Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN KRITIS

PADA PASEIN DENGAN MYASTENIA GRAVIS

OLEH

LISA SETYOWATI

131923143060

FAKULTAS KEPERAWTAN

UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

2020
I. Tinjauan Teori
1. Diagnosis Medik
a. Definisi
Miastenia gravis adalah suatu penyakit yang mengenai sambungan
neuromuskular, ditandai oleh kelemahan otot berat. Miastenia artinya
“kelemahan otot” dan gravis artinya “parah”. (Sherwood, 2012)
Miastenia gravis adalah penyakit autoimun yang menyerang neuromuskular
juction ditandai oleh suatu kelemahan otot dan cepat lelah akibat adanya
antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AchR) sehingga jumlah AchR di
neuromuskular juction berkurang (Muscular Dystrophy association of New
Zealand, 2010)

b. Etiologi
Penyakit autoimun dimana disebabkan oleh tubuh secara salah memproduksi
antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AChR) sehingga jumlah AchR di
neuromuscular juction berkurang (Sherwood, 2012)
c. Manifestasi Klinis
Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang
berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang
beraktivitas. Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan
kelemahan ini akan berkurang apabila penderita beristirahat (James, 2008).
Gejala klinis miastenia gravis antara lain adalah kelemahan pada otot
ekstraokular atau ptosis. Ptosis yang merupakan salah satu gejala sering menjadi
keluhan utama penderita miastenia gravis, ini disebabkan oleh kelumpuhan dari
nervus okulomotorius.Walaupun pada miastenia gravis otot levator palpebra
jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular masih bergerak normal. Tetapi
pada tahap lanjut kelumpuhan 6 otot okular kedua belah sisi akan melengkapi
ptosis miastenia gravis (James, 2008)

(Howard, 208)
.Sewaktu- waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter
sehingga mulut penderita sukar untuk ditutup. Kelemahan otot bulbar juga
sering terjadi, diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan ekstensi
kepala.Selain itu dapat pula timbul kesukaran menelan dan berbicara akibat
kelemahan dari otot faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga
timbullahparesis dari pallatum molle yang akan menimbulkan suara sengau.
Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari
hidungnya (Huges, 2004)
Secara umum, gambaran klisnis Miastenia (Mumenthaler, 2006) yaitu:
1) Kelemahan otot yang progresif pada penderita
2) Kelemahan meningkat dengan cepat pada kontraksis otot yang
berulang
3) Pemulihan dalam beberapa menit atau kurang dari satu jam, dengan
istirahat
4) Kelemahan biasanya memburuk menjelang malam
5) Otot mata sering terkena pertama ( ptosis , diplopia ) , atau otot faring
lainnya ( disfagia , suara sengau )
6) Kelemahan otot yang berat berbeda pada setiap unit motorik
7) Kadang-kadang , kekuatan otot tiba-tiba memburuk
8) Tidak ada atrofi atau fasikulasi (Mumenthaler, 2006)
d. Klasifikasi
Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), Miastenia
gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Christiane, 2007):
Kelas I Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat
menutup mata, dan kekuatan otot-otot lain normal.
Kelas II Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta
adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular
Kelas IIa Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya.
juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.
Kelas Iib Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau
keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-
otot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa
Kelas III Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular.
Sedangkan otototot lain selain otot-otot ocular mengalami
kelemahan tingkat sedang.
Kelas IIIa Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot
orofaringeal yang ringan
Kelas IIIb Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau
keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot
anggota tubuh, otot- 9 otot aksial, atau keduanya dalam derajat
ringan.
Kelas IV Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan
dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular
mengalami kelemahan dalam berbagai derajat.
Kelas IVa Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan
atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan
dalam derajat ringan
Kelas IVb Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau
keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat
kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan
feeding tube tanpa dilakukan intubasi
Kelas V Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik

e. Pemeriksaan
1) Pemeriksaan
a) Test klinik sederhana:
(1) Tes watenberg/simpson test : memandang objek di atas bidang
antara kedua bola mata > 30 detik, lama-kelamaan akan terjadi
ptosis (tes positif).
(2) Tes pita suara : penderita disuruh menghitung 1-100, maka suara
akan menghilang secara bertahap (tes positif). (Ilmu Penyakit
Saraf S, 2014)
b) Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Endrofonium merupakan antikolinesterase kerja pendek yang
memperpanjang kerja acetilkolin pada nerumuscular juction dalam
beberapa menit. Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara
intravena selama 15 detik, bila dalam 30 detik tidak terdapat reaksi maka
disuntikkan lagi sebanyak 8-9 mg tensilon secara intravena. Segera
setelah tensilon disuntikkan kita harus memperhatikan otot-otot yang
lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan adanya
ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh Miastenia gravis, maka
ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah
harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon
sangat singkat.

(Rohkamm,2004)
c) Uji Prostigmin (neostigmin)
Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat
secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin 0,8 mg). Bila
kelemahan itu benar disebabkan oleh Miastenia gravis maka gejala-
gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak
lama kemudian akan lenyap (Howard, 2008)
2) Periksaan Laboratorium
a) Anti striated muscle (anti-SM) antibody
Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 85% pasien yang
menderita timoma dalam usia kurang dari 40 tahun.Sehingga merupakan
salah satu tes yang penting pada penderita Miastenia gravis. Pada pasien
tanpa timoma anti-SM Antibodi dapat menunjukkan hasil positif pada
pasien dengan usia lebih dari 40 tahun.
b) Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
Hampir 50% penderita Miastenia gravis yang menunjukkan hasil
anti-AChR Ab negatif (Miastenia gravis seronegatif), menunjukkan hasil
yang positif untuk anti-MuSK Ab. Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu
Miastenia gravis
3) Pemeriksaan radiologi
a) Chest x-ray (foto roentgen thorak)
Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada
roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada
bagian anterior mediastinum. Hasil roentgen yang negatif belum tentu
dapat menyingkirkan adanya thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang
perlu dilakukan chest Ct-scan untuk mengidentifikasi thymoma pada
semua kasus Miastenia gravis, terutama pada penderita dengan usia tua.
b) MRI
Pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan
rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis Miastenia gravis tidak
dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk
mencari penyebab defisit pada saraf otak
4) Pemeriksaan Penunjang lainnya
Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada
transmisi neuro muscular melalui 2 teknik :
Single-fiber Electromyography (SFEMG) SFEMG mendeteksi adanya
defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan titer dan
fiber density yang normal. Karena menggunakan jarum single-fiber,
yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita,
sehingga SFEMG dapat mendeteksi suatu titer (variabilitas pada interval
interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit
yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot
tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam).
Repetitive Nerve Stimulation (RNS) Pada penderita Miastenia gravis
terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS
terdapat adanya penurunan suatu potensial aksi

f. Komplikasi
Myasthemia cisisi yaitu dimana otot tenggorokan dan diagfarma retlalu
lemah untuk mendukung proses peranafasan, sehingga penderita mengalami
sesak nafas akibat kelumpuham otot otot pernafasan

2. Patofisiologi
Kelemahan otot dapat munculmenghinggapi bagian proksimal dari tubuh serta
simetris di kedua anggota gerak kanan dan kiri. Walaupun dalam berbagai derajat
yang berbeda, biasanya refleks tendon masih ada dalam batas normal Kelemahan
otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya myasthenic sneer dengan adanya
ptosis dan senyum yang horizontal dan miastenia gravis biasanya selalu disertai
dengan adanya kelemahan pada otot wajah. (Matthe, 2004). Pada pemeriksaan fisik,
terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang menyebabkan suara penderita seperti
berada di hidung (nasal twang to the voice) serta regurgitasi makanan terutama yang
bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu, penderita miastenia gravis akan
mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan makanan, sehingga dapat
terjadi aspirasi cairan yang menyebabkan penderita batuk dan tersedak saat minum.
Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia
gravis.Ditandai dengan kelemahan otot-otot rahang pada miastenia gravis yang
menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu penderita harus
terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan, sehingga
terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari leher. Otot-otot anggota tubuh
atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot anggota tubuh
bawah.Musculus deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta
jari-jari tangan sering kali mengalami kelemahan.Otot trisep lebih sering
terpengaruh dibandingkan otot bisep.Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi
kelemahan melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan melakukan
plantarfleksi jari-jari kaki dan saat melakukan fleksi panggul . Hal yang paling
membahayakan adalah kelemahan otot-otot pernapasan yang dapat menyebabkan
gagal napas akut, dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan
tindakan intubasi cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot faring dapat
menyebabkan kolapsnya saluran napas atas dan kelemahan otot-otot interkostal serta
diafragma dapat menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan berakibat
terjadinya hipoventilasi. Sehinggga pengawasan yang ketat terhadap fungsi respirasi
pada pasien miastenia gravis fase akut sangat diperlukan

3. Penatalaksanaan Kasus
Mastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati.
Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi
merupakan penatalaksanaan utama pada miastenia gravis. Terapi pemberian
antibiotic yang dikombainasikan dengan imunosupresif dan imunomodulasi yang
ditunjangdengan penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya mortalitas dan
menurunkan morbiditas.
a. Plasma Exchange (PE)
PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek yang
menguntungkan menjadi prioritas.Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-
asetilkolin secara efektif.Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi.
Dimana pasien yang mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan intubasi dalam
waktu yang lama serta trakeostomi, dapat diminimalisasikan karena efek dramatis
dari PE.
b. Kortikosteroid
Diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang sangat menggangu, yang
tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase.Dosis maksimal penggunaan
kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian dilakukan tapering pada
pemberiannya.Pada penggunaan dengan dosis diatas 30 mg setiap harinya,
c. Azathioprine
Digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara relatif terkontrol tetapi
menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi. Azathioprine diberikan secara oral
dengan dosis pemeliharaan 2-3 mg/kgbb/hari.Pasien diberikan dosis awal sebesar
25-50 mg/hari hingga dosis optimal tercapai.
d. Cyclosporine
Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat dibandingkan azathioprine.Dosis awal
pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari terbagi dalam dua atau tiga
dosis.Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel
T- helper.Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada produksi
antibodi.Cyclosporine dapat menimbulkan efek samping berupa nefrotoksisitas dan
hipertensi.
e. Timektomi
Digunakan untuk mengobati pasien dengan miastenia gravis sejak tahun 1940
dan untuk pengobatan timoma denga atau tanpa miastenia gravis sejak awal tahun
1900.Tujuan utama dari timektomi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari
kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi
4. WOC
Gangguan autoimun yang merusak reseptor auto imun

Jumlah reseptor asetilkolin berkurang pada membrane postsinapsis

Kerusakan pada transmisi impusif syaraf menuju sel-sel otot karena kehilangan kemampuan atau hilangnya reseptor
normal membrane post sinapsis pada sambungan neurotransmiter

Penurunan hubungan neuromaskuler

Kelemahan otot

Otot-otot okular Otot wajah, laring, faring Otot voluntear Kelemahan otot pernafasan

Gangguan otot levator palpebrae Regurgitasi makanan ke hidung Kelemahan otot-otot rangka Kelemahan ototketidak mampuan
pada saat menelan, suara batuk efekitif
abnormal, ketidakmampuan D.0054 Gangguan Mobilitas
Ptosis dan diplopia menutup rahang Kelemahan otot-otot pernafasan
Fisik

D.0083 Gangguan Citra Tubuh D.0119 Gangguan Komunikasi Krisis miastenia D. 0005 Pola Nafas tidak efektif
Verbal
D. 0001 Bersihan Jalan Nafas
D. 0080 Ansietas Kematian Tidak Efektif
II. Tinjauan Asuhan keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas klien yang meliputi nama,alamat,umur,jenis kelamin,dan status
b. Keluhan utama : kelemahan otot
c. Riwayat kesehatan : diagnosa miastenia gravis didasarkan pada riwayat dan
presentasi klinis. Riwayat kelemahan otot setelah aktivitas dan pemulihan
kekuatan parsial setelah istirahat sangatlah menunjukkan miastenia gravis,
pasien mungkin mengeluh kelemahan setelah melakukan pekerjaan fisik
yang sederhana. Riwayat adanya jatuhnya kelopak mata pada pandangan
atas dapat menjadi signifikan, juga bukti tentang kelemahan otot.
d. Pemeriksaan fisik :
 B1(breathing): dispnea,resiko terjadi aspirasi dan gagal pernafasan akut,
kelemahan otot diafragma
 B2(bleeding): hipotensi / hipertensi .takikardi / bradikardi
 B3(brain): kelemahan otot ekstraokular yang menyebabkan palsi
okular,jatuhnya mata atau dipoblia
 B4(bladder) : menurunkan fungsi kandung kemih,retensi urine,hilangnya
sensasi saat berkemih
 B5(bowel): kesulitan mengunyah-menelan,disfagia, dan peristaltik usus
turun, hipersalivasi,hipersekresi
 B6(bone): gangguan aktifitas / mobilitas fisik,kelemahan otot yang
berlebih

2. Diagnosa keperawatan
a. D. 0005 Pola Nafas tidak efektif bd hambatan upaya nafas: kelemahan otot
pernafasan dd pasein mengatakan sesak nafas, tampak penggunaan otot
bantu nafas, fase ekspirasi emmanjang, pola nafas abnormal.
b. D. 0001 Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif bd fisiologis: disfungsi
neuromaskular dd batuk tidak efektif, tidak mampu batuk, sputum berlebih,
mengi, weezing, rochi
c. D. 0015 Risiko Perfusi Perifer tidak efektif
d. D.0119 Gangguan Komunikasi Verbal dd gangguan neuromaskular dd
pasien tampak tidak mampu bicara dan menunjukkan respon yang tidak
sesuai
e. D.0054 Gangguan Mobilitas Fisik bd gangguan neuromaskuler dd pasein
mengeluh sulit menggerakan bagian tubuh tertentu, kekuatan otot menurun,
ROM menurun
f. D.0074 Gangguan rasa aman nyaman bd gejala penyakit dd pasein
mengatakan mengeluh tidak nyaman, pasein tampak geisha, pasein
mengatakan tidak mampu rileks, mengelu lelah dan tampak
paseinmenunjukkan gejala distres
g. D. 0080 Ansietas bd kurang terpapar informasi dd pasein mengatakn merasa
bingung, pasein mengatakn bingung akan kondisinya, pasein tampak gelisah,
pasein tampak tegang
h. D.0083 Gangguan Citra Tubuh bd perubahan struktur
tubuh:ptosis/kelemahan anggota bagian tubuh lainnya dd pasein mengatakan
kecacatan/kehilangan bagian tubuh, tampak fungsi/struktur tubuh
berubah/hilang
3. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Keperawatan Tujuan Rencana Keperawatan
D. 0005 Pola Nafas tidak efektif bd Setelah dilakukan intervensi keperawatan Manajemen jalan nafas (1.01011)
hambatan upaya nafas: kelemahan otot selama …x… jam pola nafas membaik Observasi
pernafasan dd pasein mengatakan sesak dengan kriteria hasil: 1. Monitor pola nafas (frekwensi,
nafas, tampak penggunaan otot bantu nafas, - dyspnea menurun (RR: 16-24xmenit, pola kedalaman, usaha nafas)
fase ekspirasi emmanjang, pola nafas nafas reguler) 2. Monitor bunyi nafas tambahan
abnormal. - tidak ada suara nafas tambahan (gurgling, mengi, wheezing, ronkhi)
- kedalaman nafas normal (tidak ada retraksi 3. Monitor sputum (jumlah, warna,
dada) aroma)
- tidak ada pernafasan cuping hidung Terapeutik
4. Berikan oksigen
5. Pertahankan kepatenan jalan nafas
6. Posisikan semi fowlwr atau fowler
Kolaborasi
7. Kolaborasi pemberian bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik,jika perlu
Manajemen nafas buatan 1.01012
Observasi
1. Monitor posisi selang ETT, terutama
setelah mengubah posisi
2. Monitor tekanan balon ETT setiap 4-
8 jam
3. Monitor kulit area stoma trakeostomi
(mis. Kemerahan, drainase dan
perdarahan)
Terapeutik
4. Berikan pre-oksigenasi 100% selama
30 detik (3-6 ventilasi) sebelum dans
sesudah penghisapan
5. Ganti fiksasi ETT tiap 24 jam
6. Ubah posisi ETT secara bergantian
(kiri dan kanan) setiap 24 jam
7. Lakukan perawatan mulut
Edukasi
8. Jelaskan kepada keluarga tujuan dan
prosedur pemasangan jaan nafas
buatan
Kolaborasi
9. Kolaborasi intubasi ulang jika
terbentuk mcous plug yang tidak
dapat dilakukan penghisapap
D. 0015 Risiko Perfusi Perifer tidak efektif Setelah dilakukan intervensi keperawatan Pencegahan Syok (1.02068)
selama …x… jam perfusi perifer meningkat Observasi
dengan kriteria hasil: 1. Monitor status kardiopulmonal
- denyut nadi perifer teraba kuat (frekwensi, kekuatan nadi, frekwensi
- warna kulit tidak pucat nafas, TD, MAP)
- kelemahan otot menurun 2. Monitor ststus oksigenasi (oksimetri
- CRT <3 detik nadi, AGD)
- akral hangat 3. Monitor ststus cairan (masukan dan
- turgor kulit elastis haluaran, turgor dan CRT)
- tekanan darah sistolik 90-120 mmHg 4. Monitor tingkat kesadaran dan
-tekanan darah diastolic 60-80 mmHg respon pupil
Terapeutik
5. Berikan oksigen untuk
mempertahankan saturasi oksigen
>94%
6. Persiapkan intubasi dan ventilasi
mekanis, jika perlu
7. pasang katerisasi urine untuk menilai
produksi urin
Edukasi
8. Jelaskan penyebab/faktor risiko syok
9. Kolaborasi pemberian IV
10. Kolaborasi pemeberian antiinflamasi
D. 0080 Ansietas bd kurang terpapar Setelah dilakukan intervensi keperawatan Reduksi ansietas (1.09314)
selama …x… jam tingkat ansieas menurun Observasi
informasi dd pasein mengatakn merasa
dengan kriteria hasil: 1. Monitor tanda tanda ansietas
bingung, pasein mengatakn bingung akan - verbalisasi kebingunan menurun 2. Identifikasi saat ansietas berubah
- perilaku tegang menurun, pasein tampak Terapeutik
kondisinya, pasein tampak gelisah, pasein
rileks 3. Ciptakan suasana yang terapeutik
tampak tegang - nadi 60-120 x/menit, RR 16-24x/menit 4. Pahami situasi yang membuat
- pasein tidak pucat ansietas
Edukasi
5. Jelaskan prosedur, termasuk sensai
yang akan dialami
6. Informasikan secara factual
mengenai diagnose, pengobatan dan
prognosis
7. Latih tekhnik relaksasi
Kolaborasi
8. Kolaborasi pemberian obat ansietas
jika perlu
DAFTAR PUSTAKA
www.mda.org.nz. Myasthenia Gravis. Muscular Dystrophy association of New Zealand
Inc. 2010..

Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. In: Taut Neuromuskular. 6 th ed.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012.

Howard JF. Myasthenia Gravis A Manual for the Health Care Provider. Myasthenia
Gravis Foundation of America 2008.

Ilmu Penyakit Saraf S. Standar Pelayanan Medik. Makassar: Fakultas Kedokteran


Universitas Hasanuddin; 2014.

PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan. Jakarta: DPP PPNI Pusat

PPNI. 2016. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator


Diagnostik. Jakarta: DPP PPNI Pusat

PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan


Keperawatan. Jakarta: DPP PPNI Pusat

Anda mungkin juga menyukai