Anda di halaman 1dari 14

MANAJEMEN PENANGGULANGAN BENCANA

PARADIGMA PENANGGULANGAN BENCANA

Disusun Oleh

Kelompok 1 :
Asfia Sukmarnis
Cahaya Fadilah
Cyntia Rahmadani
Fitri Febriyanti
Gusrida Dahri
Gustina Yulia

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN RIAU
PRODI DIV KEBIDANAN
PEKANBARU
2020
PARADIGMA PENANGGULANGAN BENCANA

A. Pergeseran Paradigma Penanggulangan Bencana


Selama ini masih banyak masyarakat yang melihat bencana alam sebagai sesuatu yang
datang di luar kemampuan manusia atau suatu peristiwa yang begitu saja terjadi tanpa
pemberitahuan sehingga kecenderungannya adalah menunggu kejadian tersebut dialami atau
menimpa diri mereka. Hal ini dipengaruhi oleh pandangan konvensional yang menganggap
bencana merupakan sifat alam dan terjadinya bencana adalah karena kecelakaan. Bencana alam
juga tidak dapat diprediksi, tidak menentu, dan suatu peristiwa atau kejadian yang tidak
terelakkan atau terhindarkan serta tidak terkendali (Triutomo, 2007). Di samping itu adanya
keyakinan bahwa bencana adalah “kehendak Tuhan” (the Acts of God) di mana kejadian bencana
alam itu di luar kemampuan manusia ataupun kehendak Tuhan (Lindell at al., 2006), sebagai
bentuk peringatan, cobaan bahkan kutukan, sehingga manusia tidak berhak dan tidak dapat
mempersiapkan diri menghadapi bencana.
Berdasarkan pada pandangan ini, masyarakat terdampak dipandang sebagai “korban” dan
penerima bantuan dari pihak luar atau harus segera mendapat pertolongan, sehingga fokus dari
penanggulangan bencana lebih pada bantuan (relief) dan kedaruratan (emergency). Oleh karena
itu pada umumnya tindakan yang dilakukan adalah upaya reaktif yang sifatnya kedaruratan, yang
menekankan pada penanganan dan pemberian bantuan bukan penanggulangan. Bentuk
penanganan biasanya berfokus pada pemenuhan kebutuhan darurat seperti pangan, penampungan
darurat, kesehatan dan mengatasi krisis yang dialami oleh masyarakat. Sementara tujuan dari
penanganan bencananya adalah untuk menekan tingkat kerugian, kerusakan dan cepat
memulihkan keadaan (Bakornas BP, 2007; Pujiono, 2007).
Di dunia termasuk di Indonesia hampir mayoritas sumber daya manusia, dana, maupun
program-program penanggulangan bencana diarahkan pada saat tanggap darurat. Di organisasi
Muhammadiyah sendiri 80 persen kegiatan penanggulangan bencana maupun sumber daya dan
sumber dana masih diperuntukkan untuk kegiatan kedaruratan seperti pemberian bantuan
kebutuhan dasar bagi masyarakat yang terdampak bencana alam di seluruh Indonesia, serta
pendampingan sosial, bantuan medis dan pemulihan kehidupan dan penghidupan.
Dari pandangan konvesional paradigma penanggulangan bencana berkembang ke
pandangan yang lebih progressif yang melihat bahwa bencana sebagai bagian dari pembangunan
dan bencana adalah masalah yang tidak berhenti. Oleh karena itu penanggulangan bencana tidak
dapat dilepaskan dari masalah pembangungan sehingga upaya yang dilakukan adalah
mengintegrasikan program pembangunan dengan penanggulangan bencana. Pandangan yang
lebih progresif yang berkembang juga dipengaruhi ilmu pengetahuan alam dan sosial.
Berkembangnya pengetahuan mendorong timbulnya pandangan bahwa bencana adalah
merupakan proses geofisik, geologi dan hidrometeorologi yang dapat mempengaruhi lingkungan
fisik dan membahayakan kehidupan manusia. Berdasarkan pandangan ini paradigma yang
berkembang adalah mitigasi dimana fokus penanggulangan bencana diarahkan pada kesiapan
masyarakat dalam menghadapi bahaya dan meningkatkan kekuatan fisik struktur bangunan untuk
memperkecil kerusakan yang terjadi akibat adanya kejadian alam. Paradigma ini memandang
bahwa upaya penanggulangan bencana lebih diarahkan kepada identifikasi daerah rawan
bencana, mengenali pola yang menimbulkan kerawanan serta melakukan kegiatan mitigasi yang
bersifat struktural seperti membangun konstruksi (rumah, bangunan, dam, tanggul dll) maupun
non struktural seperti penataan ruang termasuk tata guna lahan, standar bangunan dll (Bakornas
PB, 2007; Godschalk et.al 1999).
Sementara itu pandangan holistik melihat bahwa kejadian alam dapat menjadi ancaman
bencana jika bertemu dengan kerentanan serta ketidakmampuan masyarakat menghadapi risiko.
Pandangan ini dikenal dengan paradigm pengurangn risiko. Pendekatan ini merupakan
perpaduan dari sudut pandang teknis dan ilmiah dengan faktor-faktor sosial, ekonomi dan politik
dalam pengurangan bencana. Oleh karena itu, berdasarkan pandangan ini upaya penanggulangan
bencana ditujukan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengelola dan menekan
risiko terjadinya bencana.
Cara pandang baru terhadap pengelolaan bencana ini juga kemudian dijadikan
kesepakatan international melalui Kerangka Aksi Hygo 2005-2015 yang diadopsi oleh
Konferensi Dunia untuk Pengurangan Bencana atau yang dikenal dengan World Conference on
Disaster Reduction (WCDR). WCDR ini ditandatangani oleh 168 negara dan badan-badan
multilateral. Lima prioritas yang ditegaskan dalam kerangka tersebut meliputi:
1. Meletakkan pengurangan resiko bencana sebagai prioritas nasional maupun daerah yang
pelaksanaannya harus didukung oleh kelembagaan yang kuat
2. Mengidentifikasikan, mengkaji dan memantau resiko bencana serta menerapkan system
peringatan dini
3. Memanfaatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun kesadaran
keselamatan diri dan ketahanan terhadap bencana pada semua tingkatan masyarakat
4. Mengurangi faktor-faktor penyebab resiko bencana.
5. Memperkuat kesiapan menghadapi bencana pada semua tingkatan masyarakat agar respons
yg dilakukan lebih efektif. (UNISDR, 2005)
Pada paradigma ini, masyarakat merupakan subyek, obyek sekaligus sasaran utama upaya
pengurangan risiko bencana dengan mengadopsi dan memperhatikan kearifan local (local
wisdom) dan pengetahuan tradisional (tradisional knowledge) yang ada dan berkembang dalam
masyarakat. Perubahan paradigma tersebut membawa perubahan dalam pengelolaan bencana
yaitu:
1. Penanggulangan bencana tidak lagi berfokus pada aspek tanggap darurat tetapi lebih pada
keseluruhan manajemen risiko
2. Perlindungan masyarakat dari ancaman bencana oleh pemerintah merupakan wujud
pemenuhan hak asasi rakyat dan bukan semata-mata karena kewajiban pemerintah
3. Penanggulangan bencan bukan lagi hanya urusan pemerintah tetapi juga menjadi urusan
bersama masyarakat, lembaga usaha, dimana pemerintah menjadi penanggung jawab
utamanya (Bakornas PB, 2007).

B. Perubahan Pandangan Dan Paradigma


Paradigma penanggulangan bencana di Indonesia kini sudah berubah. Yaitu, dari
pendekatan fatalistik-reaktif dan tanggap darurat, menuju proaktif dan pengurangan risiko
bencana, yang terintegrasi melalui perencanaan pembangunan. Dalam paradigma lama,
pendekatan penanggulangan bencana adalah bersifat responsif, sektoral, tergantung inisiatif
pemerintah, sentralisasi, dan tanggap darurat. “Sedangkan menurut paradigma baru,
pendekatannya adalah bersifat preventif, multi-sektoral, tanggung jawab semua pihak,
desentralisasi, dan pengurangan risiko bencana,” jelas Suprayoga. “Bencana tak mengenal batas
administrasi, tetapi kait-mengait dengan berbagai bidang. Oleh karena itu, penanganan bencana
tidak bisa dijalankan dengan pendekatan sektoral, melainkan harus dengan pendekatan
kewilayahan,” sambungnya. Sebelum adanya UU Penanggulangan Bencana, manajemen
penanggulangan bencana masih bersifat sektoral, dan mengutamakan penanganan darurat. Ia
belum didukung perencanaan penanggulangan bencana dan anggaran. Kondisi pra-bencana juga
kurang diperhatikan. “Pemahaman dan kemampuan pelaku penanggulangan bencana masih
terbatas,” ujarnya.
Tetapi sesudah adanya UU tersebut, manajemen penanggulangan bencana sudah
terkoordinasi. UU ini mendorong dokumen perencanaan penanggulangan bencana dan anggaran,
serta memperhatikan penguatan kapasitas penanggulangan bencana yang dibutuhkan. Kondisi
pra-bencana, penanganan darurat, dan pemulihan juga diperhatikan. Pada kesempatan itu,
Suprayoga menjelaskan konteks kerentanan bencana di Indonesia. Indonesia berada pada posisi
pertemuan tiga lempeng bumi, yaitu Eurasia, Pasifik dan Indo-Australia, yang menjadikan
Indonesia rawan gempa tektonik. Pertemuan lempeng itu juga menjadikan Indonesia sebagai
kawasan gunung berapi yang merupakan bagian dari Cincin Api Pasifik (Pacific Ring of Fire).
Posisi geografis Indonesia berada pada daerah yang ditandai dengan gejolak cuaca dan fluktuasi
iklim dinamis. Ditambah lagi, praktik pengelolaan sumber daya alam yang tidak terkendali, yang
mengancam keseimbangan ekologis. Mengutip laporan Global Assessment Report (GAR),
Suprayoga memaparkan, kerugian ekonomi akibat bencana alam, seperti gempa bumi, tsunami,
angin topan, dan banjir, kini mencapai rata-rata kerugian 300 miliar dollar AS per tahun.
Perubahan pandangan dan paradigma tentang bencana dan pengelolaannya mendorong
adanya pendekatan baru melalui manajemen risiko. Pendekatan ini mengharuskan setiap individu
dalam masyarakat untuk memahami situasi dan memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi
ancaman serta kapasitas yang dimiliki untuk menekan risiko seminimal mungkin.
Untuk meningkatkan kemampuan dan kapasitas masyarakat dalam mengurangi risiko
bencana beberapa langkah dapat dilakukan melalui peningkatan :
1. Kesadaran masyarakat dalam memahami situasi lingkungan dan ancaman bahaya
2. Pemahaman tentang kerentanan dan kemampuan untuk mengukur kapasitas yang dimiliki
3. Kemampuan untuk menilai risiko yang dihadapi baik oleh individu, keluarga, dan
masyarakat dilingkungannya
4. Kemampuan untuk merencanakan dan melakukan tindakan untuk mengurangi risiko yang
dimiliki baik melalui peningkatan kapasitas dan mengurangi kerentanan
5. Kemampuan untuk memantau, mengevaluasi dan menjamin keberlangsungan upaya
pengurangan risiko sehingga dampak bencana dapat dikurangi atau dicegah.
Pendekatan pengurangan risiko ini merupakan sebuah usaha atau ikhtiar untuk lebih
sensitif dalam memahami lingkungan. Bencana tidak lagi hanya menjadi pengetahuan,
peringatan dan bentuk kepedulian saat terjadinya saja, akan tetapi pengetahuan akan anacaman
bencana dan kemampuan menghadapi dan mengelola bencana menjadi kegiatan yang terus
menerus dilakukan.

Paradigma Dalam Penanggulangan Bencana

Pandangan
Pandangan
Pandangan Ilmu Pandangan Ilmu Pandangan Pandangan
Konvensio
Progresif Pengetahuan Sosial Ilmu Terapan Holistik
nal
Alam
1. Bencana 1. Menganggap 1. Bencana 1. Fokus pada 1. Besaran 1. Menekankan
merupak bencana merupaka bagaimana (magnitude) pada
an sifat sebagai n unsur tanggapan dan bencana ancaman
alam bagian dari lingkunga kesiapan tergantung (threat) dan
2. Terjadiny pembanguna n fisik masyarakat besarnya kerentanan
a n masyarakat yang menghadapi ketahanan (vulnerability
bencana: yang membahay bahaya. atau ), serta
– ‘normal’ akan 2. Ancaman adalah kerusakan kemampuan
kecelakaa 2. Bencana kehidupan alami, tetapi akibat masyarakat
n adalah manusia. bencana bukan bencana. dalam
(accident); masalah yang 2. Karena alami. 2. Pengkajian menghadapi
–tidak tidak pernah kekuatan 3. Besaran bencana bencana risiko.
dapat berhenti. alam yang tergantung ditujukan 2. Gejala alam
diprediksi; 3. Peran sentral luar biasa. perbedaan tingkat pada upaya menjadi
–tidak dari 3. Proses kerawanan meningkatk ancaman jika
menentu; masyarakat geofisik, masyarakat an mengancam
–tidak adalah geologi 3. kekuatan hidup dan
terhindark mengenali dan fisik harta-benda.
an bencana itu hidromete struktur 3. Ancaman
–tidak sendiri orologi. bangunan akan berubah
terkendali. 4. Tidak untuk menjadi
3. Masyara memperhit memperkeci bencana jika
kat ungkan l kerusakan bertemu
dipandan manusia dengan
g sebagai sebagai kerentanan
‘korban’ penyebab
dan bencana
‘penerim
a
bantuan’
dari
pihak
luar

C. Tugas dan Fungsi Penanggulangan Bencana

1. Pra bencana (Pencegahan & Kesiapsiagaan)


a) Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan mempunyai tugas mengkoordinasikan dan
melaksanakan kebijakan di bidang pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan dan
pemberdayaan masyarakat pada pra bencana serta pengurangan resiko bencana.
b) Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (a), Bidang Pencegahan
dan Kesiapsiagaan, mempunyai fungsi :
1) perumusan kebijakan di bidang pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan pada
pra bencana serta pengurangan resiko bencana;
2) pengkoordinasian dan pelaksanaan kebijakan di bidang pencegahan, mitigasi dan
kesiapsiagaan pada pra bencana serta pengurangan resiko bencana;
3) pelaksanaan kerja sama dengan instansi atau lembaga terkait di bidang
pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan pada pra bencana serta pengurangan
resiko bencana;
4) pemantauan, evaluasi dan analisis pelaporan di bidang pencegahan, mitigasi dan
kesiapsiagaan masyarakat pada pra bencana serta pengurangan resiko bencana;
5) pelaksanaan tugas-tugas lain yang diberikan Kepala Badan.
c) Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan, terdiri atas :
1) Seksi Pencegahan;
2) Seksi Kesiapsiagaan.

d) Masing-masing Seksi dipimpin oleh Kepala Seksi yang berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Kepala Bidang. Seksi Pencegahan, mempunyai tugas :

1) menyiapkan bahan perencanaan kebijakan di bidang pencegahan pada saat pra


bencana dan pengurangan resiko bencana;
2) menyiapkan bahan pedoman teknis dan standart di bidang pencegahan pada saat
pra bencana serta pengurangan resiko bencana ;
3) menyiapkan bahan pelaksanaan kebijakan di bidang pencegahan pada saat pra
bencana serta pengurangan resiko bencana dengan menyusun Rencana Aksi
Daerah ;
4) menyiapkan bahan kerjasama di bidang pencegahan pada saat pra bencana
pengurangan resiko bencana;
5) menyiapkan bahan pengendalian dan pengawasan di bidang pencegahan pada saat
pra bencana serta pengurangan resiko bencana ;
6) menyiapkan bahan dan menyusun laporan di bidang pencegahan pada saat pra
bencana serta pengurangan resiko bencana;
7) menyiapkan bahan fasilitasi di bidang pencegahan pada saat pra bencana serta
pengurangan resiko bencana;
8) menyiapkan bahan evaluasi di bidang pencegahan pada saat pra bencana serta
pengurangan resiko bencana;
9) menyiapkan bahan pemaduan penanggulangan bencana dalam perencanaan
pembangunan daerah ;
10) menyiapkan bahan pendidikan dan pelatihan dasar, lanjutan, teknis, simulasi dan
gladi ;
11) melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Bidang.

e) Seksi Kesiapsiagaan, mempunyai tugas :


1) menyiapkan bahan perencanaan kebijakan di bidang kesiapsiagaan pada pra
bencana, peringatan dini dan mitigasi bencana;
2) menyiapkan bahan pedoman teknis dan standart di bidang kesiapsiagaan pada pra
bencana, peringatan dini dan mitigasi bencana;
3) menyiapkan bahan pelaksanaan kebijakan di bidang kesiapsiagaan pada pra
bencana, peringatan dini dan mitigasi bencana;
4) menyiapkan bahan kerjasama di bidang kesiapsiagaan pada pra bencana,
peringatan dini dan mitigasi bencana;
5) menyiapkan bahan pengendalian dan pengawasan di bidang kesiapsiagaan pada
pra bencana, peringatan dini dan mitigasi bencana;
6) menyiapkan bahan dan menyusun laporan di bidang Kesiapsiagaan pada pra
bencana;
7) menyiapkan bahan fasilitasi di bidang Kesiapsiagaan pada pra bencana,
peringatan dini dan mitigasi bencana;
8) menyiapkan bahan evaluasi di bidang Kesiapsiagaan pada pra bencana, peringatan
dini dan mitigasi bencana;
9) melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Bidang.

2. Saat Bencana
Fungsi Koordinasi adalah Koordinasi BPBD dengan instansi / lembaga dinas /
badan secara horisontal pada tahap pra bencana, saat tanggap darurat dan pasca
bencana; Koordinasi penyelenggaraan penanggulangan bencana dapat dilakukan
melalui kerjasama dengan lembaga / organisasi dan pihak-pihak lain yang terkait
sesuai dengan ketentuan yang berlaku; Kerjasama melibatkan peran serta negara lain,
lembaga internasional dan lembaga asing non pemerintah.
Fungsi Komando, dalam status keadaan darurat bencana Gubernur menunjuk
seorang komandan penanganan bencana atas usulan Kepala BPBD. Komandan
penanganan darurat bencana mengendalikan kegiatan operasional penanggulangan
bencana dan berwenang mengaktifkan serta meningkatkan Pusat Pengendalian Operasi
menjadi Pos Komando. Kewenangan komandan memerintahkan instansi / lembaga
meliputi : (a) penyelamatan, (b) pengerahan sumber daya manusia, (c) pengerahan
peralatan dan logistik.
Fungsi Pengendalian adalah mengendalikan penggunaan teknologi yang secara
tiba-tiba / berangsur menjadi sumber ancaman bahaya bencana, penguasaan dan
pengelolaan sumberdaya alam yang berpotensi bahaya, pengurasan sumberdaya alam
yang melebihi daya dukungnya yang menyebabkan ancaman bahaya, perencanaan dan
penegakan tata ruang wilayah kaitan penanggulangan bencana serta pengendalian
pengumpulan dan penyaluran bantuan berupa uang dan / atau barang serta jasa lain
yang diperuntukan untuk penanggulangan bencana.

3. Pasca Bencana
a) Kepala Badan : Kepala Badan Ex Officio mempunyai tugas memimpin badan
dalam perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan
penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat, efektif dan efisien: dan
Pengkoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara
terencana, terpadu dan menyeluruh
b) Kepala Pelaksana : Mempunyai tugas membantu Kepala Badan Penanggulangan
Bencana Daerah dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi BPBD sehari hari yang
meliputi pelaksanaan penanggulangan bencana yang meliputi pra bencana, saat
tanggap darurat dan pasca bencana secara terintegrasi, dan mempunyai fungsi :
 Pengkoordinasian
 Pengkomandoan; dan
 Pelaksana
c) Sekretariat Pelaksana : Sekretariat Pelaksana mempunyai tugas di bidang
ketatausahaan dan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Pelaksana Badan
Penanggulangan Bencana Daerah, dan mempunyai fungsi :
 Pengkoordinasian, sinkronisasi dan integrasi dilingkungan BPBD
 Pengkoordinasian, perencanaan dan perumusan kebijakan teknis BPBD
 Pembinaan dan pelayanan administrasi ketatausahaan, hukum, dan peraturan
perundang undangan, organisasi, tatalaksana, kepegawaian, keuangan,
persandian, perlengkapan, dan rumah tangga BPBD
 Pembinaan dan pelaksanaan hubungan masyarakat dan protokol di lingkungan
BPBD
 Fasilitasi pelaksanaan tugas dan fungsi unsur pengarah penanggulangan
bencana, dan
 Pengkoordinasian dalam penyusunan laporan BPBD
d) Seksi Pencegahan dan Kesiapsiagaan : Seksi Pencegahan dan Kesiapsiagaan
mempunyai tugas membantu Kepala Pelaksana dalam mengkoordinasikan dan
melaksanakan kebijakan dibidang pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan pada
pra bencana serta pemberdayaan masyarakat, mempunyai fungsi :
 Perumusan kebijakan dibidang pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan pada
pra bencana serta pemberdayaan masyarakat;
 Pengkoordinasian dan pelaksanaan kebijakan dibidang pencegahan, mitigasi
dan kesiapsiagaan pada pra bencana;
 serta pemberdayaan masyarakat;
 Pelaksanaan hubungan kerja dengan instansi atau lembaga terkait dibidang
pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan pada pra bencana;
 serta pemberdayaan masyarakat;
 Pemantauan, evaluasi, dan analisis pelaporan tentang pelaksanaan kebijakan
umum dibidang pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan pada pra bencana
serta pemberdayaan masyarakat;
e) Seksi Kedaruratan dan Logistik : Seksi Kedaruratan dan Logistik mempunyai
tugas membantu Kepala Pelaksana dalam mengkoordinasikan dan melaksanakan
kebijakan Penanggulangan Bencana pada saat tanggap darurat, dan dukungan
logistik, mempunyai fungsi :
 Perumusan kebijakan di bidang Penanggulangan Bencana pada saat tanggap
darurat, penanganan pengungsi dan dukungan logistik;
 Pengkoordinasian dan pelaksanaan kebijakan di bidang Penanggulangan
Bencana pada saat tanggap darurat, penanganan pengungsi dan dukungan
logistik;
 Komando pelaksanaan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat;
 Pelaksanaan hubungan kerja di bidang Penanggulangan Bencana pada saat
tanggap darurat, penanganan pengungsi dan dukungan logistik ; dan
 Pemantauan, evaluasi, dan analisa pelaporan tentang pelaksanaan kebijakan di
bidang Penanggulangan Bencana pada saat tanggap darurat, penanganan
pengungsi dan dukungan logistik.
f. Seksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi : Seksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi
mempunyai tugas membantu Kepala Pelaksana dalam mengkoordinasikan dan
melaksanakan kebijakan dibidang Penanggulangan Bencana pada Pasca Bencana,
mempunyai fungsi :

 Perumusan kebijakan dibidang penanggulangan bencana pada pasca bencana;


 Pengkoordinasian dan pelaksanaan kebijakan dibidang penanggulangan
bencana pada pasca bencana;
 Pelaksanaan hubungan kerja dibidang Penanggulangan Bencana pada Pasca
Bencana; dan
 Pemantauan, evaluasi dan analisis pelaporan tentang pelaksanaan kebijakan
dibidang Penanggulangan Bencana pada Pasca

TSUNAMI SELAT SUNDA 2018

Dalam setiap kejadian bencana alam, pemerintah dalam hal ini Kementerian Sosial hadir di
tengah lokasi bencana memberikan perlindungan sosial korban bencana alam. Mensos Agus
Gumiwang Kartasasmita menjelaskan Program Perlindungan Sosial Korban Bencana Alam
meliputi tiga tahap yakni Prabencana saat bencana dan Pascabencana. Pada tahap Prabencana,
Kemensos membangun sistem kesiapsiagaan dan mitigasi bencana meliputi penyiapan
bufferstock logistik, penyiapan sarana dan prasarana, penyiapan Taruna Siaga Bencana (Tagana),
Kampung Siaga Bencana (KSB), dan petugas lainnya.
Pada saat bencana mengaktivasi sistem yang sudah dipersiapkan untuk penanggulangan
bencana alam secara terpadu. Sistem yang dimaksud ialah klaster nasional yang dikoordinasikan
oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di mana Kemensos bertugas dalam
klaster perlindungan dan pengungsian serta klaster logistik. Fokus penanganan adalah evakuasi
pengungsi ke tempat aman, serta kelompok rentan yang terdiri atas lansia, anak-anak,
penyandang disabilitas, dan kelompok khusus lainnya.
Pada saat terjadinya bencana dan pemerintah daerah telah menetapkan status tanggap
darurat, Kemensos mengerahkan seluruh potensi penanggulangan bencana alam. Yakni
pengerahan personel Tagana dan Sahabat Tagan, KSB, Kendaraan Siaga Bencana, barang
persediaan, alat evakuasi, alat dan sistem komunikasi, dan kerja sama lembaga pemerintah
dengan NGO.
Barang persediaan terdiri atas makanan, sandang, kebutuhan keluarga dan anak, kebutuhan
khusus untuk penyandang disabilitas. Ini adalah kebutuhan mendesak yang diperlukan warga
terdampak bencana. Selain pemenuhan kebutuan makanan, perlindungan sosial korban bencana
alam juga memprioritaskan tersedianya alat evakuasi terdiri atas tenda pengungsi, tenda dapur
umum, tenda keluarga di lokasi pengungsian. Kemensos, lanjutnya, juga memiliki alat evakuasi
berupa perahu karet, perahu seafrog polytheline, perahu doplhin, kapal cepat evakuasi dan
logistik yang siap digunakan bila diperlukan.
Kendaraan Siaga Bencana juga wajib siap 24 jam sewaktu-waktu diperlukan. Misalnya
Mobil Dapur Umum Lapangan, Mobil Rescue Tactical Unit (RTU), Truck Bak Kayu. Mobil
Tangki Air, Motor Trail. Seluruh barang persediaan dan alat evakuasi disimpan di gudang
logistik terdiri atas satu gudang pusat, dua gudang regional, 34 lokasi gudang provinsi, dan 514
lokasi gudang kabupaten dan kota. Gudang pusat berada di Bekasi, Jawa Barat, dan dua gudang
regional terdiri atas gudang regional Timur di Makassar, Sulawesi Selatan, dan gudang regional
Barat di Palembang, Sumatra Selatan.
Selanjutnya, untuk mempercepat penanganan korban bencana alam, Kementerian Sosial
bekerja sama dengan kementerian dan lembaga terkait, 4 lembaga PBB, 12 NGO internasional
dan lebih dari 100 NGO, serta peran dunia usaha melalui CSR mereka. "Terakhir atau tahap
ketiga, setelah masa tanggap darurat bencana selesai adalah melakukan pemulihan dan penguatan
korban. Meliputi pemberian Bantuan Pemulihan Sosial terdiri atas Jaminan Hidup, BBR,
santunan dan isi hunian tetap, serta yang sangat penting adalah Layanan Dukungan Psikososial
(LDP). Layanan LDP ini bahkan telah kami mulai sehari setelah bencana terjadi untuk
memberikan kekuatan dan pendampingan kepada warga terdampak bencana,".

Anda mungkin juga menyukai