Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN KEGIATAN

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR (KKS)

UPDATE JAPANESE ENCEPHALITIS

Disusun Oleh :

Mohd.Fikra Triwijaya 711608911042


Muhammad Andy Yusuf 71160891982
Fithratul Hayana 71160891962
Arnila Melina 71160891943
Aghnia Rahmi 71160891764
Sy.Bellia Kharisma 71170891239
Siti Rika Mardyna Pohan 71170891054
Bambang Swedy Pardede 71170891010

Pembimbing
dr. Indah Maya Sari

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
i

LEMBAR PERSETUJUAN

Laporan Kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior Ilmu Kesehatan Masyarakat/Ilmu

Kedokteran Pencegahan/Ilmu kedokteran Komunitas,Fakultas Kedokteran

Universitas Islam Sumatera Utara di Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Kelas I

Medan 15 oktober s.d 27 Oktober 2018 telah disetujui pada :

Hari/Tanggal : Oktober 2018

Judul : “UPDATE JAPANESE ENCEPHALITIS”

Penulis :
Mohd.Fikra Triwijaya 711608911042
Muhammad Andy Yusuf 71160891982
Fithratul Hayana 71160891962
Arnila Melina 71160891943
Aghnia Rahmi 71160891764
Sy.Bellia Kharisma 71170891239
Siti Rika Mardyna Pohan 71170891054
Bambang Swedy Pardede 71170891010

Diketahui
a.n Kepala KKP Kelas I Medan Pembimbing
Ketua Tim Diklat

Natalina F Simanjuntak,SKM,M.Kes dr. Indah Maya Sari


NIP. 197012231994032002 NIP. 198312282010122001

i
ii

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena
atas rahmat, berkah dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan laporan ini
dengan baik dan tepat pada waktu nya.

Adapun tujuan dari penyusunan laporan ini adalah untuk melengkapi syarat
Kepaniteraan Klinik Senior pada departemen Ilmu kesehatan masyarakat Fakultas
Kedokteran Islam Sumatera Utara. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terimakasih kepada :

1. Kepala Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Medan Priagung Adhi


Bawono,SKM,M.Med,SC(PH)
2. Kepala Diklat Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Medan Natalina F.
Simanjuntak,SKM,M.Kes
3. Pembimbing dr. Indah Maya Sari yang telah meluangkan waktunya untuk
memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan laporan ini
4. Seluruh Staff Pengajar dan Pegawai Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I
Medan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan,


maka dari itu penulis mengharapkan segala saran dan pendapat yang dapat
membangun dari berbagai pihak. Semoga laporan ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Oktober 2018


Hormat Kami

Penulis
i

DAFTAR ISI

Halaman
LEMBAR PERSETUJUAN .............................................................................. i
KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... v
DAFTAR TABEL ............................................................................................. vi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2. Tujuan Penulisan .............................................................................. 2
1.3. Manfaat Penulisan ............................................................................ 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................... 5
2.1. Definisi Japanese Encephalitis ....................................................... 5
2.2. Epidemiologi .................................................................................. 5
2.3. Etiologi ........................................................................................... 6
2.4. Patogenesis ..................................................................................... 8
2.5. Masa Inkubasi ............................................................................... 11
2.6. Transmisi ....................................................................................... 11
2.7. Gejala Klinis .................................................................................. 12
2.8. Diagnosa ........................................................................................ 15
2.9. Anamnesa ...................................................................................... 15
2.10. Pemeriksaan Fisik ......................................................................... 15
2.11. Pemeriksaan Penunjang................................................................. 16
2.12. Penatalaksanaan ............................................................................ 17
2.13. Pencegahan .................................................................................... 19
2.14. Komplikasi .................................................................................... 21
2.15. Prognosis ....................................................................................... 22
BAB III PEMBAHASAN ................................................................................ 24
3.1. Sejarah Singkat Japanese Encephalitis ............................................ 24
3.2. Japanese Encephalitis di Malaysia .................................................. 24

iii
iv

3.3. Japanese Encephalitis di Indonesia ................................................. 29


3.4. Penanggulangan Japanese Encephalitis di Indonesia ...................... 32
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................... 33
4.1. Kesimpulan...................................................................................... 33
4.2. Saran ................................................................................................ 34
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 35
i

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman


Gambar I Siklus hidup Japanese Encephalitis ............................................ 10
Gambar II Patogenesis Japanese Encephalitis.............................................. 11
Gambar III Kasus Japanese Encephalitis dari waktu ke waktu di Malaysia . 26
Gambar IV Perjalanan Japanese Encephalitis dari Perak ke Negeri
Sembilan,Malaysia ...................................................................... 27
Gambar V Kejadian Japanese Encephalitis di Indonesia dari Tahun 1960
sampai Tahun 2016 ..................................................................... 30

v
vi

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman


Gambar I Perjalanan Japanese Encephalitis di Malaysia ............................ 24
i

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Japanese Encephalitis (JE) adalah penyakit radang otak (Ensefalitis) yang


disebabkan oleh virus JE. Manusia dapat terinfeksi virus JE karena ini merupakan
penyakit bersumber binatang (zoonosis) yang ditularkan melalui vektor penyebar
virus JE yaitu nyamuk Culex yang terinfeksi virus JE. Jenis nyamuk ini
merupakan yang biasa ditemukan di sekitar rumah antara lain area persawahan,
kolam atau selokan (daerah yang selalu digenangi air). Sedangkan reservoir nya
adalah babi, kuda dan beberapa spesies burung. Nyamuk Culex sifatnya
antrosoofilik yang tidak hanya menghisap darah binatang tapi juga darah manusia,
karena itulah melalui gigitan nyamuk dapat terjadi penularan JE dari hewan
kepada manusia. Namun, manusia merupakan dead-end host untuk JE, artinya
manusia tidak menjadi sumber penyebaran virus JE( Depkes,2018).

Penyakit ini pertama dikenal pada tahun 1871 di Jepang diketahui


menginfeksi sekitar 6000 orang pada tahun 1924, kemudian terjadi KLB besar
pada tahun 1935; hampir setiap tahun terjadi KLB dari tahun 1946-1950. Virus
Japanese encephalitis pertama diisolasi pada tahun 1934 dari jaringan otak
penderita encephalitis yang meninggal. Penyakit ini endemik di daerah Asia,
mulai dari Jepang, Filipina, Taiwan, Korea, China, IndoChina, Thailand,
Malaysia, sampai ke Indonesia serta India. Diperkirakan ada 35.000 kasus
Japanese encephalitis di Asia setiap tahun. Angka kematian berkisar 20-30%.
Anak usia1-15 tahun paling sering terinfeksi (Maha, 2012).

Di Indonesia, penelitian penyakit Japanese encephalitis sudah dilakukan


sejak 1975, menunjukkan seroprevalensi sebesar 10-75%. Japanese encephalitis
pertama diisolasi dari nyamuk pada tahun 1972, didaerah Bekasi. Survai di rumah
sakit Sanglah Bali pada tahun 1990-1992 atas 47 kasus encephalitis menemukan
19 kasus serologi positif terhadap Japanese encephalitis. Survei sama pada 2001-
2

2002 atas 262 kasus ensefalitis menemukan 112 kasus (42,7%) positif dengan
angka kematian (mortality rate) 16% dan angka kecacatan (sequelae rate)
53,12%.Laporandari rumah sakit yang sama (1997) atas 12 pasien dengan
diagnosis encephalitis didapat 2 kasus positif Japanese encephalitis. Penyakit ini
dapat dicegah dengan vaksinasi; beberapa negara seperti Thailand sudah
memasukkan imunisasi Japanese encephalitis kedalam program rutin—kasus
ensefalitis turun bermakna dari 14,7 per 100.000 penduduk menjadi 1 per 100.000
penduduk. Beberapa daerah di Indonesia menunjukkan sekitar 11-67% seropositif
(1993-2000). Pemeriksaan menggunakan uji HI (HemaglutinationInhibition) dan
uji ELISA. (Maha, 2012)

Jumlah kasus JE di Indonesia Tahun 2016 yang dilaporkan sebanyak 326


kasus. Kasus terbanyak dilaporkan terdapat di Provinsi Bali dengan jumlah
kasus 226 (69,3%). Penularan virus tersebut sebenarnya hanya terjadi antara
nyamuk, babi, dan atau burung rawa. Manusia bisa tertular virus JE bila tergigit
oleh nyamuk Culex Tritaeniorhynchus yang terinfeksi. Biasanya nyamuk ini lebih
aktif pada malam hari. Nyamuk golongan Culex ini banyak terdapat di
persawahan dan area irigasi. Kejadian penyakit JE pada manusia biasanya
meningkat pada musim hujan. Di Bali, tingginya kejadian Japanese Encephalitis
dikaitkan dengan banyaknya persawahan dan peternakan babi di area tersebut,
tutur Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan, dr. Elizabeth Jane Soepardi,
MPH, Dsc, dalam keterangannya kepada Biro Komunikasi dan Pelayanan
Masyarakat Kemenkes RI (Depkes, 2017)

Tahun 2014 Kemenkes bekerja sama dengan WHO mengembangkan


surveilans sentinel JE di Bali dan empat provinsi berisiko lainnya. Tahun 2016,
surveilans sentinel JE dikembangkan sehingga menjadi 11 provinsi. Data
surveilans kasus JE di Indonesia tahun 2016 menunjukkan bahwa terdapat
sembilan provinsi yang melaporkan adanya kasus JE, diantaranya adalah Provinsi
Bali, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, DKI Jakarta, DI
Yogyakarta, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan Kepulauan Riau. Hasil
surveilans sentinel 2016 di 11 provinsi menunjukkan bahwa terdapat 326 kasus
i

AES dengan 43 kasus (13%) diantaranya positif JE. Sebanyak 85% kasus JE di
Indonesia terdapat pada kelompok usia 15 tahun dan 15% pada kelompok usia
>15 tahun. Kasus JE terbanyak terdapat di provinsi Bali. (Depkes,2018)

Di Sumatera Utara belum pernah ditemukan kasus Japanese Ensephalitis.


Sehingga Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara (Sumut) belum dapat
memastikan jika Sumut bakal melakukan vaksinasi terhadap penyakit Japanese
Encephalitis (JE) atau radang otak Jepang seperti yang saat ini tengah dilakukan
oleh Provinsi Bali.( Medan Bisnis,2018).

Berdasarkan data yang telah dipaparkan diatas, maka penulis ingin


mengetahui tentang Update Japanase Enephalitis.

1.2 Tujuan Penulisan

1.2.1 Tujuan Umum


Untuk mengetahui Update Japanese Encephalitis

1.2.2 Tujuan Khusus


a. Untuk mengetahui definisi dan etiologi Japanese Encephalitis.

b. Untuk mengetahui epidemiologi dari Japanese Encephalitis.

c. Untuk mengetahui Penanggulangan Japanese Encephalitis di


Indonesia.

1.3 Manfaat Penulisan

Manfaat yang diharapkan dari penulisan ini adalah

a. Bagi Penulis

Sebagai penambahan wawasan mengenai data terupdate Japanese


Encephalitis

b. Bagi Masyarakat dan Traveler

Sebagai penambahan wawasan dan dapat melakukan pencegahan untuk


penyakit yang disebabkan oleh Japanese Encephalitis.
4

c. Bagi Kantor Kesehatan Pelabuhan

Sebagai penambahan wawasan sehingga dapat meningkatkan upaya


deteksi dini dan penanggulangan terhadap Japanese Encephalitis.
i

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Japanese Encephalitis


Japanese Encephalitis (JE) merupakan penyekit infeksi akut pada susunan
saraf pusat (SSP) yang di tularkan melalui nyamuk yang terinfeksi virus JE. Virus
JE termasuk dalam famili flavivirus. Penyakit ini pertama kali dikenal pada tahun
1871 di Jepang dan diketahui menginfeksi sekitar 6.000 orang pada tahun 1924.
Virus JE pertama kali diisolasi pada tahun 1934 dari jaringan otak penderita
ensefalitis yang meninggal (Rampengan, 2016).
Japanese encepalitis adalah infeksi neurologik yang berkaitan erat dengan
St. Louis encephalitis dan West Nile encephalitis. Virus JE menyebar terutama di
daerah pedesaan (rural) di Asia (Rampengan, 2016).

Japanese encephalitis merupakan penyakit radang otak yang di sebabkan oleh


virus JE. Manusia dapat terinfeksi virus JE ini merupakan penyebaran bersumber
binatang (zoonosis) yang di tularkan melalui vektor penyebar virus JE yaitu
nyamuk Culex yang terinfeksi virus JE. Jenis nyamuk ini merupakan yang biasa
di temukan di sekitar rumah antara lain area persawahan, kolam atau selokan
(daerah yang selalu di genangin air). Sedangkan reservoarnya adalah babi, kudan
dan beberapa spesies burung (Kementerian Kesehatan RI, 2017) .
2.2 Epidemiologi
Epidemiologi JE telah banyak dilaporkan di berbagai negara di Asia
seperti Kamboja, Cina, India, Jepang, Nepal, Filipina, Thailand , Vietnam,
Malaysia, Burma, Taiwan, Rusia (Siberia maritim), Bangladesh, Laos, Srilanka,
Korea, Australia, Brunei, Pakistan, Papua Nugini dan Kepulauan Pasific (Sendow
I., Bahri S., 2005)..

Indonesia merupakan negara kepulauan dan negara agraris, dimana


sebagian besar mata pencarian penduduknya dari bertani, seperti menanam padi di
sawah yang luas dengan populasi yang padat, yang apabila disertai dengan
banyaknya populasi babi di sekitarnya, maka akan sangat beresiko munculnya
6

wabah (meningkatnya kejadian) JE pada manusia. Migrasi nyamuk dari satu pulau
ke pulau lain sering terjadi, bahkan migrasi nyamuk dari satu negara ke indonesia
atau sebaliknya dapat terjadi (Sendow I., Bahri S., 2005).

Dari data tersebut dapat di artikan bahwa virus JE yang terdapat di


kawasan Asia, yang dekat dengan Indonesia, merupakan satu kelompok populasi
yang penyebarannya melalui siklus vektor nyamuk-babi, merupakan asal virus JE
(Sendow I., Bahri S., 2005).

Secara global , lebih dari 45.000 kasus di laporkan setiap tahun, walaupun
kemungkinan telah terjadi penurunan perkiraan ensiden lokal bervariasi muali dari
1-10 kasus per 100.000 orang, tetapi bisa mencapai lebih dari 100 kasus per
100.000 pada saat outbreak. Nyamuk Culex yang sangat padat. Keparahan infeksi
yang terjadi menjadi faktor penting untuk mempromosikan vaksinasi sebagai
pencegahan utama penyakit JE (Rampengan, 2016).

Rasio infeksi virus JE asimtomatik dengan infeksi simtomatik bervariasi


yaitu 25-1000 berbanding 1. Rasio kasus JE simtomatis pada pria dan wanita
1,5:1. Ditemukan bukti adanya infeksi virus JE dari pemeriksaan serologik pada
hampir seluruh penduduk usia dewasa muda di daerah pedesaan negara endemis.
Japanese encephalitis menyerang semua umur, namun infeksi simtomatis paling
sering terjadi pada anak-anak berusia 2 tahun hingga 10 tahun dan pada kelompok
geriatri (usia lebih dari 60 tahun). Pada daerah non endermis, infeksi virus JE
tidak memiliki predileksi usia. Penyakit JE relatif jarang terjadi di antara para
turis yang berpergian ke daerah endermis dalam jangka pendek dan ke daerah
urban yaitu <1 per 1 juta turis. Individu yang berisiko ialah turis yang menetap di
negara endermis dalam jangka panjang di daerah pedesaan di negara endemis
(Rampengan, 2016).

2.3 Etiologi
Virus JE termasuk dalam genus flavivirus, single-stranded ribonucleid
acid (RNA) dan merupakan salah satu etiologi ensefalitis arboviral yang paling
signifikan. Virus JE ditransmisikan ke manusia lewat gigitan nyamuk Culex yang
i

terinfeksi, paling sering ialah nyamuk Culex tritaeniorhynchus. Vektor Culex


lainnya ialah Culex vishnui (India), Culex gelidus dan Culex fuscocephala
(Thailand, India, Malaysia) (Rampengan, 2016).

Nyamuk tersebut sangat aktif pada sore dan malam hari sehingga resiko
infeksi JE paling tinggi pada waktu tersebut. Nyamuk berkembang baik di tempat-
tempat penampungan air terutama daerah persawahan sehingga meningkatkan
resiko infeksi pada daerah pedesaan (Rampengan, 2016)

Manusia dan mamalia lainnya seperti kuda merupakan inang terakhir


dimana terjadi low grade viremia dan jangka pendek. Babi dan burung akuantik
ialah inang perantara dimana terjadi high grade viremia dan persisten serta
menjadi resevoir utama virus JE. Kuda dan babi muda dapat mengalami gejala
klinis dengan spektrum gejala menyerupai manusia seperti demam, gangguan
gerakan, dan konfusi (Rampengan, 2016).

Japanese encephalitis disebabkan oleh virus JE, yang termasuk Arbovirus


grup B, genus flavivirus, family flaviviriadae. Virus ini berbentuk sferis dengan
diameter 40-60 nm, inti virion terdari RNA rantai tunggal yang sering bergabung
dengan protein disebut nukleoprotein. Sebagai pelindung inti virion terdapat
kapsid yang terdiri dari polipeptida tersusun simetri ikosahedral yaitu bentuk tata
ruang yang dibatasi oleh 20 segi sama sisi, mempunyai aksis rotasi berganda. Di
luar kapsid tersebut terdapat selubung. Virus realtif labil terhadap demam, rentan
terhadap berbagai pengaruh desinfektan, deterjen, pelarut lemak dan enzim
proteolitik. Infektivitasnya paling stabil pada Ph 7-9 namun dapat diinaktifkan
oelh radiasi elektromagnetik, eter, dan natrium deoksikolat (Rampengan, 2016).

Terdapat 4 varian genotipe utama virus JE yaitu isolat virus JE tipe I


(diidentifikasi di China, India, Jepang, Nepal, Srilanka, Taiwan dan Vietnam)
isolat virus JE tipe II (diidentifikasi di Kamboja dan Thailand selatan, penyebaran
genotipe ini yang paling luas di banding genotipe lain) dan isolat virus JE tipe IV
(diidentifikasi di Indonesia dan Malaysia) (Rampengan, 2016).
8

2.4 Patogenesis
Jalannya infeksi Japanese Encephalitis Virus, dimulai dari masuknya virus
sampai mencapai tempat sasarannya, sistem saraf pusat (SSP), tidak terdefinisi
dengan baik. Studi lain yang dilakukan terhadap flavivirus telah mengarah pada
keyakinan bahwa setelah masuk melalui gigitan nyamuk, virus ini menginfeksi sel
dendrit Langerhan di kulit.

kemudian dibawa ke kelenjar getah bening yang terdekat, sehingga


muncul respon kekebalan awal. Sayangnya untuk host, kekebalan ini tidak cukup
untuk melawan virus dan menyebar ke organ limfoid sekunder sebelum memasuki
sirkulasi darah melalui sistem limfatik eferen.(Dutta, Rangarajan, Vrati, & Basu,
2010)

Selama masa viremia transien organ perifer seperti ginjal, hati dan limpa
diketahui terinfeksi, setelah itu flavivirus neurotropik menyebar ke SSP.
Permasalahan bagaimana JEV berhasil menghindari respon imun perifer dari host
adalah masalah spekulasi lainnya, karena tidak ada studi definitif mengenai aspek
ini, sampai saat ini. Setelah virus menghindar dari sistem kekebalan tubuh, ia
melintasi sawar darah otak (BBB) untuk memasukkan CNS.(Dutta et al., 2010)

JEV dapat melintasi BBB dengan transpor pasif di endotelium, dengan


replikasi aktif dalam sel-sel endotel, atau dengan mekanisme 'kuda Trojan' di
mana virus dibawa ke otak oleh sel-sel inflamasi yang terinfeksi. Monosit dan
makrofag dianggap sebagai pembawa kemungkinan virus ke dalam CNS karena
penelitian telah menunjukkan bahwa virus dapat bertahan untuk waktu yang lama
dan secara efektif bereplikasi didalamnya sel 19,20 (Dutta et al., 2010).

Integritas struktural dan fungsional dari BBB sangat dikompromikan


selama JE21 yang mungkin mungkin disebabkan oleh matriks metaloprotease
yang dilepaskan diotak yang terinfeksi JE22. Karena gangguan fungsi BBB, sel-
sel peradangan perifer direkrut ke otak yang terinfeksi pada tahap selanjutnya dari
JE yang memperburuk kerusakan.(Dutta et al., 2010)
i

JEV menyebabkan kerusakan saraf yang luas di otak, meskipun dalam


banyak kasus, virus ini mungkintidaksecaralangsungterlibat dalam penghancuran
jaringan otak tetapi dapat menyebabkan kerusakan secara tidak langsung dengan
memicu respon imun yang dimediasi sel dengan mengaktifkan mikroglia.
Mikroglia adalah sel-sel kekebalan tubuh dari SSP dan memiliki peran penting
dalam pertahanan tuan rumah melawan serangan mikroorganisme (Dutta et al.,
2010).

Aktivasi mikroglial dipandang sebagai respon adaptif mikroglia


melepaskan faktor neuroprotektif untuk memfasilitasi pemulihan neuron yang
terluka dan mereka juga fagositosis neuron mati atau rusak, sebelum mereka
melisiskan dan melepaskan agen beracun ke daerah sekitarnya.Infeksi JEV terjadi
telah ditunjukkan untuk mengaktifkan mikroglia baik secara morfologis dan
fungsional, in vivo, yang mengarah pada peningkatan mediator , RANTES dan
MCP-1.proinflamasi, seperti IL-6, TNF- Mediator proinflamasi dan sitotoksin
yang dilepaskan dari mikroglia aktif ini berperan dalam memicu kematian
neuronal yang menyertai JE.(Dutta et al., 2010)

Gejala klinis yang ditimbulkan antara lain demam yang tinggi,muntah,


nyeri kepala, kejang dan kekakuan, kelumpuhan, bahkan pada stadium lanjut
dapat menimbulkan gangguan kesadaran (koma) yang dapat berakibat fatal.(Bahri
& Sarosa, 2000)
10

Gambar I . Siklus hidup Japanese Encephalitis


Siklus replikasi virus JE dimulai dari interaksi virus JE dengan reseptor
selinang, kemudian endositosis yang diperantarai oleh reseptor, fusi darimembran
virus dan sel inang, pelepasan genom virus sitoplasmik dan dilanjutkan oleh
proses transkripsi dan pre-translasi. Maturasi partikel virus terjadi di dalam
kompleks Golgi, diikuti oleh pelepasan virus JE.(Rampengan, 2016)
Bentuk subklinis atau ringan dari penyakit JE menghilang dalam beberapa
hari, jika tidak melibatkan SSP. Pada kasus tersebut, infeksi bisa tidak
menimbulkan gejala dan tetap tidak terdeteksi. Pada kasus lainnya, dimana terjadi
invasi virus JE ke SSP yang disebabkan oleh pertumbuhan virus sepanjang sel
endotelial vaskular, menyebabkan keterlibatan sejumlah besar area di otak
termasuk talamus, ganglia basal, batang otak, serebelum khususnya destruksi sel
Purkinje serebelum, hipokampus, dan korteks serebri. Infeksi persisten dan
transmisi kongenital dapat terjadi.Semakin tinggi level sitokin tertentu seperti
interferon (IFN) alfa, interleukin(IL) 6dan IL8, maka semakin tinggi tingkat
mortalitasnya.(Rampengan, 2016)
i

Supresi Sitokin Virus Japanese


Spesifik Encephalitis

Talamus,ganglia Menyerang host


basal, batang melalui gigitan
otak, serebellum vektor nyamuk
(sel purkinje) cullex sp.

virus
Invasi Japenese
memperbanyak
Ensefalitis
diri didaerah
Virus Ke Sistem
gigitan dan
saraf Pusat
nodus limf.

Respon hyper-
Interaksi virus
inflamatory
dengan reseptor
Penyebaran
sel inang.
Hematogen

Gambar II. Patogenesis Japanese Encephalitis


2.5 Masa Inkubasi
Gejala dapat muncul 5-15 hari setelah gigitan nyamuk yang terinfeksi
virus berupa demam, menggigil, sakit kepala, lemah, mual, dan muntah. Kurang
lebih 1 dari 200 penderita infeksi JE menunjukkan gejala yang berat yang
berkaitan dengan peradangan pada otak (encephalitis), berupa demam tinggi
mendadak,sakit kepala,kaku pada tengkuk, disorientasi, koma(penurunan
kesadaran), kejang, dan kelumpuhan.(Kementerian Kesehatan RI, 2017)
2.6 Transmisi
Penularan virus tersebut sebenarnya hanya terjadi antara nyamuk, babi,
dan atau burung rawa. Manusia bisa tertular virus JE bila tergigit oleh nyamuk
12

Culex Tritaeniorhynchus yang terinfeksi. Biasanya nyamuk ini lebih aktif pada
malam hari. Nyamuk golongan Culex ini banyak terdapat di persawahan dan area
irigasi (Kementerian Kesehatan RI, 2017).
Kejadian penyakit JE pada manusia biasanya meningkat pada musim
hujan. Penularan virus tersebut sebenarnya hanya terjadi antara nyamuk,babi,dan
atau burung rawa. Manusia bisa tertular virus JE bila tergigit oleh nyamuk Culex
Tritaeniorhynchus yang terinfeksi. Biasanya nyamuk ini lebih aktif pada malam
hari. Nyamuk golongan Culex ini banyak terdapat di persawahan dan area irigasi.
Kejadian penyakit JE pada manusia biasanya meningkat pada musim
hujan.(Kementerian Kesehatan RI, 2017)
Vektor nyamuk Culex tritaeniorhynchus, Cx gelidus, dan Cxf uscocephala,
dalam berkembang biak memerlukan tempat yang terdapat air yang tergenang dan
tenang seperti sawah,selokan, dan tempat yang dapat menampung air kotor seperti
ban bekas dan kaleng. Faktor umur, jenis kelamin, serta perlindungan diri dari
gigitan nyamuk seperti penggunaan kelambu dan obat nyamuk diperkirakan juga
sebagai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi anak dari penyebaran
VJE.(Paramarta, Kari, & Hapsara, 2009)
Di Indonesia, terdapat sekitar 19 jenis nyamuk yang dapat menularkan
penyakit ini; paling sering adalah cullex tritaeniorchyncus, yang banyak dijumpai
didaerah persawahan, rawa-rawa, dan genangan air. Babi dan unggas yang hidup
di air, seperti bangau, merupakan hewan utama reservoir virus ini. Nyamuk cullex
tritaeniorchyncus terdiri dari berbagai jenis, dapat menularkan baik ke manusia
maupun ke hewan peliharaan lainnya.(Jackson, Chappuis, & Loutan, 2007)

2.7 Gejala Klinis


Manifestasi klinis penyakit JE pada manusia bervariasi, mulai dari gejala
ringan seperti demam flu biasa sampai berat bahkan kematian. Pada kasus yang
berat, ditemukan gejala sisa pada sekitar 40% - 75% kasus berupa kelumpuhan,
keterbelakangan mental dan penurunan inteligensia. Masa inkubasi penyakit JE
bervariasi antara 4 sampai 14 hari. Perkembangan gejala terbagi atas 4 stadium
(Rampengan N. H., 2016):
i

1. Stadium prodormal
Stadium ini berlangsung selama 2-3 hari, mulai dari timbulnya
keluhan sampai timbulnya gejala SSP. Gejala yang sangat dominan ialah
demam, nyeri kepala dengan atau tanpa menggigil. Gejala lain berupa
malaise, anoreksia, keluhan dari traktus respiratorius seperti batuk, pilek
dan keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah dan nyeri di daerah
epigastrium. Nyeri kepala dirasakan di dahi atau seluruh kepala, biasanya
hebat dan tidak bisa dihilangkan dengan pemberian analgesik. Demam
selalu ada dan tidak mudah diturunkan dengan obat antipiretik, namun
mungkin saja seorang pasien JE hanya mengalami demam ringan atau
gangguan pernapasan ringan.
2. Stadium Akut
Stadium ini berlangsung selama 3-4 hari, ditandai dengan demam
tinggi yang tidak turun dengan pemberian antipiretik. Bila selaput otak
telah terinfeksi dan membengkak, maka pasien akan merasakan nyeri serta
kekakuan pada leher hingga peningkatan tekanan intra kranial berupa
gangguan keseimbangan dan koordinasi, kelemahan otot-otot, tremor,
kekakuan pada wajah, nyeri kepala, mual, muntah, kejang, penurunan
kesadaran dari apatis hingga koma. Berat badan menurun disertai
dehidrasi.1-4 Pada kasus ringan mulai penyakitnya perlahan-lahan, demam
tidak tinggi, nyeri kepala ringan, demam akan menghilang pada hari ke-6
atau ke-7 dan gejala ekstrapiramidal muncul setelah gejala neurologik
lainnya menghilang. Gejala ekstrapiramidal seperti Parkinson berupa
wajah menyerupai topeng (masklike facies), tremor, rigiditas dan gerakan
choreoathetoid sering terjadi.
Kelainan neurologik menyembuh pada akhir minggu ke-2 setelah
mulainya penyakit. Pada kasus berat, awitan penyakit sangat akut, kejang
menyerupai epilepsi, hiperpireksia, kelainan neurologik yang progresif,
penyulit kardiorespirasi dan koma, diakhiri dengan kematian pada hari ke-
7 dan ke-10 atau pasien hidup dan membaik dalamjangka waktu yang
lama, kadang-kadang terkena penyulit infeksi bakteri dan meninggalkan
14

gejala sisa permanen. Kejang dialami oleh sekitar 10%-24% penderita


anak, sedangkan orang dewasa lebih jarang mengalami kejang. Pada
stadium ini pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) menunjukkan
leukositosis yang pada awalnya didominasi sel polimorfonuklear (PMN)
tetapi setelah beberapa hari menjadi limfositosis. Albuminuria sering
ditemukan.
3. Stadium Sub Akut
Stadium ini berlangsung selama 7-10 hari. Gejala gangguan SSP
berkurang, namun seringkali pasien menghadapi masalah pneumonia
ortostatik, infeksi saluran kemih (ISK), dan dekubitus. Gangguan fungsi
saraf dapat menetap seperti paralisis spastik, hipotrofi otot sebagai akibat
perawatan lama dan pemasangan kateter urin, fasikulasi, gangguan saraf
cranial. dan gangguan ekstrapiramidal.
4. Stadium Konvalens
Stadium ini berlangsung lama, bisa 4-7 minggu dan ditandai
dengan kelemahan, letargi, gangguan koordinasi, tremor dan neurosis.
Berat badan dapat sangat menurun. Stadium ini dimulai saat
menghilangnya inflamasi yaitu pada saat suhu kembali normal. Gejala
neurologik bisa menetap dan cenderung membaik. Bila penyakit JE berat
dan berlangsung lama maka penyembuhan lebih lambat, tidak jarang sisa
gangguan neurologik berlangsung lama. Gejala sisa yang sering dijumpai
ialah gangguan mental berupa emosi tidak stabil, paralisis upper atau
lower motor neuron.
Gejala sisa atau sekuele ditemukan pada 5%-70% kasus, umumnya
pada anak usia di bawah 10 tahun, dan pada bayi akan lebih berat.
Kekerapan terjadinya sekuele berhubungan langsung dengan beratnya
penyakit. Sekuele tersebut dapat berupa gangguan pada(Rampengan N. H.,
2016) :
1. SistemMotorik L MotorikHalus (72%), Kelumpuhan (44%),
gerakan Abnormal (8%).
i

2. Perilaku: agresif (72%), gangguan perhatian (55%), depresi


(38%)
3. Intelektual: abnormal (72%), retardasi (22%)
4. Fungsi neurologik lain berupa gangguan ingatan (46%), afasia
(38%), epilepsi (20%), paralisis saraf kranial (16%) dan
kebutaan (2%)
2.8 Diagnosa
Diagnosis JE baru dapat ditegakkan tahun 1981 berdasarkan
kriteria World Health Organization (WHO) dan pemeriksaan immune
adherence hemaglutinin (IAHA). Secara klinis tidak ada gejala khas untuk
JE, maka seringkali diagnosis ditegakkan sebagai ensefalitis tanpa dicari
penyebabnya(Rampengan N. H., 2016).
2.9 Anamnesa
Pasien dengan infeksi virus JE memiliki riwayat paparan nyamuk
di daerah endemis serta daerah sekitar tempat tinggal memiliki kepadatan
Culex yang tinggi, banyak babi piaraan, daerah musim tanam padi, atau
memasuki musim penghujan(Rampengan N. H., 2016).
2.10 PemeriksaanFisik
Gejala neurologik penyakit JE bervariasi. Kelemahan tubuh
menyeluruh (generalized weakness), hipertonia dan hiperrefleksia
termasuk adanya refleksrefleks patologik sering terjadi. Papiledema
dialami pada kurang dari 10% pasien dan 33% pasien mengalami gejala-
gejala saraf kranial seperti disconjugate gaze dan cranial nerve palsies.
Gejala-gejala ekstrapiramidal menyerupai Parkinson juga umum terjadi,
termasuk wajah seperti topeng (mask-like facies), tremor, rigiditas dan
gerakan choreoathetoid (Rampengan N. H., 2016).
16

2.11 PemeriksaanPenunjang

1. Pemeriksaan darah lengkap (complete blood count)

Pemeriksaan darah lengkap sering menunjukkan adanya


leukositosis sedang dan non spesifik pada minggu pertama
penyakit, kemudian diikuti oleh leukopenia relatif. Anemia ringan
juga dapat terjadi. Pada satu studi, sebanyak 15% anak dengan JE
mengalami trombositopenia(Rampengan N. H., 2016).

2. Tes fungsi hati


Dalam satu studi yang dilakukan pada anak-anak suku Indian
selama outbreak JE di Uttar Pradesh pada tahun 2005, ditemukan
hasil tes fungsi hati yaitu semua pasien (100%) mengalami
peningkatan kadar aspartate aminotransferase (AST) dan 47,2%
pasien mengalami peningkatan kadar alanine aminotransferase
(ALT) (Rampengan N. H., 2016).
3. Isolasi virus
Isolasi Virus JE dari spesimen klinis atau identifikasi sekuens
viral genetik positif di dalam jaringan, darah atau CSS. Merupakan
pemeriksaan baku emas untuk diagnostik JE(Rampengan N. H.,
2016).
4. Magnetic resonance imaging (MRI) dan Computed Tomography
(CT) scan
MRI dan CT scan sering menunjukkan adanya lesi talamus
bilateral dengan perdarahan. Kadangkala ditemukan adanya
abnormalitas pada ganglia basal, putamen, pons, medula spinalis
dan serebelum. Lesi hiperintens dapat diperhatikan pada area
thalamus, serebrum dan serebelum pada T2- weighted MRI
(Rampengan N. H., 2016)
i

5. Electroencephalography (EEG)
EEG sering menunjukkan adanya perlambatan gelombang
delta yang kontinu dan difus serta pola gelombang delta difus
dengan spikes, sedangkan gelombang theta dengan burst
suppression. Perubahan EEG tidak berhubungan dengan derajat
beratnya penyakit JE maupun luaran penyakit (Rampengan N. H.,
2016).
6. Pungsi lumbal
Pungsi lumbal dilakukan untuk mendapatkan sampel CSS
sehingga dapat menyingkirkan diagnosis banding penyebab lain
dari ensefalitis. Tekanan pembukaan (opening pressure) biasanya
normal tetapi dapat juga meningkat. Level protein CSS sedikit
meningkat pada kebanyakan kasus, namun seringnya kurang dari
900 mg/dL. Kadar glukosa CSS seringkali normal. Antara 10 dan
beberapa ratus sel leukosit mononuklear dapat ditemukan pada
pemeriksaan hitung jenis (differential count). Virus JE dapat
diisolasi dari darah selama minggu pertama penyakit. Di dalam
CSS jarang ditemukan virus, kecuali pada kasus parah atau
fatal(Rampengan N. H., 2016).
7. Pemeriksaan serologik
Uji diagnostik baku yaitu IgM capture dengan cara ELISA dari
serum atau CSS. Sensitivitasnya mendekati 100%. Pemeriksaan
serologis lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan IAHA,
Hemagglutination Inhibition (HI), immunofluorecent antibody
(IFA) dan complement fixation (CF)(Rampengan N. H., 2016).
2.12 Penatalaksanaan
Sejauh ini belum ada agen antivirus yang jelas efektif untuk
penyakit JE, sehingga fokus terapi penyakit ini terutama simtomatis dan
suportif meliputi pemeliharaan jalan napas, pemberian oksigen walaupun
tidak ada tanda sianosis, pemantauan sirkulasi darah, pencegahan
kelebihan cairan, dan pemantauan gula darah karena sering terjadi
18

hiperglikemia.Prinsip tatalaksana penyakit JE ialah pemberian makan


(feeding), penanganan airway, dan antikonvulsan untuk kontrol kejang
(Soedarma S.P., Garna H., Hadinegoro SR., Satara I.H., 2008).
Bila terjadi edema otak dapat diberikan deksametasone intravena
dosis tinggi 1 mg/kgbb/hari dalam 4 dosis selama beberapa hari lalu di
tapering off. Deksametasone berfungsi memperbaiki integritas membran
sel. Jika ditemukan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial diberikan
manitol; jika memungkinkan, periksa cairan otak (Soedarma S.P., Garna
H., Hadinegoro SR., Satara I.H., 2008).
Selain itu anak ditidurkan setengah duduk dalam posisi netral
dengan kepala lebih tinggi 200 -300 untuk meningkatkan aliran darah pada
pembuluh darah balik dan pemberian cairan yang mengandung glukosa
10% untuk mempertahankan fungsi metabolisme otak Bila demam dapat
diberikan antipiretik seperti parasetamol dan asetosal. Selain itu dapat
diberikan tindakan suportif yaitu istirahat dan kompres. Istirahat
diperlukan karena bila beraktivitas maka aktivitas otot akan meningkatkan
metabolisme yang selanjutnya akan menambah tinggi suhu tubuh.
Kompres hangat juga akan membantu pengeluaran panas terutama melalui
paru dan kulit melalui cara konduksi, konveksi, dan penguapan air melalui
kelenjar keringat(Soedarma S.P., Garna H., Hadinegoro SR., Satara I.H.,
2008).
Bila pasien kejang, dilakukan penanganan kejang pada umumnya
berupa diazepam intravena, dosis 0,3-0,5 mg/kgbb/kali dengan dosis
maksimal pada anak berusia 10 tahun 10 mg dengan kecepatan pemberian
1 mg/menit.Bila anak tetap kejang dosis di atas dapat diulangi sekali lagi
setelah 15 menit. 2 Bila diazepam intravena tidak tersedia dapat diberikan
diazepam rektal 5 mg pada anak dengan berat badan<10 kg dan diazepam
rektal 10 mg pada anak dengan berat badan ≥10 kg. Bila kejang sudah
berhenti dapat dilanjutkan dengan pemberian fenobarbital oral 5
mg/kgbb/kali di bagi dalam 2 dosis(Soedarma S.P., Garna H., Hadinegoro
SR., Satara I.H., 2008).
i

2.13 Pencegahan

Pencegahan dan pemberantasan JE ditujukan pada manusia, vektor


nyamuk Culex beserta larvanya dan reservoir babi. Penyakit ini dapat dicegah
dengan imunisasi. Tujuan dilakukan pengontrolan yaitu untuk meminimalkan
kemungkinan terjadinya infeksi JE. Beberapa negara seperti Thailand, China,
Nepal, India dan Jepang sudah memasukkan imunisasi JE ke dalam salah satu
program imunisasi rutin. Terdapat 3 jenis vaksin JE yang digunakan di seluruh
dunia yaitu inactivated mouse brain vaccine (strain Nakayama dan Beijing 1),
inactivated primary hamster kidney cell vaccine (strain P3), dan live attenuated
primary hamster kidney cell vaccine (strain SA14-14-2). Ketiga-tiganya telah
digunakan untuk virus JE genotipe III tetapi memiliki proteksi silang (cross-
protective) melawan genotipe lainnya (WHO, 2016).

Imunisasi juga dianjurkan untuk orang yang bepergian ke daerah


endemik JE. Vaksin yang beredar saat ini ialah JE-Vax dari Jepang (Biken),
Korea (Green Cross), dan SA14-14-2 (China). Pemberian vaksin secara subkutan.
Vaksin SA14-14-2 memiliki keuntungan dibandingkan dengan vaksin lainnya
karena cukup satu dosis saja dan mampu memberikan respon antibodi 83%-100%
pada anak berusia 6-7 tahun. Pada anak usia lebih tua dilakukan vaksinasi
sebanyak dua kali dengan selang waktu antara 1 sampai 3 bulan serta memberikan
respon antibodi yang cukup tinggi (94-100%). Selain vaksinasi terhadap manusia,
terdapat juga vaksinasi untuk hewan terutama kuda dan ternak lainnya (Endy,
2002).

Jadwal dan dosis vaksin JE saat ini ialah untuk pasien berusia 3 tahun ke
atas 1 mL secara subkutan pada hari 0, 7 dan 30, sedangkan untuk pasien berusia
1-2 tahun, diberikan dosis 0,5 mL. Jadwal vaksinasi hari 0, 7 dan 14 dapat
dipertimbangkan jika waktu yang tersedia sebelum bepergian tidak dapat
memenuhi interval dosis vaksin yang lebih lama. Pasien dengan jadwal vaksinasi
yang lebih pendek cenderung memiliki titer antibodi yang lebih rendah pada bulan
kedua dan bulan keenam setelah imunisasi dibandingkan dengan pasien yang
20

divaksinasi dengan jarak antar vaksinasi lebih lama, walaupun laju serokonversi
hampir serupa. Kebutuhan akan dosis booster masih belum jelas tetapi dapat
dipertimbangkan 36 bulan atau lebih lama setelah dosis ketiga. Pilihan kedua yang
mungkin dapat dilakukan ialah dengan mengikuti titer antibodi dan revaksinasi
ketika titer antibodi turun sampai kurang dari 1:10. Dosis terakhir vaksin
diberikan minimal 10 hari sebelum bepergian ke daerah endemis. Wanita hamil
perlu divaksinasi hanya bila mereka termasuk dalam kelompok risiko tinggi
terpapar virus JE karena sangat berisiko terjadi angioedema (Halstead, 2003).

Efek samping vaksinasi yang ringan dilaporkan sebanyak hampir 20%


dari penerima vaksin, yaitu berupa nyeri dan kemerahan lokal, demam, gejala
gastrointestinal, sakit kepala dan mialgia. Insidens reaksi-reaksi tersebut biasanya
berkurang pada dosis selanjutnya. Hipersensitivitas, termasuk angioedema atau
urtikaria terjadi pada 0,6% pasien dan sebanyak 2,6% per 100.000 penerima
vaksin membutuhkan perawatan di RS. Hipersensitivitas vaksin merupakan
kontraindikasi utama penggunaan vaksin. Reaksi hipersensitivitas dapat terjadi
paling lambat 10-14 hari setelah dosis terakhir. Untuk mempersiapkan diri
terhadap kemungkinan terjadinya reaksi hipersensitivitas yang lambat, pasien
harus memiliki akses terhadap pelayanan medis selama 10 hari setelah dosis
terakhir (Schiolar, 2007).

Pasien-pasien dengan riwayat alergi atau urtikaria memiliki risiko efek


samping vaksinasi yang lebih tinggi. Vaksin JE direkomendasikan untuk
wisatawan yang berencana akan tinggal di daerah endemik dan epidemik penyakit
JE dan untuk wisatawan yang berencana untuk berwisata dalam jangka panjang
yaitu sekitar 30 hari di area pedesaan. Wisatawan yang mengunjungi daerah
epidemik aktif untuk penyakit JE harus dipertimbangkan untuk mendapatkan
vaksinasi walaupun lama tinggal di daerah tersebut kurang dari 30 hari. Vaksinasi
untuk orang-orang yang tinggal dalam jangka waktu kurang dari 30 hari perlu
dipertimbangkan jika diperkirakan mereka sering berada di luar ruangan dan saat
malam hari tanpa perlindungan. Kelompok berisiko lainnya yang perlu
i

mendapatkan vaksinasi ialah pekerja laboratorium yang memiliki paparan


potensial terhadap virus JE (Schiolar, 2007).

CDC baru baru ini merekomendasikan bagi para wisatawan muda berusia
2 bulan hingga 16 tahun untuk divaksin melawan JE jika hendak berkunjung ke
daerah endemis penyakit tersebut. Rekomendasi ini diikuti persetujuan oleh FDA
pada Mei 2013 untuk memperluas pemakaian vaksin JE strain SA14-14-2 (Ixiaro)
sebagai satusatunya vaksin JE yang tersedia di Amerika Serikat (AS) untuk anak
berusia 2 bulan hingga 16 tahun. Pencegahan paling penting pada wisatawan yang
akan mengunjungi daerah endemis ialah menghindari paparan nyamuk, khususnya
pada malam hari. Sangat dianjurkan penggunaan kelambu nyamuk ketika tidur
dan mosquito repellent dengan diethyltoluamide (DEET) pada saat tertentu,
dimana risiko kontak dengan nyamuk-nyamuk terinfeksi berada (Lowry, 2016).

Selain itu perlu dilakukan pemberantasan larva nyamuk Culex dengan


cara melakukan pengaturan pengaliran air sehingga larva terbunuh. Juga
penggunaan larvasida seperti fenitrotion 1% dengan dosis 30 kg/ha dan fention
0,01-0,04 kg/ha masih sangat efektif untuk membunuh larva (Soederma,2008).
Diperlukan juga pengaturan pembangunan kandang babi yang jauh dari
perumahan penduduk dan kandang babi tersebut sering dibersihkan dan
diusahakan bebas dari nyamuk Culex. Standard surveilans WHO untuk uji
berbasis lapangan (field-based testing) untuk virus JE telah dipublikasikan.
Sampel-sampel CSS yang didapatkan pada saat infeksi akut telah terbukti lebih
bermanfaat dibandingkan dengan sampel serum yang didapatkan pada saat infeksi
non akut (>70% pasien dengan penyakit JE didiagnosis dengan pemeriksaan CSS)
(Solomon, 2008).

2.14 Komplikasi
Komplikasi terberat pada kasus Japanese Encephalitis adalah meninggal
dunia (terjadi pada 20-30% kasus Encephalitis). Kesan daripada gejala penyakit
ini boleh menjadi serius termasuklah kecacatan otak dan kematian. Kadar
kematian adalah sehingga 60% untuk pesakit yang menunjukkan gejala manakala
22

lebih kurang 30% pesakit akan mengalami kerosakan pada sistem saraf pusat
(Kementrian Kesehatan RI, 2017).

2.15 Prognosis

Hanya 1 per 250 infeksi virus JE menyebabkan penyakit simtomatis.


Prognosis infeksi virus JE simtomatis bervariasi. Terdapat dua faktor yang
menandakan prognosis baik yaitu konsentrasi antibodi penetralisir yang tinggi di
dalam CSS dan level IgG virus JE yang tinggi di dalam CSS. Faktor risiko
kematian yang terbukti di antaranya ialah ditemukan virus di dalam CSS, kadar
protein yang tinggi pada CSS menyebabkan prognosis kurang baik, level IgG
dan/atau IgM rendah di dalam CSS atau serum dan penurunan sensorium (.
Beberapa prognosis buruk infeksi virus JE di antaranya ialah pasien berusia
kurang dari 10 tahun karena gejala sisa biasanya lebih sering, Glasgow Coma
Scale (GCS) rendah, hiponatremia, syok, ditemukannya kompleks imun di dalam
cairan serebrospinal, peningkatan jumlah antibodi antineurofilamen, peningkatan
level tumor necrosis factor (TNF) dan adanya neurosistiserkosis (Halstead, 2003).

Selain itu demam tinggi yang berlangsung lama, kejang hebat dan sering
disertai depresi pernapasan yang timbul dini akan mengakibatkan prognosis
buruk. Riwayat infeksi dengue sebelumnya berhubungan dengan penurunan laju
morbiditas dan mortalitas, yang mungkin disebabkan oleh proteksi parsial reaksi
silang antibodi antiflaviviral. Infeksi virus JE pada kehamilan trimester pertama
atau kedua dapat menyebabkan kematian fetus. Infeksi pada trimester ketiga,
walaupun belum dievaluasi secara sistematis, namun nampaknya berhubungan
dengan luaran fetus normal. Kira-kira 33%-50% pasien yang mengalami penyakit
simptomatis memiliki sekuele neurologik mayor dalam 1 tahun, termasuk kejang,
paresis saraf kranial atau saraf motorik, dan gangguan gerak. Laju mortalitas pada
daerah yang kurang berkembang bisa melebihi 35%. Secara keseluruhan di
seluruh dunia, lebih dari 10.000 kematian akibat penyakit JE dilaporkan setiap
tahun (Endy, 2005).
i

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Sejarah Japanese Encephalitis

Penyakit ini pertama dikenal pada tahun 1871 di Jepang diketahui


menginfeksi sekitar 6000 orang pada tahun 1924, kemudian terjadi KLB besar
pada tahun 1935; hampir setiap tahun terjadi KLB dari tahun 1946-1950. Virus
Japanese encephalitis pertama diisolasi pada tahun 1934 dari jaringan otak
penderita ensefalitis yang meninggal. Penyakit ini endemik di daerah Asia, mulai
dari Jepang, Filipina, Taiwan, Korea, China, IndoChina, Thailand, Malaysia,
sampai ke Indonesia serta India. Diperkirakan ada 35.000 kasus Japanese
encephalitis di Asia setiap tahun. Angka kematian berkisar 20-30%. Anak usia1-
15 tahun paling sering terinfeksi (Maha, 2012).

3.2 Japanese Encephalitis di Malaysia

Japanese Encephalitis (JE) adalah vector borne disease yang disebabkan


oleh Japanese encephalitis virus (JEV), yang menyebar melalui gigitan nyamuk
culex spp. JEV berasal dari famili Flaviviridae dan genus Flavivirus. JEV
diklasifikasikan ke dalam 5 Genotypes berdasarkan viral envelope gene; JEV(GI),
JEV(GII), JEV(GIII), JEV(GIV) dan JEV(GV). Kelima Genotypes ini sudah
terisolasi di kawasan Indonesia dan Malaysia(Kumar K. et al,2018).
24

Perjalanan Japanese Encephalitis di Malaysia


Tahun 1942 Changi, Singapore Wabah Encephalitis akut pertama di
Malaysia, dijumpai 37 kasus
Tahun 1951 Kinrara, Kuala Pertamakali JEV diisoloasi dari Tubuh
Lumpur Manusia dan dengan ditemukan Kinrara
Strain
Tahun 1956 Berbagai Lokasi di Pertama kali JEV diisolasi dari nyamuk
Malaysia Culex tritaeniorhynchus.
Tahun 1974 Pulau Langkawi Wabah JE pertama kali, didapatkan 10
kasus dan mayoritas laki-laki
Tahun 1992 Serian, Sarawak Dijumpai sebanyak 10 kasus, 3 orang
meninggal dunia
Tahun 1998 Perak dan Seremban Peternak babi merupakan korban pertama
wabah JE di Perak
Tahun 2006 Kelantan Dijumpai Lima Kasus di beberapa desa di
Kelantan
Tahun 2014 Pulau Penang Dijumpai kasus di George Town dan Tasek
Gelugor
July 2014 Malaysia Dilaporkan 17 kasus JE Merambah secara
nasional, 8 kasus di Sarawak, 4 kasus di
Sabah, 3 Kasus di Penang dan 1 kasus di
Selangor dan Kelantan
Tahun 2017 Negeri Sembilan Dijumpai 3 kasus JE di Jelebu dan Kuala
Pilah
Tabel 1. Perjalanan Japanese Encephalitis di Malaysia
i

Japanese Encephalitis pertama kali secara resmi dilaporkan terjadi pada


tahun 1951 di Malaysia. Akan tetapi kasus yang diindikasikan JE sudah terjadi
jauh sebelum itu. Di Malaysia JE awalnya dikenal sebagai “demam 5 hari” dan
sudah biasa terjadi di masyarakat. Wabah pertama JE terjadi pada tahun 1942,
dijumpai 37 kasus encephalitis akut di sebuah penjara jepang di changi, singapura
dengan gejala klinis malaise, sakit kepala dan demam (38-40o) (Kumar K. et
al,2018).

Musim kemarau tahun 1951, terjadi wabah encephalitis pada kuda impor
di Malaya bersamaan dengan adanya kasus JE di British Military Hospital di
Kinrara Kuala Lumpur. Seorang Perawat berkebangsaan Inggris mengeluhkan
malaise, lemah, nyeri pada wajah kiri dan nyeri kepala. Perawat tersebut
meninggal tidak lama setelah masuk rumah sakit. Hasil autopsy, ditemukan virus
JEV dengan Kinrara Strain pada Cerebrospinal fluid. Ini merupakan pertama kali
JEV diisolasi dari manusia (Kumar K. et al,2018).

Japanese Encephalitis Virus (JEV) pertama kali diisolasi dari nyamuk


Culex tritaeniorhynchus pada tahun 1956. Nyamuk ini diambil dari berbagai
lokasi di Malaysia, ini menunjukan bahwa Culex tritaeniorhynchus salah satu
potensial vector untuk JEV di Malaysia(Kumar K. et al,2018).

Wabah pertama kali untuk JE dilaporkan terjadi di Pulau Langkawi pada


tahun 1974. Didapatkan 10 kasus dan mayoritas penderita adalah laki-laki, lebih
mudah terinfeksi nyamuk JEV karena sering berada diluar saat malam hari. Pada
tahun 1988 terjadi wabah di penang sebanyak 9 kasus, 4 orang diataranya
meninggal dunia. Pada tahun 1992 terjadi wabah di Serian, Sarawak sebanyak 10
kasus, 3 orang meninggal dunia(Kumar K. et al,2018).
26

Gambar III Kasus Japanese Encephalitis dari waktu ke waktu di


Malaysia

Wabah dari Japanese Encephalitis (JE) di perak dan Seremban merupakan


Wabah paling penting dalam sejarah JE dan Nipah Virus di Malaysia. Kedua virus
menyebar dari Perak menuju Seremban. Pada tahun 1998, seorang peternak babi
merupakan korban JE pertama di perak. Pada tahun 1999 terjadi KLB Nipah
Virus, beberapa kasus menunjukan ada hubungan antara wabah JE yang terjadi
sebelum Wabah Nipah Virus(Kumar K. et al,2018).
i

Gambar IV Perjalanan Japanese Encephalitis Virus dari Perak ke


Negeri Sembilan, Malaysia

Lima kasus JE diindentifikasi terjadi di beberapa desa di Kelantan pada


tahun 2006. Pada tahun 2014 dilaporkan terjadi kasus JE di pulau Penang berasal
dari area berbeda, terjadi di George Town dan Tasek Gelugor. 7 July 2014,
dilaporkan 17 kasus JE merambah secara nasional, 8 kasus di Sarawak, 4 kasus di
Sabah, 3 kasus di penang dan 1 kasus masing-masing dari Selangor dan Kelantan.
Secara keseluruhan dilapurkan 4 orang meninggal dunia. Tahun 2016, 3 kasus JE
dilaporkan terjadi di Negeri Sembilan, Jelebu dan Kuala Pilah. Pada tahun 2017,
WHO melaporkan sudah terjadi 59 kasus JE di Malaysia selama tahun
2016(Kumar K. et al,2018).

Vaksinasi Japanese Encephalitis (JE) di Malaysia di perkenalkan pada Juli


2001 untuk menurunkan kasus JE di Malaysia, tetapi vaksinasi ini hanya
28

dilakukan di Sarawak. derivat inaktif dari tikus formalin yang diproduksi oleh
Biken adalah vaksin yang dipakai di Malaysia. Vaksin diberikan pada umur 9 dan
12 bulan diikuti boosters pada umur 18, 54, 96, 132 dan 180 bulan(Kumar K. et
al,2018).

3.3 Japanese Encephalitis di Indonesia

Indonesia dikenal sebagai negara yang berperan besar untuk transmisi


global dari Japanese Encephalitis (JE), di satu sini akibat dari letak geografis
antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia dan merupakan tempat asal Japanese
Encephalitis Virus (JEV). Indonesia memiliki semua genotypes yaitu, JEV GI –
GV(Garjito T.A et al, 2018).

Transmisi JE di Indonesia pertama kali tercatat pada survey serologi yang


dilakukan di Lambok tahun 1960 dan Surabaya 1968, ditemukan adanya
Haemagglutination-inhibiting (HI) antibody terhadap JEV pada manusia. Pada
awal 1970an, serosurveillance dilakukan di berbagai daerah di Indonesia,
Antibodi terhadap JEV ditemukan 52% pada serum darah manusia di bali, 2 –
16% di Nusa Tenggara, 22 – 27% di Kalimantan dan sekitar 3% di Sulawesi,
Maluku dan Papua Barat(Garjito T.A et al, 2018).

Tahun 1972, babi pertama kali diindentifikasi sebagai reservoir untuk JE


di Indonesia. Japanese Encephalitis Virus (JEV) pertama kali diisolasi dari
nyamuk Cx. Tritaeniorhynchus di Bekasi, Jawa Barat dan Kapuk, Jakarta Barat
pada tahun yang sama . Peneltian lanjutan yang diadakan disekitar peternakan
babi di daerah Bogor, Jawa Barat pada tahun 1972 – 1974, berhasil mengisolasi
JEV dari Cx. Tritaeniorhynchus, Cx. Gelidus, Cx. Fuscochpala. Pada tahun 1982
– 1983, survey seorologi reservoir JE diadakan di beberapa daerah di Indonesia,
hasilnya didapatkan serologi positif 34 – 71% di Kalimantan, 27% di bali, 48% di
Nusa Tenggara Barat dan 9 – 24% di Sulawesi(Garjito T.A et al, 2018).

Prevalensi JE yang tinggi dilaporkan terdapat di Indonesia bagian barat.


JEV aktif di area barat dari Wallace Line dengan angka antibodi pada serum darah
i

manusia sebanyak 27% di Pontianak (Kalimantan), 26% di Samarinda


(Kalimantan), 22% di Balikpapan (Kalimantan) dan 51% di Bali. Meskipun JE
dipercaya sebagai endemic di banyak wilayah di Indonesia, namun belum ada
laporan terjadinya Wabah. Sebuah penelitian yang dilakukan di bali pada October
1990 sampai July 1995, diantara 77 pasien yang dicurigai terinfeksi JE, hanya 40
kasus (52%) positif setelah dilakukan pemeriksaan ELISA. Survey serologi
manusia yang dilakukan tahun 1993 – 1995 dan 1996 – 1997 di Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Riau, Lampung, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat
dan Bali didapatkan 1295 sampel serum dari 8 provinsi. 47% sampai 93%
ditemukan JE positif secara serologi dengan HI test. Bali dilaporkan sebagai
provinsi dengan presentasi tertinggi sebanyak 92,8% diikuti Lampung (88,9%)
dan Jawa Tengah (87,5%)(Garjito T.A et al, 2018).

Tahun 1993 – 2000 dilakukan berbagai survey serologi terhadap


komunitas yang tinggal di sekitar sawah, peternakan babi dan pertenakan lainnya
seperti sapi, kambing, domba dan kuda. Survey di lakukan di bali, Riau, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Utara,
Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur dan
Papua. Dari total 1830 serum darah yang diperikan IgG dan IgM JE ELISA,
didapatkan hasil serologi positif dengan kisaran 2% - 73%. Hasil tertinggi
didapatkan di Provinsi Kalimantan Barat (72,6%), diikuti Sumatera Utara
(58,8%), Sulawesi Selatan (52,3%) dan Papua (54%)(Garjito T.A et al, 2018).
30

Gambar V Kejadian JE di Indonesia dari tahun 1960 sampai 2016


i

3.4 Penanggulangan Japanese Encephalitis di Indonesia


World Health Organization (WHO) merekomendasikan integrasi vaksin
JE kedalam program imunisasi nasional kepada negara yang menjadikan JE
sebagai masalah kseahatan masyarakat. Program vaksinasi ini didukung secara
finansial oleh GAVI alliance (WHO, 2016). Pada tahun 2016, setengah dari 24
negara yang endemic JE melaksanakan program imunisasi nasional (Heffelfinger
et al, 2017).

laporan rutin tentang JE di Indonesia tidak diiplementasikan disemua


provinsi, akibatnya Indonesia tidak memiliki program imunisasi nasional JE
sampai dengan tahun 2016. Salah satu alasannya ialah kesulitan untuk mendeteksi
infeksi JE di level rumah sakit. Hampir semua rumah sakit dan laboratorium tidak
dilengkapi alat untuk mendiagnosa JE dan tidak memiliki personil yang
menangani dan mendeteksi specimen JE. Diagnosis JE pada manusia biasanya
menggunakan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) (Garjito T.A et al,
2018).

Untuk memulai program imunisasi nasional JE, kementrian Kesehatan


melanjutkan serum-based surveillance secara nasional untuk JE. Surveillance
dilakukan di 8 tempat dan Bali salah satu area prioritas. Dari tahun 2014 – 2016,
408 anak bali dikonfirmasi terinfeksi JE. Akhirnya, bali terpilih sebagai lokasi
pertama untuk implementasi program imunisasi JE. Program ini dimulai pada
bulan maret 2018 dengan menggunakan vaksin Chengdu SA14-14-2 live
attenuated JE vaccine dengan nama dagang IMOJEV® (Garjito T.A et al, 2018).
Dalam pelaksanaannya, anak-anak akan diberikan 1 dosis (0,5 mL) secara
suntikan subkutan. Pada anak usia 9-12 bulan, penyuntikan dilakukan pada paha
lateral kanan sedangkan pada anak usia >12 bulan, penyuntikan dilakukan pada
area deltoid di lengan kanan (Depkes, 2018). Target populasi sebanyak 890.050
anak di bali dari umur 9 bulan sampai 15 tahun. Program imunisasi JE
dijadwalkan diperluas ke Sulawesi Utara pada tahun 2019 (Garjito T.A et al,
2018).
32

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
1. Update Japanese Encephalitis, masih dijumpai kasus di Malaysia
pada tahun 2016 dengan jumlah 37 kasus sedangkan di Indonesia
ditemukan 408 anak terinfeksi JE di bali. Pada tahun 2016 World Health
Organization (WHO) merekomendasikan integrasi vaksin JE kedalam
program imunisasi nasional kepada negara yang menjadikan JE sebagai
masalah kseahatan masyarakat. Indonesia baru memulai program
imunisasi nasional JE pada bulan maret 2018, Bali terpilih sebagai daerah
prioritas karena banyak ditemukan kasus JE.

2. Japanese Encephalitis (JE) merupakan penyekit infeksi akut pada


susunan saraf pusat (SSP) yang di tularkan melalui nyamuk yang terinfeksi
virus JE. Virus JE termasuk dalam famili flavivirus. Virus JE
ditransmisikan ke manusia lewat gigitan nyamuk Culex yang terinfeksi,
paling sering ialah nyamuk Culex tritaeniorhynchus.

3. Epidemiologi JE telah banyak dilaporkan di berbagai negara di Asia


seperti Kamboja, Cina, India, Jepang, Nepal, Filipina, Thailand , Vietnam,
Malaysia, Burma, Taiwan, Rusia (Siberia maritim), Bangladesh, Laos,
Srilanka, Korea, Australia, Brunei, Pakistan, Papua Nugini dan Kepulauan
Pasific. Dari data tersebut dapat di artikan bahwa virus JE yang terdapat di
kawasan Asia, yang dekat dengan Indonesia, merupakan satu kelompok
populasi yang penyebarannya melalui siklus vektor nyamuk-babi,
merupakan asal virus JE.

4. kementrian Kesehatan melanjutkan serum-based surveillance


secara nasional untuk JE. Surveillance dilakukan di 8 tempat dan Bali
salah satu area prioritas. Dari tahun 2014 – 2016, 408 anak bali
dikonfirmasi terinfeksi JE. Akhirnya, bali terpilih sebagai lokasi pertama
untuk implementasi program imunisasi JE. Program ini dimulai pada
i

bulan maret 2018 dengan menggunakan vaksin Chengdu SA14-14-2 live


attenuated JE vaccine dengan nama dagang IMOJEV®

4.2 Saran

4.2.1 untuk KKP dan Intansi Terkait

1. KKP perlu sosialisi kepada masyarakat di sekitar pelabuhan


ataupun bandar udara terkait penyakit japanesse Encephalitis.
2. KKP dan instansi yang terkait perlu meningkatkan sosialisasi
kepada masyarakat yang tinggal di daerah yang memiliki resiko
tertularnya penyakit JE.
3. KKP dan intansi terkait perlu melakukan surveilans JE dan
penanggulangannya termasuk vaksinasi rutin di beberapa provinsi
yang beresiko terhadap penyakit JE.
4. KKP dan instansi terkait perlu meningkatkan pengendalian
populasi nyamuk culex yang merupakan sumber penyakit pada
daerah endemik JE.

4.2.2 Untuk Masyarakat dan traveler

1. Masyarakat dan traveler perlu mengetahui penyebab dan cara


mencegah penyakit JE terutama masyarakat dan traveler yang
tinngal atau berkujung ke daerah endemik JE.
2. Masyarakat dan taraveler yang beraktifitas diluar rumah perlu
menecgah gigitan nyamuk dengan menggunakan spray atau
lotion yang aman bagi kulit dan menggunakan kelambu pada
saat tidur
3. Masyarakat dan traveler sebisa mungkin menghndari kegiatan di
malam hari di area persawahan, pertanian dimana banyak
terdapat nyamuk culex.
34

DAFTAR PUSTAKA

Bahri, S., & Sarosa, A. (2000). Everyday Spaces of Modernity, 5(1), 441.
Depkes RI, 2018. Kemenkes Canangkan Imunisasi Cegah Radang Otak Japanese
Enchepalitis(JE).
http://www.depkes.go.id/article/view/18030500003/kemenkes-canangkan-
imunisasi-cegah-radang-otak-japanese-enchepalitis-je-.html [access on 10th
october 2018].

Dutta, K., Rangarajan, P. N., Vrati, S., & Basu, A. (2010). Japanese encephalitis:
Pathogenesis, prophylactics and therapeutics. Current Science, 98(3), 326–
334.
Garjito, T.A., Widiarti, Anggraeni Y.M., Alfiah S., Satoto T.B.T., Farchanny A.,
Samaan G., Alfelt A., Manguin S., Frutos R., Aditama T.Y., 2018.
Japanese Encephalitis in Indonesia : An update on epidemiology and
transmission ecology. Acta Tropica 187 (2018) 240 – 147

Heffelfinger, J.D., Li, X., Batmunkh, N., Grabovac, V., Diorditsa, S., Liyanage,
J.B., Pattamadilok, S., Bahl, S., Vannice, K.S., Hyde, T.B., Chu, S.Y.,
Fox, K.K., Hills, S.L., Marfin, A.A., 2017. Japanese encephalitis
surveillance and immunization — asia and western pacific regions, 2016.
MMWR Morb. Mortal. Wkly. Rep. 66, 579–583.
https://doi.org/10.15585/mmwr.mm6622a3.

Jackson, Y., Chappuis, F., & Loutan, L. (2007). [Japanese encephalitis]. Revue
Médicale Suisse, 3(111), 1233–1236. https://doi.org/10.1055/s-2002-31526
Kari, K., Liu, W., Gautama, K., Mammen, M.P., Clemens, J.D., Nisalak, A.,
Subrata, K., Kim, H.K., Xu, Z.Y., 2006. A hospital-based surveillance for
Japanese encephalitis in Bali, Indonesia. BMC Med. 4.
https://doi.org/10.1186/1741-7015-4-8.

Kementerian Kesehatan RI. (2017). Japanese Enchepalitis Berkorelasi Dengan


Banyaknya Area Persawahan, Peternakan Babi Dan Burung Rawa, (April
i

2017), 1. Retrieved from


http://www.depkes.go.id/article/print/17040400003/japanese-enchepalitis-
berkorelasi-dengan-banyaknya-area-persawahan-peternakan-babi-dan-
burung-rawa-.html
Kumar K., Arshad S.T., Selvarajah G.T., Abu J., Toung O.P., Abba Y., Yasmin
A.R., Bandle F., Sharma R., Ong B.L., 2018. Japanese Encephalitis in
Malaysia : An overview and Timeline. Acta tropica 185 (2018) 219-229
Maha,Masri .2012. Journal Depkes; Japanese Ensephalitis. Jakarta,
Indonesia

Paramarta, I., Kari, I., & Hapsara, S. (2009). Faktor Resiko Lingkungan pada
Pasien Japanese Encephalitis. Sari Pediatri, 5(5), 308–313.
https://doi.org/Article
Rampengan, N. H. (2016). Japanese Ensefalitis. Universitas Sam Ratulangi, 8,
10–22.
Sendow I., Bahri S., 2005. Perkembangan Japanese Encephalitis di Indonesia.
Balai Penelitian Veteriner
WHO, 2016. Japanese Encephalitis Vaccines: WHO position paper - February
2015. Wkly. Epidemiol. Rec. 21, 265–284. https://doi.org/10.1186/1750-
9378-2-15.Voir.

http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2018/03/09/340100/sumut_b
elum_pastikan_vaksinasi_japanese_encephalitis/

http://www.depkes.go.id/article/view/18030500001/to-know-more-japanese-
encephalitis.html
36

DAFTAR BIMBINGAN
Judul : “Update Japanese Encephalitis
No Hari/Tanggal Materi Bimbingan Paraf

Pengajuan Judul “Update


1 17 Oktober 2018
Japanese Encephalitis”
dr. Indah Maya Sari

2 22 Oktober 2018 Perbaikan BAB I-BAB IV

dr. Indah Maya Sari

3 22 Oktober 2018 Perbaikan Penulisan

dr. Indah Maya Sari

4 22 Oktober 2018 Perbaikan Susunan

dr. Indah Maya Sari

5 22 Oktober 2018 Acc Maju Seminar Makalah

dr. Indah Maya Sari

Anda mungkin juga menyukai