Anda di halaman 1dari 11

 

 
 
 
MAKALAH PENGURANGAN RESIKO,PENCEGAHAN PENYAKIT,PROMKES KOMUNIKASI DAN PENYEBARAN
INFORMASI
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Bencana
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Disusun Oleh : KELOMPOK 6
Satria Yosi Hernawan (1603067)
Nurul Kisna KZ(1603061)
Zulfatun Nadhifah(1603087)
Aldila Aprilia T(1603005)
Sugeng Diky Kristanto(1603073)
Hendra Sumardi (1503044)
 
 
PROGRAM  STUDI  S-1 KEPERAWATAN A/V
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KARYA HUSADA
SEMARANG
2019
BAB 1
PENDAHULUAN
 
A. Latar Belakang
Setiap wilayah tempat tinggal manusia memiliki resiko bencana. Seringkali resiko
tersebut tidak terbaca oleh komunitas dan karenanya tidak dikelola dengan baik. Hal
ini menyebabkan terkadang, dan mungkin juga sering, bencana terjadi secara tak
terduga-duga. Dampak paling awal dari terjadinya bencana adalah kondisi darurat,
dimana terjadi penurunan drastis dalam kualitas hidup komunitas korban yang
menyebabkan mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dengan
kapasitasnya sendiri. Kondisi ini harus bisa direspons secara cepat, dengan tujuan
utama pemenuhan kebutuhan dasar komunitas korban sehingga kondisi kualitas hidup
tidak makin parah atau bahkan bisa membaik.
Bencana harus ditangani secara menyeluruh setelah situasi darurat itu direspons.
Setiap akibat pasti punya sebab dan dampaknya, maka bencana sebagai sebuah akibat
pasti punya sebab dan dampaknya, agar penanganan bencana tidak terbatas pada
simpton simpton persoalan, tetapi menyentuh substansi dan akar masalahnya. Dengan
demikian kondisi darurat perlu dipahami sebagai salah satu fase dari keseluruhan
resiko bencana itu sendiri. Penanganan kondisi darurat pun perlu diletakkan dalam
sebuah perspektif penanganan terhadap keseluruhan siklus bencana. Setelah kondisi
darurat, biasanya diikuti dengan kebutuhan pemulihan (rehabilitasi), rekonstruksi
(terutama menyangkut perbaikan-perbaikan infrastruktur yang penting bagi
keberlangsungan hidup komunitas), sampai pada proses kesiapan terhadap bencana,
dalam hal ini proses preventif.
Perbedaan mendasar ditemukan antara kerja dalam kondisi darurat dengan kerja
penguatan kapasitas masyarakat secara umum. Dalam kondisi darurat, waktu kerusakan
terjadi secara sangat cepat dan skala kerusakan yang ditimbulkan pun biasanya
sangat besar. Hal ini menyebabkan perbedaan dalam karakteristik respon kondisi
darurat. Komitmen, kecekatan dan pemahaman situasi dan kondisi bencana (termasuk
konflik) dalam rangka memahami latar belakang kebiasaan, kondisi fisik maupun
mental komunitas korban dan karenanya kebutuhan mereka, sangat dibutuhkan. Selain
itu, sebuah kondisi darurat juga tidak bisa menjadi legitimasi kerja pemberian
bantuan yang asal-asalan. Dalam hal ini perlu dipahami bahwa sumber daya sebesar
apapun yang kita miliki tidak akan cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan komunitas
korban bencana. Di sisi lain, sekecil apapun sumber daya yang kita miliki akan
memberikan arti bila didasarkan pada pemahaman kondisi yang baik dan perencanaan
yang tepat dan cepat, mengena pada kebutuhan yang paling mendesak.
BAB II
KONSEP TEORI
KOMUNITAS PADA AREA BENCANA
 
 
A. KONSEP PENGURANGAN RESIKO BENCANA
 
Konsep penanggulangan bencana mengalami pergeseran paradigma dari konvensional
menuju ke holistik. Pandangan konvensional menganggap bencana itu suatu peristiwa
atau kejadian yang tak terelakan dan korban harus segera mendapatkan pertolongan,
sehingga fokus dari penanggulangan bencana lebih bersifat bantuan (relief) dan
kedaruratan (emergency). Oleh karena itu pandangan semacam ini disebut dengan
paradigma relief atau bantuan darurat yang berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan
darurat berupa :pangan, penampungan darurat, kesehatan dan pengatasan krisis.
Tujuan penanggulangan bencana berdasarkan pandangan ini adalah menekan tingkat
kerugian, kerusakan dan cepat memulihkan keadaan.
Paradigma yang berkembang berikutnya adalah paradigma mitigasi, yang tujuannya
lebih diarahkan pada identifikasi daerah-daerah rawan bencana, mengenali pola-pola
yang dapat menimbulkan kerawanan dan melakukan kegiatan –kegiatan mitigasi yang
bersifat struktural (seperti membangun konstruksi) maupun non struktural seperti
penataan ruang, building  code dan sebagainya.
Selanjutnya paradigma penanggulangan bencana berkembang lagi mengarah kepada
faktor- faktor kerentanan di dalam masyarakat yang ini disebut dengan paradigma
pembangunan. Upaya- upaya yang dilakukan lebih bersifat mengintegrasikan upaya
penangulangan bencana dengan program pembangunan. Misalnya melalui pekuatan
ekonomi, penerapan teknologi, penegntasan kemiskinan dan sebagainya.
Paradigma yang terkhir adalah paradigma pengurangan resiko. Pendekatan ini
merupakan perpaduan dari sudut pandang teknis dan ilmiah dengan perhatian kepada
faktor-faktor sosial, ekonomi, dan politik dalam perencanaan pengurangan bencana.
Dalam paradigma ini penanggulangan bencana bertujuan untuk meningkatkan kemampuan
masyarakat untuk mengelola dan menekan resiko terjadinya bencana. Hal terpenting
dalam pendekatan ini adalah memandang masyarakat sebaga subyek dan bukan obyek dari
penanggulangan bencana dalam proses pembangunan.
Di Indonesia, masih banyak penduduk yang menganggap bahwa bencana itu merupakan
suatu takdir. Hal ini merupakan gambaran bahwa paradigma konvensional masih kuat
dan berakar di masyarakat. Pada umumnya mereka percaya bahwa benana itu adalah
kutukan atas dosa dan kesalahan yang telah diperbuat, sehingga seseorang harus
menerima bahwa itu sebagai takdir akibat perbuatannya. Sehingga tidak perlu lagi
berusaha untuk mengambil langkah-langkah pencegahan dan penaggulanganya.
Paradigma penanggulangan bencana sudah beralih dari paradigma bantuan darurat
menuju ke paradigma mitigasi/preventif dan sekaligus juga paradigma pembangunan.
Karena setiap upaya pencegahan dan mitigasi hingga rehabilitasi dan rekonstruksinya
telah diintegrasikan dalam program-program pembangunan di berbagai sektor.
Dalam paradigma sekarang, pengurangan resiko bencana yang merupakan rencana terpadu
yang bersifat lintas sektor dan lintas wilayah serta meliputi aspek sosial, ekonomi
dan lingkungan. Dalam implementasinya kegiatan pengurangan resiko bencana nasional
akan disesuaikan dengan rencana pengurangan risiko bencana pada tingkat regional
dan internasional. Dimana masyarakat merupakan subyek, obyek sekaligus sasaran
utama upaya pengurangan resiko bencana dan berupaya mengadopsi dan memperhatikan
kearifan lokal (local wisdom) dan pengetahuan tradisional (traditional knowledge)
yang ada dan berkembang dalam masyarakat. Sebagai suyek masyarakat diharapkan dapat
aktif mengakses saluran informasi formal dan non-formal, sehingga upaya pengurangan
risiko bencana secara langsung dapat melibatkan masyarakat. Pemerintah bertugas
mempersiapkan sarana, prasarana dan sumber daya memadai untuk pelaksanaan kegiatan
pengurangan risiko bencana.
Dalam rangka menunjang dan memperkuat daya dukung setempat, sejauh memungkinkan
upaya-upaya pengurangan risiko bencana akan menggunakan dan memberdayakan sumber
daya setempat. Ini termasuk tetapi tidak terbatas pada sumber dana, sumber daya
alam, ketrampilan, proses-proses ekonomi dan sosial masyarakat.
Jadi, ada tiga hal penting terkait dengan perubahan paradigma ini, yaitu :
1. Penanggulangan bencana tidak lagi berfokus pada aspek tanggap darurat tetapi
lebih pada keseluruhan manejemen risiko.
2. Perlindungan masyarakat dari ancaman bencana oleh pemerintah merupakan wujud
pemenuhan hak asasi rakyat dan bukan semata-mata karena kewajiban pemerintah.
3. Penangulangan bencana bukan lagi hanya urusan pemerintah tetapi juga menjadi
penanggung jawab utamanya.
Sebagai salah satu tindak lanjut dalam menghadapi perubahan paradigma tersebut,
pada bulan januari tahun 2005 di kobe – jepang, di selenggarakan konferensi
pengurangan bencana dunia (World Conference on Disaster Reduction) yang
menghasilkan beberapa substansi dasar dalam mengurangi kerugian akibat bencana,
baik kerugian jiwa, sosial, ekonomi dan lingkungan .
 
 
 
Substansi dasar tersebut yang selanjutnya merupakan lima prioritas kegiatan :
1. Meletakkan pengurangan risiko bencana sebagai prioritas nasional maupun daerah
yang pelaksanaanya harus di dukung oleh kelembagaan yang kuat.
2. Mengidentifikasi, mengkaji dan memantau risiko bencana serta menerapkan sistem
peringatan dini.
3. Memanfaatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun kesadaran
keselamatan diri dan ketahanan terhadap bencana pada semua tingkatan masyarakat.
4. Mengurangi faktor-faktor penyebab risiko bencana.
5. Memperkuat kesepian menghadapi bencana pada semua tingkatan masyarakat agar
respons yang dilakukan lebih efektif.
Selama enam PELITA upaya penaggulangan bencana berjalan melalui mekanisme yang
sepenuhnya dikendalikan pemerintah, terutama pemerintah pusat. Akibat dari dominasi
pemerintah pusat di dalam upaya penanggulangan bencana, maka dampak yang dirasakan
adalah :
a) Ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat sangat tinggi, sehingga setiap
terjadi bencana betapapun kecilnya, daerah selalu meminta bantuan kepada pusat.
b) Kemampuan daerah dalam menaggulangi bencana tidak meningkat, sebagai  akibat
ketergantungan tersebut.
c) Keterlambatan dalam penaggulangan bencana, mengingat luasnya wilayah negara
indonesia dan sebagian besar masih mengandalkan pada kemampuan pusat.
Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, dimana kewenangan penanggulangan bencana
menjadi tanggungjawab daerah, maka sudah selayaknya pemerintah pusat mulai
meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dan masyarakatnya untuk dapat secara
mandiri mengatasi permasalahan bencana di daerahnya. Oleh karena itu, pendekatan
melalui paradigma pengurangan risiko merupakan jawaban yang tepat untuk melakukan
upaya penaggulangan bencana pada era otonomi daerah. Dalam paradigma ini setiap
individu, masyarakat di daerah diperkenalkan dengan berbagai ancaman yang ada di
wilayahnya, bagaimana cara mengurangi ancaman (hazards ) dan kerentanan
(vulnerability) yang dimiliki, serta meningkatkan kemampuan (capacity) masyarakat
dalam menghadapi setiap ancaman.
1.1 Bahaya (hazards)
Bahaya adalah suatu fenomena alam atau buatan yang mempunyai potensi mengancam
kehidupan manusia, kerugian harta benda dan kerusakan lingkungan.
Berdasarkan United International Strategy for Disaster Reduction (UN-ISDR), bahaya
ini dibedakan menjadi lima kelompok yaitu :
a. Bahaya beraspek geologi antara lain gempa bumi, tsunami, gunung api, gerakan
tanah (mass movement) sering dikenal sebagai tanah longsor.
b. Bahaya beraspek hidrometeorologi antara lain : banjir, kekeringan, angin topan,
gelombang pasang.
c. Bahaya beraspek bilogi antara lain : wabah penyakit, hama dan penyakit tanaman
dan hewan/ ternak.
d. Bahaya beraspek teknologi antara lain : kecelakaan transportasi, kecelakaan
industri, kegagalan teknologi.
e. Bahaya beraspek lingkungan antara lain : kebakaran hutan, kerusakan lingkungan,
pencemaran limbah.
Bumi tempat kita tinggal secara alami mengalami perubahan secar dinamis untuk
mencapai suatu keseimbangan. Akibat proses-proses dari dalam bumi dan luar bumi,
bumi membangun dirinya yang ditunjukkan dengan pergerakan kulit bumi, pemebentukan
gunung berapi, pengangkatan daerah dataran menjadi pegunungan yang merupakan bagian
dari proses internal. Sedangkan proses eksternal yang berupa hujan, angin serta
fenomena iklim lainnya cenderung melakukan ‘perusakan‘ morfologi melalui proses
degradasi (pelapukan batuan, erosi dan abrasi ). Proses alam tersebut berjalan
terus menerus mengikuti suatu pola tertentu oleh para ahli kebumian dapat
diterangkan dengan lebih jelas sehingga sapat dipetakan. Proses perubahan secara
dinamis sari bumi ini dipandang sebagai potensi anacaman bahatya manusia.
Pegunungan yang terbentuk akibat proses penunjaman  lempeng ini merupakan morfologi
muda dengan batuan penyusun berupa material gunungapi muda yang mengalami pelapukan
kuat akibat kondisi iklim tropis. Keadaan ini sangat rawan terjadinya bencana tanah
longsor serta banjir khususnya banjir bandang. Perubahan lingkungan yang drastic
terutama perubahan dalam pemanfaatan lahan khususnya dari areal hutan alam menjadi
daerah budidaya (permukiman, perkebunan, pertanian, ladang) telah berpengaruh besar
terhadap terjadinya bencana pada waktu belakangan ini.
 
 
 
1.2 Kerantanan (vulnerability)
Kerentanan (vulnerability) merupakan kondisi dari suatu komunitas atau masyarakat
yang mengarah atau menyebabkna ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bahaya.
Tingkat kerentanan adalah suatu hal penting untuk diketahui sebagai salah satu
faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya bencana, karena bemcana baru akan
terjadi bila ‘bahaya’ terjadi pada ‘kondisi yang rentan’, seperti yang dikemukakan
Awotona (1997:1-2): ‘… Natural disasters are the interaction between natural hazard
and vulnerable condition’. Tingkat kerentanan dapat ditinjau dari kerentanan fisik
(infrastruktur), social kependudukan, dan ekonomi.
Kerentanan fisik (infrastruktur) menggambarkan suatu kondisi fisik (infrastruktur)
yang rawan terhadap faktor bahaya (hazard) tertentu. Kondisi kerentanan ini dapat
dilihat dari berbagai indicator sebagai berikut: presentase kawasan terbangun;
kepadatan bangunan; persentase bangunan konstruksi darurat; jaringan listrik; rasio
panjang jalan; jaringan telekomunikasi; jaringan PDAM; dan jalan KA. Wilayah
permukiman di Indonesia dapat dikatakan berada pada kondisi yang sangat rentan
karena presentase kawasan terbangun, kepadatan bangunan dan bangunan konstruksi
darurat di perkotaan sangat tinggi sedangkan persentase, jaringan listrik, rasio
panjang jalan, jaringan telekomunikasi, jaringan PDAM, jalan KA sangat rendah.
Kerentanan social menggambarakan kondisi tingkat kerapuhan social dalam menghadapi
bahaya (hazard). Pada kondisi social yang rentan maka jika terjadi bancana dapat
dipastikan akan menimbulkan dampak kerugian yang besar. Beberapa indikatir
kerentanan social antara lain kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk,
[ersentase penduduk usia tua-balita dan penduduk wanita. Kota-kota di Indonesia
memiliki kerentanan social yang tinggi karena memiliki porsentase yang tinggi pada
indicator-idikator tersebut.
Kerenatanan ekonomi menggambarkan suatu kondisi tingkat kerapuhan ekonomi dalam
menghadapi ancaman bahaya (hazards). Beberapa indicator kerentanan ekonomi
diantaranya adalah persentase rumah tangga yang bekerja di sector rentan (sector
yang rawan terhadap pemutusan hubungan kerja) dan persentase rumah tangga miskin.
Beberapa indicator kerentanan fisik, ekonomi dan social tersebut di atas
menunjukkan bahwa wilayah Indonesia memiliki tingkat kerentanan yang tinggi,
sehingga hal ini mempengaruhi/menyebabkan tingginya risiko terjadinya bencana di
wilayah Indonesia.
 
 
 
1.3 Risiko Bencana (disaster risk)
Dalam disiplin penanggulangan bencana (disaster management), risiko bencana adalah
interaksi antara tingkat kerentanan daerah dengan ancaman bahaya (hazard) yang ada.
Ancaman bahaya, khususnya bahaya alam bersifat tetap karena bagian dari dinamika
prose salami pembangunan atau pembentukan roman muka bumi baik dari tenaga internal
maupuneksternal, sedangkan tingakt kerentanan daerah dapat dikurangi, sehingga
kemampuan dalam mengahadapi ancaman tersebut semakin meningkat.
 
 
Secara umum, risiko dapat dirumuskan sebagai berikut:
Risiko = bahaya X kerentanan
     
     Kemampuan
 
Atau dapat ditulis :
Risiko = bahaya X kerentanan X ketidakmampuan
 
Semakin tinggi bahaya, kerentanan dan ketidakmampuan, maka semakin besar pula
risiko bencana yang dihadapi.
Berdasarkan potensi ancaman bencana dan tingkat kerentanan yang ada, maka dapat
diperkirakan risiko ‘bencana’ yang akan terjadi di wilayah Indonesia tergolong
tinggi. Risiko bencana pada wilayah Indonesia yang tinggi tersebut disebabkan oleh
potensi bencana/hazards yang dimiliki wilayah-wilayah tersebut yang memang sudah
tinggi, ditambah dengan tingkat kerentanan yang sangat tinggi pula. Sementara
faktor lain yang mendorong semakin tingginya risiko bencana ini adalah menyangkut
pilihan masyarakat. Banyak penduduk yang memilih atau dengan sengaja tinggal di
kawasan yang rawan/rentan terhadap bencana dengan berbagai alasan seperti kesuburan
tanah, atau peluang lainnya yang dijanjikan oleh lokasi tersebut.
Dalam kaitannya dengan pengurangan risiko bencana, maka upaya yang dapat dilakukan
adalah melalui pengurangan tingkat kerentanan, karena hal tersebut relative lebih
mudah dibandingkan dengan mengurangi/memperkecil bahaya/hazard.
 
Tahap Pengurangan Resiko Bencana
Tahapan penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi pra bencana, tanggapdarurat
,dan pasca bencana.
1. Tahap Pra bencana; 
yang terbagi menjadi saat tidak terjadi bencana dan potensi terjadi bencana
dilakukan kegiatan perencanaan penggulangan bencana, pengurangan resikobencana,
pencegahan,  pemaduan dalam perencanaan pembangunan, persyaratan 
analisis resiko bencana,penegakan rencana tata ruang, pendidikan dan pelatihan,sert
a penentuan persyaratan standar teknis penanggulangan bencana (kesiapsiagaan,
peringatan dini, dan mitigasi bencana)
 
 
2. Tahap Tanggap Darurat;
kegiatannya mencakup pengkajian terhadap lokasi, kerusakan,dan sumber daya;
penentuan status keadaan darurat; penyelamatan dan evakuasi korban; pemenuhan
kebutuhan  dasar  (air bersih dan sanitasi, pangan, sandang, pelayanan kesehatan, 
pelayanan psikososial, dan penampungan tempat hunian); perlindungan kelompok rentan
(prioritas  bagi kelompok rentan) serta pemulihan prasarana dan sarana vital.
3. Tahap  Pasca  Bencana;
mencakup kegiatan rehabilitasi (pemulihan  daerah  bencana,  prasarana
dan sarana umum, bantuan perbaikan rumah,sosial psikologis,pelayanan kesehatan,reko
nsiliasidan resolusi konflik,sosial,ekonomi dan budaya,keamanan dan
ketertiban,fungsi pemerintahan dan pelayanan public) dan rekontruksi 
pembangunan, pembangkitan, dan p eningkatan berbagai sarana dan
prasarana termasuk fungsi pelayanan public).
Secara umum kegiatan manajemen bencana dapat dibagi dalam kedalam tiga kegiatan
utama, yaitu:
1. Kegiatan pra bencana yang mencakup kegiatan pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan,
serta peringatan dini;
2. Kegiatan saat terjadi bencana yang mencakup kegiatan tanggap darurat untuk
meringankan penderitaan sementara, seperti kegiatan search and rescue (SAR),
bantuan darurat dan pengungsian;
3. Kegiatan pasca bencana yang mencakup kegiatan pemulihan, rehabilitasi, dan
rekonstruksi.
Kegiatan pada tahap pra bencana ini selama ini banyak dilupakan, padahal justru
kegiatan pada tahap pra bencana ini sangatlah penting karena apa yang sudah
dipersiapkan pada tahap ini merupakan modal dalam menghadapi bencana dan pasca
bencana. Sedikit sekali pemerintah bersama masyarakat maupun swasta memikirkan
tentang langkah-langkah atau kegiatan-kegiatan apa yang perlu dilakukan didalam
menghadapi bencana atau bagaimana memperkecil dampak bencana.
Kegiatan saat terjadi bencana yang dilakukan segera pada saat kejadian bencana,
untuk menanggulangi dampak yang ditimbulkan, terutama berupa penyelamatan korban
dan harta benda, evakuasi dan pengungsian, akan mendapatkan perhatian penuh baik
dari pemerintah bersama swasta maupun masyarakatnya. Pada saat terjadinya bencana
biasanya begitu banyak pihak yang menaruh perhatian dan mengulurkan tangan
memberikan bantuan tenaga, moril maupun material. Banyaknya bantuan yang datang
sebenarnya merupakan sebuah keuntungan yang harus dikelola dengan baik, agar setiap
bantuan yang masuk dapat tepat guna, tepat sasaran, tepat manfaat, dan terjadi
efisiensi.
Kegiatan pada tahap pasca bencana, terjadi proses perbaikan kondisi masyarakat yang
terkena bencana, dengan memfungsikan kembali prasarana dan sarana pada keadaan
semula. Pada tahap ini yang perlu diperhatikan adalah bahwa rehabilitasi dan
rekonstruksi yang akan dilaksanakan harus memenuhi kaidah-kaidah kebencanaan serta
tidak hanya melakukan rehabilitasi fisik saja, tetapi juga perlu diperhatikan juga
rehabilitasi psikis yang terjadi seperti ketakutan, trauma atau depresi.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa titik lemah dalam Siklus Manajemen Bencana
adalah pada tahapan sebelum/pra bencana, sehingga hal inilah yang perlu diperbaiki
dan ditingkatkan untuk menghindari atau meminimalisasi dampak bencana yang terjadi.
B. Permasalahan di Bidang Kesehatan
Berikut ini merupakan akibat – akibat bencana yang dapat muncul baik langsung
maupun tidak langsungterhadap bidang kesehatan.
1. Korban jiwa, luka, dan sakit ( berkaitan dengan angka kematian dan kesakitan)
2. Adanya pengungsi yang pada umumnya akan menjdai rentan dan beresiko mengalami
kurang gizi, tertular penyakit, dan menderita stress.
3. Kerusakan lingkungan sehingga kondisi menjadi darurat dan menyebabkan
keterbatasan air dan sanitasi serta menjadi tempat perindukan vector penyakit.
4. Seringkali system pelayanan kesehatan terhenti, selain karena rusak, besar
kemungkinan tenaga kesehatan setempat juga menjadi korban bencana.
5. Bila tidak diatasi segera, maka derajat kesehatan semakin menurun dan berpotensi
menyebabkan terjadinya KLB.
Penyakit penyakit yang sering kali diderita para pengungsi di Indonesia tidak lepas
dari kondisi kedaruratan lingkungan, antara lain diare, ISPA, campak dan malaria.
WHO mengidentifikasi empat penyakit tersebut sebagai The Big Four. Kejadian
penyakit spesifik sering muncul sesuai dengan bencana yang terjadi. Banjir di
Jakarta pada awal tahun 2007 selain menimbulkan peningkatan kasus Diareyang tinggi,
juga memunculkan kasus leptospirosis yang relative besar, yaitu 248 kasus dengan 19
kematian (CFR 7,66 %). Sedangkan, gempa di DIY dan jateng pada tahun 2006
mengakibatkan 76 penduduk menderita tetanus dan 29 di antaranya meninggal dunia.
Meskipun dapat dikatakan dengan sepatah kata, ada bermacam-macam penyebab bencana,
kondisi kerusakannya, serta massa-massa terkena dampak, dan lain-lain. Biasanya
dalam menanggulangi bencana, maka bencana tersebut akan dibagi menjadi 4 fase,
yaitu :
1. Fase pencegahan dan kesiapsiagaan bencana ( prevention and preparedne phase)
2. Fase tindakan ( response phase) yang terdiri dari fase akut ( acute phase) dan
fase sub akut (sub acute phase)
3. Fase pemulihan ( recovery phase)
4. Fase rehabilitasi /  rekonstruksi.
Fase fase ini terjadi secara berurutan sebelum dan sesudah bencana, dan tindakan
terhadap bencana pertama berhubungan dengan kesiapsiagaan untuk bencana
selanjutnya, sehingga hal ini disebut siklus bencana.
1. Fase pencegahan dan kesiapsiagaan bencana
Fase kesiapsiagaan adalah fase dimana dilakukan persiapan yang baik dengan
memikirkan berbagai tindakan untuk meminimalsisir berbagai kerugian yang
ditimbulkan akibat bencanadan menyusun perencanaan agar dapat melakukan kegiatan
pertolongan serta perawatan yang efektif pada saat terjadi bencana. Tindakan
terhadap bencana menurut PBB ada 9 kerangka, yaitu:
a. Pengkajian terhadap kerentanan
b. membuat perencanaan ( pencegahan bencana)
c. Pengorganisasian
d. Sistem informasi
e. Pengumpulan sumber daya
f. Sistem alarm
g. Mekanisme tindakan
h. Pendidikan dan pelatihan penduduk
 
 
 
 
 
 
2. Fase tindakan
Fase tindakan adalah fase dimana dilakukan berbagai aksi darurat yang nyata untuk
menjaga diri sendiri dan harta kekayaan. Aktivitas yang dilakukan secara kongkret
yaitu :
a. Instruksi pengungsian
b. Pencarian dan penyelamatan korban
c. Menjamin qkeamanan dilokasi bencana
d. Pengkajian terhadap kerugian akibat bencana
e. Pembagian dan penggunaan alat perlengkapan pada kondisi darurat,
f. Pengiriman dan penyerahan barang material
g. Menyediakan tempat pengungsian dan lain-lain.
Dari sudut pandang pelayanan medis, bencana lebih dipersempit lagi dengan
membaginya menjadi fase akut dan fase sub akut. Dalam fase akut, 48 jam pertama
sejak bencana terjadi disebut fase penyelamatan dan pertolongan / pelayanan medis
darurat terhadap orang orang yang terluka pada saat mengungsi atau dievakuasi,
serta dilakukan tindakan-tindakan terhadap munculnya permasalahan kesehatan dalam
pengungsian.
3. Fase pemulihan
Fase pemulihan dibedakan secara akurat dari dan sampai kapan, tetapi fase ini
merupakan fase dimana individu atau masyarakat dengan kemampuannya sendiri dapat
memulihkan fungsinya seperti sedia kala, ( sebelum terjadi bencana), orang-orang
melakukan perbaikan darurat tempat tinggalnya, pindah kerumah sementara, mulai
masuk sekolah ataupun bekerja kembali sambil memulihkan lingkungan tempat
tinggalnya. Kemudian mulai dilakukan rehabilitasi lifeline dan aktivitas untuk
membuka kembali usahanya. Institusi pemerintah juga memulai memberikan kembali
pelayanan seqqcara normal serta mulai menyusun rencana-rencana untuk rekonstruksi
sambil terus memberikan bantuan kepada para korban. Fase ini bagaimanapun juga
hanya merupakan fase pemulihan dan tidak sampai mengembalikan fungsi-fungsi normal
seperti sebelum bencana terjadi. Dengan kata lain, fase ini merupakan masa
peralihan dari kondisi darurat ke kondisi tenang.
4. Fase Rehabilitasi / Rekonstruksi.
Jangka waktu fase Rehabilitasi / Rekonstruksi juga tidak dapat ditentukan, namun
ini merupakan fase dimana individu atau masyarakat berusaha menegembalikan fungsi-
fungsinya seperti sebelum bencana dan merencanakan rehabilitasi terhadap seluruh
komunitas. Tetapi, seseorang atau masyarakat tidak dapat kembali pada keadaan  yang
sama seperti sebelum mengalami bencana, sehingga dengan menggunaan pengalamannya
tersebut diharapkan kehidupan individu serta keadaan komunitas pun dapat
dikembangkan secara progresif.
 
C. Pelayanan Medis Bencana berdasarkan Siklus Bencana
 
Kehidupan dan kondisi fisik serta psikis orang banyak akan mengalami perubahan saat
berhdapan dengan setiap siklus bencana. Oleh karena itu, pelayanan medis yang
dibutuhkan adalah yang juga akan  berubah dalam menanggulangi setiapsiklus bencana.
Secara singkat akan diuraikan  seperti di bawah ini.
1. Fase akut dalam siklus bencana
Dilokasi bencana, pertolongan terhadap korban luka dan evakuasi dari lokasi
berbahaya ke tempat yang aman adalah hal yang paling diprioritaskan. Untuk
menyelamatkan korban luka sebanyak mungkin, maka sangat diperlukan lancarnya
pelaksanaan Triage ( triase), Treatment ( pertolongan pertama), dan transportation
( transportasi) pada korban luka, yang dalam pelayanan medis bencana disebut dengan
3T. selain tindakan penyelamatan secara langsung, dibutuhkan juga perawatan
terhadap mayat dan keluarga yang ditinggalkan, baik di rumah sakit, lokasi bantuan
perawatan darurat maupun ditempat pengungsian yang menerima korban bencana.
2. Fase menengah dan panjang pada siklus bencana.
Pada fase ini, terjadi perubahan pada lingkungan tempat tinggal yaitu dari tempat
pengungsiam ke rumah sementara dan rumah yang direhabilitasi. Hal-hal yang
dilakukan diantaranya adalah : memperhatikan segi keamanan supaya dapat menjalankan
aktivitas hidup yang nyaman dengan tenang, membantu terapi kejiwaan korban bencana,
membantu kegiatan-kegiatan untuk memulihkan kesehatan hidup dan membangun kembali
komunitas social
3. Fase tenang pada siklus bencana
Pada fase tenang diman tidak terjadi bancana, diperlukan pendidikan penanggulangan
bencana sebagai antisipasi saat bencana terjadi, pelatihan pencegahan bencana pada
komunitas dengan melibatkan penduduk setempat, pengecekan dan pemeliharaan
fasilitas peralatan pencegahan bencana baik di daerah-daerah maupun pada fasilitas
medis, srta membangun sistem jaringan bantuan.
 
D. Penanggulangan Bencana di Bidang Kesehatan
Dengan melihat faktor resiko yang terjadi akibat bencana, maka penanggulangan
bencana sector kesehatan bisa dibagi menjadi aspek medis dan aspek kesehatan
masyarakat. Pelaksanaanya tentu harus melakukan koordinasi dan kloaborasi dengan
sector dan program terkait. Berikut ini merupakan ruang lingkup bidang pengendalian
penyakit dan penyehatan lingkungan, terutama saat tanggap darurat dan pasca
bencana.
1. Sanitasi darurat.
Kegiatannya adalah penyediaan serta pengawasan air bersih dan jamban :kualitas
tempat pengungsian, serta pengaturan limbah sesuai standard. Kekurangan jumlah
maupun kualitas sanitasi ini akan meningkatkan resiko penularan penyakit.
2. Pengendalian vector.
Bila tempat pengungsian dikategorikan tidak ramah, maka kemungkinan terdapat nyamuk
dan vector lain disekitar pengungsi. Ini termasuk timbunann sampah dan genagan air
yang memungkinkan tejadinya perindukan vector. Maka kegiatan pengendalian vector
terbatas saat diperlukan baik dalam bentuk spraying, atau fogging, larvasiding,
maupun manipulasi lingkungan.
3. Pengendalian penyakit.
Bila dari laporan pos pos kesehatan diketahui terdapat peningkatan kasus penyakit,
terutama yang berpotensi KLB, maka dilakukan pengendalian melalui intensifikasi
penatalaksanaan kasus serta penanggulangan faktor resikonya. Penyakit yang
memerlukan perhatian adalah diare dan ISPA.
4. Imunisasi terbatas.
Pengungsi pada umumnya rentan terhadap penyakit, terutama orang tua, ibu hamil,
bayi dan balita. Bagi bayi dan balita perlu imunisasi campak bila dalam catatan
program daerah tersebut belum mendapatkan crash program campak. Jenis imunisasi
lain mungkin diperlukan ssuai dengan kebutuhan setempat seperti yang dilakukan
untuk mencegah kolera.
 
 
 
 
5. Surveilanse Epidemologi.
Kegiatan ini dilakukan untuk memperoleh informasi epidemologi penyakit potensi KLB
dan faktor resiko.atas informasi inilah maka dapat ditentukan pengendalian
penyakit, pengendalian vector, dan pemberian imunisasi, informasi epidemologi yang
harus diperoleh melalui kegiatan surveilens epidemologi adalah :
a. Reaksi social
b. Penyakit menular
c. Perpindahan penduduk
d. Pengaruh cuaca
e. Makanan dan gizi
f. Persediaan air dan sanitasi
g. Kesehatan jiwa
h. Kerusakan infrastruktur kesehatan.
 
Menurut DepKes RI  (2006)   manajemen   siklus   penanggulangan  bencana terdiri
dari:
1. impact (saat terjadi bencana)
2. Acute Response (tanggap darurat)
3. Recovery (pemulihan)
4. Development (pembangunan)
5. Prevention (pencegahan)
6. Mitigation (Mitigasi)
 
 
E. Pencegahan dan Mitigasi Promosi Kesehatan
Upaya atau kegiatan dalam rangka pencegahan dan mitigasi yang dilakukan, bertujuan
untuk menghindari terjadinya bencana serta mengurangi risiko yang ditimbulkan oleh
bencana. Tindakan mitigasi dilihat dari sifatnya dapat digolongkan menjadi 2 (dua)
bagian, yaitu
1. Mitigasi pasif.
Tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi pasif antara lain:
a. Penyusunan peraturan perundang-undangan
b. Pembuatan peta rawan bencana dan pemetaan masalah.
c. Pembuatan pedoman/standar/prosedur
d. Pembuatan brosur/leaflet/poster
e. Penelitian / pengkajian karakteristik bencana
f. Pengkajian / analisis risiko bencana
g. Internalisasi PB dalam muatan lokal pendidikan
h. Pembentukan organisasi atau satuan gugus tugas bencana
i. Perkuatan unit-unit sosial dalam masyarakat, seperti forum
j. Pengarus-utamaan PB dalam perencanaan pembangunan
2. Mitigasi aktif
Sedangkan tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi aktif antara lain:
a. Pembuatan dan penempatan tanda-tanda peringatan, bahaya, larangan memasuki
daerah rawan bencana dsb.
b. Pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai peraturan tentang penataan ruang, ijin
mendirikan bangunan (IMB), dan peraturan lain yang berkaitan dengan pencegahan
bencana.
c. Pelatihan dasar kebencanaan bagi aparat dan masyarakat.
d. Pemindahan penduduk dari daerah yang rawan bencana ke daerah yang lebih aman.
e. Penyuluhan dan peningkatan kewaspadaan masyarakat
f. Perencanaan daerah penampungan sementara dan jalur-jalur evakuasi jika terjadi
bencana.
g. Pembuatan bangunan struktur yang berfungsi untuk mencegah, mengamankan dan
mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana, seperti: tanggul, dam, penahan
erosi pantai, bangunan tahan gempa dan sejenisnya.
Adakalanya kegiatan mitigasi ini digolongkan menjadi mitigasi yang bersifat non-
struktural (berupa peraturan, penyuluhan, pendidikan) dan yang bersifat struktural
(berupa bangunan dan prasarana)..
 
 
 
BAB III
PENUTUP
 
A. Kesimpulan
Di beberapa daerah di Indonesia merupakan daerah yang rawan bencana. Dengan
banyaknya bencana, kesiagaan dan pelaksanaan tanggap bencana harus dilakukan dengan
baik. Karena dampak yang ditimbulkan bencana tidaklah sederhana, maka penanganan
korban bencana harus dilakukan dengan terkoordinasi dengan baik sehingga korban
yang mengalami berbagai sakit baik fisik, sosial, dan emosional dapat ditangani
dengan baik dan manusiawi.
Perawat sebagai kaum yang telah dibekali dasar-dasar kejiwaan kebencanaan dapat
melakukan berbagai tindakan tanggap bencana. Seharusnya modal itu dimanfaatkan oleh
mahasiswa keperawatan agar secara aktif turut melakukan tindakan tanggap bencana.
 
B. Saran
Perawat adalah tenaga kesehatan yang sangat berkompeten untuk melakukan pelayanan
kesehatan di daerah yang sedang mengalami bencana, oleh karena itu diharapkan bagi
mahasiswa keperawatan maupun perawat yang sudah berpengalaman dalam praktik
pelayanan kesehatan mau untk berperan dalam penanggulangan bencana yang ada di
sekitar kita. Karena ilmu yang didapat di bangku perkuliahan sangat relevan dengan
yang terjadi di masyarakat, yaitu fenomena masalah kesehatan yang biasanya muncul
di tempat yang sedang terjadi bencana.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
DAFTAR PUSTAKA
 
1. Blackwell, Wiley,2015-2017. Nanda International, Inc. Nursing Diagnoses :
Definitions & Classification. 10th Ed.  The atrium, shouter Gate, Chichester, West
Sussex
2. Bencana, Pujiono. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007
Tentang Penanggulangan Bencana Paragdima Penanggulangan.
3. Blogspot.
2010. Bencana. http://keperawatankomunitas.blogspot.com/2010/04/bencana.html.
Diakses Pada Tanggal 2 September 2016. Pukul 08.45 WIB.
4. Bulechek, Gloria M & Butcher, Howard, K, 2013. Nursing Interventions
Classification (NIC). 6th Ed. St Louis : Missouri
5. Efendi, Ferry. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori dan Praktik dalam
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
 

Anda mungkin juga menyukai