Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II (KMB II)

ASUHAN KEPERAWATAN SLE (SISTEMIK LUPUS


ERITEMATOSUS) DAN REMATIK
Dosen Pembimbing:
Ainul Yakin Salam, S.Kep., Ns., M.Kep

Disusun Oleh Kelompok 3:


1. Alifah Wardatul J. (14201.12.20003)
2. Hosnol Khotimah (14201.12.20013)
3. Ima Amalia J. (14201.12.20015)
4. Indah Nur Kholiza (14201.12.20016)
5. Nur Faidah (14201.12.20032)
6. Qudsiatul Umniyah (14201.12.20034)
7. Silvia Nur A. (14201.12.20036)
8. Siti Zainab (14201.12.20041)

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


STIKES HAFSHAWATY ZAINUL HASAN GENGGONG
PAJARAKAN-PROBOLINGGO
TAHUN 2022/2023

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya
sehingga makalah dengan judul Asuhan Keperawatan Pada Kasus Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) ini dapat diselesaikan tepat waktu. Semoga shalawat serta salam
tercurah limpahkan kepada Nabi kita Muhammad SAW, juga segenap keluarga, dan para
sahabatnya.
Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. KH. Muhammad Hasan Mutawakkil Alallah, SH, MM. selaku Pembina Yayasan
Hafshawaty Pesantren Zainul Hasan Probolinggo.
2. Dr. H. Nur Hamim, S.KM., S.Kep.Ns., M.Kes selaku Ketua STIKes Hafshawaty
Pesantren Zainul Hasan Probolinggo.
Shinta Wahyusari, S.Kep.Ns., M.Kep, Sp.Kep.Mat selaku Kepala Prodi Sarjana Keperawatan
STIKes Hafshawaty Pesantren Zainul Hasan Probolinggo.

3. Ainul Yaqin Salam, S.Kep., Ns., M.Kep selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah
Keperawatan Medikal Bedah II.
4. Orang tua selaku pemberi dukungan moral dan material.
5. Rekan – rekan STIKes Hafshawaty Pesantren Zainul Hasan Probolinggo semester V.
Karena tanpa dukungan dan bimbingan beliau makalah ini tidak akan terselesaikan.
Seiring doa semoga semua kebaikan yang telah diberikan kepada saya mendapatkan balasan
yang berlipat ganda dari Allah SWT. Harapan penulis, semoga makalah ini dapat
bermanfaat baik untuk diri sendiri dan para pembaca untuk dijadikan referensi.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu,
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca untuk
kesempurnaan makalah ini.

Penyusun.
COVER

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


1.2 RUMUSAN MASALAH
1.3 TUJUAN

BAB II PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN
2.2 ETIOLOGI
2.3 TANDA DAN GEJALA
2.4 PATOFISIOLOGI
2.5 PATHWAY
2.6 PENATALAKSANAAN
2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG
2.8 ASKEP TEORI

BAB III PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
3.2 SARAN

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit inflamasi autoimun
kronis dengan etiologi yang belum diketahui serta manifestasi klinis, perjalanan
penyakit dan prognosis yang sangat beragam. Faktor genetik, imunologik dan
hormonal serta lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi SLE (Fajriansyah and
Najirman, 2019).
Insiden dan prevalensi SLE tertinggi ditemukan di Amerika Utara sebesar
23,2/100.000 penduduk/tahun dan 241/100.000 penduduk. Data poliklinik di beberapa
rumah sakit di Indonesia menunjukkan adanya peningkatan kunjungan pasien LES
yaitu 17,9-27,2% (tahun 2015), 18,7-31,5% (tahun 2016), dan 30,3-58% (tahun 2017).
Rasio perempuan dan laki-laki adalah 15:1 hingga 22:1. Rentang usia tertinggi 21-30
tahun. Insiden SLE juga ditemukan lebih tinggi pada ras Afrika, Asia dan Hispanik
dibandingkan Kaukasia, Kanada dan Spanyol.(Tanzilia, Tambunan and Dewi, 2021).
Di indonesia sendiri, menurut Yayasan Lupus Indonesia, jumlah penderita SLE
secara tepat belum diketahui, tetapi diperkirakan sama seperti jumlah penderita SLE di
Amerika yaitu 1,5 juta kasus dan terdapat 100 ribu kasus baru yang diperkirakan terjadi
setiap tahun.(Kementrian Kesehatan RI, 2017)
Menurut Pusat Data Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, dari sekitar 1,5
juta orang Indonesia yang terkena penyakit SLE, sangat sedikit yang menyadari bahwa
dirinya menderita penyakit tersebut. Hal ini disebabkan karena tanda dan gejala pada
pasien SLE sangatlah beragam, dimana gejala yang paling sering dilaporkan oleh
pasien SLE adalah demam, ruam kulit karena fotosensitif, sendi yang bengkak atau
nyeri, kelelahan, dan gangguan ginjal.
Dari berbagai fakta di berbagai sumber sehingga diharapkan dapat mengurangi
angka kejadian penderita SLE, maka sesuai dengan latar belakang diatas penulis
menuliskan makalah yang berjudul Konsep Asuhan Keperawatan Pada Kasus Systemic
Lupus Erythematosus (SLE).

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa pengertian dari SLE?
2. Bagaimana etiologi dari SLE?
3. Bagaimana tanda dan gejala dari SLE?
4. Bagaimana patofisiologi dari SLE?
5. Seperti apa pathway dari SLE?
6. Apa saja penatalaksanaan dari SLE?
7. Pemeriksaan penunjang apa saja yang bisa dilakukan oleh penderita SLE?
8. Bagaimana Askep Teori dari SLE?

1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian SLE.
2. Untuk mengetahui etiologi dari SLE.
3. Untuk mengetahui tanda dan gejala dari SLE.
4. Untuk mengetahui patofisiologi dari SLE.
5. Untuk mengetahui pathway dari SLE.
6. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari SLE.
7. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari SLE.
8. Untuk mengetahui Askep Teori dari SLE.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN

 Lupus eritematosus

Penyakit sistemik lupus eritematosus (SLE) adalah penyakit inflamasi autoimun


kronis dengan manifestasi klinis yang tidak sempit serta perjalanan penyakit dan
prognosis yang beragam. Istilah ‘lupus’ (bahasa Latin untuk wolf) pertama kali
digunakan untuk mendeskripsikan lesi kulit erosif (‘wolf’s bite) (Tanzilia, Tambunan
and Dewi, 2021).
Penyakit SLE adalah gangguan auto imun multisystem yang mempengaruhi
imunitas humoral dan selular. Penyakit SLE dapat menyerang banyak system organ
sehingga awitan dan rangkaian penyakit sedikit beragam.
SLE biasanya di diagnosis setelah 5 tahun (biasanya antara usia 15 sampai 45
tahun), tetapi dapat terjadi pada setiap usia. Rasio wanita terhadap pria untuk orang
yang terkena SLE adalah 4:1 pada masa kanak-kanak dan 9:1 pada masa remaja. SLE
lebih umum terjadi pada orang non-Kaukasia dan umumnya anak serta remaja Afrika
Amerika dan Hispanik mengalami efek yang lebih berat akibat SLE dibandingkan
kelompok ras atau etnis lain (Gitleman, 2020).
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah suatu kelainan autoimun
multisistem kronik yang manifestasi klinis dan prognosisnya sangat beragam dan luas
dimana memerlukan keterlibatan tenaga medis dalam melakukan proses
penyembuhannya (Jenggawah et al., 2020).
Lupus adalah penyakit inflamasi kronis sistemik yang disebabkan oleh sistem
kekebalan tubuh yang keliru sehingga mulai menyerang jaringan dan organ tubuh
sendiri. Inflamasi akibat lupus dapat menyerang berbagai bagian tubuh, misalnya kulit,
sendi, sel darah, paru-paru, jantung. (Kementrian Kesehatan RI, 2017).

 Rematik
Penyakit reumatik adalah penyakit inflamasi non- bakterial yang bersifat sistemik,
progesif, cenderung kronik dan mengenai sendi serta jaringan ikat sendi secara simetris
(Rasjad Chairuddin, Pengantar Ilmu Bedah Orthopedi, hal. 165).
Reumatoid arthritis adalah gangguan autoimun kronik yang menyebabkan proses inflamasi
pada sendi.
Reumatik dapat terjadi pada semua jenjang umur dari kanak-kanak sampai usia lanjut.
Namun resiko akan meningkat dengan meningkatnya umur.
Artritis Reumatoid adalah penyakit autoimun sistemik kronis yang tidak diketahui
penyebabnya dikarekteristikan dengan reaksi inflamasi dalam membrane sinovial yang
mengarah pada destruksi kartilago sendi dan deformitas lebih lanjut.
Artritis Reumatoid (AR) adalah kelainan inflamasi yang terutama mengenai membran
sinovial dari persendian dan umumnya ditandai dengan dengan nyeri persendian, kaku
sendi, penurunan mobilitas, dan keletihan.
Artritis rematoid adalah suatu penyakit inflamasi kronik dengan manifestasi utama
poliartritis progresif dan melibatkan seluruh organ tubuh.

2.2 ETIOLOGI
 Menurut (Hikmah & Rendi, 2018) penyebab lupus dibagi menjadi 2 faktor,
antara lain :
a. Faktor Genetik
Jumlah, usia, dan usia anggota keluarga yang menderita penyakit autoimun
menentukan frekuensi autoimun pada keluarga tersebut. Pengaruh riwayat keluarga
terhadap terjadinya SLE pada individu tergolong rendah, yaitu 3-18%. Faktor
genetik dapat mempengaruhi keparahan penyakit dan hubungan familial ini
ditemukan lebih besar pada kelaurga dengan kondisi sosial ekonomi yang tinggi.
b. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya SLE antara lain:
1) Hormon, Hormon estrogen dapat merangsang sistem imun tubuh dan SLE
sering terjadi pada perempuan dan terjadi pasa usia reporduktif dimana terdapat
kadar estrogen yang tinggi.
2) Obat-obatan, beberapa obat dapat menyebabkan terjadinya gangguan sistem
imun melalui mekanisme molecular mimicry, yaitu molekul obat memiliki
struktur yang sama dengan molekul di dalam tubuh sehingga menyebabkan
gangguan toleransi imun.
3) Infeksi, infeksi dapat memicu respon imun dan pelepasan isi sel yang rusak
akibat infeksi dan dapat meningkatkan respon imun sehingga menyebabkan
penyakit autoimun.
4) Paparan sinar ultraviolet, adanya paparan sinar ultraviolet dapat menyebabkan
kerusakan dan kematian sel kulit dan berkaitan dengan fotosensitivitas pada
SLE.
 Penyebab rematik
Etiologi penyakit ini tidak diketahui secara pasti. Namun ada beberapa faktor
resiko yang diketahui berhubungan dengan penyakit ini, antara lain;
1) Usia lebih dari 40 tahun
Dari semua faktor resiko untuk timbulnya osteoartritis, faktor penuaan adalah yang
terkuat. Akan tetapi perlu diingat bahwa osteoartritis bukan akibat penuaan saja.
Perubahan tulang rawan sendi pada penuaan berbeda dengan eprubahan pada
osteoartritis.
2) Jenis kelamin wanita lebih sering
Wanita lebih sering terkena osteosrtritis lutut dan sendi. Sedangkan laki-laki lebih
sering terkena osteoartritis paha, pergelangan tangan dan leher. Secara keseluruhan,
dibawah 45 tahun, frekuensi psteoartritis kurang lebih sama antara pada laki-laki dan
wanita, tetapi diats usia 50 tahunh (setelah menopause)frekuensi osteoartritis
lebih banyak pada wanita daripada pria. Hal ini menunjukkan adanya peran
hormonal pada patogenesis osteoartritis.
3) Suku bangsa
Nampak perbedaan prevalensi osteoartritis pada masingn-masing suku bangsa. Hal
ini mungkin berkaitan dnegan perbedaan pola hidup maupun perbedaan pada
frekuensi kelainan kongenital dan pertumbuhan tulang.
4) Genetik
Hal ini terbukti dari terdapatnya hubungan antara produk kompleks
histokompatibilitas utama kelas II, khususnya HLA-DR4 dengan AR seropositif.
Pengemban HLA-DR4 memiliki resiko relative 4 : 1 untuk menderita penyakit ini.
5) Kegemukan dan penyakit metabolic
Berat badan yang berlebih, nyata berkaitan dengan meningkatnya resiko untuk
timbulnya osteoartritis, baik pada wanita maupun pria. Kegemukan ternyata tidak
hanya berkaitan dengan oateoartritis pada sendi yang menanggung beban berlebihan,
tapi juga dnegan osteoartritis sendi lain (tangan atau sternoklavikula). Olehkarena itu
disamping faktor mekanis yang berperan (karena meningkatnya beban mekanis),
diduga terdapat faktor lain (metabolit) yang berpperan pada timbulnya kaitan
tersebut.
6) Cedera sendi, pekerjaan dan olahraga
Pekerjaan berat maupun dengan pemakaian satu sendi yang terus menerus berkaitan
dengan peningkatan resiko osteoartritis tertentu. Olahraga yang sering menimbulkan
cedera sendi yang berkaitan dengan resiko osteoartritis yang lebih tinggi.
7) Kelainan pertumbuhan Kelainan kongenital dan pertumbuhan paha telah dikaitkan
dengan timbulnya oateoartritis paha pada usia muda.
8) Kepadatan tulang
Tingginya kepadatan tulang dikatakan dapat meningkatkan resiko timbulnya
osteoartritis. Hal ini mungkin timbul karena tulang yang lebih padat (keras) tidak
membantu mengurangi benturan beban yang diterima oleh tulang rawan sendi.
Akibatnya tulang rawan sendi menjadi lebih mudah robek.

2.3 TANDA DAN GEJALA


 tanda dan gejala khas SLE, anatara lain: (Nurin, 2021)
a. Lemas, lesu, dan tidak bertenaga
b. Nyeri sendi dan bengkak atau kekakuan, biasanya di tangan, pergelangan tangan
dan lutut
c. Memiliki bintil merah pada bagian tubuh yang sering terkena matahari, seperti
wajah (pipi dan hidung)
d. Fenomena Raynaud membuat jari berubah warna dan menjadi terasa sakit ketika
terkena dingin
e. Sakit kepala
f. Rambut rontok
g. Pleurisy (radang selaput paru-paru), yang dapat membuat bernapas terasa
menyakitkan, disertai sesak napas
h. Bila ginjal terkena dapat menyebabkan tekanan darah tinggi dan gagal ginjal
Menurut Pusdatin (2017) menjelaskan bahwa gejala lupus tanpa melihat jenis
kelamin, meliputi : Keletihan; sakit kepala; nyeri atau bengkak sendi; demam; anemia;
nyeri dada ketika menarik nafas panjang; ruam kemerahan pada pipi hingga hidung,
polanya seperti kupu-kupu; sensitive terhadap cahaya atau cahaya matahari; rambut
rontok sampai kebotakan; perdarahan yang tidak biasa; jari-jari berubah kebiruan
ketika dingin; sariawan di mulut atau koreng di hidung.
 Tanda dan gejala rematik
a. Nyeri sendi
Keluhan ini merupakan keluhan utama. Nyeri biasanya bertambah dengan gerakan
dan sedikit berkurang dengan istirahat. Beberapa gerakan tertentu kadang-kadang
menimbulkan rasa nyeri yang lebih dibandingkan gerakan yang lain.
b. Hambatan gerakan sendi
Gangguan ini biasanya semakin bertambah berat dengan pelan-pelan sejalan
dengan bertambahnya rasa nyeri.
c. Kaku pagi
Pada beberapa pasien, nyeri sendi yang timbul setelah immobilisasi, seperti duduk
dari kursi, atau setelah bangun dari tidur.
d. Krepitasi
Rasa gemeretak (kadang-kadang dapat terdengar) pada sendi yang sakit.
e. Pembesaran sendi (deformitas)
Pasien mungkin menunjukkan bahwa salah satu sendinya (lutut atau tangan yang
paling sering) secara perlahan-lahan membesar.
f. Perubahan gaya berjalan
Hampir semua pasien osteoartritis pergelangan kaki, tumit, lutut atau panggul
berkembang menjadi pincang. Gangguan berjalan dan gangguan fungsi sendi yang
lain merupakan ancaman yang besar untuk kemandirian pasien yang umumnya tua
(lansia).
2.4 PATOFISIOLOGI
 lupus eritematosus
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan ekebalan yang
menyebabkan peningkatan peningkatan autoimun autoimun yang yang berlebihan.
berlebihan. Gangguan Gangguan imunoregulasi imunoregulasi ini ini ditimbulkan
ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana
terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan
lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin,
prokainamid, prokainamid, isoniazid, isoniazid, klorpromazin klorpromazin dan dan
beberapa beberapa preparat preparat antikonvulsan antikonvulsan di samping makanan
seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau
obat-obatan.
Patofiologi penyakit SLE dihipotesiskan sebagai berikut : adanya satu atau
beberapa beberapa faktor faktor pemicu pemicu yang yang tepat tepat pada pada
individu individu yang yang mempunyai mempunyai predisposisi predisposisi genetik
akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel TCD 4+, mengakibatkan
hilangnya toleransi sel T terhadap sel-antigen.
Sebagai akibatnya munculah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi
serta ekspansi sel B, baik yang memproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel
memori. Ujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk
didalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam infeksi.
Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutama
terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non
histon.Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat
protein dan atau kompleks protein RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein
(RNA). Ciri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-spesific dan
merupakan komponen integral semua jenis sel.Antibodi ini secara bersama-sama
disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan antigennya yang spesifik, ANA
membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi. Telah ditunjukkan bahwa
penanganan kompleks imun pada SLE terganggu. Dapat berupa berupa gangguan
gangguan klirens klirens kompleks kompleks imun imun besar besar yang l yang larut,
arut, gangguan pemprosesan kompleks imun dalam hati, dan kompleks imun dalam
hati, dan penurun penurun
Uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan
terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks
imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi
komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang
menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yang
menyebabkan timbulnya keluhan/ gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan
seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya. Bagian yang
penting dalam patofisiologi ini ialah terganggunya mekanisme regulasi yang dalam
keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu yang resisten.
 Rematik

Inflamasi mula-mula mengenai sendi-sendi sinovial seperti edema, kongesti


vaskular, eksudat febrin dan infiltrasi selular. Peradangan yang berkelanjutan,
sinovial menjadi menebal, terutama pada sendi artikular kartilago dari sendi. Pada
persendian ini granulasi membentuk pannus, atau penutup yang menutupi
kartilago. Pannus masuk ke tulang sub chondria. Jaringan granulasi menguat
karena radang menimbulkan gangguan pada nutrisi kartilago artikuer. Kartilago
menjadi nekrosis.
Tingkat erosi dari kartilago menentukan tingkat ketidakmampuan sendi.
Bila kerusakan kartilago sangat luas maka terjadi adhesi diantara permukaan sendi,
karena jaringan fibrosa atau tulang bersatu (ankilosis). Kerusakan kartilago dan
tulang menyebabkan tendon dan ligamen jadi lemah dan bisa menimbulkan
subluksasi atau dislokasi dari persendian. Invasi dari tulang sub chondrial bisa
menyebkan osteoporosis setempat.
Lamanya arthritis rhematoid berbeda dari tiap orang. Ditandai dengan masa
adanya serangan dan tidak adanya serangan. Sementara ada orang yang sembuh
dari serangan pertama dan selanjutnya tidak terserang lagi. Yang lain. terutama
yang mempunyai faktor rhematoid (seropositif gangguan rhematoid) gangguan
akan menjadi kronis yang progresif.
2.5 PATHWAY
Genetik, kuman, virus,lingkungan, hormon, obat-obatan

Gangguan imunoregulasi

Antibodi yang berlebihan

Sel T supresor yang abnormal

Antibody menyerang organ-organ


Tubuh (sel,jaringan)

Penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan


Penyakit SLE
Mencetus penyakit inflamasi pada organ

Muskuluskletal Integumen Cardiak Respirasi

Pembengkakan Sendi Adanya lesi akut Perikarditis Pleuritis


Pada kulit (ruam berbentuk
kupu-kupu) Penumpukan Penumpukan
Pangkal hidung dan pipi cairan pada cairan
-Artlargia perikardium pada pleura
-Arthritis Pasien merasa malu
dengan kondisinya Penebalan Efusi pleura
(sinovitis) perikardium
-Nyeri tekan dan
Rasa nyeri ketika Gangguan Kontraksi Ekspansi
Bergerak Citra jantung dada
Tubuh Tidak adekuat

Nyeri
Penurunan Pola Napas
Akut
Curah Jantung Tidak
Efektif

2.6 PENATALAKSANAAN
 lupus eritematosus
Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan jenis
gangguan organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan organ
yang sudah terjadi. Adanya infeksi dan proses penyakit bisa dipantau dari pemeriksaan
serologis. Monotoring dan evaluasi bisa dilakukan dengan parameter laboratorium
yang dihubungkan dengan aktivitas penyakit.
a. Pendidikan terhadap Pasien
Pasien diberikan penjelasan mengenai penyakit yang dideritanya (perjalanan
penyakit, komplikasi, prognosis), sehingga dapat bersikap positif terhadap
penanggulangan penyakit.
b. Beberapa Prinsip Dasar Tindakan Pencegahan pada SLE
1. Monitoring yang teratur
2. Penghematan energy
Pada kebanyakan pasien kelelahan merupakan keluhan yang menonjol.
Diperlukan waktu istirahat yang terjadwal setiap hari dan perlu ditekankan
pentingnya tidur yang cukup.
3. Fotoproteksi
Kontak dengan sinar matahari harus dikurangi atau dihindarkan. Dapat juga
digunakan lotion tertentu untuk mengurangi kontak dengan sinar matahari
langsung.
4. Mengatasi infeksi
Pasien SLE rentan terhadap infeksi. Jika ada demam yang tak jelas sebabnya,
pasien harus memeriksanya.
5. Merencanakan kehamilan
Kehamilan harus dihindarkan jika penyakit aktif atau jika pasien sedang
mendapatkan pengobatan dengan obat imunosupresif.
c. Pengobatannya
1. Lupus discoid
Terapi standar adalah fotoproteksi, anti-malaria dan steroid topikal. Krim
luocinonid 5% lebih efektif dibandingkan krim hidrokrortison 1%. Terapi
dengan hidroksiklorokuin efektif pada 48% pasien dan acitrenin efektif
terhadap 50% pasien.
2. Serositis lupus (plueritis, perikarditis)
Standar terapi adalah NSAIDs (dengan pengawasan ketat terhadap gangguan
ginjal), anti-malaria dan kadang-kadang diperlukan steroid dosis rendah.
3. Arthritis lupus
Untuk keluhan muskuloskeletal, standar terapi adalah NSAIDs dengan
pengawasan ketat terhadap gangguan ginjal dan ati-malaria. Sedangkan untuk
keluhan myalgia dan gejala depresi diberikan serotonin reuptake inhibitor
antidepresan (amitriptilin)
4. Miositis lupus
Standar terapi adalah kortikosteroid dosis tinggi (dimulai dengan prednison
dosis 1-2 mg/kg/hari dalam dosis terbagi, bila kadar komplemen meningkat
mencapai dosis efektif terendah. Metode lain yang digunakan untuk mencegah
efek samping pemberian harian adalah dengan cara pemberian prednison dosis
alternate yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari, tak lebih 150-250 mg) metrotreksat
atau azathioprine.
5. Fenomena Raynaud
Standar terapinya adalah calcium channel blockers, misalnya nifedipin dan
nitrat, misalnya isosorbid mononitrat.
6. Lupus nefritis
Lupus nefritis kelas II mempunyai prognosis yang baik dan membutuhkan
terapi minimal. Peningkatan proteinuria harus diwaspadai karna
menggambarkan perubahan status penyakit menjadi lebih parah. Lupus nefritis
III memerlukan terapi yang sama agresifnya dengan DPGN. Pada lupus nefritis
IV kombinasi kortikosteroid dengan siklofosfamid intravena. Siklofosfamid
intravena diberikan setiap bulan, setelah 10-14 hari pemberian, diperiksa kadar
leukositnya. Dosis siklofosfamid selanjutnya akan dinaikkan atau diturunkan
tergantung pada jumlah leukositnya (normalnya 3.000-4.0000/ml).
Pada lupus nefritis V regimen terapi yang di berikan adalah
- Monoterapi dengan kortikosteroid.
- Terapi kombinasi kortikosteroid dengan siklosporin A.
- Sikofosfamid, azathioprine atau klorambusil. Pada lupus nefritis V tahap
lanjut, pilihan terapinya adalah dialisis dan transplantasi renal.
7. Gangguan hematologis
Untuk trombositopeni, terapi yang dipertimbangkan pada kelainan ini adalah
kortikosteroid, imunoglobulin intravena. Sedangkan untuk anemi hemolitik,
terapi yang dipertimangkan adalah kortikosteroid, danazol, dan spelenektomi.
8. Pneumonitis intersititialis lupus
Obat yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan siklfosfamid
intravena.
9. Vaskulitis lupus dengan keterlibatan organ penting
Obat yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan siklfosfamid
intravena
 Rematik
- Medikamentosa
Tidak ada pengobatan medikamentosa yang spesifik, hanya bersifat simtomatik. Obat
antiinflamasi nonsteroid (OAINS) bekerja hanya sebagai analgesik dan mengurangi
peradangan, tidak mampu menghentikan proses patologis
- Istirahatkan sendi yang sakit, dihindari aktivitas yang berlebihan pada sendi yang
sakit.
- Mandi dengan air hangat untuk mengurangi rasa nyeri
- Lingkungan yang aman untuk melindungi dari cedera
- Dukungan psikososial
- Fisioterapi dengan pemakaian panas dan dingin, serta program latihan yang tepat
- Diet untuk menurunkan berat badan dapat mengurangi timbulnya keluhan
- Kompres dengan es saat kaki bengkak dan kompres air hangat saat nyeri
- Konsumsi makanan yang mengandung protein dan Vitamin
- Diet rendah purin:
- Tujuan pemberian diet ini adalah untuk mengurangi pembentukan asam urat dan
menurunkan berat badan, bila terlalu gemuk dan mempertahankannya dalam batas
normal. Bahan makanan yang boleh dan yang tidak boleh diberikan pada penderita
osteoarthritis

- Golongan Makanan yang Makanan yang tidak


bahan boleh boleh diberikan
- makanan diberikan
Karbohidrat Semua –
Protein hewani Daging atau ayam, ikan Sardin, kerang, jantung,
tongkol, bandeng 50 hati, usus, limpa, paru-
gr/hari, telur, susu, keju paru, otak, ekstrak
daging/ kaldu, bebek,
angsa, burung.
Protein nabati Kacang-kacangan –
kering
25 gr atau tahu, tempe,
oncom
Lemak Minyak dalam jumlah –
terbatas.
Sayuran Semua sayuran Asparagus, kacang
sekehendak kecuali: polong, kacang buncis,
asparagus, kacang kembang kol, bayam,
polong, kacang buncis, jamur maksimum 50 gr
kembang kol, bayam, sehari
jamur maksimum 50 gr
sehari
Buah-buahan Semua macam buah -

Minuman Teh, kopi, minuman Alkohol


yang
mengandung soda
Bumbu, dll Semua macam bumbu Ragi

2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG


 lupus eritematosus
Beberapa pemeriksaan penunjaang yang dilakukan pada SLE, antara lain :
(Hikmah and Prihaningtyas, 2018)
1. Pemeriksaan Foto rontgen
Lupus dapat menyebabkan peradangan paru-paru , ditandai dengan adanya
cairan pada paru-paru. Pemeriksaan Rontgen dapat mendeteksi adanya cairan paru-
paru tersebut, seperti efusi pericard atau efusi pleura.
2. Pemeriksaan Elektrokardiografi (rekam jantung)
Untuk mencari apakah ada tanda kelainan jantung
3. Pemeriksaan Ekokardiografi
Untuk mendeteksi aktivitas jantung dan denyut jantung menggunakan
gelombang suara. Kerusakan katup dan otot jantung pada penderita lupus, dapat
diketahui melalui ekokardiografi.

4. Biopsi ginjal
Dapat dilakukan jika terdapat keterlibatan ginjal/lupus nefritis.
5. Biopsi kulit
Untuk mencari apakah terdapat kelainan di otak, seperti vaskulitis atau strok
6. MRI Kepala
Jika ditemukan kelainan yang tidak jelas

Gold Standart Pemeriksaan SLE: Pemeriksaan ANA (Antinuclear antibody).


Pemeriksaan ini digunakan untuk memeriksa keberadaan sel antibodi tertentu dalam
darah dimana kebanyakan pengidap SLE memilikinya. Sekitar 98% penderita lupus
memiliki hasil positif jika dilakukan tes ANA sehingga ini merupakan metode yang
paling sensitif dalam memastikan diagnosis.
 Rematik
- Sinar X dari sendi yang sakit : menunjukkan pembengkakan pada jaringan lunak,
erosi sendi, dan osteoporosis dari tulang yang berdekatan ( perubahan awal )
berkembang menjadi formasi kista tulang, memperkecil jarak sendi dan
subluksasio. Perubahan osteoartristik yang terjadi secara bersamaan.
- Scan radionuklida :mengidentifikasi peradangan sinovium
- Artroskopi Langsung : Visualisasi dari area yang menunjukkan
irregularitas/degenerasi tulang pada sendi
- Aspirasi cairan sinovial : mungkin menunjukkan volume yang lebih besar dari
normal: buram, berkabut, munculnya warna kuning (respon inflamasi, produk-
produk pembuangan degeneratif ); elevasi SDP dan lekosit, penurunan viskositas
dan komplemen (C3 dan C4).
- Biopsi membran sinovial : menunjukkan perubahan inflamasi dan perkembangan
panas.
2.8 ASKEP TEORI
1. Pengkajian Keperawatanan
a. Pengkajian
Meliputi nama, jenis kelamin, (lupus bisa menyerang pria maupun
wanita, namun 10-15 kali lebih sering ditemukan pada wanita), umur (Lupus
bisa menyerang usia berapapun, meningkatnya gejala penyakit ini pada masa
sebelum menstruasi dan/ atau selama kehamilan/ antara usia 15-40 tahun),
alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan (untuk mengetahui
penularan melalui cairan tubuh atau cairan vagina), pendidikan, pekerjaan, ras,
suku/ bangsa, no.register, tanggal masuk rumah sakit, alasan berobat ke fasilitas
kesehatan serta harapan pasien.

b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama
Biasanya klien yang mempunyai penyakit SLE ini mengeluh mudah lelah,
lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut
terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
2) Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien biasanya mengeluh mudah lelah, nyeri dan kaku, tetapi respon tiap
orang berbeda terhadap tanda dan gejala SLE tergantung imunitas masing-
masing.
3) Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit dahulu walaupun tidak terlalu spesifik biasanya akan
didapatkan adanya keluhan mudah lelah, nyeri, kaku, anoreksia dan
penurunan berat badan secara signifikan.
4) Riwayat Kesehatan Keluarga
Pasien yang mempunyai keluarga yang pernah terkena penyakit Lupus ini
dicurigai berkecenderungan untuk terkena penyakit ini, kurang lebih5-12%
lebih besar dibanding orang normal.
c. Riwayat Bio-Psiko-Sosial
1) Persepsi - Manajemen Kesehatan
Biasanya klien tidak sadar akan penyakitnya, meski gejala demam
dirasakan klien menganggap hanya demam biasa.
2) Nutrisi – Metabolik
Biasanya, penderita SLE akan banyak kehilangan berat badan karena
kurang nafsu makan serta mual muntah yang dirasakan.
3) Eliminasi
Secara klinis, biasanya penderita SLE akan mengalami diare.
4) Aktivitas – Latihan
Penderita SLE biasanya mengeluhkan kelelahan serta nyeri pada bagian
sendinya, sehingga pola aktivitas – latihan klien terganggu.
5) Istirahat – Tidur
Klien dapat mengalami gangguan dalam tidur karena nyeri sendi yang
dirasakannya.
6) Kognitif – Persepsi
Pada penderita SLE, daya perabaannya akan sedikit terganggu bila terdapat
lesi pada jari-jari tangannya. Pada sistem neurologis, penderita dapat
mengalami depresi dan psikologis.
7) Konsep diri
Dengan adanya lesi kulit yang bersifat irreversible yang menimbulkan
bekas dan warna yang buruk pada kulit, penderita SLE akan merasa
terganggu dan malu.
8) Peran – Hubungan
Penderita SLE tidak mampu melakukan pekerjaan seperti biasanya selama
sakit, namun masih dapat berkomunikasi.
9) Seksual – Reproduksi
Biasanya, penderita SLE tidak mengalami gangguan dalam aktivitas seksual
dan reproduksi.
10) Koping – Stress
Biasanya penderita mengalami depresi dengan penyakitnya dan juga stress
karena nyeri yang dirasakan. Untuk menghadapi penyakitnya, klien butuh
dukungan dari keluarga serta lingkungannya demi kesembuhan klien.
11) Nilai – Kepercayaan
Biasanya aktivitas ibadah klien terganggu karena keterbatasan aktivitas
karena nyeri yang dirasakan.
d. Pemeriksaan Fisik
1) Kepala
Biasanya pada penderita SLE mengalami lesi pada kulit kepala dan
kerontokan yang sifatnya reversibel dan rambut yang hilang akan tumbuh
kembali.
2) Wajah
Biasanya pada penderita SLE terdapat ruam kupu-kupu pada wajah.
3) Telinga
Biasanya pada penderita SLE tidak selalu ditemukan lesi di telinga.
4) Mulut
Biasanya pada penderita SLE sekita 20% terdapat lesi di mukosa mulut.

5) Leher
Biasanya pada penderita SLE tiroidnya mengalami abnormal,
hyperparathyroidisme, intolerance glukosa.
6) Paru-paru
Biasanya pada penderita SLE mengalami pleurisy, pleural effusion,
pneumonitis, interstilsiel fibrosis,. Biasanya penderita SLE sering timbul
nyeri dada dan sesak napas.
7) Jantung
Biasanya pada penderita SLE dapat mengalami perikarditis, myokarditis,
endokarditis, vaskulitis.
8) Gastro Intestinal
Biasanya pada penderita SLE mengalami hepatomegaly/ pembesaran hepar,
nyeri pada perut.
9) Ekstremitas
Pada penderita SLE sering dijumpai lesi vaskulitik pada jari-jari tangan dan
jari-jari kaki, juga sering merasakan nyeri sendi.
10) Sistem Integumen
Biasanya pada penderita SLE cenderung mengalami kelainan kulit eritema
molar yang bersifat irreversible. Biasanya penderita SLE dapat ditemukan
bercak dikulit dan bintik merah di kulit.
11) Muskuluskletal
Biasnya penderita mengalami arthralgis, synmetric polyarthitis, efusi dan
joint swelling.
12) Sensori
Biasanya pada penderita SLE dapat mengalami konjungtivitis, photophobia.
13) Neurologis
Biasanya pada penderita mengalami depresi, psychosis, neuropathies.
2. Diagnosa Keperawatan
Menurut standar diagnosis keperawatan Indonesia definisi dan indikator (Tim
Pokja DPP PPNI SDKI, 2017). Diagnosa yang lazim terjadi pada klien yang
mengalami SLE adalah :
a. Nyeri Kronis b.d kondisi muskuloskeletal kronis
b. Intoleransi Aktivitas b.d kelemahan
c. Keletihan b.d kondisi fisiologis (mis. Penyakit kronis, penyakit terminal,
anemia, malnutrisi, kehamilan)
d. Risiko Infeksi d.d ketidakadekuatan pertahanan tubuh sekunder
imununosupresi.

3. INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa
No Keperawatan yang Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
Mungkin Muncul
1. Nyeri Kronis b.d Setelah dilakukan Manajemen Nyeri
kondisi intervensi dalam 1x4 jam, Observasi
muskuloskeletal masalah Nyeri Kronis 1. Identifikasi lokasi,
kronis diatasi dengan kriteria karakteristik, durasi,
hasil sebagai berikut : frekuensi, kualitas,
Tingkat Nyeri (L.08066) intensitas nyeri
1. Keluhan nyeri 2. Identifikasi skala nyeri
(Nilai: 5) 3. Identifikasi faktor yang
2. Meringis memperberat dan
(Nilai: 5) memperingan nyeri
3. Gelisah 4. Monitor efek samping
(Nilai: 5) penggunaan analgetik
4. Frekuensi Nadi Terapeutik
(Nilai: 5) 1. Berikan teknik
nonfarmakologis
untukmengurangi nyeri
(mis. TENS, hipnosis,
akupresur, terapi musik,
terapi pija,dll)
2. Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
(mis. Suhu ruangan,
pencahayaan)
Edukasi
1. Anjurkan menggunakan
analgetik yang tepat
2. Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Pemberian Analgetik
Observasi
1. Identifikasi kesesuaian
jenis analgetik (mis.
Narkotika, non-narkotik,
atau NSAID) dengan
tingkat keparahan nyeri
Terapeutik
1. Tetapkan target
efektifitas analgetik
untuk mengoptimalkan
respons pasien
Edukasi
1. Jelaskan efek terapi dan
efek samping obat

2. Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan Manajemen Energi


b.d kelemahan intervensi dalam 1x4 jam, Observasi
masalah intoleransi 1. Identifikasi gangguan
aktivitas diatasi dengan fungsi tubuh yang
kriteria hasil sebagai mengakibatkan
berikut : kelelahan
Toleransi aktivitas 2. Monitor kelelahan fisik
1. Frekuensi nadi dan emosional
(Nilai: 5) Terapeutik
2. Keluhan lelah 1. Sediakan lingkungan
(Nilai: 5) nyaman dan rendah
3. Sianosis stimulus (mis. Cahaya,
(Nilai: 5) suara, kunjungan)
4. Warna kulit (Nilai: Edukasi
5) 1. Ajarkan strategi koping
5. Tekanan darah untuk mnegurangi
(Nilai: 5) kelelahan

3. Keletihan b.d Setelah dilakukan Manajemen Energi


kondisi fisiologis intervensi dalam 1x4 jam, Observasi
(mis. Penyakit masalah risiko infeksi 1. Identifikasi gangguan
kronis, penyakit diatasi dengan kriteria fungsi tubuh yang
terminal, anemia, hasil sebagai berikut : mengakibatkan
malnutrisi, Tingkat keletihan kelelahan
kehamilan) 1. Kemampuan 2. Monitor kelelahan fisik
melakukan aktivitas dan emosional
rutin (Nilai: 5) Terapeutik
2. Lesu 1. Sediakan lingkungan
(Nilai: 5) nyaman dan rendah
3. Sakit kepala (Nilai: stimulus (mis. Cahaya,
5) suara, kunjungan)
4. Sianosis 2. Berikan aktivitas
(Nilai: 5) distraksi yang
menenangkan
Edukasi
2. Ajarkan strategi koping
untuk mnegurangi
kelelahan

4. Risiko Infeksi b.d Setelah dilakukan Pencegahan Infeksi


ketidakadekuatan intervensi dalam 1x4 jam, Observasi
pertahanan tubuh masalah risiko infeksi 1. Monitor tanda dan gejala
sekunder diatasi dengan kriteria infeksi lokal dan
imununosupresi hasil sebagai berikut : sistemik
Tingkat infeksi Terapeutik
1. Demam 1. Berikan perawatan kulit
(Nilai: 5) pada area edema
2. Kemerahan Edukasi
(Nilai: 5) 1. Jelaskan tanda dan
3. Nyeri gejala infeksi
(Nilai: 5)
4. Bengkak
(Nilai: 5)
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit reumatik autoimun yang
ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem
dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks
imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan.
Faktor hormon, lingkungan dan genetik adalah sebagai pemicu penyakit
lupus. Keterbatasan fisik yang mudah lelah, sensitif terhadap perubahan suhu,
kekauan sendi, nyeri tulang belakang dan pembuluh darah yang mudah pecah sering
dialami oleh penderita lupus. Penderita lupus dapat mengalami rasa letih yang
berlebihan, penampilan fisik yang berubah karena efek dan pengobatan yang bisa
menyebabkan kebotakan, muncul ruam pada wajah dan pembengkakan pada kaki.

3.2 SARAN
Hasil pembuatan makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
tambahan pengetahuan dalam ilmu keperawatan khususnya dalam pemahaman
tentang Konsep Asuhan Keperawatan Pada Kasus Systemic Lupus Erythematosus
(SLE) sehingga penulis menyarankan kepada para pembaca khusunya mahasiswa
keperawatan agar bisa mengaplikasikan dengan tepat perihal tindakan atau asuhan
keperawatan yang dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA

dr. SumariyonoSpPD-KR, MPH, F. and dkk (2019) Diagnosis dan Pengelolaan Lupus
Eritematosus Sistemik. Revisi dar. jakarta: Perhimpunan Reumatologi Indonesia.

Fajriansyah, F. and Najirman, N. (2019) ‘Lupus Eritematosus Sistemik pada Pria’, Jurnal
Kesehatan Andalas, 8(3), p. 750. doi: 10.25077/jka.v8i3.1065.

Gitleman, L. (2020) Studi Dokumentasi Risiko Infeksi pada Pasien An. N dengan Systemic
lupus Erythematosus (SLE), Paper Knowledge . Toward a Media History of
Documents.

Hikmah, Z. and Prihaningtyas, R. A. (2018) Bersahabat dengan Lupus. jakarta: PT


Gramedia.

Jenggawah, N. et al. (2020) Penggunaan Kortikosteroid pada Pasien Dewasa Systemic


Lupus Erythematosus (SLE) nefritis di RSUD dr. Saiful Anwar Malang.

Kementrian Kesehatan RI (2017) ‘Infodatin Lupus di Indonesia’, Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI, p. 8.

Nurin, F. (2021) SLE (Systemic Lupus Erythematosus), dr. Mikhael Yosia, BMedSci,
PGCert, DTM&H. Available at:
https://hellosehat.com/sehat/gejala-umum/lupus-eritematosus-sistemik/.

Tanzilia, M. F., Tambunan, B. A. and Dewi, D. N. S. S. (2021) ‘Tinjauan Pustaka:


Patogenesis Dan Diagnosis Sistemik Lupus Eritematosus’, Syifa’ MEDIKA: Jurnal
Kedokteran dan Kesehatan, 11(2), p. 139. doi: 10.32502/sm.v11i2.2788.

PPNI.(2017). Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI): Definisi dan Indikator


Diagnostik, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI.

PPNI.(2018). Standart Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI): Definisi dan Tindakan


Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI.

PPNI.(2019). Standart Luaran Keperawatan Indonesia (SIKI): Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI.

Anda mungkin juga menyukai