Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
LES merupakan penyakit autoimun yang kompleks ditandai oleh adanya autoantibodi
terhadap inti sel dan melibatkan banyak sistem organ tubuh. LES adalah penyakit multi-
sistemik sehingga pasien bisa menunjukkan gejala yang beragam dan dikarakterisasi oleh
adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi
antibodi yang berlebihan.1

2.2 Epidemiologi
LES ditemukan 10 kali lebih sering pada wanita dibandingkan pada pria, khususnya
pada anak dan wanita dewasa muda. Prevalensi keseluruhan diperkirakan sekitar 1 per 1000
orang menderita LES.2 Insidens LES pada anak secara keseluruhan mengalami peningkatan
sekitar 15-17%. Pada sebuah penelitian dari Birmingham, Inggris, ditemukan prevalensi LES
sekitar 27,7/100.000 pada populasi masyarakat, dan pada wanita Afro-Karibia prevalensinya
9 kali lebih tinggi. Dari sebuah survey kesehatan nasional Amerika Serikat, prevalensi dari
LES ditemukan sekitar 242/100.000. Dari sekitar 1.250.00 orang indonesia yang terkena
penyakit lupus, asumsi prevalensi 0,5% yang menyadari bahwa dirinya menderita penyakit
lupus.3

2.3 Etiologi
Mekanisme etiologi pasti dari LES tidak diketahui, tapi dari penelitian-penelitian
yang sudah berjalan sebelumnya, bisa diidentifikasi beberapa faktor yang diduga berpengaruh
terhadap munculnya LES, seperti faktor genetik, hormon, imunologi, dan faktor
lingkungan.2Pada faktor genetik, sekitar 7% pasien LES memiliki keluarga dekat (orang tua
atau saudara) yang menderita LES. Perempuan lebih sering terkena LES dibandingkan laki-
laki. Meningkatnya angka pertumbuhan penyakit LES sebelum periode menstruasi dan
selama kehamilan mendukung dugaan bahwa hormon estrogen menjadi pencetus LES.
Namun hingga saat ini belum diketahui secara pasti peran hormon yang menjadi pencetus
LES tersebut.8 Pada individu yang rentan, penyakit bisa muncul karena variasi dari pencetus
pada lingkungan, di antaranya adalah paparan cahaya matahari, obat-obatan, dan infeksi. 1,2
Pada sebagian besar pasien ditemukan adanya peningkatan autoantibodi, menandakan adanya
abnormalitas dalam toleransi, yang menyebabkan apoptosis dan terganggunya fungsi limfosit
T dan B.1,2

2.4 Patofisiologi
Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang mempunyai prediposisi genetik akan
menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel T CD4+, mengakibatkan hilangnya
toleransi sel T terhadap self-antigen.2 Sebagai akibatnya, muncul sel T autoreaktif yang akan
menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yang memproduksi auto antibodi maupun
yang berupa sel memori.1,5 Diduga pemicunya ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan
berbagai macam infeksi.5
Patogenesis SLE terdiri dari tiga fase, yaitu fase inisiasi, fase profagasi, dan fase
puncak (flares).1,5 Inisiasi lupus dimulai dari kejadian yang menginisiasi kematian sel secara
apoptosis dalam konteks proimun.,5 Fase profagasi ditandai dengan aktivitas autoantibodi
dalam menyebabkan cedera jaringan. Autoantibodi pada lupus dapat menyebabkan cedera
jaringan dengan cara pembentukan dan generasi kompleks imun, berikatan dengan molekul
ekstrasel pada organ target dan mengaktivasi fungsi efektor inflamasi di tempat tersebut, dan
secara langsung menginduksi kematian sel dengan ligasi molekul permukaan atau penetrasi
ke sel hidup.6 Fase puncak merefleksikan memori imunologis, muncul sebagai respon untuk
melawan sistem imun dengan antigen yang pertama muncul.6 Apoptosis tidak hanya terjadi
selama pembentukan dan homeostatis sel namun juga pada berbagai penyakit, termasuk SLE.
Jadi, berbagai stimulus dapat memprovokasi puncak penyakit. 6

1.5 Manifestasi Klinis


Gambaran klinis LES sangat bervariasi, baik dalam keterlibatan organ pada suatu
waktu maupun keparahan manifestasi penyakit pada organ tersebut.Sebagai tambahan, perjalanan
penyakit berbeda antarpasien.2 Keparahan dapat bervariasi dari ringan ke sedang hingga parah atau
bahkan membahayakan hidup. Karena perbedaan multisistem dari manifestasi klinisnya, lupus telah
menggantikan sifilis sebagai great imitator . Kebanyakan pasien dengan LES memiliki
penyakit ringan sampai sedang dengan gejala kronis, diselingi oleh peningkatan aktivitas
penyakit secara bertahap atau tiba-tiba.2 Gambaran klinis LES menjadi rumit karena dua hal.
Pertama, walaupun LES dapat menyebabkan berbagai gejala dan tanda, tidak semua gejala
dan tanda pada pasien dengan LES disebabkan oleh penyakit tersebut.2 Banyak penyakit,
khususnya penyakit infeksi virus, dapat menyerupai LES. Kedua, efek samping pengobatan,
khususnya penggunaan glukokortikoid jangka panjang, harus dibedakan dengan gejala dan
tanda LES. Berbagai jenis manifestasi klinis pada LES adalah:
1. Manifestasi Konstitusional
Demam muncul pada sebagian besar pasien dengan LES aktif, namun penyebab
infeksius tetap harus dipikirkan, terutama pada pasien dengan terapi imunosupresi.Penurunan
berat badan dapat timbul awal penyakit, di mana peningkatan berat badan, khususnya pada
pasien yang diterapi dengan glukokortikoid, dapat menjadi lebih jelas pada tahap
selanjutnya.Kelelahan dan malaise merupakan salah satu gejala yang paling umum dan seringkali
merupakan gejala yang memperberat penyakit. Penyebab pasti gejala-gejala ini masih belum
jelas.2,7
2. Manifestasi Mukokutan
Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85 % kasus LES. Lesi
kulit yang paling sering ditemukan pada LES ialah lesi kulit akut, subakut, diskoid dan livido
retikularis.Ruam kulit yang dianggap khas dan banyak menolong dalam mengarahkan
diagnosis LES ialah ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly-rash) berupa eritema yang
agak edematus pada hidung dan kedua pipi. Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari
dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas (photo-hypersensitivity). Lesi ini
termasuk lesi kulit akut. Lesi kulit subakut dimulai dari papul yang berkembang menjadi lesi
anular dengan tepi yang meninggi. Lesi ini biasanya menyebar di muka dan ekstremitas dan
dapat menjadi krusta, hiperkeratosis dan atrofi. Lesi discoid jarang terjadi pada anak,
biasanya terdapat di kepala atau ekstremitas dengan distribusi yang asimetris.2.7
Alopesia juga dapat timbul akibat lesi pada kulit kepala, namun biasanya muncul
pada puncak LES. Alopesia bersifat reversibel, kecuali jika terdapat lesi diskoid dikepala.
Ulkus oral dan nasal cukup sering terjadi dan harus dibedakan dari infeksi virus maupun
jamur. Lesi ini biasanya tidak nyeri, dalam, berupa ulkus kasar pada palatum durum.
Biasanya juga disertai eritema pada palatum durum.2.7
3. Manifestasi Muskuloskeletal
Gejala gejala muskuloskeletal pada pasien LES yang paling sering berupa artritis atau
artralgia (93 %) dan sering mendahului gejala-gejala lainnya. Sendi yang paling sering
terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan,
metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki. Pada beberapa anakm artritis bersifat
persisten ditandai dengan bengkak, nyeri dan berkurangnya gerakan. Kelemahan otot
biasanya merupakan akibat terapi glukokortikoid. Artralgia dan mialgia merupakan gejala
lain yang sering ditemukan, dapat disebabkan oleh penyakit, efek samping pengobatan,
glucocorticoid withdrawal syndrome, endokrinopati, dan faktor psikogenik.2.7
4. Manifestasi Kardiovaskular
Perikarditis merupakan gejala khas, dengan nyeri substernal posisional dan terkadang
dapat ditemukan rub. Ekokardiografi dapat menunjukkan efusi, atau dalam kasus kronik
penebalan dan fibrosis perikardium.2
Arteriosklerosis prematur dengan angina pektoris dan infark miokardium merupakan
sumber mortalitas dan morbiditas jangka panjang yang paling serius. Penyempitan arteri
ireversibel di tangan dan kaki sering tumpang tindih dengan skleroderma. Sebagian besar
cedera vaskular trombotik pada pasien LES dimediasi oleh antibodi antifosfolipid (aPL),
ditemukan pada sekitar 30% pasien LES. aPL dapat menyebabkan trombosis arteri dan vena
spontan pada semua ukuran pembuluh darah. 2.7
5. Manifestasi Paru
Efusi pleura unilateral ringan lebih sering terjadi daripada yang bilateral. Pleurisy
sering ditemukan pada LES. Nyeri dada khas pleuritik, rub, dan efusi dengan bukti radiografi
dapat ditemukan pada sebagian pasien, namun sebagian lain mungkin hanya berupa gejala
tanpa temuan obyektif. Pneumonitis lupus kronik dengan perubahan fibrotik pada paru mirip
dengan fibrosis paru idiopatik, dengan perjalanan yang progresif. 2.7
6. Manifestasi Ginjal
Nefritis lupus muncul pada sebagian pasien dengan LES. Spektrum keterlibatan
patologis dapat bervariasi dari proliferasi mesangial yang sama sekali tidak menimbulkan
gejala sampai glomerulonefritis membranoproliferatif difus agresif yang menuju gagal ginjal.
Gambaran klinis ditandai dengan temuan minimal, termasuk proteinuria ringan dan hematuria
mikroskopik; sindrom nefrotik, hipoalbuminemia, edema perifer, hipertrigliseridemia, dan
hiperkoagulasi; atau sindrom nefritik, dengan hipertensi, sedimen eritrosit atau kristal eritrosit
pada sediaan sedimen urin, dan penurunan laju filtrasi glomerulus progresif dengan
peningkatan kreatinin serum dan uremia. 2.7
7. Manifestasi Neurologis dan Psikiatrik
Penyakit lupus pada sistem saraf pusat (SSP) berhubungan dengan beberapa sindrom
neurologik yang berbeda.2 Manifestasi neuropsikiatrik lupus bervariasi dari ringan (seperti
sakit kepala) hingga berat.
Spektrum manifestasi klinis lupus SSP sangat luas sehingga merupakan suatu sindrom
klinis utama pada lupus SSP yaitu berupa vaskulitis SSP yang merupakan inflamasi pada
pembuluh darah otak karena aktivitas lupus, dan merupakan satu dari dua sindrom spesifik
lupus SSP yang dibuat oleh American College of Rheumatology.2,3
Sindrom klinis lupus SSP biasanya terjadi pada awal perjalanan penyakit (lebih dari
80% kejadian timbul saatlima tahun pertama dari perjalanan penyakit), yang ditemukan pada
10% pasien lupus. 2,3 Pasien memperlihatkan gejala demam, seizures, meningitis like stiffness
pada leher dan psychotic atau bizzare behaviour. MRI otak memperlihatkan daerah infark
singel atau multiple.2,7
8. Manifestasi Gastrointestinal
Gejala gastrointestinal nonspesifik, termasuk nyeri perut difus dan mual, khas
untuk pasien LES. Gejala menghilang dengan cepat jika gangguan sistemiknya mendapat
pengobatan adekuat. Banyak gejala gastrointestinal berhubungan dengan terapi,yaitu NSAID dan atau
gastropati terkait glukokortikoid. 2,3
Hepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi jarang disertai
dengan ikterus. Umumnya dalam beberapa bulan akan menghilang atau kembali normal.
Peningkatan enzim hati terkadang dihubungkan dengan hepatitis noninfeksi pada LES, yang
tidak dapat dibedakan dengan hepatitis autoimun melalui gambaran histologis.Peningkatan
enzim hati juga dapat disebabkan oleh penggunaan NSAID, azatrioprin, atau metotreksat, dan
penggunaan jangka panjang glukokortikoid yang dapat menyebabkan perlemakan hati dengan
peningkatan transaminase ringan. 2,3
9. Manifestasi Hematologi
Splenomegali dan limfadenopati difus sering merupakan temuan yang sering namun
nonspesifik pada LES aktif. Anemia merupakan temuan khas, dapat disebabkan oleh
hemolisis, dengan hasil tes Coombs positif, kadar haptoglobin rendah, dan kadar laktat
dehidrogenase tinggi, atau dengan mielosupresi. Mekanisme tidak langsung mencakup
penurunan sintesis eritropoietin dan mielosupresi uremikum pada pasien nefritis lupus. Hal
ini dapat diperberat dengan perdarahan ringan kronik dan ketidakcukupan asupan makanan.
Leukopenia dan limfopenia sangat sering terjadi namun jarang mencapai kadar kritis.
Trombositopenia ringan juga dapat terjadi yang disebabkan oleh antibodi antifosfolipid.
Trombositopenia autoimun berat (kurang dari 50 000/ μl), disebabkan oleh antibodi
antiplatelet, dapat mempersulit diagnosis SLE dan awalnya mungkin didiagnosis sebagai
purpura trombositopenik idiopatik. 2,3
10. Manifestasi Mata
Eksudat dan infarks retina (badan sitoid) relatif jarang dan merupakan temuan
nonspesifik. Konjungtivitis dan episkleritis terkadang dapat ditemukan pada penyakit aktif.
Mata kering dapat menunjukkan tumpang tindih dengan sindrom Sjögren.Kebutaan singkat
atau permanen dapat disebabkan oleh neuritis optik atau oklusi arteri atau vena retina.2,3
Temuan Laboratorium
Uji laboratorium bertujuan untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis,
mengikuti perkembangan penyakit dan mengidentifikasi efek samping terapi. Pemeriksaan
yang dapat dilakukan pada LES adalah:
1. Pemeriksaan darah rutin akan
Menunjukkan bukti inflamasi sistemik, seperti anemia normositik normokrom
(anemia pada penyakit kronik) dan trombositosis. Pada LES lebih sering ditemukan
leukopenia dan limfopenia.
2. Pemeriksaan fungsi ginjal
Biasanya normal pada awal penyakit, walaupun nefritis lupus telah terjadi, namun
urinalisis dapat menunjukkan proteinuria dan hematuria mikroskopik. Sedimen eritrosit
merupakan tanda glomerulonefritis berat.
3. Pemeriksaan fungsi hati.
4. Laju endap darah(LED) dan protein reaktif C (C-reactive protein, atau CRP).
LED dapat meningkat pada penyakit berat. Peningkatan CRP biasanya lebih ringan
pada LES dibanding pada penyakit infeksi.
5. ANA (antibodi antinukleus)
Tes ini biasanya positif pada > 95% pasien, biasanya pada awitan gejala. ANA adalah
sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti sel. Jika hasil tes ANA negatif,
maka pasien belum tentu negatif terhadap LES karena harus dipertimbangkan data klinik dan
tes laboratorium lain. Tetapi jika hasil tes ANA positif, maka sebaiknya dilakukan tes
serologi lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut menderita LES. ANA meliputi
anti-smith (anti-Sm), anti-RNP(anti ribonukleoprotein), anti-SSA (Ro).

2.6 Diagnosis
Lupus eritematosus sistemik biasanya dimulai dengan gejala dan tanda
nonspesifik atau spesifik, namun dapat juga bermanifestasi pertama dengan memar,
splenomegali, neuritis perifer, mioendokarditis dan endokarditis, pneumonitis interstisial,
meningitis aseptik, atau tes Coombs positif.2 Kriteria yang umum digunakan untuk klasifikasi
dan diagnosis adalah kriteria American College of Rheumatology (ACR).2,3 Sensitivitas dan
spesifisitas kriteria ini sekitar 96% ketika dihubungkan dengan sindrom rematik lain.
Bagaimanapun, nilai prediktif kriteria ini lebih rendah.2,3 Pasien dapat dinyatakan sebagai
bukan LES (tidak memenuhi kriteria atau hanya memenuhi satu kriteria), possible LES
(hanya memenuhi dua kriteria), probable LES (hanya memenuhi 3 kriteria), atau definite LES
(memenuhi setidaknya empat kriteria), seperti yang dijabarkan dibawah ini:
1. Ruam malar : eritema persisten, datar atau meninggi pada daerah hidung dan pipi.
2. Ruam diskoid : bercak eritematosa yang meninggi dengan sisik keratin yang melekat
dan sumbatan folikel, dapat terjadi jaringan parut.
3. Fotosensitivitas : terjadi lesi kulit akibat abnormalitas terhadap cahaya matahari
4. Ulserasi mulut : ulserasi mulut atau nasofaring, umumnya tidak nyeri.
5. Artritis : artritis non erosif yang mengenai 2 sendi perifer, ditandai oleh nyeri,
bengkak, atau efusi.
6. Serositis :
a. Pleuritis : adanya riwayat nyeri pleural atau terdengar bunyi gesekan pleura atau
adanya efusi pleura
b. Perikarditis : diperoleh dari gambaran EKG atau terdengar bunyi gesekan perikard
atau efusi perikard
7. Kelainan ginjal : Proteinuria >0.5 g/dl or ≥3+, atau ditemukan eritrosit,
hemoglobin granular , tubular, atau campuran.
8. Kelainan neurologis : kejang tanpa sebab atau psikosis tanpa sebab.
9. Kelainan Hematologi: anemia hemolitikatau leukopenia (<4000/µL) atau lympopenia
(<1500/µL) atau trombsitopenia(<100,000/µL) tanpa adanya obat penginduksi gejala
tersebut.
10. Kelainan Immunologi : Anti-dsDNA atau anti-Sm positif, atau adanya antibodi anti-
phospholipid
11. Antibodi Antinucleus: jumlah ANA yang abnormal pada pemeriksaan
imunofluoresensi atau pemeriksaan yang ekuifalen pada setiap saat dan tidak ada obat
penginduksi sindroma lupus.2,3

2.7 Penatalaksanaan
1. Edukasi dan Konseling
Pada dasarnya pasien LES memerlukan informasi yang benar dan dukungan dari
sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri dan menjaga dari quality of life.2,3 Perlu
dijelaskan akan perjalanan penyakit dan kompleksitasnya. Pasien memerlukan pengetahuan
akan masalah aktivitas fisik, mengurangi atau mencegah kekambuhan antara lain melindungi
kulit dari paparan sinar matahari (ultra violet). Pasien harus memperhatikan bila mengalami
infeksi. Perlu pengaturan diet agar tidak mengalami kelebihan berat badan, osteoporosis atau
terjadi dislipidemia. Diperlukan informasi akan pengawasan berbagai fungsi organ, baik
berkaitan dengan aktivitas penyakit ataupun akibat pemakaian obat-obatan. 2,3
Edukasi keluarga diarahkan untuk memangkas dampak stigmata psikologik akibat
adanya keluarga dengan LES, memberikan informasi perlunya dukungan penuh dari
keluarga. Hal ini dimaksudkan agar pasien dengan LES dapat dimengerti oleh pihak
keluarganya dan mampu mandiri dalam kehidupan kesehariannya.2,3
2. Rehabilitasi
Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien dengan LES
tergantung maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu hal penting adalah pemahaman
akan turunnya masa otot hingga 30% apabila pasien dengan LES dibiarkan dalam kondisi
immobilitas selama lebih dari 2 minggu. Penurunan kekuatan otot akan terjadi sekitar 1-5%
per hari dalam kondisi imobilitas. Berbagai latihan diperlukan untuk mempertahankan
kestabilan sendi. 2,3
3. Medikamentosa
Penyakit yang ringan atau remitten bisa dibiarkan tanpa pengobatan. Bila diperlukan,
NSAID bisa digunakan.2,3 NSAID membantu mengurangi peradangan dan nyeri pada otot,
sendi, dan jaringan lainnya. Contoh NSAID adalah aspirin, ibuprofen, naproxen, dan
sulindac.1,2 Karena respon individual tiap pasien bervariasi, penting untuk mencoba NSAID
yang berbeda untuk menemukan yang paling efektif dengan efek samping paling kecil. Efek
samping yang paling sering adalah tidak enak perut, nyeri abdomen, ulkus, dan bisa
perdarahan ulkus. NSAID biasanya diberikan bersamaan dengan makanan untuk mengurangi
efek samping.1,2
Pengobatan immunosupresan digunakan pada pasien dengan manifestasi LES berat
dan kerusakan organ dalam. Contohnya adalah methotrexate, azathioprine,
cyclophosphamide, chlorambucil dan cyclosporine. Semua immunosupresan menyebabkan
jumlah sel darah menurun dan meningkatkan resiko terjadinya infeksi dan perdarahan. Efek
samping lainnya berbeda pada tiap obat. 1,2
Sebagian besar penelitian menunjukkan keuntungan rituximab dalam mengobati
lupus.Rituximab intra vena, yaitu memasukkan antibodi yang menekan sejumlah sel darah
putih, sel B, dan menurunkan jumlahnya dalam sirkulasi. Sel B ditemukan memainkan
peranan penting dalam aktifitas lupus, dan bila ditekan, penyakitnya memasuki masa
remisi.1,2
2.8 Prognosis
Angka 5-year survival dan 10-year survival LES telah membaik selama beberapa dekade
terakhir. Penyakit ginjal telah dapat diterapi dengan lebih efektif, namun LES yang
melibatkan sistem saraf pusat, paru, jantung, dan saluran cerna masih merupakan masalah
besar hingga saat ini.2,5 Prognosis untuk masing-masing individu bergantung pada berbagai
2,5
faktor, termasuk gejala klinis, sistem organ yang terlibat, dan kondisi komorbid.
Konsekuensi jangka panjang LES, termasuk pada late lupus syndrome, merupakan salah satu
perhatian. Angka bertahan hidup pada pasien LES adalah 90 sampai 95% setelah 2 tahun, 82
sampai 90% setelah 5 tahun, 71 sampai 80% setelah 10 tahun, dan 63 sampai 75%setelah 20
tahun. Prognosis buruk (sekitar 50% mortalitas dalam 10 tahun) dikaitkan dengan
ditemukannya kadar kreatinin serum tinggi [>124 µmol/l (>1,4 mgdl)], hipertensi, sindrom
nefrotik (eksresi protein urin 24 jam >2,6 g), anemia [hemoglobin <124 g/l (12,4 g/dl)],
hipoalbuminemia, hipokomplemenemia, dan aPL pada saat diagnosis.2,5 Penyebab mortalitas
utama pada dekade pertama penyakit adalah aktivitas penyakit sistemik, gagal ginjal, dan
infeksi. 2,5
DAFTAR PUSTAKA

1. Akib AP, Munasir Z, Kurniati N. Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak Jilid II edisi II.
Jakarta: Balai Penerbit IDAI .2008;345-364.
2. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauseer SL, Jameson JL. Harrison’s
principles of internal medicine. 17th ed. USA: McGraw-Hill.2005;223-8.
3. Maidhof W, Hilas O. Lupus: An Overview of the Disease And Management Options.
P&T. 2012;37(4).
4. Rahman A, Isenberg DA. Mechanisms of Disease Systemic Lupus Erythematosus. N Engl
J Med. 2017;358:929-39
5. Ginzler E, and Tayar J. American College of Rheumatology. © 2012 American College of
Rheumatology. (Updated January 2012)
6. Cervera R, Espinosa G, D’Cruz D. Systemic Lupus Erythematous: Pathogenesis, Clinical
Manifestation and Diagnosis. Eular On-line Course on Rheumatic Diseases – module n°17.
2014;3(4):44-8.
7. Beer MH, Fletcher AJ, Jones TV. The Merck Manual of Medical Information. 2nd ed.
8. Alarcon-Segovia D, Alarcon-Riquelme ME, Cardiel MH, et al. Familian aggregation of
SLE, RA, and other autoimmune disease in 1,177 lupus patients from the GLADEL
kohort. Arthritis rheum. 2005;52:1138-47.

Anda mungkin juga menyukai