Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara umum sistem imun dibagi menjadi dua lini: imunitas alamiah dan
imunitas adaptif. Imunitas alamiah (innate) adalah pertahanan lapis pertama, berupa
mekanisme non-spesifik (antigenindependent) untuk melawan dan mengatasi
patogen yang menerobos masuk ke dalam tubuh kita. Imunitas adaptif bersifat
spesifik terhadap antigen (antigen-dependent), dan memiliki memori sehingga
tubuh kita mampu bereaksi dengan lebih cepat serta lebih efisien pada saat terpapar
ulang dengan antigen yang sama (Levani, 2018).
Sistem imun dalam keadaan normal dapat untuk membedakan diri dari
yang bukan dirinya dalam mempertahankan integritas host. Suatu intervensi atau
gangguan yang terjadi dapat mengakibatkan reaksi yang berlebihan untuk self-
antigen yang menyebabkan autoimunitas. Peningkatan yang signifikan telah
diamati pada penyakit autoimun di seluruh dunia. Namun etiologi dan patogenesis
dari penyakit autoimun ini tetap tidak diketahui (Vojdani, 2014). Adapun yang
tergolong penyakit autoimun antara lain juvenile idiopatik artritis (JIA), multipel
sklerosis, lupus eritemetosus sistemik (SLE), diabetes melitus tipe 1, sindrom
grave, skleroderma, multipel sklerosis (U.S. Departement of Health and Human
Services, 2002). Penyakit autoimun menyerang sekitar 8% dari polulasi di seluruh
dunia, 78% diantaranya adalah perempuan (Fairweather et al., 2008).
Lupus adalah penyakit dimana sistem imun, yang normalnya memerangi
infeksi, mulai menyerang sel sehat dalam tubuh. Fenomena ini disebut autoimun
dan apa yang diserang oleh sistem imun disebut autoantigen (Laura K. DeLong,
MD 2012). Para penderita lupus sering disebut dengan odapus (orang dengan
lupus). Kehidupan odapus bisa berubah drastis sejak sakit lupus dan mereka merasa
sangat sulit untuk mengelola penyakit ini (De Barros et al. 2012). Dalam
kehidupannya, odapus akan beberapa kali mengalami suatu periode kemunculan
gejala lupus yang parah (lupus flares) dan periode lainnya dimana gejalanya lebih
ringan. Sebenarnya gejala lupus bisa diatasi secara efektif dengan terapi yang sudah

1
ada sekarang, namun untuk saat ini belum ditemukan obat apapun yang dapat
menyembuhkan penyakit lupus (FerenkehKoroma 2012).

B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui konsep Systemic Lupus Erythematosus (SLE) secara medis
dan keperawatan.
b. Untuk mengetahui bagaimana penyusunan asuhan keperawatan Systemic
Lupus Erythematosus (SLE).

C. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan makalah ini adalah untuk menambah
pengetahuan mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Panakkukang Makassar
khususnya Prodi S1 Ilmu Keperawatan mengenai Systemic Lupus Erythematosus
(SLE).

2
BAB II

SKENARIO

Skenario 1:

Perempuan berusia 25 tahun dibawa ke Poliklinik penyakit Dalam RSUP. Dr. Wahidin
Sudirohusodo mengeluh kedua pipinya merah sehingga mengganggu penampilannya.
Pasien juga mengeluh akhir-akhir ini sering pegal dan linu di persendian. Nyeri sendi
ini berpindah-pindah. Keluhan disertai dengan rasa lesu, lemas, dan mudah capek
sehingga menghalanginya beraktivitas, dan hasil pemeriksaan antibody anti smith
didapatkan hasil meningkat.

A. Klarifikasi Kata-kata Kunci


a. Pegal Linu: nyeri otot yang disebabkan karena terlalu banyak beraktivitas fisik,
kurang kalsium atau vitamin D, stres, hingga adanya penyakit di dalam tubuh.
b. Nyeri sendi: rasa sakit dan tidak nyaman pada sendi, yaitu jaringan yang
menghubungkan dan membantu pergerakan antara dua tulang.
c. Lesu: berasa lemah dan lelah; letih.
d. Lemas: tidak kuat; tidak bertenaga.
e. Mudah Capek: proses menurunnya efisiensi, performance kerja dan
berkurangnya kekuatan atau ketahanan fisik tubuh untuk terus melanjutkan
kegiatan yang harus dilakukan.
f. Antybodi Anti Smith: Antibodi ini spesifik pada lupus dan berhubungan
dengan aktivitas penyakit. Biasanya adanya antibodi ini dikaitkan dengan
manifestasi lupus serebral, lupus nefritis dan pericarditis.
B. Kata/Problem Kunci
Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
C. Pertanyaan-pertanyaan Penting
a. Bagaimana Konsep Medis Systemic Lupus Erythematosus (SLE)?
b. Bagaimana Konsep Keperawatan Systemic Lupus Erythematosus (SLE)?
D. Jawaban Penting
a. Konsep Medis Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
a) Definisi

3
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) atau Lupus adalah penyakit yang
terjadi karena kelainan dalam sistem pertahanan tubuh (sistem imun). Pada
penderita SLE organ dan sel mengalami kerusakan yang disebabkan oleh
tissue- binding autoantibody dan kompleks imun, yang menimbulkan
peradangan dan bisa menyerang berbagai sistem organ namun sebabnya
belum diketahui secara pasti, dengan perjalanan penyakit yang mungkin
akut dan fulminan atau kronik, terdapat remisi dan eksaserbasi disertai
oleh terdapatnya berbagai macam autoantibody dalam tubuh.
Sistem imun normal akan melindungi kita dari serangan penyakit yang
diakibatkan kuman, virus, dan lain-lain dari luar tubuh kita. Tetapi pada
penderita lupus, sistem imun menjadi berlebihan, sehingga justru
menyerang tubuh sendiri, oleh karena itu disebut penyakit autoimun.
Penyakit ini akan menyebabkan peradangan di berbagai organ tubuh kita,
misalnya: kulit yang akan berwarna kemerahan atau erythema, lalu juga
sendi, paru, ginjal, otak, darah, dan lain-lain. Oleh karena itu penyakit ini
dinamakan sistemik karena mengenai hampir seluruh bagian tubuh kita.
Jika lupus hanya mengenai kulit saja, sedangkan organ lain tidak terkena,
maka disebut lupus kulit (lupus kutaneus) yang tidak terlalu berbahaya
dibandingkan lupus yang sistemik (Sistemik Lupus /SLE).
b) Epidemiologi
SLE lebih banyak terjadi pada wanita dari pada pria dengan perbandingan
10:1. Perbandingan ini menurun menjadi 3:2 pada lupus yang
diinduksi oleh obat. Penyakit SLE juga menyerang penderita usia
produktif yaitu 15-64 tahun. Meskipun begitu, penyakit ini dapat terjadi
pada semua orang tanpa membedakan usia dan jenis kelamin (Delafuente,
2002). Prevalensi SLE berbeda-beda untuk tiap etnis yaitu etnis Afrika-
Amerika mempunyai prevalensi sebesar 1 kasus per 2000 populasi, Cina 1
dalam 1000 populasi, 12 kasus per 100.000 populasi terjadi di Inggris, 39
kasus dalam 100.000 populasi terdapat di Swedia. Di New Zealand, terjadi
perbedaan prevalensi antara etnis Polynesian sebanyak 50 kasus per
100.000 populasi dengan orang kulit putih sebesar 14,6 kasus dalam
100.000 populasi (Bartels, 2006).

4
c) Etiologi
Faktor Resiko terjadinya SLE:
1. Faktor Genetik
- Jenis kelamin, frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering
dari pada pria dewasa.
- Umur, biasanya lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun.
- Etnik, Faktor keturunan, dengan Frekuensi 20 kali lebih sering
dalam keluarga yang terdapat anggota dengan penyakit tersebut.
2. Faktor Resiko Hormon. Hormon estrogen menambah resiko SLE,
sedangkan androgen mengurangi resiko ini.
3. Sinar UV. Sinar Ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapi
menjadi kurang efektif, sehingga SLE kambuh atau bertambah berat.
Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin
sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut maupun secara sistemik
melalui peredaran pebuluh darah.
4. Imunitas. Pada pasien SLE, terdapat hiperaktivitas sel B atau
intoleransi terhadap sel T.
5. Obat. Obat tertentu dalam presentase kecil sekali pada pasien tertentu
dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat mencetuskan lupus
obat (Drug Induced Lupus Erythematosus atau DILE). Jenis obat yang
dapat menyebabkan lupus:
- Obat yang pasti menyebabkan lupus obat: Kloropromazin,
metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid.
- Obat yang mungkin menyebabkan lupus obat: dilantin,
penisilamin, dan kuinidin.
- Hubungannya belum jelas: garam emas, beberapa jenis antibiotic
dan griseofurvin.
6. Infeksi. Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang-
kadang penyakit ini kambuh setelah infeksi.
7. Stres. Stres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah
memiliki kecendrungan akan penyakit ini.
d) Klasifikasi

5
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid
lupus, Systemic Lupus Erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
1. Discoid Lupus. Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai
oleh batas eritema yang meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan
telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga, wajah, lengan,
punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan
karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian
tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn,
2005).
2. Systemic Lupus Erythematosus. SLE merupakan penyakit radang atau
inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg
and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan
disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi
autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya
autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein
intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan
kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime pengaktivan
komplemen (Epstein, 1998).
3. Lupus yang diinduksi oleh obat. Lupus yang disebabkan oleh induksi
obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen
HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak
terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk
berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda
asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi
antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal
et al., 2000).
e) Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik,
hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya
terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka

6
bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid,
isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping
makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE akibat
senyawa kimia atau obat obatan. Pada SLE, peningkatan produksi
autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang
abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan
jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya terangsang
antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
f) Manifestasi Klinis
Jumlah dan jenis antibodi pada lupus, lebih besar dibandingkan dengan
pada penyakit lain, dan antibodi ini (bersama dengan faktor lainnya yang
tidak diketahui) menentukan gejala mana yang akan berkembang. Karena
itu, gejala dan beratnya penyakit, bervariasi pada setiap penderita.
Perjalanan penyakit ini bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai
penyakit yang berat.
Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas
gejala (remisi) dan masa kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal penyakit,
lupus hanya menyerang satu organ, tetapi di kemudian hari akan
melibatkan organ lainnya.
1. Muskuloskleletal. Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri
persendian dan kebanyakan menderita artritis. Persendian yang sering
terkena adalah persendian pada jari tangan, tangan, pergelangan
tangan dan lutut. Kematian jaringan padatulang panggul dan bahu
sering merupakan penyebab dari nyeri di daerah tersebut.
2. Integumen. Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu pada
tulang pipi dan pangkal hidung. Ruam ini biasanya akan semakin
memburuk jika terkena sinar matahari. Ruam yang lebih tersebar bisa
timbul di bagian tubuh lain yang terpapar oleh sinar matahari.
3. Ginjal. Sebagian besar penderita menunjukkan adanya penimbunan
protein di dalam sel-sel ginjal, tetapi hanya 50% yang menderita
nefritis lupus (peradangan ginjal yang menetap). Pada akhirnya bisa

7
terjadi gagal ginjal sehingga penderita perlu menjalani dialisa atau
pencangkokkan ginjal.
4. Sistem Neuron. Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus.
Yang paling sering ditemukan adalah disfungsi mental yang sifatnya
ringan, tetapi kelainan bisa terjadi pada bagian manapun dari otak,
korda spinalis maupun sistem saraf. Kejang psikosa, sindroma otak
organik dan sakit kepala merupakan beberapa kelainan sistem saraf
yang bisa terjadi.
5. Sistem Hematologi. Kelainan darah bisa ditemukan pada 85%
penderita lupus. Bisa terbentuk bekuan darah di dalam vena maupun
arteri, yang bisa menyebabkan stroke dan emboli paru. Jumlah
trombosit berkurang dan tubuh membentuk antibodi yang melawan
faktor pembekuan darah, yang bisa menyebabkan perdarahan yang
berarti. Seringkali terjadi anemia akibat penyakit menahun.
6. Sistem Kardiovaskuler. Peradangan berbagai bagian jantung bisa
terjadi, seperti perikarditis, endokarditis maupun miokarditis. Nyeri
dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat dari keadaan tersebut.
7. Sistem Respirasi. Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput
paru) dan efusi pleura (penimbunan cairan antara paru dan
pembungkusnya). Akibat dari keadaan tersebut sering timbul nyeri
dada dan sesak nafas.
g) Pemeriksaan Laboratorium
1. Anti ds-DNA
Batas normal : 70 – 200 IU/mL
Negatif          : < 70 IU/mL
Positif             :  > 200 IU/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65% – 80% penderita dengan SLE aktif
dan jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi
merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai
sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit reumatik
yang lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier.
Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat  dan

8
dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama lupus
glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE
yang tenang (dorman).
Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus
(ANA). Ada dua tipe dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang
double-stranded DNA (anti ds-DNA) dan yang menyerang single-
stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-DNA kurang sensitif dan
spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain.
Kompleks antibodi-antigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk
diagnosis saja tetapi merupakan konstributor yang besar dalam
perjalanan penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan menginduksi
sistem komplemen yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik
lokal maupun sistemik (Pagana and Pagana, 2002).
2. Antinuclear antibodies (ANA)
Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang
lain. ANA adalah sekelompok antibodi protein yang bereaksi
menyerang inti dari suatu sel. ANA cukup sensitif untuk mendeteksi
adanya SLE,  hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE.
Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan
dengan penyakit reumatik yang lain. Jumlah ANA yang tinggi
berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit
tersebut.Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif
sehingga jumlah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil tes negatif
maka pasien belum tentu negatif terhadap SLE karena harus
dipertimbangkan juga data klinik dan tes laboratorium yang lain,
tetapi jika hasil  tes  positif  maka  sebaiknya  dilakukan  tes serologi
yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut menderita
SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith (anti-Sm), anti-RNP (anti-
ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau anti-SSB (La) (Pagana
and Pagana, 2002).
3. Tes Laboratorium lain

9
Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa
serta untuk monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah
antiribosomal P, antikardiolipin, lupus antikoagulan, Coombs test,
anti-histon, marker reaksi inflamasi (Erythrocyte Sedimentation
Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP), kadar komplemen (C3 dan
C4), Complete Blood Count (CBC), urinalisis, serum kreatinin, tes
fungsi hepar, kreatinin kinase (Pagana and Pagana, 2002).
h) Pengobatan
Tujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi gejala penyakit,
mencegah terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan, memperbaiki
kualitas hidup pasien, memperpanjang ketahanan pasien, memonitor
manifestasi penyakit, menghindari penyebaran penyakit, serta memberikan
edukasi kepada pasien tentang manifestasi dan efek samping dari terapi
obat yang diberikan. Karena banyaknya variasi dalam manifestasi klinik
setiap individu maka pengobatan yang dilakukan juga sangat individual
tergantung dari manifestasi klinik yang muncul. Pengobatan SLE meliputi
terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi (Herfindal et al., 2000).
1. Terapi nonfarmakologi. Gejala yang sering muncul pada penderita
SLE adalah lemah sehingga diperlukan keseimbangan antara istirahat
dan kerja, dan hindari kerja yang terlalu berlebihan. Penderita SLE
sebaiknya menghindari merokok karena hidrasin dalam tembakau
diduga juga merupakan faktor lingkungan yang dapat memicu
terjadinya SLE. Tidak ada diet yang spesifik untuk penderita
SLE (Delafuente, 2002). Tetapi penggunaan minyak ikan pada pasien
SLE yang mengandung vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet dapat
menurunkan produksi sitokin proinflamasi seperti IL-4, IL-6, TNF-a,
IL-10, dan menurunkan kadar antibodi anti-DNA (Venkatraman et al.,
1999). Penggunaan sunblock (SPF 15) dan menggunakan pakaian
tertutup untuk penderita SLE  sangat disarankan untuk mengurangi
paparan sinar UV yang terdapat pada sinar matahari ketika akan
beraktivitas di luar rumah (Delafuente, 2002).

10
2. Terapi farmakologi. Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk
menekan sistem imun dan mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan
SLE tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya  pasien menderita
SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap pasien.
3. NSAID. Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan 
termasuk salisilat dan NSAID yang lain (Delafuente, 2002). NSAID
memiliki efek antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik (Neal, 2002).
NSAID dapat dibedakan menjadi nonselektif COX inhibitor dan
selektif COX-2 inhibitor. Nonselektif COX inhibitor menghambat
enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok asam arakidonat. COX-2
muncul ketika terdapat rangsangan dari mediator inflamasi termasuk
interleukin, interferon, serta tumor necrosing factor sedangkan  COX-
1 merupakan enzim yang berperan pada fungsi homeostasis tubuh
seperti produksi prostaglandin untuk melindungi lambung serta
keseimbangan hemodinamik dari ginjal. COX-1 terdapat pada mukosa
lambung, sel endotelial vaskular, platelet, dan tubulus collecting renal
(Katzung, 2002). Efek samping penggunaan NSAID adalah
perdarahan saluran cerna, ulser,  nefrotoksik,  kulit  kemerahan,  dan
alergi lainnya. Celecoxib merupakan inhibitor selektif COX-2 yang
memiliki efektivitas seperti inhibitor COX non selektif, tapi kejadian
perforasi lambung dan perdarahan menurun hingga 50% (Neal, 2002).
4. Antimalaria. Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi ringan
atau sedang (demam, atralgia, lemas atau serositis) yang tidak
menyebabkan kerusakan organ-organ penting. Beberapa mekanisme
aksi dari obat antimalaria adalah stabilisasi membran lisosom
sehingga menghambat pelepasan enzim lisosom, mengikat DNA,
mengganggu serangan antibodi DNA, penurunan produksi
prostaglandin dan leukotrien, penurunan aktivitas sel T, serta
pelepasan IL-1 dan tumor necrosing factor α (TNF- α). Pemberian
antimalaria dilakukan pada 1 sampai 2 minggu awal terapi dan
kebanyakan pasien mengalami regresi eritema lesi kulit pada 2
minggu pertama. Jika pasien memberikan respon yang baik maka

11
dosis diturunkan menjadi 50%  selama beberapa bulan sampai
manifestasi SLE teratasi. Sebelum pengobatan dihentikan sebaiknya
dilakukan tapering dosis dengan memberikan obat malaria dosis
rendah dua atau tiga kali per minggu. Sekitar 90% pasien kambuh
setelah 3 tahun penghentian obat (Herfindal et al., 2000).
5. Kortikosteroid. Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan
tidak memberikan respon terhadap penggunaan obat lain seperti
NSAID atau antimalaria diberikan terapi kortikosteroid. Beberapa
pasien yang mengalami  lupus eritematosus pada kulit baik kronik
atau subakut lebih menguntungkan jika diberikan kortikosteroid
topikal atau intralesional. Kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja
sebagai antiinflamasi melalui hambatan enzim fosfolipase yang
mengubah fosfolipid menjadi asam arakidonat sehingga tidak
terbentuk mediator-mediator inflamasi seperti leukotrien, prostasiklin,
prostaglandin, dan tromboksan-A2 serta menghambat melekatnya sel
pada endotelial terjadinya inflamasi dan meningkatkan influks
neutrofil sehingga mengurangi jumlah sel yang bermigrasi ke tempat
terjadinya inflamasi. Sedangkan efek imunomodulator dari
kortikosteroid dilakukan dengan mengganggu siklus sel pada tahap
aktivasi sel limfosit, menghambat fungsi dari makrofag jaringan dan
APCs lain sehingga mengurangi kemampuan sel tersebut dalam
merespon antigen, membunuh mikroorganisme, dan memproduksi
interleukin-1, TNF-α, metaloproteinase, dan aktivator plasminogen
(Katzung, 2002). Tujuan pemberian kortikosteroid pada SLE adalah
untuk antiinflamasi, imunomodulator, menghilangkan gejala,
memperbaiki parameter laboratorium yang abnormal, dan
memperbaiki manifestasi klinik yang timbul. Penderita SLE umumnya
menerima kortikosteroid dosis tinggi selama 3 sampai 6 hari (pulse
therapy) untuk mempercepat respon terhadap terapi dan menurunkan
potensi efek samping yang timbul pada pemakaian jangka panjang.
Yang sering digunakan adalah metil prednisolon dalam bentuk
intravena  (10–30 mg/kg BB lebih dari 30 menit). Terapi ini diikuti

12
dengan pemberian  prednison secara oral selama beberapa minggu.
Penggunaan kortikosteroid secara intravena pada 75% pasien
menunjukkan perbaikan yang berarti dalam beberapa hari meskipun
pada awalnya marker yang menunjukkan penyakit ginjal (serum
kreatinin, blood urea nitrogen) memburuk. Proteinuria membaik pada
4 sampai 10 minggu pemberian glukokortikoid Kadar komplemen dan
antibodi DNA dalam serum menurun dalam 1 sampai 3 minggu.
Beberapa manifestasi seperti vaskulitis, serositis, abnormalitas
hematologik, abnormalitas CNS umumnya memberikan respon dalam 
5 sampai  19 hari.
6. Siklofosfamid. Digunakan untuk pengobatan penyakit yang  berat dan
merupakan obat sitotoksik bahan pengalkilasi. Obat ini bekerja
dengan mengganggu proliferasi sel, aktivitas mitotik, diferensiasi dan
fungsi sel. Mereka juga menghambat pembentukan DNA yang
menyebabkan kematian sel B, sel T, dan neutrofil yang berperan
dalam inflamasi. Menekan sel limfosit B dan menyebabkan penekanan
secara langsung pembentukan antibodi (Ig G) sehingga mengurangi
reaksi inflamasi. Terapi dosis tinggi dapat berfungsi sebagai
imunosupresan yang meningkatkan resiko terjadinya neutropenia dan
infeksi. Oleh karena itu dilakukan monitoring secara rutin terhadap
WBC, hematokrit, dan platelet count. Yang perlu diperhatikan adalah
dosis optimal, interval pemberian, rute pemberian, durasi pulse
therapy, kecepatan kambuh, dan durasi remisi penyakit. (Herfindal et
al., 2000).
7. Terapi hormon. Dehidroepiandrosteron (DHEA) merupakan hormon
pada pria  yang diproduksi pada saat masih fetus dan berhenti setelah
dilahirkan. Hormon ini kembali aktif diproduksi pada usia 7 tahun,
mencapai puncak pada usia 30 tahun, dan menurun seiring
bertambahnya usia. Pasien SLE mempunyai kadar DHEA yang
rendah. Pemberian hormon ini memberikan respon pada penyakit
yang ringan saja dan mempunyai efek samping jerawat dan
pertumbuhan rambut (Isenberg and Horsfall, 1998). Secara in vitro,

13
DHEA mempunyai mekanisme menekan pelepasan IL-1, IL-6, dan
TNF-α serta meningkatkan sekresi IL-2 yang dapat digunakan untuk
mengaktivasi sel T pada murine. Meskipun demikian mekanisme
secara in vivo belum diketahui (FDA Arthritis Advisory Comittee,
2001).
8. Antiinfeksi/Antijamur/Antivirus. Pemberian imunosupresan dapat
menurunkan sistem imun sehingga dapat menyebabkan tubuh mudah
terserang infeksi. Infeksi yang umum menyerang adalah virus herpes
zoster, Salmonella, dan Candida (Isenberg and Horsfall, 1998). Untuk
herpes zoster dapat diatasi dengan pemberian antivirus asiklovir atau
vidarabin secara oral 800 mg lima kali sehari selama 5–7 hari.
Salmonella dapat diterapi dengan antibiotik golongan  kuinolon,
ampisilin, kotrimoksazol, dan kloramfenikol (Katzung, 2002).
Sedangkan golongan penisilin dan sefalosporin tidak digunakan 
karena  menyebabkan  rash yang  sensitif  sehingga dapat
memperparah rash SLE (Isenberg and Horsfall, 1998). Adanya infeksi
dari Candida dapat diatasi dengan pemberian amfoterisin B,
flukonazol, dan itrakonazol  (Katzung, 2002).

b. Konsep Keperawatan Systemic Lupus Erythematosus (SLE)


a) Pengkajian
1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik
difokuskan pada gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami
seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas,
anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri
pasien.
2. Kulit. Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka
atau leher.
3. Kardiovaskuler. Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis
dan efusi pleura. Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi
nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan,

14
siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral
tangan.
4. Sistem Muskuloskeletal. Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa
nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
5. Sistem integumen. Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam
berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus
oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
6. Sistem pernafasan. Pleuritis atau efusi pleura.
7. Sistem vaskuler. Inflamasi pada arteriole terminalis yang
menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki,
tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral
tangan dan berlanjut nekrosis.
8. Sistem Renal. Edema dan hematuria.
9. Sistem saraf. Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan
kejang-kejang, korea ataupun manifestasi SSP lainnya.
b) Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul
1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
2. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa
nyeri, depresi.
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang
gerak, kelemahan otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan
daya tahan fisik.
4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan dan
ketergantungan fisaik serta psikologis yang diakibatkan penyakit
kronik.
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi
barier kulit, penumpukan kompleks imun.
c) Intervensi
1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
Tujuan: Perbaikan dalam tingkat kenyamanan
Intervensi:

15
- Laksanakan sejumlah tindakan yang memberikan kenyamanan
(kompres panas/dingin; masase, perubahan posisi, istirahat; kasur
busa, bantal penyangga, bidai; teknik relaksasi, aktivitas yang
mengalihkan perhatian)
- Berikan preparat antiinflamasi, analgesik seperti yang dianjurkan.
- Sesuaikan jadwal pengobatan untuk memenuhi kebutuhan pasien
terhadap penatalaksanaan nyeri.
- Dorong pasien untuk mengutarakan perasaannya tentang rasa
nyeri serta sifat kronik penyakitnya.
- Jelaskan patofisiologik nyeri dan membantu pasien untuk
menyadari bahwa rasa nyeri sering membawanya kepada metode
terapi yang belum terbukti manfaatnya.
- Bantu dalam mengenali nyeri kehidupan seseorang yang
membawa pasien untuk memakai metode terapi yang belum
terbukti manfaatnya.
- Lakukan penilaian terhadap perubahan subjektif pada rasa nyeri.
2. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa
nyeri, depresi.
Tujuan: Mengikutsertakan tindakan sebagai bagian dari aktivitas
hidup sehari-hari yang diperlukan untuk mengubah.
Intervensi:
- Beri penjelasan tentang keletihan: hubungan antara aktivitas
penyakit dan keletihan; menjelaskan tindakan untuk memberikan
kenyamanan sementara melaksanakannya, mengembangkan dan
mempertahankan tindakan rutin unutk tidur (mandi air hangat dan
teknik relaksasi yang memudahkan tidur), menjelaskan
pentingnya istirahat untuk mengurangi stres sistemik, artikuler
dan emosional, menjelaskan cara mengggunakan teknik-teknik
untuk menghemat tenaga, dan kenali faktor-faktor fisik dan
emosional yang menyebabkan kelelahan.
- Fasilitasi pengembangan jadwal aktivitas/istirahat yang tepat.
- Dorong kepatuhan pasien terhadap program terapinya.

16
- Rujuk dan dorong program kondisioning.
- Dorong nutrisi adekuat termasuk sumber zat besi dari makanan
dan suplemen.
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang
gerak, kelemahan otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan
daya tahan fisik.
Tujuan: Mendapatkan dan mempertahankan mobilitas fungsional yang
optimal.
Intervensi:
- Dorong verbalisasi yang berkenaan dengan keterbatasan dalam
mobilitas.
- Kaji kebutuhan akan konsultasi terapi okupasi/fisioterapi;
Menekankan kisaran gherak pada sendi yang sakit, meningkatkan
pemakaian alat bantu, menjelaskan pemakaian alas kaki yang
aman, dan menggunakan postur/pengaturan posisi tubuh yang
tepat.
- Bantu pasien mengenali rintangan dalam lingkungannya.
- Dorong kemandirian dalam mobilitas dan membantu jika
diperlukan; Memberikan waktu yang cukup untuk melakukan
aktivitas, memberikan kesempatan istirahat sesudah melakukan
aktivitas, menguatkan kembali prinsip perlindungan sendi.
4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan dan
ketergantungan fisaik serta psikologis yang diakibatkan penyakit
kronik.
Tujuan: mencapai rekonsiliasi antara konsep diri dan erubahan fisik
serta psikologik yang ditimbulkan penyakit.
Intervensi:
- Bantu pasien untuk mengenali unsur-unsur pengendalian gejala
penyakit dan penanganannya.
- Dorong verbalisasi perasaan, persepsi dan rasa takut; Membantu
menilai situasi sekarang dan menganli masahnya, membantu

17
menganli mekanisme koping pada masa lalu, dan membantu
mengenali mekanisme koping yang efektif.
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi
barier kulit, penumpukan kompleks imun.
Tujuan: pemeliharaan integritas kulit.
Intervensi:
- Lindungi kulit yang sehat terhadap kemungkinan maserasi.
- Hilangkan kelembaban dari kulit.
- Jaga dengan cermat terhadap resiko terjadinya sedera termal
akibat penggunaan kompres hangat yang terlalu panas.
- Nasehati pasien untuk menggunakan kosmetik dan preparat tabir
surya.
- Kolaborasi pemberian NSAID dan kortikosteroid.

18
BAB III

PEMBAHASAN KASUS (ASUHAN KEPERAWATAN)

A. Pengkajian
1. Identitas Klien
Nama : Ny.Y
Usia : 25 Th
Alamat : Makassar
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SMA
Agama : Islam
Status : Menikah
2. Keluhan Utama
Mengeluh nyeri pada sendi dan pipinya memerah disertai dengan lesu, lemas
dan mudah capek.
3. Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengeluh kedua pipinya merah, akhir-akhir ini sering pegal dan linu di
persendian. Nyeri sendi ini berpindah-pindah. Keluhan disertai dengan rasa
lesu, lemas, dan mudah capek sehingga menghalanginya beraktivitas. Dan
didapatkan hasil pasien mengalami SLE (system Lupus Erythematosus).
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak ada
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada
6. Pemeriksaan Fisik
a. TTV
TD : 110/80 mmHg
RR : 20x/menit
S : 38,5
N : 90x/menit
b. Pemeriksaan persistem
 B1 (Breath)

19
RR 20x/menit, napas dalam terlihat seperti menahan nyeri
 B2 (Blood)
TD 110/80 mmHg
Inflamasi pada arteriole trminalis yang menimbulkan lesi papuler,
eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku, serta
permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan
berlanjut nekrosis
 B3 (Brain)
Gangguan psikologis
 B4 (Bladder)
Tidak ada
 B5 (Bowel)
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum
 B6 (Bone)
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa
kaku pada sendi. Lesi akut pada kulit bagian kedua pipi.
7. Pengelompokan Data
a. DS:
 Pasien mengeluh kedua pipinya merah sehingga mengganggu
penampilannya
 Pasien mengeluh sering pegal dan linu di persendian
 Pasien Nyeri sendi yang berpindah-pindah
 Pasien menguluh mudah capek sehingga menghalangi aktivitasnya
b. DO:
 TTV
TD : 110/80 mmHg
RR : 20x/menit
S : 38,5
N : 90x/menit
 Pasien terlihat lesu dan lemas
 Wajah pasien tampak meringis karena menahan nyeri
 Kedua pipi pasien terlihat memerah

20
 pemeriksaan antibody anti smith didapatkan hasil meningkat

Analisa Data

Batasan Karakteristik Data (DS & DO) Diagnosis Keperawatan


DS: Nyeri akut berhubungan dengan agens
 Pasien mengeluh sering pegal dan cedera biologis
linu di persendian
 Pasien Nyeri sendi yang berpindah-
pindah
DO:
 Wajah pasien tampak meringis
karena menahan nyeri
DS: Keletihan berhubungan dengan
 Pasien menguluh mudah capek peningkatan kelelahan
sehingga menghalangi aktivitasnya
DO:
 Pasien terlihat lesu dan lemas
DS: Gangguan citra tubuh berhubungan
 Pasien mengeluh kedua pipinya dengan respon nonverbal pada
merah sehingga mengganggu perubahan yang dirasakan pada tubuh
penampilannya
DO:
 TTV
TD : 110/80 mmHg
RR : 20x/menit
S : 38,5
N : 90x/menit
 Kedua pipi pasien terlihat memerah
 pemeriksaan antibody anti smith
didapatkan hasil meningkat

B. Diagnosis Keperawatan

21
a. Domain 12: Kenyamanan
Kelas 1: Kenyamanan Fisik
Kode: 00132
Diagnosis: Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera biologis
b. Domain 4: Aktivitas/Istirahat
Kelas 3: Keseimbangan Energi
Kode: 00093
Diagnosis: Keletihan berhubungan dengan peningkatan kelelahan
c. Domain 6: Persepsi Diri
Kelas 3: Citra Tubuh
Kode: 0118
Diagnosis: Gangguan citra tubuh berhubungan dengan respon nonverbal pada
perubahan yang dirasakan pada tubuh

C. Intervensi Keperawatan

TUJUAN KRITERIA INTERVENSI


DIAGNOSIS
HASIL (NOC) KEPERAWATAN (NIC)
Domain 12: Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nyeri: Akut
Kenyamanan keperawatan klien Intervensi:
Kelas 1: Kenyamanan diharapkan mampu dengan  Lakukan pengkajian nyeri
Fisik outcomes komprehensif yang
Kode: 00132 Pengetahuan: Manajemen meliputi lokasi,
Dx: Nyeri kode: 1843 karakteristik, onset/durasi,
Nyeri akut berhubungan (1) 184301: faktor-faktor frekuensi, kualitas,
dengan agens cedera penyebab dan faktor intensitas, atau beratnya
biologis yang berkontribusi..... nyeri dan faktor pencetus.
(target maksimal 5)  Gali pengetahuan dan
(2) 184302: tanda dan kepercayaan pasien
gejala nyeri.....(target mengenai nyeri.
maksimal 5)  Gali bersama pasien
(3) 184303: Strategi untuk faktor-faktor yang dapat
mengontrol nyeri..... menurunkan atau

22
(target maksimal 5) memperberat nyeri.
(4) 184320: Pembatasan  Berikan informasi
aktivitas.....(target mengenai nyeri, seperti
maksimal 5) penyebab nyeri, berapa
(5) 184321: Tindakan- lama nyeri akan di
tindakan rasakan, dan antisipasi
pencengahan.....(target dari ketidaknyamanan
maksimal 5) akibat prosedur.
(6) 184322: Teknik posisi  Kurangi atau eliminasi
yang efektif.....(target faktor-faktor yang dapat
maksimal 5) mencetuskan atau
meningkatkan nyeri (mis,.
Ketakutan kelelahan,
keadaan monoton, dan
kurang pengetahuan.
Domain 4: Setelah dilakukan tindakan Manajemen energi
Aktivitas/Istirahat keperawatan klien Intervensi:
Kelas 3: Keseimbangan diharapkan mampu dengan  Kaji status fisiologis
Energi outcomes pasien yang menyebabkan
Kode: 00093 Tingkat kelelahan kode: kelelahan sesuai dengan
Dx: 0007 konteks usia dan
Keletihan berhubungan (1) 000701: Kelelahan..... perkembangan.
dengan peningkatan (target maksimal 5)  Pilih intervensi untuk
kelelahan (2) 000702: Kelesuan..... mengurangi kelelahan
(target maksimal 5) baik secara farmokologis
(3) 000712: Nyeri sendi..... maupun non
(target maksimal 5) farmokologis, dengan
(4) 000713: Gejala tepat.
sindrom kelelahan  Tentukan jenis dan
kronis/post exetional banyaknya aktifitas yang
malaise.....(target dibutuhkan untuk menjaga
maksimal 5) ketahanan.

23
 Monitor kegiatan olahraga
dan kelelahan emosional
yang dialami pasien.
 Ajarkan pasien mengenai
pengelolaan klinik
manejeman waktu untuk
mencegah kelelahan.
 Bantu pasien untuk
menetapkan tujuan
aktivitas yang akan
dicapai secara realitas.
 Bantu pasien
mengidentifikasi pilihan
aktifitas yang akan
dilakukan.
 Bantu pasien untuk
mengidentifikasi
tugas/kegiatan rumah yang
bisa dilakukan oleh
keluarga dan teman
dirumah untuk
mencegah/mengatasi
kelelahan.
Domain 6: Persepsi Diri Setelah dilakukan tindakan Peningkatan Citra Tubuh
Kelas 3: Citra Tubuh keperawatan, makan klien Intervensi:
Kode: 0118 diharapkan mampu dengan  Tentukan harapan citra
Dx: outcomes: diri pasien didasarkan
Gangguan citra tubuh Citra Tubuh 1200: pada tahap perkembangan.
berhubungan dengan (1) 120001 gambaran  Gunakan bimbingan
respon nonverbal pada internal diri.....(target antisipasif menyiapkan
perubahan yang maksimal 5) pasien terkait denga
dirasakan pada tubuh (2) 120002 kesesuaian perubahan-perubahan citra

24
antara realitas tubuh tubuh yang telah
dan ideal tubuh dengan diprediksikan.
penampilan tubuh.....  Bantu pasien memisahkan
(target maksimal 5) penampilan fisik dari
(3) 120003 deskripsi tubuh perasaan berharga secara
yang terkena pribadi, dengan cara yang
(dampak) .....(target tepat.
maksimal 5)  Identifikasi dampak dari
(4) 120007 penyesuaian budaya pasien, agama, ras,
terhadap perubahan jenis kelamin, dan usia
tampilan fisik.....(target terkait dengan citra tubuh.
maksimal 5)  Tentukan perubahan fisik
(5) Sikap terhadap saat ini apakah
penggunaan strategi berkonstribusi pada citra
untuk meningkatkan diri pasien.
penampilan.....(target
maksimal 5)

25
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Systemic Lupus Erythematosus (SLE) atau Lupus adalah penyakit yang terjadi
karena kelainan dalam sistem pertahanan tubuh (sistem imun). Pada penderita
SLE organ dan sel mengalami kerusakan yang disebabkan oleh tissue-
binding autoantibody dan kompleks imun, yang menimbulkan peradangan dan
bisa menyerang berbagai sistem organ namun sebabnya belum diketahui secara
pasti, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau
kronik, terdapat remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai
macam autoantibody dalam tubuh.
b. Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas gejala
(remisi) dan masa kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal penyakit, lupus hanya
menyerang satu organ, tetapi di kemudian hari akan melibatkan organ lainnya.
c. Pada skenario kasus dalam makalah ini didapatkan diagnosa medis adalah
Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
d. Pada makalah ini juga dijelaskan asuhan keperawatan yang jelas mengenai
Systemic Lupus Erythematosus (SLE).

B. Saran
Sebagai calon tenaga kesehatan khususnya perawat kita harus memahami
dengan seksama bagaimana asuhan keperawatan dari Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) agar dapat mencapai tujuan asuhan keperawatan dengan
maksimal.

26
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2020. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth Edisi 12.
Jakarta: EGC

Butcher, H.K., Bulechek G.M., Dochterman, J.M., & Wagner, C.M. 2018. Nursing
Interventions Classification (NIC) Edisi Ketujuh. Philadelphia: Elsevier

Diantini, D.M.A. 2016. ANGKA KEJADIAN PENYAKIT AUTOIMUN PADA PASIEN


ANAK DI RSUP SANGLAH DENPASAR. Bali: Universitas Udayana

Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. 2018. NANDA-I Diagnosis Keperawatan: Definisi dan
Klasifikasi 2018-2020. Jakarta: EGC

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia


Daring. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Levani, Yelvi. 2018. PERKEMBANGAN SEL LIMFOSIT B DAN PENANDANYA


UNTUK FLOWCYTOMETRY. Surabaya: Universitas Muhammadiyah
Surabaya

Moorhead, S., Swanson, E., Johnson, M., & Mass, M.L. 2018. Klasifikasi Luaran
Keperawatan/Nursing Outcomes Classification (NOC) Pengukuran Outcome
Kesehatan Edisi Keenam. Philadelphia: Elsevier

Sari, Ni Putu Wulan Purnama. 2016. FAKTOR PENCETUS GEJALA DAN PERILAKU
PENCEGAHAN SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (Precipitating
Factors and Preventive Behavior towards the Exposures of Systemic Lupus
Erythematosus). Surabaya: Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya

27

Anda mungkin juga menyukai