OLEH:
Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO mencatat jumlah penderita lupus di dunia
dewasa ini mencapai lima juta orang. Sebagian besar dari mereka adalah
perempuan usia produkstif dan setiap tahunnya ditemukan lebih dari 100 ribu
penderita baru. Berdasarkan rumah sakit yang melaporkan datanya tahun 2016
diketahui bahwa terdapat 2.166 pasien dirawat inap yang terdiagnosis penyakit
lupus dengan 550 pasien diantaranya meninggal dunia. Jumlah kasus pada tahun
2016 meningkat hamper dua kali lipat dibandingkan tahun 2014 (Kemenkes,
2017).
3.Etiologi
Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik merupakan penyakit inflamasi kronis yang
belum jelas penyebabnya, memiliki variasi gambaran klinis yang luas dan
tampilan perjalanan penyakit yang beragam. Faktor genetic, imunologik,
hormonal serta lingkungan di duga juga berperan dalam perjalanan penyakit
(Kemenkes, 2017).
1. Faktor genetic
Genome-wide assosiation studies (GWAS) menggunakan ratusan hingga
ribuan marker single nucleotide polymoprhism (SNP) untuk penyakit SLE.
GWAS telah mengkonfirmasi kepentingan dari gen yang berkaitan dengan
respon imun dan inflamasi (HLA-DR, PTPN22, STAT4, IRF5, BLK,
OX40L, FCGR2A, BANK1, SPP1, IRAK1, TNFAIP3, C2, C4, CIq,
PXK), DNA repairs (TREX1), adherence of inflammatory cells to the
endothelium (ITGAM), dan tissue response to injury (KLK1, KLK3).
Temuan ini mengedepankan pentingnya jalur sinyal Toll-like receptor
(TLR) dan interferon tipe 1 (IFN). Gen STAT4 yang merupakan faktor
risiko genetik terhadap artritis rheumatoid dan SLE dikaitkan dengan
kejadian SLE berat. Salah satu komponen penentu dari jalur-jalur ini
adalah TNFAIP3 yang telah diketahui berperan dalam 6 (enam) kelainan
autoimun termasuk SLE (Bertsias et al., 2016).
2. Efek epigenetik
Risiko untuk penyakit SLE dapat dipengaruhi oleh efek epigenetik seperti
metilasi DNA dan modifikasi histon pasca translasi yang dapat terjadi baik
diturunkan atau modifikasi oleh lingkungan. Epigenetik menggambarkan
adanya perubahan yang diwariskan dalam ekspresi gen yang disebabkan
oleh mekanisme selain perubahan urutan basa DNA. Beberapa penelitian
juga telah menunjukkan hubungan metilasi DNA pada SLE (Bertsias et al.,
2016).
3. Faktor lingkungan
Sinar ultraviolet merupakan pemicu SLE yang berasal dari lingkungan.
Paparan UVA2 dan UVB melalui proses tanning kulit untuk kecantikan
dapat mengeksaserbasi peyakit kulit pada pasien dengan kelainan ini.
Namun, akibat dari tidak terpapar matahari adalah defisiensi vitamin D
dimana berkaitan juga dengan aktivitas penyakit. Faktor lingkungan
lainnya adalah merokok, infeksi, estrogen eksogen, obat-obatan, agen
biologis dan pestisida, alcohol (lisnevskaia et al., 2014).
4. Faktor hormonal
Insiden SLE meningkat setelah pubertas dan menurun setelah menopause.
Tingkat keparahan penyakit beragam saat hamil dan siklus menstruasi.
Pada studi kohort terhadap 238.308 wanita yang diamati secara prospektif
antara tahun 1976 dan 2003, faktor-faktor seperti menarch dini, pemakaian
kontrasepsi oral, menopause dini, menopause surgikal, dan penggunaan
hormon pasca menopause berkaitan dengan meningkatnya risiko dari
penyakit SLE (Mok & Lau, 2003).
Peran dari hormon pada penyakit SLE antara lain (Mok & Lau, 2003) :
a. Kerentanan terhadap perkembangan SLE
- Kadar estrogen endogen rendah bersifat protektif
- Nilai androgen rendah pada laki-laki meningkatkan risiko
- Pemakaian estrogen eksogen pada wanita meningkatkan risiko
b. Profil hormon dan aksis hipotalamus pituitasi pada pasien SLE
- Meningkatnya metabolisme estrogen menjadi metabolit yang
lebih poten (pada kedua jenis kelamin)
- Nilai androgen rendah (pada kedua jenis kelamin)
- Nilai androgen berkorelasi terbalik dengan aktifitas penyakit
pada wanita
- Bukti awal adanya defek aksis HPA pada pasien SLE wanita
yang tidak diterapi
c. Aktifitas hormon dan prognosis SLE
- Aktifitas penyakit cenderung menurun setelah menopause
- Flares pada SLE dapat terjadi selama periode perubahan cepat
hormone
- Fluktuasi siklus aktifitas penyakit pada wanita selama siklus
menstruasi
- Pasien dengan onset SLE pasca menopause memiliki aktifitas
penyakit lebih rendah dan prognosis lebih baik
4.Patofisiologi
Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang
mempunyai predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal
terhadap sel TCD 4+, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap sel-
antigen. Sebagai akibatnya munculah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan
induksi serta ekspansi sel B, baik yangmemproduksi autoantibodi maupun yang
berupa sel memori. Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap
antigen yang terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi
DNA, protein histon dan non histon.Kebanyakan diantaranya dalam keadaan
alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks protein RNA
yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas autoantigen ini ialah
bahwa mereka tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integral semua jenis
sel.Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody).
Dengan antigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar
dalam sirkulasi. Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE
terganggu. Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut,
gangguan pemprosesan kompleks imun dalam hati, dan penurun Uptake kompleks
imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya deposit
kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan
mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi
komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen
yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang
inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/ gejala pada organ atau tempat yang
bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya.
Bagian yang penting dalam patofisiologi ini ialah terganggunya mekanisme
regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada
individu yang resisten (Suarjana, 2015).
5.Klasifikasi
Menurut (Kemenkes, 2017) klasifikasi penyakit lupus yaitu :
1) Lupus Eritematosus Sistemik
Jenis lupus ini yang paling sering terjadi. SLE dapat menyerang jaringan
serta organ tubuh mana saja dengan tingkat gejala yang ringan sampai
parah. Gejala SLE dapat datang dengan tiba – tiba atau berkembang secara
perlahan-lahan atau dapat bertahan lama atau bersifat sementara sebelum
akhirnya kambuh lagi. Gejala – gejala ringan SLE terutama rasa nyeri dan
lelah berkepanjangan dan dapat menghambat rutinitas kehidupan. SLE
belum dapat disembuhkan. Tujuan pengobatannya adalah untuk
mendapatkan remisi panjang dan mengurangi tingkat gejala serta
mencegah kerusakan organ.
2) Lupus Eritomatosus Kuteneus (cutaneous lupuserythematosus/CLE)
Penyakit ini dapat dikenali dari ruam yang muncul pada kulit dengan
berbagai tampilan klinis. Pada lupus jenis ini dapat didiagnosis dengan
mengenali gambaran klinis dan beberapa pengujian diantaranya melalui
biopsy ruam. Pada gambaran biopsy akan terlihat adanya infiltrasi sel
inflamasi dan endapan kompleks imun pada batas dermoepidermal yang
dikenal dengan lupus Bond.
3) Lupus Imbas Obat (Drug Induced LupusiDIL)
DIL atau dikenal dengan nama Lupus karena pengaruh obat. Jenis lupus
ini disebabkan oleh reaksi terhadap obat resep tertentu dan menyebabkan
gejala sangat mirip lupus sistemik. Obat yang paling sering menimbulkan
reaksi lupus adalah obat hipertensi hydralazine dan obat aritmia jantung
procainamide, obat TBC Isoniazid, obat jerawat Minocycline dan sekitar
400-an obat lain. Gejala penyakit lupus mereda setelah pasien berhenti
mengkonsumsi obat pemicunya.
6.Gejala Klinis
Menurut (Petri et al., 2012) Kriteria Klasifikasi SLICC (Systemic Lupus
International Collaborating Clinics) untuk SLE yaitu :
Kriteria Klinis
Meliputi ruam malar lupus (jangan
Lupus kutaneus akut dimasukkan bila diskoid malar);lupus bula;
varian nekrolisis epidermal toksik dari SLE;
ruam lupus makulopapular; ruam lupus
fotosensitif tanpa deramtomiositis; atau lupus
kutan subakut (nonindurated psoriaform
dan/atau lesi polisklik anular yang sembuh
tanpa jaringan parut, walaupun kadang-
kadang
disertai depigmentasi atau telengiektasis
postinflamasi)
Meliputi ruam diskoid klasik; terlokalisir (di
Lupus kutaneus kronik atas leher); generalisata (di atas dan di bawah
leher); lupus hipertrofik (verukous); lupus
panniculitis (profundus); lupus mukosa; lupus
eritematous tumidus; lupus chilblains; lupus
discoid/overlap dari liken planus
Kriteria Imunologi
Diatas normal
ANA
Diatas normal
Anti DS DNA
Demam, penurunan berat badan, kelelahan, rambut rontok meningkat, nyeri dada
pleuritik, nyeri dan bengkak sendi. Pemantauan ini dilakukan setiap kali pasien
SLE datang berobat.
Fisik:
Pembengkakan sendi, ruam, lesi diskoid, alopesia, ulkus membran mukosa, lesi
vaskulitis, fundus, dan edema. Lakukanlah pemeriksaan fisik yang baik. Bantuan
pemeriksaan dari ahli lain seperti spesialis mata perlu dilakukan bila dicurigai
adanya perburukan fungsi mata atau jika klorokuin/hidroksiklorokuin diberikan
8.Diagnosis
(Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011) menyatakan kriteria diagnosis untuk
SLE yaitu :
Kriteria Batasan
Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol,
pada daerah malar dan cenderung tidak
melibatkan lipat nasolabial.
Ruam diskoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan
sumbatan folikular. Pada SLE lanjut dapat
ditemukan parut atrofik
Fotosensitifitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal
terhadap sinar matahari, baik dari anamnesis
pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak
nyeri dan dilihat oleh dokter pemeriksa.
Atritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau
lebih sendi perifer, ditandai oleh nyeri tekan,
bengkak atau efusia.
Serositis Pleuritis :
Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritc friction
rub yang didengar oleh dokter pemeriksa atau
terdapat bukti efusi pleura.
Atau
Perikarditis :
Terbukti dengan rekaman EKG atau
pericardial fric! on rub atau terdapat bukti
efusi perikardium.
9.Pemeriksaan Diagnostik
Menurut (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011) pemeriksaan diagnostic
SLE yaitu :
a.Tes anti ds DNA
Batas normal: 70 – 200 IU/mL (Negatif : < 70 IU/mL, Positif : > 200 IU/mL).
Antibodi ini ditemukan pada 65% – 80% penderita dengan SLE aktif dan
jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan
spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan
pada penderita dengan penyakit reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi
mononukleosis, dan sirosis bilier.
b.Tes Antinuclear antibodies (ANA).
Nilai normal : nol. ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit
autoimun yang lain. ANA adalah sekelompok antibodi protein yang bereaksi
menyerang inti dari suatu sel. ANA cukup sensitif untuk mendeteksi adanya
SLE, hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE.
c.Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)
d.Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan
kreatinin urin.
10.Tindakan Penanganan
Tidak ada pengobatan yang permanen untuk SLE. Tujuan dari terapi adalah
mengurangi gejala dan melindungi organ dengan mengurangi peradangan dan atau
tingkat aktifitas autoimun di tubuh. Banyak pasien dengan gejala yang ringan
tidak membutuhkan pengobatan atau hanya obat-obatan anti inflamasi yang
intermitten. Pasien dengan sakit yang lebih serius yang meliputi kerusakan organ
dalam membutuhkan kortikosteroid dosis tinggi yang dikombinasikan dengan
obat-obatan lain yang menekan sistem imunitas (Tarigan, 2015).
1) Terapi Farmakologi
a. NSAID
NSAID membantu mengurangi peradangan dan nyeri pada otot, sendi, dan
jaringan lainnya. Contoh NSAID adalah aspirin, ibuprofen, naproxen, dan
sulindac. Pada beberapa keadaan tidak disarankan pemberian agen selektif COX-2
karena dapat meningkatkan resiko kardiovaskular. Karena respon individual tiap
pasien bervariasi, penting untuk mencoba NSAID yang berbeda untuk
menemukan yang paling efektif dengan efek samping paling kecil. Efek samping
yang paling sering adalah tidak enak perut, nyeri abdomen, ulkus, dan bisa
perdarahan ulkus. NSAID biasanya diberikan bersamaan dengan makanan untuk
mengurangi efek samping.
b. Kotikosteroid
c. Antimalaria
Hydroxychloroquine adalah obat anti malaria yang ditemukan efektif untuk pasien
SLE dengan kelemahan, penyakit kulit dan sendi. Efek samping termasuk diare,
tidak enak perut, dan perubahan pigmen mata. Perubahan pigmen mata jarang,
tetapi diperlukan, monitor oleh ahli mata selama pemberian obat ini. Ditemukan
bahwa obat ini mengurangi frekwensi bekuan darah yang abnormal pada pasien
dengan SLE. Jadi, obat ini tidak hanya mengurangi kemungkinan serangan dari
SLE, tetapi juga berguna untuk mencegah pembekuan darah abnormal yang luas.
Untuk penyakit kulit yang resisten, obat anti malaria lainnya, seperti chloroquine
atau quinacrine bisa diberikan, dan bisa dikombinasikan dengan
hydroxychloroquine.
2) Non Farmakologi
a. Edukasi dan konseling
Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam
penatalaksanaan penderita SLE, terutama pada penderita yang baru
terdiagnosis. Hal ini dapat dicapai dengan penyuluhan langsung kepada
penderita atau dengan membentuk kelompok penderita yang bertemu secara
berkala untuk membicarakan masalah penyakitnya. Pada umumnya, penderita
SLE mengalami fotosensitivitas sehingga penderita harus selalu diingatkan
untuk tidak terlalu banyak terpapar oleh sinar matahari. Mereka dinasihatkan
untuk selalu menggunakan krim pelindung sinar matahari, baju lengan panjang,
topi atau payung bila akan berjalan di siang hari. Pekerja di kantor juga harus
dilindungi terhadap sinar matahari dari jendela. Selain itu, penderita SLE juga
harus menghindari rokok. Karena infeksi sering terjadi pada penderita SLE,
penderita harus selalu diingatkan bila mengalami demam yang tidak jelas
penyebabnya, terutama pada penderita yang memperoleh kortikosteroid dosis
tinggi, obat-obat sitotoksik, penderita dengan gagal ginjal, vegetasi katup
jantung, ulkus di kulit dan mukosa. Profilaksis antibiotika harus
dipertimbangkan pada penderita SLE yang akan menjalani prosedur
genitourinarius, cabut gigi dan prosedur invasif lainnya (Robert & Denise,
2015).
b. Rehabilitasi
Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien dengan SLE
tergantung maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu hal penting adalah
pemahaman akan turunnya masa otot hingga 30 % apabila pasien dengan SLE
dibiarkan dalam kondisi immobilitas selama lebih dari 2 minggu. Disamping
itu penurunan kekuatan otot akan terjadi sekitar 1-5 % per hari dalam kondisi
imobilitas. Berbagai latihan diperlukan untuk mempertahankan kestabilan
sendi. Modalitas fisik seperti pemberian panas atau dingin spasme otot.
Demikian pula modalitas lainnya seperti transcutaneous electrical nerve
stimulation (TENS) memberikan manfaat yang cukup besar pada pasien
dengan nyeri atau kekakuan otot (Tarigan, 2015).
11.Komplikasi
a.Lupus Nefritis
Lupus nefritis adalah salah satu manifestasi paling serius SLE, biasanya muncul
setelah 5 tahun terdiagnosis SLE. Gejala lupus nefritis berupa hipertensi,
proteinyria dan gagal ginjal. Gejala terkait dengan neftritis seperti edema perifer,
hipoalbumin, nyeri kepala dan gangguan visual.
b.Preeklamsia Pada Kehamilan
SLE pada kehamilan yang dapat terjadi pada ibu adalah kemungkinan untuk
mengalami preeklampsia meningkat pada penderita dengan nefritis lupus dengan
faktor predisposisi yaitu hipertensi dan sindroma anti fosfolipid (APS). Fosfolipid
pada sel endotel atau membran sinsitiotrofoblas mungkin dirusak secara langsung
oleh antibodi antifosfolipid atau secara tidak langsung melalui ikatannya dengan
2-glikoprotein I atau annexin V. Hal ini mencegah sel membran untuk melindungi
sinsitiotrofoblas dan endotel sehingga membran basal terbuka. Telah diketahui
bahwa kerusakan trombosit mengikuti terbukanya membran basal endotel dan
sinsitiotrofoblas sehingga terjadi pembentukan trombus. Terjadinya eklamsia juga
meningkat sekitar 25-30% pada penderita SLE (Harahap & Aditya, 2020).
c.Gagal Ginjal
SLE menyebabkan peradangan jaringan dan masalah pembuluh darah yang parah
di hampir semua bagian tubuh, terutama menyerang organ ginjal. Jaringan yang
ada pada ginjal, termasuk pembuluh darah dan membran yang mengelilinginya
mengalami pembengkakan dan menyimpan bahan kimia yang diproduksi oleh
tubuh yang seharusnya dikeluarkan oleh ginjal. Hal ini menyebabkan ginjal tidak
dapat berfungsi sebagaimana mestinya (Roviati, 2012)
12.Konsep Kemoterapi
1. Indikasi Kemoterapi
- Penderita mengerti pengobatan dan mengetahui efek samping yang akan
terjadi
- Faal ginjal (kadar ureum <40 mg% dan kadar kreatinin <1,5 mg% dan faal
hati baik
- Diagnostik hispatologis diketahui
- Jenis kanker diketahui sensitive terhadap kemoterapi
- Hemoglobin >10gr%
- Lukosit >5000/ml
- Trombosit >100.000/ml
2. Tujuan dan Jenis kemoterapi
Tujuan Kemoterapi
Tujuan kemoterapi adalah dapat sebagai terapi kuratif, bagian dari terapi
paliatif atau sebagai radiosensitizer (Anwar, 2013). Pertimbangan pemberian
kemoterapi kepada pasien adalah sebagai berikut :
- Pengobatan
- Mengurangi masa tumor selain pembedahan dan radiasi
- Meningkatkan masa hidup dan memperbaiki kualitas hidup
- Mengurangi komplikasi akibat metastasis
Jenis Kemoterapi
a) Kemoterapi kuratif
Kemoterapi kuratif harus memakai formula kemoterapi kombinasi yang
terdiri atas obat dengan mekanisme kerja berbeda, efek toksik berbda dab
masing – masing efektif bila digunakan tersendiri, diberikan dengan
banyak siklus n=untuk setiap obat dalam formula tersebut diupayakan
memakai dosis maksimum yang dapat ditoleransi tubuh, masa interval
sedapat mungkin diperpendek agar tercapai pembasmian total sel kanker
dalam tubuh
b) Kemoterapi adjuvant
Kemoterapi yang dilakukan setelah operasi.
c) Kemoterapi neoadjuvan
Kemoterapi dilakukan sebelum operasi atau radioterapi
d) Kemoterapi paliatif
Kemoterapi berperan untuk mengurangi gejala, dan memperpanjang waktu
survival
e) Kemoterapi primer
Pengobatan kemoterapi diberikan lebih dahulu sebelum pengobatan lain
(bedah atau radioterapi)
f) Kemoterapi induksi
Pengobatan utama pada kasus lanjut untuk terapi primer tumor – tumor
non solid seperti pada kanker darah, lymphoma.
3. Cara Kerja Obat Kemoterapi
Pemeriksaan fisik
2. Diagnosa Keperawatan
a) Gangguan pola nafas berhubungan dengan posisi tubuh yang menghambat
ekspansi paru ditandai dengan pola nafas abnormal dan penurunan tekanan
inspirasi
b) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis ditandai dengan
keluhan tentang intensitas menggunakan skala nyeri dan gelisah
c) Keletihan berhubungan dengan anemia ditandai dengan sering
mengantuk
d) Penurunan curah jantung b.d gagal jantung kongestif d.d perubahan irama
jantung, perubahan tekanan darah, edema, terdapat bunyi jantung ketiga.
e) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake nutrisi yang tidak adekuat ditandai dengan penurunan berat
badan lebih dari 20%, penurunan nafsu makan
f) Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi
mengenai penyakit ditandai dengan kurang pengetahuan mengenai
penyebab penyakit
3. Rencana Asuhan Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
1 Gangguan pola nafas Setelah dilakukan asuhan Monitor Pernafasan: Monitor Pernafasan:
berhubungan dengan keperawatan selama ..x24 jam
- Monitor kecepatan, irama, - Mengetahui apakah ada
posisi tubuh yang diharapkan sesak pasien dapat
kedalaman dan kesulitan bernafas masalah pada pernafasan klien
menghambat ekspansi paru berkurang, dengan kriteria hasil :
- Monitor suara nafas tambahan - Suara nafas tambahan
ditandai dengan pola nafas
Status Pernafasan: (mengi) mengindikasikan adanya
abnormal dan penurunan
- Monitor kelelahan otot-otot masalah pada organ pernafasan
tekanan inspirasi - Frekuensi pernafasan dalam
diapragma - Kelelahan otot diapragma
rentang normal 18- 24x/menit
- Monitor sekresi pernafasan mengindikasikan adanya
- Irama pernafasan normal
pasien hiperventilasi dan sesak nafas
- Tidak terdapat suara nafas
- Monitor keluhan sesak nafas yang berat
tambahan wheezing (5)
pasien, termasuk kegiatan yang - Sekresi pernafasan
- Kepatenan jalan nafas tidak
meningkatkan atau memperburuk menandakan adanya proses
terganggu
sesak nafas tersebut inflamasi sehingga
- Tidak ada dyspnea saat
kemungkinan aka nada
stirahat
penumpukan secret
- Tidak ada batuk Airway Management
- Mengetahui keparahan sesak
nafas serta dapat menghindari
- Monitoring aliran oksigen perburukan kondisi sesak
2 Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan tindakan NIC Label Manajemen Nyeri
dengan agen cedera selama ..x24 jam diharapnya nyeri Manajemen Nyeri
biologis ditandai dengan berkurang dengan kriteria hasil :
- Melakukan pengkajian nyeri - Untuk mengetahui berapa
keluhan tentang intensitas
NOC Label komprehensif yang meliputi berat nyeri yang dialami oleh
menggunakan skala nyeri
Kontrol Nyeri lokasi, karakteristik, pasien
dan gelisah
onset/durasi, frekuensi, - Nyeri pasien mungkin dapat
Mengenali kapan terjadinya
kualitas, intensitas atau berkurang dengan pemberian
nyeri
Menggunakan tindakan beratnya nyeri dan faktor intervensi farmakologis tetapi
pengurangan nyeri tanpa pencetus intervensi nonfarmakologis
analgesic
- Mengajarkan teknik non berperan penting untuk
Menggunakan analgesic yang
direkomendasikan farmakologi mendukung bukan
Melaporkan perubahan terhadap - Dorong pasien untuk menggantikan intervensi
gejala nyeri pada professional menggunakan obat – obatan farmakologis (Mayasari,
kesehatan
penurun nyeri yang adekuat 2016)
- Ajarkan teknik distraksi dan
- Menggunakan obat penurun
relaksasi
nyeri jika dirasa nyeri sudah
- Mulai dan modifikasi tindakan
tidak dapat diatasi
pengontrol nyeri berdasarkan
respon pasien - Teknik distraksi khususnya
distraksi pendengaran dapat
merangsang peningkatan
4 Penurunan curah Setelah diberikan asuhan Perawatan jantung akut: Perawatan jantung akut:
jantung b.d gagal jantung keperawatan selama …x24 jam,
1. Monitor tekanan darah, nadi, status Penggunaan obat pada pasien
kongestif d.d perubahan diharapkan:
repirasi dengan tepat. CHF merupakan kondisi
irama jantung, perubahan
Keefektifan pompa jantung 2. Lakukan penilaian secara kepatuhan yang harus selalu
tekanan darah, edema,
1. Tekanan darah sistolik 110-120 komprehensif terhadap status dievaluasi. Kepatuhan
terdapat bunyi jantung mmhg jantung termasuk sirkulasi perifer. penggunaan obat erat kaitannya
ketiga. 2. Tekanan darah diastolic 60-80 3. Monitor irama jantung dan dengan perilaku perawatan diri
mmhg kecepatan jantung pasien CHF. Peran perawat di
3. Edema perifer berkurang 4. Auskultasi suara jantung sini adalah menanamkan
4. Tekanan vena sentral stabil 5. Auskultasi paru-paru adakah ronki kesadaran kepada pasien CHF
5. Suara jantung abnormal tidak atau suara nafas tambahan lain dengan cara mematuhi
ada 6. Monitor EKG sebagaimana penggunaan obat, sehingga
mestinya, apakah terdapat angka kejadian rawat inap
Status pernafasan perubahan segmen ST ulang (rehospitalisasi) dapat
Dispnea dengan aktivitas ringan 7. Intruksikan pasien untuk diminimalkan (Bradke dalam
berkurang menghindari aktivitas yang Hidayah & Wahyuningtyas,
menyebabkan valsava maneuver 2018).
(misalnya mengejan saat buang air
besar) Terapi Oksigen
8. Kelola obat-obatan untuk Menurut Padila (2012) fokus
membebaskan atau mencegah nyeri pengkajian pada klien congestive
dan iskemia sesuai kebutuhan. heart failure dengan keluhan
9. Monitor keefektifan pengobatan. utama yaitu dyspnea atau sesak
nafas, kelemahan fisik, edema
Terapi oksigen sistemik. Penyebab adanya
1. Pertahankan kepatenan jalan nafas dipsnea secara umum adalah
2. Monitor aliran oksigen gagal jantung kongestif karna
Periksa perangkat pemberian oksigen perubahan posisi pada pasien akan
secara berkala untuk memastikan menyebabkan perubahan ventilasi
bahwa konsentrasi sedang diberikan dan perfusi (Mugihartadi &
Handayani, 2020).
Penyebab adanya sesak nafas
pada pasien jantung biasanya
karena hiperventilasi.
Hiperventilasi ini terjadi karena
metabolisme tubuh yang terlalu
tinggi sehingga mendesak
alveolus melakukan ventilasi
secara berlebihan (Mugihartadi &
Handayani, 2020)
5 Ketidakseimbangan nutrisi Setelah dilakukan tindakan selama .. Monitor nutrisi Monitor Nutrisi
kurang dari kebutuhan x 24 jam diharapnya nutrisi pasien - Monitor adanya mual
- Monitor adanya mual untuk
tubuh berhubungan dengan terpenuhi dengan kriteria hasil : - Monitor diet dan asupan kalori
dapat mencegah terjadinya
intake nutrisi yang tidak - Identifikasi perubahan nafsu
adekuat (mual akibat Nafsu Makan: makan dan aktivitas akhir-akhir ini mual sehingga nutrisi dapat
kemoterapi) ditandai - Hasrat atau keinginan untuk dilakukan secara adekuat
dengan penurunan berat makan tidak terganggu Manajemen Nutrisi - Monitor diet dan asupan nutrisi
badan lebih dari 20%, - Intake makanan tidak untuk mengetahui intake kalori
- Anjurkan pasien terkait dengan
penurunan nafsu makan terganggu pasien
kebutuhan makanan tertentu
- Intake cairan tidak terganggu - Mengkaji nafsu makan klien
sesuai dengan perkembangan
- Intake nutrisi tidak terganggu untuk mencegah penurunan
- Berikan makanan ringan yang nafsu makan
- Rangsangan untuk makan
tinggi gizi Manajemen Nutrisi
tidak terganggu
Status Nutrisi - Dapatkan riwayat diet pasien - Memberikan makanan ringan
seperti makanan yang disukai yang bergizi tinggi seperti susu
- Asupan gizi meningkat
dan yang tidak disukai dan buah – buahan
- Energi meningkat
- Dorong pola makanan pasien - Mengkaji makanan yang
- Asupan makanan meningkat
dengan porsi sedikit tetapi disukai dan tidak disukai agar
- Asupan cairan meningkat
sering perawat mampu memberikan
- Atur diet yang diperlukan makanan sesuai kesukaan
seperti seperti menyediakan pasien sehingga intake
makanan protein tinggi, makanan adekuat
menambah kalori, vitamin dan
suplemen - Dorong makan sedikit tapi
- Monitor asupan makanan sering untuk meningkatkan
terhadap kandungan gizi dan status nutrisi pasien
kalori - Menyediakan makanan protein
tinggi seperti telur dan daging
Bantuan Peningkatan Berat Badan dan mengandung vitamin
- Timbang pasien pada saat jam seperti buah – buahan
sama setiap hari - Monitor asupan makanan agar
- Monitor asupan kalori setiap dapat mengukur intake kalori
hari yang masuk dalam tubuh
- Dukung peningkatan asupan Bantuan Peningkatan Berat
kalori Badan
- Sediakan makanan yang tinggi
- Menimbang berat badan pada
kalori dan bernutrisi tinggi
jam yang sama seperti setiap
- Sajikan makanan dengan
pagi setelah BAB untuk
menarik
mengetahui kenaikan BB
- Beri hadiah jika pasien
- Monitor asupan makanan agar
mengalami peningkatan berat
dapat mengukur intake kalori
badan
yang masuk dalam tubuh
- Mendukung peningkatan
asupan kalori tinggi agar berat
badan bisa naik secara cepat
- Menyajikan makanan secara
menarik agar pasien
mempunyai nafsu makan yang
lebih terhadap makanan yang
disediakan
6 Defisiensi Setelah dilakukan asuhan Pengajaran : Proses Penyakit Pengajaran:Proses Penyakit
pengetahuan keperawatan ..x 24 jam diharapkan
- Kaji tingkat pengetahuan - Mengkaji pengetahuan
berhubungan pasien lebih paham terhadap
pasien mengenai SLE pasien terkait penyakitnya
dengan kurang penyakitnya dengan kriteria hasil:
- Jelaskan tanda dan gejala agar mengetahui
informasi
Pengetahuan : Manajemen penyakit sebagaimana pemahaman
mengenai
Penyakit - Identifikasi kemungkinan pasien terkait penyakitnya
penyakit
penyebab penyakit - Menjelaskan tanda dan
ditandai dengan - Mengetahui tanda dan gejala
- Jelaskan alasan dibalik gejala penyakit
kurang SLE
manajemen/terapi yang SLEkepada pasien
pengetahuan - Mengetahui factor resiko
diberikan - Menjelaskan kemungkinan
mengenai SLE - Jelaskan komplikasi kronik penyebab dari penyakit
penyebab - Mengetahui tanda dan gejala yang mungkin muncul SLE agar pasien bisa
penyakit kekambuhan memahami kira – kira apa
Mengetahui komplikasi yang penyebab kanker cerviks
mungkin muncul yang terjadi pada pasien
- Menjelaskan alasan
diberikannya terapi kepada
pasien agar pasien paham
terkait pengobatannya
- Menjelaskan komplikasi
yag mungkin muncul dari
SLE agar pasien dapat
menghindarinya.
Daftar Pustaka
Ali Satya Graha, S. H. dan. (2015). Efektifitas Terapi Masase Dan Terapi
Latihanpembebanan Dalam Meningkatkan Range Of Movementpasca
Cedera Ankle Ringan. Medikora, 1.
https://doi.org/10.21831/medikora.v0i1.4590
Bertsias, Cervera, & Boumpas. (2016). Systemic Lupus Erythematosus:
Pathogenesis and Clinical Features.
Fajriansyah & Najirman. (2019). Lupus Eritematosus Sistemik pada Pria. Jurnal
Kesehatan Andalas, 8(3), 750–754.
Harahap, R., & Aditya, R. (2020). Perbandingan Luaran Ibu dan Bayi pada
Penderita Sistemik Lupus Eritematosus dengan Berbagai Klinis yang
Berbeda di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Tahun 2016-
2017 (Suatu Case Series). 1(1), 6.
kajsmir. (2011). Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik.
Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia.
Kemenkes. (2017). Situasi Lupus di Indonesia. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.
Kuhn, A., Bonsmann, G., Anders, H.-J., Herzer, P., Tenbrock, K., & Schneider,
M. (2015). The Diagnosis and Treatment of Systemic Lupus
Erythematosus. Deutsches Aerzteblatt Online.
https://doi.org/10.3238/arztebl.2015.0423
lisnevskaia, Murphy, & Isenberg. (2014). Systemic lupus erythematosus (pp. 1–
11).
Mayasari, C. D. (2016). Pentingnya Pemahaman Manajemen Nyeri Non
Farmakologi Bagi Seorang Perawat. 1, 8.
Mok & Lau. (2003). Pathogenesis of systemic lupus erythematosus (pp. 481–490).
Nurlita, D., Barus, A. B., Anggraini, D. I., & Wahyudo, R. (2019). Neuropskiatrik
Sistemik Lupus Eritematosus. 8(2), 6.
Perhimpunan Reumatologi Indonesia. (2011). Diagnosis dan Pengelolaan Lupus
Eritematosus Sistemik.
Petri, M., Orbai, A.-M., Alarcón, G. S., Gordon, C., Merrill, J. T., Fortin, P. R.,
Bruce, I. N., Isenberg, D., Wallace, D. J., Nived, O., Sturfelt, G., Ramsey-
Goldman, R., Bae, S.-C., Hanly, J. G., Sánchez-Guerrero, J., Clarke, A.,
Aranow, C., Manzi, S., Urowitz, M., … Magder, L. S. (2012). Derivation
and validation of the Systemic Lupus International Collaborating Clinics
classification criteria for systemic lupus erythematosus. Arthritis &
Rheumatism, 64(8), 2677–2686. https://doi.org/10.1002/art.34473
Rampengan, S. F. Y., Rondonuwu, R., & Onibala, F. (2014). Pengaruh Teknik
Relaksasi Dan Teknik Distraksi Terhadap Perubahan Intensitas Nyeri
Pada Pasien Post Operasi Di Ruang Irina A Atas Rsup Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado. 8.
Robert & Denise. (2015). Systemic lupus erythematosus: An update on treat to
target. American Academy of Physhician Assistant., 28(9), 22–28.
Roviati. (2012). Systemic Lupus Erithematosus (Sle): Kelainan Autoimun
Bawaan Yang Langka Dan Mekanisme Biokimiawinya. Jurnal Scientiae
Educata, 1(2).
Tarigan, N. S. (2015). Pengelolaan Eritomatous Sistemik Dengan Keterlibatan
Ginjal Pada Wanita Umur 30 Tahun. Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung, 8.
Valliant, Akpaka, & Poonking. (2015). Systemic Lupus Erythematosus: Some
Epidemiology aspects. Journal of Public Health Research, 3(2), 46–50.
Ligkungan (Cahaya Matahari, Luka
Generik Obat-obatan (hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin)
Bakar Internal
SLE
SLE
Muskuloskeletal Integumen Cardiac Respirasi Vaskuler Hemato Saraf Inflamasi saluran pencernaan
Perikarditis
Adanya lesi akut pada kulit (ruam berbentuk kupu-kupu) pangkal hidung dan pipi Pleuritis Kegagalan
Inflamasi pada arteriolesumsum tulang membentuk
terminalis Gangguan
sel-sel spectrum
darah merah
pada saraf meluas HCL meningkat
Pembengkakan Sendi
Sirkulasi ke jaringan ↓
Keletihan