Preseptor :
dr. Dinda Aprilia, Sp. PD
2019
BAB I
PENDAHULUAN
ditandai oleh adanya hiperglikemik yang disebabkan oleh defek sekresi insulin, defek
diabetes melitus tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi 366
juta tahun 2030. WHO memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia
dalam hal jumlah penderita diabetes setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada
tahun 2000, jumlah penderita diabetes mencapai 8,4 juta dan diperkirakan pada tahun
2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia akan berjumlah 21,3 juta. Tetapi, hanya
diabetes, dan hanya 30% dari penderita melakukan pemeriksaan secara teratur. 2
Peningkatan insidensi diabetes melitus di Indonesia tentu akan diikuti oleh
makrovaskular seperti penyakit pembuluh darah koroner dan juga pembuluh darah
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes melitus
yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Sedangkan menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes melitus sebagai suatu
kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah
faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi
insulin. 4
2.2 Klasifikasi
2005, yaitu1 :
1. Diabetes Melitus Tipe 1
DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang terjadi akibat
kerusakan dari sel beta pankreas. Gejala yang menonjol adalah sering kencing
(terutama malam hari), sering lapar dan sering haus, sebagian besar penderita
DM tipe ini berat badannya normal atau kurus. Biasanya terjadi pada usia muda
insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi insulin untuk
metabolisme glukosa tidak ada atau kurang. Akibatnya glukosa dalam darah tetap
tinggi sehingga terjadi hiperglikemia, dan 75% dari penderita DM type II ini
tahun.
3. Diabetes Melitus Tipe lain
d. Endokrinopati
f. Infeksi
g. Imunologi
4. DM Gestasional
tahun 2000, jumlah penderita diabetes mencapai 8,4 juta dan diperkirakan pada
tahun 2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia akan berjumlah 21,3 juta. Tetapi,
hanya 50% dari penderita diabetes di Indonesia menyadari bahwa mereka menderita
diabetes, dan hanya 30% dari penderita melakukan pemeriksaan secara teratur.2
2.4Patogenesis
2.4.1 Diabetes mellitus tipe 1
Pada saat diabetes mellitus tergantung insulin muncul, sebagian besar sel
pankreas sudah rusak. Proses perusakan ini hampir pasti karena proses autoimun,
pertama, harus ada kerentanan genetik terhadap penyakit ini. Kedua, keadaan
lingkungan seperti infeksi virus diyakini merupakan satu mekanisme pemicu, tetapi
agen noninfeksius juga dapat terlibat. Tahap ketiga adalah insulitis, sel yang
keempat adalah perubahan sel beta sehingga dikenal sebagai sel asing. Tahap kelima
adalah perkembangan respon imun. Karena sel pulau sekarang dianggap sebagai sel
asing, terbentuk antibodi sitotoksik dan bekerja sama dengan mekanisme imun
seluler. Hasil akhirnya adalah perusakan sel beta dan penampakan diabetes.5
2.4.2 Diabetes Melitus Tipe 2
Pasien DM tipe 2 mempunyai dua defek fisiologik : sekresi insulin abnormal
dan resistensi terhadap kerja insulin pada jaringan sasaran (target). Abnormalitas yang
utama tidak diketahui. Secara deskriptif, tiga fase dapat dikenali pada urutan klinis
yang biasa. Pertama, glukosa plasma tetap normal walaupun terlihat resistensi insulin
karena kadar insulin meningkat. Pada fase kedua, resistensi insulin cenderung
glukosa dalam bentuk hiperglikemia setelah makan. Pada fase ketiga, resistensi
insulin tidak berubah, tetapi sekresi insulin menurun, menyebabkan hiperglikemia
mengeluhkan apa yang disebut 4P : polifagi dengan penurunan berat badan, Polidipsi
dengan poliuri, juga keluhan tambahan lain seperti sering kesemutan, rasa baal dan
gatal di kulit 1.
Kriteria diagnostik :
Gejala klasik DM ditambah Gula Darah Sewaktu ≥200 mg/dl. Gula darah sewaktu
merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memerhatikan waktu
standard WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa
karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa.
Berpuasa paling sediikt 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum
glukosa hati meningkat dan penggunaan glukosa oleh sel tubuh menurun
aktivitas kreb cycle menurun, asetil Ko-A dan Ko-A bebas akan meningkat
dan asetoasetil asid yang tidak dapat diteruskan dalam kreb cycle tersebut juga
menjadi sumber energi akibat sinyaling sel yang kekurangan glukosa akan
KAD adalah GDS > 250 mg/dl, pH <7,35, HCO 3 rendah, anion gap tinggi dan
keton serum (+). Biasanya didahului gejala berupa anorexia, nausea, muntah,
sakit perut, sakit dada dan menjadi tanda khas adalah pernapasan kussmaul
mg% tanpa ketosis yang berarti dan osmolaritas plasma melebihi 350 mosm.
Keadaan ini jarang mengenai anak-anak, usia muda atau diabetes tipe non
insulin dependen karena pada keadaan ini pasien akan jatuh kedalam kondisi
KAD, sedang pada DM tipe 2 dimana kadar insulin darah nya masih cukup
3. Hipoglikemia
Ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 70 mg% tanpa gejala
klinis atau GDS < 70 mg% dengan gejala klinis. Dimulai dari stadium
parasimpatik: lapar, mual, tekanan darah turun. Stadium gangguan otak ringan
gejala adrenergik yaitu keringat dingin pada muka, bibir dan gemetar dada
b. Penyulit menahun
1. Mikroangiopati
Terjadi pada kapiler arteriol karena disfungsi endotel dan trombosis
• Retinopati Diabetik
retinopati diabetik nonproliferatif, karena hiperpermeabilitas dan inkompetens
retina darah bagian dalam pada endotel retina menyebabkan kebocoran cairan
vitreum yang bila tekanan meninggi saat berkontraksi maka bisa terjadi
sebelum timbulnya gejala dan setiap tahun bila sudah mulai ada kerusakan
mikro untuk mencegah kebutaan. Faktor utama adalah gula darah yang
disease.9
• Neuropati diabetik
Yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa hilangnya
sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi. Gejala
yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri dan lebih terasa
2. Makroangiopati
• Pembuluh darah jantung atau koroner dan otak
Kewaspadaan kemungkinan terjadinya PJK dan stroke harus ditingkatkan
terjadi dengan gejala tipikal intermiten atau klaudikasio, meskipun sering anpa gejala.
sama dengan orang normal. Pilar penatalaksanaan Diabetes mellitus dimulai dari :
1. Edukasi
Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien,
individual.
Tujuan terapi gizi ini adalah untuk mencapai dan mempertahankan :
1. Kadar glukosa darah yang mendekati normal
a) Glukosa darah berkisar antaara 90-130 mg/dl
b) Glukosa darah 2 jam post prandial < 180 mg/dl
c) Kadar HbA1c < 7%
2. Tekanan darah <130/80
3. Profil lipid :
a) Kolesterol LDL <100 mg/dl
b) Kolesterol HDL >40 mg/dl
c) Trigliserida <150 mg/dl
4. Berat badan senormal mungkin, BMI 18 – 24,9
makan diabetes antara lain, tinggi badan, berat badan, status gizi,, status
kesehatan, aktivitas fisik dan faktor usia. Selain itu ada beberapa faktor
pada usia tua, dan lainnya. Pada keadaan infeksi berat dimana terjadi proses
Masalah lain yang tidak kalah pentingnya adalah masalah status ekonomi,
karbohidrat
Jumlah serat 25-50 gram/hari.
Penggunaan alkohol dibatasi dan tidak boleh lebih dari 10 ml/hari.
Fruktosa tidak boleh lebih dari 60 gr/hari
Makanan yang banyak mengandung sukrosa tidak perlu dibatasi.
PROTEIN
Kebuthan protein 15-20% dari total kebutuhan energi perhari.
Pada keadaan kadar glukosa darah yang terkontrol, asupan protein tidak akan
LEMAK
Batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh, jumlah maksimal 10%
B. Kebutuhan Kalori
Menetukan kebutuhan kalori basa yang besarnya 25-30 kalori/ kg BB ideal ditambah
atau dikurangi bergantung pada beberapa factor yaitu jenis kelamin, umur, aktivitas,
Kebutuhan basal :
3. Latihan Jasmani
Kegiatan fisik bagi penderita diabetes sangat dianjurkan karena mengurangi
latihan jasmani kebutuhan otot akan glukosa meningkat dan ini akan
Aktivitas latihan :
7-20x. Lemak juga akan mulai dipakai untuk pembakaran sekitar 40%
> 40 menit : makin banyak lemak dipecah ±75-90% .
Dengan makin banyaknya lemak dipecah, makin banyak pula benda keton
yang terkumpul dan ini menjadi perhatian karena dapat mengarah ke keadaan
terkontrol saja, sedangkan DM yang agak berat, GDS mencapai > 350 mg/dl
berhenti. Rhytmical artinya latihan yang berirama, yaitu otot berkontraksi dan
relaksi secara teratur. Interval, dilakukan selang-seling antara gerak cepat dan
intensitas ringan sampai sedang hingga 30-60 menit. Endurance, latihan daya
jogging dll.
4. Intervensi Farmakologis
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum
pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurangm namun masih
boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Contohnya glibenklamid.
Glinid : bekerja cepat, merupakan prandial glucose regulator. Penekanan pada
b. Insulin sensitizers
Thiazolindindion. Mensensitisasi insulin dengan jalan meningkatkan efek insulin
endogen pada target organ (otot skelet dan hepar). Menurunkan resistensi insulin
di perifer meningkat. Agonis PPARγ yang ada di otot skelet, hepar dan jaringan
lemak.
c. glukoneogenesis inhibitor
Metformin. Bekerja mengurangi glukoneogenesis hepar dan juga memperbaiki
Kontraindikasi pada pasien dengan gangguan ginjal dan hepar dan pasien dengan
kecendrungan hipoksemia.
halus sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
prandial. Terapi insulin diupayakan mampu meniru pada sekresi insulin yang
fisiologis.
Defisiensi insulin mungkin hanya berupa defisiensi insulin basa, insulin prandial
insulin), kerja pendek (short acting), kerja menengah (intermediate acting) atau
kombinasi OHO dengan dosis yang hampir maksimal, stress berat (infeksi sistemik,
operasi besar, IMA, stroke), kehamilan dengan DM/DM Gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan, gangguan fungsi hepar atau ginjal yang berat,
3. Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah untuk
kemudian diinaikan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah.
Untuk kombinasi OHO dengan insulin, yang banyak dipakai adalah kombinasi OHO
dan insulin basal (kerja menengah atau kerja lama) yang diberikan pada malam hari
atau menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat
diperoleh kendali glukosa yag baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal
insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian
dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar gula darah puasa keesokan
harinya. Bila dengan cara seperti ini kadar gula darah sepanjang hari masih tidak
Terapi insulin diupayakan mampu meniru pola sekresi insulin yang fisiologis.
Defisiensi insulin dapat berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial (setelah makan),
atau keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada
memperbaiki kadar glukosa darah puasa atau sebelum makan. Oleh karena glukosa
darah setelah makan merupakan keadaan yang dipengaruhi oleh kadar glukosa
puasa, maka diharapkan dengan menurunkan glukosa basal, kadar glukosa darah
Insulin dapat diberikan pada semua pasien DMT2 dengan kontrol glikemik
yang buruk. Insulin juga dapat diberikan pada kasus-kasus DMT2 yang baru dikenal
dengan penurunan berat badan yang hebat dan dalam keadaan ketosis.
1. Mulai dengan dosis 8 – 10 unit long acting insulin (insulin kerja panjang)
2. Teruskan pemakaian OAD (metformin)
3. Lakukan pemeriksaan glukosa darah sebelum makan pagi
4. Lakukan titrasi dosis untuk mengendalikan kadar glukosa darah sebelum
makan pagi
Dalam menggunakan insulin, dosis dinaikan secara bertahap. Apabila kadar glukosa
darah belum terkontrol, titrasi dosis dapat dilakukan setiap 2- 3 hari. Cara mentitrasi
! Naikan dosis 2 unit bila glukosa darah puasanya di atas 126 mg/dl
! Naikan dosis 4 unit bila glukosa darah puasanya di atas 144 mg/dl
Pemberian Insulin Basal, basal plus insulin
Jika nilai HbA1c masih belum mencapai target, setelah kadar glukosa darah
puasa terkendali dengan regimen basal insulin, maka dibutuhkan insulin lain untuk
insulin dengan menambahkan insulin prandial disebut dengan terapi basal plus. Jika
dengan pemberian cara di atas belum mendapatkan hasil yang optimal, maka
pemberian insulin kerja cepat dapat diberikan setiap mau makan. Cara pemberian
insulin seperti ini disebut dengan basal bolus. Dengan menggunakan 2 macam insulin
dapat dilakukan berbagai metode untuk mencapai kontrol glukosa darah. Basal bolus
insulin merupakan salah satu metode yang dapat digunakan dalam mencapai kontrol
glukosa darah.
Basal bolus insulin merupakan salah satu bentuk pemberian insulin yang
cukup komplit, tetapi bisa jadi fleksibel sehingga kita mempunyai banyak pilihan
dalam penatalaksanaan DM. Contoh pemberian insulin basal bolus, pada seorang
penderita dapat diberi sekali injeksi insulin basal digabung dengan OAD, jika
diperlukan tambahan insulin pada satu waktu makan, maka dapat ditambahkan satu
bolus insulin. Jika setiap makan diperlukan insulin tambahan maka bolus insulin dapat
dan respons individu terhadap insulin, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar
glukosa darah harian baik glukosa darah puasa maupun glukosa darah setelah makan.
Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemi. Efek samping
lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat menimbulkan alergi insulin
atau resistensi insulin. Guna menghindari efek samping hipoglikemi, maka kepada
setiap penderita DMT2 yang akan diberikan insulin harus dilakukan edukasi tentang
tanda dan gejala hipoglikemi. Bila seorang pasien mengalami tanda atau gejala
harus segera memeriksa kadar glukosa darahnya secara mandiri dan bila kadar
glukosa darahnya < 70 mg/dl, maka pasien harus segera meminum air gula dan
Efek samping lain dari terapi insulin basal bolus pada penderita rawat jalan
adalah terjadinya kenaikan berat badan secara signifikan. Pada pasien tertentu,
memiliki faktor resiko, yakni mereka yang belum terkena tetapi berpotensi
penyulit pada pasien yang telah menderita DM. Program ini dapat dilakukan
dengan pemberian pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit
DAFTAR PUSTAKA
1. International Diabetes Federation (IDF). IDF Diabetes Atlas Sixth Edition,
International Diabetes Federation (IDF). 2013.
6. Widyahening, I. S.; van der Graaf, Y.; Soewondo, P.; Glasziou, P.; van der
Heijden, G. J. Awareness, agreement, adoption and adherence to type 2
diabetes mellitus guidelines: a survey of Indonesian primary care
physicians. See http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24755412 for further
details.
10. Gustavani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi III. Departemen Ilmu Panyakit Dalam FKUI; 2006;
hal. 1873