Anda di halaman 1dari 19

KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN

SISTEMIK LUPUS ERYTHEMSTOSUS


(SLE)

KELOMPOK 6

1. Hari Aji Sasmito (C2120078)


2. Ni Wayan Tropy Antari (C2120091)
3. Ni Kadek Ayu Candrayani (C2120095)
4. Ni Made Sri Kamaryani (C2120096)
5. Dewa Gede Aditya Wijaya (C2120098)
6. Agustina Shanty (C2120100)

PROGRAM LINTAS JALUR S1 KEPERAWATAN

STIKES BINA HUSADA BALI

2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan tentang Asuhan Keperawatan Pada
Anak dengan SLE. Tulisan ini dibuat untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan
khususnya pemberian asuhan keperawatan kepada anak.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
telah membantu sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini. Tulisan ini diharapkan
dapat bermanfaat dalam pemberian asuhan keperawatan pada anak serta dapat digunakan
sebagai acuan dalam memberikan perawatan.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna. Penulis mengharapkan
masukan dan saran untuk kesempurnaan makalah ini.

Badung, 27 Oktober 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI
Kata pengantar…………………………………………………………………………………
ii
Daftar Isi………………………………………………………………………………………
iii
A. Konsep Dasar Penyakit

1. Definisi……………………………………………………………………….……4

2. Penyebab ……………………………………..…………………………………...4
3. Epidemiologi ……………………..…………….…………………………………4
4. Patogenesis……………………………………...………………………..………..5
5. Gejala Klinis….…………………………………..………………………………..7
6. Klasifikasi……………………..……………………………………………..…….8
7. Pemeriksaan diagnostic ………………………………………………………….10
8. Penatalaksaan……………………………………………………..……………...10
9. Patway ……………………………………………………………...……………13
10. Pengkajian ……………………………………….………………………………14
11. Masalah keperawatan………………………….…………………………………15
12. Rencana asuhan keperawatan…………………………………………………….16
Daftar Pustaka…………………………………………………..…..………………………..19

iii
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN SISTEMIK LUPUS ERYTHEMSTOSUS
(SLE)

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Definisi
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah radang kronis yang disebabkan oleh
penyakit autoimun (kekebalan tubuh) di mana sistem pertahanan tubuh yang tidak
normal melawan jaringan tubuh sendiri. Antara jaringan tubuh dan organ yang dapat
terkena adalah seperti kulit, jantung, paru-paru, ginjal, sendi, dan sistem saraf. Lupus
eritematosus sistemik (SLE) merupakan suatu penyakit atuoimun yang kronik dan
menyerang berbagai system dalam tubuh. ( Silvia& Lorraine, 2006 )
Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit radang yang menyerang
banyak sistem dalam tubuh, dengan perjalanan penyakit bisa akut atau kronis, dan
disertai adanya antibodi yang menyerang tubuhnya sendiri
Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun
multisystem dengan manifestasi dan sifat yang sangat berubah – ubah, penuakit ini
terutama menyerang kulitr, ginjal, membrane serosa, sendi, dan jantung.(Robins,
2007)

2. Penyebab/factor predisposisi
a. Factor genetic
b. Factor Humoral
c. Factor lingkungan
d. Kontak dengan sinar matahari
e. Infeksi virus/bakteri
f. Obat golongan sulva
g. Penghentian lehamilan
h. Trauma psikis

3. Epidemiologi
Penyakit lupus atau systemic lupus erythematosus (SLE) prevalensinya dalam
populasi tertentu kira – kira satu kasus per 2500 orang, penyakit ini cenderung
terjadi pada perempuan (kira – kira 9:1), yang menyerang satu diantara 700
perempuan usia subur. systemic lupus erythematosus (SLE) lebih sering ditemukan
pada ras tertentu seperti ras kulit hitam, Cina, dan Filipina. Penyakit ini terutama

4
diderita oleh wanita muda dengan puncak kejadian pada usia 15-40 tahun (selama
masa reproduktif) dengan perbandingan wanita dan laki-laki 5:1).
Insiden SLE pada anak bervariasi antara 0,36 – 2,5 per 100.000 ribu penduduk
per tahun dengan prevalensi antara 1,89 – 25,7 per 100.000 penduduk.
Di Indonesia, data unutk kasus SLE masih belum ada yang mencakup semua
wilayah Indonesia. Data tahun 2002, berdasarkan data pasien yang datang ke
poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam di RSUP Cipto Mangunkosumo Jakarta,
terdapat 1,4% kasusu dari total seluruh kunjungan pasien. Sedangkan unutuk RS
Hasan Sadikin Bandung, terdapat 10,5% (291pasien) dari total pasien yang
berkunjung ke poliklinik reumatologi pada tahun 2010.
4. Patogenesis
Lupus ditandai oleh peradangan kronis atau berulang mempengaruhi satu atau
lebih jaringan dalam hubungan dengan beberapa autoantibodi. Beberapa, seperti anti
- sel merah dan antibodi antiplatelet, jelas patogen, sedangkan yang lain mungkin
hanya penanda kerusakan toleransi. Etiologi tetap misteri, tetapi seperti dalam
banyak penyakit kronis, tampaknya mungkin bahwa penyakit ini dipicu oleh agen
lingkungan dalam kecenderungan tiap individu (Malleson, Pete; Tekano, Jenny.
2007).
4.1 Faktor Endogen
Banyak autoantibodi (terutama ANAs) diarahkan terhadap antigen
intraseluler biasanya 'tak terlihat' untuk sistem kekebalan tubuh. Hal ini
menunjukkan autoimunitas yang berkembang, setidaknya dalam beberapa kasus,
sebagai konsekuensi dari kematian sel yang tidak normal atau disregulasi termasuk
kematian sel terprogram (apoptosis). Dalam mendukung Konsep ini telah menjadi
pengakuan bahwa model hewan lupus di MLR / lpr mencit karena mutasi genetik
FAS. Aktivasi FAS menyebabkan apoptosis, kelainan FAS mencegah apoptosis
yang normal menyebabkan proliferasi limfositik tidak terkendali dan produksi
autoantibodi. Sebuah homolog manusia model hewan adalah sindrom
limfoproliferatif autoimun (ALPS), karena mutasi dari FAS, anak-anak
mengembangkan limfadenopati besar dan splenomegali dengan produksi
autoantibody(Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).

4.2 Faktor Eksogen


Bahkan sedikit yang diketahui tentang pemicu yang bertanggung jawab
untuk sebagian besar bentuk lupus. Obat seperti antikonvulsan dan antibiotik

5
(khususnya minocycline) dapat menyebabkan lupus. Sinar matahari dapat memicu
kedua manifestasi kulit dan sistemik lupus (dan neonatal lupus). Menelan jumlah
yang sangat besar kecambah, alfa juga dapat menyebabkan lupus, pemicu aktif
muncul menjadi L-canvanine. Peran, jika ada, dari virus dan bakteri dalam memicu
lupus tetap jelas meskipun perlu penelitian yang cukup besar. Tidak ada bukti yang
meyakinkan bahwa infeksi tertentu adalah penting dalam menyebabkan lupus.
Menariknya, ada peningkatan penyakit rematik pada orang dengan infeksi HIV, dan
penyakit autoimun termasuk lupus tampaknya menjadi lebih umum ketika ada
restorasi kompetensi kekebalan dengan penggunaan obat anti retro virus yang
sangat aktif (Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).

(King, Jennifer K; Hahn, Bevra H. 2007

6
5. Gejala klinis
Gejala klinis yang mungkin muncul pada pasein SLE yaitu:
a) Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.
b) Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan
berat badan
c) Muskuloskeletal: artritis, artralgia, myositis
d) Kulit: ruam kupu-kupu (butter•ly atau malar rash), fotosensitivitas, lesi
membrane mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.
e) Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik
f) Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
g) Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal,lesi parenkhim paru.
h) Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis
i) Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomega.
j) Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia
k) Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis transversus,
gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer.
Kecurigaan terhadap adanya SLE jika terdapat dua atau lebih tanda gejala diatas.

7
6. KLASIFIKASI
Ada tiga jenis type lupus :
a. Cutaneous Lupus
Tipe ini juga dikenal sebagai Discoid Lupus Tipe lupus ini hanya terbatas
pada kulit dan ditampilkan dalam bentuk ruam yang muncul pada muka, leher,
atau kulit kepala. Ruam ini dapat menjadi lebih jelas terlihat pada daerah kulit
yang terkena sinar ultraviolet (seperti sinar matahari, sinar fluorescent). Meski
terdapat beberapa macam tipe ruam pada lupus, tetapi yang umum terdapat
adalah ruam yang timbul, bersisik dan merah, tetapi tidak gatal.
b. Discoid Lupus
Tipe lupus ini dapatmenyebabkan inflamasi pada beberapa macam organ.
Untuk beberapa orang mungkin saja hal ini hanya terbatas pada gangguan kulit
dan sendi. Tetapi pada orang yang lain, sendi, paru-paru, ginjal, darah ataupun
organ dan/atau jaringan lain yang mungkin terkena. SLE pada sebagian orang
dapat memasuki masa dimana gejalanya tidak muncul (remisi) dan pada saat
yang lain penyakit ini dapat menjadi aktif (flare).
c. Drug-induced lupus
Tipe lupus ini sangat jarang menyerang ginjal atau sistem syaraf. Obat
yang umumnya dapat menyebabkan druginduced lupus adalah jenis hidralazin
(untuk penanganan tekanan darah tinggi) dan pro-kainamid (untuk penanganan
detak jantung yang tidak teratur/tidak normal). Tidak semua orang yang
memakan obat ini akan terkena drug-induced lupus. Hanya 4 persen dari orang
yang mengkonsumsi obat itu yang bakal membentuk antibodi penyebab lupus.
Dari 4 persen itu, sedikit sekali yang kemudian menderita lupus. Bila
pengobatan dihentikan, maka gejala lupus ini biasanya akan hilang dengan
sendirinya

8
Dari ketiganya, Discoid Lupus paling sering menyerang. Namun, Systemic
Lupus selalu lebih berat dibandingkan dengan Discoid Lupus, dan dapat menyerang
organ atau sistem tubuh. Pada beberapa orang, cuma kulit dan persendian yang
diserang. Meski begitu, pada orang lain bisa merusak persendian, paru-paru, ginjal,
darah, organ atau jaringan lain.
Terdapat perbedaan antara klasifikasi dan diagnosis SLE. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan kombinasi gambaran klinis dan temuan laboratorium dan mungkin tidak
memenuhi kriteria klasifikasi American College of Rheumatology (ACR) (Tabel 1),
yang didefinisikan dan divalidasi untuk keperluan uji klinis. Penggunaan tabel ini
ketat daripada yang dibutuhkan untuk mendiagnosa lupus. Hal ini penting karena
kadang-kadang pengobatan akan tidak tepat akan tertunda menunggu kriteria
klasifikasi yang harus dipenuhi (Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).
Diagnosa medis definitif didasarkan pada adanya empat atau lebih gejala
tersebut. Laboratorium tes ini termasuk jumlah sel darah lengkap dengan diferensial,
Panel kimia metabolisme, urinalisis, antinuclear antibodi, anti-DNA antibodi,
komplemen 3 (C3), komplemen 4 (C4), imunoglobulin kuantitatif, plasma reagen
cepat (RPR), lupus anticoagulant, dan antiphospholipid antibodi (Lehman, 2002
dalam (Ward, Susan L and Hisley, Shelton M. 2009).

9
7. Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan lab :
1) Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya antibodi antinuklear, yang
terdapat pada hampir semua penderita lupus. Tetapi antibodi ini juga bisa
ditemukan pada penyakit lain. Karena itu jika menemukan antibodi antinuklear,
harus dilakukan juga pemeriksaan untuk antibodi terhadap DNA rantai ganda.
Kadar yang tinggi dari kedua antibodi ini hampir spesifik untuk lupus, tapi
tidak semua penderita lupus memiliki antibodi ini. Pemeriksaan darah untuk
mengukur kadar komplemen (protein yang berperan dalam sistem kekebalan)
dan untuk menemukan antibodi lainnya, mungkin perlu dilakukan untuk
memperkirakan aktivitas dan lamanya penyakit.
2) Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein
b) Radiology :
Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis.

8. Penatalaksanaan
Pilar pengobatan yang untuk penderita SLE sebaiknya dilakukan secara
berkesinambungan. Pilar pengobatan yang bisa dilakukan:
a. Edukasi dan konseling
Pasien dan keluarga penderita SLE memerlukan informasi yang benar dan
dukungan dari seluruh keluarga dan lingkungannya. Pasien memerlukan informasi
tentang aktivitas fisik, mengurangi atau mencegah kekambuhan misalnya dengan
cara melindungi kulit dari sinar matahari dengan menggunakan tabir surya atau
pakaian yang melindungi kulit, serta melakukan latihan secara teratur. Pasien juga
memerlukan informasi tentang pengaturan diet agar tidak mengalami kelebihan
berat badan, osteoporosis, atau dislipidemia. Informasi yang bisa diperlukan kepada
pasein adalah:
 Penjelasan tentang penyakit lupus dan penyebabnya
 Tipe dari penyakit SLE dan karakteristik dari tipe-tipe penyalit SLE

10
 Masalah terkait dengan fisik, kegunaan istirahta latihan terutama yang terkait
dengan pengobatan steroid seperti osteoporosis, kebutuhan istirahat, pemakaian
alat bantu, pengaturan diet, serta cara mengatasi infeksi
 Masalah psikologis yaitucara pemahaman diri pasien SLE, mengatasi rasa
leleah, stres, emosional, trauma psikis, masalah terkait dengan hubungan dengan
keluarga, serta cara mengatasi nyeri.
 Pemakaian obat mencakup jenis obat, dosis, lama pemberian, dan yang lainnya.
Kebutuahn pemberian vitamin dan mineral.
 Kelompok pendukung bagi penderita SLE
Edukasi juga perlu diberikan untuk mengurangi stigma psikologis akibat adanya
anggota keluarga yang menderita SLE.

b. Program rehabilitasi
Pasien SLE memerlukan berbagai latihan untuk mempertahankan kestabilan sendi
karena jika pasien SLE diberikan dalam kondisi immobilitas selama lebih dari 2
minggu dapat mengakibatkan penurunan massa otot hingga 30%. Tujuan, indikasi,
dan teknis pelaksanaan program rehabilirasi melibatkan beberapa hal, yaitu:
 Istirahat
 Terapi fisik
 Terapi dengan modalitas
 Ortotik, dan yang lainnya.
c. Pengobatan medikamentosa
Jenis obat yang dapat digunakan pada pasein SLE adalah:
- Kortikosteroid
- Klorokuin
- Hidroksiklorokuin (saat ini belum tersedia di Indonesia)
- Azatioprin
- Siklofosfamid
- Metotreksat
- Siklosporin A
- Mikofenolat mofetil

11
Jenis obat yang paling umum digunakan adalah kortikosteroid yang dipakai
sebagai antiinflamasi dan imunosupresi. Namun, penggunaan kortikosteroid
menimbulkan efek samping. Cara mengurangi efek samping dari penggunaan
kortikosteroid adalah dengan mengurangi dosis obatnya segera setelah penyakit
terkontrol. Penurunan dosis harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari
aktivitas penyakit muncul kembali dan terjadinya defisiensi kortikol yang muncul
akibat penekanan aksis hipotalamus-pituitari-adrenal kronis. Penurunan dosis yang
dilakuakn secara bertahap akan memberikan pemulihan terhadap fungsi adrenal.
Penggunaan sparing agen kortikosteroid dapat diberikan untuk memudahkan
menurunkan dosis kaortokosteroid dan mengobtrol penyakit dasarnya. Obat yang
sering digunakan sebagai sparing agen kortokosteroid adalah azatioprin,
mikofenolat mofetil, siklofosfamid, dan methotrexate.

12
9. PATHWAY

Lingkungan (cahaya
Genetik Obat-obatan
matahari, luka bakar
interna

Sistem regulasi kekebalan terganggu

Mengaktivasi sel T dan B

Fungsi sel T-supresor abnormal

Peningkatan produksi auto antibodi

Penumpukan kompleks imun Kerusakan jaringan

Muskuloskeletal Integumen Vaskuler Hemato

Pembengkakan Adanya lesi akut Inflamasi pada Kegagalan sumsung


sendi pada kulit arteriole terminalis tulang membentuk sel-
sel darah merah

Nyeri tekan dan rasa Pasien merasa Lesi papuler di


Tubuh mengalami
nyeri ketika bergerak malu dengan ujung kaki,
kekurangan sel darah
kondisinya tumit, dan siku
merah (pansitopenia)

Gangguan citra Kerusakan


Nyeri Akut Anemia
tubuh integritas kulit

Kelelahan

13
10. Pengkajian
a. Identitas pasien
b. Riwayat kesehatan
c. Riwayat kesehatan dahulu
1) Antenatal
2) Intranatal
3) Postnatal
4) Penyakit yang pernah diderita
5) Riwayat hospitalisasi
6) Riwayat Injuri
7) Riwayat Alergi
8) Riwayat Imunisasi
9) Riwayat Pengobatan
d. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan
e. Riwayat keluarga
f. Pola kesehatan fungsional
g. Aspek persepsi dan psikososial orang tua
h. Pemeriksaan fisik
1) Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
2) Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura. Lesi
eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan
vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor
lengan bawah atau sisi lateral tanga.
3) Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada
pagi hari.

14
4) Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
5) Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous
dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan
bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
6) Sistem Renal
Edema dan hematuria.
7) Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, ataupun
manifestasi SSP lainnya.
i. Pemeriksan Penunjang
j. Program terapi

10. Masalah Keperawatan


a. a. Nyeri kronis berhubungan dengan ketidakmampuan fisik-psikososial kronis
(metastase kanker, injuri neurologi, arthritis).
b. Kelelahan berhubungan dengan kondisi fisik yang buruk karena suatu penyakit.
c. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan deficit imunologi.
d. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan dan ketergantungan fisik
serta psikologis yang diakibatkan penyakit kronik

15
11. Rencana Asuhan Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
Keperawatan
1. Nyeri kronis 1. Comfort leve Pain Management
berhubungan
2. Pain control 1. Monitor kepuasan
dengan
ketidakmampuan 3. Pain level pasien terhadap
fisik-psikososial
Tujuan : Setelah dilakukan manajemen nyeri
kronis (metastase
kanker, injuri tindakan keperawatan selama 2. Tingkat istirahat dan
neurologi,
2x24 jam nyeri kronis pasien tidur yang adekuat
arthritis).
berkurang dengan kriteria hasil: 3. Delegasi pemberian
 Tidak ada gangguan tidur antianalgetik
 Tidak ada gangguan konsentrasi 4. Jelaskan kepada pasien

 Tidak ada ekspresi menahan atau keluarga pasien

nyeri dan ungkapan secara tentang penyebab nyeri

verbal seperti menangis 5. Lakukan tehnik

 Tidak ada tegang oto nonfarmakologis


(relaksasi masase
punggung)
2 Kelelahan 1. Aktivity tolerance 1. Monitor respon
berhubungan dengan
2. Energy conservation kardiorespirasi terhadap
kondisi fisik yang
buruk karena suatu 3. Nutritional status energy aktivitas (takirkardi,
penyakit
Tujuan: Setelah dilakukan disritmia,dyspnea,
tindakan keperawatan selama diaphoresis,pucat, dan
2x24 jam kelelahan pasien respirasi)
berkurang dengan kriteria hasil: 2. Monitor dan catat pola
 Kemampuan aktivitas yang danjumlah tidur pasien
adekuat 3. Monitor lokasi dan
 Mempertahan nutrisi adekuat ketidaknyamanan atau
 Keseimbangan aktivitas dan nyeri selama bergerak
istirahat dan aktivitas

 Mempertahankan interaksi 4. Moitor intake dan nutrisi


sosial 5. Kolaborasi dengan ahli

16
 Mengidentifikasi faktor fisik gizi tentang cara
dan psikologis yang meningkatkan intake
menyebabkan kelelahan makanan tinggi energy
6. Tingkatkan pembatasan
bedrest dan aktivitas
7. Batasi stimulasi
lingkungan untuk
memfasilitasi relaksasi
3 Gangguan integritas 1. Tissue integrity : skin and 1. Anjurkan untuk
kulit berhubungan
mucous membrane menggunakan pakaian
dengan deficit
imunologi. 2. Wound healing primer dan yang longgar
sekunder 2. Jaga kebersihan dan
Tujuan: Setelah dilakukan kering
tindakan keperawatan selama 3. Monitor kulit akan
2x24 jam gangguan integritas adanya kemerahan
kulit pasien berkurang dengan 4. Mobilisasi pasien (ubah
kriteria hasil: posisi pasien) setiap
 Integritas kulit yang baik bisa 2jam sekali
dipertahankan (elastisitas, 5. Oleskan lotion atau
temperature, hidrasi, minyak pada daerah
pigmentasi) yang tertekan
 Tidak ada luka atau lesi pada 6. Memandikan pasien
kulit 7. Kaji lingkungan dan
 Perfusi jaringan baik peralatan yang

 Mampu melindungi kulit dan menyebabkan tekanan

mempertahankan kelembaban 8. Observasi luka

kulit dan perawatan alami 9. Lakukan tehnik

 Menunjukan terjadi proses perawatan luka dengan

penyembuhan luka steril

4 Gangguan citra Mencapai rekonsiliasi antara 1. Bantu


tubuh berhubungan

17
dengan perubahan konsep diri dan perubahan fisik pasien untuk mengenali
dan ketergantungan
serta psikologi yang ditimbulkan unsur-unsur pengendalian
fisik serta psikologis
yang diakibatkan penyakit gejala penyakit dan
penyakit kronik
Tujuan: Setelah dilakukan penanganannya.
tindakan keperawatan selama 2. Dorong
2x24 jam gangguan citra tubuh verbalisasi perasaan,
pasien berkurang dengan kriteria persepsi dan rasa takut
hasil:  Membantu
 Pasien tidak malu dengan menilai situasi
kondisi saat ini sekarang dan
 Pasien tidak menarik diri menganli masahnya.
 Membantu
menganli mekanisme
koping pada masa
lalu.
 Membantu
mengenali mekanisme
koping yang efektif.

18
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek G.M., Howard B.K, Dochterman J.M. (2008). Nursing Interventions


Classifivation(NIC) fifth edition. St. Louis: Mosby Elseiver.

Burn, Catherine E, et all. (2004). Pediatric Primary Care : A Handbook for Nurse

Practitioner. USA : Saunders

Herdman, T. Heather. (2012). NANDA International Nursing Diagnoses: Definitions &

Classification 2012-2014. UK: Wiley‐Blacwell, A John Wiley & Sons Ltd

Kasjmir,Yoga dkk. (2011). Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia UntukDiagnosis


dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. PerhimpunanReumatologi Indonesia

King, Jennifer K; Hahn, Bevra H. (2007). Systemic lupus erythematosus: modern strategies for
management – a moving target. Best Practice & Research ClinicalRheumatology Vol.
21, No. 6, pp. 971–987, 2007 doi:10.1016/j.berh.2007.09.002available online at
http://www.sciencedirect.com

Malleson, Pete; Tekano, Jenny. (2007). Diagnosis And Management Of Systemic


LupusErythematosus In Children. Paediatrics And Child Health 18:2. Published
ByElsevier Ltd. Symposium: Bone & Connective Tissue.

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, ML., Swansosn, E. (2008). Nursing OutcomesClassification
(NOC) Fourth edition. St. Louis: Mosby Elseiver.

Sutarna, Agus, dkk. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong (Wong’s Essentials
ofPediatric Nursing). ED.6. Jakarta: EGC

Ward, Susan L and Hisley, Shelton M. (2009). Maternal-child nursing care:


optimizingoutcomes for mothers, children, and Families. United States of America :
F.A. DavisCompany

19

Anda mungkin juga menyukai