Anda di halaman 1dari 12

BAB 6

ERGONOMI UNTUK ORANG TUA

Menua atau menjadi tua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahanlahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri, atau mengganti dan mempertahankan struktur
dari fungsi normalnya. Dengan begitu manusia secara progresif akan kehilangan daya tahan
terhadap infeksi dan banyak distorsi metabolik maupun struktural, yang biasa disebut dengan
penyakit degeneratif. Ada yang menganalogikan makin tuanya manusia seperti ausnya suku
cadang mesin yang bekerjanya sangat kompleks, yang antar bagiannya saling mempengaruhi
secara fisik/somatik.

Menurut Morris, 1996; Darmojo, 1999; dan Wijaya, 2000, Sebenarnya proses penuaan
merupakan kombinasi antara berbagai faktor yang saling berkaitan. Secara umum penurunan
kemampuan tubuh dan kebolehan lansia, secara lebih rinci dapat dijelaskan dalam uraian di
bawah ini.

6.1 Penurunan Fungsi Fisiologis pada Lansia

6.1.1Penurunan Kemampuan Fisik

Kemampuan fisik optimal seseorang dicapai pada saat usianya antara 25-30 tahun, dan
kapasitas fisiologis seseorang akan menurun 1% per tahunnya setelah kondisi puncaknya
terlampaui. Proses penuaan seseorang ditandai dengan tubuh yang mulai melemah, gerakan
tubuh makin lamban dan kurang bertenaga, keseimbangan tubuh semakin berkurang, dan
makin menurunnya waktu reaksi (Kemper, 1994). Manuaba (1998) menyatakan bahwa pada
usia 60 tahun, kapasitas fisik seseorang akan menurun 25% yang ditandai dengan penurunan
kekuatan otot, sedang kemampuan sensoris dan motorisnya turun sebesar 60%. Di samping
itu juga terjadi banyak perubahan respek pada sensasi orang tua. Visual Acuity (Tajam
penglihatan) terus menurun.

Meskipun orang tua memerlukan lebih banyak intensitas penerangan, namun mereka
juga rentan terhadap kesilauan. Setelah umur 55 tahun terdapat pengurangan/penurunan
lapangan penglihatan. Persepsi warna turun setelah berumur 70 tahun atau lebih. Daya dengar
pada orang tua juga menurun terutama pada frekuensi 1000 Hz dan lebih. Kecakapan berbicara
juga turun secara progresif, pada umur 60 tahun turun 10% dibandingkan umur 20-29 tahun.

6.1.2 Penurunan Sistim Saraf

Cremer, dkk (1994) menyatakan bahwa perubahan sistim saraf pada lansia ditandai
dengan keadaan sebagai berikut:

a. Matinya sel di dalam otak secara kontinyu mulai seseorang berumur 50 tahun,
hal ini akan mengakibatkan berkurangnya pasokan darah ke otak; dan
b. Berkurangnya kecepatan konduksi saraf, hal ini disebabkan oleh penurunan
kemampuan saraf dalam menyampaikan impuls dari dan ke otak.

Rabbitt & Carmichael (1994) menambahkan bahwa penurunan kapasitas prosessing ini
akan berakibat kepada lambatnya reaksi tubuh dan ketidak tepatan reaksi pada kondisi kritis.
Akibat lain yang perlu mendapat perhatian adalah penurunan kepekaan panca indera, seperti:

a. Berkurangnya keseimbangan tubuh, diupayakan dengan mengurangi lintasan yang


membutuhkan keseimbangan tinggi seperti titian, blind-step, juga tangga (gambar 6.1);
b. penurunan sensitifitas alat perasa pada kulit, upayakan untuk menggunakan peralatan
kamar mandi yang relatif aman bagi lansia, seperti; pemanas air dengan termostat, dan
c. terjadinya buta parsial, melemahnya kecepatan focusing pada mata lansia, dan makin
buramnya lensa yang ditandai dengan lensa mata makin berwarna putih, akan
mempersulit lansia membedakan warna hijau, biru dan violet. Keadaan ini berakibat
pada pergerakan lansia yang semakin lamban dan terbatas, sehingga diperlukan alat
bantu untuk memudahkan dalam bergerak seperti pegangan tangan, seperti pada
gambar 6.2 (Gandjean, 1993; Tilley, 1993).
6.1.3 Penurunan Kekuatan Otot

Penurunan kekuatan otot tubuh pada lansia meliputi, penurunan kekuatan otot tangan
sebesar (16-40)% variasi ini tergantung kepada tingkat kesegaran jasmani seseorang.
Penurunan kekuatan genggam tangan menurun sebesar 50%, dan kekuatan otot lengan
menurun 50% (Tilley, 1993). Kemper (1994), menambahkan bahwa berkurangnya kekuatan
dan keleluasaan bergerak pada tubuh lansia terjadi karena menurunnya kemampuan fungsi
organ-organ penggerak, stimulus sensory organ, motor neurones, tingkat kesegaran jasmani
(VO2max) dan kontraksi otot.

Penurunan kemampuan otot untuk masing-masing anggota tubuh pada lansia tidaklah
berbarengan, kekuatan otot paha bagian bawah lebih cepat melemah dibanding kekuatan otot
pada tangan. Sehingga otot lengan akan lebih intensif penggunaannya dibandingkan otot kaki
(gambar 6.2).

6.1.4 Penurunan Koordinasi Gerak Anggota Tubuh

Kecelakaan sering terjadi pada lansia, karena mereka melakukan kegiatan yang pada
saat tersebut berada di luar kemampuannya, padahal jenis pekerjaan itu merupakan kegiatan
rutin di waktu mudanya. Makin berkurangnya kemampuan koordinasi tubuh akan mempersulit
lansia dalam melakukan koordinasi pekerjaan yang berisi informasi yang kompleks (Manuaba,
1988; Kok dkk., 1994). Morris (1996) menyatakan bahwa karena makin melemahnya
koordinasi tubuh, 25% lansia pernah nyaris terjatuh (near miss) di kamar mandi. Padahal kondisi
inilah merupakan tanda awal akan makin melemahnya sistem kontrol koordinasi pada lansia
yang perlu diwaspadai. Pulat (1992) menyatakan bahwa terdapat penurunan kestabilan baik
berdiri maupun duduk setelah midlife.

Perubahan pada tulang, otot, dan jaringan saraf juga terjadi pada orang tua. Degenerasi
proses pada tulang rawan (cartilage) dan otot menyebabkan penurunan mobilitas dan
meningkatnya resiko cedera. Jadi yang terpenting pekerjaan yang dilakukan oleh orang tua
sebaiknya yang tidak memerlukan kekuatan otot, ketahanan, kecepatan dan fleksibilitas. 50%
kekuatan hilang pada umur 65 tahun, tetapi kekuatan tangan hanya turun 16%. Waktu reaksi
sekurang-kurangnya turun 20% pada umur 60 dibandingkan umur 20 tahun. Kata kuncinya
adalah: lansia tersebut butuh tempat tinggal dan beraktivitas yang lebih aman dan nyaman
untuk bergerak, dan latihan untuk dapat menyesuaikan diri terhadap hambatan koordinasi yang
dimilikinya.

6.2 Antropometri Lansia

Antropometri memiliki arti telah tentang ukuran badan manusia dan mengupayakan
evaluasi dan pembakuan jarak jangkau yang memungkinkan rerata manusia untuk
melaksanakan kegiatannya dengan mudah dan gerakan-gerakan yang sederhana
(Wignyosoebroto, 1995).
Ukuran tubuh lansia baik pria maupun wanita, terjadi penyusutan ukuran tinggi badan
lebih kurang 5% dibanding sewaktu berumur 20 tahun. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor
di antaranya:

a. bongkok dan pembengkokan tulang belakang karena proses penuaan;


b. perubahan tulang rawan dan persendian menjadi tulang dewasa; dan
c. perubahan susunan tulang kerangka pembentuk tubuh karena proses
penuaan, dan akibat penyakit lain yang diderita (Tilley, 1993; Samekto &
Pranarka, 1999)

Sebagai ilustrasi pengukuran antropometri statis lansia, dapat dilihat seperti gambar 6.3.
Keterangan gambar 6.3.

A. Tinggi badan : Tinggi dari lantai sampai vertex, posisi subjek berdiri.
B. Tinggi bahu : Tinggi dari lantai sampai tepi bahu atas, posisi subjek berdiri.
C. Tinggi siku : Tinggi dari lantai sampai tepi bawah siku, posisi subjek berdiri
D. Tinggi knuckle : Tinggi dari lantai sampai pertengahan kayu yang digenggam
telapak tangan, posisi subjek berdiri dan tangan tergantung lemas di samping badan.
E. Tinggi popliteal : Tinggi dari lantai sampai sudut bagian belakang lutut, posisi
subjek duduk di atas bangku dengan tungkai bawah tegak lurus lantai
F. Jarak raih tangan : Panjang lengan dari tepi belakang bahu sampai pertengahan
kayu yang digenggam telapak tangan.
G. Diameter lingkar genggaman : Garis tengah lingkaran karena bertemunya ibu jari
dengan ujung telunjuk dan dirasakan paling nyaman oleh subjek. Pengukuran
dilakukan dengan mempergunakan kerucut kayu pengukur genggaman.

Perubahan lainnya adalah makin terbatasnya area pergerakan flextion-abduction, dari


tubuh lansia, keadaan ini akan mengurangi kebolehan dan keandalan gerak tubuh.
Tinjauan antropometri pada lansia tidak hanya terbatas pada pengukuran statis, dan
pengamatan perubahan anatomi karena proses penuaan. Tetapi pengukuran antropometri
secara dinamis menjadi penting, karena berkurangnya kemampuan pergerakan lansia, akan
sangat berpengaruh kepada rancangan sarana yang akan digunakannya.

6.3 Penyediaan Sarana Kamar Mandi untuk Lansia

Pada jaman dahulu, manusia dalam melakukan aktivitas personal hygiene seperti cuci
muka, mandi, buang hajat dan kegiatan lainnya, tidak bergantung kepada kamar mandi.
Aktivitas tersebut biasanya dilakukan di alam terbuka dan bersifat umum seperti sungai,
kolam, danau, sumber mata air, laut, dll. Tetapi pada era modern seperti sekarang ini,
keberadaan kamar mandi dalam suatu tempat tinggal merupakan suatu keharusan bagi
semua orang.

Rancangan sebuah kamar mandi yang mempertimbangkan berbagai aspek,


berkembang seiring dengan pertumbuhan hunian manusia modern. Namun demikian
pemilihan bahan dan parabot kamar mandi pada rumah tinggal, terkadang kurang
mempertimbangkan aspek kesesuaian penggunanya (Bathing, 1998). Kroemer (1994),
menyatakan bahwa sebuah rumah tinggal yang dihuni oleh lanjut usia (lansia), perlu
penyesuaian dan rancangan ulang kamar mandinya. Upaya ini dilakukan dengan
pertimbangan bahwa, kemampuan gerak motorik lansia telah banyak menurun, hal ini
disebabkan oleh karena penurunan kapasitas sensor motoriknya. Disamping itu, kamar
mandi merupakan wilayah paling berbahaya di dalam suatu rumah tinggal, maka tempat
tersebut perlu mendapat perhatian khusus melalui sentuhan rancang bangun yang
ergonomis.

6.3.1 Kloset untuk Lansia

Pengadaan dan pembelian peralatan toilet harus disesuaikan dengan kebutuhan.


Tempat buang air besar (kloset), tentukan dengan tepat model duduk atau jongkok,
sesuaikan pula dengan kebiasaan pemakai (Manuaba, 1998). Untuk lansia yang mengalami
kesulitan berjongkok dan berdiri setelah jongkok dalam waktu tertentu, perlu
dipertimbangkan penggunaan kloset duduk. Pengaturan ketinggian kloset duduk,
disesuaikan dengan rerata tinggi popliteal lansia, yaitu 39,43 ± 5,52 cm.

Telah banyak dikembangkan peralatan untuk memudahkan pembilasan (flusher)


setelah buang hajat di kloset, seperti alat bidet dan beberapa shower khusus yang tergolong
peralatan untuk meningkatkan keamanan pengguna kamar mandi (Bathing, 1998). Tetapi
dari survei di pusat kegiatan lansia, diperoleh hasil bahwa mereka merasa lebih nyaman
membilas setelah buang hajat dengan mempergunakan air dengan gayung, hal ini karena
kebiasaan dan budaya kehidupan para lansia sebelumnya.

6.3.2 Bak Penampung Air

Dari kebiasaan penghuni untuk membilas dengan air dan gayung, dibutuhkan
tempat penampung air yang mudah dijangkau. Kemudahan ini hendaknya
mempertimbangkan letak, volume dan ukuran penampung air. Menurut Manuaba (1998),
apabila disediakan ember dan gayung, letakkan pada posisi dan tata letak yang tepat.

Tinggi dinding bak penampung dan kedalamannya berdasar ukuran persenti 50


panjang lengan dan jarak jangkau lansia penghuni. Ukuran gayung juga disesuaikan dengan
kemampuan angkat dengan satu tangan oleh para lansia. Gayung yang terlampau besar,
ukurannya lebih dari 1 liter akan menyulitkan lansia.

6.3.3 Pegangan Tangan (railling)

Pada kamar mandi dengan kondisi lantai yang licin, lansia berpotensi untuk
tergelincir dan jatuh karena hilangnya keseimbangan tubuh. Sangat penting menambahkan
pegangan tangan (railling) di dinding (Kroemer, 1994). Agar diperoleh tingkat
kenyamanan yang memadai, pegangan tangan dipasang pada ketinggian (10-20) cm di
bawah tinggi siku (Grandjean, 1993).

Penggunaan railling di luar dan dalam kamar mandi diperlukan untuk


meningkatkan kemandirian dan keamanan beraktivitas. Penentuan diameter railling
disesuaikan dengan ukuran diameter rerata genggaman lansia, dan dipilih dari bahan yang
tidak licin.

6.3.4 Lantai Kamar Mandi

Permukaan lantai kamar mandi, yang senantiasa basah sering menyebabkan


kecelakaan, hal ini disebabkan karena permukaannya yang licin. Pemilihan bahan dan
permukaan/tekstur yang baik dan tepat, akan mengurangi kemungkinan seseorang
tergelincir pada saat melewatinya (Kroemer, 1994; Bathing, 1998). Di pasaran banyak dijual
bahan keramik untuk lantai, terkadang pilihan penggunaannya disamakan antara ruang
tinggal dan kamar mandi. Ada beberapa persyaratan cara penggunaan bahan lantai untuk
kamar mandi, di antaranya adalah:

a. pilih bahan yang memiliki tekstur permukaannya agak kasar,


b. permukaan bahan tidak menyerap air/kedap air, sehingga menghindari adanya
genangan dipermukaan,
c. apabila terkena air tidak menyebabkan permukaan menjadi licin, dan
d. lantai dipasang dengan tingkat kemiringan yang memadai ( ± 4o ), agar air tidak
terlampau lama menggenang dan pengguna kamar mandi tidak terganggu dengan
kemiringan lantai.
6.3.5 Handel Pintu Kamar Mandi

Bagi para penyandang cacat atau lansia, yang mengalami kesulitan dalam
mengoperasikan handel perkakas rumah tangga, telah direkomendasikan bentuk
rancangan khusus yang diperuntukkan baginya. Seperti handel bagi penderita arthritis,
parkinson’s, dan muscular distrophy (Tilley, 1993).

Berdasarkan hasil survei di lapangan, ternyata terdapat berbagai jenis handel pintu
yang beredar dipasaran. Hampir seluruh bahan handel yang beredar terbuat dari logam
tuang-cetak, dengan berbagai cara finishingnya. Dalam bentuk penggambaran pada skala
1 x 1 cm2 setiap kotaknya.

Dari hasil wawancara dan pemantauan di pusat kegiatan lansia, ternyata banyak
para lansia terkunci di dalam kamar mandi dan membutuhkan pertolongan. Hal ini terjadi
karena penghuni yang telah lanjut usia kesulitan dalam mengoperasikan handel pintu
berbentuk bulat, dalam kondisi tangan yang basah. Menurut survei diperoleh hasil bahwa
handel pintu bergagang merupakan handel pintu yang paling sesuai untuk dipergunakan
lansia (Solichul Hadi; dkk, 2001).

6.4 Kenyamanan untuk Lansia

Kenyamanan adalah unsur perasaan manusia yang muncul sebagai akibat dari
minimalnya atau tidak adanya gangguan pada sensasi tubuh (Manuaba, 1977). Sebagian
orang menyatakan bahwa kenyamanan adalah segala sesuatu yang sesuai dan selaras
dengan penggunanaan suatu ruang, baik dengan ruang itu sendiri maupun dengan berbagai
bentuk, tekstur, warna, simbol, suara atau apapun juga. Atau dengan kata lain bahwa
kenyamanan sangat ditentukan oleh adanya keseimbangan antara faktor dalam diri
manusia dengan faktor lingkungan luar yang mempengaruhinya. Dengan kondisi
lingkungan yang nyaman, membuat manusia merasa betah melakukan suatu aktivitas
dalam ruangan tersebut (Sujadnja, 1998).

Rasa tidak nyaman berpengaruh kepada seluruh tubuh melalui perubahan - perubahan
fungsional. Lingkungan yang terlampau panas akan menyebabkan rasa kantuk dan lelah,
menurunnya penampilan serta kemungkinan tingkat kesalahan semakin besar. Sebaliknya
bila lingkungan terlampau dingin, akan merangsang munculnya rasa tidak tenang,
terganggunya konsentrasi terutama untuk kegitan mental. Dari hal tersebut jelas bahwa
manusia sangat membutuhkan suatu lingkungan yang nyaman agar tetap sehat dan mampu
berprestasi (Grandjean, 1993; Manuaba, 1993).

Kenyamanan penggunaan suatu kamar mandi bagi lansia, lebih menitikberatkan pada
penyesuaian peralatan yang lebih ergonomis, seperti: menghindari penggunaan bahan
lantai yang licin, penambahan hand rails dan grab bars untuk memudahkan lansia
mengangkat tubuhnya dari kloset, bathtub, dan keluar masuk kamar mandi (Tilley, 1993;
Kroemer, 1994). Secara lebih operasional, konsep kenyamanan penggunaan kamar mandi
bagi lansia dapat diuraikan seperti gambar 6.4.

a. Kemandirian beraktivitas, Morris (1996) menyatakan tentang sikap yang dialami


lansia, karena pernah hampir mengalami kecelakaan (near miss), ternyata berakibat
pada timbulnya rasa takut, depresif, atau lebih jauh mogok untuk beraktivitas di
kamar mandi secara mandiri; parameter untuk melakukan uji ini adalah checlist
sikap tubuh, seperti : jari kaki mencengkeram, langkah mengecil, tangan meraba
mencari pegangan, mata terpejam, dll. Kemandirian lansia dipengaruhi pula oleh
kebiasaan hidup secara mandiri atau menggantungkan pada bantuan orang lain dan
faktor lingkungan. Faktor lingkungan adalah fasilitas dan sarana yang memudahkan
lansia beraktivitas secara mandiri. (Mardjikun, 1993; Ilmarinen,1994; Rabbit &
Carmichael, 1994)
b. Rasa lega atau kelegaan secara subjektif dapat diukur dengan wawancara atas kesan
dan respon fisiologis penggunaan kamar mandi dan kenyamanan yang
dirasakannya, menggunakan alat pengukur kuesioner/daftar wawancara tentang
kenyamanan.
c. Efisiensi waktu. Wignyosubroto (1995) menguraikan tentang manfaat studi gerak
dan waktu (time & motion study) untuk teknik analisis gerakan pada rancangan
yang diharapkan akan diperoleh efisiensi yang lebih tinggi. Hambatan pergerakan
dalam suatu aktivitas akan mempengaruhi hasil dan kinerja suatu proses. Dengan
peralatan cc-TV dan alat perekam gambar lengkap dengan pencatat waktunya,
dapat dilakukan analisis gerakan lansia di dalam kamar mandi. Dari analisis beda
waktu pada kegiatan yang sama dan keluasaan gerak, akan dapat diketahui
rancangan apa yang lebih memberikan rasa nyaman.

6.5 Kepustakaan

Ergonomi untuk
Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Produktivitas
Ed 1, Cet 1 — Surakarta: UNIBA PRESS, 2004.
I, 383 hlm: 20 cm x 28 cm
Bibliografi: hlm 3, 15, 31, 51, 65, 77, 93, 105, 115, 135, 143, 157, 183, 195, 215,
229, 243, 255, 269, 283, 293, 303, 311, 323, 337
ISBN 979-98339-0-6

https://www.academia.edu/8973610/Apa_pengertian_dari_antropometri_
dan_ergonomi

Anda mungkin juga menyukai