Berbagai bencana seperti banjir dan tanah longsor menjadi peristiwa
langganan setiap tahun di Indonesia. Hingga tsunami tahun 2004, penanggulangan bencana di Indonesia terfokus pada tanggap darurat, yaitu memberikan bantuan kepada para korban setelah bencana terjadi. Upaya- upaya pertolongan darurat dirasa baik, namun korban dan kerugian terlanjur terjadi. Penderitaan yang dialami masyarakat setelah bencana seringkali berlanjut. Dahsyatnya kerusakan yang diakibatkan oleh tsunami tahun 2004 menjadi titik balik bagi cara-cara dan pendekatan dalam penanggulangan bencana di Indonesia. Muncul kesadaran bahwa tanggap darurat saja tidaklah cukup: pendekatan itu menguras sumber daya yang sangat besar, pekerjaan yang dilakukan penuh kesulitan, sementara itu kehilangan elemen-elemen kehidupan tidak bisa dikembalikan dan hasil dari tanggap darurat itu sebagian besarnya digunakan untuk mengembalikan apa yang hilang. Dari sana muncul gagasan bahwa upaya-upaya pra-bencana perlu digalakkan sehingga bencana dapat dihindari atau diminimalisasi. Jika kita membaca atau mendengar berbagai cerita paska bencana, maka ada tiga tema pokok: 1.Bencana mengakibatkan hasil-hasil pembangunan di masyarakat seperti bangunan rumah, infrastruktur, dan mata pencaharian rusak atau lenyap. Bencana dengan seketika menyebabkan orang yang terkena bencana mengalami kemiskinan atau semakin bertambah miskin. Akibat lebih jauh, masyarakat kehilangan kesempatan hidup secara layak dan bahkan sebagiaan menderita putus harapan. 2.Pengerahan sumber daya dalam situasi darurat yang umumnya sulit dan penuh tekanan hanya terfokus pada penyelamatan dan pertolongan.Pekerjaan yang dilakukan dalam situasi darurat menimbulkan stres dan berisiko baik bagi korban maupun orang yang memberikan pertolongan. 3. Upaya-upaya pembangunan baik dalam skala kecil atau besar dimulai dari titik nol atau bahkan negatif sehingga siklus pembangunan harus dimulai dari awal lagi. Padahal jika bencana bisa dicegah atau dimitigasi, maka pembangunan saat ini bisa digunakan untuk memperkuat apa yang sudah ada di masyarakat. Dari tiga tema pokok di atas, kita belajar bahwa penanggulangan bencana yang terfokus pada kegiatan paska bencana atau tanggap darurat seringkali tidak mencukupi. Penanggulangan bencana semacam itu bersifat reaktif, dan mengakibatkan kegiatan masyarakat didikte oleh bencana. Selain itu, ada potensi bahwa masyarakat akan kembali ke titik nol terus-menerus yang disebabkan oleh bencana yang berulang-ulang. Sebagai tambahan, pengerahan sumber daya pembangunan juga akan terfokus pada ‘menambal kerusakan’, bukan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ini akan menyebabkan kemajuan terhambat, atau dengan kata lain, pembangunan mengalami stagnasi. Dari pelajaran tersebut, diperlukan paradigma penanggulangan bencana yang berbeda, sebuah penang gulangan bencana yang bersifat proaktif. Penanggulangan bencana tersebut terfokus pada pengurangan risiko bencana. Dalam pengurangan risiko bencana, manusia mengerahkan sumber daya pada kegiatan-kegiatan prabencana. Bahkan, istilah ‘pra-bencana’ dapat diganti menjadi ‘saat tidak ada bencana’ karena mungkin pengurangan risiko bencana dapat mencegah terjadinya bencana. Ilustrasi pengurangan risiko bencana dapat dijelaskan dalam rumus risiko bencana: Risiko bencana dapat dikurangi dengan:
1. Menghilangkan atau mengurangi ancaman. Pertanyaan yang perlu
diajukan adalah: a) Apakah ancaman dapat dihilangkan/dicegah atau dikurangi kekuatan atau frekuensinya? b) Jika bisa dicegah atau dikurangi, apa yang bisa dilakukan untuk mencegah/ mengurangi ancaman? Risiko bencana dapat dikurangi dengan:
2. Menghilangkan dan/atau mengurangi kerentanan. Pertanyaan yang perlu
diajukan adalah:
a) Apa saja kerentanan yang berhubungan langsung dengan ancaman (perlu
ditekankan bahwa kerentanan dalam konteks pengurangan risiko bencana merupakan kerentanan yang berhubungan langsung dengan ancaman, bukan hal-hal umum yang sering disebut sebagai kerentanan seperti kemiskinan, mata pencaharian dll)?
b) Apakah kerentanan-kerentanan tersebut bisa dihilangkan atau dikurangi?
c) Jika bisa menghilangkan atau mengurangi ke-rentanan, apa yang bisa
dihilangkan? Risiko bencana dapat dikurangi dengan:
3. Meningkatkan kapasitas baik yang berhubungan dengan kapasitas
masyarakat menghilangkan/ mengurangi/menghadapi ancaman maupun kapasitas yang berhubungan dengan menghilang-kan/ mengurangi kerentanan. Pertanyaan yang perlu diajukan adalah:
a) Apa saja kapasitas yang dibutuhkan dalam menghadapi ancaman dan
kerentanan?
b) Bagaimana meningkatkan masing-masing kapasitas?
“ Kredo penanggulangan bencana yang terfokus pada pengurangan risiko bencana : Mampu mencegah munculnya ancaman, jika mungkin. Jika tidak, mampu mengurangi besarnya atau kekuatan ancaman. Jika ancaman datang, mampu mengurangi dampak bencana yang terjadi dengan mempersiapkan masyarakat. Jika bencana terjadi, mampu menanggulangi secara efektif. Setelah bencana ditanggulangi, mampu pulih secara cepat dan siap terhadap kemungkinan bencana di masa depan” Prinsip-prinsip Pengurangan Risiko Bencana
1. Pengerahan Sumber Daya Difokuskan Pada Kegiatan Pencegahan,
Kesiapsiagaan, Dan Perencanaan.
Manajemen yang efektif mengutamakan ketiga aspek ini sehingga hal-hal
penting atau vital dapat ditangani tanpa ketergesa-gesaan dan hasilnya optimal. Selain itu, tekanan yang wajar akan memfasilitasi kecermatan, kehati -hati an, dan akal sehat untuk menghasilkan sarana pencegahan dan kesiapsiagaan yang baik. Sebaliknya, apabila hal-hal vital ditangani dalam kondisi tergesa-gesa atau saat situasi darurat dan tekanan terlalu besar, maka hasilnya kurang optimal. Hal ini sesuai dengan teori manajemen organisasi yang menyatakan bahwa organisasi yang efektif menggunakan sebagian besar waktunya untuk hal-hal yang penting untuk ditangani namun ti dak muncul dalam kondisi mendesak atau penuh tekanan sehingga mengurangi waktu untuk melakukan “pemadaman kebakaran”. Oleh karena itu, kegiatan pembuatan sarana pencegahan atau miti gasi (misalnya DAM Sabo, pembersihan sungai, penanaman hutan bakau dll) dan kesiapsiagaan (misalnya pelati han, simulasi dll) harus dilakukan jauh sebelum potensi bencana nampak. Prinsip-prinsip Pengurangan Risiko Bencana
2. Sinergi Dengan Berbagai Komponen Pemerintahan.
Aktivitas penanggulangan bencana yang terfokus pada pengurangan risiko bencana membutuhkan koordinasi dan kerja sama dengan berbagai komponen pemerintahan. Upaya pencegahan dan mitigasi, seperti Badan Perencanaan Pembangunan, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Kesehatan, dll. Harapannya, kegiatan pembangunan dapat diselaraskan dengan prinsip-prinsip pengurangan risiko bencana. Prinsip-prinsip Pengurangan Risiko Bencana
3. Pelibatan Semua Pemangku Kepentingan.
Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi masyarakat, sektor swasta, dan masyarakat perlu dilibatkan dalam pengurangan risiko bencana. Undang- undang Nomor. 24 tahun 2007 sendiri menyatakan bahwa para pemangku kepentingan ini berperan dalam upaya penanggulangan bencana. Peran masyarakat perlu digarisbawahi karena masyarakat memiliki pengetahuan tentang potensi ancaman, kerentanan, dan kapasitas di wilayahnya sendiri. Selain itu, inisiatif masyarakat menjadi jaminan keberlanjutan dari pengurangan risiko bencana. Prinsip-prinsip Pengurangan Risiko Bencana
4. Prioritas Penanggulangan Bencana Yang Tepat.
Tiap wilayah memiliki potensi bencana yang beragam dan tidak semua bisa ditangani dalam waktu yang bersamaan akibat keterbatasan sumber daya. Oleh karenanya pembuatan skala prioritas terhadap potensi bencana perlu dibuat (setelah pengkajian risiko bencana). Bencana-bencana yang diprioritaskan biasanya merupakan bencana-bencana yang paling sering melanda wilayah yang berkaitan atau bencana yang potensi kerugiannya paling besar. Kegiatan pengurangan risiko bencana, seperti tertulis dalam UU Nomor. 24/2007, meliputi:
1. Pengenalan dan pemantauan risiko bencana
2. Perencanaan partisipatif penanggulangan bencana 3. Pengembangan budaya sadar bencana 4. Penerapan komitmen terhadap pelaku penanggulangan bencana 5. Penerapan upaya fisik, non-fisik, dan pengaturan penanggulangan bencana Bagaimana dengan upaya penanggulangan bencana oleh pemerintah? UU Nomor 24/2007 merupakan respon positif dari pemerintah dalam memulai penanggulangan bencana yang berfokus pada masa pra-bencana. Undang-undang ini diharapkan memberikan legitimasi bagi lembaga pemerintah yang terkait, terutama Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah dalam melakukan pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, dan perencanaan. Namun, bagaimana dengan penerapannya? Apakah BNPB/BPBD bersama komponen pemerintahan lainnya sudah memfokuskan sumber daya untuk hal-hal tersebut, terutama pencegahan dan mitigasi, sebagai komponen utama penanggulangan bencana?