Disusun Oleh:
KELOMPOK 7
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, kami dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Program Mitigasi & Skala Prioritas Masyarakat Tangguh
Bencana dengan tepat waktu.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Kesehatan Lingkungan Dan Gizi Pasca
Bencana. Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Riri Sriwahyuni Wahid, S.KM, M.Kes. selaku
dosen mata kuliah Kesehatan Lingkungan Dan Gizi Pasca Bencana. Ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu diselesaikannya makalah ini.
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang
membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
A. Ringkasan
Selama beberapa dekade terakhir, diskusi tentang mitigasi dan kesiapsiagaan bencana
sebagian besar terfokus pada masyarakat perkotaan, karena konsentrasi populasi umum di pusat-
pusat tersebut. Ini menghadirkan kesenjangan dalam basis pengetahuan saat ini terutama untuk
tempat-tempat rentan dengan komunitas pedesaan yang besar. Studi ini berfokus pada tingkat
pengetahuan tentang mitigasi dan kesiapsiagaan bencana di antara masyarakat pedesaan di Kota
Cadiz, Filipina. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan pemahaman tentang PRB (Disaster Risk
Reduction) yang dilakukan di masyarakat pedesaan dan mengeksplorasi metode untuk
menghasilkan program yang sesuai yang dapat meningkatkan kesadaran PRB di Cadiz City.
Data dikumpulkan dari 198 responden dari 6 komunitas pedesaan di Cadiz City melalui
survei kuesioner yang dikembangkan peneliti dan wawancara tatap muka yang mendalam. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa respon umum dalam hal tingkat mitigasi dan kesiapsiagaan
bencana adalah “dalam proses”. Sebagian besar responden telah memperoleh informasi tentang
kesiapsiagaan darurat umum dengan laporan TV sebagai sumber informasi yang paling umum
dan televisi sebagai sarana yang paling efektif untuk menerima informasi. Secara umum,
penduduk di komunitas pedesaan Kota Cadiz menunjukkan kesiapan dan minat akan
keselamatan mereka dari bencana dan dalam mengurangi keterpaparan dan kerentanan mereka
terhadap angin topan, kebakaran, dan gempa bumi.
Selama beberapa tahun terakhir, Filipina telah mendapatkan momentum dalam pengurangan
risiko bencana dan kesiapsiagaan. Berbagai pemangku kepentingan di berbagai bidang telah
bekerja sama untuk memprakarsai program dan membuat kebijakan diupaya untuk memperkuat
tuntutan masyarakat untuk mempersiapkan diri dengan baik sebelum terjadi bencana dan
meningkatkan cara orang Filipina menangani pascabencana. Misalnya, Undang-Undang
Republik 10121, atau Undang-Undang Manajemen dan Pengurangan Risiko Bencana Filipina,
diberlakukan pada tahun 2010 untuk “memperkuat sistem manajemen dan pengurangan risiko
bencana Filipina dengan menyediakan kerangka kerja dan melembagakan rencana manajemen
dan pengurangan risiko nasional” (Sudmeier-Rieuxdkk.edisi, 2006; Benson, 2009; dan POG,
2010).
Filipina dihantam oleh topan mematikan, gempa bumi, letusan gunung berapi, dan bencana
alam lainnya yang tak ada habisnya (Wingard & Brandlin, 2013; Doroteo, 2015; dan Valencia,
2018). Mungkin bencana paling terkenal yang pernah melanda negara itu adalah Topan Haiyan
Kategori 5, yang melanda bagian tengah Filipina pada tanggal 8 November 2013. Topan ini
memecahkan rekor kekuatannya karena disebut-sebut sebagai topan terkuat yang pernah
mendarat dalam sejarah. Itu juga mendatangkan malapetaka dengan lebih dari 6.000 kematian
dan kehancuran senilai multi-miliar peso di properti dan infrastruktur.
Badan UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) melaporkan bahwa
20.000 dari 4,1 juta orang yang mengungsi akibat bencana masih tinggal di 56 lokasi
pengungsian di seluruh wilayah yang terkena dampak topan setahun sejak serangan gencar
(Viana, 2014; Cas, 2016; dan Jhadkk., 2018). J. Salceda (2013) juga mencatat bahwa menurut
Palang Merah Filipina, setidaknya 31.835 orang Filipina dilaporkan telah tewas dan 94.369.462
telah terkena dampak bencana alam dan bencana dalam 20 tahun terakhir (Salceda, 2013).
Rencana bencana nasional dapat memberikan sedikit dampak positif selama bertahun-tahun
setelah pertama kali disusun. Namun sejak itu, Filipina masih tertinggal dalam hal kesiapsiagaan
bencana. Filipina secara konsisten menempati posisi tiga besar atau dalam kategori risiko
tertinggi di antara 170+ negara dengan risiko bencana terbesar akibat peristiwa alam ekstrem.
WRI (Indeks Risiko Dunia) diukur berdasarkan eksposur atau risiko negara tersebut dan atribusi
buatan negara tersebut termasuk tingkat kesiapsiagaan dan daya tanggap, adaptasi, dan
kerentanan (Fielddkk. ed., 2012; WHO, 2015; dan Behlertdkk., 2020).
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun upaya telah dilakukan, kebijakan diterapkan, dan
implementasi terus berjalan, jelas terdapat kesenjangan dalam memahami faktor-faktor mengapa
kerangka kerja bencana Filipina tidak memberikan hasil yang baik. Sebuah laporan
komprehensif yang diterbitkan oleh Komisi Audit Filipina menekankan kesenjangan yang
signifikan dalam respon dan sistem manajemen negara tersebut. Ini menggarisbawahi
kesenjangan dalam belanja publik yang sebagian besar berfokus pada pendekatan reaktif
daripada proaktif.
Selain itu, laporan tersebut juga sangat menunjukkan perlunya pengelolaan informasi yang
lebih baik serta dalam meningkatkan kesadaran yang signifikan tidak hanya pada data dasar, data
real-time tentang sifat, efek dan dampak bencana, tetapi juga mencakup informasi keuangan
(Beckdkk., 2012; CoA, ny; dan Behlertdkk., 2020). Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak
yang harus diperbaiki dalam memahami penyebab mendasar dari kerentanan masyarakat yang
belum sepenuhnya dikenali dan ditangani. Dalam konteks inilah para peneliti menganggap
penting untuk menilai tingkat mitigasi dan kesiapsiagaan bencana, jika terjadi angin topan,
kebakaran, atau gempa bumi, dari penduduk komunitas pedesaan di Cadiz City.
Cadiz City merupakan komunitas pesisir dan dataran rendah dengan luas sekitar 52.447
hektar. Dari jumlah tersebut, 87% atau 45.102,45 hektar dianggap pedesaan. Karena geografinya,
Kota Cadiz menikmati keuntungan sebagai pusat utama sumber daya agro-perikanan di pulau itu.
Pada saat yang sama, itu menempatkan kota pada risiko tinggi untuk topan seperti Topan Haiyan,
yang merusak kota. Di satu pulau kecil di wilayahnya, hanya 10 dari 250 rumah yang tersisa
berdiri setelah serangan topan Haiyan.Sebelumnya pada tahun 2008, Topan Fengshen
menenggelamkan seluruh armada penangkapan ikan dari Kota Cadiz, menenggelamkan lebih
dari seratus awaknya (NDCC, 2008).
Oleh karena itu, kesadaran dan pengetahuan mereka tentang mitigasi dan kesiapsiagaan
bencana sangat penting dalam menentukan keberhasilan perumusan dan pelaksanaan rencana
bencana holistik yang bertujuan untuk mengurangi risiko bencana, terutama di kota dengan
hamparan pedesaan yang relatif besar (Mathur, 2013; Kapucudkk., 2014; dan NCA, 2014). Oleh
karena itu, temuan penelitian ini akan menjadi signifikan dalam membangun rencana
penanggulangan bencana berbasis penelitian, yang dapat berfungsi sebagai panduan untuk
merekomendasikan kebijakan atau langkah-langkah legislatif lokal di Kota Cadiz, Negros
Occidental, Filipina.
B. Fakta Masalah
Tingkat mitigasi bencana penduduk di komunitas pedesaan Cadiz City dievaluasi dan
dihitung menggunakan mean dan standar deviasi. Akan tetapi seringkali responden yang
diberikan pertanyaan mereka tidak mengetahui mengenai bentuk mitigasi itu sendiri. Ketika
responden ditanya apakah rumah mereka dibangun di daerah rawan bencana, khususnya dari
angin topan, kebakaran atau gempa bumi, mereka tidak memiliki pengetahuan apa artinya berada
di daerah rawan, karena mereka terbiasa hidup dalam kondisi seperti itu. Penghuni atau
responden juga tidak yakin rumahnya “dibeli”, ditinggikan, atau dipindahkan ke tempat yang
lebih aman karena akan memerlukan biaya tinggi, masalah penyesuaian, ketidaknyamanan, dan
kesulitan dalam mengakses utilitas dasar seperti air dan listrik jika mereka harus pindah ke lokasi
relokasi. Namun jika diberi kesempatan untuk pindah, responden akan mempertimbangkan
terjadinya bahaya dalam merencanakan dan membangun rumah berikutnya.
Ketika ditanya apakah mereka memiliki pengetahuan atau telah berpartisipasi dalam
program Cadiz di seluruh kota untuk meningkatkan jalan raya atau jalan yang rawan banjir,
pembersihan saluran air secara berkala, dan pemangkasan pohon, mereka mengatakan bahwa
sepengetahuan mereka, ini adalah program yang sedang berjalan tetapi beberapa jalan belum
dikerjakan dan operasi pembersihan tidak dilakukan secara teratur. Di masyarakat pedesaan,
pemangkasan pohon dilakukan berdasarkan permintaan.
Dapat disimpulkan dari hasil ini bahwa ada banyak tantangan dihadapi oleh responden
dalam upaya mereka mengurangi risiko dan kerentanan mereka terhadap bencana. Secara
khusus, tujuh dari lima belas item (47%) dalam mitigasi bencana responden menjawab “Saya
tidak tahu” termasuk pengetahuan mereka jika rumah mereka adalah daerah bahaya. ISDR
(Strategi Internasional untuk Pengurangan Bencana) Perserikatan Bangsa-Bangsa
mengidentifikasi bahwa populasi sering terkonsentrasi di dataran banjir alami atau di sepanjang
garis patahan gempa yang diketahui, atau di kota-kota dan pemukiman di mana rumah dan
infrastruktur tidak dibangun dengan aman dan di mana penggunaan lahan tidak direncanakan
dengan baik, yang menyebabkan efek bencana jika terjadi gempa bumi, bahkan sedikit. Apa
yang umumnya tidak disadari adalah bahwa banyak bencana dapat dimitigasi secara signifikan
dengan pemikiran dan persiapan yang memadai dan bahwa biaya mitigasi ini akan lebih kecil
dibandingkan dengan biaya upaya bantuan dan pemulihan.
Pada item asuransi rumah, sebagian besar responden tidak memiliki dan sebagian karena
tidak mengetahui tentang asuransi. Ini semua sangat penting karena menekankan kesadaran dan
penilaian risiko, pengembangan pengetahuan, komitmen publik dan kerangka kelembagaan, dan
sistem peringatan dini termasuk peramalan, penyebaran peringatan, tindakan kesiapsiagaan dan
kapasitas reaksi sebagai strategi penting untuk pengurangan bencana.
C. Pertanyaan masalah
1. Apa itu program mitigasi?
2. Apa saja skala prioritas masyarakat tangguh bencana?
3. Siapa masyarakat tangguh itu?
4. Apa saja komponen yang harus ada dalam desa tangguh bencana?
D. Tujuan
1. Menjelaskan definisi mitigasi
2. Mengkaji skala prioritas masyarakat tangguh bencana
3. Menjelaskan siapa itu masyarakat tangguh
4. Menguraikan komponen yang harus ada dalam desa tangguh bencana
BAB II
PEMBAHASAN
TABEL REKAPITULASI JURNAL
5. Admiral Musa Implementasi Desain yang Adapun menunjukkan (1) personil dari
Julius, Program Desa digunakan subyek forum penanggulangan
Nrangwesthi Tangguh dalam penelitian ini bencana melakukan
Widyaningrum Bencana di penelitian ini adalah penanaman pohon di lereng-
, Ainun Najib , Desa Gunung merupakan Sekretaris lereng rawan longsor dan
Andi Ahmad Geulis, penelitian Desa Gunung membuat tanggul panahan, (2)
Aminullah, Sukaraja, dengan Geulis Desa Gunung Geulis sebagai
Hani Syarifah, Bogor pendekatan pelaksana program Desa
Hendro kualitatif Tangguh Bencana telah aktif
Pratikno, Ifad metode melakukan pelatihan rutin dan
Fadlurrahman, deskriptif. berkelanjutan setiap bulan
Khairunnisa Pendekatan sebagai usaha pengembangan
Adri, Tego penelitian kapasitas dalam
Suroso, Rizkia yang penanggulangan bencana, (3)
Mutiara digunakan forum PRB Desa Gunung
Ramadhani adalah Geulis telah melakukan upaya
and I Dewa dengan mitigasi pasif misalnya
Ketut Kerta menggali data membuat pemetaan dan
Widana dan analisis risiko bencana,
(Tahun 2020) informasi. meskipun belum ada dokumen
yang tersusun. Personil PRB
juga melakukan upaya
mitigasi dan peringatan dini
melalui informasi melalui
pamflet, brosur, dan
pertemuan-pertemuan desa
lainnya. Selain itu, upaya
mitigasi aktif telah dilakukan
oleh tim PRB.
Kesimpulan jurnal :
1. Tabel 1 : Kesimpulan yang dapat ditarik sesuai dengan tujuan penelitian dan
pelaksanaan pengamatan tentang “Analisis penanggulangan bencana alam dan
NATECH guna membangun ketangguhan bencana dan masyarakat berkelanjutan
di Jepang” yaitu Jepang merupakan daerah yang memiliki potensi besar akan
gempa bumi, tsunami, dan terjadinya erupsi gunung api karena berada didalam
zona cincin api atau ring of fire sehingga Jepang mendirikan International
Research Institute of Disaster Science (IRIDeS) agar dapat menjadi sebuah upaya
pemulihan/ rekonstruksi di daerah yang terkena dampak. Hal yang serupa juga
terjadi ketika Natech (Natural Hazard Triggering Technological Accidents) yang
merupakan bencana alam yang memicu kegagalan teknologi terjadi. Meskipun
Natech tidak selalu terjadi akibat peristiwa bahaya alam yang besar namun juga
dapat dipicu oleh segala jenis dan ukuran peristiwa bahaya alam skala kecil.
2. Tabel 2 : Kesimpulan yang dapat ditarik sesuai dengan tujuan penelitian dan
pelaksanaan pengamatan tentang “Penggunaan AHP guna penentuan prioritas
penanganan permukiman tangguh bencana longsor” yaitu hasil urutan prioritas
permukiman tangguh bencana longsor dengan menggunakan AHP ini digunakan
sebagai bahan perencanaan untuk penentuan prioritas permukiman tangguh
bencana longsor.
3. Tabel 3 : Kesimpulan yang dapat ditarik sesuai dengan tujuan penelitian dan
pelaksanaan pengamatan tentang “Peningkatan potensi mitigasi bencana dengan
penguatan kemampuan literasi kebencanaan pada masyarakat Kota Langsa” yaitu
masalah kemampauan literasi kebencanaan dapat diatasi dengan memberikan
berbagai macam bentuk bacaan. Bentuk dari bacaan tersebut antara lain berupa
poster, komik atau selebaran. Proses peningkatan literasi informasi kebencanaan
membawa peningkatan kepahaman dan kesiapsiagaan masyarakat terhadap
bencana banjir. Hal tersebut terbukti pada peningkatan kemampuan masyarakat
dalam mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya banjir. Selain
itu masyarakat juga telah dapat mengevaluasi mengenai penyebab banjir seperti
permasalahan pada pengelolaan sampah dan drainase.
4. Tabel 4 : Kesimpulan yang dapat ditarik sesuai dengan tujuan penelitian dan
pelaksanaan pengamatan tentang “Pengembangan dan pemberdayaan masyarakat
desa/nagari matobe kecamatan sipora selatan kabupaten mentawai menjadi nagari
tangguh bencana gempa dan tsunami” yaitu Kepulauan Mentawai termasuk dalam
kawasan potensi rawan bencana gempa bumi (tektonik) dan gelombang besar
tsunami dikarenakan kepulauan Mentawai diapit oleh 2 sumber gempa baik yang
bersumber di wilayah Barat maupun Timur. Berdasarkan kondisi tersebut
Pemerintah Daerah Mempersiapkan Desa dalam menghadapi bencana yang akan
terjadi. Nagari atau Desa Matobe adalah salah satu Desa yang dipersiapkan oleh
sebagai desa tangguh bencana. Dengan memberikan edukasi mengenai
mekanisme terjadi gempa, tsunami, dan persipanan untuk evakuasi dapat
meningkatkan pengetahuan masyarakat maupun siswa SD dalam menghadapi
bencana.
5. Tabel 5 : Kesimpulan yang dapat ditarik sesuai dengan tujuan penelitian dan
pelaksanaan pengamatan tentang “Implementasi Program Desa Tangguh Bencana
di Desa Gunung Geulis, Sukaraja, Bogor” yaitu: (1) telah dibentuk forum
penanggulangan bencana Desa Gunung Geulis yang terdiri dari tokoh masyarakat,
pemuda karang taruna, dan ibu-ibu PKK sejak tahun 2007 bersamaan sejak
terbitnya UU penanggulangan bencana; (2) Desa Gunung Geulis sebagai Desa
Tangguh Bencana telah aktif melakukan pelatihan rutin dan berkelanjutan setiap
satu bulan sebagai usaha pengembangan kapasitas dalam penanggulangan
bencana; (3) forum PRB Desa Gunung Geulis telah melakukan upaya mitigasi
pasif, diantaranya membuat pemetaan dan analisis risiko bencana, meskipun
dalam bentuk dokumen yang tersusun.
6. Tabel 6 : Kesimpulan yang dapat ditarik sesuai dengan tujuan penelitian dan
pelaksanaan pengamatan tentang “tingkat ketangguhan dan ketahanan Kota
Manado terhadap bencana berdasarkan hasil perhitungan penilian tingkat
ketangguhan dan ketahanan Kota Manado” yang diselesaikan melalui penilaian 9
Kriteria (tata ruang, infrastruktur dasar, fasilitas pelayanan publik, sosial
ekonomi, penelitian teknologi & ekosistem, perencanaan dan perizinan,
kemampuan dasar stakeholder, kesiapsiagaan stakeholder dan kelembagaan &
anggaran), 27 sub kriteria dan 65 indikator penilaian dan 102 indikator
operasional dengan parameter penilaian 1 – 5 dimana, nilai 1 sangat rendah, nilai
2 rendah, nilai 3 sedang, nilai 4 tinggi/baik dan nilai 5 sangat tinggi/baik.
Penilaian dari 9 kriteria penilaian di atas tingkat ketangguhan dan ketahanan Kota
Manado menghasilkan nilai keseluruhan 280 yang memberi kesimpulan bahwa
tingkat ketangguhan dan ketahanan Kota Manado terhadap bencana adalah
tingkatan “SEDANG”.
7. Tabel 7 : Kesimpulan yang dapat ditarik sesuai dengan tujuan penelitian dan
pelaksanaan pengamatan tentang “Persepsi Masyarakat Mengenai Prioritas
Pembangunan Infrastruktur Desa Berbasis Mitigasi Bencana (Studi Kasus
Nagari/Desa Inderapura Selatan)” yaitu pasrtisipasi masyarakat dalam
musyawarah perencanaan pembangunan di Nagari Inderapura Selatan cukup
tinggi. Tidak hanya dalam musyawarah, masyarakat juga menginginkan
keterlibatan yang lebih besar terutama dalam perumusan prioritas program yang
akan dimaksukkan kedalam RKP Nagari. Perangkingan program ini dinilai
masyarakat masih kurang mengakomodir semua aspek prioritas pembangunan
infrastruktur yang dipersyarat permendes. Tidak hanya itu, perencanaan
pembangunan selama ini belum mempertimbangkan aspek penanggulangan
bencana. Padahal Mitigasi bencana merupakan hal yang penting bagi masyarakat
Nagari Inderapura Selatan. Masyarakat setuju untuk memasukkan aspek
penanggulangan bencana dalam sistem perangkingan kegiatan pembangunan
infrastruktur desa.
E. Aspek manajemen bencana
Dalam UU No 24 Tahun 2007 disebutkan manajemen bencana adalah suatu proses dinamis,
berlanjut, dan terpadu untuk meningkatkan kualitas langkah-langkah yang berhubungan
dengan observasi dan analisis bencana serta pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan,
peringatan dini, penanganan darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi bencana. Ada tiga
aspek jika mengacu pada definisi manajemen bencana di atas. Ketiga aspek tersebut yaitu
pencegahan, penanganan saat bencana, dan penanganan pascabencana.
Lebih lanjut,tujuan manajemen bencana adalah untuk mencegah dan membatasi jumlah
korban manusia serta kerusakan harta benda dan lingkungan hidup, juga menghilangkan
kesengsaraan dan kesulitan dalam kehidupan dan penghidupan korban. Tujuan lain
adalah mengembalikan korban bencana dari daerah penampungan/pengungsian ke daerah
asal bila memungkinkan atau merelokasi ke daerah baru yang layak huni dan aman.
Selain itu, juga bertujuan mengembalikan fungsi fasilitas umum utama, seperti
komunikasi/ transportasi, air minum, listrik, dan telepon, termasuk mengembalikan
kehidupan ekonomi dan sosial daerah yang terkena bencana. Tujuan manajemen bencana
lain adalah mengurangi kerusakan dan kerugian lebih lanjut serta meletakkan dasar-dasar
yang diperlukan guna pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi dalam konteks
pembangunan.
Tahapan di atas dalam kenyataannya tidak dapat ditarik tegas antara tahapan satu ketahapan
berikutnya. Demikian pula langkah-langkah yang diambil belum tentu dapat dilaksanakan
secara berturut-turut dan runtut. Namun jelas bahwa manajemen bencara (disarter
management) adalah suatu kegiatan atau rangkaian kegiatan yang menyeluruh, terpadu
dan berlanjut yang merupakan siklus kegiatan :
Mitigasi Bencana
Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui
pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman
bencana (UU 24/07). Dalam Yokohama Strategy (1994), dijelaskan bahwa strategi
pengurangan risiko bencana yaitu upaya-upaya untuk meredam risiko, harus dipadukan secara
sistematis didalam kebijakan dan perencanaan pada program pembangunan. Dalam Pasal 1
ayat 6 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana, mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko
bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana.
Mitigasi struktural, berupa pembuatan infrastruktur sebagai pendorong minimalisasi dampak dan
penggunaan pendekatan teknologi. Gejala yang diamati adalah penyusunan data base daerah potensi
bahaya longsor dan pembuatan early warning system. Sedangkan Mitigasi non struktural, berupa
pengelolaan tata ruang dan pelatihan guna meningkatkan kapasitas masyarakat. Gejala yang akan
diamati adalah: peningkatan kapasitas masyarakat, melalui pengetahuan dan sikap, perencanaan
kedaruratan dan mobilisasi sumberdaya. Pembangunan berdasarkan kebencanaan termasuk
kedalam mitigasi struktural karena pembangunannya berfungsi untuk mencegah,
mengamankan, dan mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana, seperti
pembangunan tanggul, dam, penaham erosi pantai, bangunan tahan gempa dan sejenisnya
(Perka BNPB 04/08). Partisipasi masyarakat merupakan hal yang penting dalam
merencanakan pembangunan yang berbasis kebencananaan. Dalam UU No 24 tahun 2007
dijelaskan bahwa masyarakat berhak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
terhadap kegiatan penanggulangan bencana, khususnya yang berkaitan dengan komunitasnya.
Masyarakat dapat berpartisipasi dalam perencanaan penanggulanan bencana dalam rangka
pengurangan risiko bencana. Kesadaran dan pengetahuan mereka tentang mitigasi dan
kesiapsiagaan bencana sangat penting dalam menentukan keberhasilan perumusan dan
pelaksanaan rencana bencana holistik yang bertujuan untuk mengurangi risiko bencana,
terutama kota dengan hamparan pedesaan yang relatif besar (Mathur, 2013; Kapucu
dkk.,2014; dan NCA, 2014).
Perubahan yang dihadapi oleh masyarakat dapat berupa hal yang bersifat positif maupun
negatif. Namun sebagian besar pendapat mengaitkan ketangguhan masyarakat terhadap
perubahan yang bersifat negatif seperti kondisi bencana alam yang dihadapi oleh masyarakat.
Berkes dan Seixas dalam bahwa ketangguhan masyarakat didalamnya menyangkut aspek
bagaimana masyarakat belajar terhadap perubahan dan ketidakpastian, memelihara keragaman
untuk reorganisasi dan pembaharuan, melakukan inovasi dengan menggabungkan berbagai
pengetahuan yang dimiliki serta menciptakan peluang . Ketangguhan masyarakat melihat
bagaimana sumber daya secara internal yang dimiliki oleh kelompok untuk merespon
perubahan yang dihadapi dimana sumber daya tersebut dapat berupa secara ekonomi, sosial,
cultural, alam bahkan secara politik. Kemampuan secara ekonomi, sosial dan lingkungan
menjadi satu kesatuan yang terikat dalam konsep ketangguhan. Ketiga pilar ini dipandang
sebagai dasar untuk memahami proses pembentukan ketangguhan pada tingkat komunitas.
Ketiga pilar ekonomi, sosial dan lingkungan dalam tingkat komunitas menjadi bagian dalam
sebuah proses yang memanfaatkan jaringan sosial dan sumber daya secara maksimal pada saat
dibutuhkan. Pada sumber daya secara ekonomi memperhatikan aspek diantaranya sumber
daya, proses distribusi secara adil dan keberagaman atas sumber daya ekonomi. Dalam modal
sosial (social capital) dapat diartikan sebagai konektivitas sosial dalam sebuah komunitas
dimana didalamnya menyangkut nilai sosial (norma), jaringan/networking dan kepercayaan
yang diinternalisasi dalam jangka waktu yang lama yang tanpa disadari sebagai nilai yang
diyakini untuk generasi saat ini dan yang akan datang.
Masyarakat tangguh bencana adalah masyarakat yang mampu mengatasi kerusakan yang
disebabkan terjadinya bencana alam, dengan cara mempertahankan struktur sosial pra-
bencana mereka atau menerima perubahan kecil atau besar untuk bertahan hidup (Gaillard,
2007: 522). Masyarakat tangguh bencana merupakan pondasi dari upaya mitigasi bencana,
karena bencana tidak dapat kita hindari, namun dampaknya dapat diminimalisir. Masyarakat
tangguh mampu mengatasi kerusakan dengan terjadinya bencana alam, baik melalui
mempertahankan struktur sosial prabencana mereka, menerima perubahan marjinal atau
perubahan besar untuk bertahan hidup. Masyarakat tangguh adalah mampu mengantisipasi
dan meminimalisasi kekuatan yang merusak (ancaman bencana), dengan cara melakukan
adaptasi; mampu mengelola dan menjaga stuktur dan fungsi dasar tertentu ketika terjadi
bencana; jika terkena dampak bencana, mereka akan dengan cepat bisa membangun
kehidupannya menjadi normal kembali (BNPB, 2012a).
Masyarakat tidak boleh hanya berpangku tangan menunggu inisiasi pemerintah dalam hal
edukasi kesiapsiagaan bencana. Usaha mengurangi dampak bencana bisa mulai dilakukan
dengan mengedukasi diri sendiri dan orang terdekat. Setelah hal itu dilakukan, edukasi
masyarakat sekitar juga perlu dilakukan, karena partisipasi aktif masyarakat dalam hal
tanggap bencana terbukti berperan penting dalam mengurangi kerugian akibat bencana di
Jepang, negara yang juga rawan akan bencana. Kita harus mulai terbiasa hidup berdampingan
dengan bencana, dengan menjadi masyarakat yang tangguh dan siap siaga akan bencana.
Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah dalam mengurangi dampak bencana perlu
didukung dengan partisipasi aktif masyarakat. Salah satunya adalah dengan mengedukasi diri
sendiri dan orang sekitar agar mereka dapat lebih memahami konsekuensi yang akan
dihadapi.
Prioritas 1
Prioritas 3
Prioritas 4
Aspek selanjutnya adalah pendanaan yaitu rencana mobilisasi dana dan sumber daya (dari
APBD Kabupaten/ Kota, APBDes/ADD, dana mandiri masyarakat dan sektor swasta
ataupihak - pihak lain bila dibutuhkan). Pendanaan, selain menghambat keberjalanan program
juga akan mempengaruhi motivasi dan produktifitas anggota Destana seperti menurut hasil
penelitian yang dilaksanakan oleh Indriyani (2014) gaji dan tunjangan kesejahteraan
mempengaruhi produktifitas kinerja seseorang. Selanjutnya adalah pengembangan kapasitas
yaitu pelatihan, pendidikan, dan penyebaran informasi kepada masyarakat, khususnya
kelompok relawan dan para pelaku penanggulangan bencana agar memiliki kemampuan dan
berperan aktif sebagai pelaku utama dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi kegiatan-kegiatan pengurangan risiko bencana. Dalam meningkatkan
pengembangan kapasitas yang masih kurang, beberapa hal dapat dilakukan seperti pada
penelitian Oktari (2019) yaitu melibatkan multistakeholderdalam mendukung terwujudnya
Desa Tangguh Bencana contohnya pelibatan Dinas Pariwisata, PMI, Media, dan Dunia Usaha.
Multistakeholder akan membantu pelaksanaan penanggulangan bencana. Bantuan dapat
berupa bantuan dana dan bantuan dalam bentuk pelaksanaan kegiatan.
Aspek terakhir adalah Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana yaitu kegiatan-kegiatan
mitigasi fisik struktural dan non-fisik; sistem peringatan dini; kesiapsiagaan untuk tangggap
darurat, dan segala upaya pengurangan risiko melalui intervensi pembangunan dan program
pemulihan, baik yang bersifat struktural-fisik maupun non-struktural.