Anda di halaman 1dari 25

Nama : Tiwi Christi Rajagukguk

Nim : 170204073

Kelas : PSIK D.3.2

DEFINISI

Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau
serigala,sedangkanerythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah lupus
erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk menyatakansuatu penyakit
kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh gigitan anjing hutan.

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan
adanya inflamasi tersebar luas, mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini
berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatan
kerusakan jaringan.

ETIOLOGI

Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa faktor predisposisi
dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara beberapa faktor predisposisi
tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor yangpaling dominan berperan dalam timbulnya
penyakit ini.Berikut ini beberapa faktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit
SLE:

1. Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul produk
autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita SLE telah ditunjukkan
oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko
menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko
terjadinya SLE pada individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih
tinggi dibandingkan pada populasi umum.

Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang memiliki
korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II khususnyaHLA- DR2
(Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan
pada struktur komponen komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat
menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko
menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur
komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.

2. Faktor Imunologi
Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu :

a. Antigen

Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen PresentingCell) akan
memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapareseptor yang berada di
permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan
informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di
permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel T. b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B

Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan teraktifasi menjadi
sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon
autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi
imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak normal.

c. Kelainan antibodi
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat antibodi yang
terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk memproduksi
autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks
imun lebih mudah mengendap di jaringan.

3. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi menemukan
korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga
menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai
faktor resiko terjadinya SLE.
4. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam tubuh dan
berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:

a. Infeksi virus dan bakteri


Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE. Agen infeksius
tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteriStreptococcus dan Clebsiella.

b. Paparan sinar ultra violet


Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi menjadi kurang
efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada
kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut
secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah

2.3 ANATOMI SITEM IMMUNITAS


PATOFISIOLOGI

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan


peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi
antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya
terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat
tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat
antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE-
akibat senyawa kimia atau obat-obatan. Pada SLE, peningkatan produksi autoimun diperkirakan
terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun
dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang
antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.

Pathway
MANIFESTASI KLINIS

Awitan penyakit ini sifatnya membayakan atau akut. SLE bisa saja tidak terdiagnosis selama
beberapa tahun. Proses klinis penyakit meliputi eksaserbasi dan remisi.
A) Gejala klasik

demam, keletihan, penurunan berat badan, dan kemungkinan artritis, pleurisi.

B) Sistem Muskuloskeletal

Artralgia dan artritis (sinovitis) adalah cirti yang paling sering muncul. Pembekakan sendi nyeri
tekan, dan nyeri pergerakan adalah hal yang lazim, disertai dengan kekakuan pada pagi hari.

C) Sistem integumen

Terlihat beberapa jenis SLE yang berbeda (mis., lupus eritematosus kutaneus sub akut [SCLE],
lupus etitematosus diskoid [DLE]). Ruam kupu-kupu pada batang hidung dan pipi muncul pada
lebih dari separuh pasien dan mungkin merupakan prekusor untuk gangguan yang sistemik. Lesi
memburuk selama periode eksaserbasi (ledakan) dan dapat distimulasi oleh sinar matahari atau
sinar ultraviolet buatan. ulkus oral dapat mengenai mukosa bukal dan palatum.

C) Sistem Pernapasan

Manifestasi klinis pada paru dapat terjadi, diantaranya adalah pneumonitis,emboli paru,
hipertensi pulmonum, perdarahan paru, dan shrinking lungsyndrome. Pneumonitis lupus dapat
terjadi akut atau berlanjut menjadi kronik.Biasanya penderita akan merasa sesak, batuk kering,
dan dijumpai ronki di basal. Keadaan ini terjadi sebagai akibat deposisi kompleks imun pada
alveolus atau pembuluh darah paru, baik disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus ini
memberikan respons yang baik terhadap steroid. Hemoptisis merupakan keadaan yang sering

apabila merupakan bagian dari perdarahan paru akibat LES ini dan memerlukan penanganan
tidak hanya pemberian steroid namun juga tindakan lasmafaresis atau pemberian sitostatika.

D) Sistem Kardiovaskuler

Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial, dapatberupa perikarditis
ringan, efusi perikardial sampai penebalan perikardial. Miokarditis dapat ditemukan pada 15%
kasus, ditandai oleh takikardia, aritmia, interval PR yang memanjang, kardiomegali sampai
gagal jantung.Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai adanya keluhan nyeri substernal,
friction rub, gambaran silhouette sign pada foto dada ataupun EKG, Echokardiografi.
Endokarditis Libman-Sachs, seringkali tidak terdiagnosis dalam klinik, tapi data autopsi
mendapatkan 50% LES disertai endokarditis Libman-Sachs. Adanya vegetasi katup yang
disertai demam harus dicurigai kemungkinanendokarditis bakterialis.Wanita dengan LES
memiliki risiko penyakit jantung koroner 5-6% lebih tinggi dibandingkan wanita normal. Pada
wanita yang berumur 35-44 tahun, risiko ini meningkat sampai 50%.

E) Manifestasi Ginjal

Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang sebagian besarterjadi setelah 5 tahun
menderita LES. Rasio wanita : pria dengan kelainan ini adalah 10 : 1, dengan puncak insidensi
antara usia 20-30 tahun. Gejala atau tanda keterlibatan ginjal pada umumnya tidak tampak
sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik.

F) Manifestasi Gastrointestinal

Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES, karena dapat merupakan
cerminan keterlibatan berbagai organ pada penyakit LES atau sebagai akibat pengobatan.
Disfagia merupakam keluhan yang biasanya menonjol walaupun tidak didapatkan adanya
kelainan pada esophagus tersebut kecuali gangguan motilitas. Dispepsia dijumpai lebih kurang
50% penderita LES, lebih banyak dijumpai pada mereka yang memakai glukokortikoid serta
didapatkan adanya ulkus.Nyeri abdominal dikatakan berkaitan dengan inflamasi pada
peritoneum. Selain itu dapat pula didapatkan vaskulitis, pankreatitis, dan hepatomegali.
Hepatomegali merupakan pembesaran organ yang banyak dijumpai pada LES, disertai dengan
peningkatan serum SGOT/SGPT ataupun fosfatase alkali dan LDH.

G) Manifestasi Hemopoetik

Terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan anemia normositik
normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis
erosif dengan perdarahan dan anemia hemolitik autoimun.
H) Manifestasi Neuropsikiatrik

Keterlibatan neuropsikiatrik akibat LES sulit ditegakkan karena gambaranklinis yang begitu
luas. Kelainan ini dikelompokkan sebagai manifestasi neurologik dan psikiatrik. Diagnosis lebih
banyak didasarkan pada temuan klinis dengan menyingkirkan kemungkinan lain seperti sepsis,
uremia, dan hipertensiberat.Manifestasi neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat berupa
migrain, neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan tromboembolik dengan
antibodi anti-fosfolipid dapat merupakan penyebab terbanyak kelainan serebrovaskular pada
LES. Neuropati perifer, terutama tipe sensorik ditemukan pada 10% kasus. Kelainan psikiatrik
sering ditemukan, mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan psikiatrik juga dapat
dipicu oleh terapi steroid. Analisis cairan serebrospinal seringkali tidak memberikan gambaran
yang spesifik, kecuali untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi. Elektroensefalografi(EEG)
juga tidak memberikan gambaran yang spesifik. CT scan otak kadang-kadang diperlukan untuk
membedakan adanya infark atau perdarahan.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)

2) Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan kreatinin urin

3) Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)

4) PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid

5) Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen (C3,C4)

6) Foto polos thorax

 Pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk monitoring

 Setiap 3-6 bulan bila stabil

 Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif.

Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE adalah tes ANA
generik. Tes ANA dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah
pada LES. Pada penderita LES ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%, akan tetapi
hasil tes ANA dapat positif pada beberapa penyakit lain yang mempunyai gambaran klinis
menyerupai LES misalnya infeksi kronis (tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya
Mixedconnective tissue disease (MCTD), artritis reumatoid, tiroiditis autoimun),keganasan atau
pada orang normal.Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan,
tetapi perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk LES seringkali dinamis dan berubah,
mungkin diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu yang akan datang terutama jika
didapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Bila tes ANA dengan menggunakan sel Hep-2
sebagai substrat; negatif, dengan gambaran klinis tidak sesuai LES umumnya diagnosis LES
dapat disingkirkan.

Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes antibodi terhadap
antigen nuklear spesifik, termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP, Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-
Jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil ANA/ENA. Antibodi anti- dsDNA merupakan tes
spesifik untuk LES, jarang didapatkan pada penyakit lain dan spesifitasnya hampir 100%. Titer
anti-ds DNA yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis SLE dibandingkan dengan titer
yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin dapat terjadi pada pasien yang bukan LES.

PENATALAKSANAAN MEDIS

1) Kortikosteroid (prednison 1-2 mg/kg/hr s/d 6 bulan postpartum)(metilprednisolon1000


mg/24jam dengan pulse steroid th/ selama 3 hr, jika membaik dilakukantapering off).

2) AINS (Aspirin 80 mg/hr sampai 2 minggu sebelum TP).

3) Imunosupresan (Azethiprine 2-3 mg/kg per oral).

4) Siklofospamid, diberikan pada kasus yang mengancam jiwa 700-1000 mg/m luaspermukaan
tubuh, bersama dengan steroid selama 3 bulan setiap 3 minggu.

PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN

Asuhan keperawatan untuk pasien SLE biasannya sama seperti asuhan keperawatan untuk
pasien penyakit reumatik (lihat” penatalaksanaan keperawatan” pada “Artritis reumatoid”).
Diagnosis keperawatan utama berfokus pada keletihan, membuat integritas kulit gangguan citra
tubuh, dan defisiensi pengetahuan.
 Pekalah terhadap reaksi psikologis pasien akibat perubahan yang terjadi dan proses penyakit
SLE yang tidak terduga; dorong pasien untuk berpatisifasi dalam kelompok pendukung,
yang dapat memberikan informasi mengenai penyakit, tips penatalaksanaan sehari-hari, dan
dukungan sosial.

 Ingatkan pasien untuk menghidari paparan sinar matahari dan sinar ultrapiolet atau untuk
melindungi diri mereka dengan tabir surya dan pakaiaan.

 Karena beberapa sistem organ berisiko tinggi terkena penyakit ini, ingatkan pasien tentang
pentingmya menjalani skrinning rutin secara berkala dan juga aktifitas untuk meningkatkan
kesehatan.

 Rujuk pasien untuk menemui ahli diet jika perlu.

 Jelaskan kepada pasien tentang pentingnya melanjutkan medikasi yang telah diterapkan, dan
memahami perubahan serta kemungkinan efek samping yang cenderung terjadi akibat
penggunaan obat tersebut.

 Ingatkan pasien tentang pentingnya menjalani pemantaaun karena mereka berisiko tinggi
mengalami gangguan sistemik, termasuk pada ginjal dan kardiovaskuler.

FARMAKOLOGI

Sistem imun yang tersedia dalam tubuh dibangun sebagai upaya perlindungan tubuh terhadap
rangsangan atau jejas dari luar, umumnya berupa agen penyebab infeksi atau
peradangan. Respon imun ada yang normal, lemah atau terlalu kuat sehingga dapat menimbulkan
suatu penyakit. 

ALERGI (HIPERSENSITIFITAS) sebagai contoh, adalah reaksi tak diinginkan (kerusakan,


ketidaknyamanan dan kadang-kadang fatal) akibat sistem imun melawan antigen yang memicu
reaksi alergi yang dinamakan alergen.

Respon imun dan reaksi peradangan maupun proses infeksi sebenarnya sangat kompleks.
Cakupan pembahasan berikut ini membahas beberapa upaya farmakologis yang sering digunakan
terkait dengan respon imun dalam mengeliminasi dampak peradangan atau infeksi terhadap
tubuh.

IMUNISASI
 Imunisasi adalah memberikan perlindungan spesifik terhadap patogen-patogen tertentu.
 Imunitas spesifik bisa didapat dari imunisasi aktif atau pasif dan dapat terjadi secara
alamiah atau buatan.

Imunitas aktif : dihasilkan oleh tubuh setelah terpapar oleh antigen.

 Imunitas aktif didapat alamiah, ketika paparan patogen menyebabkan infeksi sub klinik
atau klinik yang mengakibatkan respon imun terhadap patogen lainnya.
 Imunitas aktif didapat buatan, diperoleh dengan pemberian patogen hidup atau mati atau
komponen-komponennya. Vaksin untuk imunisasi aktif mengandung organisme hidup,
organisme mati utuh, komponen mikrobial atau toksin yang disekresikan (telah
didetoksifikasi). Contoh : pemberian imunisasi polio & campak

Imunitas pasif : bisa diperoleh dari transfer serum atau gamma globulin dari donor ke akseptor.

 Imunitas pasif didapat alamiah, saat IgG ditransfer dari ibu ke fetus melalui plasenta atau
transfer IgA melalui kolostrum.
 Imunitas pasif didapat buatan, saat gamma globulin dari orang atau binatang diinjeksikan
ke akseptor. Diterapkan pada infeksi akut (difteri, tetanus, measles, rabies dll), keadaan
keracunan (serangga, reptil, botulisme) dan sebagai profilaksis (hipogamma
globulinemia). Contoh : pemberian ATS (Anti Tetanus Serum )

Anti Tetanus Serum

 Nama : Tetanus antitoxins.


 Sifat Fisikokimia : Serum yang dibuat dari plasma kuda yang dikebalkan terhadap toksin
tetanus. Plasma ini dimurnikan dan dipekatkan serta mengandung fenol 0.25% sebagai
pengawet.
 Bentuk Sediaan : Ampul 1 ml (1.500 IU), 2 ml (10.000 IU). Vial 5 ml (20.000 IU)
 Indikasi : Pencegahan dan pengobatan tetanus.
 Dosis &  Cara Pemberian :
1. Pencegahan tetanus : 1 dosis profilaktik (1.500 IU) atau lebih, diberikan secara
intramuskuler secepat mungkin kepada seseorang yang luka dan terkontaminasi
dengan tanah, debu jalan atau bahan lainnya yang dapat menyebabkan infeksi
Clostridium tetani.
2. Untuk pencegahan tiap ml mengandung : antitoksin tetanus 1.500 IU, Fenol
0,25% v/v.
3. Untuk pengobatan tiap ml mengandung : antitoksin tetanus 5.000 IU, fenol 0,25%
4. Untuk pengobatan : 10.000 IU atau lebih, secara intramuskuler atau intravena,
tergantung keparahan keadaan penderita.

 Farmakologi
o Menetralkan toksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani dan digunakan untuk
memberikan kekebalan pasif sementara terhadap tetanus, tetapi imunoglobulin
tetanus lebih disukai
 Stabilitas Penyimpanan : Disimpan pada suhu 2 – 8°C. Daluarsa 2 tahun
 Efek Samping
o Reaksi anafilaktik: jarang terjadi, tetapi bila ada timbulnya dapat segera atau
dalam waktu beberapa jam sesudah suntikan.
o Serum sickness: dapat timbul 5 hari setelah suntikan berupa demam,gatal-gatal,
eksantema, sesak napas dan gejala alergi lainnya

Sebelum memberi suntikan serum antitetanus dengan dosis penuh, sebaiknya


dilakukan tes hipersensitifitas subkutan terutama bagi mereka yang mempunyai
penyakit alergi (asma, dll).

ANTIHISTAMIN

 Obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan kerja histamin dalam tubuh melalui
mekanisme penghambatan bersaing pada sisi reseptor H1 dan H2
 Antagonis-H1 : untuk pengobatan gejala -gejala akibat reaksi alergi.
 Antagonis-H2  : untuk mengurangi sekresi asam lambung pada pengobatan tukak
lambung

Histamin

 Senyawa normal yang ada dalam jaringan tubuh  ( sel mast & basofil ). Berperan
terhadap berbagai proses fisiologis penting yaitu mediator kimia yang dikeluarkan pada
fenomena alergi seperti rhinitis, asma, urtikaria, pruritis dan anafilaksis.
 Penderita yang sensitif terhadap histamin atau mudah terkena alergi karena jumlah enzim
yang dapat merusak histamin di tubuh (histaminase & diamino oksidase) lebih rendah
dari normal.

Proses : Mediator reaksi hipersensitivitas : antibodi IgE –> terikat pd sel sasaran, yaitu basofil,
platelet, dan sel mast –> melepaskan mediator kimia seperti histamin, eosinofil kemostatik
faktor, slow reacting substance (SRS), serotonin, bradikinin, asetilkolin

Efek Histamin + reseptor H1

 Kontraksi otot polos usus & bronki


 Meningkatkan permeabilitas vaskula
 Meningkatkan sekresi mucus
 Vasodilatasi arteri permeabel terhadap cairan & plasma protein sembab, pruritik,
dermatitis, & urtikaria.
 Efek ini diblok oleh antagonis-H1
 Contoh antagonis H1 : diphenhydramine, chlorpheniramine, fexofenadine, loratadine
Efek Histamin + reseptor H2

 Meningkatkan kecepatan kerja jantung


 Meningkatkan sekresi asam lambung, penurunan cGMP dl sel & peningkatan cAMP dl
sel tukak lambung
 Efek ini diblok oleh antagonis-H2
 Contoh Antagonis H2: Simetidin, Ranitidin HCL, Famotidin, Roksatidin Asetat HCl

KORTIKOSTEROID

 Obat-obat golongan kortikosteroid seperti prednison, dexametason dan hydrocortisone


memiliki potensi efek terapi yang cukup ampuh dalam pengobatan berbagai penyakit
seperti asma, lupus, rheumatoid arthritis dan berbagai kasus inflamasi lainnya.
 Tapi kortikosteroid juga memiliki berbagai efek samping, oleh karena itu sebelum
menggunakan kortikosteroid apalagi dalam jangka waktu lama dan dosis tinggi sebaiknya
berhati-hati

Cara kerja Kortikosteroid

 Obat golongan kortikosteroid sebenarnya memiliki efek yang sama dengan hormon
cortisone dan hydrocortisone yang diproduksi oleh kelenjar adrenal.
 Dengan efek yang sama bahkan berlipat ganda maka kortikosteroid sanggup mereduksi
sistem imun (kekebalan tubuh) dan inflamasi, makanya jika orang dengan penyakit-
penyakit yang terjadi karena proses dasar inflamasi seperti rheumatoid arthritis, gout
arthritis (asam urat) dan alergi gejalanya bisa lebih ringan setelah pemberian
kortikosteroid.

Efek Samping Kortikosteroid

 Kortikosteroid dapat beresiko menimbulkan efek samping yang tidak diharapkan, bahkan
beberapa efek sampingnya dapat menimbulkan masalah kesehatan yang cukup serius.
 Ketika kita mengetahui efek samping yang mungkin terjadi dari obat ini, diharapkan kita
bisa mengambil langkah untuk mengontrolnya.
1. Efek samping jangka pendek
 Peningkatan tekanan cairan di mata (glaukoma)
 Retensi cairan, menyebabkan pembengkakan di tungkai.
 Peningkatan tekanan darah
 Peningkatan deposit lemak di perut, wajah dan leher bagian belakang

2. Efek samping jangka panjang.


 Katarak
 Penurunan kalsium tulang, menyebabkan osteoporosis, tulang rapuh, mudah
patah.
 Menurunkan produksi hormon oleh kelenjar adrenal
 Menstruasi tidak teratur
 Mudah terinfeksi
 Penyembuhan luka yang lama

TERAPI DIET

Selama menjalani diet penyakit autoimun, Anda disarankan agar memperbanyak makan
makanan seperti:

 Daging merah, daging ayam, dan ikan


 Minyak zaitun dan kelapa
 Sayuran kecuali tomat, terong, paprika, dan kentang
 Ubi jalar
 Buah dalam jumlah sedikit
 Makanan fermentasi bebas susu seperti kombucha dan kefir dengan santan
 Madu dalam jumlah sedikit
 Daun kemangi, mint, dan oregano
 Teh hijau dan teh herbal tanpa biji
 Kaldu tulang
 Cuka seperti sari apel dan balsamic

Meski bisa dimakan dalam jumlah sedikit, tapi buah-buahan sebenarnya termasuk makanan yang
tidak selalu boleh dimakan selama menjalani diet AIP.

Ada beberapa aturan yang masih memperbolehkan konsumsi buah-buahan dalam jumlah sedikit,
atau sekitar 2 potong per hati. Namun, ada juga yang tidak memperbolehkannya sama sekali.

makanan yang harus dihindari selama diet AIP

Sementara beberapa jenis makanan yang tidak dianjurkan untuk dimakan selama menjalani diet
penyakit autoimun, yakni:

 Semua jenis biji-bijian, termasuk gandum dan beras


 Semua produk susu
 Kacang-kacangan seperti kacang tanah dan kedelai
 Tomat, terong, paprika, kentang
 Semua gula termasuk penggantinya, kecuali penggunaan madu yang diperbolehkan
sesekali
 Mentega
 Makanan olahan, terutama yang mengandung zat aditif
 Semua jenis minyak termasuk minyak nabati atau canola, kecuali minyak zaitun dan
kelapa
 Telur
 Alkohol
 Obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), seperti ibuprofen (Advil), aspirin (Bufferin), dan
naproxen sodium (Aleve)

Namun terkadang, konsumsi telur, kacang-kacangan, dan biji-bijian tidak selalu dilarang pada
diet untuk penyakit autoimun. Hanya saja, jumlah konsumsinya tetap harus dibatasi.

Dalam hal ini, Anda bisa mengonsultasikan lebih lanjut dengan dokter untuk mendapatkan saran
terbaik sesuai kondisi Anda.

Pengkajian : riwayat keluhan ; rieayat penyakit

-Riwayat keluhan : Bersin-bersin, hidung mengeluarkan sekret, hidung tersumbat, dan


hidung gatal, merasa kelelahan, limfadenopati, lesi ulseratif, perubahan tanda-tanda vital.
-Riwayat penyakit : Pasien pernah menderita penyakit THT, mononukleosus,
malabsorpsi, gangguan liver: hepatitis, sirosis; tromboplebitis atau tromobosis; gangguan
limpa.

Penatalaksanaan
Pemeriksaan diagnostic dan lab

 Pemeriksaan auto antibodi


Anti ds-dna
Batas normal : 70 – 200 iu/ml
Negatif :< 70 iu/ml
Positif :> 200 iu/ml
Anti bodi ini ditemukan pada 65% – 80% penderita dengan sleaktif dan jarang pada
penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk sle
sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit
reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dansirosisbilier. Jumlah anti
bodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran
penyakit terutama lupus glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negative pada penyakit
sle yang tenang (dorman).
Antibodi anti-dna merupakan subtype dari antibody antinukleus (ana). Ada dua tipe dari
antibodi anti-dna yaitu yang menyerang double-stranded dna (anti ds-dna) dan yang
menyerang single-stranded dna (anti ss-dna). Anti ss-dna kurangsensitifdanspesifikuntuk
sle tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain. Kompleksantibodi-antigen pada
penyakit auto imun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan konstributor yang
besar dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan menginduksi sistem
komplemen yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik local maupun sistemik.
-antinuclear antibodies (ana)
Harganormal :nol
Ana digunakan untuk diagnosa sle dan penyakit autoimun yang lain. Ana adalah
sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel. Ana cukup
sensitive untuk mendeteksi adanya sle, hasil yang positif terjadi pada 95% penderita sle.
Tetapi ana tidak spesifik untuk sle sajakarena ana juga berkaitan dengan penyakit
reumatik yang lain. Jumlah ana yang tinggi berkaitan dengan kemunculan penyakit dan
keaktifan penyakit tersebut. Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagiaktif
sehingga jumlah ana diperkirakan menurun. Jika hasil tes negative maka pasien belum
tentu negative terhadap sle karena harus dipertimbangkan juga data klinik dan tes
laboratorium yang lain, tetapi jika hasil tes positif maka sebaiknya dilakukan tes serologi
yang lain untuk menunjang diagnose bahwa pasien tersebu tmen derita sle. Ana
dapatmeliputi anti-smith (anti-sm), anti-rnp (anti-ribonukleoprotein), dan anti-ssa (ro)
atau anti-ssb (la).

 Pemeriksaandarah
-laju endap darah: untuk mengukur peradangan dan tidak berkaitan dengan tingkat keparahan
penyakit
 Rontgen dada
 Analisa urin menunjukkan adanya darah atau protein
Uji ini di lakukan untuk menentukan adanya komplikas iginja ldan untuk memantau
perkembangan penyakit ini.
 Biopsiginjal
 Pemeriksaansaraf.
 Pemeriksaan serum: untukmengetahui anemia yang sedanghinggaberat, trombositopenia,
leukositosisdan leukopenia.
Pemeriksaandiagnostik:

a. Padaginjal :
- Pemeriksaan air seni
- Urine yang dikumpulkanselama 24 jam
- Pemeriksaandarah
- X-ray
- Biopsy ginjal
b. Padajantung :
- Pemeriksaandarah
- Ekg
c. Padaparu :
- Pemeriksaandarah
- Sputum ( ludah/dahak)
- Rontgen
- Bronchoscopy /biopsy paru
d. Padasyaraf :
- Ct-scan
- Mri
- Gelombangotak eeg
- Pengambilansumsumtulangbelakang

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 PENGKAJIAN
1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala
sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku,
demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.

2. Kulit

Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.

3. Kardiovaskuler

Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.Lesi eritematous
papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung
jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan.

4. Sistem Muskuloskeletal

Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.

5. Sistem integumen

Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal
hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.

6. Sistem pernafasan

Pleuritis atau efusi pleura.

7. Sistem vaskuler

Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura
di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral
tangan dan berlanjut nekrosis.

8. Sistem Renal

Edema dan hematuria.

9. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun manifestasi
SSP lainnya.

3.2 DIAGNOSA

1. Resti kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi/malar pada lapisan kulit

2. Perubahan nutrisi berhubungan dengan hati tidak dapat mensintesa zat-zat penting untuk
tubuh

3. Perubahan perfusi jaringan b/d penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk
pengiriman oksigen/nutrient ke sel

4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.

5. Tidak efektif pola napas b/d peningkatan produksi secret

3.3 INTERVENSI

1) Resti kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi/malar pada lapisan kulit

a. Kaji kulit setiap hari. Catat warna, turgor,sirkulasi dan sensasi. Gambarkan lesi dan amati
perubahan.R/: Menentukan garis dasar di man perubahan pada status dapat di bandingkan
dan melakukan intervensi yang tepat.

b. Pertahankan/instruksikan dalam hygiene kulit, mis, membasuh kemudian mengeringkannya


dengan berhati-hati dan melakukan masase dengan menggunakan lotion atau krim.R/:
mempertahankan kebersihan karena kulit yang kering dapat menjadi barier infeksi.

c. Gunting kuku secara teratur.R/: kuku yang panjang dan kasar meningkatkan risiko
kerusakan dermal.

d. Tutupi luka tekan yang terbuka dengan pembalut yang steril atau barrier protektif, mis,
duoderm, sesuai petunjuk.R/: dapat mengurangi kontaminasi bakteri, meningkatkan proses
penyembuhan.

e. Kolaborasigunakan/berikan obat-obatan topical sesuai indikasi. R/: digunakan pada


perawatan lesi kulit.
2. Perubahan nutrisi berhubungan dengan mual/ muntah.
a. Kaji kemampuan untuk mengunyah, merasakan dan menelan.R/: lesi mulut,tenggorok
dan esophagus dapat menyebabkan disfagia, penurunan kemampuan pasien mengolah
makanan dan mengurangi keinginan untuk makan.

b. Berikan perawatan mulut yang terus menerus, awasi tindakan pencegahan sekresi.
Hindari obat kumur yang mengandung alcohol.R/: Mengurangi ketidaknyamanan yang
berhubungan dengan mual/muntah, lesi oral, pengeringan mukosa dan halitosis. Mulut
yang bersih meningkatkan nafsu makan.

c. Jadwalkan obat-obatan di antara makan (jika memungkinkan) dan batasi pemasukan


cairan dengan makanan, kecuali jika cairan memiliki nilai gizi. R/: lambung yang penuh
akan akan mengurangi napsu makan dan pemasukan makanan.

d. Dorong aktivitas fisik sebanyak mungkin.R/: dapat meningkatkan napsu makan dan
perasaan sehat.

e. Berikan fase istirahat sebelum makan. Hindari prosedur yang melelahkan saat mendekati
waktu makan.R/: mengurangi rasa lelah; meningkatkan ketersediaan energi untuk
aktivitas makan.

f. Dorong pasien untuk duduk pada waktu makan.R/: mempermudah proses menelan dan
mengurangi resiko aspirasi.

g. Catat pemasukan kalori. R/: mengidentifikasi kebutuhan terhadap suplemen atau


alternative metode pemberian makanan.

h. KolaborasiKonsultasikan dengan tim pendukung ahli diet/gizi.R/: Menyediakan diet


berdasarkan kebutuhan individu dengan rute yang tepat

3. Perubahan perfusi jaringan b/d penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk
pengiriman oksigen/nutrient ke sel.

INTERVENSI/TINDAKAN RASIONAL

MANDIRI
 Kaji kemampuan pasien untuk melakukan  Mempengaruhi pilihan intervensi/bantuan.
tugas /AKS normal, catat laporan kelelahan ,
keletihan, dan kesulitan menyelesaikan tugas.

 Kaji kehilangan / gangguan keseimbangan gaya


jalan, kelemahan otot.  Menunjukkan perubahan neurologi karena
defisiensi vitamin B mempengaruhi
keamanan pasien/risiko cedera.
 Awasi TD, nadi, pernafasan, selama dan sesudah
 Manifestasi kardiopulmonal dari upaya
aktivitas. Catat respons terhadap tingkat
jantung dan paru-paru untuk membawa
aktivitas ( mis, peningkatan denyut jantung/TD,
jumlah oksigen adekuat ke jaringan.
disritmia, pusing, dispnea, takipnea, dan
sebagainnya).

 Berikan lingkungan tenang. Pertahankan tirah


baring bila diindikasikan. Pantau dan batasi
 Meningkatkan istirahat untuk menurunkan
pengunjung, telepon dan gangguan berulang
kebutuhan oksigenn tubuh dan menurunkan
tindakan yang tak direncanakan.
regangan jantung dan paru.
 Ubah posisi pasien dengan perlahann atau
pantau terhadap pusing.
 Hipotensi postural atau hipoksia serebral
dapat menyebabkan pusing, berdenyut , dan
 Prioritaskan jadwal asuhan keperawatan untuk peningkatan risiko cedera.
meningkatkan istirahat. Pilih periode istirahat
 Mempertahankan tingkat energi dan
dengan periode aktivitas.
meningkatkan regangan pada pasien jantung
 Berikan bantuan dalam aktivitas/ambulasi bila dan pernapasan.
perlu, memungkinkan pasien untuk
 Membantu bila perlu, harga diri ditingkatkan
melakukannya sebanyak mungkin.
bila pasien melakukan sesuatu sendiri.
 Rencanakan kemajuan aktivitas dengan pasien,
termasuk aktivitas yang pasien pandang perlu.
Tingkatkan tingkat aktivitas sesuai toleransi.  Meningkatkan secara bertahap tingkat
aktivitas sampai normal dan memperbaiki
tonus otot/stamina tanpa kelemahan.
Meningkatkan harga diri dan rasa terkontrol.
 Gunakan teknik penghematan energi, mis.,
mandi dengan duduk, duduk untuk melakukann  Mendorong pasien melakukan banyak
tugas-tugas. dengan membatasi penyimpangan energi
dan mencegah kelemahan.
 Anjurkan pasien untuk menghentikan aktivitas
bila palpasi, nyeri dada, napas pendek,  Regangan /stres kardiopulmonal
kelemahan, atau pusing terjadi berlebihan/stres dapat menimbulkan
dekompensasi/kegagalan.

4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.


a. Tinjau ulang proses penyakit dan apa yang menjadi harapan di masa depan. R/: Memberikan
pengetahuan dasar di mana pasien dapat membuat pilihan berdasarkan informasi.

b. Tinjau ulang cara penularan penyakit.R/: mengoreksi mitos dan kesalahan konsepsi,
meningkatkan , mendukung keamanan bagi pasien/orang lain.

c. Dorong aktivitas/latihan pada tingkat yang dapat di toleransi pasien. R/: merangsang
pelepasan endorphin pada otak, meningkatkan rasa sejahtera.

d. Tekankan perlunya melanjutkan perawatan kesehatan dan evaluasi R/: memberi kesempatan
untuk mengubah aturan untuk memenuhi kebutuhan perubahan/individu.

e. Identifikasi sumber-sumber komunitas, mis, rumah sakit/pusat perawatan tempat tinggal.R/:


memudahkan pemindahkan dari lingkungan perawatan akut; mendukung pemulihan dan
kemandirian.

5. Tidak efektif pola napas b/d peningkatan produksi secret

INTERVENSI RASIONAL
 Auskultasi bunyi napas . Catat adanya  Beberapa derajat spasme bronkus terjadi
bunyi napas misalnya mengi, krekels, dengan obstruksi jalan napas dan dapat/tak
ronchi. dimanifestasikan adanya bunyi napas
adventisius. Misalnya penyebaran , krekels
basah (bronkitis); bunyi napas redup dengan
ekspirasi mengi (emfisema); atau tak adanya
bunyi napas (asma berat).

 Takipnea biasanya ada pada beberapa derajat


dan dapat ditemukan pada penerimaan atau
 Kaji atau pantau frekuensi pernapasan. selama stres/adanya proses infeksi akut.
Catat rasio inspirasi/ekspirasi. Pernapasan dapat melambat dan frekuensi
ekspirasi memanjang dibanding ekspirasi.

 Disfungsi pernapasan adalah variabel yang


tergantung pada tahap proses kronis selain
proses akut yang menimbulkan perawatan di
rumah sakit. Misalnya infeksi, reaksi alergi.
 Catat adnya/ ]derajat dispnea. Misalnya
keluhan “lapar udara”, gelisah, ansietas,  Peninggian kepala tempat tidur
distres pernapasan, penggunaan otot mempermudah fungsi pernapasan dengan
bantu napas. menggunakan gravitasi. Namun pasien
dengan distres berat akan mencari posisi
 Memposisikan pasien semi fowler.
yang paling mudah untuk bernapas.
Sokongan tangan/kaki dengan meja, bantal
dan lain-lain membantu menurunkan
kelemahan otot dan dapat sebagai alat
ekspansi dada

 Memberikan pasien beberapa cara untuk


mengatasi dan mengontrol dispnea
 Dorong/bantu pasien untuk melakukan
napas abdomen/bibir.

3.4 IMPLEMENTASI

Laksanakan rencana tindakan pada renpra diatas. Dahulukan tindakan yang dianggap
prioritas/masalah utama

3.5 EVALUASI

Evaluasi pelaksanaan yang telah dilakukan kepada pasien

Anda mungkin juga menyukai