Anda di halaman 1dari 6

“PAPER”

SYSTEMIC LUPUS ERITHEMATOSUS (SLE)

Mata Kuliah : Promosi Kesehatan


Dosen Pengampu : Shendy Krisnasari S.KM.,M.PH

Di Susun Oleh :
Sabina Aulia
P10120201
Kelas : C

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS TADULAKO
2021/2022
PENDAHULUAN
Penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit yang ditandai dengan
produksi antibodi yang berlebihan terhadap komponen inti sel, dan menimbulkan berbagai
macam manifestasi klinis pada organ (Cleanthous, Tyagi, Isenberg, & Newman, 2012).
Istilah penyakit SLE telah diperkenalkan oleh dokter pada abad ke-19 untuk menggambarkan
lesi di kulit, dan membutuhkan waktu hampir 100 tahun untuk akhirnya menyadari bahwa
penyakit ini bersifat sistemik pada beberapa organ yang disebabkan respon autoimun yang
menyimpang (Tsokos, 2011). Penyebab pasti dari penyakit SLE sampai saat ini masih belum
diketahui. Namun terdapat beberapa faktor yang diduga menjadi faktor risiko dari penyakit
ini, yaitu genetik, lingkungan, regulasi sistem imun, hormonal, dan epigenetic.
Penyakit SLE masih tergolong penyakit yang awam di Indonesia. Akan tetapi tidak berarti
bahwa tidak ada orang yang menderita penyakit ini. Prevalensi penyakit SLE ini semakin hari
semakin banyak diteliti. Prevalensi berkisar antara 20–150 kasus per 100.000 penduduk,
dengan prevalensi yang tertinggi terdapat di negara Brazil. Di Amerika Serikat, orang-orang
Afrika, Hispanik, atau Asia keturunan cenderung memiliki angka prevalensi yang tinggi
dibandingkan dengan kelompok ras atau etnis lainnya. Tingkat kelangsungan hidup selama
10 tahun pada Odapus (Orang dengan Lupus) berkisar pada 70% (Tsokos, 2011). Di
Indonesia, data jumlah Odapus belum diketahui secara pasti. Survey yang dilakukan Prof.
Handono Kalim, dkk. menunjukkan jumlah Odapus adalah sebesar 0,5% dari total populasi
penduduk yang ada di Malang (Kemenkes RI, 2017). Banyak pasien yang datang ke rumah
sakit sudah dalam kondisi penyakit SLE yang serius, ini mungkin dikarenakan terlambatnya
pasien tersebut mengenali tanda dan gejala. Sehingga banyak kasus SLE yang tidak terdeteksi
keberadaannya. Masalah tidak terdeteksinya kasus SLE di Indonesia dapat dikarenakan
berbagai macam hal, antara lain seringnya penyakit ini terlambat diketahui dan diobati
dengan benar karena cukup banyak dokter yang tidak mengetahui atau kurang waspada
tentang gejala penyakit dan dampaknya terhadap kesehatan. Hal ini disebabkan karena tanda
dan gejala yang ditimbulkan oleh penyakit SLE ini masih terlalu umum dan seringkali
merujuk pada penyakit lain, misalnya malaria, nyeri sendi, dan lainlain.
PEMBAHASAN

 Faktor Lingkungan
1. Pendidikan

perubahan status kesehatan dapat ditentukan atau dijelaskan oleh tingkat pendidikan,
pengetahuan tentang kesehatan lingkungan, dan perilaku hidup sehat secara bersamasama.
Seseorang yang berpendidikan dan memiliki pengetahuan mengenai faktor resiko penyebab
Penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) akan beresiko rendah untuk terpapar penyakit
tsb karena seseorang yang memiliki pengetahuan akan terus menghindari apa saja faktor
resiko penyakit sehingga akan menuntut seseorang tsb berperilaku hidup sehat.
Kecenderungan lambatnya odapus mengobati dan memeriksakan penyakitnya adalah karena
kurang nya pengetahuan tentang penyakit ini yang disebabkan gejala yang timbul masih
terlalu umum bahkan merujuk pada penyakit lain.oleh karena nya deteksi dini dan
kewaspadaaan sangat penting dilakukan oleh orang yang memiliki faktor resiko penyakit
lupus.

2. Sinar Matahari (sinar ultraviolet)

Sinar UV merupakan faktor lingkungan yang paling sering menyebabkan eksaserbasi SLE.
Sinar UV akan menstimulasi keratinosit sehingga menyebabkan stimulasi sel B dan produksi
antibodi. Sinar UV mengarah pada selfimmunity dan hilangnya toleransi karena
menyebabkan apoptosis keratinosit. Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator
imun pada penderita lupus, dan memegang peranan dalam fase induksi yanng secara
langsung mengubah sel DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal
membantu menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit.

sinar matahari memiliki banyak ekstrogen sehingga mempermudah terjadinya reaksi


autoimmun. Tetapi bukan berarti bahwa penderita hanya bisa keluar pada malam hari. Pasien
Lupus bisa saja keluar rumah sebelum pukul 09.00 atau sesudah pukul 16.00 WIB dan
disarankan agar memakai krim pelindung dari sengatan matahari. Teriknya sinar matahari di
negara tropis seperti Indonesia, merupakan faktor pencetus kekambuhan bagi para pasien
yang peka terhadap sinar matahari dapat menimbulkan bercak-bercak kemerahan di bagian
muka.kepekaan terhadap sinar matahari (photosensitivity) sebagai reaksi kulit yang tidak
normal terhadap sinar matahari.
 Faktor Perilaku
1. Mengonsumsi obat-obatan tertentu

Obat tertentu yang digunakan dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan drug-induced
lupus. Banyak obat yang secara potensial dapat memicu lupus, sebagai contoh antara lain
adalah antipsychotic chlorpromazine; obat tekanan darah tinggi, seperti hydralazine; obat
tuberculosis isonoazid dan obat jantung procainamide. Biasanya membutuhkan jangka waktu
penggunaan dalam beberapa bulan sebelum gejala timbul. Orang yang mengalami lupus
akibat mengonsumsi obat biasanya dapat membaik setelah mereka berhenti minum obat
tersebut.

2. Merokok dan menghirup silika

Merokok dan menghirup silika memicu respon inflamasi di sel epitel dan mononuklear di
paru. Kondisi ini menyebabkan modifikasi protein atau memicu proses inflamasi nonspesifik.
mereka yang bekerja dan rentan terekspos merkuri dan silica memiliki peningkatan risiko
lupus. Merokok juga dapat meningkatkan risiko mengalami lupus.

 Faktor Biologis
1. Faktor Genetik : Tidak diketahui gen atau gen – gen apa yang menjadi penyebab
penyakit tersebut, 10% dalam keluarga Lupus mempunyai keluarga dekat orang tua
atau kaka adik) yang juga menderita lupus, 5% bayi yang dilahirkan dari penderita
lupus terkena lupus juga, bila kembar identik, kemungkinan yang terkena Lupus
hanya salah satu dari kembar tersebut.

2. Umur dan Jenis kelamin


90% penyakit lupus menyerang perempuan serta 10% anak-anak dan laki-laki
Penyakit ini terutama diderita oleh wanita muda dengan puncak kejadian pada usia
15-50 tahun (selama masa reproduktif) dengan perbandingan wanita dan laki-laki 5:1.
Penyakit ini sering ditemukan pada beberapa orang dalam satu keluarga

3. Faktor hormon, dapat menjelaskan mengapa kaum perempuan lebih sering terkena
penyakit lupus dibandingkan dengan laki-laki. Meningkatnya angka pertumbuhan
penyakit Lupus sebelum periode menstruasi atau selama masa kehamilan mendukung
keyakinan bahwa hormon, khususnya estrogen menjadi penyebab pencetus penyakit
Lupus. Akan tetapi hingga kini belum diketahui jenis hormon apa yang menjadi
penyebab besarnya prevalensi lupus pada perempuan pada periode tertentu yang
menyebabkan meningkatnya gejala Lupus masih belum diketahui.

 Ras
Penyakit lupus atau systemic lupus erythematosus (SLE) lebih sering ditemukan
pada ras tertentu seperti ras kulit hitam, Cina, dan Filipina. Bangsa Asia dan Afrika
lebih rentan terkena penyakit in dibandingkan dengan kulit putih. Data di Amerika
menunjukkan angka kejadian penyakit Lupus Ras Asia lebih tinggi dibandingkan
ras Kaukasia.
 Faktor Resiko
Beberapa faktor risiko lain yang dapat memicu timbulnya gejala SLE yaitu:

 Bayi lahir prematur (≥ 1 bulan lebih cepat)


 Bayi dengan berat lahir rendah (<2.500 g)
 Anak yang terkena paparan pestisida
 Kehamilan
 Defisiensi vitamin D

KESIMPULAN

Cara pencegahan penyakit lupus ini adalah dengan mengikuti gaya hidup sehat,
mengkonsumsi makanan yang cukup gizi dan berolahraga dengan kata lain menghindari
faktor resiko penyebab SLE.. Pun pada penderita SLE yang berada pada tahap belum parah,
dengan menghindari faktor pencetus dan bergaya hidup sehat, dapat mengurangi frekuensi
kambuhnya penyakit ini dan mengurangi tingkat keparahannya. Penyakit lupus tidak
menular, jadi kita tidak perlu kuatir bila harus berhubungan dengan penderita penyakit Lupus.
Sebaliknya, kita dapat membantunya dengan memberi dukungan dan support pada mereka
sehingga tidak stres.
Tentu saja, sekali terserang lupus, penyakit ini akan terus ada. Hanya saja penderita
yang berhasil membuat penyakit lupus ‘tertidur’, dapat hidup selayaknya orang normal yang
menjalani aktivitas tanpa gangguan yang menyakitkan. Namun, penyakit ini akan kembali
datang jika si penderita mulai melonggarkan disiplin yang harus dijalani dalam jangka waktu
yang panjang tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Gibson K, Goodemote P, Johnson S. 2011. FPIN’s clinical inquiries: antibody


testing for systemic lupus erythematosus. American Family
Physician. 84(12):1407-1409.

Perhimpunan Reumatologi Indonesia, Diagnosis dan Pengelolaan Lupus


Eritematosus Sistemik, Perhimpunan Reumatologi Indonesia, Jakarta,
2011.
https://www.pbpapdi.org/images/file_guidelines/14_Rekomendasi_L
upus.pdf

 C. Gordon, M. Amissah-Arthur, M. Gayed, S. Brown, I.N. Bruce, D. D’Cruz, et


al, Rheumatology, 2018, 57, 1-45.
https://academic.oup.com/rheumatology/article-
abstract/57/1/e1/4318863

Evi R,2012. JURNAL SCIENTIAE EDUCATIA: systemic lupus erithematosus


(SLE) : KELAINAN AUTOIMUN BAWAAN YANG LANGKA
DAN MEKANISME BIOKIMIAWINYA .volume 1 edisi 2

Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementrian Kesehatan RI, Pedoman


Pengendalian Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik (LES).2017

Anda mungkin juga menyukai