Dosen Pengampu:
Irma Prasetyowati, S.KM., M.Kes.
Yunus Ariyanto, S.KM., M.Kes.
Disusun oleh:
Kelompok 4
Fika Murti Utami 152110101016
Dewi Anggraeni 152110101036
Mia Syahradita 152110101059
Maya Indriyana Dewi 152110101098
Viona Reza Maulinda 152110101125
Disny Prajnawita 152110101132
Nikita Dwi Mulyaningsih 152110101145
Maya Risqi Nurlaili 152110101168
Geofani Armahedi 152110101215
Zulfaida Martha Isnayni 162110101041
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................... ii
iii
3.6 Teknik Pengambilan Data .................................................................... 23
LAMPIRAN................................................................................................. 39
iv
DAFTAR TABEL
v
BAB 1. PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1) Untuk mengetahui maksud dari surveilans lingkungan TB
2) Untuk mengetahui maksud dari penyakit TB
3) Untuk mengetahui klasifikasi dari penyakit TB
4) Untuk mengetahui cara pencegahan dan pengobatan penyakit TB
5) Untuk mengetahui upaya yang dilakukan pemerintah terkait
penanggulangan TB
6) Untuk mengetahui metode yang digunakan peneliti dalam melakukan
kegiatan surveilans penyakit TB
7) Untuk mengetahui hasil dari penelitian survei cepat penyakit TB
2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
4
pertumbuhan mikroorganisme, termasuk TBC. Namun kelembaban juga
dipengaruhi oleh topografi sehingga wilayah lebih tinggi cenderung memiliki
kelembaban yang lebih rendah. Menurut penelitian, penghuni rumah menempati
rumah dengan tingkat kelembaban ruang lebih besar dari 60% berisiko terkena TB
Paru 10,7 kali dibanding yang tinggal pada rumah dengan kelembaban lebih kecil
atau sama dengan 60%.
2.1.2 Tujuan Surveilans TB
1. Terselenggaranya surveilans faktor resiko lingkungan dalam rangka
menurunkan prevalensipenyakit menular TB
2. Pengumpulan data faktor resiko lingkungan berdasarkan penyakit
3. Pengolahan dan analisis data faktor resiko lingkungan berdasarkan penyakit
4. Diseminasi informasi hasil kajian faktor resiko lingkungan
5. Rencana tindak lanjut
2.1.3 Langkah – Langkah Surveilans TB
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 45
Tahun 2014 Langkah-langkah Surveilans Kesehatan dilakukan melalui
pengumpulan data, pengolahan data, analisis data, dan diseminasi sebagai satu
kesatuan yang tidak terpisahkan untuk menghasilkan informasi yang objektif,
terukur, dapat diperbandingkan antar waktu, antar wilayah, dan antar kelompok
masyarakat sebagai bahan pengambilan keputusan.
1. Pengumpulan data dilakukan dengan cara:
a. Aktif
Pengumpulan data secara aktif dilakukan dengan cara mendapatkan
data secara langsung dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan, masyarakat atau
sumber data lainnya, melalui kegiatan Penyelidikan Epidemiologi, surveilans
aktif puskesmas/rumah sakit, survei khusus, dan kegiatan lainnya.
b. Pasif
Pengumpulan data secara pasif dilakukan dengan cara menerima data
dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan, masyarakat atau sumber data lainnya,
5
dalam bentuk rekam medis, buku register pasien, laporan data
kesakitan/kematian, laporan kegiatan, laporan masyarakat dan bentuk lainnya.
2. Pengolahan data dilakukan dengan cara perekaman data, validasi, pengkodean,
alih bentuk (transform) dan pengelompokan berdasarkan tempat, waktu, dan
orang.
3. Analisis data dilakukan dengan metode epidemiologi deskriptif dan/atau
analitik untuk menghasilkan informasi yang sesuai dengan tujuan surveilans
yang ditetapkan.
4. Diseminasi dilakukan dengan cara:
a. Menyampaikan informasi kepada unit yang membutuhkan untuk
dilaksanakan tindak lanjut;
b. Menyampaikan informasi kepada Pengelola Program sebagai sumber
data/laporan surveilans sesuai ketentuan peraturan perundangundangan;
dan
c. Memberikan umpan balik kepada sumber data dalam rangka perbaikan
kualitas data.
7
lamanya menghirup udara tersebu (Manalu, 2010; Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, 2006).
2.2.3 Gejala TB
Gejala TB pada umumnya penderita mengalami batuk dan berdahak terus-
menerus selama 2 minggu atau lebih, yang disertai dengan gejala pernafasan lain,
seperti sesak nafas, batuk darah nyeri dada, badan lemah, nafsu makan atau
pernah batuk darah, berat badan menurun, berkeringan malam walaupun tanpa
kegiatan, dan demam meriang lebih dari sebulan (WHO, 2009).
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2005,
gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik sebagai berikut :
1. Gejala respiratorik
a. batuk ≥ 3 minggu
b. batuk darah
c. sesak napas
d. nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala
sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita
terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam
proses penyakit, maka penderita mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk
yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk
diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat,
misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang
lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis
tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis
tuberkulosa terdapat gejala sesak napas dan terkadang nyeri dada pada sisi
yang rongga pleuranya terdapat cairan.
2. Gejala sistemik
a. Demam
b. Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun
8
2.2.4 Cara Penularan
Penyakit TB paru ini dapat ditularkan oleh penderita dengan hasil
pemeriksaan BTA positif. Lebih jauh lagi, penularan TB paru dapat terjadi di
dalam ruangan yang gelap dan lembab karena kuman M. tuberculosis ini dapat
bertahan lama apabila di kondisi ruangan yang gelap dan lembab tersebut. Dalam
hal ini, makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan, maka orang itu makin
berpotensi untuk menularkan kuman tersebut. Selain itu, faktor yang
memungkinkan seseorang untuk terpapar yaitu seberapa lama menghirup udara
yang sudah terkontaminasi kuman M. tuberculosis tersebut dan konsentrasi
percikan dalam udara itu (Depkes RI,2007).
Risiko seseorang untuk tertular TB paru tergantung dari tingkat pajanan
percikan dahak. Pasien TB paru dengan BTA positif akan memberikan risiko
penularan lebih besar dibandingkan pasien TB paru dengan BTA negatif (Depkes
RI, 2007; Widoyono, 2011). Faktor daya tahan tubuh yang rendah, misalnya pada
penyakit HIV/AIDS,akan mempengaruhi seseorang untuk tertular suatu penyakit.
Penyakit HIV merupakanfaktor risikoyang paling kuatbagi yang terinfeksi TB
paru menjadisakit TB paru.Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem
daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta
(oportunistic), seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit
parah bahkan bisa mengakibatkan kematian (Depkes RI, 2007; Depkes, 2011).
2.2.5 Pathogenesis
1. Infeksi Primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman
TBC.Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati
sistem pertahanan mukosilier bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di
alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TBC berhasil
berkembangbiak dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan
peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman TBC ke kelenjar
limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara
terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah sekitar 4-6
9
minggu.Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi
tuberkulin dari negatif menjadi positif (Depkes RI, 2008).
Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang
masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler).Pada umumnya
reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TBC.
Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister
atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu
menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan yang
bersangkutan akan menjadi penderita TBC. Masa inkubasi, yaitu waktu yang
diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan
(Depkes RI, 2008).
2. Tuberkulosis Pasca Primer
Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau
tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat
terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk.Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer
adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura
(Depkes RI, 2008).
2.2.6 Diagnosis TB
1. Diagnosis Tuberkulosis Pada Orang Dewasa
Diagnosis pasti TBC seperti lazimnya penyakit menular yang lain adalah
dengan menemukan kuman penyebab TBC yaitu kuman Mycobacterium
Tuberculosis pada pemeriksaan sputum, bilas lambung, cairan serebrospinal,
cairan pleura ataupun biopsi jaringan (Kemenkes RI, 2013). Pemeriksaan yang
paling sering dilakukan adalah pemeriksaan 3 spesimen dahak Sewaktu Pagi
Sewaktu (SPS) yaitu:
a. Sewaktu (S): pengambilan dahak saat penderita pertama kali berkunjung
ke tempat pengobatan dan dicurigai menderita TBC.
b. Pagi (P): pengambilan dahak pada keesokan harinya, yaitu pada pagi hari
segera setelah bangun tidur.
10
c. Sewaktu (S): pengambilan dahak saat penderita mengantarkan dahak pagi
ke tempat pengobatan.
Hasil pemeriksaan dinyatakan positif bila sekurang-kurang 2 dari 3
spesimen dahak SPS hasilnya positif.Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu
diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan
dahak SPS diulang.Bila hasil rontgen mendukung TBC, maka penderita
didiagnosis menderita TBC BTA positif, namun bila hasil rontgen tidak
mendukung TBC, maka pemeriksaan dahak SPS diulangi.Apabila fasilitas
memungkinkan, maka dapat dilakukan pemeriksaan biakan/kultur.Pemeriksaan
biakan/kultur memerlukan waktu yang cukup lama serta tidak semua unit
pelaksana memilikinya, sehingga jarang dilakukan (Depkes RI, 2008).
2. Diagnosis Tuberkulosis Pada Anak
TBC anak adalah penyakit TBC yang terjadi pada anak usia 0-14 tahun.
Diagnosis paling tepat adalah dengan ditemukannya kuman TBC dari bahan yang
diambil dari penderita.Tetapi pada anak hal ini sangat sulit dan jarang didapat,
sehingga sebagian besar diagnosis TBC anak didasarkan atas gambaran klinis,
gambaran foto rontgen dada dan uji tuberkulin.Selain melihat gejala umum TBC
anak, seorang anak harus dicurigai menderita tuberkulosis bila mempunyai sejarah
kontak erat (serumah) dengan penderita TBC BTA positif dan terdapat reaksi
kemerahan cepat setelah penyuntikan BCG (dalam 3-7 hari) (Depkes RI, 2008).
a. Uji Tuberkulin (Mantoux)
Uji tuberkulin dilakukan dengan cara Mantoux (pernyuntikan
intrakutan) dengan semprit tuberkulin 1 cc jarum nomor 26. Tuberkulin
yang dipakai adalah tuberkulin PPD RT 23 kekuatan 2 TU.Pembacaan
dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan.Diukur diameter transveral dari
indurasi yang terjadi. Ukuran dinyatakan dalam milimeter, uji tuberkulin
positif bila indurasi >10 mm (pada gizi baik ), atau >5 mm pada gizi
buruk. Bila uji tuberkulin positif, menunjukkan adanya infeksi TBC dan
kemungkinan ada TBC aktif pada anak.Namun uji tuberkulin dapat negatif
pada anak TBC dengan anergi (malnutrisi, penyakit sangat berat
11
pemberian imunosupresif, dll).Jika uji tuberkulin meragukan dilakukan uji
ulang (Depkes RI, 2008).
b. Reaksi Cepat BCG
Saat penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat (dalam 3-7 hari) berupa
kemerahan dan indurasi > 5 mm, maka anak tersebut dicurigai telah
terinfeksi Mycobacterium tubercolosis (Depkes RI, 2008).
c. Foto Rontgen dada
Gambar rontgen TBC paru pada anak tidak khas dan interpretasi
foto biasanya sulit, harus hati-hati kemungkinan bisa overdiagnosis atau
underdiagnosis.Paling mungkin kalau ditemukan infiltrat dengan pembesar
kelenjar hilus atau kelenjar paratrakeal. Gejala lain dari foto rontgen yang
mencurigai TBC adalah milier, atelektasis/kolaps konsolidasi, infiltrat
dengan pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal, konsolidasi (lobus),
reaksi pleura dan atau efusi pleura, kalsifikasi, bronkiektasis, kavitas,
destroyed lung. Bila ada diskongruensi antara gambar klinis dan gambar
rontgen harus dicurigai TBC.Foto rontgen dada sebaiknya dilakukan PA
(postero-anterior) dan lateral, tetapi kalau tidak mungkin PA saja (Depkes
RI, 2008).
d. Pemeriksaan mikrobiologi dan serologi
Pemeriksaan BTA secara mikroskopis langsung pada anak
biasanya dilakukan dari bilasan lambung karena dahak sulit didapat pada
anak. Pemeriksaan BTA secara biakan (kultur) memerlukan waktu yang
lama. Cara baru untuk mendeteksi kuman TBC dengan cara Polymery
Chain Reaction (PCR) atau Bactec masih belum dapat dipakai dalam klinis
praktis. Demikian juga pemeriksaan serologis seperti Elisa, Pap, Mycodot
dan lain-lain masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk pemakaian
dalam klinis praktis (Depkes RI, 2008).
e. Diagnosis TB anak dengan Sistem Skoring
Pada waktu menegakkan diagnosis TBC anak, semua prosedur
diagnostik dapat dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan sarana
12
diagnostik yang tersedia, dapat menggunakan suatu pendekatan lain yang
dikenal sebagai sistem skoring. Sistem skoring tersebut dikembangkan
diuji coba melalui tiga tahap penelitian oleh Ikatan Dokter Anak Indoneisa
(IDAI), Kemenkes dan didukung oleh WHO dan disepakati sebagai salah
satu cara untuk mempermudah penegakan diagnosis TBC anak terutama di
fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Sistem skoring ini membantu tenaga
kesehatan agar tidak terlewat dalam mengumpulkan data klinis maupun
pemeriksaan penunjang sederhana sehingga diharapkan dapat mengurangi
terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis TBC.
Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan
sebagai berikut: parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien
TBC menular mempunyai nilai tertinggi yaitu 3, uji tuberkulin bukan
merupakan uji penentu utama untuk menegakkan diagnosis TB pada anak
dengan menggunakan sistem skoring, pasien dengan jumlah skor ≥6 harus
ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT. Diagnosis TB Anak
ditegakkan oleh Dokter.Jika dijumpai skrofulderma, maka langsung
didiagnosis TBC.Setelah dinyatakan sebagai pasien TBC anak dan
diberikan pengobatan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) harus dilakukan
pemantauan hasil pengobatan secara cermat terhadap respon klinis
pasien.Apabila respon klinis terhadap pengobatan baik, maka OAT dapat
dilanjutkan sedangkan apabila didapatkan respons klinis tidak baik maka
sebaiknya pasien segera dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan
untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
13
Tabel 2. 1 Sistem Skoring (scoring system) Gejala dan Pemeriksaan
Penunjang TBC di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
14
b. Pendidikan dan Pengetahuan
Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi pengetahuan seseorang
diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan
penyakit TB Paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang
akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat.
c. Perilaku
Perilaku seseorang yang berkaitan dengan penyakit TBC adalah perilaku
yang mempengaruhi atau menjadikan seseorang untuk mudah terinfeksi/tertular
kuman TB misalnya kebiasaan membuka jendela setiap hari, menutup mulut bila
batuk atau bersin, meludah sembarangan, merokok dan kebiasaan menjemur kasur
ataupun bantal.
d. Imunisasi
Proses terjadinya penyakit infeksi dipengaruhi oleh faktor imunitas
seseorang. Anak merupakan kelompok rentan untuk menderita tuberkulosis, oleh
karena itu diberikan perlindungan terhadap infeksi kuman tuberkulosis berupa
pemberian vaksinasi BCG pada bayi berusia kurang dari dua bulan.
e. Status Gizi
Status gizi merupakan variabel yang sangat berperan dalam timbulnya
kejadian TBC Paru, tetapi hal ini sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
lainnya seperti ada tidaknya kuman TBC pada paru. Kuman TBC merupakan
kuman yang dapat “tidur” bertahun-tahun dan apabila memiliki kesempatan
“bangun” dan menimbulkan penyakit maka timbullah kejadian penyakit TBC
Paru.
f. Kontak Penderita
Seseorang dengan BTA positif sangat berisiko untuk menularkan pada
orang disekelilingnya terutama keluarganya sendiri khususnya anak-anak.Semakin
sering seseorang melakukan kontak dengan penderita BTA positif maka semakin
besar pula risiko untuk tertular kuman tuberkulosis, apalagi ditunjang dengan
kondisi rumah dan lingkungan yang kurang sehat (Depkes, 2008).
15
g. Status Sosial Ekonomi
WHO (2003) menyebutkan penderita TBC Paru didunia menyerang
kelompok sosial ekonomi lemah atau miskin.Walaupun tidak berhubungan secara
langsung namun dapat merupakan penyebab tidak langsung seperti adanya kondisi
gizi memburuk, perumahan tidak sehat, dan akses terhadap pelayanan kesehatan
juga menurun kemampuannya. Apabila status gizi buruk maka akan menyebabkan
kekebalan tubuh yang menurun sehingga memudahkan terkena infeksi TBC Paru.
2. Faktor Pendukung
a. Kepadatan Hunian
Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan
dalam m 2 /orang.Luas minimum per orang sangat relatif tergantung dari kualitas
bangunan dan fasilitas yang tersedia.Untuk rumah sederhana luasnya minimum 10
m2 /orang.Untuk kamar tidur diperlukan luas lantai minimum 3 m2 /orang. Untuk
mencegah penularan penyakit pernapasan, jarak antara tepi tempat tidur yang satu
dengan yang lainnya minimum 90 cm. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni oleh
lebih dari dua orang, kecuali untuk suami istri dan anak di bawah 2 tahun (Depkes
RI, 2001).
b. Pencahayaan
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak
terlalu banyak.Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah, terutama
cahaya matahari disamping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat
yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit-bibit penyakit.
c. Ventilasi dan Kelembaban Udara
Rumah yang sehat harus memiliki ventilasi untuk menjaga agar aliran
udara didalam rumah tersebut tetap segar, sehingga keseimbangan oksigen yang
diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi juga
menyebabkan kelembaban di dalam ruangan meningkat. Kelembaban ini akan
menjadi media yang baik untuk pertumbuhan bakteri-bakteri patogen/bakteri
penyebab penyakit, misalnya kuman TBC.
16
3. Faktor Pendorong
a. Tingkat penularan
Faktor risiko infeksi TBC anak salah satunya dipengaruhi oleh tingkat
penularan (derajat sputum BTA).Pasien TBC dewasa dengan BTA positif
memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pada pasien TBC
dengan BTA negatif, meskipun masih memiliki kemungkinan menularkan
penyakit TBC. Tingkat penularan pasien TBC BTA positif adalah 65%, pasien
BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TBC
dengan hasil kultur negatif dan foto thoraks positif adalah 17% (Kemenkes RI,
2013).
b. Lamanya kontak
Sumber penularan yang paling berbahaya adalah penderita TBC paru
dewasa dan orang dewasa yang menderita TBC paru dengan kavitas (lubang pada
paru-paru).Kasus seperti ini sangat infeksius dan dapat menularkan penyakit
melalui batuk, bersin dan percakapan.Semakin sering terpajan dan lama kontak,
makin besar pula kemungkinan terjadi penularan.
c. Daya tahan tubuh anak
TBC menyebabkan keadaaan gizi anak memburuk dan merupakan salah
satu penyebab lingkaran sebab akibat dari kurang gizi dan infeksi.Pemenuhan gizi
yang seimbang berkorelasi langsung dengan pembentukan sistem imun tubuh
anak.Makin baik gizinya, makin baik pula imunitas tubuhnya.
2.3 Klasifikasi TB
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru
(parenkim paru) tidak termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil
pemeriksaan dahak, menurut Depkes RI (2008), TBC paru dibagi dalam :
1. Tuberkulosis Paru BTA Positif
Sekurang-kurang 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada
menunjukkan gambar tuberkulosis aktif. Satu spesimen dahak SPS hasilnya
BTA positif dan biakan kuman TBC positif. Satu atau lebih spesimen dahak
17
hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya
hasil BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non
OAT
2. Tuberkulosis Paru BTA Negatif
Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif. Foto rontgen
dada menunjukkan gambar tuberkulosis aktif. TBC paru BTA negatif rontgen
positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat
dan ringan. Bentuk berat bila gambar foto rontgen dada memperlihatkan
gambar kerusakan paru yang luas dan/atau keadaan umum penderita buruk
(Depkes RI, 2008). Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non
OAT. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
3. Tuberkulosis Ekstra Paru
Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ
tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung
(pericardium) kelenjar lymfe, tulang persendian, kulit, usus, ginjal, saluran
kencing, alat kelamin dan lain-lain. TBC ekstra paru dibagi berdasarkan pada
tingkat keparahan penyakit yaitu :
a. TBC Ekstra Paru Ringan Misalnya TBC kelenjar limfe, pleuritis
eksudativa unilateral tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar
adrenal.
b. TBC Ekstra Paru Berat Misalnya meningitis, millier, perikarditis,
peritionitis, pleuritis eksudativa duplex, TBC tulang belakang, TBC usus,
TBC saluran kencing dan alat kelamin (Depkes RI, 2008).
18
c. Membuang ludah di tempat yang tertutup, dan apabila ludahnya
bercampur darah segera dibawa ke puskesmas atau ke rumah sakit.
d. Mencuci peralatan makan dan minum sampai bersih setelah digunakan
oleh penderita.
e. Bayi yang baru lahir dan anak-anak kecil harus diimunisasi dengan
vaksin BCG. Karena vaksin tersebut akan memberikan perlindungan
yang amat bagus.
2. Pengobatan TB
a. Jenis Obat
i. Isoniasid
ii. Rifampicin
iii. Pirasinamid
iv. Streptomicin
b. Prinsip Obat
Obat TB Diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis,
dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan,supaya semua
kuman dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan
ditelan dalam dosis tunggal,sebaiknya pada saat perut kosong. Apabila
paduan obat yangdigunakan tidak adekuat, kuman TB akan
berkembangmenjadi kuman kebal. Pengobatan TB diberikan dalan 2
Tahap yaitu:
i. Tahap intensif : Pada tahap intensif penderita mendapat obat
(minumobat) setiap hari selama 2 - 3 bulan.
ii. Tahap lanjutan : Pada tahap lanjutan penderita mendapat obat
(minumobat) tiga kali seminggu selama 4 – 5 bulan.
20
BAB 3. METODE KEGIATAN
21
Kabupaten Jemberdan memenuhi kriteria inklusi. Kriteria inklusi dalam
penelitian ini antara lain:
a. Tercatatat sebagai warga kerja Desa Ledokombo Kecamatan Ledokombo
Kabupaten Jember
b. Masih tinggal atau berdomisili di Desa Ledokombo
c. Bersedia menjadi responden
d. Mengetahui keadaan dan kondisi keluarga
Metode yang digunakan dalam pengambilan sampel dalam
penelitian ini dengan menggunakan probability samples yaitu teknik
cluster sampling dua tahap. Teknik tersebut merupaan pengambilan
anggota sampel dari populasi berdasarkan daerah populasi yang
ditetapkan, kemudian menentukan sampel yang ada pada daerah pemilihan
sampel tersebut secara acak atau dikenal dengan simple random
sampling,dengan jumlah sampel sebanyak 10 responden.
22
3.6 Teknik Pengambilan Data
Teknik pengambilan data yang digunakan untuk mendapatkan data atau
informasi yaitu:
a. Observasi
Menurut Sugiyono (2012), observasi adalah teknik pengumpulan data
untuk mengamati prilaku manusia, proses kerja, dan gejala-gejala alam,
dan responden. Dalam penelitian ini peneliti melakukan pengamatan
langsung untuk menemukan fakta-fakta di lapangan. Instrumen yang
digunakan peneliti adalah observasi nonpartisipan tidak terstruktur.
b. Wawancara
Menurut Nazir (2014) yang dimaksud dengan wawancara adalah proses
memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab,
sambil bertatap muka antara si penanya atau pewawancara dengan yang
ditanya atau responden dengan menggunakna alat yang dinamakan
interview guide (panduan wawancara). Sedangkan dalam buku Metode
Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D Sugiyono (2012) menjelaskan
bahwa,Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila
peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan
permasalahan yang harus diteliti, dan juga apabila peneliti ingin
mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam dan jumlah
responden sedikit atau kecil.
c. Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah informasi yang berasal dari catatan penting baik dari
lembaga atau organisasi maupun dari perorangan (Hamidi, 2004). Sedangkan
menurut Arikunto (2006), dokumentasi merupakan mencari data mengenai
variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti,
notulen rapat, agenda dan sebagainya.
24
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Distribusi responden berdasarkan riwayat penyakit TB dari 10 KK di Desa
Suren Kecamatan Ledokombo Kabupaten Jember Tahun 2018 diperoleh data
sebagai berikut:
Tabel 4.1 Distribusi Riwayat Penyakit TB Desa Suren Kecamatan Ledokombo
25
Distribusi responden berdasarkan komponen rumah dinding dari 10 KK di
Desa Curahmalang Kecamatan Rambipuji Kabupaten Jember Tahun 2018
diperoleh data sebagai berikut:
Tabel 4.3 Komponen Dinding Rumah
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahu bahwa penduduk Desa Suren yang
memiliki jendela kamar tidur sebanyak 5 KK dengan persentase sebesar 50% dan
yang tidak memiliki jendela kamar tidur sebanyak 5 KK dengan persentase
sebesar 50%.
27
Distribusi responden berdasarkan komponen rumah ventilasi dari 10 KK di
Desa Suren Kecamatan Ledokombo KabupatenJember Tahun 2018 diperoleh data
sebagai berikut:
Tabel 4.7 Komponen Ventilasi Rumah
28
Distribusi responden berdasarkan pencahayaan di rumah dari 10 KK di
Desa Suren Kecamatan Ledokombo Kabupaten Jember Tahun 2018 diperoleh
data sebagai berikut:
Tabel 4.9 Komponen Pencahayaan Rumah
Total 10 100
Sumber: Data Primer Terolah (2018)
29
Tabel 4.11 Komponen Padatan Hunian Rumah
No Nama Pemilik Rumah Total Skor Persentase (%) Status Rumah Sehat
1. Slamet Riyadi 496 100 Rumah Sehat
2. Mirnawi 372 75 Rumah Sehat
3. Ansori Edi 248 50 Rumah Tidak Sehat
4. Peri Bi’i 310 62,5 RumahKurang Sehat
5. Briwa 62 12,5 Rumah Tidak Sehat
6. Salimun 310 62,5 Rumah Kurang Sehat
7. Siti Sahara 496 100 Rumah Sehat
8. Simatun 434 87,5 Rumah Sehat
9. Rudi 310 62,5 Rumah Kurang Sehat
10. Miskan 465 93,75 Rumah Sehat
Sumber: Data Primer Terolah (2018)
30
4.2 Pembahasan
Menurut Hendrick L. Blum derajat kesehatan masyarakat sangat dipengaruhi
oleh empat faktor yaitu faktor perilaku, faktor lingkungan, faktor keturunan dan
faktor pelayanan kesehatan, dari keempat faktor tersebut yang pengaruhnya cukup
besar adalah faktor perilaku dan diikuti oleh pengaruh faktor lingkungan, setelah
itu faktor pelayanan kesehatan, dan yang terakhir faktor keturunan. Keempat
faktor di atas sangat berhubungan dan saling mempengaruhi (Syukra dan Sriani,
2015).
Penyakit yang timbul karena faktor lingkungan salah satunya adalah penyakit
tuberkulosis (TB). Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi paling sering
menyerang jaringan paru, disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit
tuberkulosis (TB) paru ini dapat menyerang semua usia dengan kondisi klinis
yang berbeda-beda atau tanpa dengan gejala sama sekali hingga manifestasi berat
(Kemenkes, 2011). Tuberculosis (TB) merupakan penyakit yang menular melalui
droplet pada orang yang terinfeksi kuman Mycobacterium tuberculosis, penyakit
tuberculosis dapat menyebar secara luas dan cepat. MDGs memberikan komitmen
secara global pada pengendalian penyakit HIV/A, malaria,dan tuberculosis
(Depkes RI, 2008).
Pasien dengan TB BTA positif merupakan sumber penularan penyakit
tuberculosis. Batuk atau bersin dari pasien TB akan menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk droplet nuclei (percikan dahak). Kurang lebih 3000 percikan dahak
dihasilkan pada waktu sekali batuk. Percikan dahak yang berada pada waktu yang
lama dalam suatu ruangan akan memudahkan terjadinya penularan penyakit TB.
Jumlah percikan dapat dikurangi dengan adanya ventilasi atau aliran udara yang
cukup dan kuman Mycobacterium tuberculosis akan mati apabila terkena sinar
matahari secara langsung. Dalam keadaan gelap dan lembab, percikan dahak
dapat bertahan selama beberapa jam (Depkes RI, 2008).
Jumlah kuman yang dikeluarkan dari paru-paru dapat mempengaruhi daya
penularan seorang pasien. Semakin banyak jumlah kuman atau semakin tinggi
hasil BTA positif pada pemeriksaan dahak pasien, semakin tinggi juga daya
31
penularan dari pasien tersebut. Konsentrasi percikan dahak pada udara dan
lamanya menghirup udara tersebut akan mempengaruhi seseorang untuk terpajan
kuman Mycobacterium tuberculosis (Depkes RI, 2008).
Untuk menanggulangi dan mengendalikan masalah TB, WHO telah
merekomendasikan strategi Directly Observed Tretment Shortcourse (DOTS)
sejak tahun 1995. Fokus utama strategi DOTS adalah penemuan dan
penyembuhan pasien. Dalam penanggulangannya, salah satu target penting yang
harus dicapai adalah menyembuhkan 85% kasus TB paru menular yang dapat
dideteksi, dan berhasil setidaknya 70% kasus TB menular di masyarakat
(Kementerian Kesehatan RI, 2012). Berdasarkan hasil wawancara terhadap 10 KK
di Desa Suren Kecamatan Ledokombo Kabupaten Jember mengenai riwayat
penyakit TB dapat diketahui bahwa keseluruhan responden menyatakan tidak
pernah memiliki riwayat penyakit TB sebesar 100%. Namun terdapat satu
responden yang mengaku sakit dengan gejala batuk lebih dari seminggu, dahak
mengeluarkan darah dan pernapasan agak terasa sesak , akan tetapi tidak pernah
memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan sehingga ketika kami wawancara beliau
tidak mengaku memiliki penyakit tertentu seperti TB paru.
Salah satu faktor lingkungan yang dapat berpengaruh terhadap penularan
penyakit TB adalah lingkungan rumah. Rumah adalah pengembangan kehidupan
dan tempat untuk berkumpul semua anggota keluarga untuk beraktivitas dan
menghabiskan sebagian besar waktunya. Konstruksi rumah serta keadaan
lingkungan tempat tinggal yang tidak sesuai dan tidak memenuhi syarat kesehatan
merupakan faktor risiko terjadinya penularan berbagai macam penyakit (Dinkes
Kota Surabaya, 2015).
Menurut Kepmenkes RI No.829 Tahun 1999, rumah sehat adalah rumah yang
memenuhi persyaratan kesehatan rumah tinggal diantara adalah bahan bangunan
yang tidak membahayakan kesehatan, komponen rumah dan penataan rumah
memenuhi persyaratan fisik dan biologi, pencahayaan yang cukup sehingga dapat
menerangi seluruh bagian ruangan, kualitas udara di dalam rumah yang tidak
melebihi ketentuan, memiliki ventilasi, tidak ada vektor dan rodent, tersedia
32
sarana penyimpanan makanan yang aman dan higienis, limbah dari kegiatan
rumah tangga tidak mencemari, dan kepadatan hunian ruang cukup. Fungsi dari
rumah sehat adalah mencegah terjadinya penyakit, mencegah terjadinya
kecelakaan, aman dan nyaman bagi penghuni, dan penurunan ketegangan jiwa dan
sosial.
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan didapatkan hasil observasi
terhadap 10 KK dengan kondisi komponen langit-langit rumah sebagian besar
responden di Desa Suren Kecamatan Ledokombo Kabupaten Jember memiliki
komponen langit-langit rumah,bersih,dan tidak rawan kecelakaan sebesar5 KK
(50%). Untuk komponen dinding rumah, mayoritas masyarakat di Desa Suren
Kecamatan Ledokombo Kabupaten Jember memiliki komponen dinding rumah
permanen sebesar 8 KK (80%).
Penggunaan jenis komponen lantai rumah, mayoritas responden memiliki
komponen lantai rumah hanya diplester saja (rumah panggung) sebanyak 7 KK
dengan persentase sebesar 70%, jarang ada warga yang memiliki rumah dengan
berlantai keramik. Untuk ketersediaan jendela kamar tidur, sebagian besar
responden memiliki jendela kamar tidur sebanyak 5 KK dengan persentase
sebesar 50% dan yang tidak memiliki jendela kamar tidur sebanyak 5 KK dengan
persentase sebesar 50%. Sementara untuk ketersediaan komponen jendela ruang
keluarga mayoritas responden memiliki komponen jendela ruang keluarga
sebanyak 9 KK dengan persentase sebesar 90%.
Untuk kepemilikan ventilasi rumah, sebagian besar responden memiliki
ventilasi yang luasnya >10% dari luas lantai sebesar 60%. Sedangkan, mengenai
kepemilikan lubang asap dapur, sebanyak 4 KK (40%) memiliki lubang asap
dapur yang luasnya <10% dari luas lantai dan sebanyak 4 KK (40%) tidak
memiliki komponen lubang asap dapur. Untuk tingkat pencahayaan yang
digunakan, sebagian besar responden mempunyai tingkat pencahayaan yang tidak
terang <60 lux sebanyak 6 KK dengan persentase sebesar 60%. Sedangkan, untuk
keadaan suhu yang ada di rumah, keseluruhan rumah responden memiliki suhu
sedang/ suhu udara nyaman yaitu antara 18 - C sebesar 100%. Mengenai
33
kepadatan hunian diketahui bahwa, sebagian besar responden memiliki padatan
hunian yang tidak padat >8m2 sebanyak 8 KK dengan presentase sebesar 80%.
Berdasarkan komponen rumah sehat didapatkan hasil bahwa dari 10 KK di
DesaSurenKecamatanLedokomboKabupatenJember, diketahui sebanyak 5 KK
memiliki rumah dengan kriteria rumah sehat namun, masih terdapat 3 KK dengan
kriteria rumah kurang sehat dan 2 KK dengan kriteria rumah tidak sehat.
Berdasarkan penelitian Listyowati (2011), didapatkan hasil bahwa rumah sehat
dapat menurunkan resiko angka kejadian TB Paru , terutama perilaku penghuni
yang buruk juga dapat meningkatkan risiko angka kejadian TB Paru. Dengan
demikian, perlunya dilakukan sosialisasi terkait dengan rumah sehat sehingga
masyarakat mengetahui pentingnya rumah sehat untuk menurunkan resiko angka
kejadian TB Paru.
34
BAB 5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Surveilans Epidemiologi adalah kegiatan analisis secara sistematis dan terus
menerus terhadap penyakit atau masalah-masalah kesehatan dan kondisi
yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau
masalah-masalah kesehatan tersebut, agar dapat melakukan tindakan
penanggulangan secara efektif dan efesien melalui proses pengumpulan
data, pengolahan, dan penyebaran informasi epidemiologi kepada
penyelenggara program kesehatan.
35
dengan penilaian resiko TB, skrinning dan diagnosis TBC, inisiasi
pengobatan, kepatuhan pengobatan dan keberhasilan pengobatan
5.2 Saran
Pencegahan dan penangulangan TB perlu diadakan kegiatan yang
banyak melibatkan peran serta masyarakat diantaranya penyuluhan mengenai
lingkungan rumah sehat serta pemgetahuan terkait TB dan perlu adanya
pengadaan obat yang belum tersedia di Indonesia untuk penderita TB.
Adapun obat yang belum tersedia di Indonesia diantaranya adalah
Kapreomisin, sikloserino PAS, Derivat rimpisin dan Thioamides.
36
DAFTAR PUSTAKA
38
LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Mapping Desa Suren
Titik Tengah
Desa (Balai Desa)
Keterangan :
Toko/Warung
Rumah warga
Makam
Masjid
Sekolah dasar
Batas desa (sungai)
Persawahan
39
Lampiran 2. Dokumentasi Kegiatan
40
Proses Wawancara dan Observasi
41
Proses Wawancara dan Observasi
42