Disusun Oleh :
Kelompok 10
Widia Nirmala Dewi R011191004
Vhinolia Permata Bamba Sion R011191006
Hikma Yanti Amelia Ishaq R011191012
Miftah Ainul Mughira R011191070
Tendri Mariadjeng Nurpa Masahude R011191078
Andi Ilfa Febriannisya R011191090
Octaviana Sabu Hurint R011191112
Gustina R011191126
Ardila Nurmadina R011191132
KELAS REGULER B 2019
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kepada tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah
Asuhan Keperawatan Klien dengan Alzheimer’s disease, demensia dan delirium.
Mata kuliah keperawatan medical bedah III dengan tepat waktu.
Makalah ini sudah kami susun dengan maksimal dan telah mendapat
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar, pembuatan makalah
ini. Untuk itu kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.
Makalah ini mungkin kurang sempurna, untuk itu kami mengharapkan kritik dan
saran dari pembaca untuk penyempurnaannya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB I .......................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ...................................................................................................................... 1
2. Etiologi ............................................................................................................................. 4
6. Patofisiologi ..................................................................................................................... 9
7. Pathway .......................................................................................................................... 11
B. DEMENSIA .................................................................................................................. 29
1. Definisi ........................................................................................................................... 29
iii
2. Etiologi ........................................................................................................................... 29
5. Patofisiologi ................................................................................................................... 33
6. Pathway .......................................................................................................................... 35
C. DELIRIUM .............................................................................................................. 54
1. Definisi......................................................................................................................................54
2.Etiologi...................................................................................................................................... 54
3.Faktor Predisposisi ................................................................................................................... 55
6.Patofisiologi .............................................................................................................................. 56
7.Pathway ................................................................................................................................... 58
11.Penatalaksanaan ...................................................................................................................... 60
A. Kesimpulan .................................................................................................................... 70
iv
B. Saran ............................................................................................................................... 70
v
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem persarafan dan sistem hormonal merupakan bagian-bagian tubuh yang
saling berkomunikasi dan saling berhubungan. Sistem ini mempunyai kemampuan
untuk mengoordinasi, menafsirkan, dan mengontrol interaksi antara individu dengan
lingkungan sekitarnya. Sistempersarafan mengatur kebanyakan aktivitas sistem-sistem
tubuh lainnya. Pengaturan saraf tersebut memungkinkan terjalinnya komunikasi antara
berbagai sistem tubuh hingga menyebabkan tubuh berfungsi sebaagi unit yang
hormonal. Dalam sistem inilah terdapat segala fenomena kesadaran, pikiran, ingatan,
bahasa, sensasi, dan gerakan. Jika kemampuan untuk dapat memahami, mempelajari
dan merespons suatu rangsangan merupakan hasil kerja terintegrasi sistem persarafan
yang mencapai puncaknya dalam bentuk kepribadian dan tingkah laku individu
(Muttaqin,2016).
Penyakit Alzheimer adalah penyakit pada syaraf yang sifatnya irreversible
akibat penyakit ini berupa kerusakan ingatan, penilaian, pengambilan keputusan,
orientasi fisik secara keselurahan dan pada cara berbicara (Dillak et al., 2012).
Demensia adalah kumpulan sindrom karena penyakit otak biasanya kronis (menahun)
atau progresif (bertahap, perlahan-lahan) dimana ada kerusakan fungsi kortikal lebih
tinggi yang multipel, termasuk memori, berpikir, orientasi, pemahaman, perhitungan,
kapasitas belajar, bahasa, dan pertimbangan. Gangguan kognitif ini umumnya disertai
dan terkadang didahului oleh penurunan kendali emosi, perilaku sosial, atau motivas
(Yulianti, 2018)
1
B. Rumusan Masalah
a. Apa definisi Alzheimer’s disease, demensia dan delirium?
C. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui definisi Alzheimer’s disease, demensia dan delirium
D. Manfaat Penulisan
a. Untuk menambah pengetahuan terkait Alzheimer’s disease, demensia dan
delirium
b. Dapat memberi pengetahuan lebih jauh mengenai asuhan keperawatan
pada pasien dengan Alzheimer’s disease, demensia dan deliriu
3
A. ALZHEIMER’S DISEASE
1. Definisi
Penyakit Alzheimer (AD) adalah penyakit kronis, progresif, degenerasi otak. Ini adalah
bentuk demensia yang paling umum, terhitung 60% hingga 80% dari semua kasus demensia.
Penyakit Alzheimer merupakan sebuah kelainan otak yang bersifat irreversible dan progresif
yang terkait dengan perubahan sel-sel saraf sehingga menyebabkan kematian sel otak. Penyakit
Alzheimer terjadi secara bertahap, dan bukan merupakan bagian dari proses penuaan normal
dan merupakan penyebab paling umum dari demensia.
2. Etiologi
Meskipun Penyebab Alzheimer disease belum diketahui, sejumlah faktor yang saat ini
berhasil diidentifikasi yang tampaknya berperan besar dalam timbulnya penyakit ini.
Faktor genetik berperan dalam timbulnya Alzheimer Disease pada beberapa kasus,
seperti dibuktikan adanya kasus familial. Penelitian terhadap kasus familial telah
memberikan pemahaman signifikan tentang patogenesis alzheimer disease familial,
dan, mungkin sporadik. Mutasi di paling sedikit empat lokus genetik dilaporkan
berkaitan secara eksklusif dengan AD familial. Berdasarkan keterkaitan antara trisomi
21 dan kelainan mirip AP di otak yang sudah lama diketahui, mungkin tidaklah
mengherankan bahwa mutasi pertama yang berhasil diidentifikasi adalah suatu lokus di
kromosom 21 yang sekarang diketahui mengkode sebuah protein yang dikenal sebagai
protein prekursor amiloid (APP). APP merupakan sumber endapan amiloid yang
ditemukan di berbagai tempat di dalam otak pasien yang menderita Alzheimer disease.
Mutasi dari dua gen lain, yang disebut presenilin 1 dan presenilin 2, yang masing-
masing terletak di kromosom 14 dan 1 tampaknya lebih berperan pada AD familial
terutama kasus dengan onset dini
Pengendapan suatu bentuk amiloid, yang berasal dari penguraian APP merupakan
gambaran yang konsisten pada Alzheimer disease. Produk penguraian tersebut yang
dikenal sebagai β- amiloid (Aβ) adalah komponen utama plak senilis yang ditemukan
pada otak pasien Alzheimer disease, dan biasanya juga terdapat di dalam pembuluh
darah otak.
4
Hiperfosforilasi protein tau merupakan keping lain teka-teki Alzheimer disease. Tau
adalah suatu protein intrasel yang terlibat dalam pembentukan mikrotubulus intra
akson. Selain pengendapan amiloid, kelainan sitoskeleton merupakan gambaran yang
selalu ditemukan pada AD. Kelainan ini berkaitan dengan penimbunan bentuk
hiperfosforilasi tau, yang keberadaanya mungkin mengganggu pemeliharaan
mikrotubulus normal.
Ekspresi alel spesifik apoprotein E (ApoE) dapat dibuktikan pada AD sporadik dan
familial. Diperkirakan ApoE mungkin berperan dalam penyaluran dan pengolahan
molekul APP. ApoE yang mengandung alel ε4 dilaporkan mengikat Aβ lebih baik
daripada bentuk lain ApoE, dan oleh karena itu, bentuk ini mungkin ikut meningkatkan
pembentukan fibril amiloid.
3. Faktor predisposisi
Beberapa faktor risiko yang telah diketahui, antara lain: usia, jenis kelamin,
riwayat penyakit dalam keluarga, disabilitas intelektual, genetik, psikososial dan
vascular (Perdossi, 2015; Kocahan and Dogan, 2017).
Usia, jenis kelamin, genetik, riwayat penyakit keluarga, disabilitas intelektual
dan Sindrom Down termasuk dalam faktor risiko penyakit Alzheimer yang tidak dapat
dimodifikasi.
Berikut merupakan faktor risiko Alzheimer yang dapat dimodifikasi, yaitu
vaskuler (hipertensi, hiperkolesterolemia, obesitas, merokok, diabetes mellitus dan
stroke), metabolik, kekurangan asam folat dan vitamin B dan gaya hidup yang tidak
sehat (makanan tidak bervariasi dan sehat, kurang beraktivitas, kurang sayur dan buah,
dan sebagainya)
Faktor psikososial, seperti rendahnya pendidikan, aktivitas sosial, jejaring sosial
juga meningkatkan risiko penyakit Alzheimer's (Kocahan and Dogan, 2017).
4. Manifestasi klinik
Orang dengan alzheimer disease mengalami gangguan progresif daya ingat dan
fungsi kognitif lainnya. Gangguan mula-mula mungkin samar dan mudah disalah-
sangka sebagai depresi, penyakit penting lain pada usia lanjut.
5
korteks lainnya. Pada sebagian kecil pasien, dapat muncul kelainan gerakan khas
parkinsonisme, biasanya berkaitan dengan adanya pembentukan badan lewy.
6
5. Penggolongan atau Pengelompokkan Tingkat Keparahan Penyakit
7
Ini merupakan tahap penyakit Alzheimer terpanjang, yang bisa berlangsung selama
bertahun-tahun. Pada tahap ini, fungsi kognitif lainnya sudah mulai terpengaruh, seperti
kesulitan dengan bahasa dan perhitungan. Kesulitan ini membuat penderitanya lebih sulit untuk
melakukan tugas sehari-hari. Ia mungkin masih mengingat memori yang lama, seperti alamat
tempat tinggal dan menikah dengan siapa. Namun, ia sulit mengingat informasi atau kejadian
yang baru saja terjadi. Ia pun kerap kesulitan dan frustasi saat berada pada pertemuan sosial,
atau bahkan cenderung murung dan menarik diri.
Tahap 5: Penurunan sedang-berat
Pada tahap kelima ini, penderita Alzheimer mulai memerlukan seseorang untuk
membantunya melakukan kegiatan sehari-hari. Penderita Alzheimer pada tahap ini mengalami
kesulitan mengenakan pakaian dengan benar, tidak mampu mengingat hal sederhana seperti
nomor telepon miliknya, dan sering kali mengalami kebingungan. Namun, pada tahap penyakit
Alzheimer ini, pasien masih bisa melakukan aktivitas sehari-hari, seperti mandi dan pergi ke
toilet sendiri, meski terkadang terasa sulit. Ia pun biasanya masih mengingat dan mengenali
anggota keluarganya.
Tahap 6: Penurunan yang berat
Penderita Alzheimer pada tahap keenam ini membutuhkan pengawasan dari orang lain.
Gejala yang muncul di antaranya sering kali merasa linglung dan bingung, tidak mengenali
orang lain kecuali keluarga atau teman yang dekat, tidak ingat riwayat masa lalunya, tidak bisa
mengendalikan dorongan buang air kecil dan besar, serta mengalami perubahan dalam sifat
dan perilaku. Umumnya Penderita perlu bantuan orang lain dalam melakukan kegiatan sehari-
hari seperti mandi dan pergi ke toilet. Selain itu, mungkin muncul delusi dan halusinasi pada
penderita Alzheimer. Misalnya, pasien mungkin siap-siap berangkat kerja padahal sebenarnya
sudah tidak bekerja lagi. Namun, pemberian obat Alzheimer dapat membantu penderita pada
tahap ini.
Tahap 7: Penurunan yang sangat berat
Pada tahapan yang paling berat ini, kerusakan otak yang terjadi bisa menyebabkan
gangguan mental dan fisik yang parah. Penderitanya mengalami keterbatasan dalam melakukan
aktivitas sehari-hari, seperti makan, berjalan, maupun duduk, sehingga membutuhkan bantuan
orang lain selama 24 jam. Pada tahap yang paling akhir ini, penderitanya juga mengalami
kesulitan berkomunikasi dengan orang sekitarnya, dan bahkan sulit untuk menelan makanan.
Tak hanya itu, karena mobilitas yang kurang, tubuhnya pun menjadi rentan terhadap infeksi,
seperti pneumonia.
8
6. Patofisiologi
Patofisiologi Alzheimer didasari oleh gangguan pada sistem pemeliharaan sel saraf,
yakni proses komunikasi, metabolisme, dan perbaikan sel saraf yang menyebabkan degenerasi
sel saraf itu sendiri. Beberapa hipotesis mengenai patofisiologi penyakit Alzheimer adalah
pembentukan plak amiloid, neurofibrillary tangles, kerusakan sel saraf dan sinaps akibat stres
oksidatif, dan reaksi inflamasi yang dianggap berperan dalam perburukan kondisi pasien
dengan Alzheimer.
a. Plak Amiloid dan Neurofibrillary Tangles
Plak amiloid dan neurofibrillary tangles merupakan penanda pada patologi penyakit
Alzheimer. Peningkatan produksi atau berkurangnya pembersihan amiloid β (berasal dari
protein prekursor amiloid β/ PPA) dianggap merupakan salah satu proses utama yang terjadi
pada penyakit Alzheimer. Pembelahan PPA dapat terjadi secara normal/ non amiloidogenik
atau secara abnormal/ amiloidogenik yang menghasilkan amiloid β. PPA dipecah oleh
sekretase α lalu oleh sekretase γ. Pada proses pemecahan amiloidogenik, pemecahan oleh
sekretase γ didahului oleh sekretase β, yang menyebabkan pelepasan amiloid β ke
kompartemen ekstraseluler. Fragmen-fragmen amiloid β tersebut akan bergabung dengan
molekul dan sel lain (selain sel saraf) membentuk plak padat yang tidak dapat larut di
ekstraseluler dan sekitar sel saraf. Plak amiloid β ini akan memicu hiperfosforilasi protein tau,
hilangnya sinaps, apoptosis sel saraf, kerusakan vaskuler otak, dan aktivasi mikroglia.
Pembentukan plak ini terjadi terutama di daerah hipokampus, bagian otak yang mengatur
fungsi memori, dan juga pada korteks serebri lain yang mengatur fungsi berpikir dan
pengambilan keputusan.
b. Neurofibrillary tangles (NFT)
Terbentuk di dalam sel saraf, diduga disebabkan karena agregasi dari protein tau yang
mengalami hiperfosforilasi. Protein tau berfungsi dalam stabilisasi mikrotubulus sel saraf.
Gangguan stabilitas sistem mikrotubulus akan mengganggu kerja aparatus Golgi, kemudian
meningkatkan proses pembelahan protein yang abnormal dan peningkatan produksi amiloid β.
Proses destabilisasi tersebut juga dapat menurunkan aliran akson-plasma, memicu distrofi
neurit dan hilangnya sinaps. NFT paling banyak ditemukan di bagian hipokampus dan korteks
entorhinal (pada lobus temporal bagian medial). Pada fase lanjut Alzheimer, NFT dapat
ditemukan pada bagian korteks serebri lainnya.
c. Stres Oksidatif
Kerusakan akibat stres oksidatif pada penyakit Alzheimer ditemukan pada bagian-
bagian otak yang mengatur fungsi kognitif. Stres oksidatif diduga mengganggu sintesis protein
9
yang dianggap sebagai awal dari kelainan patologis lain pada Alzheimer. Stres oksidatif
merupakan faktor yang juga berperan pada penyakit neurodegeneratif lain seperti Parkinson
dan sklerosis amiotropik lateral. Pembentukan karbonil bebas dan produk reaktif asam
tiobarbiturat (indeks kerusakan oksidatif) meningkat secara signifikan pada jaringan otak
pasien Alzheimer. Gangguan yang ditimbulkan oleh stres oksidatif salah satunya melalui
pembentukan reactive oxygen species (ROS) di membran sel. ROS mengganggu protein
membran yang terlibat dalam homeostasis ion seperti reseptor kanal N-methyl-D-aspartate
(NMDA) atau ion adenosin trifosfat. Penumpukan kalsium intrasel, akumulasi ROS, dan
kerusakan komponen sel akan memicu apoptosis sel tersebut.
d. Reaksi Inflamasi
Reaksi inflamasi pada sel saraf dan aktivasi sel glia diduga berperan dalam patofisiologi
penyakit Alzheimer. Peningkatan kadar sitokin dalam serum, plak korteks, dan sel saraf
ditemukan pada pasien Alzheimer dibandingkan dengan kelompok kontrol dengan usia yang
sama. Berdasarkan penelitian, sitokin anti inflamasi TGF-β1 dapat mempercepat pembentukan
deposit amiloid β.[1] Aktivasi reaksi imun muncul mengikuti pembentukan deposit amiloid β.
Pada penelitian lain didapatkan reaksi imun yang diakibatkan oleh infeksi virus memiliki
kesamaan dengan patologi Alzheimer pada hewan percobaan tikus, yakni aktivasi mikroglia
dan gliosis reaktif. Respon neuroinflamasi dapat dipicu oleh faktor intrinsik sistem saraf pusat
dan faktor sistemik. Faktor intrinsik yang dapat memicu neuroinflamasi adalah trauma pada
otak dan degenerasi lokus coeruleus. Kondisi yang dapat menimbulkan inflamasi sistemik
seperti psoriasis, diabetes melitus tipe 2, obesitas, terbukti merupakan faktor risiko yang dapat
meningkatkan kejadian Alzheimer.
e. Sistem Kolinergik
Sistem kolinergik terlibat dalam mengatur daya ingat seseorang. Aktivitas enzim
asetilkolinesterase dan choline acetyltransferase secara signifikan menurun pada otak penderita
Alzheimer terutama di bagian korteks serebri, hipokampus, dan amigdala. Disfungsi sistem
kolinergik berkorelasi dengan gangguan kognitif yang terjadi di penyakit Alzheimer.
10
7. Pathway Riwayat Penyakit
Keluarga
Trauma Usia Psikososial
Genetik Lingkungan
Genetik
Kekusutan neuro fibrilar (Kerusakan sistem saraf) Metabolisme dan aliran darah di korteks
parietalis superior
Atropi Otak
Alzheimer’s Sel Neuron Koligernik
Daya Ingat Lupa melakukan sesuatu yang Muncul gejala Gangguan Kognitif Perubahan Intelektual
telah dijadwalkan (Makan, psikiatrik
Minum, Personal Hygine) Mis. Sulit
Ketidakmampuan konsentrasi Sulit fokus Hambatan Kehilangan
mengingat aktivitas individu kemampuan
yang akan atau telah Defisit Perubahan (Kecemasan, menyelesaikan
dilakukan Perawatan Pola Adanya Sering melamun/ emosi labil, masalah
Diri Makan pembatasan gerak menyendiri pelupa,
apatis)
Gangguan
Koping
Memori Kurangnya asupan nutrisi dan cairan Sulit
Respon tidak sesuai tidak
melakukan efektif
Gangguan
aktivitas
1 Komunikasi
Defisit nutrisi
Gangguan Verbal
Risiko Cedera Persepsi Sensori
8. Deteksi dini
Bila ditemukan 2 dari 10 gejala demensia Alzheimer, segera konsultasikan ke dokter.
Untuk memeriksakan diri terkait kecurigaan Alzheimer, sebaiknya dibawa memeriksakan diri
ke dokter umum agar dirujuk untuk ke dokter spesialis saraf (neurolog), dokter ahli jiwa
(psikiater), atau dokter geriatri karena ketiga bidang ini yang sudah biasa mendiagnosa dan
menangani kasus-kasus tersebut. Ini bisa di RS yang terdekat dengan rumah, yang penting
sekeluarga nyaman untuk berdiskusi. Bila ada dokter langganan yang biasa menangani dan
sudah merasa cocok dengan beliau, ada baiknya meminta rekomendasi beliau juga, karena akan
memudahkan kontrol ke depannya. Selanjutnya, pada kasus tertentu, dirujuk lagi untuk
dikonsultasikan ke dokter ahli subspesialis neurobehavior, neurogeriatri, neuropsychiatry
(psiko-geriatri) untuk wawancara mendalam.
Sebaiknya saat datang ke dokter, bawalah catatan tentang keluhan-keluhan yang
keluarga temukan yang menimbulkan kecurigaan Alzheimer, disertai perkiraan waktunya
secara runtut. Misalnya: tahun 2017 mulai sering lupa lokasi menaruh barang, tahun 2018
cenderung lebih diam. Ini akan membantu dokter untuk membuat diagnosis. Pemeriksaan
biasanya mencakup tes neuropsikologi (pertanyaan-pertanyaan lisan maupun tulisan). Bila
dirasa perlu untuk menentukan demensia, dilanjutkan lagi dengan pemeriksaan fisik umum dan
neurologis, neuropsikiatri, neurogeriatri, pemeriksaan penunjang lainnya dengan CT SCAN,
MRI, PET Scan dan pemeriksaan laboratorium untuk mencari seperti: hipertensi, jantung,
dyslipidemia, diabetes mellitus, dan sebagainya.
9. Diferensial diagnosa
a. Demensia Vaskuler
Demensia vaskuler umumnya memiliki gejala neurologis fokal, selain dari
gangguan kognitif. Onset gejala-gejala tersebut biasanya mendadak. Pada pemeriksaan
pencitraan otak akan ditemukan lesi serebrovaskular yang mendukung gejala klinis.
b. Hidrosefalus dengan Tekanan Intrakranial Normal
Hidrosefalus dengan tekanan intrakranial normal memiliki trias klasik berupa
gait abnormal (shuffling gait, bradikinesia, magnetic gait), inkontinensia urin, dan
dementia. Pemeriksaan penunjang berupa pencitraan otak dan pungsi lumbal dapat
mendukung diagnosis penyakit ini.
c. Hipotiroidisme
12
Pasien dengan hipotiroidisme dapat mengalami gangguan memori juga. Gejala
lain yang dapat ditemukan atau mendahului adalah penambahan berat badan, tidak
tahan dingin, rambut rontok, konstipasi, rasa lemah pada tungkai, serta depresi.
Pemeriksaan laboratorium darah fungsi tiroid merupakan pemeriksaan yang sensitif
untuk menunjang diagnosis hipotiroidisme.
d. Penyakit Parkinson
Penyakit Parkinson juga dapat menunjukkan gejala demensia. Selain gejala
demensia, pasien memiliki gejala Parkinson khas lainnya seperti tremor esensial,
bradikinesia, rigiditas, dan instabilitas postural.
e. Dementia Lewy Body
Pada demensia Lewy body (DLB) kelainan ditemukan pada lobus frontal.
Gejala klinis yang menonjol yang membedakannya dengan Alzheimer adalah
halusinasi visual, fungsi kognitif yang berubah-ubah secara fluktuatif, kelainan motorik
seperti Parkinson, gangguan visuospasial dan fungsi eksekutif yang lebih berat.
Gangguan memori pada DLB biasanya lebih ringan.
f. Sindrom Wernicke-Korsakoff
Sindrom Wernicke-Korsakoff memiliki trias klasik nistagmus, ataksia, dan
delirium. Pemeriksaan penunjang serum tiamin dapat mendukung diagnosis.
g. Hipernatremia
Hipernatremia ditunjang dengan hasil pemeriksaan elektrolit. Koreksi keadaan
hipernatremia akan memberikan perubahan kondisi umum (khususnya ensefalopati)
yang signifikan pada pasien.
h. Alcohol Use Disorder atau Substance Use Disorder Lainnya
Alcohol use disorder atau substance use disorder lainnya dalam waktu lama
dapat menimbulkan gangguan kognitif. Dari anamnesis diperoleh riwayat penggunaan
alkohol atau obat terlarang. Hasil pemeriksaan laboratorium darah dan urine dapat
mendeteksi kadar zat-zat tersebut.
13
b. Pencitraan
Pencitraan sebaiknya dilakukan pada pasien yang menunjukkan gejala
gangguan kognitif dan perubahan perilaku. Pencitraan yang disarankan
dilakukan pertama kali adalah MRI otak. Bila MRI tidak tersedia atau ada
kontraindikasi untuk dilakukan MRI maka pemeriksaan CT Scan kepala dapat
menjadi alternatif. Gambaran yang mungkin ditemukan pada hasil pencitraan
dapat berupa penyusutan volume otak terutama pada bagian hipokampus.
Teknik pencitraan lain yang dapat digunakan bila hasil MRI atau CT Scan
meragukan adalah FDG-PET scan atau amiloid PET scan yang hasilnya
diinterpretasi oleh dokter yang ahli di bidang dementia.
c. Pungsi Lumbal
Pungsi lumbal biasanya hanya dilakukan untuk kepentingan penelitian,
tetapi pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan bila hasil pencitraan struktur otak
memberikan hasil yang meragukan. Pada pungsi lumbal penderita Alzheimer,
dapat ditemukan perubahan pada cairan serebrospinal berupa peningkatan kadar
protein tahu dan amiloid β.
d. Pemeriksaan Genetik
Pemeriksaan genetik terhadap gen prekursor protein amiloid dan
presenilin (PS1 dan PS2) disarankan dilakukan pada pasien Alzheimer onset
dini (<65 tahun) dengan atau tanpa riwayat demensia pada keluarga.
Pemeriksaan ini juga disarankan bagi seseorang yang memiliki riwayat keluarga
menderita penyakit Alzheimer onset dini yang terbukti mengalami mutasi pada
gen APP dan presenilin. Pemeriksaan genetik untuk APOE E4 lebih sering
dilakukan dalam konteks penelitian.
14
pada reseptor NMDA. Penguat kognisi yang direkomendasikan untuk
demensia ringan hingga sedang adalah Kolinesterase Inhibitor, sedangkan
untuk demensia hingga berat penguat kognisi yang disetujui adalah memantin
yang merupakan NMDA antagonis, dan penguat kognisi yang hanya disetujui
untuk demensia berat adalah donepezil.
2) Donepezil
Donepezil diindikasikan untuk pengobatan demensia alzheimer. Donep telah
terbukti efektif dalam memperbaiki fungsi kognisi pada pasien alzheimer
tahap ringan hingga sedang, juga pada pasien alzheimer tahap sedang hingga
berat. Donepezil bekerja dengan menghambat enzim asetilkolinesterase yang
menghancurkan asetilkolin dan meningkatkan asetilkolin. Dosis yang
direkomendasikan untuk pasien alzheimer dengan tahap ringan hingga sedang
adalah 5 10 mg/hari. Sedangkan dosis yang dianjurkan untuk pasien alzheimer
dengan tahap sedang hingga berat adalah 10 atau 23 mg/hari. Berdasarkan
13 RCT dan 2 review sistematik, donepezil berguna dalam terapi penurunan
kognisi pada penderita penyakit alzheimer. Jika dilihat dari skor MMSE,
penggunaan donepezil 10 mg pada perubahan dari dasar lebih baik jika
dibandingkan dengan penggunaan plasebo. Pada beberapa RCT, donepezil
meningkatkan skor MMSE 0.8 poin jika dibandingkan dengan plasebo.
3) Rivastigmine
Rivastigmine diindikasikan untuk pengobatan terhadap pasien alzheimer
dengan tahap ringan hingga sedang. Dosis awal yang dianjurkan adalah 1,5
mg dalam bentuk kapsul, dengan dosis maksimum 12 mg/hari. Rivastigmine
merupakan inhibitor AchE dan BchE otak yang ampuh. Cara kerja
rivastigmine secara pasti belum diketahui, namun rivastigmine dianggap
meningkatkan fungsi kolinergik dengan cara meningkatkan konsentrasi
asetilkolin. Untuk pasien alzheimer dengan tahap ringan hingga sedang dosis
yang dianjurkan adalah 1,5 mg oral dalam bentuk kapsul, dengan dosis
maksimum 12 mg/hari. Sedangkan untuk pasien alzheimer dengan semua
tahap dari ringan hingga berat boleh menggunakan patch transdermal dengan
dosis 13,3 mg/24 jam. Berdasarkan 4 RCT dan 3 review sistematik,
rivastigmine dengan dosis yang tinggi (612 mg/hari) berguna untuk
memperbaiki fungsi kognisi pada penderita penyakit alzheimer. Titrasi dosis
perlu dilakukan dalam penggunaan rivastigmine.
15
4) Galantamine
Galantamine diindikasikan untuk pengobatan terhadap pasien demensia
alzheimer dengan tahap ringan hingga sedang. Galantamine bekerja dengan
cara meningkatkan fungsi kolinergik dan kemungkinan menghambat AChE.
Dosis yang dianjurkan untuk penggunaan awal dalam bentuk tablet adalah
4 mg dua kali sehari, sedangkan untuk penggunaan awal dalam bentuk tablet
yang bekerja lebih lama dengan dosis 8 mg/hari. Dosis pemeliharaan yang
dianjurkan setelah dilakukan titrasi dosis adalah 16 Berdasarkan review
sistematik Memantine 24 mg/hari. terhadap 7 RCT, galantamin hanya
memberikan sedikit perbaikan fungsi kognisi.
5) Memantine
Memantine telah disetujui untuk pengobatan terhadap pasien alzheimer
dengan tahap sedang hingga berat. Dosis yang dianjurkan untuk penggunaan
awal dalam bentuk tablet adalah 5 mg/hari dan dapat ditingkatkan menjadi
dosis maksimum 20 mg/hari. Sedangkan untuk penggunaan awal dalam
bentuk kapsul yang bekerja lebih lambat adalah 7 mg/hari dan dapat
ditingkatkan hingga dosis maksimum 28 mg/hari. Memantine dapat diberikan
jika pasien penyakit alzheimer tidak dapat mentoleransi AchEI.
b. Non-Farmakologis
1) Mempertahankan Kognisi
Untuk mempertahankan fungsi pada penderita penyakit alzheimer, dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu : Mengadopsi strategi untuk meningkatkan
kemandirian penderita penyakit alzheimer, dan memelihara fungsi kognitif
penderita penyakit alzheimer.
2) Strategi untuk Meningkatkan Kemandirian
Tahapan demensia alzheimer yang diderita oleh pasien penyakit alzheimer
menentukan tingkat kemandirian pasien. Peran caregiver sangat dibutuhkan untuk
mendorong pasien penyakit alzheimer agar memiliki peran lebih aktif dan
mempertahankan kemandirian pasien dalam jangka waktu yang panjang dengan
cara cara yang menarik dan kreatif. Terdapat Strategi Strategi yang dapat diterapkan
untuk meningkatkan kemandirian pasien, yaitu : strategi komunikasi, pelatihan
keterampilan ADL/perencanaan kegiatan, teknologi bantuan/telecare/ adaptive aids,
latihan fisik, rehabilitasi, dan penatalaksanaan kombinasi.
3) Komunikasi
16
Untuk meningkatkan kemandirian pasien alzheimer strategi komunikasi
yang digunakan adalah dengan menggunakan bahasa sederhana, kalimat pendek
dan efektif. Selain itu, komunikasi nonverbal, seperti isyarat dan gerakan tubuh,
dan komunikasi secara tertulis melalui tulisan atau buku juga dapat digunakan
terhadap pasien penyakit alzheimer.
4) Pelatihan Keterampilan
ADL/Perencanaan Kegiatan Pelatihan keterampilan aktivitas harian dapat
membuat pasien penyakit alzheimer menjadi lebih mandiri dalam melakukan
kegiatan sehari hari, contohnya: mandi, makan, dan memakai pakaian), dan
membantu mempertahankan kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari hari yg
masih ada pada diri pasien.
5) Teknologi Bantuan
Teknologi bantuan untuk mempertahankan fungsi pada pasien penyakit
alzheimer dapat berupa produk, sistem, maupun peralatan yang dapat memelihara
fungsi kognitif pasien . Teknologi bantuan dalam bentuk sistem telekomunikasi
dan komputer dapat digunakan untuk mengasuh pasien penyakit alzheimer dengan
jarak jauh.
6) Latihan Aktivitas Fisik dan Olahraga
Latihan aktivitas fisik dan olahraga dapat menghambat perkembangan
penyakit alzheimer dan melindungi kesehatan otak. Peningkatan kesehatan
peredaran darah dihubungkan dengan ukuran hippocampal yang lebih besar pada
pasien alzheimer dengan tahap ringan, yang menunjukkan kesehatan peredaran
darah dapat mempengaruhi atrofi pada otak pasien alzheimer. Aktivitas fisik
sebaiknya dilakukan secara individual dengan menyesuaikan kemampuan yang
masih ada pada pasien alzheimer. Selain itu lingkungan pasien harus aman dan
tidak asing bagi pasien. Dokter sebaiknya mendorong pasien agar berpartisipasi
dalam kegiatan yang dapat menstimulasi kognitif pasien, namun tidak membuat
pasien stress.
17
Riwayat penyakit saat ini, klien biasanya mengeluhkan sering lupa dan hilangnya
ingatan yang baru. Keluarga sering mengeluhkan bahwa klien sering bertingkah laku
aneh dan kacau serta sering keluar rumah sendiri sehingga meresahkan anggota
keluarga yang menjaga klien.
Riwayat penyakit dahulu Adanya riwayat hipotensi, DM, penyakit jantung, penggunaan
obat-obatan antikolinergik dalam jangka waktu lama, dan riwayat sindrom down yang
pada suatu saat kemudian menderita Alzheimer pada usia empat puluhan.
Riwayat penyakit keluarga 10-30% penderita menunjukkan tipe yang diwariskan
2) Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai respon emosi
klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga
dan masyarakat serta pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari klien.Adanya
perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami kesulitan berkomunikasi akibat
gangguan bicara.Pola persepsi dan konsep diri didapatkan klien merasa tidak berdaya,
tidak ada harapan, mudah marah, dan tidak kooperatif.Perubahan terpenting adalah
penurunan kognitif dan penurunan memori (ingatan).
3) Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum Klien umumnya mengalami penurunan kesadaran sesuai
dengan degenerasi neuron kolinergik dan proses senilisme.
Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran klien biasanya apatis dan juga bergantung pada
perubahan status kognitif klien
4) Pemeriksaan fungsi serebri
Status mental: biasanya mengalami perubahan yang berhubungan dengan
penurunan status kognitif, penurunan persepsi, dan penurunan memori
baik jangka pendek maupun memori jangka panjang.
5) Pemeriksaan saraf cranial Saraf
Saraf I. Biasanya pada klien tidak ada kelainan fungsi penciuman
Saraf II. Hasil tes ketajaman penglihatan mengalami perubahan sesuai
tingkat usia. Klien mengalami penurunan ketajaman penglihatan
Saraf III, IV, dan VI. Pada beberapa kasus, biasanya tidak ditemukan
adanya kelainan pada nervus ini.
Saraf V. Wajah simetris dan tidak ada kelainan pada nervus ini.
Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal.
18
Saraf VIII. Adanya tuli konduktif dan tuli persepsi berhubungan proses
senilis dan penurunan aliran darah regional
Saraf IX dan X. Didapatkan kesulitan dalam menelan makanan yang
berhubungan dengan perubahan status kognitif.
Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius
Saraf XII. Fas Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
ikulasi.Indra pengecapan normal.
6) Sistem motorik
Pada tahap lanjut, klien akan mengalami perubahan dan penurunan pada
fungsi motorik secara umum. Adapun tonus otot didapatkan meningkat,
keseimbangan dan koordinasi didapatkan mengalami gangguan karena adanya
perubahan status kognitif dan keidakkooperatifan klien dengan
metode pemeriksaan.
7) Pemeriksaan refleks
Pada tahap lanjut, sering didapatkan bahwa klien kehilangan refleks
postural, apabila klien mencoba untuk berdiri klien akan berdiri dengan kepala
cenderung ke depan dan berjalan dengan gaya berjalan seperti didorong. Kesulitan
dalam berputar dan hilangnya keseimbangan dapat menimbulkan sering jatuh.
8) Sistem sensorik
Sesuai berlanjtnya usia, klien dengan mengalami penurunan terhadap sensasi sensorik
secara progresif. Penurunan sensorik yang ada merupakan hasil dari neuropati perifer
yang dihubungkan dengan disfungsi kognitif dan persepsi klien secara umum.
b. Diagnosa Keperawatan
a) Gangguan Memori
b) Defisit Perawatan Diri
c) Defisit Nutrisi
d) Risiko Cedera
e) Gangguan Persepsi Sensori
f) Gangguan Komunikasi Verbal
g) Koping Tidak Efektif
19
c. Rencana Keperawatan
Kategori : Fisiologis
Subkategori : Neurossensori
LUARAN INTERVENSI
21
Kolaborasi :
Rujuk pada terapi okupasi, jika perlu
Kategori : Perilaku
LUARAN INTERVENSI
22
Defisit Nutrisi (D.0019)
Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabollisme
Kategori : Fisiologis
LUARAN INTERVENSI
23
Risiko Cedera (D.0136)
Berisiko mengalami bahaya atau kerusakan fisik yang menyebabkan seseorang tidak lagi
sepenuhnya sehat atau dalam kondisi baik
Kategori : Lingkungan
LUARAN INTERVENSI
24
Gangguan Persepsi Sensori (D.0085)
Perubahan persepsi terhadap stimulus baik internal maupun eksternal yang disertai dengan respon
yang berkurang, berlebihan atau terdistorsi
Kategori: Psikologis
LUARAN INTERVENSI
25
Latih keterampilan Koping individu
26
Gangguan Komunikasi Verbal (D.0119)
Penurunan, perlambatan, atau ketiadaan kemampuan untuk menerima, memproses, mengirim,
dan/atau menggunakan sistem simbol
Kategori: Relasional
LUARAN INTERVENSI
27
Koping Tidak Efektif (D.0096)
Ketidakmampuan menilai dan merespon stresor dan/atau ketidakmampuan menggunakan
sumber-sumber yang ada untuk mengatasi masalah
Kategori: Psikologis
LUARAN INTERVENSI
28
B. DEMENSIA
1. Definisi
Menurut WHO, demensia adalah sindrom neurodegeneratif yang timbul karena adanya
kelainan yang bersifat kronis dan progresif disertai dengan gangguan fungsi luhur multipel
seperti kalkulasi, kapasitas belajar, bahasa, dan mengambil keputusan. Kesadaran pada
demensia tidak terganggu. Gangguan fungsi kognitif biasanya disertai dengan perburukan
kontrol emosi, perilaku dan motivasi.
Demensia vaskular (DVa) adalah bentuk demensia kedua terbanyak setelah penyakit
Alzheimer. Ia merupakan sindrom yang berhubungan dengan mekanisme vaskular yang
berbeda. Demensia vaskular dapat dicegah dengan deteksi dini dan diagnosis yang tepat adalah
penting. Dalam arti kata luas, semua demensia yang diakibatkan oleh penyakit pembuluh darah
serebral dapat disebut sebagai DVa. Istilah Dva menggantikan istilah demensia multi infark
karena infark multipel bukan satu-satunya penyebab demensia tipe ini. Infark tunggal di lokasi
tertentu, episode hipotensi, leukoaraiosis, infark inkomplit dan perdarahan juga dapat
menyebabkan kelainan kognitif. Saat ini istilah DVa digunakan untuk sindrom demensia yang
terjadi sebagai konsekuensi dari lesi hipoksia, iskemia atau perdarahan di otak.
Demensia vaskular adalah penurunan kognitif dan kemunduran fungsional yang
disebabkan oleh penyakit serebrovaskuler, biasanya stroke hemoragik dan iskemik, juga
disebabkan oleh penyakit substansia alba iskemik atau sekuele dari hipotensi atau hipoksia.
Demensia merupakan kumpulan sindrom dari kerusakan otak yang disebabkan oleh
perubahan kognitif akibat trauma otak atau degeneratif. (Julianti, 2008). Gangguan kognitif
adalah gangguan dari kemampuan kognitif yang meliputi atensi, kalkulasi, visuospasial,
bahasa, memori dan eksekutif. Pada lansia, gangguan kognitif yang biasanya terjadi yaitu pada
penyakit demensia. Gangguan kognitif yang terjadi pada demensia diantaranya adalah
gangguan bahasa (afasia), disorientasi, tidak mampu menggambar 2 atau 3 dimensi
(visuospasial), atensi, dan fungsi eksekusi dan gangguan emosi (KEMENKES RI No. 263,
2010).
2. Etiologi
Demensia merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Diperkirakan
terdapat sebanyak orang dengan demensia di Indonesia pada tahun 2020. Demensia Alzheimer
dan demensia vaskuler adalah dua jenis demensia tersering ditemukan. Masa perawatan
29
demensia yang panjang menimbulkan beban kesehatan dan sosioekonomi yang berat kepada
pasien, keluarga, masyarakat dan negara secara keseluruhan. Diagnosis dini sangat penting
karena memungkinkan pemilihan terapi farmakologi dan non-farmakologis yang tepat bagi
orang dengan demensia dan menghindari pemeriksaan yang tidak berguna. Disamping
perawatan terhadap pasien demensia, upaya meringankan beban pengasuh dan penerapan aspek
medikolegal harus menjadi prinsip penatalaksanaan demensia.
Penyebab utama dari demensia vaskular adalah penyakit serebrovaskular yang
multipel, yang menyebabkan suatu pola gejala demensia. Gangguan terutama mengenai
pembuluh darah serebral berukuran kecil dan sedang, yang mengalami infark menghasilkan
lesi parenkim multipel yang menyebar pada daerah otak yang luas. Penyebab infark termasuk
oklusi pembuluh darah oleh plak arteriosklerotik atau tromboemboli dari tempat asal yang jauh
seperti katup jantung. Pada pemeriksaan, ditemukan bruit karotis, kelainan funduskopi, atau
pembesaran kamar jantung.
Selain itu, faktor resiko demensia vaskular adalah:
1. Usia lanjut
2. Hipertensi
3. Merokok
4. Penggunaan alkohol kronis
5. Aterosklerosis
6. Hiperkolesterolemia
7. Homosistein plasma
8. Diabetes melitus
9. Penyakit kardiovaskular
10. Penyakit infeksi SSP kronis (meningitis, sifilis dan HIV)
11. Pajanan kronis terhadap logam (keracunan merkuri, arsenik dan aluminium)
12. Penggunaan obat-obatan (termasuk obat sedatif dan analgesik) jangka panjang
13. Tingkat pendidikan yang rendah
14. Riwayat keluarga mengalami demensia
3. Manifestasi klinik
Tanda dan gejala kognitif pada demensia vaskular selalu subkortikal, bervariasi dan
biasanya menggambarkan peningkatan kesulitan dalam menjalankan aktivitas harian seperti
makan, berpakaian, berbelanja dan sebagainya. Hampir semua kasus demensia vaskular
menunjukkan tanda dan simptom motorik.
30
Tanda dan gejala fisik DVa:
1. Kehilangan memori, pelupa
2. Lambat berpikir (bradifrenia)
3. Pusing
4. Kelemahan fokal atau dikoordinasi satu atau lebih ekstremitas
5. Inersia
6. Langkah abnormal
7. Konsentrasi berkurang
8. Perubahan visuospasial
9. Penurunan tilikan
10. Defisit pada fungsi eksekutif seperti kebolehan untuk inisiasi, merancang dan
mengorganisasi
11. Sering atau Inkontinensia urin dan alvi. Inkontinensia urin terjadi akibat
kandung kencing yang hiperrefleksi.
32
kejadian baru yang dialami, kesulitan melakukan pekerjaan rumah tangga,
kesulitan menemukan kata yang tepat untuk diungkapkan, mudah bepergian dan
tidak dapat kembali ketempat asal, mendengar dan melihat sesuatu yang tidak
ada, tidak bisa mengatur dirinya sendiri dan bergantung pada orang lain.
C. Late Stage
Pada tahap ini tahap akhir, pasien akan kehilangan fungsi serta lebih
ketergantungan pada orang lain seperti susah untuk makan, sulit untuk
berbicara, tidak dapat mengenali orang atau objek, berada di kursi roda ataupun
tempat tidur, kesulitan berjalan, memiliki inkontinensia bowel dan urinary,
kesulitan mengerti dan menginterpretasikan kejadian.
3. Tingkatan Demensia
A. Demensia Buruk Demensia yang dikatakan buruk yang memiliki skor
pemeriksaan MMSE dibawah 17 seperti disorintasi, gangguan bahasa, mudah
bingung, dan penurunan fungsi memori lebih berat sehingga penderita pada
kondisi ini tidak dapat melakukan kegiatan sampai selesai, mengalami
gangguan visuospasial, tidak mengenali anggota keluarganya (Gluhm et
all,2013).
B. Demensia Sedang
Demensia yang dikatakan demensia sedang yaitu yang memiliki skor MMSE
18- 23 yang artinya fungsi memori yang terganggu bisa menyebabkan lupa akan
hal baru yang dialami (Gluhm et all,2013).
C. Demensia dengan kondisi Baik Demensia yang dikatakan demensia sedang
yaitu yang memiliki skor MMSE lebih 34 yang artinya lansia dalam kondisi ini
masih mempunyai daya ingat yang tinggi (Gluhm et all,2013).
5. Patofisiologi
Semua bentuk demensia adalah dampak dari kematian sel saraf dan/atau hilangnya
komunikasi antara sel-sel ini. Otak manusia sangat kompleks dan banyak faktor yang dapat
mengganggu fungsinya. Beberapa penelitian telah menemukan faktor-faktor ini namun tidak
dapat menggabungkan faktor ini untuk mendapatkan gambaran yang jelas bagaimana demensia
terjadi.
33
Pada demensia vaskular, penyakit vaskular menghasilkan efek fokal atau difus pada
otak dan menyebabkan penurunan kognitif. Penyakit serebrovaskular fokal terjadi sekunder
dari oklusi vaskular emboli atau trombotik. Area otak yang berhubungan dengan penurunan
kognitif adalah substansia alba dari hemisfer serebral dan nuklei abu-abu dalam, terutama
striatum dan thalamus.
Mekanisme demensia vaskular yang paling banyak adalah infark kortikal multipel,
infark single strategi dan penyakit pembuluh darah kecil.
a. Demensia multi-infark: kombinasi efek dari infark yang berbeda menghasilkan
penurunan kognitif dengan menggangu jaringan neural.
b. Demensia infark single: lesi area otak yang berbeda menyebabkan gangguan
kognitif yang signifikan. Ini dapat diperhatikan pada kasus infark arteri serebral
anterior, lobus parietal, thalamus dan satu girus.
c. Penyakit pembuluh darah kecil menyebabkan 2 sindrom major, penyakit
Binswanger dan status lakunar. Penyakit pembuluh darah kecil menyebabkan
perubahan dinding arteri, pengembangan ruangan Virchow-Robin dan gliosis
parenkim perivaskular.
d. Penyakit lakunar disebabkan oleh oklusi pembuluh darah kecil dan
menghasilkan lesi kavitas kecil di otak akibat dari oklusi cabang arteri penetrasi
yang kecil. Lacunae ini ditemukan lebih sering di kapsula interna, nuklei abu-
abu dalam, dan substansia alba. Status lakunar adalah kondisi dengan lakuna
yang banyak, mengindikasikan adanya penyakit pembuluh darah kecil yang
berat dan menyebar.
e. Penyakit Binswanger (juga dikenal sebagai leukoencephalopathy subkortikal)
disebabkan oleh penyakit substansia alba difus. Pada penyakit ini, perubahan
34
vaskular yang terjadi adalah fibromelanosis dari arteri kecil dan nekrosis
fibrinoid dari pembuluh darah otak yang lebih besa
35
6. Pathway
35
7. Deteksi dini
● Sulit mengingat informasi
● Sulit membuat rencana
● Sulit melakukan kebiasaan
● Bingung dengan waktu dan tempat
● Sulit memahami informasi visual
● Sulit untuk berkomunikasi
● Lupa menaruh barang
● Sulit membuat keputusan
● Menarik diri dari lingkungan
● Perasaan dan emosi yang cepat berubah
8. Diferensial diagnosa
1. Penyakit Alzheimer Biasanya demensia vaskular telah dibedakan dari demensia
tipe Alzheimer dengan pembusukan yang mungkin menyertai penyakit 18
serebrovaskular selama satu periode waktu. Walaupun pemburukan yang jelas
dan bertahap mungkin tidak ditemukan pada semua kasus, gejala neurologis
fokal adalah lebih sering pada demensia vaskular dibandingkan pada demensia
tipe Alzheimer, demikian juga faktor risiko standar untuk penyakit
serebrovaskular.
2. Penurunan kognitif akibat usia Apabila usia meningkat, terjadi kemunduran
memori yang ringan. Volume otak akan berkurang dan beberapa sel saraf atau
neurons akan hilang.
3. Depresi Biasanya orang yang depresi akan pasif dan tidak berespon. Kadang-
kadang keliru dan pelupa.
4. Delirium Adanya kekeliruan dan perubahan status mental yang cepat. Individu
ini disorientasi, pusing, inkoheren. Delirium disebabkan keracunan atau infeksi
yang dapat diobati. Biasanya sembuh sempurna setelah penyebab yang
mendasari diatasi
5. Kehilangan memori Antara penyebab kehilangan memori yang lain adalah:
Malnutrisi, Dehidrasi , Fatigue ,Depresi, Efek samping obat, Gangguan
metabolik , Trauma kepala , Tumor otak jinak, Infeksi bakteri atau virus
Parkinson
36
9. Pemeriksaan Penunjang
● CT scan
● Magnetic Resonance Imaging (MRI)
● Positron Emission Tomography (PET)
● Single Photo Emission Computed Tomography (SPECT)
10. Penatalaksanaan
1. Non- Farmakologi :
a. Memperbaiki memori
The Heart and Stroke Foundation of Canada mengusulkan beberapa cara untuk
mengatasi defisit memori dengan lebih baik
● Membawa nota untuk mencatat nama, tanggal, dan tugas yang perlu dilakukan. Dengan
ini stres dapat dikurangkan.
● Melatih otak dengan mengingat kembali acara sepanjang hari sebelum tidur. Ini dapat
membina kapasiti memori
● Menjauhi distraksi seperti televisyen atau radio ketika coba memahami mesej atau
instruksi panjang
● Tidak tergesa-gesa mengerjakan sesuatu hal baru. Coba merencana sebelum
melakukannya.
● Banyak besabar. Marah hanya akan menyebabkan pasien lebih sukar untuk mengingat
sesuatu. Belajar teknik relaksasi juga berkesan.
b. Diet
2. Farmakologi
37
Progresifitas demensia vaskular dapat diperlambat jika faktor resiko vaskular seperti
hipertensi, hiperkolesterolemia dan diabetes diobati. Agen anti platlet berguna untuk
mencegah stroke berulang. Pada demensia vaskular, aspirin mempunyai efek positif
pada defisit kognitif. Agen antiplatelet yang lain adalah tioclodipine dan clopidogrel.
Obat untuk penyakit Alzheimer yang memperbaiki fungsi kognitif dan gejala perilaku
dapat juga digunakan untuk pasien demensia vaskular.
38
menjadi 10
mg/hari
Obat- obat untuk gangguan psikiatrik dan perilaku pada demensia adalah
39
Esitalopram 5-20 mg/hr Insomnia, diare,
mual, mulut kering ,
mengantuk
11.Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
● Riwayat kesehatan
Ditanyakan faktor risiko demensia vaskular seperti hipertensi, Diabetes melitus
dan hiperlipidemia. Juga riwayat stroke atau adanya infeksi SSP.
● Riwayat obat-obatan dan alkohol
Adakah penderita peminum alkohol yang kronik atau pengkonsumsi obat-
obatan yang dapat menurunkan fungsi kognitif seperti obat tidur dan
antidepresan golongan trisiklik.
40
● Riwayat keluarga
Adakah keluarga yang mengalami demensia atau riwayat penyakit
serebrovaskular.
b. Pemeriksaan Fisik
Pada demensia, daerah motorik, piramidal dan ekstrapiramidal ikut terlibat
secara difus maka hemiparesis atau monoparesis dan diplegia dapat melengkapkan
sindrom demensia. Apabila manifestasi gangguan korteks piramidal dan
ekstrapiramidal tidak nyata, tanda-tanda lesi organik yang mencerminkan gangguan
pada korteks premotorik atau prefrontal dapat membangkitkan refleks-refleks. Refleks
tersebut merupakan pertanda keadaan regresi atau kemunduran kualitas fungsi.
● Refleks memegang (grasp reflex).
Jari telunjuk dan tengah si pemeriksa diletakkan pada telapak tangan si
penderita. Refleks memegang adalah positif apabila jari si pemeriksa dipegang
oleh tangan penderita
● Refleks glabela.
Orang dengan demensia akan memejamkan matanya tiap kali glabelanya
diketuk. Pada orang sehat, pemejaman mata pada ketukan berkali-kali pada
glabela hanya timbul dua tiga kali saja dan selanjutnya tidak akan memejam lagi
● Refleks palmomental.
Goresan pada kulit tenar membangkitkan kontraksi otot mentalis ipsilateral
pada penderita dengan demensia
● Refleks korneomandibular.
Goresan kornea pada pasien dengan demensia membangkitkan pemejaman
mata ipsilateral yang disertai oleh gerakan mandibula ke sisi kontralateral
● Snout reflex.
Pada penderita dengan demensia setiap kali bibir atas atau bawah diketuk m.
orbikularis oris berkontraksi
● Refleks menetek (suck reflex).
Refleks menetek adalah positif apabila bibir penderita dicucurkan secara
reflektorik seolah-olah mau menetek jika bibirnya tersentuh oleh sesuatu
misalnya sebatang pensil
● Refleks kaki tonik.
Pada demensia, penggoresan pada telapak kaki membangkitkan kontraksi tonik
dari kaki berikut jari-jarinya.
41
c. Pemeriksaan MMSE
Pemeriksaan MMSE Alat skrining kognitif yang biasa digunakan adalah
pemeriksaan status mental mini atau Mini-Mental State Examination (MMSE).
Pemeriksaan ini berguna untuk mengetahui kemampuan orientasi, registrasi, perhatian,
daya ingat, kemampuan bahasa dan berhitung. Defisit lokal ditemukan pada demensia
vaskular sedangkan defisit global pada penyakit Alzheimer.
MMSE Folstein (lihat lampiran):
Pertanyaan Skor
42
Minta pasien untuk mengikut arahan 2
sebanyak 3- langkah
skor 30
Skoring: skor maksimum yang mungkin adalah 30. Umumnya skor yang kurang
dari 24 dianggap normal. Namun nilai batas tergantung pada tingkat edukasi seseorang
pasien. Oleh karena hasil untuk pemeriksaan ini dapat berubah mengikuti waktu, dan
untuk beberapa individu dapat berubah pada siang hari, rekamlah tanggal dan waktu
pemeriksaan ini dilakukan.
D. Rencana Keperawatan
Kategori: Fisiologis
Subkategori: Neurosensori
LUARAN INTERVENSI
43
mengingat perilaku tertentu yang pernah Terapeutik:
dilakukan ● Rencanakan metode mengajar sesuai
● menurunnya verbalisasi lupa jadwal kemampuan pasien
● Stimulasi memori dengan mengulang
pikiran yang terakhir kali diucapkan ,
jika perlu
● koreksi kesalahan orientasi
● Fasilitasi mengingat kembali
pengalaman masa lalu, jika perlu
● Fasilitasi tugas pembelajaran ( mis,
mengingat informasi verbal dan
gambar )
● Fasilitasi kemampuan konsentrasi (
mis, bermain kartu pasangan) , jika
perlu
● Stimulasi menggunakan memori pada
peristiwa yang baru terjadi ( mis,
bertanya kemana saja ia pergi akhir-
akhir ini ) , jika perlu
Edukasi:
● Jelaskan tujuan dan prosedur latihan
● Ajarkan teknik memori yang tepat
(mis. Imajinasi visual, perangkat
memorik, permainan memori, isyarat
memori, teknik asosiasi, memuat
daftar, komputer, papan nama)
Kolaborasi:
● Rujuk pada terapi okupasi, jika perlu
Orientasi realita:
Observasi:
● Monitor perubahan orientasi
● Monitor perubahan kognitif dan
44
perilaku
Terapeutik:
● Perkenalkan nama saat memulai
interaksi
● Orientasikan orang,tempat dan waktu
● Hadirkan realita (mis. beri penjelasan
alternatif, hindari perdebatan)
● Sediakan lingkungan dan rutinitas
secara konsisten
● Atur stimulus sensorik dan lingkungan
(mis. kunjungan, pemandangan,suara,
pencahayaan, bau dan sentuhan)
● Gunakan simbol dalam
mengorientasikan lingkungan (mis.
tanda, gambar, warna)
● Libatkan dalam terapi kelompok
orientasi
● Berikan waktu istirahat dan tidur yang
cukup, sesuai kebutuhan
● Fasilitasi akses informasi (mis.
TV,surat kabar, radio)
Edukasi:
● Anjurkan perawatan diri secara
mandiri
● Anjurkan penggunaan alat bantu
(mis.kacamata, alat bantu dengar, gigi
palsu)
● Ajarkan keluarga dalam perawatan
orientasi realita
45
Diagnosa: Gangguan Persepsi sensorik
Kategori : Psikologis
LUARAN INTERVENSI
46
Pengekangan Kimiawi
Orientasi:
● Identifikasi kebutuhan untuk
dilakukan pengekangan (mis. agitasi,
kekerasan)
● Monitor riwayat pengobatan dan
alergi
● Monitor respon sebelum dan sesudah
pengekangan
● Monitor tingkat kesadaran, Tanda-
tanda vital, warna kulit, suhu sensasi
dan kondisi secara berkala
● Monitor kebutuhan nutrisi, cairan dan
eliminasi
Teraupetik :
● Lakukan supervisi dan surveiensi
dalam memonitor tindakan
● Beri posisi nyaman untuk mencegah
aspirasi dan kerusakan kulit
● Ubah posisi tubuh secara periodik
● Libatkan pasien dan/atau keluarga
dalam membuat keputusan
Edukasi :
● Jelaskan tujuan dari prosedur
pengekangan
● Latih rentang gerak sendi dan atau
keluarga dalam membuat keputusan
Kolaborasi :
● Kolaborasi pemberian agen
psikotropika untuk pengekangan
kimiawi
47
Diagnosa: Koping tidak efektif
Kategori: Psikologis
LUARAN INTERVENSI
48
jelas
● Berikan informasi yang diminta pasien
Kolaborasi :
● Kolaborasi dengan tenaga kesehatan
lain dalam memfasilitasi pengambilan
keputusan.
49
Kolaborasi:
● Rujuk dalam kelompok untuk
mempelajari peran baru
Promosi koping
Observasi:
● Identifikasi kegiatan jangka pendek
dan panjang sesuai tujuan
● Identifikasi kemampuan yang dimiliki
● Identifikasi sumber daya yang tersedia
untuk memenuhi tujuan
● Identifikasi pemahaman proses
penyakit
● Identifikasi dampak situasi terhadap
peran dan hubungan
● Identifikasi metode penyelesaian
masalah
● Identifikasi kebutuhan dan keinginan
terhadap dukungan sosial
Terapeutik:
● Diskusikan perubahan peran yang
dialami
● Gunakan pendekatan yang tenang dan
meyakinkan
● Diskusikan alasan mengkritik diri
sendiri
● Diskusikan untuk mengklarifikasi
kesalahpahaman dan mengevaluasi
perilaku sendiri
● Diskusikan konsekuensi tidak
menggunakan rasa bersalah dan rasa
malu
● Diskusikan risiko yang menimbulkan
50
bahaya pada diri sendiri
● Fasilitasi dalam memperoleh
informasi yang dibutuhkan
● Berikan pilihan realistis mengenai
aspek-aspek tertentu dalam perawatan
● Motivasi untuk menentukan harapan
yang realistis
● Tinjau kembali kemampuan dalam
pengambilan keputusan
● Hindari mengambil keputusan saat
pasien berada dibawah tekanan
● Motivasi terlibat dalam kegiatan social
● Motivasi mengidentifikasi sistem
pendukung yang tersedia
● Damping saat berduka (mis.penyakit
kronis, kecacatan)
● Perkenalkan dengan orang atau
kelompok atau kelompok yang
berhasil mengalami pengalaman sama
● Dukung penggunaan mekanisme
pertahanan yang tepat
● Kurangi rangsangan lingkungan yang
mengancam
Edukasi
● Anjurkan menjalin hubungan yang
memiliki kepentingan dan tujuan yang
sama
● Anjurkan penggunaan sumber
spiritual, jika perlu
● Anjurkan mengungkapkan perasaan
dan persepsi
● Anjurkan keluarga terlibat
● Anjurkan membuat tujuan yang lebih
51
spesifik
● Anjurkan keluarga terlibat
● Anjurkan membuat tujuan yang lebih
spesifik
● Anjurkan cara memecahkan masalah
secara konstruktif
● Latih penggunaan teknik relaksasi
● Latih kemampuan social, sesuai
kebutuhan
● Melatih mengembangkan penilaian
objektif
Kategori : Lingkungan
LUARAN INTERVENSI
52
eliminasi di dekat tempat tidur, Jika
perlu
● Pastikan barang-barang pribadi mudah
dijangkau
● Tingkatkan frekuensi observasi dan
pengawasan pasien, sesuai kebutuhan
Edukasi
● Jelaskan alasan intervensi pencegahan
jatuh ke pasien dan keluarga
● Anjurkan berganti posisi secara
perlahan dan duduk beberapa menit
sebelum berdiri
53
C. DELIRIUM
1. Definisi
Delirium merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan gangguan kesadaran dan
kognisi yang terjadi secara akut dan berfluktuasi.
Delirium terjadi ketika otak secara tiba-tiba mengalami gangguan akibat penyakit
mental atau fisik tertentu. Seseorang yang mengalami delirium dapat terlihat sedang
mengigau atau melamun seperti penderita demensia. Bedanya, delirium bersifat sementara
dan umumnya dapat hilang sepenuhnya.
2. Etiologi
Delirium terjadi ketika sistem pengiriman dan penerimaan sinyal otak terganggu.
Gangguan tersebut dapat disebabkan oleh kombinasi keracunan obat dan kondisi medis yang
membuat pasokan oksigen ke otak berkurang.
● Kelebihan dosis obat-obatan, seperti obat pereda nyeri, obat tidur, anti alergi
(antihistamin), kortikosteroid, obat anti kejang, obat penyakit Parkinson, serta
obat untuk gangguan mood
● Keracunan alkohol atau penghentian konsumsi minuman beralkohol secara
tiba-tiba
● Reaksi berlebihan terhadap infeksi, seperti pneumonia, infeksi saluran kemih,
demam tifoid, sepsis, atau COVID-19, terutama yang terjadi pada lansia
● Keracunan suatu zat, seperti sianida atau karbon monoksida
● Operasi atau prosedur medis lain yang melibatkan pembiusan
● Penyakit berat, seperti gagal ginjal, gangguan keseimbangan elektrolit,
hipotiroidisme, atau stroke
● Demam tinggi yang disebabkan oleh infeksi akut pada anak-anak
● Malnutrisi (kekurangan nutrisi) atau dehidrasi (kekurangan cairan)
● Kurang tidur
54
● Stres berat
3. Faktor Predisposisi
● Peresepan obat dan polifarmasi
● Gejala penghentian alkohol dan benzodiazepin
● Sepsis, syok, hipotermia
● Gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalsium, magnesium, fosfat)
● Defisiensi nutrien (vitamin B12, folat)
● Gagal jantung, hati, atau ginjal
● Gangguan fungsi paru (terutama pada kondisi hipoksemia)
● CVA (cerebrovascular accident) atau kejang
● Pasca-operasi, terutama jantung, ortopedik, atau perawatan di ICU
● Jatuh dan fraktur
● Anemia atau perdarahan saluran cerna
● Nyeri
● Kanker atau penyakit tahap akhir
4. Manifestasi Klinis
Delirium merupakan suatu kondisi neuropsikiatrik yang seringkali dialami oleh
pasien geriatri. Gejala yang dapat ditemui antara lain:
● Atensi
● Gangguan kognitif global berupa gangguan memori (recent memory= memori
jangka pendek), gangguan persepsi (halusinasi, ilusi), atau gangguan proses
pikir (disorientasi waktu, tempat dan orang).
● Motorik, seperti tremor, asterixis
● Aktivitas, seperti penurunan atau peningkatan aktivitas, perubahan nafsu
makan, gangguan tidur
● Perilaku social, misalnya tidak kooperatif, menarik diri, dan perubahan mood.
(Widyastuti & Mahasena, 2017).
5. Penggolongan Penyakit
Berdasarkan gejala yang dialami penderita, delirium bisa dibagi menjadi
beberapa jenis, yaitu:
55
1. Delirium hiperaktif. Delirium hiperaktif adalah jenis delirium yang paling
mudah dikenali. Jenis ini ditandai dengan gejala kegelisahan, perubahan mood,
dan perilaku yang aktif (berteriak atau memanggil-memanggil), halusinasi, dan
sulit berkonsentrasi
2. Delirium hipoaktif. Delirium hipoaktif merupakan jenis delirium yang umum
terjadi. Delirium jenis ini menyebabkan penderitanya menjadi diam, lesu,
mengantuk, dan tampak linglung
3. Delirium campuran. Delirium jenis ini sering menunjukkan perubahan gejala
dari delirium hiperaktif ke delirium hipoaktif, atau sebaliknya
4. Delirium tremens. Delirium jenis ini terjadi pada seseorang yang sedang
berhenti mengonsumsi alkohol. Gejala yang timbul pada delirium jenis ini
adalah gemetar di kaki dan tangan, sakit dada, kebingungan, serta halusinasi
6. Patofisiologi
Delirium merupakan fenomena kompleks, multifaktorial, dan mempengaruhi berbagai
bagian sistem saraf pusat. Hipotesis terbaru menunjukkan defisiensi jalur kolinergik dapat
merupakan salah satu faktor penyebab delirium. Delirium yang diakibatkan oleh penghentian
substansi seperti alkohol, benzodiazepin, atau nikotin dapat dibedakan dengan delirium karena
penyebab lain. Pada delirium akibat penghentian alkohol terjadi ketidakseimbangan
mekanisme inhibisi dan eksitasi pada sistem neurotransmiter. Konsumsi alkohol secara reguler
dapat menyebabkan inhibisi reseptor NMDA (N-methyl-D-aspartate) dan aktivasi reseptor
GABA-A (gammaaminobutyric acid-A). Disinhibisi serebral berhubungan dengan perubahan
neurotransmiter yang memperkuat transmisi dopaminergik dan noradrenergik, adapun
perubahan ini memberikan manifestasi karakteristik delirium, termasuk aktivasi simpatis dan
kecenderungan kejang epileptik.
Pada kondisi lain, penghentian benzodiazepin menyebabkan delirium melalui jalur
penurunan transmisi GABA-ergik dan dapat timbul kejang epileptik. Delirium yang tidak
diakibatkan karena penghentian substansi timbul melalui berbagai mekanisme, jalur akhir
biasanya melibatkan defisit kolinergik dikombinasikan dengan hiperaktivitas dopaminergik.
Perubahan transmisi neuronal yang dijumpai pada delirium melibatkan berbagai mekanisme,
yang melibatkan tiga hipotesis utama, yaitu:
● Efek Langsung
Beberapa substansi memiliki efek langsung pada sistem neurotransmiter,
khususnya agen antikolinergik dan dopaminergik. Lebih lanjut, gangguan
56
metabolik seperti hipoglikemia, hipoksia, atau iskemia dapat langsung
mengganggu fungsi neuronal dan mengurangi pembentukan atau pelepasan
neurotransmiter. Kondisi hiperkalsemia pada wanita dengan kanker payudara
merupakan penyebab utama delirium.
● Inflamasi
Delirium dapat terjadi akibat gangguan primer dari luar otak, seperti penyakit
inflamasi, trauma, atau prosedur bedah. Pada beberapa kasus, respons inflamasi
sistemik menyebabkan peningkatan produksi sitokin, yang dapat mengaktivasi
mikroglia untuk memproduksi reaksi inflamasi pada otak. Sejalan dengan
efeknya yang merusak neuron, sitokin juga mengganggu pembentukan dan
pelepasan neurotransmiter. Proses inflamasi berperan menyebabkan delirium
pada pasien dengan penyakit utama di otak (terutama penyakit
neurodegeneratif).
● Stress
Faktor stres menginduksi sistem saraf simpatis untuk melepaskan lebih banyak
noradrenalin, dan aksis hipotalamuspituitari-adrenokortikal untuk melepaskan
lebih banyak glukokortikoid, yang juga dapat mengaktivasi glia dan menyebab
kan kerusakan neur
57
7. Pathway
Proses
Inflamasi
Hipoksemia Narkoba
Delirium
58 Gangguan tidur
Hambatan memori
8. Deteksi Dini
Delirium dapat ditandai dengan perubahan status mental, kesadaran, dan juga perhatian
yang bersifat akut serta fluktuatif. Delirium memiliki insidensi yang tinggi pada pasien dengan
penyakit kritis. Delirium merupakan kelainan serius yang berhubungan dengan pemanjangan
lama perawatan di ruang rawat intensif/rumah sakit, biaya yang lebih tinggi, memperlambat
pemulihan fungsional, dan peningkatan morbiditas serta mortalitas.1–4 Tanda yang berfluktuasi
menyebabkan delirium sulit diketahui. Satu penelitian menunjukkan bahwa dokter tidak
mendiagnosis delirium pada 32% pasien delirium dan yang lainnya mendiagnosis delirium
sebagai depresi 40%. Beberapa bentuk menunjukkan gambaran hiperaktif (agitasi, takikardia,
dan gemetar), hipoaktif (tenang, pasif), dan campuran.1–4 Terdapat beberapa alat ukur untuk
menilai delirium pada pasien dengan penyakit kritis. Confusion Assessment Method-Intensive
Care Unit (CAM-ICU) memiliki tingkat sensitivitas 81% dan spesifisitas tertinggi 96%.2
Skrining pasien dalam perawatan intensif merupakan hal yang penting sehingga dapat dilakukan
penatalaksanaan yang berkesinambungan. Pengukuran delirium untuk preventif dapat pula
menurunkan insidensi, keparahan, dan durasi delirium.9,10 Perangkat penilaian yang sering
digunakan dalam praktik klinis di Inggris adalah CAM-ICU yang telah divalidasi secara spesifik
untuk digunakan di unit perawatan intensif. Alat ini mudah dan cepat digunakan dan memiliki
reliabilitas antarpengamat yang baik, dapat dilakukan tiap 24 jam, menilai secara langsung, dan
dapat pula digunakan.
Ada juga tes 4AT untuk mendeteksi derilium, Tes ini berupa meminta pasien
menggenggam jari pemeriksa saat pemeriksa menyebut huruf “A”, dan tidak menggenggam saat
pemeriksa menyebut huruf lain. Selanjutnya pemeriksa akan mengeja kata C-A-S-A-B-L-A-N-
C-A. Jika ada huruf “A” terlewat, berarti pasien tidak mampu mempertahankan atensi. Tes
tersebut hanya membutuhkan waktu yang singkat, yaitu kurang dari 2 menit, dan dapat dilakukan
oleh tenaga kesehatan tanpa melalui pelatihan khusus. Alat penilaian delirium yang dapat
digunakan dengan cepat dalam pengaturan klinis. 4AT cocok untuk digunakan dalam praktek
klinis normal dan memungkinkan penilaian sangat mengantuk atau gelisah pasien. Karena efek
latihan dengan item tes tertentu, 4AT tidak dirancang untuk pemantauan harian berulang untuk
delirium. 4AT dapat digunakan pada kontak pasien pertama atau pada saat lain kali ketika
delirium dicurigai.
59
9. Diferensial Diagnosa
Demensia
Banyak gejala yang menyerupai delirium. Demensia dan depresi sering menunjukkan
gejala yang mirip delirium; bahkan kedua penyakit / kondisi tersebut acapkali terdapat
bersamaan dengan sindrom delirium. Pada keadaan tersebut maka informasi dari keluarga dan
pelaku rawat menjadi sangat berarti pada saat anamnesis. Demensia dan delirium juga sering
terdapat bersamaan; gangguan yang acap kali tumpang tindih antara lain gangguan orientasi,
memori dan komunikasi. Demensia sendiri merupakan factor risiko untuk terjadinya sindrom
delirium terutama jika terdapat factor pencetus penyakit akut.
Beberapa jenis demensia seperti demensia Lewy body dan demensia lobus frontalis
menunjukkan perubahan perilaku dan gangguan kognitif yang sulit dibedakan dari sindrom
delirium. Sindrom delirium dengan gejala psikomotor yang hiperaktif sering keliru dianggap
sebagai pasien yang cemas (anxietas), sedangkan hipoaktif keliru dianggap sebagai depresi.
Keduanya dapat dibedakan dengan pengamatan yang cermat. Pada depresi terdapat perubahan
yang bertahap dalam beberapa hari atau minggu sedangkan pada sindrom delirium biasanya
gejala berkembang dalam beberapa jam. Tingkat kesadaran pada depresi biasanya compos
mentis, proses berfikirnya utuh. Pada depresi juga biasanya terdapat kehilangan minat, depressed
mood seta faal sensorium yang normal. Berbagai gejala dan tanda pada sindrom delirium akan
berfluktuasi dari waktu ke waktu, sementara pada depresi dan demensia lebih menetap. Pasien
dengan sindrom delirium bias muncul dengan gejala seperti psikosis yakni terdapat delusi,
halusinasi serta pola piker yang tidak terorganisasi. Pada kondisi seperti ini maka sebaiknya
berkonsultasi dengan psikiater.
11. Penatalaksanaan
Terdapat tiga tujuan utama terapi delirium, yaitu sebagai berikut:
60
● Mencari dan mengobati penyebab delirium (diperlukan pemeriksaan fisik yang
cermat dan pemeriksaan penunjang yang adekuat. Pemeriksaan darah lengkap,
elektrolit, analisis gas darah, fungsi hati, dan fungsi ginjal, serta EEG atau
pencitraan otak bila terdapat indikasi disfungsi otak).
● Memastikan keamanan pasien.
● Mengobati gangguan perilaku terkait dengan delirium, misalnya agitasi
psikomotor.
1. Terapi Farmakologi
Sangat bijak bila tidak lagi menambahkan obat pada obat yang sudah
didapat oleh pasien (biasanya pasien sudah mendapat berbagai obat dari
sejawat lain) kecuali ada alasan yang sangat signifikan, misalnya agitasi
atau psikotik (dicatat di rekam medik penggunaan obat). Interaksi obat
harus menjadi perhatian serius.
Antipsikotika dapat dipertimbangkan bila ada tanda dan gejala psikosis,
misalnya halusinasi, waham atau sangat agitatif (verbal atau fisik)
sehingga berisiko terlukanya pasien atau orang lain.
● Haloperidol mempunyai rekam jejak terpanjang dalam
mengobati delirium, dapat diberikan per oral, IM, atau IV.
● Dosis Haloperidol injeksi adalah 2-5 mg IM/IV dan dapat
diulang setiap 30 menit (maksimal 20 mg/hari).
● Efek samping parkinsonisme dan akatisia dapat terjadi
● Bila diberikan IV, dipantau dengan EKG adanya pemanjangan
interval QTc dan adanya disritmia jantung
● Pasien agitasi yang tidak bisa menggunakan antipsikotika
(misalnya, pasien dengan Syndrom Neuroleptic Malignance)
atau bila tidak berespons bisa ditambahkan benzodiazepin yang
tidak mempunyai metabolit aktif, misalnya lorazepam tablet 1–
2 mg per oral. Kontraindikasi untuk pasien dengan gangguan
pernafasan.
2. Terapi Non farmakologi
● Psikoterapi suportif yang memberikan perasaan aman dapat
membantu pasien menghadapi frustrasi dan kebingungan akan
kehilangan fungsi memorinya.
● Perlunya reorientasi lingkungan, misalnya tersedia jam besar.
61
● Memberikan edukasi kepada keluarga cara memberikan
dukungan kepada pasien (Kemenkes, 2015).
b. Pemeriksaan Fisik
● Keadaan umum
Klien umumnya mengalami penurunan kesadaran sesuai dengan degenerasi
neuron kolinergik dan proses senilisme.
● Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran klien biasanya apatis dan juga bergantung pada perubahan
status kognitif klien.
● Pemeriksaan fungsi serebri
Status mental: biasanya mengalami perubahan yang berhubungan dengan
penurunan status kognitif, penurunan persepsi, dan penurunan memori baik
jangka pendek maupun memori jangka panjang.
● Pemeriksaan saraf cranial
Saraf I. Biasanya pada klien tidak ada kelainan fungsi penciuman.
62
Saraf II. Hasil tes ketajaman penglihatan mengalami perubahan sesuai tingkat
usia. Klien mengalami penurunan ketajaman penglihatan.
Saraf III, IV, dan VI. Pada beberapa kasus, biasanya tidak ditemukan adanya
kelainan pada nervus ini.
Saraf V. Wajah simetris dan tidak ada kelainan pada nervus ini.
Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal.
Saraf VIII. Adanya tuli konduktif dan tuli persepsi berhubungan proses senilis
dan penurunan aliran darah regional
Saraf IX dan X. Didapatkan kesulitan dalam menelan makanan yang
berhubungan dengan perubahan status kognitif.
Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi.Indra pengecapan normal.
● Sistem motorik
Pada tahap lanjut, klien akan mengalami perubahan dan penurunan pada fungsi
motorik secara umum. Adapun tonus otot didapatkan meningkat, keseimbangan
dan koordinasi didapatkan mengalami gangguan karena adanya perubahan
status kognitif dan keidakkooperatifan klien dengan metode pemeriksaan.
● Pemeriksaan refleks
Pada tahap lanjut, sering didapatkan bahwa klien kehilangan refleks postural,
apabila klien mencoba untuk berdiri klien akan berdiri dengan kepala cenderung
ke depan dan berjalan dengan gaya berjalan seperti didorong. Kesulitan dalam
berputar dan hilangnya keseimbangan dapat menimbulkan sering jatuh.
● Sistem sensorik
Sesuai berlanjtnya usia, klien dengan mengalami penurunan terhadap sensasi
sensorik secara progresif. Penurunan sensorik yang ada merupakan hasil dari
neuropati perifer yang dihubungkan dengan disfungsi kognitif dan persepsi
klien secara umum.
c. Diagnosa Keperawatan
● Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak
● Gangguan memori b.d. gangguan daya ingat
● Isolasi sosial: Menarik diri
● Gangguan pola tidur b.d. perubahan mood
● Intoleransi aktivitas b.d. penurunan aktivitas
63
d. Rencana Keperawatan
64
lutut/panggul
13. Posisikan tinggi kepala
tempat tidur 30° atau lebih
14. Hindari penggunaan PEEP
15. Batasi cairan
16. Hindari cairan IV hipotonik
17. Batasi suksion kurang dari
15 detik
18. Monitor nilai-nilai
laboratorium: osmolalitas
serum dan urin, natrium,
kalium
19. Lakukan latihan ROM pasif
20. Pertahankan suhu normal
65
meningat mengulang pikiran yang
perilaku tertentu terakhir kali diucapkan, jika
yang pernah perlu
dilakukan 3. Koreksi kesalahan orientasi
4. Tidak mampu 4. Fasilitas mengingat kembali
meningat pengalaman masa lalu, jika
peristiwa yang perlu
pernah 5. Fasilitas tugas pembelajaran
dilakukan (mis mengingat informasi
5. Tidak mampu verbal dan gambar)
menginat 6. Fasilitas kemampuan
peristiwa konsentrasi
6. Tidak mampu 7. Stimulasi menggunakan
melakukan memori pada peristiwa yang
kemampuan baru terjadi, jika perlu
dipelajari Edukasi
sebelumnya 1. Jelaskan tujuan dan
prosedur latihan
2. Ajarkan teknik memori yang
tepat
3. Rujuk pada terapi okupasi,
jika perlu
66
Batasan Karakterisrik dengan kriteria hasil kekuatan dan keterbatasan-
:Menarik diri keterbatasan dalam
berkomunikasi dengan
orang lain
2. Minta dan harapkan
komunikasi verbal
3. Berikan umpan balik positif
saat pasien (bersedia)
menjangkau orang lain
4. Fasilitasi masukan pasien
dan perencanaan kegiatan
dimasa depan
Edukasi
1. Anjurkan kegiatan sosial
dan masyarakat
2. Anjurkan partisipasi dalam
kelompok dan atau
kegiatan-kegiatan
reminiscence individu
67
puas tidur Terapeutik
4. Mengeluh pola 1. Bantu untuk menghilangkan
tidur berubah situasi stres sebelum tidur
5. Mengeluh 2. Bantu meningkatkan
istirahat tidak jumlah jam tidur
cukup Edukasi
1. Anjurkan pasien untuk
memantau pola tidur
2. Dorong pasien untuk
menetapkan rutinitas tidur
untuk memfasilitasi
perpindahan dari terjaga
menuju tidur
68
abnormal memperoleh sumber-sumber
terhadap yang diperlukan untuk
aktivitas aktivitas-aktivitas yang
2. Respons diinginkan
frekuensi 5. Bantu klien untuk
jantung mengidentifikasi aktivitas
abnormal yang diinginkan
terhadap 6. Bantu klien menjadwalkan
aktivitas waktu-waktu spesifik terkait
3. Ketidaknyaman dengan aktivitas harian
an setelah 7. Bantu klien dan keluarga
beraktivitas untuk mengidentifikasi
kelemahan level aktivitas
tertentu
8. Ciptakan lingkungan yang
aman untuk dapat
melakukan pergerakan otot
secara berkala sesuai dengan
indikasi
9. Monitor respon emosi, fisik,
sosial, dan spiritual terhadap
aktivitas
69
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyakit Alzheimer adalah penyakit pada syaraf yang sifatnya irreversible
akibat penyakit ini berupa kerusakan ingatan, penilaian, pengambilan keputusan,
orientasi fisik secara keselurahan dan pada cara berbicara. Demensia adalah kumpulan
sindrom karena penyakit otak biasanya kronis (menahun) atau progresif (bertahap,
perlahan-lahan) dimana ada kerusakan fungsi kortikal lebih tinggi yang multipel,
termasuk memori, berpikir, orientasi, pemahaman, perhitungan, kapasitas belajar,
bahasa, dan pertimbangan. Gangguan kognitif ini umumnya disertai dan terkadang
didahului oleh penurunan kendali emosi, perilaku sosial, atau motivasi. Sedangkan
delirium merupakan suatu sindrom serebral organik dengan penyebab yang tidak
spesifik. Karakteristik delirium adalah gangguan fungsi kesadaran, atensi, persepsi,
berpikir, memori, psikomotor, emosi, serta gangguan tidur. Untuk etiologinya sendiri,
ketiga penyakit ini tergolong idiopatik. Namun terdapat beberapa faktor risiko yang dapat
memicu timbulnya penyakit ini, yakni genetic, usia, penggunaan obat, inflamasi, stress,
dan lain-lain.
B. Saran
Diharapkan bagi institusi dapat menyediakan sumber-sumber buku maupun
jurnal untuk mendukung penulisan Karya Tulis IlmiahDiharapkan mahasiswa lebih
memahami tentang penyakit Dementia, Alzheimer, dan Delirium.
70
DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer, S. C., Bare, B., Hinkle, J. L., Cheever, K. H. (2010). Handbook for Brunner
& Suddarth’s Textbook of Medical-Surgical Nursing, 12th edition. United States of America:
Wolters Kluwer Health.
Ihda Fadila, dr Tania Savitri. 2021. Tahap Penyakit Alzheimer, Mulai dari Stadium
Awal Hingga Lanjut. https://hellosehat.com/saraf/alzheimer/tahap-penyakit-alzheimer/
Heppner FL, Ransohoff RM, Becher B. Immune attack: the role of inflammation in
Alzheimer disease. Nature reviews neuroscience. 2015;16(6);358-372.
Du XG, Wang XY, Geng MY. Alzheimer’s disease hypothesis and related therapies.
Translational Neurodegeneration. 2018:7(2);p1-7.
71
AAIC 2018. First practice guidelines for clinical evaluation of Alzheimer’s disease and
other dementias for primary and specialty care. https://www.alz.org/aaic/downloads2018/Sun-
clinical-practice-guidelines.pdf
Hickman RA, Faustin A, Wisniewski T. Alzheimer disease and its growing epidemic:
risk factors, biomarkers and the urgent need for therapeutics. Neurol Clin. 2016:34(4);941-953.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5116320/
Maslim R. Diagnosis gangguan jiwa rujukan ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta: PT. Nuh
Jaya. 2001
Sabbagh MN, Lue LF, Fayard D, Shi J. Increasing precision of clinical diagnosis of
Alzheimer’s disease using a combined algorithm incorporating clinical and novel biomarker
data. Neurol Ther. 2017;6(1):83-95.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5520815/
72
Lukitsch I, Batuman V. Hypernatremia.
https://emedicine.medscape.com/article/241094-overview
73