Disusun Oleh :
Pembimbing
dr. Indah Maya Sari
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
i
LEMBAR PERSETUJUAN
Penulis :
Mohd.Fikra Triwijaya 711608911042
Muhammad Andy Yusuf 71160891982
Fithratul Hayana 71160891962
Arnila Melina 71160891943
Aghnia Rahmi 71160891764
Sy.Bellia Kharisma 71170891239
Siti Rika Mardyna Pohan 71170891054
Bambang Swedy Pardede 71170891010
Diketahui
a.n Kepala KKP Kelas I Medan Pembimbing
Ketua Tim Diklat
i
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena
atas rahmat, berkah dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan laporan ini
dengan baik dan tepat pada waktu nya.
Adapun tujuan dari penyusunan laporan ini adalah untuk melengkapi syarat
Kepaniteraan Klinik Senior pada departemen Ilmu kesehatan masyarakat Fakultas
Kedokteran Islam Sumatera Utara. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terimakasih kepada :
Penulis
i
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PERSETUJUAN .............................................................................. i
KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... v
DAFTAR TABEL ............................................................................................. vi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2. Tujuan Penulisan .............................................................................. 2
1.3. Manfaat Penulisan ............................................................................ 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................... 5
2.1. Definisi Japanese Encephalitis ....................................................... 5
2.2. Epidemiologi .................................................................................. 5
2.3. Etiologi ........................................................................................... 6
2.4. Patogenesis ..................................................................................... 8
2.5. Masa Inkubasi ............................................................................... 11
2.6. Transmisi ....................................................................................... 11
2.7. Gejala Klinis .................................................................................. 12
2.8. Diagnosa ........................................................................................ 15
2.9. Anamnesa ...................................................................................... 15
2.10. Pemeriksaan Fisik ......................................................................... 15
2.11. Pemeriksaan Penunjang................................................................. 16
2.12. Penatalaksanaan ............................................................................ 17
2.13. Pencegahan .................................................................................... 19
2.14. Komplikasi .................................................................................... 21
2.15. Prognosis ....................................................................................... 22
BAB III PEMBAHASAN ................................................................................ 24
3.1. Sejarah Singkat Japanese Encephalitis ............................................ 24
3.2. Japanese Encephalitis di Malaysia .................................................. 24
iii
iv
DAFTAR GAMBAR
v
vi
DAFTAR TABEL
BAB I
PENDAHULUAN
2002 atas 262 kasus ensefalitis menemukan 112 kasus (42,7%) positif dengan
angka kematian (mortality rate) 16% dan angka kecacatan (sequelae rate)
53,12%.Laporandari rumah sakit yang sama (1997) atas 12 pasien dengan
diagnosis encephalitis didapat 2 kasus positif Japanese encephalitis. Penyakit ini
dapat dicegah dengan vaksinasi; beberapa negara seperti Thailand sudah
memasukkan imunisasi Japanese encephalitis kedalam program rutin—kasus
ensefalitis turun bermakna dari 14,7 per 100.000 penduduk menjadi 1 per 100.000
penduduk. Beberapa daerah di Indonesia menunjukkan sekitar 11-67% seropositif
(1993-2000). Pemeriksaan menggunakan uji HI (HemaglutinationInhibition) dan
uji ELISA. (Maha, 2012)
AES dengan 43 kasus (13%) diantaranya positif JE. Sebanyak 85% kasus JE di
Indonesia terdapat pada kelompok usia 15 tahun dan 15% pada kelompok usia
>15 tahun. Kasus JE terbanyak terdapat di provinsi Bali. (Depkes,2018)
a. Bagi Penulis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
wabah (meningkatnya kejadian) JE pada manusia. Migrasi nyamuk dari satu pulau
ke pulau lain sering terjadi, bahkan migrasi nyamuk dari satu negara ke indonesia
atau sebaliknya dapat terjadi (Sendow I., Bahri S., 2005).
Secara global , lebih dari 45.000 kasus di laporkan setiap tahun, walaupun
kemungkinan telah terjadi penurunan perkiraan ensiden lokal bervariasi muali dari
1-10 kasus per 100.000 orang, tetapi bisa mencapai lebih dari 100 kasus per
100.000 pada saat outbreak. Nyamuk Culex yang sangat padat. Keparahan infeksi
yang terjadi menjadi faktor penting untuk mempromosikan vaksinasi sebagai
pencegahan utama penyakit JE (Rampengan, 2016).
2.3 Etiologi
Virus JE termasuk dalam genus flavivirus, single-stranded ribonucleid
acid (RNA) dan merupakan salah satu etiologi ensefalitis arboviral yang paling
signifikan. Virus JE ditransmisikan ke manusia lewat gigitan nyamuk Culex yang
i
Nyamuk tersebut sangat aktif pada sore dan malam hari sehingga resiko
infeksi JE paling tinggi pada waktu tersebut. Nyamuk berkembang baik di tempat-
tempat penampungan air terutama daerah persawahan sehingga meningkatkan
resiko infeksi pada daerah pedesaan (Rampengan, 2016)
2.4 Patogenesis
Jalannya infeksi Japanese Encephalitis Virus, dimulai dari masuknya virus
sampai mencapai tempat sasarannya, sistem saraf pusat (SSP), tidak terdefinisi
dengan baik. Studi lain yang dilakukan terhadap flavivirus telah mengarah pada
keyakinan bahwa setelah masuk melalui gigitan nyamuk, virus ini menginfeksi sel
dendrit Langerhan di kulit.
Selama masa viremia transien organ perifer seperti ginjal, hati dan limpa
diketahui terinfeksi, setelah itu flavivirus neurotropik menyebar ke SSP.
Permasalahan bagaimana JEV berhasil menghindari respon imun perifer dari host
adalah masalah spekulasi lainnya, karena tidak ada studi definitif mengenai aspek
ini, sampai saat ini. Setelah virus menghindar dari sistem kekebalan tubuh, ia
melintasi sawar darah otak (BBB) untuk memasukkan CNS.(Dutta et al., 2010)
virus
Invasi Japenese
memperbanyak
Ensefalitis
diri didaerah
Virus Ke Sistem
gigitan dan
saraf Pusat
nodus limf.
Respon hyper-
Interaksi virus
inflamatory
dengan reseptor
Penyebaran
sel inang.
Hematogen
Culex Tritaeniorhynchus yang terinfeksi. Biasanya nyamuk ini lebih aktif pada
malam hari. Nyamuk golongan Culex ini banyak terdapat di persawahan dan area
irigasi (Kementerian Kesehatan RI, 2017).
Kejadian penyakit JE pada manusia biasanya meningkat pada musim
hujan. Penularan virus tersebut sebenarnya hanya terjadi antara nyamuk,babi,dan
atau burung rawa. Manusia bisa tertular virus JE bila tergigit oleh nyamuk Culex
Tritaeniorhynchus yang terinfeksi. Biasanya nyamuk ini lebih aktif pada malam
hari. Nyamuk golongan Culex ini banyak terdapat di persawahan dan area irigasi.
Kejadian penyakit JE pada manusia biasanya meningkat pada musim
hujan.(Kementerian Kesehatan RI, 2017)
Vektor nyamuk Culex tritaeniorhynchus, Cx gelidus, dan Cxf uscocephala,
dalam berkembang biak memerlukan tempat yang terdapat air yang tergenang dan
tenang seperti sawah,selokan, dan tempat yang dapat menampung air kotor seperti
ban bekas dan kaleng. Faktor umur, jenis kelamin, serta perlindungan diri dari
gigitan nyamuk seperti penggunaan kelambu dan obat nyamuk diperkirakan juga
sebagai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi anak dari penyebaran
VJE.(Paramarta, Kari, & Hapsara, 2009)
Di Indonesia, terdapat sekitar 19 jenis nyamuk yang dapat menularkan
penyakit ini; paling sering adalah cullex tritaeniorchyncus, yang banyak dijumpai
didaerah persawahan, rawa-rawa, dan genangan air. Babi dan unggas yang hidup
di air, seperti bangau, merupakan hewan utama reservoir virus ini. Nyamuk cullex
tritaeniorchyncus terdiri dari berbagai jenis, dapat menularkan baik ke manusia
maupun ke hewan peliharaan lainnya.(Jackson, Chappuis, & Loutan, 2007)
1. Stadium prodormal
Stadium ini berlangsung selama 2-3 hari, mulai dari timbulnya
keluhan sampai timbulnya gejala SSP. Gejala yang sangat dominan ialah
demam, nyeri kepala dengan atau tanpa menggigil. Gejala lain berupa
malaise, anoreksia, keluhan dari traktus respiratorius seperti batuk, pilek
dan keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah dan nyeri di daerah
epigastrium. Nyeri kepala dirasakan di dahi atau seluruh kepala, biasanya
hebat dan tidak bisa dihilangkan dengan pemberian analgesik. Demam
selalu ada dan tidak mudah diturunkan dengan obat antipiretik, namun
mungkin saja seorang pasien JE hanya mengalami demam ringan atau
gangguan pernapasan ringan.
2. Stadium Akut
Stadium ini berlangsung selama 3-4 hari, ditandai dengan demam
tinggi yang tidak turun dengan pemberian antipiretik. Bila selaput otak
telah terinfeksi dan membengkak, maka pasien akan merasakan nyeri serta
kekakuan pada leher hingga peningkatan tekanan intra kranial berupa
gangguan keseimbangan dan koordinasi, kelemahan otot-otot, tremor,
kekakuan pada wajah, nyeri kepala, mual, muntah, kejang, penurunan
kesadaran dari apatis hingga koma. Berat badan menurun disertai
dehidrasi.1-4 Pada kasus ringan mulai penyakitnya perlahan-lahan, demam
tidak tinggi, nyeri kepala ringan, demam akan menghilang pada hari ke-6
atau ke-7 dan gejala ekstrapiramidal muncul setelah gejala neurologik
lainnya menghilang. Gejala ekstrapiramidal seperti Parkinson berupa
wajah menyerupai topeng (masklike facies), tremor, rigiditas dan gerakan
choreoathetoid sering terjadi.
Kelainan neurologik menyembuh pada akhir minggu ke-2 setelah
mulainya penyakit. Pada kasus berat, awitan penyakit sangat akut, kejang
menyerupai epilepsi, hiperpireksia, kelainan neurologik yang progresif,
penyulit kardiorespirasi dan koma, diakhiri dengan kematian pada hari ke-
7 dan ke-10 atau pasien hidup dan membaik dalamjangka waktu yang
lama, kadang-kadang terkena penyulit infeksi bakteri dan meninggalkan
14
2.11 PemeriksaanPenunjang
5. Electroencephalography (EEG)
EEG sering menunjukkan adanya perlambatan gelombang
delta yang kontinu dan difus serta pola gelombang delta difus
dengan spikes, sedangkan gelombang theta dengan burst
suppression. Perubahan EEG tidak berhubungan dengan derajat
beratnya penyakit JE maupun luaran penyakit (Rampengan N. H.,
2016).
6. Pungsi lumbal
Pungsi lumbal dilakukan untuk mendapatkan sampel CSS
sehingga dapat menyingkirkan diagnosis banding penyebab lain
dari ensefalitis. Tekanan pembukaan (opening pressure) biasanya
normal tetapi dapat juga meningkat. Level protein CSS sedikit
meningkat pada kebanyakan kasus, namun seringnya kurang dari
900 mg/dL. Kadar glukosa CSS seringkali normal. Antara 10 dan
beberapa ratus sel leukosit mononuklear dapat ditemukan pada
pemeriksaan hitung jenis (differential count). Virus JE dapat
diisolasi dari darah selama minggu pertama penyakit. Di dalam
CSS jarang ditemukan virus, kecuali pada kasus parah atau
fatal(Rampengan N. H., 2016).
7. Pemeriksaan serologik
Uji diagnostik baku yaitu IgM capture dengan cara ELISA dari
serum atau CSS. Sensitivitasnya mendekati 100%. Pemeriksaan
serologis lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan IAHA,
Hemagglutination Inhibition (HI), immunofluorecent antibody
(IFA) dan complement fixation (CF)(Rampengan N. H., 2016).
2.12 Penatalaksanaan
Sejauh ini belum ada agen antivirus yang jelas efektif untuk
penyakit JE, sehingga fokus terapi penyakit ini terutama simtomatis dan
suportif meliputi pemeliharaan jalan napas, pemberian oksigen walaupun
tidak ada tanda sianosis, pemantauan sirkulasi darah, pencegahan
kelebihan cairan, dan pemantauan gula darah karena sering terjadi
18
2.13 Pencegahan
Jadwal dan dosis vaksin JE saat ini ialah untuk pasien berusia 3 tahun ke
atas 1 mL secara subkutan pada hari 0, 7 dan 30, sedangkan untuk pasien berusia
1-2 tahun, diberikan dosis 0,5 mL. Jadwal vaksinasi hari 0, 7 dan 14 dapat
dipertimbangkan jika waktu yang tersedia sebelum bepergian tidak dapat
memenuhi interval dosis vaksin yang lebih lama. Pasien dengan jadwal vaksinasi
yang lebih pendek cenderung memiliki titer antibodi yang lebih rendah pada bulan
kedua dan bulan keenam setelah imunisasi dibandingkan dengan pasien yang
20
divaksinasi dengan jarak antar vaksinasi lebih lama, walaupun laju serokonversi
hampir serupa. Kebutuhan akan dosis booster masih belum jelas tetapi dapat
dipertimbangkan 36 bulan atau lebih lama setelah dosis ketiga. Pilihan kedua yang
mungkin dapat dilakukan ialah dengan mengikuti titer antibodi dan revaksinasi
ketika titer antibodi turun sampai kurang dari 1:10. Dosis terakhir vaksin
diberikan minimal 10 hari sebelum bepergian ke daerah endemis. Wanita hamil
perlu divaksinasi hanya bila mereka termasuk dalam kelompok risiko tinggi
terpapar virus JE karena sangat berisiko terjadi angioedema (Halstead, 2003).
CDC baru baru ini merekomendasikan bagi para wisatawan muda berusia
2 bulan hingga 16 tahun untuk divaksin melawan JE jika hendak berkunjung ke
daerah endemis penyakit tersebut. Rekomendasi ini diikuti persetujuan oleh FDA
pada Mei 2013 untuk memperluas pemakaian vaksin JE strain SA14-14-2 (Ixiaro)
sebagai satusatunya vaksin JE yang tersedia di Amerika Serikat (AS) untuk anak
berusia 2 bulan hingga 16 tahun. Pencegahan paling penting pada wisatawan yang
akan mengunjungi daerah endemis ialah menghindari paparan nyamuk, khususnya
pada malam hari. Sangat dianjurkan penggunaan kelambu nyamuk ketika tidur
dan mosquito repellent dengan diethyltoluamide (DEET) pada saat tertentu,
dimana risiko kontak dengan nyamuk-nyamuk terinfeksi berada (Lowry, 2016).
2.14 Komplikasi
Komplikasi terberat pada kasus Japanese Encephalitis adalah meninggal
dunia (terjadi pada 20-30% kasus Encephalitis). Kesan daripada gejala penyakit
ini boleh menjadi serius termasuklah kecacatan otak dan kematian. Kadar
kematian adalah sehingga 60% untuk pesakit yang menunjukkan gejala manakala
22
lebih kurang 30% pesakit akan mengalami kerosakan pada sistem saraf pusat
(Kementrian Kesehatan RI, 2017).
2.15 Prognosis
Selain itu demam tinggi yang berlangsung lama, kejang hebat dan sering
disertai depresi pernapasan yang timbul dini akan mengakibatkan prognosis
buruk. Riwayat infeksi dengue sebelumnya berhubungan dengan penurunan laju
morbiditas dan mortalitas, yang mungkin disebabkan oleh proteksi parsial reaksi
silang antibodi antiflaviviral. Infeksi virus JE pada kehamilan trimester pertama
atau kedua dapat menyebabkan kematian fetus. Infeksi pada trimester ketiga,
walaupun belum dievaluasi secara sistematis, namun nampaknya berhubungan
dengan luaran fetus normal. Kira-kira 33%-50% pasien yang mengalami penyakit
simptomatis memiliki sekuele neurologik mayor dalam 1 tahun, termasuk kejang,
paresis saraf kranial atau saraf motorik, dan gangguan gerak. Laju mortalitas pada
daerah yang kurang berkembang bisa melebihi 35%. Secara keseluruhan di
seluruh dunia, lebih dari 10.000 kematian akibat penyakit JE dilaporkan setiap
tahun (Endy, 2005).
i
BAB III
PEMBAHASAN
Musim kemarau tahun 1951, terjadi wabah encephalitis pada kuda impor
di Malaya bersamaan dengan adanya kasus JE di British Military Hospital di
Kinrara Kuala Lumpur. Seorang Perawat berkebangsaan Inggris mengeluhkan
malaise, lemah, nyeri pada wajah kiri dan nyeri kepala. Perawat tersebut
meninggal tidak lama setelah masuk rumah sakit. Hasil autopsy, ditemukan virus
JEV dengan Kinrara Strain pada Cerebrospinal fluid. Ini merupakan pertama kali
JEV diisolasi dari manusia (Kumar K. et al,2018).
dilakukan di Sarawak. derivat inaktif dari tikus formalin yang diproduksi oleh
Biken adalah vaksin yang dipakai di Malaysia. Vaksin diberikan pada umur 9 dan
12 bulan diikuti boosters pada umur 18, 54, 96, 132 dan 180 bulan(Kumar K. et
al,2018).
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
1. Update Japanese Encephalitis, masih dijumpai kasus di Malaysia
pada tahun 2016 dengan jumlah 37 kasus sedangkan di Indonesia
ditemukan 408 anak terinfeksi JE di bali. Pada tahun 2016 World Health
Organization (WHO) merekomendasikan integrasi vaksin JE kedalam
program imunisasi nasional kepada negara yang menjadikan JE sebagai
masalah kseahatan masyarakat. Indonesia baru memulai program
imunisasi nasional JE pada bulan maret 2018, Bali terpilih sebagai daerah
prioritas karena banyak ditemukan kasus JE.
4.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Bahri, S., & Sarosa, A. (2000). Everyday Spaces of Modernity, 5(1), 441.
Depkes RI, 2018. Kemenkes Canangkan Imunisasi Cegah Radang Otak Japanese
Enchepalitis(JE).
http://www.depkes.go.id/article/view/18030500003/kemenkes-canangkan-
imunisasi-cegah-radang-otak-japanese-enchepalitis-je-.html [access on 10th
october 2018].
Dutta, K., Rangarajan, P. N., Vrati, S., & Basu, A. (2010). Japanese encephalitis:
Pathogenesis, prophylactics and therapeutics. Current Science, 98(3), 326–
334.
Garjito, T.A., Widiarti, Anggraeni Y.M., Alfiah S., Satoto T.B.T., Farchanny A.,
Samaan G., Alfelt A., Manguin S., Frutos R., Aditama T.Y., 2018.
Japanese Encephalitis in Indonesia : An update on epidemiology and
transmission ecology. Acta Tropica 187 (2018) 240 – 147
Heffelfinger, J.D., Li, X., Batmunkh, N., Grabovac, V., Diorditsa, S., Liyanage,
J.B., Pattamadilok, S., Bahl, S., Vannice, K.S., Hyde, T.B., Chu, S.Y.,
Fox, K.K., Hills, S.L., Marfin, A.A., 2017. Japanese encephalitis
surveillance and immunization — asia and western pacific regions, 2016.
MMWR Morb. Mortal. Wkly. Rep. 66, 579–583.
https://doi.org/10.15585/mmwr.mm6622a3.
Jackson, Y., Chappuis, F., & Loutan, L. (2007). [Japanese encephalitis]. Revue
Médicale Suisse, 3(111), 1233–1236. https://doi.org/10.1055/s-2002-31526
Kari, K., Liu, W., Gautama, K., Mammen, M.P., Clemens, J.D., Nisalak, A.,
Subrata, K., Kim, H.K., Xu, Z.Y., 2006. A hospital-based surveillance for
Japanese encephalitis in Bali, Indonesia. BMC Med. 4.
https://doi.org/10.1186/1741-7015-4-8.
Paramarta, I., Kari, I., & Hapsara, S. (2009). Faktor Resiko Lingkungan pada
Pasien Japanese Encephalitis. Sari Pediatri, 5(5), 308–313.
https://doi.org/Article
Rampengan, N. H. (2016). Japanese Ensefalitis. Universitas Sam Ratulangi, 8,
10–22.
Sendow I., Bahri S., 2005. Perkembangan Japanese Encephalitis di Indonesia.
Balai Penelitian Veteriner
WHO, 2016. Japanese Encephalitis Vaccines: WHO position paper - February
2015. Wkly. Epidemiol. Rec. 21, 265–284. https://doi.org/10.1186/1750-
9378-2-15.Voir.
http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2018/03/09/340100/sumut_b
elum_pastikan_vaksinasi_japanese_encephalitis/
http://www.depkes.go.id/article/view/18030500001/to-know-more-japanese-
encephalitis.html
36
DAFTAR BIMBINGAN
Judul : “Update Japanese Encephalitis
No Hari/Tanggal Materi Bimbingan Paraf