OLEH:
KELOMPOK 6
KELAS : DIII A
1. Definisi Halusinasi
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan sensori persepsi yang
dialami oleh pasien gangguan jiwa. Pasien merasakan sensasi berupa suara,
penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penghiduan tanpa stimulus yang
nyata Keliat, (2011) dalam Zelika, (2015). Halusinasi adalah persepsi sensori
yang salah atau pengalaman persepsi yang tidak sesuai dengan kenyataan
Sheila L Vidheak, (2001) dalam Darmaja (2014).
Menurut Surya, (2011) dalam Pambayung (2015) halusinasi adalah
hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan internal
(pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Halusinasi adalah persepsi
atau tanggapan dari pancaindera tanpa adanya rangsangan (stimulus) eksternal
(Stuart & Laraia, 2001). Halusinasi merupakan gangguan persepsi dimana
pasien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, yang dimaksud dengan
halusinasi adalah gangguan persepsi sensori dimana klien mempersepsikan
sesuatu melalui panca indera tanpa ada stimulus eksternal. Halusinasi berbeda
dengan ilusi, dimana klien mengalami persepsi yang salah terhadap stimulus,
salah persepsi pada halusinasi terjadi tanpa adanya stimulus eksternal yang
terjadi, stimulus internal dipersepsikan sebagai sesuatu yang nyata ada oleh
klien.
2. Etiologi
Menurut Stuart dan Laraia (2001) dalam Pambayun (2015), faktor-faktor
yang menyebabkan klien gangguan jiwa mengalami halusinasi adalah sebagai
berikut :
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor genetik
Secara genetik, skizofrenia diturunkan melalui kromosom-
kromosom tertentu. Namun demikian, kromosom ke berapa yang
menjadi faktor penentu gangguan ini sampai sekarang masih dalam
tahap penelitian. Anak kembar identik memiliki kemungkinan
mengalami skizofrenia sebesar 50% jika salah satunya mengalami
skizofrenia, sementara jika dizigote, peluangnya sebesar 15%. Seorang
anak yang salah satu orang tuanya mengalami skizofrenia berpeluang
15% mengalami skizofrenia, sementara bila kedua orang tuanya
skizofrenia maka peluangnya menjadi 35%.
b. Faktor neurobiologis
Klien skizofrenia mengalami penurunan volume dan fungsi otak
yang abnormal. Neurotransmitter juga ditemukan tidak normal,
khususnya dopamin, serotonin, dan glutamat.
1) Studi neurotransmitter
Skizofrenia diduga juga disebabkan oleh adanya
ketidakseimbangan neurotransmitter. Dopamin berlebihan, tidak
seimbang dengan kadar serotonin.
2) Teori virus
Paparan virus influenza pada trimester ketiga kehamilan dapat
menjadi faktor predisposisi skizofrenia.
3) Psikologis
Beberapa kondisi psikologis yang menjadi faktor predisposisi
skizofrenia antara lain anak yang diperlakukan oleh ibu yang
pencemas, terlalu melindungi, dingin, dan tak berperasaan,
sementara ayah yang mengambil jarak dengan anaknya.
2. Faktor Presipitasi
1) Berlebihannya proses informasi pada sistem saraf yang menerima dan
memproses informasi di thalamus dan frontal otak.
2) Mekanisme penghantaran listrik di syaraf terganggu.
3) Kondisi kesehatan, meliputi : nutrisi kurang, kurang tidur,
ketidakseimbangan irama sirkadian, kelelahan, infeksi, obat-obat
sistem syaraf pusat, kurangnya latihan, hambatan untuk menjangkau
pelayanan kesehatan.
4) Lingkungan, meliputi : lingkungan yang memusuhi, krisis masalah di
rumah tangga, kehilangan kebebasan hidup, perubahan kebiasaan
hidup, pola aktivitas sehari-hari, kesukaran dalam hubungan dengan
orang lain, isolasi social, kurangnya dukungan sosial, tekanan kerja,
kurang ketrampilan dalam bekerja, stigmatisasi, kemiskinan,
ketidakmampuan mendapat pekerjaan.
5) Sikap/perilaku, meliputi : merasa tidak mampu, harga diri rendah,
putus asa, tidak percaya diri, merasa gagal, kehilangan kendali diri,
merasa punya kekuatan berlebihan, merasa malang, bertindak tidak
seperti orang lain dari segi usia maupun kebudayaan, rendahnya
kernampuan sosialisasi, perilaku agresif, ketidakadekuatan
pengobatan, ketidakadekuatan penanganan gejala.
4. Jenis Halusinasi
Dibawah ini beberapa macam-macam dari halusinasi menurut (Stuart dan
Sudden tahun, 2007) :
a. Halusinasi Pendengaran
Klien mendengar suara atau bunyi yang tidak ada hubungannya dengan
stimulus yang nyata atau lingkungan. Data objektif klien berbicara atau
tertawa sendiri, marah-marah tanpa sebab, mendekatkan telinga kearah
tertentu dan menutup telinga. Data subjektif klien mendengar suara-suara
atau kegaduhan, mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap dan
mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya.
b. Halusinasi Penglihatan
Klien melihat gambaran yang jelas atau samar terhadap adanya stimulus
yang nyata dari lingkungan dan orang lain tidak melihatnya. Data
objektif menunjuk kearah tertentu dan ketakutan pada sesuatu yang tidak
jelas. Data subjektif melihat bayangan, sinar, bentuk geometris, kartun,
melihat hantu atau monster.
c. Halusinasi Penciuman
Klien mencium suatu bau yang muncul dari sumber tertentu tanpa
stimulus yang nyata. Data objektif mengendus-endus seperti sedang
membaui bau–bauan tertentu, dan menutup hidung. Data subjektif
membaui bau-bauan seperti bau darah, urine, feses dan terkadang bau-
bau tersebut menyenangkan bagi klien.
d. Halusinasi Perabaan
Klien merasakan sesuatu pada kulitnya tanpa ada stimulus yang nyata.
Data objektif klien menggaruk-garuk permukaan kulit. Data subjektif
klien mengatakan ada serangga di permukaan kulit dan merasa seperti
tersengat kulit.
e. Halusinasi Pengecapan
Klien merasakan sesuatu yang tidak nyata, biasanya merasakan rasa
makanan yang tidak enak. Data objektif sering meludah dan muntah.
Data subjektif merasakan rasa seperti darah, urine atau feses.
f. Halusinasi Kinestetik
Klien merasakan badannya bergerak dalam suatu ruangan atau anggota
badannya bergerak. Data objektif memegang kakinya yang dianggap
bergerak sendiri. Data subjektif klien mengatakan badannya melayang di
udara.
5. Tanda Gejala
Beberapa tanda dan gejala perilaku halusinasi adalah tersenyum
atautertawa yang tidak sesuai, menggerakkan bibir tanpa suara,
bicarasendiri, pergerakan mata cepat, diam, asyik dengan
pengalamansensori, kehilangan kemampuan membedakan halusinasi dan
realitas rentang perhatian yang menyempit hanya beberapa detik atau
menit, kesukaran berhubungan dengan orang lain, tidak mampu merawat
diri. Berikut tanda dan gejala menurut jenis halusinasi Stuart & Sudden,
(1998) dalam Yusalia (2015).
Jenis halusinasi Karakteriostik tanda dan gejala
Pendengaran Mendengar suara-suara / kebisingan,
paling sering suara kata yang jelas,
berbicara dengan klien bahkan
sampai percakapan lengkap antara
dua orang yang mengalami
halusinasi. Pikiran yang terdengar
jelas dimana klien mendengar
perkataan bahwa pasien disuruh
untuk melakukan sesuatu kadang-
kadang dapat membahayakan.
6. Fase Halusinasi
Halusinasi yang dialami oleh klien bisa berbeda intensitas dan
keparahannya Stuart & Sundeen, (2006) dalam Bagus, (2014), membagi fase
halusinasi dalam 4 fase berdasarkan tingkat ansietas yang dialami dan
kemampuan klien mengendalikan dirinya. Semakin berat fase halusinasi, klien
semakin berat mengalami ansietas dan makin dikendalikan oleh halusinasinya.
Fase halusinasi Karakteristik Perilaku pasien
1 2 3
Fase 1 : Comforting- Klien mengalami keadaan Menyeringai atau
ansietas tingkat emosi seperti ansietas, tertawa yang tidak
sedang, secara kesepian, rasa bersalah, dan sesuai, menggerakkan
umum, halusinasi takut serta mencoba untuk bibir tanpa
bersifat berfokus pada penenangan menimbulkan suara,
menyenangkan pikiran untuk mengurangi pergerakan mata yang
ansietas. Individu mengetahui cepat, respon verbal
bahwa pikiran dan yang lambat, diam dan
pengalaman sensori yang dipenuhi oleh sesuatu
dialaminya tersebut dapat yang mengasyikkan.
dikendalikan jika ansietasnya
bias diatasi
(Non psikotik)
Fase II: Pengalaman sensori bersifat Peningkatan sistem
Condemning- menjijikkan dan menakutkan, syaraf otonom yang
ansietas tingkat klien mulai lepas kendali dan menunjukkan ansietas,
berat, secara umum, mungkin mencoba untuk seperti peningkatan
halusinasi menjadi menjauhkan dirinya dengan nadi, pernafasan, dan
menjijikkan sumber yang dipersepsikan. tekanan darah;
Klien mungkin merasa malu penyempitan
karena pengalaman kemampuan
sensorinya dan menarik diri konsentrasi, dipenuhi
dari orang lain. dengan pengalaman
(Psikotik ringan) sensori dan kehilangan
kemampuan
membedakan antara
halusinasi dengan
realita.
Fase III: Klien berhenti menghentikan Cenderung mengikuti
Controlling-ansietas perlawanan terhadap petunjuk yang diberikan
tingkat berat, halusinasi dan menyerah pada halusinasinya daripada
pengalaman sensori halusinasi tersebut. Isi menolaknya, kesukaran
menjadi berkuasa halusinasi menjadi menarik, berhubungan dengan
dapat berupa permohonan. orang lain, rentang
Klien mungkin mengalarni perhatian hanya
kesepian jika pengalaman beberapa detik atau
sensori tersebut berakhir. menit, adanya tanda-
(Psikotik) tanda fisik ansietas
berat : berkeringat,
tremor, tidak mampu
mengikuti petunjuk.
Fase IV: Conquering Pengalaman sensori menjadi Perilaku menyerang-
Panik, umumnya mengancam dan menakutkan teror seperti panik,
halusinasi menjadi jika klien tidak mengikuti berpotensi kuat
lebih rumit, melebur perintah. Halusinasi bisa melakukan bunuh diri
dalam halusinasinya berlangsung dalam beberapa atau membunuh orang
jam atau hari jika tidak ada lain, Aktivitas fisik
intervensi terapeutik. yang merefleksikan isi
(Psikotik Berat) halusinasi seperti amuk,
agitasi, menarik diri,
atau katatonia, tidak
mampu berespon
terhadap perintah yang
kompleks, tidak mampu
berespon terhadap lebih
dari satu orang.
7. Mekanisme Koping
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi diri sendiri dari pengalaman
menakutkan yang berhubungan dengan respon neurobiologi pada halusinasi
pendengaran (Dalami, 2009: hal.27) adalah:
a. Regresi
Menghindari stress, kecemasan dan menampilkan perilakku kembali
seperti pada perilaku perkembangan anak atau berhubungan dengan
masalah proses informasi dan upaya untuk menanggulangi ansietas.
b. Proyeksi
Keinginan yang tidak dapat ditoleransi, mencurahkan emosi pada orang
lain karena kesalahan yang dilakukan diri sendiri (sebagai cara untuk
menjelaskan kerancuan persepsi)
c. Menarik Diri
8. Komplikasi
Dampak dari gangguan sensori persepsi: halusinasi menurut Stuart dan Laraia
2007 adalah :
a. Resiko perilaku kekerasan
Hal ini terjadi bahwa klien dengan halusinasi kronik cenderung untuk
marah-marah dan mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungannya.
b. Kerusakan interaksi sosial
Hal ini terjadi karena perilaku klien yang sering marah-marah dan resiko
melakukan kekerasan, maka lingkungan akan menjauh dan
mengisolasinya.
9. Penatalaksanaan Medis
Menurut Keliat (2011) dalam Pambayun (2015), tindakan keperawatan
untuk membantu klien mengatasi halusinasinya dimulai dengan membina
hubungan saling percaya dengan klien. Hubungan saling percaya sangat
penting dijalin sebelum mengintervensi klien lebih lanjut. Pertama-tama klien
harus difasilitasi untuk merasa nyaman menceritakan pengalaman aneh
halusinasinya agar informasi tentang halusinasi yang dialami oleh klien dapat
diceritakan secara konprehensif. Untuk itu perawat harus memperkenalkan
diri, membuat kontrak asuhan dengan klien bahwa keberadaan perawat adalah
betul-betul untuk membantu klien. Perawat juga harus sabar, memperlihatkan
penerimaan yang tulus, dan aktif mendengar ungkapan klien saat
menceritakan halusinasinya. Hindarkan menyalahkan klien atau
menertawakan klien walaupun pengalaman halusinasi yang diceritakan aneh
dan menggelikan bagi perawat. Perawat harus bisa mengendalikan diri agar
tetap terapeutik.
Setelah hubungan saling percaya terjalin, intervensi keperawatan
selanjutnya adalah membantu klien mengenali halusinasinya (tentang isi
halusinasi, waktu, frekuensi terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabkan
munculnya halusinasi, dan perasaan klien saat halusinasi muncul). Setelah
klien menyadari bahwa halusinasi yang dialaminya adalah masalah yang harus
diatasi, maka selanjutnya klien perlu dilatih bagaimana cara yang bisa
dilakukan dan terbukti efektif mengatasi halusinasi. Proses ini dimulai dengan
mengkaji pengalaman klien mengatasi halusinasi. Bila ada beberapa usaha
yang klien lakukan untuk mengatasi halusinasi, perawat perlu mendiskusikan
efektifitas cara tersebut. Apabila cara tersebut efektif, bisa diterapkan,
sementara jika cara yang dilakukan tidak efektif perawat dapat membantu
dengan cara-cara baru.
Menurut Keliat (2011) dalam Pambayun (2015), ada beberapa cara yang
bisa dilatihkan kepada klien untuk mengontrol halusinasi, meliputi :
a. Menghardik halusinasi.
Halusinasi berasal dari stimulus internal. Untuk mengatasinya,
klien harus berusaha melawan halusinasi yang dialaminya secara internal
juga. Klien dilatih untuk mengatakan, ”tidak mau dengar…, tidak mau
lihat”. Ini dianjurkan untuk dilakukan bila halusinasi muncul setiap saat.
Bantu pasien mengenal halusinasi, jelaskan cara-cara kontrol halusinasi,
ajarkan pasien mengontrol halusinasi dengan cara pertama yaitu
menghardik halusinasi:
b. Menggunakan obat.
Salah satu penyebab munculnya halusinasi adalah akibat
ketidakseimbangan neurotransmiter di syaraf (dopamin, serotonin). Untuk
itu, klien perlu diberi penjelasan bagaimana kerja obat dapat mengatasi
halusinasi, serta bagaimana mengkonsumsi obat secara tepat sehingga
tujuan pengobatan tercapai secara optimal. Pendidikan kesehatan dapat
dilakukan dengan materi yang benar dalam pemberian obat agar klien
patuh untuk menjalankan pengobatan secara tuntas dan teratur.
Keluarga klien perlu diberi penjelasan tentang bagaimana
penanganan klien yang mengalami halusinasi sesuai dengan kemampuan
keluarga. Hal ini penting dilakukan dengan dua alasan. Pertama keluarga
adalah sistem di mana klien berasal. Pengaruh sikap keluarga akan sangat
menentukan kesehatan jiwa klien. Klien mungkin sudah mampu mengatasi
masalahnya, tetapi jika tidak didukung secara kuat, klien bisa mengalami
kegagalan, dan halusinasi bisa kambuh lagi. Alasan kedua, halusinasi
sebagai salah satu gejala psikosis bisa berlangsung lama (kronis),
sekalipun klien pulang ke rumah, mungkin masih mengalami halusinasi.
Dengan mendidik keluarga tentang cara penanganan halusinasi,
diharapkan keluarga dapat menjadi terapis begitu klien kembali ke rumah.
Latih pasien menggunakan obat secara teratur.
c. Berinteraksi dengan orang lain.
Klien dianjurkan meningkatkan keterampilan hubungan sosialnya.
Dengan meningkatkan intensitas interaksi sosialnya, kilen akan dapat
memvalidasi persepsinya pada orang lain. Klien juga mengalami
peningkatan stimulus eksternal jika berhubungan dengan orang lain. Dua
hal ini akan mengurangi fokus perhatian klien terhadap stimulus internal
yang menjadi sumber halusinasinya. Latih pasien mengontrol halusinasi
dengan cara kedua yaitu bercakap-cakap dengan orang lain:
d. Beraktivitas secara teratur dengan menyusun kegiatan harian.
Kebanyakan halusinasi muncul akibat banyaknya waktu luang
yang tidak dimanfaatkan dengan baik oleh klien. Klien akhirnya asyik
dengan halusinasinya. Untuk itu, klien perlu dilatih menyusun rencana
kegiatan dari pagi sejak bangun pagi sampai malam menjelang tidur
dengan kegiatan yang bermanfaat. Perawat harus selalu memonitor
pelaksanaan kegiatan tersebut sehingga klien betul-betul tidak ada waktu
lagi untuk melamun tak terarah. Latih pasien mengontrol halusinasi
dengan cara ketiga, yaitu melaksanakan aktivitas terjadwal.
Mekanisme Koping
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi diri sendiri dari pengalaman
yang menakutkan berhubungan dengan respon neurobiology termasuk
a. Regresi, menghindari stress, kecemasan dan menampilkan perilaku
kembali seperti pada perilaku perkembangan anak atau berhubungan
dengan masalah proses informasi dan upaya untuk menanggulangi
ansietas
b. Proyeksi, keinginan yang tidak dapat ditoleransi, mencurahkan emosi
pada orang lain karena kesalahan yang dilakukan diri semdiri (sebagai
upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi)
c. Menarik diri, reaksi yang ditampilkan dapat berupa reaksi fisik maupun
psikologis, reaksi fisik yaitu individu pergi atau lari menghindar sumber
stressor, misalnya menjauhi polusi, sumber infeksi,gas beracun dll,
sedangkan reaksi psikologis individu menunjukan perilaku apatis,
mengisolasi diri, tidak berminat, sering disertai rasa takut dan
bermusuhan.
2. Diagnosa Keperawatan
Pohon masalah, menurut Budi Anna Keliat (1998), pohon masalah pada
perubahan persepsi sensori sebagai berikut :
PERENCANAAN
TG DX
L
TUJUAN KRITERIA INTERVENSI
EVALUASI
1 2 3 4 5
Gangguan Pasien mampu : Setelah …, pertemuan SP. 1 (Tgl … … … … … )
Sensori Mengenali pasien dapat Bantu pasien mengenal
Persepsi halusinasi yang menyebutkan : halusinasi :
Halusinasi dialaminya Isi, waktu, o Isi
Mengontrol frekuensi, situasi o Waktu terjadinya
halusinasinya pencetus, perasaan o Frekuensi
Mengikuti program Mampu o Situasi Pencetus
pengobatan secara memperagakan o Perasaan saat
optimal cara dalam terjadi halusinasi
mengontrol
Latih mengontrol halusinasi
halusinasi
dengan cara menghardik
Tahapan tindakannya meliputi :
o Jelaskan cara
menghardik halusinasi
o Peragakan cara
menghardik halusinasi
o Minta pasien
memperagakan ulang
o Pantau penerapan cara
ini, beri penguatan
perilaku pasien
o Masukkan dalam
jadwal kegiatan pasien.
Setelah …. , SP. 2 (Tgl … … … … …)
Pertemuan pasien Evaluasi kegiatan yang lalu
mampu : (SP 1)
Menyebutkan Latih berbicara/ bercakap
kegiatan yang dengan orang lain saat
sudah dilakukan halusinasi muncul
Memperagakan Masukkan dalam jadwal
cara bercakap- kegiatan pasien
cakap dengan
orang lain
4. Implementasi
Sebelum melakukan tindakan yang sudah direncanakan, perawat perlu
memvalidasi dengan singkat apakah rencana tindakan masih dibutuhkan klien
dan sesuai dengan kondisi saat ini (here and now). Pada saat akan
dilaksanakan tindakan keperawatan, perawat melakukan kontrak dengan klien
dengan menjelaskan apa yang akan dikerjakan dan peran serta klien yang
diharapkan.
Implementasi keperawatan yang dilakukan oleh perawat adalah sesuai
dengan strategi pelaksanaan (SP) yang telah dibuat. Strategi pelaksanaan yang
diberikan untuk pasien dan keluarga terdiri dari :
a) SP 1 yaitu membantu pasien mengenal halusinasi, menjelaskan cara
mengontrol halusinasi, mengajarkan pasien mengontrol halusinasi
dengan menghardik halusinasi.
b) SP 2 yaitu Melatih pasien mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap
bersama orang lain.
c) SP 3 yaitu melatih pasien mengontrol halusinasi dengan melaksanakan
aktivitas terjadwal.
d) SP 4 yaitu melatih pasien minum obat secara teratur.
Masalah Tindakan Keperawatan untuk Pasien Tindakan Keperawatan untuk
Keperawata Keluarga
n
Halusinasi SP I p SP I k
1. Mengidentifikasi jenis halusinasi 1. Mendiskusikan masalah yang
pasien dirasakan keluarga dalam merawat
2. Mengidentifikasi isi halusinasi pasien pasien
3. Mengidentifikasi waktu halusinasi 2. Menjelaskan pengertian, tanda
pasien dan gejala halusinasi, dan jenis
4. Mengidentifikasi frekuensi halusinasi halusinasi yang dialam pasien
pasien beserta proses terjadinya
5. Mengidentifikasi situasi yang 3. Menjelaskan cara-cara merawat
menimbulkan halusinasi pasien halusinasi
6. Mengidentifikasi respons pasien
terhadap halusinasi
7. Mengajarkan pasien menghardik
halusinasi
8. Menganjurkan pasien memasukkan
cara menghardik halusinasi dalam
jadwal kegiatan harian
SP II p SP II k
1. Mengvaluasi jadwal kegiatan harian 1. Melatih keluarga mempraktekkan
pasien cara merawat pasien dengan
2. Melatih pasien mengendalikan Halusinasi
halusinasi dengan cara bercakap-cakap 2. Melatih keluarga melakukan cara
dengan orang lain merawat langsung kepada pasien
3. Menganjukan pasien memasukkan halusinasi
dalam jadwal kegiatan harian
SP III p SP III k
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian 1. Membantu kelaurga membuat
pasien jadwal aktifitas di rumah termasuk
2. Melatih pasien mengendalikan minum obat (discharge planning)
halusinasi dengan melakukan kegiatyan 2. Menjelaskan follow up pasien
(kegiatan yang biasa dilakukan pasien) setelah pulang
3. Menganjurkan pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian
SP IV p
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian
pasien
2. Memberikan pendidikan kesehatan
tentang penggunaan obat secara teratur
3. Menganjurkan pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian
5. Evaluasi
Evaluasi keperawatan adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek
dari tindakan keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan terus menerus pada
respon klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan
(Keliat, 2005). Evaluasi digunakan sebagai alat ukur keberhasilan suatu
asuhan keperawatan yang telah dibuat. Adapun evaluasi yang dapat dilakukan
dengan menggunakan pendekatan SOAP (Keliat, 2005: hal 17) yaitu:
Darmaja, I.K. (2014). Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan Pada Tn.
“S” Dengan Perubahan Persepsi Sensori : Halusinasi Pendengaran
Diruang Kenari Rsj Dr. Radjiman Wedioningrat Lawang Malang.
Program Studi Profesi (Ners) Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Bakti
Indonesia Banyuwangi
Keliat Budi Ana. (2009). Gangguan Konsep Diri, Edisi I. Jakarta : EGC
Keliat Budi Ana. (2009). Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I. Jakarta :
EGC