Disusun oleh :
Kelompok 3 / A2-2018
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2020
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah asuhan
keperawatan anak dengan gangguan sistem neurologi meningitis, ensefalitis dan kenjang
demam ini telah kami usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai
pihak, sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami tidak lupa
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam
pembuatan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadar sepenuhnya bahwa ada kekurangan
baik dari segi penyusun bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena itu dengan lapang dada
dan tangan terbuka kami membuka selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin memberi saran
dan kritik kepada kami sehingga kami dapat memperbaiki makalah ini. Akhirnya penyusun
mengharapkan semoga dari makalah ini dapat diambil hikmah dan manfaatnya sehingga dapat
memberikan inpirasi terhadap pembaca.
Surabaya, 19 februari 2020
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Kejang merupakan suatu perubahan fungsi pada otak secara mendadak dan sangat
singkat atau sementara yang dapat disebabkan oleh aktivitas otak yang abnormal serta adanya
pelepasan listrik serebral yang sangat berlebihan. Terjadinya kejang dapat disebabkan oleh
malformasi otak congenital, faktor genetis atau adanya penyakit seperti meningitis, ensefalitis
serta demam yang tinggi atau dapat dikenal dengan istilah kejang demam, gangguan
metabolisme, trauma, dan lain sebagainya. Apabila kejangnya bersifat kronis dapat dikatakan
sebagai epilepsi yang terjadi secara berulang-ulang dengan sendirinya. (Hidayat, 2006) Dari
penelitian oleh berbagai pakar didapatkan bahwa sekitar 2,2%-5% anak pernah mengalami
kejang demam sebelum mereka mencapai usia 5 tahun (Hauser, WA dalam Lumbatobing
1995). Insidensi kejang demam diberbagai Negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa
barat mencapai 2-4% sedangkan di negara-negara jumlah penderita lebih tinggi lagi. Sekitar
20% diantara jumlah penderita mengalami kejang kompleks yang harus ditangani lebih teliti.
(Lian M, 2004).
Angka kejadian kejang demam ini tidak terlalu banyak, tetapi perlu diperiksa oleh ahli
kesehatan karena ditakutkan adanya infeksi pada otak. Kejang demam dilaporkan di Indonesia
mencapai 2 – 4% dari tahun 2005 – 2006. Propinsi Jawa Tengah mencapai 2 – 3% dari tahun
2005 – 2006. Sedangkan data dari Diklat Rumah Sakit Umum Daerah Kota Salatiga untuk
kasus kejang demam mencapai 2% pada tahun 2009 – 2010. Kejang demam merupakan
kedaruratan medis yang memerlukan pertolongan segera. Diagnosa secara dini serta
pengelolaan yang tepat sangat diperlukan untuk menghindari cacat yang lebih parah, yang
diakibatkan bangkitan kejang yang sering. Untuk itu tenaga perawat dituntut untuk berperan
aktif dalam mengatasi keadaan tersebut serta mampu memberikan asuhan keperawatan kepada
keluarga dan pasien, yang meliputi aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif secara
terpadu dan berkesinambungan serta memandang klien sebagai satu kesatuan yang utuh secara
bio-psiko-sosial-spiritual. Prioritas asuhan keperawatan pada kejang demam adalah:
mencegah/mengendalikan aktivitas kejang, melindungi pasien dari trauma,mempertahankan
jalan napas, meningkatkan harga diri yang positif, memberikan informasi kepada keluarga
tentang proses penyakit, prognosis dan kebutuhan penanganannya. (Doengoes, 2000).
1
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Meningitis
2.1.1 Definisi Meningitis
Meningitis adalah peradangan pada leptomeningens, dapat disebabkan oleh
bakteri, virus, atau meski jarang, jamur.Meningitis bakteri merupakan salah satu dari
infeksi yang kemungkinan paling serius pada bayi dan anak yang lebih tua (Karen dkk,
2011). Meningitis adalah suatu reaksi peradangan yang terjadi pada lapisan selaput
yang membungkus jaringan otak (arakhnoid, piamater) dan sumsum tulang belakang,
yang disebabkan oleh organisme seperti bakteri, virus, dan jamur. Meningitis adalah
suatu inflamasi pada membran araknoid, piamater, dan cairan serebrospinal. Proses
inflamasi terjadi dan menyebar melalui ruangan subaraknoid di sekeliling otak dan
medula spinalis serta ventrikel.
Patogen penyebab meningitis berbeda pada setiap grup umur. Pada neonatus,
patogen penyebab meningitis yang paling sering adalah Group B beta-haemolitic
streptococcus, Listeria monocytogenes, dan Escherichia coli. Pada bayi dan anakanak,
patogen penyebab meningitis yang paling sering adalah Haemophilus influenza (bila
lebih muda dari 4 tahun dan belum divaksinasi), meningococcus (Neisseria
meningitis), dan Streptococcus pneumonie (pneumococcus). Pada orang remaja dan
dewasa muda, patogen penyebab meningitis yang paling sering adalah S. pneumonie,
H. influenza, N. meningitis, gram negative Bacilli, Streptococci, dan Listeria
monocytogenes. Pada dewasa tua dan pasien immunocompromised, patogen penyebab
meningitis yang paling sering adalah Pneumococcus, Listeria monocytogenes,
tuberculosis, gram negative organis, dan Cryptococcus.
Pada bayi dan anak-anak lebih rentan karena merupakan faktor predisposisi
infeksi bakteri. Hal tersebut disebabkan karena pertahanan tubuh yang rendah dan
sistem imun yang masih belum sempurna. Pada anak-anak, gejala-gejala yang ada
sering tidak spesifik. Demam, lesu, tidak dapat tidur, iritabel, dan muntah sering
ditemukan, dan ada insidensi kejang yang lebih tinggi. Ditinjau dari segi usia,
meningitis bakterial lebih sering ditemukan pada anak usia 6 - <12bulan yang
mengalami kejang pertama (American Academy of Pediatrics, 2011).
4
2.1.2 Etiologi
Virus masuk kedalam susunan saraf pusat (SSP) melalui berbagai mekanisme.
Pada umumnya virus bereplikasi di luar SSP dan menginvasi SSP melalui penyebaran
secara hematogen, seperti pada enterovirus.Selain itu, virus dapat langsung melintasi
sawar darah otak, atau diangkut oleh leukosit yang terinfeksi dan kemudian
menginfeksi endotel pembuluh darah, misalnya pada mumps, measles, atau herpes
virus. Virus yang lain menginvasi melalui saraf perifer dan saraf otak, seperti polio
dan HIV. Pada saat virus telah berada di SSP, kemudian menyebar melalui ruang
subarachnoid dan menyebabkan respons inflamasi sehingga terjadi meningitis.Virus
dapat langsung menyebar secara langsung melalui leukosit menuju jaringan saraf.
5
Bakteri memasuki ruang subarakhnoid dan cairan serebrospinal (CSS) melalui
pleksus koroid atau kapiler serebral. Seluruh area ruang subarakhnoid yang meliputi
otak, medula spinalis, dan nervus optikus dapat dimasuki oleh bakteri dan akan
menyebar dengan cepat. Infeksi juga mengenai ventrikel, baik secara langsung melalui
peksus koroid maupun melalui refluks lewat foramina Magendie dan Luschka (Ropper
dkk, 2005). Infeksi bakteri mencapai sistem saraf pusat melalui invasi langsung,
penyebaran hematogen, atau embolisasi trombus yang terinfeksi.Infeksi juga dapat
terjadi melalui perluasan langsung dari struktur yang terinfeksi. Transmisi bakteri
patogen umumnya melalui droplet respirasi atau kontak langsung dengan karier.
Proses masuknya bakteri ke dalam sistem saraf pusat merupakan mekanisme yang
kompleks. Awalnya, bakteri melakukan kolonisasi nasofaring dengan berikatan pada
sel epitel menggunakan villi adhesive dan membrane protein. Risiko kolonisasi epitel
nasofaring meningkat pada individu yang mengalami infeksi virus pada sistem
pernapasan atau pada perokok.
Di otak mikroorganisme berkembangbiak membentuk koloni.Koloni
mikroorganisme itulah yang mampu menginfeksi lapisan otak (meningen).
Mikroorganisme menghasilkan toksik dan merusak meningen.Kumpulan toksik
mikroorganisme, jaringan meningen yang rusak, cairan sel berkumpul menjadi satu
membentuk cairan yang kental yang disebut pustule. Karena sifat cairannya tersebut
penyakit ini popular disebut meningitis purulenta.
7
8. MRI/ skan CT : dapat membantu dalam melokalisasi lesi, melihat
ukuran/letak ventrikel; hematom daerah serebral, hemoragik atau tumor
9. Ronsen dada/kepala/ sinus ; mungkin ada indikasi sumber infeksi intra
kranial.
8
2.1.7 Pemeriksaan Fisik
10
b. Obat anti-infeksi (meningitis bakterial):
1. Sefalosporin generasi ketiga
2. Amfisilin 150-200 mg/kgBB/24 jam IV, 4-6 x sehari
3. Klorafenikol 50 mg/kgBB/24 jam IV 4 x sehari.
11
Pengakajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya
hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang. meliputi pernahkah klien
mengalami infeksi jalan nafas bagian atas, tindakan bedah saraf, riwayat trauma kepala,
dan adanya pengaruh imunologis pada masa sebelmunya
e. Riwayat Kesehatan Keluarga
Keadaan kesehatan keluarga yang berhubungan dengan kesehatan klien/yang dapat
mempengaruhi keadaan masalah klien baik riwayat penyakit keturunan atau pola hidup
keluarga.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang mungkin timbul pada anak dengan Meningitis :
1. Pola Napas Tidak Efektif berhubungan dengan peningkatan volume cairan
diinterstitial
2. Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif berhubungan dengan penumpukan secret
disaluran napas
3. Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi
4. Kekurangan Volume Cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif.
5. Defisit Nutrisi berhubungan dengan penurunan intake makanan
6. Risiko Perfusi Serebral tidak efektif berhubungan dengan Peningkatan komponen
darah difaskuler sereberal
7. Nyeri Akut berhubungan dengan proses infeksi
8. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler ditandai
dengan tonus otot menurun, kekuatan menangis melemah
3. Intervensi
1. Pola Napas Tidak Efektif berhubungan dengan peningkatan volume cairan
diinterstitial
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … x 24 jam pola nafas tidak
efektif klien dapat teratasi.
Kriteria hasil:
NOC Label : Respiratory Status: Airway patency
1. Frekuensi, irama, kedalaman pernapasan dalam batas normal
2. Tidak menggunakan otot-otot bantu pernapasan
12
NOC Label : Vital Signs
1. Tanda-tanda vital dalam rentang normal tergantung dari batasan usia (tekanan darah,
nadi, pernafasan) (TD 100/60 – 130/99 mmHg, nadi 60-100 x/menit, RR : 12-24
x/menit, suhu 36,5 – 37,5 C)
Intervensi Rasional
13
2. Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif berhubungan dengan penumpukan secret
disaluran napas
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … x 24 jam diharapkan bersihan
jalan nafas klien kembali efektif
Kriteria hasil:
NOC Label : Respiratory Status: Airway patency
1. Frekuensi pernapasan dalam batas normal (16-20x/mnt)
Intervensi Rasional
14
1. Putuskan kapan dibutuhkan oral memenuhi kebutuhan oksigen dalam
dan/atau trakea suction tubuh.
Kriteria hasil:
Thermoregulation:
Intervensi Rasional
16
4. Selimuti pasien. warna kulit pasien.
5. Monitor intake dan output cairan. 3. Obat antipiretik dapat membantu
6. Kolaborasi pemberian cairan penurunan suhu tubuh pasien.
parenteral. 4. Untuk mencegah hilangnya kehangatan
7. Berikan kompres hangat dan tubuh.
menggunakan baju yang tipis 5. Untuk mengetahui ada atau tidaknya
menyerap keringat resiko kehilangan cairan dan elektrolit.
NIC: Termperature Regulation 6. Untuk membantu agar tidak terjadi
1. Tingkatkan cairan dan nutrisi pasien. kehilangan cairan dan elektrolit.
2. Ajarkan pada pasien cara mencegah 7. Kompres hangat dapat membantu
keletihan akibat panas. pengeluaran panas dan baju tipis dapat
3. Beritahukan pasien tentang indikasi membantu juga dalam pegeluaran panas
dari hipertermi dan penanganan yang dan menyerap keringat.
diperlukan. NIC: Temperature Regulation
1. Untuk mempertahankan cairan dan
nutrisi pasien dan mencegah terjadinya
dehidrasi dan penurunan asupan nutrisi.
2. Agar pasien dapat membatasi
aktivitasnya dan dapat mengatasi
keletihannya.
3. Agar pasien mengetahui tanda-tanda
hipertermi dan cara pencegahan yang
mudah dilakukan.
Kriteri hasil:
Suhu : 36,5-37,5 0C
Nadi : 60-100 x/menit
RR : 12-24 x/menit
17
TD : 100/60-139/99 mmHg
2. Nadi perifer dapat teraba.
Kriteria hasil:
18
1. Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan.
19
6. Risiko Perfusi Serebral tidak efektif berhubungan dengan Peningkatan komponen
darah difaskuler sereberal
Tujuan : setelah dilakuakn tindakan keperawatan selama … x 24 jam risiko perfusi
serebral tidak efektif dapat teratasi
Kriteria hasil:
3. Menunjukan fungsi sensori motorik kranial yang utuh : tingkat kesadaran membaik,
tidak ada gerakan-gerakan involunter
Intervensi Rasional
20
5. Kolaborasi pemberian analgetik 6. Untuk mencegah terjadinya peningkatan
tekanan intrakranial akibat gumpalan
6. Monitor adanya tromboplebitis
darah
7. Diskusikan mengenai penyebab
7. Untuk mengetahui adanya gangguan
perubahan sensasi
pada saraf cranial
Kriteria hasil:
22
Intervensi Rasional
1. Hindari berbaring atau duduk dalam 1. Berbaring atau duduk dalam posisi yang
posisi yang sama dalam waktu lama. sama dalam waktu lama dapat
meningkatkan kekakuan otot dan
menimbulkan risiko dekubitus.
2. Ajarkan latihan rentang gerak aktif
pada anggota gerak yang sehat 2. Untuk merelaksasikan otot agar
sedikitnya 4x sehari. imobilitas fisik perlahan-lahan dapat
teratasi
3. Anjurkan untuk ambulasi, dengan
atau tanpa alat bantu. 3. Untuk melatih otot agar terbiasa untuk
mobilisasi
Kriteria hasil:
Intervensi Rasional
23
4. Jauhkan objek yang berbahaya dari 6. Mengurangi keletihan pada klien yang
lingkungan klien. dapat menyebabkan resiko cedera.
5. Jauhkan dari panjanan yang tidak 7. Membantu petugas kesehatan mengurangi
diperlukan seperti mengerikan dan resiko cedera untuk klien dari kebiasaan
panas. yang dilakukan dan faktor-faktor
6. Batasi pengunjung. penyebabnya.
7. Identifikasi kebiasaan dan faktor 8. Mengurangi resiko cedera berulang pada
resiko yang mempengaruhi untuk pasien.
cedera. 9. Mengurangi resiko cedera.
8. Cari informasi riwayat cedera 10. Melatih klien untuk meminimalisir faktor
pasien dari keluarga. penyebab resiko cedera.
9. Kunci roda dari kursi roda, tempat
tidur saat memindahkan klien.
10. Ajarkan klien bagaimana cara
duduk, berdiri, dan berjalan yang
aman untuk meminimalkan cedera
bila diperlukan.
Kriteria hasil:
1. Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi (Nyeri, kemerahan, panas, bengkak)
Intervensi Rasional
6. Catat dan laporkan hasil 9. Agar tidak terjadi infeksi dan terpapar
laboratorium, WBC. oleh kuman atau bakteri.
7. Kaji warna kulit, turgor dan 10. Memandirikan klien dan keluarga.
tekstur, cuci kulit dengan hati-hati.
11. Agar keluarga pasien mengetahui tanda
8. Ajarkan keluarga bagaimana dan gejala dari infeksi.
mencegah infeksi.
12. Pemberian antibiotik untuk mencegah
9. Rawat luka dengan konsep steril. timbulnya infeksi
4. Implementasi
Implementasi merupakan tindakan yang akan dilakukan berdasarkan perencanaan yang
telah ditentukan secara umum. Intervensi yang dapat dilakukan pada klien meningitis
25
seperti monitor tanda-tanda vital, mengkaji adanya komplikasi, Monitor suhu sesering
mungkin minimal tiap 2 jam, Monitor warna dan suhu kulit, Monitor tekanan darah, nadi,
dan RR d. Berikan anti piretik jika perlu, Selimuti pasien untuk mencegah hilangnya
kehangatan tubuh, Kompres pasien pada lipat paha dan aksila peningkatan kesehatan,
pencegahan infeksi dengan dibantu oleh perawat, monitor intake dan out put, kolaborasi
dengan medis, membantu memenuhi kebutuhan klien, memberi support kepada klien dan
keluarga.
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan yang dipakai sebagai alat ukur
keberhasilan dari rencana keperawatan didalam memenuhi kebutuhan klien. Pada
perawatan klien dengan meningitis hasil yang diharapkan adalah: Frekuensi, irama,
kedalaman pernapasan dalam batas normal, Tidak menggunakan otot-otot bantu
pernapasan ,Tanda-tanda vital dalam rentang normal tergantung dari batasan usia (tekanan
darah, nadi, pernafasan). Klien mampu mengeluarkan sputum secara efektif, Tidak ada
akumulasi sputum, Tidak ada peruabahan warna kulit dan tidak ada pusing.
2.2 Ensefalitis
2.2.1 Definisi
Ensefalitis adalah peradangan pada parenkim otak yang merupakan salah satu infeksi
sistem saraf pusat (SSP) yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti bakteri, virus, parasit,
jamur, dan riketsia. Ensefalitis pada anak umumnya disebabkan oleh virus dan penyebab
penting mordibitas (gejala sisa) dan mortilitas pada anak.
Ensefalitis terjadi dalam dua bentuk, yaitu bentuk primer dan bentuk sekunder.
Ensefalitis Primer melibatkan infeksi virus langsung dari otak dan sumsum tulang belakang.
Sedangkan ensefalitis sekunder, infeksi virus pertama terjadi di tempat lain di tubuh dan
kemudian ke otak. Ensefalitis yang mengakibatkan kerusakan otak, dapat menyebabkan atau
memperburuk gejala gangguan perkembangan atau penyakit mental.
Komplikasi jangka panjang dari encephalitis berupa sekuele neurologikus yang
nampak pada 30 % anak dengan berbagai agen penyebab, usia penderita, gejala klinik, dan
penanganan selama perawatan.
26
2.2.2 Etiologi
Ensefalitis disebabkan oleh bakteri, virus, parasit, fungus dan riketsia. Penyebab yang
tersering adalah virus. Infeksi dapat terjadi karena virus langsung menyerang otak atau reaksi
radang akut karena infeksi sistemik atau vaksinasi terdahulu. Ensefalitis juga dapat diakibatkan
oleh invasi langsung cairan serebrospinal selama pungsi lumbal. Berbagai jenis virus dapat
menimbulkan Ensefalitis, meskipun gejala klinisnya sama. Sesuai dengan jenis virus serta
epidemiologinya, diketahui berbagai macam Ensefalitis virus. Menurut Soedarmo dkk, bahwa
virus Ensefalitis berkembang biak dari sel hidup yaitu di dalam nukleus dan sitoplasma seperti
babi, kuda, gigitan nyamuk dan lain lain.
2.2.3 Klasifikasi Ensefalitis
Ensefalitis ini disebabkan antara lain oleh virus, bakteri, jamur, ricketsia (masuk melalui
gigitan kutu), dan parasit. Kelimanya dapat diklasifikasi sebagai berikut :
A. Ensefalitis Supurativa
Peradangan yang disebabkan oleh bakteri staphylococcus aureus, streptococcus, E.coli dan
M.tuberculosa. Peradangan dapat menjalar ke jaringan otak dari otitis
media,mastoiditis,sinusitis,atau dari piema yang berasal dari radang, abses di dalam paru,
bronchiektasis, empiema, osteomeylitis cranium, fraktur terbuka, trauma yang menembus ke
dalam otak dan tromboflebitis. Reaksi dini jaringan otak terhadap kuman yang bersarang
adalah edema, kongesti yang disusul dengan pelunakan dan pembentukan abses. Disekeliling
daerah yang meradang berproliferasi jaringan ikat dan astrosit yang membentuk kapsula. Bila
kapsula pecah terbentuklah abses yang masuk ventrikel.
Secara umum gejala dari Ensefalitis Supurativa berupa trias ensefalitis ;
1) Demam
2) Kejang
3) Kesadaran menurun : Bila berkembang menjadi abses serebri akan timbul
gejala-gejala infeksi umum, tanda-tanda meningkatnya tekanan intracranial,
yaitu nyeri kepala yang kronik dan progresif,muntah, penglihatan kabur, kejang,
kesadaran menurun, pada pemeriksaan mungkin terdapat edema papil.Tanda-
tanda defisit neurologis tergantung pada lokasi dan luas abses.
27
B. Ensefalitis Siphylis
Disebabkan oleh Treponema pallidum. Infeksi terjadi melalui permukaan tubuh
umumnya sewaktu kontak seksual. Setelah penetrasi melalui epithelium yang terluka, kuman
tiba di sistim limfatik, melalui kelenjar limfe kuman diserap darah sehingga terjadi
spiroketemia. Hal ini berlangsung beberapa waktu hingga menginvasi susunan saraf pusat.
Treponema pallidum akan tersebar diseluruh korteks serebri dan bagian- bagian lain susunan
saraf pusat.
Gejala-gejala neurologis berupa kejang-kejang yang datang dalam serangan-serangan,
afasia, apraksia, hemianopsia, kesadaran mungkin menurun,sering dijumpai pupil Argryll-
Robertson, nervus opticus dapat mengalami atrofi. Pada stadium akhir timbul gangguan-
gangguan motorik yang progresif.
C. Ensefalitis Virus
28
3. Ensefalitis para-infeksiosa, yaitu ensefalitis yang timbul sebagai komplikasi
penyakit virus yang sudah dikenal seperti rubeola, varisela, herpes zoster,
parotitis epidemika, mononucleosis infeksiosa dan vaksinasi.
Menurut statistik dari 214 ensefalitis,54% (115 orang) dari penderitanya ialah anak-
anak. Virus yang paling sering ditemukan ialah virus herpes simpleks (31%) yang disusul oleh
virus ECHO (17%). Statistik lain mengungkapkan bahwa ensefalitis primer yang disebabkan
oleh virus yang dikenal mencakup 19%. Ensefalitis primer dengan penyebab yang tidak
diketahui dan ensefalitis para- infeksiosa masing-masing mencakup 40% dan 41% dari semua
kasus ensefalitis yang telah diselidiki.
Virus herpes simpleks tidak berbeda secara morfologik dengan virus varisela, dan
sitomegalovirus. Secara serologik memang dapat dibedakan dengan tegas. Neonatus masih
mempunyai imunitas maternal. Tetapi setelah umur 6 bulan imunitas itu lenyap dan bayi dapat
mengidap gingivo-stomatitis virus herpes simpleks. Infeksi dapat hilang timbul dan
berlokalisasi pada perbatasan mukokutaneus antara mulut dan hidung. Infeksi-infeksi tersebut
jinak sekali. Tetapi apabila neonatus tidak memperoleh imunitas maternal terhadap virus
herpes simpleks atau apabila pada partus neonatus ketularan virus herpes simpleks dari ibunya
yang mengidap herpes genitalis, maka infeksi dapat berkembang menjadi viremia. Ensefalitis
merupakan sebagian dari manifestasi viremia yang juga menimbulkan peradangan dan
nekrosis di hepar dan glandula adrenalis.
Pada anak-anak dan orang dewasa, ensefalitis virus herpes simpleks merupakan
manifestasi reaktivitasi dari infeksi yang laten. Dalam hal tersebut virus herpes simpleks
berdiam didalam jaringan otak secara endosimbiotik, mungkin digangglion Gasseri dan hanya
ensefalitis saja yang bangkit.
Kerusakan pada jaringan otak berupa nekrosis di substansia alba dan grisea serta infark
iskemik dengan infiltrasi limfositer sekitar pembuluh darah intraserebral. Di dalam nukleus sel
saraf terdapat “inclusion body” yang khas bagi virus herpes simpleks.
Gambaran penyakit ensefalitis virus herpes simpleks tidak banyak berbeda dengan
ensefalitis primer lainnya. Tetapi yang menjadi ciri khas bagi ensefalitis virus herpes simpleks
29
ialah progresivitas perjalanan penyakitnya. Mulai dengan sakit kepala, demam dan muntah-
muntah. Kemudian timbul “acute organic brain syndrome’ yang cepat memburuk sampai
koma. Sebelum koma dapat ditemukan hemiparesis atau afasia. Dan kejang epileptik dapat
timbul sejak permulaan penyakit. Pada pungsi lumbal ditemukan pleiositosis limpositer
dengan eritrosit.
Ensefalitis Arbo-virus
Ciri khas ensefalitis primer arbo-virus ialah perjalanan penyakit yang bifasik. Pada
gelombang pertama gambaran penyakitnya menyerupai influensa yang dapat berlangsung 4-5
hari. Sesudahnya penderita mereka sudah sembuh. Pada minggu ketiga demam dapat timbul
kembali. Dan demam ini merupakan gejala pendahulu bangkitnya manifestasi neurologik,
seperti sakit kepala, nistagmus, diplopia, konvulsi dan “acute organic brain syndrome”
Gejala-gejala prodromalnya terdiri dari lesu dan letih badan, anoreksia, demam, cepat
marah-marah dan nyeri pada tempat yang telah digigit anjing. Suara berisik dan sinar terang
sangat mengganggu penderita. Dalam 48 jam dapat bangkit gejala-gejala hipereksitasi.
Penderita menjadi gelisah, mengacau, berhalusinasi meronta-ronta, kejang opistotonus dan
hidrofobia. Tiap kali ia melihat air, otot-otot pernafasan dan laring kejang, sehingga ia menjadi
sianotik dan apnoe. Air liur tertimbun didalam mulut oleh karena penderita tidak dapat
menelan. Pada umumnya penderita meninggal karena status epileptikus. Masa penyakit dari
mula-timbulnya prodromal sampai mati adalah 3 sampai 4 hari saja.
30
Toxoplasma gondii pada orang dewasa biasanya tidak menimbulkan gejala- gejala kecuali
dalam keadaan dengan daya imunitas menurun. Didalam tubuh manusia parasit ini dapat
bertahan dalam bentuk kista terutama di otot dan jaringan otak.
3) Amebiasis
Amuba genus Naegleria dapat masuk ke tubuh melalui hidung ketika berenang di air yang
terinfeksi dan kemudian menimbulkan MeningoEnsefalitis akut. Gejala-gejalanya adalah
demam akut, nausea, muntah, nyeri kepala, kaku kuduk dan kesadaran menurun.
4) Sistiserkosis
Gejala-gejala neurologik yang timbul tergantung pada lokasi kerusakan.
E. Ensefalitis karena Fungus
Fungus yang dapat menyebabkan radang antara lain : Candida albicans, Cryptococcus
neoformans,Coccidiodis, Aspergillus, Fumagatus dan Mucor mycosis. Gambaran yang
ditimbulkan infeksi fungus pada sistim saraf pusat ialah meningo-ensefalitis purulenta. Faktor
yang memudahkan timbulnya infeksi adalah daya imunitas yang menurun.
F. Riketsiosis Serebri
Riketsia dapat masuk ke dalam tubuh melalui gigitan kutu dan dapat menyebabkan
Ensefalitis. Di dalam dinding pembuluh darah timbul noduli yang terdiri atas sebukan sel-sel
mononuclear, yang terdapat pula disekitar pembuluh darah di dalam jaringan otak. Didalam
pembuluh darah yang terkena akan terjadi trombositosis. Gejala gejalanya ialah nyeri kepala,
demam, mula-mula sukar tidur, kemudian mungkin kesadaran turun.
2.2.3 Patofisiologi
Virus masuk ke dalam tubuh klien melalui kulit, saluran nafas, dan saluran pencernaan.
Setelah masuk ke dalam tubuh virus akan menyebar ke seluruh tubuh dengan berbagai cara :
1. Lokal : virus hanya menginfeksi selaput lendir, permukaan atau organ tertentu
2. Penyebaran hematogen primer : virus masuk ke dalam darah kemudian menyebar ke
berbagai organ dan berkembang biak pada organ tersebut.
3. Penyebaran hematogen sekunder : virus berkembang biak di daerah pertama kali ia
masuk (permukaan selaput lendir) kemudian menyebar ke organ lain.
4. Penyebaran melalui saraf : virus berkembang biak dipermukaan selaput lender dan
menyebar melalui sistim saraf
Setelah terjadi penyebaran ke otak terjadi manifestasi klinis encephalitis. Masa
prodromal berlangsung 1-4 hari ditandai dengan demam, sakit kepala, pusing, muntah nyeri
tenggorokan, malaise, nyeri ekstremitas, dan pucat. Suhu badan meningkat, foto fobia, sakit
31
kepala, muntah-muntah, kadang disertai kaku kuduk apabila infeksi mengenai meningen. Pada
anak, tampak gelisah kadang disertai perubahan tingkah laku. Dapat disertai gangguan
penglihatan, pendengaran, bicara, serta kejang. Gejala lain berupa gelisah, rewel, perubahan
perilaku, gangguan kesadaran, kejang. Kadang-kadang disertai tanda neurologis fokal berupa
afasia, hemiparesis, hemiplagia, ataksia, dan paralisis saraf otak. Masa inkubasi virus ini
berkisar 4-15 hari.
Ensefalitis biasanya memperlihatkan gejala awal yang dramatis berupa delirium dan
penurunan progresif kesadaran. Dapat timbul kejang dan gerakangerakan abnormal. Setelah
masa inkubasi kurang lebih 5-10 hari akan terjadi kenaikan suhu yang mendadak, seringkali
terjadi hiperpireksia, nyeri kepala pada orang dewasa dan menjerit pada anak kecil.
Ditemukan tanda perangsangan SSP (koma, stupor, letargi), kaku kuduk, peningkatan reflek
tendon, tremor, kelemahan otot dan kadang-kadang kelumpuhan. Meskipun penyebabnya
berbeda, gejala klinis Ensefalitis lebih kurang sama dan khas sehingga dapat digunakan
sebagai kriteria diagnostik. Secara umum gejala berupa trias Ensefalitis yang terdiri dari
demam, kejang dan penurunan kesadaran.
2.2.5 Diagnosis
Diagnosis pasti untuk Ensefalitis ialah berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi
jaringan otak. Secara praktis diagnostik dibuat berdasarkan manifestasi neurologik dan
informasi epidemiologik. Sebaiknya diagnosis ensefalitis ditegakkan dengan :
Anamnesis yang cermat, tentang kemungkinan adanya infeksi akut atau kronis,
keluhan, kemungkinan adanya peningkatan tekanan intra kranial, adanya gejala,
fokal serebral/serebelar, adanya riwayat pemaparan selama 2- 3 minggu terakhir
terhadap penyakit melalui kontak, pemaparan dengan nyamuk, riwayat
bepergian ke daerah endemik dan lain-lain.
Pemeriksaan fisik/neurologik, perlu dikonfirmasikan dengan hasil anamnesis
dan sebaliknya anamnesis dapat diulang berdasarkan hasil pemeriksaan.
- Gangguan kesadaran
- Hemiparesis
- Tonus otot meninggi
- Reflek patologis positif
32
- Reflek fiisiologis menningkat
- Klonus
- Gangguan nervus kranialis
- Ataksia
33
CT scan kepala Dapat digunakan CT scan atau MRI untuk mengevaluasi derajat
pembengkakan dan tempat nekrosis.
EEG / Electroencephalography sering menunjukan aktivitas listrik yang merendah sesuai
dengan kesadaran yang menurun, adanya kejang, koma, tumor, infeksi sistem saraf,
bekuan darah, abses, jaringan parut otak, dapat menyebabkan aktivitas listrik berbeda dari
pola normal irama dan kecepatan.
2.2.7 Penatalaksanaan
Penderita baru dengan kemungkinan Ensefalitis harus dirawat inap sampai
menghilangnya gejala-gejala neurologik. Tujuan penatalaksanaan adalah mempertahankan
fungsi organ dengan mengusahakan jalan nafas tetap terbuka, pemberian makanan enteral atau
parenteral, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit dan koreksi gangguan asam basa
darah.
Tatalaksana yang dikerjakan sebagai berikut :
1. Mengatasi kejang adalah tindakan vital, karena kejang pada Ensefalitis biasanya berat.
Pemberian Fenobarbital 5-8 mg/kgBB/24 jam. Jika kejang sering terjadi, perlu diberikan
Diazepam (0,1-0,2 mg/kgBB) IV, dalam bentuk infus selama 3 menit.
2. Memperbaiki homeostatis, dengan infus cairan D5 - 1/2 S atau D5 - 1/4 S (tergantung
umur) dan pemberian oksigen.
3. Mengurangi edema serebri serta mengurangi akibat yang ditimbulkan oleh anoksia serebri
dengan Deksametason 0,15-1,0 mg/kgBB/hari i.v dibagi dalam 3 dosis.
4. Menurunkan tekanan intrakranial yang meninggi dengan Manitol diberikan intravena
dengan dosis 1,5-2,0 g/kgBB selama 30-60 menit. Pemberian dapat diulang setiap 8-12
jam. Dapat juga dengan Gliserol, melalui pipa nasogastrik, 0,5-1,0 ml/kgbb diencerkan
dengan dua bagian sari jeruk. Bahan ini tidak toksik dan dapat diulangi setiap 6 jam untuk
waktu lama.
5. Pengobatan Untuk pengobatan dapat dibagi menjadi 2 macam terapi : terapi kausatif dan
terapi simptomatis.
a. Terapi kausatif dapat disesuaikan dengan etiologi penyebabnya.
b. Terapi simptomatis, dapat berupa :
1) Oksigen
2) Nutrisi baik enteral maupun parenteral
3) Analgetik dan antipiretik : parasetamol 10 mg/kgBB/dosis
34
4) Antikonvulsi : Diazepam supp 0,5-0,75 mg/kgBB/dosis atau iv 0,3-0,5
mg/kgBB/dosis saat kejang. Kemudian apabila tidak berhenti dapat
diberikan loading Fenitoin 15-20 mg/kgBB dan Fenitoin maintenance 6-8
mg/kgBB/hari.
5) Fisioterapi dan upaya rehabilitatif setelah penderita sembuh
6) Makanan tinggi kalori protein sebagai terapi diet.
7) Lain-lain, perawatan yang baik, konsultan dini dengan ahli anestesi untuk
mengantisipasi kebutuhan pernapasan buatan. Perawatannya, yaitu mata :
cegah adanya exposure keratitis dengan pemberian BWC atau salep
antibiotika. Cegah decubitus dengan merubah posisi penderita tiap 2 jam.
Penderita dengan gangguan menelan dan akumulasi sekret lakukan
postural drainage dan aspirasi mekanis.
3. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Ensefalitis
1. Pengkajian
a. Biodata
Merupakan identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku
bangsa, alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian dan
diagnosa medis. Identitas ini digunakan untuk membedakan klien satu dengan yang
lain. Jenis kelamin, umur dan alamat dan kotor dapat mempercepat atau memperberat
keadaan penyakit infeksi.
b. Keluhan utama
Merupakan kebutuhan yang mendorong penderita untuk masuk RS. keluhan utama
pada penderita encephalitis yaitu sakit kepala, kaku kuduk, gangguan kesadaran,
demam dan kejang.
c. Riwayat penyakit sekarang.
Merupakan riwayat klien saat ini yang meliputi keluhan, sifat dan hebatnya
keluhan, mulai timbul atau kekambuhan dari penyakit yang pernah dialami
sebelumnya. Biasanya pada masa prodromal berlangsung antara 1-4 hari ditandai
dengan demam, sakit kepala, pusing, muntah, nyeri tenggorokan, malaise, nyeri
ekstrimitas dan pucat. Kemudian diikuti tanda ensefalitis yang berat ringannya
tergantung dari distribusi dan luas lesi pada neuron. Gejala terebut berupa gelisah,
irritable, screaning attack, perubahan perilaku, gangguan kesadaran dan kejang kadang-
35
kadang disertai tanda neurologis fokal berupa afasia, hemiparesis, hemiplegia, ataksia
dan paralisi saraf otak.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami pasien yang memungkinkan adanya
hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah pasien
mengalami infeksi jalan nafas bagian atas, otitis media, mastoiditis. Tindakan bedah
saraf, riwayat trauma kepala dan adanya pengaruh immonologis pada masa
sebelumnya. Riwayat penyakit TB paru perlu ditanyakan pada pasien trauma apabila
ada keluhan batuk produktif dan pernah menjalani pengobatan obat anti TB yang
sangat berguna untuk mengidentifikasi meningitis tuberculosa. Pengkajian pemakaian
obat yang sering digunakan pasien seperti pemakaian obat kortikosteroid. Pemakaian
jenis antibiotic dan reaksinya (untuk menilai resisten pemakaian antibiotic).
e. Riwayat Psikososial
Respon emosi pengkajian mekanisme koping yang digunakan pasien juga penting
untuk menilai pasien terhadap penyakit yang dideritanya .dan perubahan peran pasien
dalam keluarga dan masyarakat. serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari
harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.
f. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan secara per system B6 (brain, bladder, bowel, bone,
breathing, blood) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.
Pemeriksaan fisik dimulai dengan memeriksa TTV. Pada klien biasanya didapatkan
peningkatan suhu tubuh lebih daru normal, yaitu 38-410 C, dimulai dari fase sistemik.
Kemerahan, panas, kulit kering, berkeringat. Keadaan ini biasanya dihubungkan
dengan proses inflamasi dan iritasi meningen yang sudah mengganggu pusat pengatur
suhu tubuh. Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan dengan tanda-tanda
peningkatan TIK. Apabila disertai peningkatan frekuensi pernafasan
sering berrhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum dan adanya infeksi
pada system pernafasan sebelum mengalami meningitis. Tekanan darah biasanya
normal atau meningkat karena tanda-tanda peningkatan TIK. Berikut pemeriksaan fisik
sesuai 6 system :
36
B1 (BREATHING)
Inspeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot
bantu nafas, dan peningkatan prekuensi pernapasan yang sering didapatkan pada klien
meningitis yang disertai adanya gangguan pada system pernapasan. Palpasi thoraks
hanya dilakukan apabila terdapat deformitas pada tulang dada pada klien dengan efusi
fpeura massif (jarang terjadi pada klien dengan meningitis). Auskultasi bunyi nafas
tambahan sepetti ronchi pada klien dengan meningitis tuberkulosa dengan penyebaran
primer dari paru.
B2 (BLOOD)
Pengkajian pada system kardiovaskuler terutama dilakukan pada klien
meningitis pada tahap lanjut seperti apabila klien sudah mengalami renjatan (syok).
Infeksi fulminating terjadi pada sekitar 10% klien dengan meningitis meningokokus,
dengan tanda-tanda septicemia: demam tinggi yang tiba-tiba muncul, lesi purpura yang
menyebar (sekitar wajah dan ekstremitas), syok, dan tanda-tanda koagulasi
intravascular desiminata (disseminated intravascular coagulation-DIC). Kematian
mungkin terjadi dalam beberapa jam setelah serangan infeksi.
B3 (BRAIN)
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan focus dan lebih lengkap
dibandingkan pengkajian pada system lainnya. Pada pengkajian pada system ini
adapun yang dikaji adalah sebagai berikut :
1) Tingkat kesadaran
Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling mendasar dan
parameter yang paling penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat kesadaran
klien dan respons terhadap lingkungan adalah indicator paling sensitive untuk
disfungsi system persarafan. Beberapa system digunakan untuk membuat peringkat
perubahan dalam kewasspadaan dan kesadaran. Pada keadaan lanjut tingkat
kesadaran klien meningitis biasanya berkisar pada tingkat latergi, stupor, dan
semikomatosa. Apabila klien sudah mengalimi koma maka penilaian GCS sangat
penting untuk menilai tingkat kasadaran klien dan bahan evaluasi untuk memantau
pemberian asuhan keparawatan.
a) Fungsi serebri
37
Status mental: observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya
bicara klien dan observasi ekspesi wajah dan aktifitas motorik yang pada klien
meningitis tahap lanjut biasanya status mental klien mengalami perubahan.
b) Pemeriksaan saraf cranial
2) System motoric
Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan koordinasi pada
ensefalitis tahap lanjut mengalami perubahan.
3) Pemeriksaan refleks
Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, lagamentum atau
periosteum derajat refleks pada respons normal. Refleks patologis akan didapatkan
pada klien dengan tingkat kesadaran koma. Adanya refleks Babinski (+)
merupakan tanda adanya lesi UMN.
4) Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, kedutan saraf, dan distonia. Pada keadaan
tertentu klien biasanya mengalami kejang umum, terutama pada anak dengan
ensefalitis disertai peningkatan suhu tubuh yang tinggi. Kejang dan peningkatan
TIK juga berhubungan dengan meningitis. Kejang terjadi sekunder akibat area
fokal kortikal yang peka.
5) System sensorik
Pemeriksaan sensorik pada meningitis biasanya didapatkan sensasi raba,
nyeri, dan suhu normal, tidak ada perasaan abnormal dipermukaan tubuh. Sensasi
proprioseptif dan diskriminatif normal.
B4 (BLADDER)
Pemeriksaan pada system perkemihan biasanya didapatkan volume haluaran urine,
hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
B5 (BOWEL)
Mual sampai muntah karena peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan
nutrrisi pada klien ensefalitis menurun karena anoreksia dan adanya kejang. Terjadi
konstipasi karena kurangnya kontraksi usus.
B6 (BONE)
Adanya bengkak dan nyeri pada sendi-sendi besar (khususnya lutut dan pergelangan
kaki). Ptekia dan lesi purpura yang didahului oleh ruam. Pada penyakit yang berat
dapat ditemukan ekimosis yang besar pada wajah. Klien sering mengalami penurunan
38
kekuatan otot dan kelemahan fisik secara umum sehingga mengganggu aktifitas hidup
sehari-hari (ADL).
2. Diagnosa Keperawatan
a. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak
b. Nyeri akut
c. Hambatan mobilitas fisik
d. Risiko cedera
e. Risiko infeksi
f. Hipertermi
g. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
h. Kekurangan volume cairan
i. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
3. Intervensi Keperawatan
N Diagnosa Tujuan dan Kriterian Hasil Intervensi
o Keperawatan
1. Risiko Setelah diberikan asuhan NIC Label
ketidakefektifan keperawatan 1x24 jam Monitor Tekanan Intra Kranial
perfusi jaringan diharapkan perfusi jaringan (TIK)
otak serebral baik, dengan kriteria 1. Monitor tanda-tanda vital
hasil : 2. Monitor intake dan output
NOC Label (Perfusi 3. Monitor karakteristik cairan
Jaringan Serebral) serebrospinal : warna,
Tingkat kesadaran kejernihan, konsistensi
membaik 4. Pertahankan tirah baring,
Tanda vital dalam renang sediakan lingkungan yang
normal tenang, atur kunjungan sesuai
Suhu : 36,5-37,50C indikasi
RR : 40-60 x/menit 5. Beri posisi tidur dengan kepala
HR :100-150 x/menit ditinggikan 15-300
Pasien tidak gelisah. 6. Kolaborasi dalam pemberian
terapi oksigen
7. Berikan medikasi sesuai indikasi
: antihipertensi, vasodilator,
39
phenytoin.
Peripheral sensation management
(menejemen sensasi perifer )
8. Monitor adanya daerah tertentu
yang hanya peka terhadap panas
/dingin/tajam/tumpul
9. Monitor adanya paratese
10. Instruksi keluarga untuk
mengobservasi kulit jika ada isi
atau laserasi
11. Gunakan sarung tangan untuk
proteksi
12. Batasi gerakan pada kepala,
leher dan punggung
13. Monitor kemampuan BAB
14. Kolaborasi pemberian analgesic
15. Monitor adanya tromboplebitis
16. Diskusikan mengenai penyebab
perubahan sensasi
2. Nyeri akut Setelah diberikan asuhan NIC Label
keperawatan 1x24 jam Pain Management
diharapkan nyeri berkurang, 1. Observasi reaksi nonverbal dari
dengan kriteria hasil : ketidaknyamanan
NOC Label (Pain control) 2. Gunakan teknik komunikasi
Mampu mengontrol nyeri ( terapeutik untuk mengetahui
tahu penyebab nyeri, pengalaman nyeri pasien
mampu menggunakan 3. Kontrol lingkungan yang
tehnik nonfarmakologi mempengaruhi nyeri seperti suhu
untuk mengurangi nyeri, ruangan, pencahayaan dan
mencari bantuan) kebisingan
Melaporkan bahwa nyeri 4. Monitor TTV
berkurang dengan 5. Berikan pilihan untuk
menggunakan manajemn mengalihkan nyeri dengan teknik
40
nyeri non farmakologis (distraksi,
Mampu mengenali nyeri ( napas dalam)
skala, intensitas, frekuensi 6. Kolaborasi pemberian analgesik
dan tanda nyeri) sesuai indikasi.
Menyatakan rasa nyaman
setelah nyeri berkurang
3. Hambatan Setelah diberikan asuhan NOC Label
mobilitas fisik keperawatan 1x24 jam Exercise Therapy : ambulation
diharapkan dapat melakukan 1. Monitoroing vital sign
mobilisasi secara bertahap, sebelim/sesudah latihan dan lihat
dengan kriteria hasil : respon pasien saat latihan
NOC Label (Self care : 2. Konsultasiakan dengan terapi
ADLs) fisik tentang rencana ambulasi
Klien melakukan aktivitas sesuai dengan kebutuhan
fisik sendiri 3. Bantu klien untuk menggunakan
Mengerti tujuan dari tongkat saat berjalan dan cegah
peningkatan mobilitas terhadap cedera
4. Ajarkan pasien atau keluarga
tentang teknik ambulasi
5. Kaji kemampuan pasien dalam
mobilisasi
6. Latih pasien dal;am pemenuhan
kebutuhan ADLs secara mandiri
sesuai kemampuan
7. Dampingi dan bantu pasien saat
mobilisasi dan bantu penuhi
kebutuhan ADLs pasien
8. Berikan alat bantu jika pasien
memerlukan
9. Ajarkan pasien bagaimana
merubah posisi dan berikan
bantuan jika di perlukan
10.
41
4. Risiko Cedera Setelah diberikan asuhan NIC Label
keperawatan 1x24 jam Pencegahan cedera
diharapkan klien bebas 1. Sediakan tempat tidur yang
cedera, dengan kriteria hasil: rendah untuk klien
NOC Label (Pencegahan 2. Sediakan pengaman tempat tidur
cedera) (bed side, bantal)
Klien mengetahui faktor- 3. Monitor pengelolaan obat dibantu
faktor terjadinya kejang oleh keluarga
Menggunkan obat-obatan 4. Instruksikan keluarga memgenal
anti kejang potensial faktor dan risiko
Klien dapat mencegah terjadinya kejang
pemicu kejang 5. Ajarkan keluarga mengenai
lingkungan aman.
5. Resiko infeksi Setelah diberikan asuhan NIC Label
keperawatan 1x24 jam Kontrol Infeksi
diharapkan pasien tidak 1. Pantau tanda dan gejala infeksi
mengalami infeksi, dengan (seperti suhu tubuh, denyut
kriteria hasil : jantung, adanya phlebitis pada
NOC Label (Status imun) insersi intravena, keletihan dan
Terbebas dari tanda dan malaise)
gejala infeksi 2. cuci tangan sebelum dan sesudah
Septic marker dalam kontak dengan bayi
batas normal 3. Lakukan teknik aseptik dan
WBC : 9.10-34.0 103/µL antiseptik bila melakukan prosedur
IT Ratio < 0.20 invasive
Procalsitonin < 0.15. 4. lakukan perawatan tali pusat
5. Pantau hasil laboraturium (seperti
septic marker, protein serum dan
albumin)
6. Ajarkan orang tua pasien untuk
mencuci tangan sewaktu masuk
dan meningalkan ruangan pasien.
42
7. Kolaboratif dalam pemberian
terapi antibiotika.
6. Hipertermia Setelah diberikan asuhan NOC Label
keperawatan 1x24 jam Fever treatment
diharapkan pasien suhu 1. Monitor suhu sesering mungkin
tubuh normal, dengan 2. Monitor IWL
kriteria hasil : 3. Monitor warna dan suhu kulit
NOC Label 4. Monitor tekanan darah, nadi dan
(Thermoregulation) RR
Suhu tubuh dalam rentang 5. Monitor penurunan tingkat
normal (36,5-37,5°C) kesadaran
Nadi dan RR dalam 6. Monitor WBC, Hb, dan Hct
rentang normal 7. Monitor intake dan output
Tidak ada perubahan 8. Berikan anti piretik
warna kulit dan tidak ada 9. Berikan pengobatan untuk
pusing, merasa nyaman mengatasi penyebab demam
10. Selimuti pasien
11. Berikan cairan intravena
12. Kompres hangat pasien pada
lipat paha dan aksila
13. Tingkatkan sirkulasi udara
14. Berikan pengobatan untuk
mencegah terjadinya menggigil
7. Ketidakefektifa Setelah diberikan asuhan NIC Label
n bersihan jalan keperawatan 1x24 jam Airway suction
nafas diharapkan jalan napas 1. Pastikan kebutuhan oral /
bersih, dengan kriteria hasil : tracheal suctioning
NOC Label (Respiratory 2. Auskultasi suara nafas sebelum
status : Airway patency) dan sesudah suctioning.
Mendemonstrasikan batuk 3. Informasikan pada klien dan
efektif dan suara nafas keluarga tentang suctioning
yang bersih, tidak ada 4. Minta klien nafas dalam sebelum
sianosis dan dyspneu suction dilakukan.
43
(mampu mengeluarkan 5. Berikan O2 dengan
sputum, mampu bernafas menggunakan nasal untuk
dengan mudah, tidak ada memfasilitasi suksion
pursed lips) nasotrakeal
Menunjukkan jalan nafas 6. Gunakan alat yang steril sitiap
yang paten (klien tidak melakukan tindakan
merasa tercekik, irama 7. Anjurkan pasien untuk istirahat
nafas, frekuensi pernafasan dan napas dalam setelah kateter
dalam rentang normal, dikeluarkan dari nasotrakeal
tidak ada suara nafas 8. Monitor status oksigen pasien
abnormal) 9. Ajarkan keluarga bagaimana
Mampu cara melakukan suksion
mengidentifikasikan dan 10. Hentikan suksion dan berikan
mencegah factor yang oksigen apabila pasien
dapat menghambat jalan menunjukkan bradikardi,
nafas peningkatan saturasi O2, dll.
Airway Management
11. Lakukan fisioterapi dada jika
perlu
12. Keluarkan sekret dengan batuk
mengajarkan batuk efektif
13. Auskultasi suara nafas, catat
adanya suara tambahan
14. Berikan bronkodilator bila perlu
15. Berikan pelembab udara Kassa
basah NaCl Lembab
16. Atur intake untuk cairan
mengoptimalkan keseimbangan
8. Kekurangan Setelah diberikan asuhan NIC Label
volume cairan keperawatan 1x24 jam Fluid management
diharapkan pasien tidak 1. Timbang popok/pembalut jika
kekurangan cairan, dengan diperlukan
kriteria hasil : 2. Pertahankan catatan intake dan
44
NOC Label (Fluid balance output yang akurat
Hydration) 3. Monitor status hidrasi (
Mempertahankan urine kelembaban membran mukosa,
output sesuai dengan usia nadi adekuat, tekanan darah
dan BB, BJ urine normal, ortostatik ), jika diperlukan
HT normal 4. Monitor vital sign
Tekanan darah, nadi, suhu 5. Monitor masukan makanan /
tubuh dalam batas normal cairan dan hitung intake kalori
Tidak ada tanda tanda harian
dehidrasi, elastisitas turgor 6. Lakukan terapi IV
kulit baik, membran 7. Monitor status nutrisi
mukosa lembab, tidak ada 8. Berikan cairan
rasa haus yang berlebihan 9. Dorong masukan oral
10. Berikan penggantian nesogatrik
sesuai output
9. Ketidakseimban Setelah diberikan asuhan Nutrition Management
gan nutrisi keperawatan 1x24 jam 1. Kaji adanya alergi makanan
kurang dari diharapkan nutrisi seimbang, 2. Kolaborasi dengan ahli gizi
kebutuhan tubuh dengan kriteria hasil : untuk menentukan jumlah kalori
NOC Label (Nutritional dan nutrisi yang dibutuhkan
Status : food and Fluid pasien.
Intake) 3. Yakinkan diet yang dimakan
Adanya peningkatan berat mengandung tinggi serat untuk
badan sesuai dengan tujuan mencegah konstipasi
Berat badan ideal sesuai 4. Berikan makanan yang terpilih
dengan tinggi badan (sudah dikonsultasikan dengan
Mampu mengidentifikasi ahli gizi)
kebutuhan nutrisi 5. Berikan informasi tentang
45
8. Monitor interaksi anak atau
orangtua selama makan
9. Monitor lingkungan selama
makan
10. Monitor turgor kulit
11. Monitor mual dan muntah
12. Monitor pertumbuhan dan
perkembangan
13. Monitor pucat, kemerahan, dan
kekeringan jaringan konjungtiva
14. Monitor kalori dan intake
nuntrisi
15. Catat adanya edema, hiperemik,
hipertonik papila lidah dan
cavitas oral.
4. Implementasi
Implementasi merupakan tindakan yang akan dilakukan berdasarkan perencanaan yang
telah ditentukan secara umum. Intervensi yang dapat dilakukan pada klien ensefalitis adalah:
kaji status neurology, monitor tanda-tanda vital, mengkaji adanya komplikasi, hindari fleksi
leher, kaji kepatenan dan fungsi jalan nafas, peningkatan kesehatan, pencegahan infeksi
dengan dibantu oleh perawat, monitor intake dan out put, kolaborasi dengan medis, membantu
memenuhi kebutuhan klien, memberi support kepada klien dan keluarga.
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan yang dipakai sebagai alat ukur
keberhasilan dari rencana keperawatan didalam memenuhi kebutuhan klien. Pada perawatan
klien dengan ensefalitis hasil yang diharapkan adalah: perfusi jaringan serebral adekuat,
meningkatnya tingkat kesadaran, tubuh dipertahankan normal (36-37,2°C), nyeri
berkurang/hilang, melaksanakan program terapi, terhindari dari komplikasi ensefalitis.
46
2.3 Kejang Demam
2.3.1 Definisi Kejang Demam
2.3.2 Etiologi
Penyebab kejang demam Menurut Risdha (2014) yaitu:
Faktor –faktor perinatal, malformasi otak kongenital
a. Faktor genitika
Faktor keturunan dari salah satu penyebab terjadinya kejang demam, 25-
50% anak yang mengalami kejang demam memiliki anggota keluarga yang
47
pernah mengalami kejang demam.
b. Penyakit infeksi
1) Bakteri : penyakit pada traktus respiratorius, pharingitis, tonsillitis,
otitis media.
2) Virus : varicella (cacar), morbili (campak), dengue (virus penyebab
demam berdarah).
c. Demam
2.3.3 Patofisiologi
Menurut ngastiyah (2005), pada saat keadaan demam kenaikan suhu 1°C akan
mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10 % hingga 15 % dan kebutuhan oksigen
(O2) akan meningkat mencapai 20 %. Sirkulasi otak pada seorang anak yang berusia 3
tahun akan mencapai 65 % dari seluruh tubuh dibandingkan dengan sirkulasi otak
orang dewasa yang hanya 15 %, oleh karena Itu kenaikan suhu tubuh dapat mengubah
keseimbangan membran sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion
kalium dan natrium melalui membran listrik. dengan bantuan ”neurotransmitter”,
perubahan yang terjadi secara tiba-tiba ini dapat menimbulkan efek kejang.
48
2.3.4 Manifestasi Klinis dan Diagnosis
Menurut Wulandari & Erawati (2016) manifestasi kejang demam Yaitu:
a. Kejang demam menpunyai kejadian yang tinggi pada anak yaitu 3-4%
b. Kejang biasanya singkat, berhenti sendiri, banyak dialami oleh anak laki-laki
c. Kejang timbul dalam 24 jam setelah suhu badan naik diakibatkan infeksi
disusunan saraf pusat seperti otitis media dan bronkitis
d. Bangkitan kejang berbentuk tonik-klonik
e. Takikardi: pada bayi, frekuensi sering di atas 150-200 kali permenit
2. Diagnosa keperawatan
a. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses patologis
b. Gangguan volume cairan kurang dari kebutuhann tubuh b.d peningkatan suhu
tubuh
c. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas b.d peningkatan sekresi mucus
d. Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake yang tidak
adekuat (Doengoes, 2007)
3. Perencanaan
Perencanaan asuhan keperawatan pada anak dengan kejang demam sederhana
adalah sebagai berikut :
Rencana Tindakan Kperawatan
Diagnosa Perencanaan
NO
Keperawatan Tujuan Intervensi Rasional
1. Peningkatan suhu Tupan: 1. Pantau suhu 1. Suhu 38,9-41,1 0C
tubuh Setelah pasien (derajat menunjukkan proses
berhubungan dilakukan dan pola): penyakit infeksius
dengan proses tindakan perhatikan akut.
patologis keperawatan menggigil?diafore
selama 4 x 24 si.
50
suhu tubuh 2. Pantau suhu 2. Suhu ruangan,
normal. lingkungan, jumlah selimut harus
Tupen: batasi/tambahkan dirubah untuk
Setelah linen tempat tidur mempertahankan
dilakukan sesuai indikasi. suhu mendekati
tindakan normal
perawatan
selama 3 x 24 3. Berikan kompres 3. Dapat membantu
jam proses hangat: hindari mengurangi demam,
patologis teratasi penggunaan penggunaan air
dengan kriteria: kompres alkohol. es/alkohol mungkin
TTV stabil menyebabkan
Suhu tubuh kedinginan
dalam batas 4. Berikan selimut 4. Digunakan untu
normal pendingin kengurangi demam
umumnya lebih besar
dari 39,5-40 0C pada
waktu terjadi
gangguan pada otak.
Kolaborasi:
5. Berikan antipiretik 5. Digunakan untuk
sesuai indikasi mengurangi demam
dengan aksi sentral
52
pernafasan jika di
perlukan.
5. Menurunkan risiko
5. Lakukan
aspirasi atau
penghisapan
asfiksia.
sesuai indikasi
Kolaborasi :
6. Berikan tambahan
oksigen/ventilasi 6. Dapat menurunkan
manual sesuai hipoksia serebral
kebutuhan pada sebagai akibat dari
fase posiktal. sirkulasi yang
menurunkan atau
oksigen sekunder
terhadap spasme
vaskuler selama
serangan kejang.
4 Resiko perubahan Tupan: setelah 1. Buat tujuan berat 1. Malnutrisi adalah
nutrisi kurang dari dilakukan badan minimum kondisi gangguan
kebutuhan tubuh tindakan dan kebutuhan minat yang
b.d intake yang perawatan selama nutrisi harian. menyebabkan
tidak adekuat 5 x 24 jam depresi, agitasi dan
perubahan nutrisi
mempengaruhi
kurang dari
kebutuhan tidak fungsi
terjadi kognitif/pengambila
n keputusan.
Tupen: setelah
dilakukan 2. Pasien mendeteksi
tindakan 2. Gunakan pentingnya dan
perawatan selama pendekatan dapat beraksi
3 x 24 jam intake konsisten, duduk terhadap tekanan,
nutrisi adekuat, dengan pasien saat komentar apapun
dengan kriteria: yang dapat terlihat
makan, sediakan
Makan klien habis sebagai paksaan
BB klien normal dan buang
makanan tanpa memberikan fokus
persuasi padad makanan.
dan/komentar. 3. Dilatasi gaster dapat
3. Berikan makan terjadi bila
sedikit dan pemberian makan
makanan kecil terlalu cepat setelah
tambahan, yang periode puasa.
tepat. 4. Pasien yang
4. Buat pilihan menu meningkat
yang ada dan kepercayaan dirinya
izinkan pasien dan merasa
53
untuk mengontrol mengontrol
pilihan sebanyak lingkungan lebih
mungkin. suka menyediakan
makanan untuk
makan.
5. Pertahankan 5. Memberikan catatan
jadwal bimbingan lanjut penurunan
berat badan dan/atau
teratur. peningkatan berat
badan yang akurat.
4. Pelaksanaan
adalah pelaksanaan dari rencana intervensi untuk mencapai tujuan spesifik. Tahap
implementasi dimulai setelah rencana intervensi disusun dan ditujukkan pada nursing
5. Evaluasi
keperawatan dari masing-masing diagnosa keperawatan dapat dilihat pada kriteria hasil
intervensi keperawatan.
A. Penatalaksanaan medis
54
BB/kali dengan maksimal 5 mg pada anak berumur kurang dari 5 tahun,dan 10 mg
pada anak yang lebih besar.
2) Untuk mencegah edema otak , berikan kortikosteroid dengan dosis 20-30 mg/kg
BB/ hari dan dibagi dalam 3 dosis atau sebaiknya glukortikoid misalnya
deksametazon 0,5-1 ampul setiap 6 jam.
3) Setelah kejang teratasi dengan diazepam selama 45-60 menit disuntikan antipileptik
dengan daya kerja lama misalnya fenoberbital, defenilhidation diberikan secara
intramuskuler.Dosis awal neonatus 30 mg: umur satu bulan- Satu tahun 50 mg,
umur satu tahun keatas 75 mg
B. Penatalaksanaan keperawatan
Anak dengan demam dapat merasa tidak lapar dan sebaiknya tidak
memaksa anak untuk makan. Akan tetapi cairan seperti susu (ASI atau atau susu
formula) dan air harus tetap diberikan atau bahkan lebih sering. Anak yang lebih
tua dapat diberikan sup atau buah-buahan yang banyak mengandung air.
55
h) istirahatkan anak saat demam
Anak saat demam biasanya tubuhnya sangat lemah, saat anak demam
sebaiknya disarankan untuk istirahat yang cukup.
56
BAB III
WOC
pustule Meningitis
Fokal kortikal
yg peka dan
Aktivitas Iritasi peningkatan tik
makrofag meningnen
Peningkatan jumlah
prostagladin
demam
57
3.2 WOC ENSEFALITIS
Bakteri, virus,
parasit
Penyebaran
langsung
ensefalitis
Tekanan
intrakarnial
Edema pada
lempeng optik
Kerusakan
neuron muntah
Pelepasan zat
kimia
Demam Nyeri
58
3.3 WOC KEJANG DEMAM
Kenaikan suhu
Kenaikan
mobilitas
Sirkulasi otak
meningat
Mengubah keseimbangan
membrane sel
Kejang demam
59
BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN
B. Penanggung Jawab
Nama : Ny. W
Umur : 40 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Status Pernikahan : Sudah Menikah
Alamat : Surabaya
Hubungan : Ibu klien
2. Keluhan Utama
An. A mengatakan sering meraskan nyeri dibagian demam tinggi dan kejang.
3. Riwayat Kesehatan
A. Riwayat Penyakit Sekarang :
Klien mengatakan sudah satu minggu merasakan nyeri dibagian kepala, selain
itu klien juga merasakan kaku dibagian leher. Selain itu klien demam selama
satu minggu dan kejang. Sebelumnya klien sudah minum obat untuk
menurunkan demamnya, namun demamnya tidak turun juga. Suhu klien saat
diperiksa 38,9OC, ibu klien juga mengatakan bahwa klien sulit tidur ketika
hendak tidur karena nyeri yang dirasakan. Ibu klien mengatakan terdapat
benjolan dibagian leher klien yang sudah lama kurang lebih 1 bulan. Awalnya
klien merasa biasa saja dengan benjolannya namun lama kelamaan klien
merasa risih. Semakin hari benjolan tersebut semakin membesar. Ukuran
61
benjoloan kurang lebih 4 cm. akhirnya klien dibawa kerumah sakit untuk
melakukan pemeriksaan dan mendapatkan terapi RL 500ml (20 tpm).
1. Makan X
2. Minum X
3. Toileting X
4. Berpakaian X
5. Berpindah X
Keterangan :
0: Dilakukan secara mandiri.
1: Dilakukan dengan bantuan alat.
2: Dilakukan dengan bantuan keluarga.
3. Dilakuakn dengan bantuan alat dan keluarga.
4. Total ketergantungan.
B. Tidur dan Istirahat :
62
Sebelum sakit An.A mengatakan bahwa ia biasanya tidur siang 30 menit – 1
jam, malam 5 – 7 jam. An. A mengatakan tidak ada gangguan ketika hendak
tidur. Namun semenjak di rawat dirumah sakit ia mengatakan sulit tidur
karena merasa nyeri, sehingga pada siang hari pasien terasa lemas. Keluarga
klien mengatakan klien sulit tidur. Konjugtiva pucat.
C. Kenyamanan dan Nyeri :
Klien mengatakan nyeri dibagian kepala (frontalis).
P An. A mengatakan nyeri muncul sejak dua minggu.
T Nyeri muncul secara tiba – tiba dengan durasi kurang lebih 30 detik.
D. Nutrisi :
Sebelum An.A sakit mengatakan untuk makan, ia makan 3x sehari dengan
teratur. Maknaan yang bisa dimakan yaitu : nasi, sayur,dan juga daging.
Makanan favorit klien yaitu kerupuk dan juga gorengan. Selama sakit klien
kurang nafsu makan sehingga klien terlihat kurang bersemangat. Meskipun
begitu, klien bisa menghabiskan ½ porsi makan yang diberikan tim gizi.
Pemeriksaan status gizi berdasarkan antropometri A=BB: 46 kg, TB : 147 cm,
leukosit 15.000 103/ul, lemah otot.
E. Cairan, Elektrolit, Asam Basa :
An.A mengatakan bahwa sebelum sakit ia mengkonsumsi air 3 -4 gelas
sedangkan per hari kurang lebih 1000-1200ml dengan jenis minuman yaitu air
puih. Sejak dirumah sakit klien hanya minum 3 gelas air sehari kurang lebih
1200ml. Turgor kulit baik dan terpasang cairan infuse sejenis RL 500 ml
(20tpm).
F. Oksigenasi :
Klien mengatakan tidak ada masalah berkaitan dengan pernapasan namun
sejak sakit klien terkadang sesak nafas jika melakukan aktivitas berat sepeerti
63
berlari atau menaiki tangga. RR klien meningkat pada saat dikaji 28x/mnt.
Klien terpasang iksigenasi 5 liter menggunakan canul nasal.
G. Eliminasi Bowel :
An.A mengatakan bahwa sebelum sakit BAB lancar yaitu 1 hari sekali. Ibu
klien juga mengatakan tidak mengalami masalah saat BAB seperti diare
maupun konstipasi. Namun sejak klien sakit mengatakan agak sulit BAB dan
kadang sampai 2 hari sekali BAB.
H. Eliminasi Urin :
Sebelum sakit klien mengatakan tidak megalami masalah pada saat BAK.
An.A mengatakan ia BAK kurang lebih 4-5x sehari. Selama di rumah sakit
klien juga tidak mengeluhkan mengenai masalah BAK. Pada saat dikaji
pasien terpasang kateter dan warna urine kuning pekat.
I. Sensori, Persepsi, dan Kognitif :
Klien mengatakan untuk masalah sensori dan persepsi tidak terdapat
gangguan. Namun pada pengelihatan klien agak menurun karena klien merasa
nyeri jika membuka mata.
J. Pemeriksaan Fisik
6. B1 – B6 :
B1(breathing) : Frekuensi RR meningkat.
B2(blood) : takikardi
B3(brain) : somnolen
B4(bladder) : pengekuaran urin kuning pekat
B5(bowel) : muntah 2x
B6(bone) : lemah
7. Keadaan Umum :
Kesadran : Apatis.
GCS : E= 3 V= 5 M= 6 (total 14).
Vital sign : TD = 150/80 mmHg.
Nadi = frekuensi 60x/mnt, irama regular, kekuatan lemah.
Respirasi = frekuensi 28x/mnt, irama reguler.
Suhu = 38.9 OC.
Kejang : Ada
8. Kepala :
64
Kulit kepala : bentuk kepala mesosepalus, terdapat pembengkakan di
daerah parietal.
Rambut : warna rambut hitam merata, rontok.
Muka : bentuk simetris, tidak ada kelainan bentuk wajah.
Mata : konjugtiva anemis, sclera normal, pupil isokor, palpebra
normal.
Hidung : bentuk simetris, tidak ada sputum deviasi, tidak terdapat
polip, keadaan hidung bersih.
Mulut : keadaan mulut bersih, tidak ada karies gigi ataupun gigi
yang tanggal.
Telinga : simetris, tidak ada serumen dan luka.
9. Leher :
Bentuk tidak simetris, karena terdapat pembesaran kelenjar limfe bagian
dextra.
10. Dada :
Bentuk simetris, tidak terdapat pembesaran liver atau splenomegali.
Pulmo : Inspeksi = tidak terdapat pembengkakan/ bekas luka.
Palpasi = fremitus takti tidak seirama.
Perkusi = sonor.
Auskultasi = trakeal.
Cor : Inspeksi = tidak terdapat pembengkakan/bekas luka.
Palpasi = ictus cordis: ICS V midclavicula sinistra.
Perkusi = pekak.
Auskultasi = S1, S2 tunggal.
11. Abdomen :
Inspeksi : warna kulit sama dengan warna kulit sekitar, tidak terdapat
lesi, terdapat splenomegali pada abdomen kuadran III.
Palpasi : tidak terdapat asites, terdapat nyeri tekan.
Perkusi : timpani dan redup pada kuadran III.
Auskultasi : peristaltic usus 12x/mnt.
6. Genetalia :
Kedaan bersih, tidak terdapat inflamasi.
7. Rectum :
65
Terdapat hemoroid grade II.
8. Ekstremitas :
4 4
4 4
66
Hematokrit L 35 % 36 – 47 % NN
Netrofil 67,50 % 50 – 70 N
Limfosit L 36,17 % 22 – 40 N
Ureum 17 Mg/dl 10 – 50 N
SGOT 45 u/L 0 – 50 N
SGPT 27 u/L 0 – 50 N
B. Terapi Medis
Jenis Nama Obat Dosis Implikasi Keperawatan
Terapi
67
Oksigen 5 liter (canul Untuk mengurangi
nasal) hipoksia.
7. Data Fokus
9. Analisis Data
Nama Klien : An.A No. Register : xxxxx
Umur : 13 tahun Diagnosa Medis : Menigitis
Ruang Rawat : Lavender Alamat : Suarabaya
No/Tgl Data Fokus Etiologi Problem
DO :
- Klien tampak menahan nyeri,
69
pada saat berbicara klien
sering menutup mata untuk
mengurangi nyeri, tanda
krenik (+).
18 DS : Peningkatan Hipertermia
Februari laju
- Klien mengatakan suhu
2020 / metabolisme.
badan terasa panas/ demam
09.00
selama 1 minggu.
WIB
DO:
O
- Suhu 38,9 C, kulit terlihat
kemerahan dan terasa panas
saat dipalpasi.
18 DS : Resiko
Februari ketidak
- Klien mengatakan kaku
2020 / efektifan
dibagian leher.
09.00 perfusi
DO :
WIB jaringan
- Pemeriksaan CT scan
terdapat edema di kepala
(pariental), tanda brudzinski
(+), bagian ekstremitas klien
terasa dingin.
71
No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi
Keperawatan Hasil
72
Level Pain management.
73
Thermoregulation.
74
- - Cereberal perfusi
promotion.
- - Cereberal edema
management.
75
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan materi dalam makalah ini kami dapat menyimpulkan sebagai berikut:
1. Meningitis adalah peradangan pada leptomeningens, dapat disebabkan oleh bakteri,
virus, atau meski jarang, jamur.Meningitis bakteri merupakan salah satu dari infeksi
yang kemungkinan paling serius pada bayi dan anak yang lebih tua (Karen dkk,
2011).
2. Ensefalitis adalah peradangan pada parenkim otak yang merupakan salah satu
infeksi sistem saraf pusat (SSP) yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti
bakteri, virus, parasit, jamur, dan riketsia. Ensefalitis pada anak umumnya
disebabkan oleh virus dan penyebab penting mordibitas (gejala sisa) dan mortilitas
pada anak.
3. Arbovirus atau lengkapnya “arthropod-borne virus” merupakan penyebab penyakit
demam dan adakalanya ensefalitis primer. Virus tersebut tersebar diseluruh dunia.
Kutu dan nyamuk dimana virus itu “berbiak” menjadi penyebarannya.
4. Kejang merupakan suatu perubahan fungsi pada otak secara mendadak dan sangat
singkat atau sementara yang dapat disebabkan oleh aktifitas yang abnormal serta
adanya pelepasan listrik serebal yang sangat berlebihan.
5. Kejang demam / Step merupakan suatu bangkitan kejang yang terjadi dikarenakan
kenaikan suhu tubuh (suhu rectal di atas 38°C) yang disebabkan oleh suatu proses
ektrakranium ( = di luar rongga tengkorak).
5.2 Saran
Alam, A., 2011. Kejadian Meningitis Bakterial Pada Anak Usia 6-18 bulan yang menderita
Kejang Demam Pertama, Departmen Ilmu Kesehatan Anak, FK-
UNPAD/RSUP.Dr.Hasan Sadikin, Bandung. Sari Pediatri. 13 (4).American Academy
of pediatrics. 2011. Subcommittee on Febrile Seixures. Febrile Seizures: guideline for
neurodiagnostic evaluation of the child with a simple febrile seizure. Pediatrics.
Andrew & David. 2012. Camberlain’s Gejala dan Tanda dalam Kedokteran Klinis. Edisi 13.
London: Edward Arnold
Dewi, Angra Kusuma dan Asni. 2017. Encephalitis. Palu: Stikes Widya Nusantara
(http://www.academia.edu/download/54834662/MAKALAH_ENCEPHALITIS_angr
a.docx. Diakses pada tanggal 20 Februari 2020.)
Karen, dkk. 2011. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial. Edisi keenam. New York:
ELSEVIER
Khasanah. 2017. Asuhan Keperawatan Klien yang Mengalami Kejang Demam dengan
Hipertermi di RSUD Dr. Soedirman Kebumen
Khairani, Lisa. 2016. Profil Penggunaan Obat Pada Pasien Penyakit Ensefalitis Berdasarkan
Faktor Penyebabnya di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015.
Jakarta: Fakultas Kedokteran dan Ilme Kesehatan Prodi Farmasi
(http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/32814/1/LISA%20KHAIR
ANI.pdf. Diakses pada tanggal 20 Februari 2020.)
Kurniawan, Joko dan Nenny Sri Mulyani. 2018. Ensefalitis Virus dengan Gejala Sisa
Nerologis. (http://etd.repository.ugm.ac.id/. Diakses pada tanggal 20 Februari 2020.)
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan.
Jakarta: Salemba Medika.
Rahmayanti, Asih Devi. 2018. Laporam Pendahuluan Konsep Dasar Penyakit dan Konsep
Dasar Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Ensefalitisd. Fakultas Kedokteran
Universitas dayana. (https://id.scribd.com/document/390192745/Konsep-Dasar-
Penyakit-Ensefalitis. Diakses pada tanggal 28 Februari 2020.)
Ridwan, Nurul Muhriza, dkk. 2019. Faktor Psikologis yang Mempengaruhi Homeostatis dan
Kemandirian Pada Penderita Keterbelakangan Mental Akibat Ensefalitis. Bandung:
Jurnal Ilmu Penelitian Psikologis: Kajian Empiris dan Non Empiris, Vol 5, No 1, Hal
23–32.
77
Swartz MN, Nath A. Meningitis: bacterial, viral and other. Dalam: Goldman L, Schafer AI,
editor. Goldman’s-Cecil Medicine. Edisi ke-25. Philadelphia, PA: Elsevier Saunders;
2016. hlm. 2480.
78