Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHANAN KEPERAWATAN DAN

RESUME KEPERWATAN PADA Ny.”S” DENGAN “SLE” DI RUANG 24 B


RUMAH SAKIT Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
TAHUN 2018

Disusun Oleh :
ASMARA AGUSTINA
18640790

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KADIRI
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit lupus berasal dari bahasa Latin yang berarti “Anjing hutan,” atau
“Serigala,” merupakan penyakit kelainan pada kulit, dimana disekitar pipi dan
hidung akan terlihat kemerah-merahan. Tanda awalnya panas dan rasa lelah
berkepanjangan, kemudian dibagian bawah wajah dan lengan terlihat bercak-
bercak merah. Tidak hanya itu, penyakit ini dapat menyerang seluruh organ tubuh
lainnya salah satunya adalah menyerang ginjal. Penyakit untuk menggambarkan
salah satu ciri paling menonjol dari penyakit itu yaitu ruam di pipi yang membuat
penampilan seperti serigala. Meskipun demikian, hanya sekitar 30% dari
penderita lupus benar-benar memiliki ruam “kupu-kupu,” klasik tersebut.
Sistem imun normal akan melindungi kita dari serangan penyakit yang
diakibatkan kuman, virus, dan lain-lain dari luar tubuh kita. Tetapi pada penderita
lupus, sistem imun menjadi berlebihan, sehingga justru menyerang tubuh sendiri,
oleh karena itu disebut penyakit autoimun. Penyakit ini akan menyebabkan
keradangan di berbagai organ tubuh kita, misalnya: kulit yang akan berwarna
kemerahan atau erythema, lalu juga sendi, paru, ginjal, otak, darah, dan lain-lain.
Oleh karena itu penyakit ini dinamakan “Sistemik,” karena mengenai hampir
seluruh bagian tubuh kita. Jika Lupus hanya mengenai kulit saja, sedangkan organ
lain tidak terkena, maka disebut LUPUS KULIT (lupus kutaneus) yang tidak
terlalu berbahaya dibandingkan lupus yang sistemik (Sistemik Lupus /SLE).
Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang ditandai dengan
peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan
untuk melawan bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh berbalik
merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah,
leukosit, atau trombosit. Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda antara
penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda, misalnya
akibat kerusakan di ginjal terjadi bengkak pada kaki dan perut, anemia berat, dan
jumlah trombosit yang sangat rendah (Sukmana, 2004).
Perkembangan penyakit lupus meningkat tajam di Indonesia. Menurut hasil
penelitian Lembaga Konsumen Jakarta (LKJ), pada tahun 2009 saja, di RS Hasan
Sadikin Bandung sudah terdapat 350 orang yang terkena SLE (sistemic lupus
erythematosus). Hal ini disebabkan oleh manifestasi penyakit yang sering
terlambat diketahui sehingga berakibat pada pemberian terapi yang inadekuat,
penurunan kualitas pelayanan, dan peningkatan masalah yang dihadapi oleh
penderita SLE. Masalah lain yang timbul adalah belum terpenuhinya kebutuhan
penderita SLE dan keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan dukungan
yang terkait dengan SLE. Manifestasi klinis dari SLE bermacam-macam meliputi
sistemik, muskuloskeletal, kulit, hematologik, neurologik, kardiopulmonal, ginjal,
saluran cerna, mata, trombosis, dan kematian janin (Hahn, 2005).

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana asuhan keperawatan yang diberikan pada “Ny.S” dengan SLE
Ruang 24 B RSUD Dr. SAIFUL ANWAR Malang ?

1.3 Tujuan
Mampu mengembangkan tentang pemberian asuhan keperawatan pada pasien
dengan SLE.

1.4 Manfaat
a. Bagi Penulis
Mampu mengetahui dan menambah pengetahuan tentang SLEl dan dapat
memberikan Asuhan Keperawatan pada klien.
b. Bagi Universitas
Penulis mampu menambah meningkatkan pengetahuan tentang SLE.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah radang kronis yang disebabkan
oleh penyakit autoimun (kekebalan tubuh) di mana sistem pertahanan tubuh yang
tidak normal melawan jaringan tubuh sendiri. Antara jaringan tubuh dan organ
yang dapat terkena adalah seperti kulit, jantung, paru-paru, ginjal, sendi, dan
sistem saraf.
Lupus eritematosus sistemik (SLE) merupakan suatu penyakit atuoimun yang
kronik dan menyerang berbagai system dalam tubuh. ( Silvia & Lorraine, 2006 )
Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit radang yang menyerang
banyak sistem dalam tubuh, dengan perjalanan penyakit bisa akut atau kronis, dan
disertai adanya antibodi yang menyerang tubuhnya sendiri.
Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun
multisystem dengan manifestasi dan sifat yang sangat berubah – ubah, penuakit
ini terutama menyerang kulitr, ginjal, membrane serosa, sendi, dan jantung
(Robins, 2007).

2.2 Etiologi
Berikut adalah beberapa penyebab dari SLE:
a. Faktor genetik
Kejadian SLE yang lebih tinggi pada kembar monizigot (25%) dibandingkan
dengan kembar dizigot (3%), peningkatan frekuensi SLE pada keluarga
penderita SLE dibandingkan dengan control sehat dan peningkatan prevalensi
SLE pada kelompok etnik tertentu, menguatkan bahwa faktor genetic
berperan dalam pathogenesis SLE.
b. Faktor lingkungan
Yakni sinar UV yang mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar
sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut serta
menginduksi apoptosis dari sel keratonosit.
Faktor fisik atau kimia:
1. Amin aromatic
2. Hydrazine
3. Obat-obatan(prokainamid, hidralazin, klorpromazin, isoniazid, fenitoin,
penisilamin)
Faktor makanan:
1. Konsumsi lemak jenuh yang berlebihan
2. L-canavanine (kuncup dari elfalfa)
Agen infeksi:
1. Retrovirus
2. DNA bakteri atau endotoksin
Hormon dan estrogen lingkungan (environmental estrogen):
1. Terapi sulih (HRT), pil kontrasepsi oral
2. Paparan estrogen prenatal
c. Faktor hormonal
SLE merupakan penyakit yang lebih banyak menyerang perempuan.
Serangan pertama kali jarang terjadi pada usia prepurbetas dan setelah
menoupose.
d. Autoantibody
Antibody ini ditunjukkan kepada self molekul yang terdapat pada nucleus
sitoplasma, permukaan sel, dan juga terdapat molekul terlarut seperti IgG dan
factor koagulasi.
e. Infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun
dengan mekanisme menyebabkan peningkatan antibody antiviral sehingga
mengaktivasi sel B limfosit non spesifik yang akan memicu terjadinya SLE
(Herfindal et al, 2000).

2.3 Patofisiologi
Patofisiologi penyakit SLE dihipotesiskan sebagai berikut:
Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang
mempunyai predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal
terhadap sel T CD4+, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self
antigen. Akibatnya muncullah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi
serta ekspansi sel B, baik yang memproduksi autoantibody maupun yang berupa
sel memori. Pemicu ini masih belum jelas, sebagian diduga disebabkan oleh
hormon seks, sinar UV, dan berbagai macam infeksi.
pada SLE, autoantibody yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang
terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein
histon dan non_histon. Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat
dalam bentuk agregat protein dan kompleks protein RNA yang disebut partikel
ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak
tissue-spesifik dan merupakan komponen integral semua jenis sel.
Antibody ini secara bersama-sama disebut ANA (Anti Nuclear Antibody).
Dengan antigen yang spesifik, ANA membentuk komplek imun yang beredar
dalam sirkulasi. Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE
terganggu. Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut,
gangguan pemprosesan komplek imun dalam hati, dan penurunan uptake
kompleks imun pada limpa. Gangguan ini memungkinkan terbentuknya deposit
kompleks imun diluar sistem fagosit mononuklear. komples imun ini akan
mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi
komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen
yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang
inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan atau gejala pada organ atau tempat
yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksusu, koroideus, kulit, dan
sebagainya.
Bagian yang penting dari patofisiologi ini ialah terganggunya mekanisme
regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada
individu resisten.
2.4 Klasifikasi
Ada tiga jenis type lupus :
a. Cutaneous Lupus
Tipe ini juga dikenal sebagai Discoid Lupus Tipe lupus ini hanya terbatas
pada kulit dan ditampilkan dalam bentuk ruam yang muncul pada muka, leher,
atau kulit kepala. Ruam ini dapat menjadi lebih jelas terlihat pada daerah kulit
yang terkena sinar ultraviolet (seperti sinar matahari, sinar fluorescent). Meski
terdapat beberapa macam tipe ruam pada lupus, tetapi yang umum terdapat
adalah ruam yang timbul, bersisik dan merah, tetapi tidak gatal.
b. Discoid Lupus
Tipe lupus ini dapatmenyebabkan inflamasi pada beberapa macam organ.
Untuk beberapa orang mungkin saja hal ini hanya terbatas pada gangguan
kulit dan sendi. Tetapi pada orang yang lain, sendi, paru-paru, ginjal, darah
ataupun organ dan/atau jaringan lain yang mungkin terkena. SLE pada
sebagian orang dapat memasuki masa dimana gejalanya tidak muncul (remisi)
dan pada saat yang lain penyakit ini dapat menjadi aktif (flare).
c. Drug-induced lupus
Tipe lupus ini sangat jarang menyerang ginjal atau sistem syaraf. Obat
yang umumnya dapat menyebabkan druginduced lupus adalah jenis hidralazin
(untuk penanganan tekanan darah tinggi) dan pro-kainamid (untuk
penanganan detak jantung yang tidak teratur/tidak normal). Tidak semua
orang yang memakan obat ini akan terkena drug-induced lupus. Hanya 4
persen dari orang yang mengkonsumsi obat itu yang bakal membentuk
antibodi penyebab lupus. Dari 4 persen itu, sedikit sekali yang kemudian
menderita lupus. Bila pengobatan dihentikan, maka gejala lupus ini biasanya
akan hilang dengan sendirinya.
Dari ketiganya, Discoid Lupus paling sering menyerang. Namun, Systemic
Lupus selalu lebih berat dibandingkan dengan Discoid Lupus, dan dapat
menyerang organ atau sistem tubuh. Pada beberapa orang, cuma kulit dan
persendian yang diserang. Meski begitu, pada orang lain bisa merusak
persendian, paru-paru, ginjal, darah, organ atau jaringan lain.
Terdapat perbedaan antara klasifikasi dan diagnosis SLE. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan kombinasi gambaran klinis dan temuan laboratorium
dan mungkin tidak memenuhi kriteria klasifikasi American College of
Rheumatology (ACR) yang didefinisikan dan divalidasi untuk keperluan uji
klinis. Hal ini penting karena kadang-kadang pengobatan akan tidak tepat
akan tertunda menunggu kriteria klasifikasi yang harus dipenuhi (Malleson,
Pete; Tekano, Jenny. 2007).
Diagnosa medis definitif didasarkan pada adanya empat atau lebih gejala
tersebut. Laboratorium tes ini termasuk jumlah sel darah lengkap dengan
diferensial, Panel kimia metabolisme, urinalisis, antinuclear antibodi, anti-
DNA antibodi, komplemen 3 (C3), komplemen 4 (C4), imunoglobulin
kuantitatif, plasma reagen cepat (RPR), lupus anticoagulant, dan
antiphospholipid antibodi (Lehman, 2002 dalam (Ward, Susan L and Hisley,
Shelton M. 2009).

2.5 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis yang mungkin muncul pada pasein SLE yaitu:
a. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.
b. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan
berat badan.
c. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, myositis
d. Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, lesi
membrane mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria,
vaskulitis.
e. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik
f. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
g. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal,lesi parenkhim paru.
h. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis
i. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegali)
j. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia
k. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis transversus,
gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer.

Kecurigaan terhadap adanya SLE jika terdapat dua atau lebih tanda gejala diatas.

2.6 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan darah
Leukopeni,atau limfopeni, Anemia, Trombositopenia, LED meningkat
2. Imunologi
a. ANA (Antibody Anti Nuklear)
b. Anti body DNA untai ganda (ds DNA) meningkat
c. Kadar komplemen C3 dan C4 menurun
d. Tes CRP (C_Reactive Protein) positif
3. Fungsi ginjal
a. Kreatinin serum meningkat
b. Penurunan GFR
c. Protein urin (> 0,5 gram/24 jam)
d. Ditemukan sel darah merah dan sendimen granular
4. Kelainan pembekuan yang berhubungan dengan antikoagulan lupus
a. APTT memanjang yang tidak membaik pada pemberian plasma normal
5. Serologi VDRL (sifilis)
Memberikan hasil positif palsu
6. Tes vital lupus
Adanya pita Fg 6 yang khas dan deposit Ig M pada persambungan
dermo_epidermis pada kulit yang terlibat dan yang tidak.

2.7 Penatalaksanaan
Pilar pengobatan yang tepat untuk penderita SLE sebaiknya dilakukan secara
berkesinambungan. Pilar pengobatan yang bisa dilakukan:
a. Edukasi dan konseling
Pasien dan keluarga penderita SLE memerlukan informasi yang benar dan
dukungan dari seluruh keluarga dan lingkungannya. Pasien memerlukan
informasi tentang aktivitas fisik, mengurangi atau mencegah kekambuhan
misalnya dengan cara melindungi kulit dari sinar matahari dengan
menggunakan tabir surya atau pakaian yang melindungi kulit, serta melakukan
latihan secara teratur. Pasien juga memerlukan informasi tentang pengaturan
diet agar tidak mengalami kelebihan berat badan, osteoporosis, atau
dislipidemia. Informasi yang bisa diperlukan kepada pasein adalah:
 Penjelasan tentang penyakit lupus dan penyebabnya
 Tipe dari penyakit SLE dan karakteristik dari tipe-tipe penyalit SLE
 Masalah terkait dengan fisik, kegunaan istirahta latihan terutama yang
terkait dengan pengobatan steroid seperti osteoporosis, kebutuhan istirahat,
pemakaian alat bantu, pengaturan diet, serta cara mengatasi infeksi
 Masalah psikologis yaitucara pemahaman diri pasien SLE, mengatasi rasa
leleah, stres, emosional, trauma psikis, masalah terkait dengan hubungan
dengan keluarga, serta cara mengatasi nyeri.
 Pemakaian obat mencakup jenis obat, dosis, lama pemberian, dan yang
lainnya. Kebutuahn pemberian vitamin dan mineral.
 Kelompok pendukung bagi penderita SLE

Edukasi juga perlu diberikan untuk mengurangi stigma psikologis akibat


adanya anggota keluarga yang menderita SLE

b. Program rehabilitasi
Pasien SLE memerlukan berbagai latihan untuk mempertahankan kestabilan
sendi karena jika pasien SLE diberikan dalam kondisi immobilitas selama
lebih dari 2 minggu dapat mengakibatkan penurunan massa otot hingga 30%.
Tujuan, indikasi, dan teknis pelaksanaan program rehabilirasi melibatkan
beberapa hal, yaitu:
 Istirahat
 Terapi fisik
 Terapi dengan modalitas
 Ortotik, dan yang lainnya.
c. Pengobatan medikamentosa
Jenis obat yang dapat digunakan pada pasein SLE adalah:
 OAINS
 Kortikosteroid
 Klorokuin
 Hidroksiklorokuin (saat ini belum tersedia di Indonesia)
 Azatioprin
 Siklofosfamid
 Metotreksat
 Siklosporin A
 Mikofenolat mofetil

Jenis obat yang paling umum digunakan adalah kortikosteroid yang dipakai
sebagai antiinflamasi dan imunosupresi. Namun, penggunaan kortikosteroid
menimbulkan efek samping. Cara mengurangi efek samping dari penggunaan
kortikosteroid adalah dengan mengurangi dosis obatnya segera setelah
penyakit terkontrol. Penurunan dosis harus dilakukan dengan hati-hati untuk
menghindari aktivitas penyakit muncul kembali dan terjadinya defisiensi
kortikol yang muncul akibat penekanan aksis hipotalamus-pituitari-adrenal
kronis. Penurunan dosis yang dilakuakn secara bertahap akan memberikan
pemulihan terhadap fungsi adrenal. Penggunaan sparing agen kortikosteroid
dapat diberikan untuk memudahkan menurunkan dosis kaortokosteroid dan
mengobtrol penyakit dasarnya. Obat yang sering digunakan sebagai sparing
agen kortokosteroid adalah azatioprin, mikofenolat mofenil, siklofosfamid,
danmetotrexate.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

A. Pengkajian
1) Data Dasar
Dalam format pengkajian data dasar berisikan tentang identitas klien, identitas
penanggung jawab, dan data medik.
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Anamnesis riwayat kesehatan sekarang difokuskan pada gejala sekarang dan
gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku,
demam, anoreksia, dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup, serta citra diri
pasien.
3) Riwayat kesehatan masa lalu
Menceritakan tentang riwayat penyakit terdahulu yang pernah diderita klien.
4) Riwayat penyakit keluarga
Apakah dari anggota keluarga ada yang menderita penyakit seperti klien (
penyakit genetic atau menular).
B. Pemeriksaan fisik
1. Sistem musculoskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri saat bergerak, rasa kaku pada
pagi hari.
2. Sistem integument
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala muka dan leher. Lesi akut
pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pada
pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum
durum.
3. Sistem kardiovaskular
Friction rub pericardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura. Lesi
eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan
vascular terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor
lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
4. Sistem pernapasan
Pleuritis dan efusi pleura.
5. Sistem renal
Edema dan hematuria
6. Sitem syaraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang.

Pemeriksaan fisik menggunakan empat langkah mendapatkan hasil sebagai


berikut:
1. Inspeksi (pengamatan secara seksama mengenai status kesehatan klien dari
kepala sampai kaki). Pada klien SLE mungkin akan ditemukan hasil antara
lain:
a. Ruam wajah dalam pola malar (seperti kupu-kupu) pada daerah pipi dan
hidung
b. Lesi dan kebiruan diujung jari akibat buruknya sirkulasi dan hipoksia
kronik
c. Lesi berskuama di kepala, leher dan punggung, pada beberapa penderita
ditemukan eritema dan sikatrik
d. Luka-luka di selaput lendir dan pharing
e. Dapat terlihat tanda peradangan satu atau lebih persendian yaitu
pembengkakan, warna kemerahan, dan rentang gerak yang terbatas
f. Perdarahan sering terjadi terutama dari mulut dan urine berwarna
kemerahan
g. Gerakan dinding toraks mungkin tidak simetris atau tampak tanda-tanda
sesak (bernapas menggunakan cuping hidung, retrasi supra sterna,
bahkan intercostals apabila terdapat gangguan pada organ paru)
2. Palpasi (pemeriksaan dengan menggunakan sentuhan atau rabaan guna
mengetahui ciri jaringan dan organ):
a. Sklerosis, yaitu yaitu terjadi pangencangan dan pengerasan kulit jari-jari
tangan
b. Nyeri tekan pada daerah sendi yang meradang
c. Oedema mata kaki, mungkin menandakan hipertensi dan gangguan pada
ginjal.
3. Perkusi (pemeriksaan dengan cara mengetuk bagian tubuh tertentu untuk
mengetahui reflek atau untuk mengetahui kesehatan suatu organ tubuh,
misalnya: perkusi organ dada untuk mengetahui keadaan paru dan jantung
4. Auskultasi (pemeriksaan dengan cara mendengarkan, biasanya
menggunakan stetoskop. Untuk mendengarkan bunyi jantung dan paru
sehingga dapat mengetahui ada tidaknya ketidaknormalan dari pada organ.

C. Diagnosa Keperawatan
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit
2. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan proses inflamasi/kerusakan
jaringan.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ulkus oral
sehingga nafsu makan menurun.
4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri akibat adanya
pembengkakan sendi.

D. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Tujuan Rencana Rasional
Keperawatan Umum Khusus Tindakan

Kerusakan Setelah 1. Ruam 1. 1. Observasi kulit1. Menentukan garis


integritas kulit dilakukan wajah pada terhadap adanya dasar dimana
berhubungan asuhan daerah pipi ruam dan lecet, perubahan pada
dengan keperawatan dan hidung warna dan suhu, status dapat
Perubahan pada klien menghilang kelembapan dan dibandingkan dan
fungsi barier selama 3x24 2. Tidak ada lesi kekeringan yang melakukan
kulit jam, berskuama di berlebihan, area intervensi yang
kerusakan kulit kepala, kemerahan dan tepat
integritas kulit leher dan rusak. 2. Mencegah
teratasi punggung 2. Bersihkan kulit komplikasi luka
3. Kulit jari-jari dan lakukan dan
tangan tidak perawatan luka meningkatkan
mengeras dan dengan prinsip penyembuhan
kembali elastis steril luka
3. Meningkatkan
3. Berikan pendidikan pengetahuan
kesehatan kepada pasien dan
klien dan keluarganya
keluarganya tentang mengenai
pentingnya menjaga pentingnya
kebersihan kulit menjaga
sekitar luka guna kebersihan kulit
mempercepat serta supaya
penyembuhan dan pasien lebih
ajarkan teknik kooperatif
perawatannya
4. Rujuk ke tenaga
medis ahi terapi
enterostoma untuk
mendapatkan 4. Mempercepat
bantuan dalam penyembuhan
pencegahan,
pengkajian, dan
penanganan luka
atau kerusakan
1. kulit
Gangguan rasa Setelah 1. Tidak terjadi
1. Lakukan pengkajian1. Mendeteksi dini
nyaman (nyeri) dilakukan pembengkakan dan nyeri yang mengenai
berhubungan asuhan peradangan pada komprehensif masalah nyeri
dengan proses keperawatan sendi meliputi lokasi, sehingga dapat
inflamasi/kerus pada klien2. Warna tidak karakteristik, dilakukan
akan jaringan selama 2x24 tampak kemerahan durasi, frekuensi, intervensi yang
jam, gangguan3. Rentang gerak kualitas, intensitas tepat untuk
rasa nyaman normal atau keparahan mengatasi
(nyeri) teratasi nyeri dan factor masalah tersebut
presipitasinya
2. Bantu meringankan2. Nyeri dipengaruhi
dan mengurangi oleh kecemasan
nyeri sampai pada dan pergerakan
tingkat kenyamanan sendi. Imobilisasi
yang dapat diterima yang adekuat
oleh pasien dan atur dapat mengurangi
imobilisasi pada nyeri
daerah yang nyeri 3. Meningkatkan
3. Berikan pendidikan pengetahuan
kesehatan kepada pasien dan
pasien dan keluarga keluarganya
mengenai penyebab mengenai faktor
dan cara mengatasi pencetus dan cara
nyeri, serta mengurangi nyeri,
informasikan serta supaya
kepada pasien pasien lebih
tentang prosedur kooperatif
yang dapat
meningkatkan nyeri
dan tawarkan
strategi koping
yang disarankan
4. Kolaborasi dengan
dokter dalam4. Obat analgesic
pemberian terapi adalah golongan
obat analgesic terapi obat yang
dan jika tindakan dapat mengurangi
tidak berhasil atau bahkan
menghambat
timbulnya nyeri
Perubahan Setelah 1. Nafsu makan
1. Pantau asupan
1. Memastikan
nutrisi kurang dilakukan meningkat makanan setiap hari keadekuatan pola
dari kebutuhan asuhan 2. Luka-luka di asupan zat gizi
tubuh keperawatan selaput lendir dan
2. Bantu pasien dalam
2. Membantu atau
berhubungan pada klien pharing sembuh pemilihan makanan menyediakan
dengan ulkus selama 2x24
3. Ulkus oral sembuh atau cairan dalam asupan makanan
oral sehingga jam, (mulut tampak memenuhi dan cairan dengan
nafsu makan Perubahan bersih) kebutuhan nutrisi diet seimbang
menurun nutrisi kurang
4. Hb dalam rentang
3. Ciptakan
dari kebutuhan normal lingkungan yang
3. Lingkungan yang
tubuh teratasi menyenangkan nyaman dapat
untuk makan meningkatkan
nafsu makan
4. Ajarkan pasien
untuk tetap
4. Kebersihan mulut
menjaga kebersihan dapat
mulut meningkatkan
5. Kolaborasi dengan nafsu makan
ahli gizi dalam
pemenuhan 5. Menentukan
kebutuhan nutrisi jumlah kalori dan
jenis zat gizi yang
dibutuhkan untuk
memenuhi
kebutuhan nutrisi
Hambatan Setelah 1. Rentang 1. Kaji mengenai
1. Mengetahui
mobilitas fisik dilakukan pergerakan sendi rentang gerak yang seberapa jauh
berhubungan asuhan aktif dengan mampu dilakukan klien dapat
dengan nyeri keperawatan gerakan atas oleh pasien melakukan
akibat adanya pada klien inisiatif sendiri pergerakan guna
pembengkakan selama 2x24
2. Tidak merasakan menentukkan
sendi jam, hambatan kaku pada saat intervensi
mobilitas fisik bergerak selanjutnya
teratasi 2. Ajarkan dan
2. Menggunakan
dukung pasien tubuh aktif dan
dalam latihan ROM pasif untuk
aktif atau pasif mempertahankan
atau
mengembalikan
fleksibilitas sendi
3. Sebagai suatu
3. Kolaborasi dengan sumber untuk
ahli terapi fisik mengembangkan
(fisioterapi) perencanaan dan
memepertahankan
atau
meningkatkan
mobilitas
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek G.M., Howard B.K, Dochterman J.M. (2008). Nursing Interventions


Classifivation (NIC) fifth edition. St. Louis: Mosby Elseiver.
Burn, Catherine E, et all. (2004). Pediatric Primary Care : A Handbook for
Nurse Practitioner. USA : Saunders

Kasjmir, Yoga dkk. (2011). Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia Untuk


Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Perhimpunan
Reumatologi Indonesia
King, Jennifer K; Hahn, Bevra H. (2007). Systemic lupus erythematosus: modern
strategies for management – a moving target. Best Practice & Research
Clinical Rheumatology Vol. 21, No. 6, pp. 971–987, 2007
doi:10.1016/j.berh.2007.09.002 available online at
http://www.sciencedirect.com
Malleson, Pete; Tekano, Jenny. (2007). Diagnosis And Management Of Systemic Lupus
Erythematosus In Children. Paediatrics And Child Health 18:2. Published By
Elsevier Ltd. Symposium: Bone & Connective Tissue.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, ML., Swansosn, E. (2008). Nursing Outcomes
Classification (NOC) Fourth edition. St. Louis: Mosby Elseiver.
Sutarna, Agus, dkk. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong (Wong’s
Essentials of Pediatric Nursing). ED.6. Jakarta: EGC
Ward, Susan L and Hisley, Shelton M. (2009). Maternal-child nursing care: optimizing
outcomes for mothers, children, and Families. United States of America : F.A.
Davis Company

Anda mungkin juga menyukai