan akibat dari riwayat
penyakit hipertensi yang diderita pasien. Sehingga, perlu adanya terapi
antihipertensi guna menjaga kestabilan tekanan darah. Pada pasien tersebut
diberikan obat ACE inhibitor yakni kaptropil sedangkan kaptropil memiliki
interaksi dengan furosemide yang menyebabkan hipotensi akut berelanjutan,
28

sehingga terapi kaptropil diganti dengan obat golongan ARB yaitu candesartan
dengan dosis 1x 8 mg/hari.
Pasien IR juga mengalami mual muntah dan didiagnosis terkena sindrom
dyspepsia sehingga perlu diterapi menggunakan obat golongan PPI yaitu
omeprazole untuk mengatasi mua muntah tersebut, namun pada hari ke 2 pasien
sudah tidak menunjukkan gejala mual muntah sehingga terapi omeprazole dapat
dihentikan. Selain itu pasien juga mendapat terapi berupa ondansetron yang
merupakan obat mual muntah untuk pasien kemoterapi atau pasca operasi,
sedangkan pasien IR tidak sedang menjalani kemotarpi maupun pasca operasi
sehingga tidak dibutuhkan terapi ondansetron.
29

BAB 3. PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Ny. IR yang didiagnosa ADHF, HF dyspepsia dan hipertensi perlu
mendapatkan terapi dengan dopamine, furosemide, infuz Pz, O2, candesartan,
diazepam, omeprazole dan ondansetron. Beberapa hal penting yang perlu
diperhatikan selama terapi pada Ny. IR adalah tekanan darah, heart rate,
respiratory rate, dan kadar elektrolit dalam tubuh. Hb pasien mengalami
penurunan namun belum signifikan, sehingga dapat dilakukan terapi
menggunakan suplemen Fe.
30

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2014. Infodatin: Situasi Kesehatan Jantung. Jakarta

Aryani, R. 2009. Prosedur Klinik Keperawatan Pada Mata Ajar Kebutuhan


Dasar Manusia. Jakarta: C.V. Trans Info Media.

Eugene, B. 2008. Braunwald’s Heart Disease. Edisi 8. Philadelphia: Saunders


Elsevier.

Fauci, A., D. Kasper, D. Longo, E. Braunwald, S. Hauser, dan J. Loscalzo. 2008.


Harrison’s Principles of Internal Medicine. Edisi 17. United States of
America: Mcgraw-hil.

Ganiswarna, S.G. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Universitas Indonesia.


Jakarta.

Harahap, I. A. 2004. Terapi Oksigen Dalam Asuhan Keperawatan. Sumatera


Utara: Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.

http://reference.medscape.com/drug/intropin-dopamine-342435. [Diakses pada 3


September 2019].

Hudson,S.A.,McAnaw,J. AndReid,F. 2003. Congestive Heart Failure in Walker,


R., and Edward,C. Clinical pharmacy and therapeutic (3rd edition). 279-288.
United Kingdom: Churchill Livingstone.

Hunt SA, Abraham WT, Chin MH et al. ACC/AHA 2005 guideline update for the
diagnosis and management of chronic heart failure in the adult. American
College of Cardiology/ American Heart Association Task Force on Practice
Guidelines (Writing Committee to Update the 2001 Guidelines for the
Evaluation and Management of Heart Failure) Circulation.
2005:112(12):e154-e235

Indonesia, P. D. S. K. 2015. Pedoman Tata Laksana Gagal Jantung. 2015.

Katzung, B.G. 1992. Basic and Clinical Pharmacology. 5th Edition. Norwalk:
Appleton and Lange.

Lip, G., C. Gibbs, dan D. Beevers. 2000. Abc of heart failure: aetiology. British
Medical Journal. 320:104–107.

Longo, D., D. Kasper, J. Jameson, A. Fauci, J. Loscalzo, dan S. Hauser. 2011.


Harrison’s Principles of Internal Medicine. Edisi 18. New York:
31

McGrawHill.

Mariyono, H. H. dan A. Santoso. 2007. Gagal jantung. I Penyakit Dalam.


8(3):85–94.

Mcmurray, J. J. V, C. Uk, S. D. A. Germany, A. Auricchio, M. Bo, L. K.


Denmark, G. Y. H. L. Uk, A. Pietro, B. A. Popescu, dan F. H. Rutten. 2012.
ESC guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart
failure 2012. European Heart Journal. 33:1787–1847.

Myeck, M.J. 2001. Farmakologi. Edisi II. Jakarta: Widya Medika

Parker, R.B., Patterson, RJ and Jonhnson. 2008. Heart Failure, Pharmacoterapy


A pathophysiologic Approach 7th Editin. 230-244. New York : The MCgraw-
Hill Companies.

Sari, P. D., A. Yonata, dan B. Swadharma. 2016. Penatalaksanaan gagal jantung


nyha ii disertai pleurapneumonia pada laki-laki usia 38 tahun treatment of
congestive heart failure of nyha ii with pleurapneumonia in thirty eight years
old man. Jurnal Medula Unila. 6:114–119.

Savarese, G. dan L. H. Lund. 2016. Global public health burden of heart failure.
Epidemiology. 110–112.

Siswanto, B. B., N. Hersunarti, Erwinanto, B. Rossana, R. S. Pratikto, S. E. Nauli,


dan anggia C. Lubis. 2015. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. Edisi 1.
PERKI.

Stockley, I.H. 2008. Stockley’s Drug Interaction. Eight Edition. Hal 1-9. Great
Britain: Pharmaceutical Press.

Suharsono, T. 2013. Dampak home based exercise training terhadap kapasitas


fungsional pasien gagal jantung. Jurnal Keperawatan. 4(1):63–68.

Wells, B. G., T. D. Joseph, T. . Schwinghammer, dan C. V DiPiro. 2015.


Pharmacotherapy Handbook

Anda mungkin juga menyukai