Anda di halaman 1dari 42

MAKALAH

MANAJEMEN PENGURANGAN RISIKO BENCANA

OLEH:

NUR ADHA
K201702126

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
MANDALA WALUYA
KENDARI
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat

serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang

alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “Manajemen Pengurangan Risiko

Bencana”

Makalah ini berisikan tentang Kajian Epidemiologi Penyakit Menular Covid-19.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan

saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi

kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan

serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT

senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

Kendari, September 2020

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara kepulauan yang secara geografis terletak di daerah
khatulistiwa. di antara Benua Asia dan Australia serta di antara Samudera Pasifik dan
Hindia, berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia merupakan wilayah
teritorial yang sangat rawan terhadap bencana alam.
Disamping itu, kekayaan alam yang melimpah dan pemanfaatan sumber daya
alam yang tidak seimbang, wilayah yang luas dengan penyebaran penduduk yang tidak
merata, masyarakat yang multi kultural dengan keragaman suku, adat, dan budaya,
pengaruh globalisasi dan permasalah sosial lainnya yang sangat kompleks
menyebabkan Negara Indonesia menjadi wilayah yang berpotensi rawan bencana, baik
bencana yang disebabkan oleh alam ataupun bencana yang disebabkan oleh ulah
manusia itu sendiri.
Bencana-benca alam yang mungkin terjadi diantaranya adalah bencana banjir,
tanah longsor, gempa bumi, gunung meletus, kebakaran hutan ataupun pemukiman,
tsunami, angin puting beliung, maraknya wabah penyakit, konflik sosial yang berujung
pada peperangan, rusaknya alam akibat kegiatan industrialisasi, dan lain sebagainya.
Secara umum terdapat bencana yang dapat berulang setiap tahun, misalnya saja
bencana kekeringan, kemudian disusul dengan bencana kebakaran hutan ataupun
lahan, setelah itu datang banjir besar dan tanah longsor.
Terjadinya bencana alam pasitlah menimbulkan banyak kerugian baik berupa
metrial maupun korban jiwa bagi benduduk yang tertimpa bencana tersebut. Untuk
meminimalisir jumlah koraban jiwa dan harta benda yang diakibatkan oleh suatu
bencana maka perlu dilakukan langkah-langkah starategis dalam menghadapi
kemungkinan bencana yang terjadi. Terutama dalam masalah kesehatan para korban
jiwa. Oleh sebab itu. pada makalah ini penulis akan membahas mengenai Pengurangan
Risiko Bencana (PRR) di Bidang Kesehatan.
Salah satu respon positif sekaligus kebijakan pemerintah tentang
Penanggulangan Bencana adalah memasukan masalah bencana sebagai salah satu
prioritas pembangunan dalam RPJM nasional 2010-2014 yaitu lingkungan hidup dan
pengelolaan bencana. Dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana salah satu
wewenang pemerintah pusat/daerah yaitu membuat perencanaan pembangunan yang
memasukan unsur-unsur kebijakan penanggulangan bencana dan hal ini dipertegas
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2008 tentang Penanggulangan Bencana
bahwa penanggulangan bencana merupakan bagian dari perencanaan pembangunan.
Salah wujud tanggung jawab pemerintah pusat/daerah dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana yaitu Pengurangan Risiko Bencana (PRB) dan pemaduan
PRB dengan program pembangunan. Pengurangan Risiko Bencana dilakukan untuk
mengurangi dampak buruk yang timbul, terutama dilakukan dalam situasi tidak terjadi
bencana, hal ini dimaksudkan bahwa program-program PRB sedapat mungkin
dipadukan ke dalam rencana pembangunan di tingkat pusat dan daerah baik dalam
RPJM, RKP, Renstra dan Renja Kementerian/Lembaga,RPJMD, RKPD, dan Renja
Satuan Kerja Perangkat Daerah.
Secara ringkas Sudibyakto (2012) menyimpulkan bahwa penyebab lemahnya
perencanaan disebabkan oleh beberapa faktor yaitu pemahaman para birokrat daerah
(pemda) adalah bahwa institusi yang menangani kebencanaan (dalam hal ini BPBD)
hanya bekerja pada saat terjadi bencana sehingga perencanaan PB pada saat pra-
bencana yang meliputi pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan tidak menjadi prioritas,
atau dengan kata lain perencanaan penanggulangan bencana bersifat reaktif bukannya
pro-aktif. Hal tersebut sependapat dengan apa yang disampaikan oleh Kartasasmita
(2017), dalam konteks penanggulangan bencana disimpulkan bahwa kegagalan
perencanaan dapat bersumber pada sebab yaitu penyusunan perencanaan tidak tepat,
mungkin karena informasi dan perencanaan mengikuti paradigma yang ternyata tidak
sesuai dengan kondisi dan perkembangan, dimana hal ini mengacu pada pemahaman
paradigm penanganan bencana yang bersifat reaktif bukan pro aktif, sehingga tidak
dapat mengatasi masalah mendasar penanggulangan bencana serta perencanaan di sini
tidak memberikan kesempatan berkembangnya prakarsa individu dan pengembangan
kapasitas serta potensi masyarakat secara penuh, dimana partisipasi dan keterlibatan
masyarakat dalam hal ini perlu terus difasilitasi dan diberdayakan sehingga diharapkan
mereka memiliki kesadaran dan merasa butuh akan pentingnya penanggulangan
bencana.
Sebagaimana amanat dari undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 maka
pendekatan manajemen risiko bencana dalam penyusunan rencana penanggulangan
bencana menurut Maarif (2012 : 205) dan Nurjanah dkk (2012 : 48) dimulai dari
inisiatif dan komitmen Pemerintah, identifikasi risiko bencana, pilihan tindakan
pengurangan risiko bencana, pengaturan pelaku dan alokasi tugas dan kewenangan
serta sumber daya yang tersedia serta mekanisme kesiapan dan penanggulangan
dampak bencana. Rencana penanggulangan bencana ini akan berperan sangat penting
khususnya dalam memberikan arahan kebijakan serta pengaturan pelaku atau
penanggungjawab program sehingga penanggulangan bencana dapat dilakukan secara
efektif, sinergis, tidak terjadi gap dan overlapping aktifitas yang berlebihan.
Secara umum, bahaya alam atau natural hazards diartikan sebagai bahaya atau
risiko yang disebabkan oleh kejadian-kejadian geofisik yang didalamnya termasuk
kejadian gunung meletus, banjir, gempa bumi, dan tsunami. Kejadian geofisik ini jika
bertemu dengan kondisi sosial sistem yang rentan dapat menjadi bencana alam
(Johnson, 2016). Natural hazards juga diartikan jika peristiwa alam yang terjadi
mengancam jiwa dan kepemilikan manusia (Hyndman, Donald and David, 2010) dan
hazards dapat menjadi bencana alam ketika sebuah kejadian alam memberikan dampak
yang signifikan terhadap kehidupan dan properti manusia (Hyndman, Donald and
David, 2010). Dua atau lebih masyarakat yang berbeda yang mengalami peristiwa
bencana yang sama dengan tingkat kekuatan bencana (exposure) yang sama pula,
mungkin saja memiliki hazard atau bahaya yang berbeda. Hal ini disebabkan karena
mereka (kemungkinan) memiliki kerentanan (vulnerability) yang berbeda pula.
Misalnya saja, salah satu wilayah bencana memiliki kondisi sosial dan lingkungan
yang lebih tangguh dibandingkan wilayah yang lainnya dalam menghadapi risiko
bahaya bencana alam, alhasil ia memiliki tingkat hazard yang lebih rendah.
Dengan demikian, bencana dapat menjadi sebuah bencana ketika sebuah
masyarakat dalam kondisi yang rentan terhadap bahaya atau terhadap risiko bencana.
Jika sebuah bencana alam meningkat dalam intensitas dan risiko kerusakan, hal ini
bukan hanya disebabkan oleh meningkatnya kekuatan bencana yang dapat disebabkan
oleh faktor alam, tetapi juga dikarenakan kerentanan masyarakat terhadap bencana
yang juga tinggi (OECD, 2006).
Meskipun becana alam datang tiba-tiba dan cenderung sulit diprediksi, namun
kadang ia bisa diduga. Hal ini bisa dilihat dari kondisi lingkungan yang menjadi
indikator apakah bencana alam bisa terjadi di daerah tersebut atau tidak. Misalnya saja
ada hutan yang sudah mulai gundul di satu wilayah, maka dapat diramalkan bahwa
wilayah tersebut akan mengalami bencana banjir (bandang).
Bencana alam tidak sepenuhnya disebabkan oleh alam atau sebagai satu-
satunya penyebab (kematian dan kerusakan). Kerentanan sosial atau lingkungan yang
disebabkan oleh rencana atau perilaku manusia juga bisa menyebabkan sebuah bencana
alam menjadi sangat berbahaya. Misalnya saja, masyarakat membangun kediaman
yang rentan rubuh pada wilayah dengan intensitas gempa yang sering dan berkekuatan
tinggi. Atau masyarakat menempati wilayah-wilayah jalur lava atau rentan terhadap
risiko bencana gunung meletus. Kemudian manusia merusak hutan di wilayah
pegunungan yang rentan akan banjir bandang, dan seterusnya.
Oleh karena itu, kondisi sosial masyarakat di suatu tempat akan dapat
meningkatkan/menurunkan risiko bencana di wilayah tersebut (OECD, 2006). Potensi
dampak bencana alam juga bukan hanya tergantung pada tingkat kekuatan bencana
tetapi juga pada keadaan sosial masyarakat, (Hyndman dan David, 2010)
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksut dengan risiko bencana?
2. Apa yang dimaksud dengan pemetaan bencana dan tujuan dari pemetaan bencana?
3. Apa pengertian penilaian risiko dan fungsinya dalam penguranagan risiko bencana?
4. Apa yang dimaksut dengan penyuluhan dan tujuan dari penyuluhan dalam
pengurangan risiko bencana?
5. Bagaimana manajemen risiko berbasis masyarakat?
6. Apa yang dimaksut dengan kesiagaan bencana untuk tenaga masyarakat dan
kaitannya dengan pengurangan risiko bencana?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan memahami risiko bencana
2. Mengetahui tujuan dari pemetaan bencana dalam pengurangan risiko bencana
3. Mengethaui panilaian risiko dan fungsinya dalam pengurangan risiko bencana
4. Mengetahui mengenai penyuluhan dan tujuannya dalam penggurangan risiko
bencana
5. Mengetahui manajemen risiko berbasis masyarakat
6. Mengetahui kesiagaan bencana untuk tenaga masyarakat dan kaitannya dengan
pengurangan risiko bencana.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Risiko Bencana


Definisi bencana menurut UU No. 24 tahun 2007 adalah peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun
faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Posisi Indonesia yang
terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik dunia, memiliki lebih dari 128 gunung
berapi aktif juga menjadikan Indonesia sebagai salah satu daerah rawan bencana.
Bencana lainnya antara lain bencana banjir, tanah longsor, angin topan dan sebagainya.
Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana, tercatat bahwa pada
tahun 2007, terjadi gempa di Yogyakarta, menewaskan sekitar 5.782 jiwa. Angka
kematian yang sangat tinggi tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi jika Indonesia
memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi bahaya yang akan terjadi dan
mempunyai kesiapan dalam pengurangan risiko bencana.
Pengurangan risiko bencana adalah upaya sistematis untuk mengembangkan
dan menerapkan kebijakan, strategis dan tindakan yang dapat meminimalisir jatuhnya
korban jiwa dan hilang atau rusaknya aset serta harta benda akibat bencana, baik
melalui upaya mitigasi bencana (pencegahan, peningkatan kesiapsiagaan) ataupun
upaya mengurangi kerentanan (fisik, material, sosial, kelembagaan, perilaku/sikap).
Mitigasi bencana yang dimaksud adalah upaya yang ditujukan untuk mengurangi
dampak dari bencana baik bencana alam, bencana ulah manusia maupun gabungan dari
keduanya dalam suatu negara atau masyarakat. Ada 4 hal penting dalam mitigasi
bencana, yaitu :
1. Ketesediaan informasi dan peta kawasan rawan bencana untuk tiap jenis bencana
2. Sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat dalam
menghadapi bencana, karena bermukim di daerah rawan bencana
3. Mengetahui apa yang perlu dilakukan dan dihindari, serta mengetahui cara
penyelamatan diri jika bencana timbul
4. Pengaturan dan penataan kawasan rawan bencana untuk mengurangi ancarnan
bencana
B. Pemetaan Bencana
Salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko bencana
adalah membuat suatu identifikasi awal mengenai risiko bencana di suatu wilayah,
yang dalam hal ini kita dapat membuat suatu peta risiko bencana. Peta risiko bencana
adalah peta petunjuk zonasi tingkat risiko satu jenis ancaman bencana pada suatu
daerah pada waktu tertentu. Peta ini bersifat dinamis, sehingga harus direvisi tiap
waktu tertentu dan merupakan hasil perpaduan antara peta bahaya (hazard map) dan
peta kerentanan (vulnerability map). Peta bahaya (hazard map) adalah peta petunjuk
zonasi tingkat bahaya satu jenis ancaman bencana pada suatu daerah pada waktu
tertentu. Peta kerentanan (vulnerability map) adalah peta petunjuk zonasi tingkat
kerentanan satu jenis ancaman bencana pada suatu daerah pada waktu tertentu.
Dalam mewujudkan penerapan peta risiko bencana, maka hal pertama yang
dapat dilakukan adalah membuat pemetaan daerah rawan bencana. Langkah-langkah
untuk membuat suatu peta daerah rawan bencana adalah pemetaan karakteristik bahaya
yang meliputi:
1. Wilayah distribusi bahaya
2. Mekanisme munculnya bahaya
3. Kemungkinan potensi kejadian, frekuensi dan besarnya intensitas suatu bencana
4. Elemen-elemen yang paling rentan
5. Jenis dan konsekuensi kerusakan yang ditimbulkan
C. Prinsip Dasar Peta Rawan Bencana
Prinsip dasar pemetaan daerah rawan bencana adalah menganalisis jenis bahaya
yang dapat ditimbulkan, melakukan kajian sejarah tentang kejadian bahaya/ bencana,
melakukan penilaian probabilitas bencana dan menentukan zonasi intensitas atau
tingkat bahaya, yang didasarkan pada kemungkinan terjadinya suatu bencana dan
dampak atau kerugian yang ditimbulkan akibat terjadinya bencana tersebut.
Gambar 1. Peta Risiko Bencana Gempa di Indonesia.

D. Analisis Jenis Bahaya (Pengenalan Bahaya)


Dilihat dari potensi bencana yang ada, Indonesia merupakan negara dengan
potensi bahaya yang sangat tinggi dan beragam baik berupa bencana alam, ataupun
bencana akibat ulah manusia. Beberapa potensi tersebut antara lain adalah gempa
bumi, tsunami, letusan gunung api, banjir, tanah longsor, kekeringan, kebakaran lahan
dan hutan, kebakaran perkotaan dan permukiman, angin badai, wabah penyakit,
kegagalan teknologi dan konflik sosial.
Potensi bencana yang ada di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 2
kelompok utama, yaitu:
1. Potensi bahaya utama (main hazard)
Potensi bahaya utama (Main hazard) ini dapat dilihat antara lain pada peta
rawan bencana gempa di Indonesia yang menunjukkan bahwa Indonesia adalah
wilayah dengan zona-zona gempa yang rawan, peta kerentanan bencana tanah
longsor, peta daerah bahaya bencana letusan gunung api, peta potensi bencana
tsunami, peta potensi bencana banjir, dan lain-lain.
2. Potensi bahaya ikutan (collateral hazard).
Potensi bahaya ikutan (Collateral Hazard) merupakan suatu potensi bahaya
yang kemungkinan terjadi setelah bahaya utama terjadi dan dapat dilihat dari
beberapa indikator, diantaranya adalah likuifaksi, persentase bangunan yang terbuat
dari kayu, kepadatan bangunan, dan kepadatan industri berbahaya.
Potensi bahaya ikutan (collateral hazard potency) ini sangat tinggi terutama
di daerah perkotaan yang memiliki kepadatan penduduk dan bangunan, persentase
bangunan kayu (utamanya di daerah pemukiman kumuh perkotaan), dan jumlah
industri berbahaya, yang tinggi. Dengan indikator di atas, perkotaan Indonesia
merupakan wilayah dengan potensi bencana yang sangat tinggi.
Oleh sebab itu, dalam melakkukan pemetaan bencana harus dianalisa
terkebih dahulu jenis bahaya yang kemungkinan terjadi bada suatu daerah tersebut.
Dengan menganalisa jenis bahaya, dapat diperkirakan seberapa luas daerah yang
kemungkinan terkena dampak langsung dan tidak langsung dan bahaya ikutan yang
kemungkinan terjadi setelah bahaya utama terjadi, sehingga dapat ditentukan
langkah yang cepat dan tepat untuk mencegah ataupun menanggulangi dampak
yang besar dari bencana tersebut.
E. Kajian sejarah kejadian bahaya/ bencana
Selain melakukan analisa jenis bahaya, pengkajian mengenai sejarah kejadian
bahaya atau bencana juga perlu dilakukan dalam pemetaan bencana dan pembuatan
peta rawan bencaa pada suatu daerah. Dengan mengkaji kejadian bencana yang pernah
terjadi pada suatu daerah tertentu maka dapat diprediksi apakah bahaya atau bencana
tersebut dapat terulang kembali atau tidak, dapat diperkirakan luas daerah yang
kemungkinan terkena bencana dengan menggunakan data-data yang telah ada
sebelumnya, dapat dilakukan perencanaan efakuasi koraban bencana bila bencana
tersebut terjadi, dan dapat melakukan tindakan yang dapat meminimalisir jumlah
korban bencana, baik berupa korban jiwa maupun harta benda.
Berikut merupakan analisa bencana yang sering terjadi di wilayah Indinesia,
diantaranya adalah:
1. Bencana Gempa Bumi
Gempa bumi adalah getaran partikel batuan atau goncangan pada kulit bumi
yang disebabkan oleh pelepasan energi secara tiba-tiba akibat aktivitas tektonik
(gempa bumi tektonik) dan rekahan akibat naiknya fluida (magma, gas, uap dan
lainnya) dari dalam bumi menuju ke permukaan, di sekitar gunung api, disebut
gempa bumi gunung api/vulkanik.
Getaran tersebut menyebabkan kerusakan dan runtuh-nya struktur bangunan
yang menimbulkan korban bagi penghuninya. Getaran gem-pa ini juga dapat
memicu terjadinya tanah longsor, runtuhan batuan dan kerusakan tanah lainnya
yang merusakkan permu-kiman disekitarnya. Getaran gempa bumi juga dapat
menyebabkan bencana ikutan yang berupa kebakaran, kecelakaan industri dan
transportasi dan juga banjir akibat runtuhnya bendungan dan tanggul-tanggul
penahan lainnya.
Sumber gempa bumi di Indonesia banyak dijumpai di lepas pantai/di bawah
laut yang disebabkan oleh aktivitas subduksi dan sesar bawah taut. Beberapa
gempa bumi dengan sumber di bawah taut, dengan magnitude besar dengan
mekanisme sesar naik dapat menyebabkan tsunami.
Dijumpai pula sumber gempa bumi di darat yang disebabkan oleh aktivitas
sesar di darat.
Adanya sejarah kejadian gempa bumi yang pernah terjadi di daerah tersebut
dan lokasi-lokasi patahan/sesar yang ada, maka dapat diprediksi daerah-daerah
mana saja yang kemungkinan besar akan terkena bencana gempa bumi.
2. Bencana Tsunami
Tsunami merupakan gelombang air laut yang membawa material baik
berupa sisa-sisa bangunan, tumbuhan dan material lainnya menghempas segala
sesuatu yang berdiri di dataran pantai dengan kekuatan yang dasyat.
Bangunan-bangunan yang memiliki dimensi lebar dinding sejajar dengan
garis pantai atau tegak lurus dengan arah datangnya gelombang akan mendapat
tekanan yang paling kuat sehingga akan mengalami kerusakan yang paling parah.
Gelombang air ini juga akan menggerus fondasi dan menyeret apapun yang
berdiri lepas dipermukaan dataran pantai dan dibawa ke laut.
Dengan mengkaji sejarah kejadian tsunami yang pernah terjadi di daerah
tersebut, dan lokasi-lokasi pantai yang rawan tsunami, maka dapatt ditentukan
daerha-daerah yang berpotensi tsunami.
3. Bencana Letusan Gunung Berapi
Bahaya letusan gunung api dibagi dua berdasarkan waktu kejadiannya, yaitu
bahaya utama (primer) dan bahaya ikutan (sekunder). Kedua jenis bahaya tersebut
masing-masing mempunyai resiko merusak dan mematikan.
a. Bahaya Utama (primer)
Bahaya utama (sexing juga disebut bahaya langsung) letusan gunung api
adalah bahaya yang langsung terjadi ketika proses peletusan sedang
berlangsung. Jenis bahaya tersebut adalah awan panas (piroclastk flow), lontaran
batu (pijar), hujan abu tebal, teleran lava (lava flow), dan gas beracun.
b. Bahaya Ikutan (sekunder)
Bahaya ikutan letusan gunung api adalah bahaya yang terjadi setelah
proses peletusan berlangsung. Bila suatu gunung api metetus akan terjadi
penumpukan material dalam berbagai ukuran di puncak dan lereng bagian atas.
Pada saat musim hujan tiba sebagian material tersebut akan terbawa oleh air
hujan dan tercipta adonan lumpur turun ke lembah sebagai banjir bebatuan,
banjir tersebut disebut lahar.
Identifikasi gunung-gunung api yang masih aktif dan berpotensi
menimbulkan letusan yang berada di daerah yang bersangkutan ditunjukkan
dengan peta lokasi.
Luas daerah rawan bencana gunung api di seluruh Indonesia sekitar
17.000 km2 dengan jumlah penduduk yang bermukim di kawasan rawan
bencana gunung api sebanyak kurang lebih 5,5 juta jiwa. Berdasarkan data
frekwensi letusan gunung api, diperkirakan tiap tahun terdapat sekitar 585.000
orang terancam bencana letusan gunung api.
4. Bencana Banjir
Banjir baik yang berupa genangan atau banjir bandang bersifat merusak.
Aliran arus air yang tidak terlalu dalam tetapi cepat dan bergolak (turbulent) dapat
menghanyutkan manusia dan binatang. Aliran air yang membawa material tanah
yang halus akan mampu menyeret material berupa batuan yang lebih berat sehingga
daya rusaknya akan semakin tinggi.
Banjir air pekat ini akan mampu merusakan fondasi bangunan yang
dilewatinya terutama fondasi jembatan sehingga menyebabkan kerusakan yang
parah pada bangunan tersebut, bahkan mampu merobohkan bangunan dan
menghanyut-kannya. Pada saat air banjir telah surut, material yang terbawa banjir
akan diendapkan ditempat tersebut yang mengakibatkan kerusakan pada tanaman,
perumahan serta timbulnya wabah penyakit.
Potensi terjadinya ancaman bencana banjir dan tanah longsor saat Ini
disebabkan keadaan badan sungai rusak, kerusakan daerah tangkapan air,
pelanggaran tata-ruang wilayah, pelanggaran hukum meningkat, perencanaan
pembangunan kurang terpadu, dan disiplin masyarakat yang rendah.
Dengan demikian perlu disebutkan wilayah-wilayah yang kemungkinan
terkena bencana banjir melihat begitu seringnya bencana te4rsebut terjadi dan
jumlah koraban jiwa dan materi yang ditimbulkan akibat bencana banjir di
Indonesia.
5. Bencana Tanah Longsor
Gerakan tanah atau tanah longsor merusakkan jalan, pipa dan kabel baik
akibat gerakan dibawahnya atau karena penimbunan material basil longsoran.
Gerakan tanah yang berjalan lambat menyebabkan penggelembungan (tilting) dan
bangunan tidak dapat digunakan. Rekahan pada tanah menyebabkan fondasi
bangunan terpisah dan menghancurkan utilitas lainnya didalam tanah. Runtuhan
lereng yang tiba-tiba dapat menyeret permukiman turun jauh dibawah lereng.
Runtuhan batuan (rockfalls) yang berupa luncuran batuan dapat menerjang
bangunan-bangunan atau permukiman dibawahnya. Aliran butiran (debris flow)
dalam tanah yang lebih lunak, menyebabkan aliran lumpur yang dapat mengubur
bangunan permukiman, menutup aliran sungai sehingga menyebabkan banjir, dan
menutup jalan. Liquefaction adalah proses terpisahnya air di dalam pori-pori tanah
akibat getaran sehingga tanah kehilangan daya dukung terhadap bangunan yang ada
diatasnya sebagai akibatnya bangunan akan amblas atau terjungkal.
Bencana tanah longsor sering terjadi di Indonesia yang mengakibatkan
kerugian jiwa dan harta benda. Untuk itu perlu ditingkatkan kesiapsiagaan dalam
menghadapi jenis bencana ini Perlu disebutkan lokasi-lokasi yang rawan kebakaran
di daerah yang bersangkutan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mendata daerah-
daerah yang rawan terhadap bencana tanah longsor kemudian ditampilkan dalam
bentuk peta, serta jika data memungkinan ditampilkan juga statistik kejadian dan
kerusakan yang pernah dialami.
6. Bencana Kebakaran
Kebakaran yang terjadi dipengaruhi oleh faktor alam yang berupa cuaca
yang kering serta faktor manusia yang berupa pembakaran baik sengaja maupun
tidak sengaja. Kebakaran ini akan menimbulkan efek panas yang sangat tinggi
sehingga akan meluas dengan cepat. Kerusakan yang ditimbulkan berupa
kerusakan lingkungan, jiwa dan harta benda.
Dampak lebih lanjut adalah adanya asap yang ditimbulkan yang dapat
mengakibatkan pengaruh pada kesehatan terutama pernafasan serta gangguan
aktivitas sehari-hari seperti terganggunya jadwal penerbangan. Tebalnya asap juga
dapat rnengganggu cuaca
Potensi bahaya kebakaran hutan dan lahan di Indonesia cukup besar. Hampir
setiap musim kemarau Indonesia menghadapi bahaya kebakaran lahan dan hutan
dimana berdapak sangat luas tidak hanya kehilangan keaneka ragaman hayati tetapi
juga timbulnya ganguan asap di wilayah sekitar yang sering kali mengganggu
negara-negara tetangga. Oleh sebab itu perlu disebutkan lokasi-lokasi yang rawan
kebakaran di daerah yang bersangkutan.
7. Kebakaran Gedung dan Pemukiman
Kebakaran gedung dan permukiman penduduk sangat marak pada musim
kemarau. Hal ini terkait dengan kecerobohan manusia diantaranya pembangunan
gedung/rumah yang tidak mengikuti standard keamanan bangunan serta perilaku
manusia. Hubungan arus pendek listrik, meledaknya kompor serta kobaran api
akibat lilin/lentera untuk penerangan merupakan sebab umum kejadian kebakaran
permukiman/gedung.
8. Bencana Kekeringan
Kekeringan akan berdampak pada kesehatan manusia, tanaman serta hewan
baik langsung maupun tidak langsung. Kekeringan menyebabkan pepohonan akan
mati dan tanah menjadi gundul yang pada saat musim hujan menjadi mudah
tererosi dan banjir. Bahaya kekeringan dialami di berbagai wilayah Indonesia
hampir setiap musim kemarau. Hal ini erat Terkait dengan menurunnya fungsi
lahan dalam menyimpan air. Penurunan fungsi tersebut ditengarai akibat rusaknya
ekosistem akibat pemanfaatan lahan yang berlebihan.
Dampak dari bahaya kekeringan ini seringkali secara gradual/lambat,
sehingga jika tidak dimonitor secara terus menerus akan mengakibatkan bencana
berupa hilangnya bahan pangan akibat tanaman pangan dan ternak mati, petani
kehilangan mata pencaharian, banyak orang kelaparan dan mati, sehingga
berdampak urbanisasi.
Oleh sebab itu dilakukan identifikasi daerah-daerah yang rawan kekeringan
kemudian ditampilkan dalam bentuk peta.

Gambar 2. Peta zonasi ancaman bencana kekeringan di Indonesia

9. Epidemik dan Wabah Penyakit


Wabah penyakit menular dapat menimbulkan dampak kepada masyarakat
yang sangat luas meliputi:
a. Jumlah kesakitan, bila wabah tidak dikendalikan maka dapat menyerang
masyarakat dalam jumlah yang sangat besar, bahkan sangat dimungkinkan
wabah akan menyerang lintas negara bahkan lintas benua.
b. Jumlah kematian, apabila jumlah penderita tidak berhasil dikendalikan, maka
jumlah kematian juga akan meningkat secala tajam, khususnya wabah penyakit
menular yang masih relative baru seperti Flu Burung dan SARS.
c. Aspek ekonomi, dengan adanya wabah maka akan memberikan dampak pada
merosotnya roda ekonomi. sebagai contoh apabila wabah flu burung benar
terjadi maka triliunan aset usaha perunggasan akan lenyap. Begitu juga akibat
merosotnya kunjungan wisata karena adanya travel warning dan beberapa
Negara maka akan melumpuhkan usaha biro perjalanan, hotel maupun restoran.
d. Aspek politik, bila wabah terjadi maka akan menimbulkan keresahan
masyarakat yang sangat hebat, dan kondisi ini sangat potensial untuk
dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu guna menciptakan kondisi tidak stabil.
Beberapa indikasi/gejala awal kemungkinan terjadinya epidemi seperti avian
influenza/Flu burung, antrax serta beberapa penyakit hewan ternak lainnya yang
telah membunuh ratusan ribu ternak yang mengakibatkan kerugian besar bagi
petani.
Oleh sebab itu pemerintah perlu melakukan identifikasi daerah-daerah yang
rawan terhadap wabah penyakit manusia/hewan yang berpotensi menimbulkn
bencana.
10. Kegagalan Teknologi
Kegagalan teknologi merupakan kejadian yang diakibatkan oleh kesalahan
desain, pengoperasian, kelalaian dan kesengajaan manusia dalam menggunakan
teknologi dan atau industry.
Ledakan instalasi, menyebabkan korban jiwa, luka-luka dan kerusakan
bangunan dan infrastruktur; kecelakaan transportasi membunuh dan melukai
penumpang dan awak kendaraan, dan juga dapat menimbulkan pencemaran;
kebakaran pada industri dapat menimbulkan suhu yang sangat tinggi dan
menimbulkan kerusakan pada daerah yang luas; zat-zat pencemar (polutan) yang
terlepas di air dan udara akan dapat menyebar pada daerah yang sangat luas dan
menimbulkan pencemaran pada udara, sumber air minurn, tanaman pertanian, dan
tempat persedian pangan sehingga menyebabkan daerahnya tidak dapat dihuni:
satwa liar akan binasa, sytem ekologi terganggu.
Bencana kegagalan teknologi pada skala yang besar akan dapat mengancam
kestabitan ekologi secara global.
Oleh sebab itu perlu ditampilkan daerah-daerah yang rawan terhadap
bencana kegagalan teknologi ini serta jika memungkinan ditampilkan juga data
statistik kejadian dan kerusakan yang pernah dialami
F. Penilaian probabilitas dan Penentuan zonasi intensitas atau tingkat bahaya
Pertemuan dari faktor-faktor ancaman bencana/bahaya dan kerentanan
masyarakat, akan dapat memposisikan masyarakat dan daerah yang bersangkutan pada
tingkatan risiko yang berbeda.
Hubungan antara ancaman bahaya, kerentanan dan kemampuan dapat dituliskan
dengan persamaan berikut:
Risiko = f (Bahaya x Kerentanan/Kemampuan)
Semakin tinggi ancaman bahaya di suatu daerah, maka semakin tinggi risiko
daerah tersebut terkena bencana. Demikian pula semakin tinggi tingkat kerentanan
masayarakat atau penduduk, maka semakin tinggi pula tingkat risikonya. Tetapi
sebaliknya, semakin tinggi tingkat kemampuan masyarakat, maka semakin kecil risiko
yang dihadapinya. Dengan menggunakan perhitungan analisis risiko dapat ditentukan
tingkat besaran risiko yang dihadapi oleh daerah yang bersangkutan. Sebagai langkah
sederhana untuk pengkajian risiko adalah pengenalan bahaya/ancaman di daerah yang
bersangkutan. Semua bahaya/ancaman tersebut diinventarisasi, kemudian di perkirakan
kemungkinan terjadinya (probabilitasnya) dengan rincian :
5 Pasti (hampir dipastikan 80 - 99%).
4 Kemungkinan besar (60 – 80% terjadi tahun depan, atau sekali dalam 10 tahun
mendatang)
3 Kemungkinan terjadi (40-60% terjadi tahun depan, atau sekali dalam 100 tahun)
2 Kemungkinan Kecil (20 – 40% dalam 100 tahun)
1 Kemungkian sangat kecil (hingga 20%)
Jika probabilitas tersebut dilengkapi dengan perkiraan dampak apabila bencana
itu memang terjadi dengan pertimbangan faktor dampak antara lain:
• jumlah korban;
• kerugian harta benda;
• kerusakan prasarana dan sarana;
• cakupan luas wilayah yang terkena bencana; dan
• dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan,
maka, jika dampak tersebut diberi bobot sebagai berikut:
• 5 Sangat Parah (80% - 99% wilayah hancur dan lumpuh total)
• 4 Parah (60 – 80% wilayah hancur)
• 3 Sedang (40 - 60 % wilayah terkena berusak)
• 2 Ringan (20 – 40% wilayah yang rusak)
• 1 Sangat Ringan (kurang dari 20% wilayah rusak)
Maka akan di dapat tabel sebagaimana contoh di bawah ini :
G. Fungsi Peta Rawan Bencana
Fungsi dari pemetaan bencana dan dibuatnya peta rawan bencana diantaranya
adalah:
1. Penentuan rencana tindak untuk wilayah berpotensi tinggi terjadi bencana, antara
lain:
a. Mitigasi bencana
b. Sistem pemetaan bahaya
c. Sistem peringatan dini (erly warning)
d. Pembuatan rencana kontingensi (jalur dan lokasi evakuasi bencana)
e. Pelaksanaan tanggap darurat (emergency response)
2. Penataan ruang di sutau daerah yang lebih tertib dan teratur utnuk meminimalisisr
jumlah koraban bencana yang dapat ditimbulkan akibat dari suatu bencana.
3. Aspek fundamental dalam program pengurangan risiko bencana dan kesiap siagaan
dalam menghadapi bencana
H. Penilaian Risiko Bencana
Penilaian Risiko Bencana merupakan suatu survei yang dilakukan terhadap
bahaya yang baru terjadi yang disebabkan oleh suatu peristiwa alam yang ekstrim
seperti yang terjadi juga pada kerentanan lokal dari populasi yang didasari atas
kehidupan untuk memastikan resiko tertentu di wilayah. Dengan menggunakan
informasi ini risiko bencana dapat dikurangi sehingga bencana dapat dihindari atau
diperkecil.
Penilaian risiko merupakan salah satu tahap yang dilakukan dalam pencegahan
bencana. Beberapa tahap sistematik pencegahan bencana, yaitu: Pertama memastikan
hal-hal yang terkait dengan bencana. Kedua, melakukan identifikasi terhadap hal-hal
yang dapat menjadi risiko bencana. Ketiga, melakukan analisis risiko bencana.
Selanjutnya, dilakukan penilaian atau evaluasi terhadap risiko bencana tersebut.
Kemudian setelah risiko tersebut dinilai seberapa besarnya, maka dapat dilakukan
penanganan risiko mulai dari yang paling besar, sehingga bencana dapat dihindari atau
dikurangi dampaknya.
Untuk menilai seberapa besarnya risiko bencana pada suatu daerah maka
terlebih dahulu harus dipelajari penilaian bahaya-nya dahulu. Bahaya merupakan suatu
kondisi, secara alamiah maupun karena ulah manusia, yang berpotensi menimbulkan
kerusakan atau kerugian dan kehilangan jiwa manusia. Bahaya berpotensi
menimbulkan bencana tetapi tidak semua bahaya selalu menjadi bencana. Seberapa
tingginya risiko suatu bahaya dapat dinilai berdasarkan pada 2 ancaman, yaitu:
 Probabilitas, atau kemungkinan terjadinya suatu bencana akibat bahaya tersebut.
Semakin pasti bencana akan terjadi maka probabilitasnya semakin tinggi.
 Dampak, atau kerugian dan kerusakan yang ditimbulkan dari bencana akibat
bahaya tersebut. Semakin besar kerugian atau kerusakan yang terjadi maka semakin
tinggi pula dampaknya.
Setelah dinilai probabilitas dan dampaknya, nilai/skala tersebut dapat diplot ke
dalam matriks skala bahaya untuk mengetahui seberapa besar bahaya tersebut. Tiga
warna yang terdapat dalam matriks tersebut menunjukan sebarapa besar bahaya
tersebut. Warna hijau menunjukan bahwa bahaya tersebut berisiko rendah, warna
kuning menunjukan bahwa bahaya tersebut berisiko sedang, dan warna merah
menunjukan bahwa bahaya tersebut berisiko tinggi.

Probabilitas Kejadian Dampak Kejadian


• Skala Probabilitas: • Skala Dampak :
5 Sangat Pasti (hampir 5 Sangat Parah (Hampir
dipastikan 100% terjadi dipastikan 100% wilayah
tahun depan) hancur dan lumpuh total)
4 Hampir Pasti (10-100% 4 Parah (50-75% wilayah
terjadi tahun depan atau hancur dan lumpuh)
sekali dalam 10 tahun 3 Cukup Parah (10-50%
mendatang) wilayah hancur)
3 Mungkin (1-10% terjadi 2 Ringan (kurang 10%
tahun depan atau sekali wilayah yang terkena)
dalam 100 tahun) 1 Tidak Parah sama sekali.
2 Kemungkinan Kecil
(kurang dari sekali dalam
100 tahun)
1 Tidak Pasti sama sekali

Gambar 3.
Gambar 4. Matrik Skala Bahaya dalam Penilaian Bahaya.

Penilaian risiko bencana dilakukan dengan menggunakan 3 variabel, yaitu:


Bahaya (Hazzard), Kerentanan/keterancaman (Vulnerability), dan Kemampuan
(Capability). Dengan 3 variabel tersebut maka dapat dinilai seberapa tinggi risiko suatu
bencana.
Bahaya atau Hazzard seperti yang telah dijelaskan sebelumnya merupakan
suatu kondisi yang secara alamiah maupun karena ulah manusia, yang berpotensi
menimbulkan kerusakan atau kerugian dan kehilangan jiwa manusia. Sebagai variabel
dalam menilai risiko bencana, bahaya memiliki beberapa faktor yang dinilai, yaitu:
 Frekuensi, seberapa sering bahaya itu muncul.
 Intensitas, seberapa besar kuat bahaya tersebut.
 Dampak, seberapa besar dampaknya terhadap kehidupan dan lingkungan sekitar.
 Keluasan, seberapa luas bahaya tersebut dapat menyebar.
 Durasi, seberapa lama bahaya tersebut berisiko bagi kehidupan dan lingkungan
sekitar.
Kerentanan / keterancaman atau vulnerability, yaitu sekumpulan kondisi dan
atau suatu akibat keadaan yang berpengaruh buruk terhadap upaya-upaya pencegahan
dan penanggulangan bencana. Kerentanan dapat juga diartikan sebagai kemungkinan
akan rusak atau hancurnya struktur masyarakat, pelayanan dan lingkungan. Beberapa
faktor yang dinilai dari kerentanan, yaitu: faktor fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan.
Kerentanan merupakan kombinasi antara susceptibility dan resilience.
Susceptibility merupakan derajat mudahnya masyarakat terpengaruh terhadap risiko
bencana. Dan resilience merupakan bagaimana masyarakat mampu bertahan terhadap
kehilangan. Sehingga tingkat kerentanan (vulnerability rate) dapat dinilai dengan
melihat susceptibility dan resilience yang ada.

Gambar 5. hubungan antara susceptibility dan resilience dalam menilai tingkat


kerentanan (vulnerability rate).

Variabel ketiga dalam penilaian risiko yaitu kemampuan (capability).


Kemampuan atau capability merupakan kekuatan dan potensi yang dimiliki oleh
perorangan, keluarga dan masyarakat yang membuat mereka mampu mencegah,
mengurangi, siap-siaga, menanggapi dengan cepat, atau segera pulih dari suatu
keadaan darurat dan bencana. Beberapa faktor yang dinilai dalam variabel kemampuan
ini, yaitu:
 Kebijakan: Undang-undang, Peraturan, Pedoman dan lainnya.
 Kesiapsiagaan: Pelatihan, Gladi, dan Posko.
 Partisipasi Masyarakat: Pendidikan, Penyuluhan, Kewaspadaan dan Kepedulian
Berdasarkan 3 variabel (bahaya, kerentanan dan kemampuan), dapat dilakukan
penilaian risiko suatu bencana. Dengan menilai faktor-faktor yang ada pada setiap
variabel kemudian dijumlahkan, maka akan didapatkan nilai total risiko suatu bencana.
Semakin tinggi nilai total suatu bencana, maka semakin besar risiko bencana tersebut,
sebaliknya semakin rendah nilai total bencana maka semakin rendah pula risiko
bencana tersebut.
Gambar 6. Skala penilaian faktor-faktor pada variabel risiko.

Gambar
7. Contoh matriks penilaian risiko bencana pada suatu daerah.

Bahaya dan kerentanan merupakan dua hal yang menjadi pemicu terjadinya
bencana. Bahaya merupakan fenomena atau kondisi yang sulit (hampir tidak mungkin)
untuk dirubah atau diperbaiki. Sedangkan varibel kerentanan merupakan
situasi/sikap/perilaku individu atau masyarakat yang relatif masih dapat dilakukan
perubahan. Oleh karena itu, dalam penanganan atau pengurangan risiko bencana, hal
yang dilakukan bukanlah dengan mengurangi bahaya, melainkan dengan mengurangi
kerentanan yang ada. Hal ini dikarenakan bahaya merupakan varibel yang sulit untuk
diubah sedangkan kerentanan relatif masih dapat diubah atau diperbaiki. Oleh karena
itu kita perlu melakukan penilaian risiko bencana maka, kita dapat mengetahui
besarnya bencana yang akan terjadi dan dapat melakukan pencegahan dengan
mengurangi kerentanan terhadap bencana.

RESIKO
Dekat=Besar
Jarak antara bahaya dan
kerentanan dianalogikan sebagai
besaran risiko, bila jaraknya dekat,
maka risiko terjadinya bencana juga
besar. Dan semakin besar
perpotongan antara bahaya dan
kerentanan diibaratkan sebagai
besarnya bencana yang terjadi.
N Sehingga untuk mengurangi
NCA
BE A risiko terjadinya bencana dan
mengurani besarnya bencana yang
terjadi, maka satu hal yang dapat
dilakukan yaitu dengan mengurangi
besar kerentanan. Dengan
RESIKO mengurangi besar kerentanan, dapat
Jauh=Kecil diperoleh jarak dengan bahaya yang
lebih jauh serta mengurangi
perpotongan antara bahaya dan
kerentanan.
Gambar 8. Ilustrasi hubungan antara bahaya dan kerentanan untuk mengurangi
risiko bencana.

I. Penyuluhan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia penyuluhan adalah upaya untuk
membantu memberi petunjuk, penjelasan, penggunaan,dsb. Sehingga yang dimaksud
dari penyuluhan bencana adalah upaya yang dilakukan untuk memberikan petunjuk,
penjelasan, atau penggunaan alat untuk mencegah resiko terjadinya bencana ataupun
meminimalkan kerugian yang apabila bencana terjadi.
Dengan adanya penyuluhan diharapkan masyarakat dan pihak-pihak terkait
dapat melakukan upaya-upaya pencegahan dan persiapan dini, apa yang harus
dilakukan dan dipersiapkan apabila suatu bahaya datang.
J. Sasaran
Sebagai Negara yang memiliki potensi besar terjadi bencana, baik karena faktor
alam maupun faktor manusia, sudah selayaknya seluruh komponen masyarakat di
Indonesia mempersiapkan diri. Baik institusi, lembaga, maupun masyarakat individu
harus memiliki tanggung jawab dalam mencegah dan mengagulangi bencana yang
terjadi. Seperti menurut  Deputi I Menkokesra, Dr. Asep Karsidi, M.Sc. yang dikutip
dari www.unpad.ac.id bahwa penanggulangan bencana adalah tanggung jawab
bersama, bukan hanya satu elemen seperti pemerintah saja tetapi seluruh elemen
masyarakat. Selain itu beliau juga menyatakan paradigma penanggulangan bencana
konvensional yang telah mengikat di masyarakat seperti bantuan pangan, kesehatan, dll
harus diubah. Paradigma konvensional yang cenderung berorientasi pada penanganan
setelah kejadian dirasa tidak efektif untuk mengatasi masalah yang ada. Oleh sebab itu
diperlukan paradigma baru yaitu usaha pengurangan resiko dengan pelatihan,
perencanaan, identifikasi dan mitigasi yang lebih bersifat preventif.
Penyuluhan adalah salah satu langkah preventif untuk meminimalkan dampak
bencana. Penyuluhan dan pelatihan-pelatihan bencana ditujukan kepada seluruh elemen
masyarakat, baik berupa institusi, lembaga masyarakat, maupun individu. Masyarakat
umum diharapkan dengan mengikuti penyuluhan dapat berperan aktif dalam mencegah
terjadinya bencana. Setelah mendapatkan penyuluhan masyarakat akan mendapatkan
pengetahuan agar mereka tidak menjadi penyebab bencana seperti berhenti membuang
sampah ke sungai atau lebih waspada terhadap bahan-bahan yang mudah terbakar di
lingkungan sekitarnya. Selain itu penyuluhan bagi masyarakat juga diharapkan mampu
memberikan informasi praktis terhadap masyarakat bila suatu bencana terjadi agar
dapat menyelamatkan diri.
Penyuluhan dan pelatihan juga mutlak diperlukan oleh institusi atau lembaga-
lembaga terkait. hal ini dimaksudkan agar mereka dapat bekerja secara profesional dan
sesuai prosedur agar dapat menjalankan perannya dalam penanggulangan bencana
secara maksimal.Contohnya adalah aparat keamanan (TNI dan POLRI) juga
membutuhkan pelatihan SAR dan deteksi bencana susulan karena juga bertugas
mencari korban dan mengamankan lokasi yang ditinggalkan.
K. Materi Penyuluhan
Materi dan siapa yang terlibat dalam suatu penyuluhan bencana akan sangat
kompleks untuk dijelaskan karena tergantung dari jenis bencana, lokasi, waktu, dan
kebijakan pemerintah. Jenis bencana yang satu dengan yang lainnya memiliki
karakteristik tersendiri dan penanganan/pencegahan yang berbeda pula. Begitupun
dengan lokasi yang berbeda, medan yang dihadapi, sumber daya yang ada untuk
dimanfaatkan untuk menanggulangi bencana, serta institusi yang berkompeten
memberi penyuluhan akan berbeda di tiap lokasi.
Namun secara garis besar BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana)
lah yang menjadi tonggak utama penanggulangan bencana (termasuk di dalamnya
edukasi dan penyuluhan) di tingkat nasional berdasarkan UU No.24 Th. 2007. Badan
ini lah yang paling kompeten dalam nanagemen bencana termasuk memberikan
pedoman-pedoman tentang langkah pencegahan dan penanggulangan bencana kepada
institusi lain maupun lembaga dan masyarakat.
Dari situs BNPB pula disebutkan institusi-institusi lain yang bekerja sama
dengan BNPB karena memiliki kompetensi di bidang yang berkaitan dengan
penanggulangan bencana. Beberapa di antaranya adalah Kementrian ESDM yang
berkompetensi dalam merencanakan dan mengendalikan upaya mitigasi terkait
bencana geologi. Kementrian Pertanian berkompetensi dalam mitigasi bencana
kekeringan dan masalah pertanian. Kementrian kesehatan berkompetensi di bidang
pelayanan kesehatan dan medik. Kemenristek berkompetensi melakukan penelitian
untuk perencanaan penanggulangan bencana. BMKG berkompetensi bidang
pemantauan potensi bencana. Basarnas berkompetensi di bidang SAR. Bakosurtanal
berkompetensi bidang pemetaan resiko bencana. Masih banyak instansi lainnya yang
disebutkan BNPB memiliki kompetensi di bidang yang berhubungan dengan bencana
sehingga dapat dijadikan sumber dalam penyuluhan dan edukasi terhadap suatu
bencana.
Lembaga swadaya masyarakat maupun lembaga internasional pun dapat
dijadikan sumber materi penyuluhan bencana ini. Apabila lembaga tersebut memang
memiliki kompetensi yang baik dalam penanggulangan bencana, tidak jadi masalah
bila lembaga tersebut yang melakukan penyuluhan. Seperti yang dijelaskan
sebelumnya bahwa pencegahan dan penanggulangan bencana adalah tanggung jawab
bersama, sehingga peran aktif seluruh elemen sangat dibutuhkan. Jadi asalkan
memiliki kompetensi yang dibutuhkan apapun institusi dan lembaga dapat dijadikan
rujukan dalam materi penanggulangan bencana
L. Contoh Penyuluhan
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa penyuluhan bencana sifatnya sangat
fleksibel tergantung faktor jenis bencana, lokasi, dan lainnya. Oleh karena itu di sini
akan dijelaskan terkonsentrasi pada salah satu contoh bencana dan penyuluhannya
saja. Letusan Gunung Merapi adalah bahasan pada materi ini.
Pada bencana letusan Gunung Merapi penyuluhan yang dapat dilakukan untuk
penanganan bencana ini diantaranya adalah. Pertama melakukan penyuluhan tentang
jalur evakuasi bencana oleh BNPB bekerjasama dengan Pemda setempat. jadi
dilakukan penyuluhan jalur mana saja yang diperkirakan aman saat bencana letusan
Merapi terjadi. Kedua edukasi oleh BMKG tentang resiko bahaya dari status Merapi
dan sejauh mana daerah yang diperkirakan aman dari dampaknya. Ketiga dapat
dilakukan pelatihan di tubuh tim SAR sendiri (termasuk tugas TNI/POLRI) tentang
medan yang dilalui dalam melakukan tugasnya termasuk jalur evakuasi yang harus
dilalui bila bencana susulan terjadi saat mereka melaksanakan tugas.
Manajemen Risiko Berbasis Masyarakat
Indonesia adalah negara yang terdiri dari pulau-pulau dengan berbagai suku
bangsa. Gugusan kepulauan yang menyususn Indonesia ini mempunyai potensi bencana
yang sangat tinggi dan juga sangat bervariasi dari aspek jenis bencana. Masih berkaitan
dengan bencana, dalam proses penanggulangan risiko bencana tentu sangat diperlukan
adanya kerjasama dan saling membantu antarsesama elemen masyarakat agar bencana
yang mungkin terjadi dapat dicegah atau dikurangi dampak buruknya apabila bencana
tersebut benar-benar terjadi. Peminimalan dampak buruk bencana dapat dilakukan dengan
suatu sistem yang disebut Manajemen Risiko Bencana Berbasis Masyarakat (Community-
Based Disaster Risk Management/CBDRM).
Paradigma pengurangan risiko bencana merubah pola pikir yang responsif menjadi
preventif dengan pendekatan manajemen risiko. Manajemen risiko yang saat ini dianggap
paling cocok untuk usaha peminimalan risiko bencana adalah manajemen risiko berbasis
masyarakat. Manajemen Risiko Bencana Berbasis Masyarakat (Community-Based
Disaster Risk Management/CBDRM) merupakan suatu bentuk tindakan preventif terhadap
bencana yang dilakukan dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat. Dalam
program ini masyarakat berperan dan terlibat aktif dalam manajemen risiko bencana. Hal
tersebut berarti masyarakat akan dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan
manajemen risiko bencana ditingkat lokal, propinsi, dan nasional dalam bentuk kerja sama
dalam semua entitas.
Rancangan manajemen risiko dapat dilihat dari gambar 9.

Gambar 9 menunjukaan bahwa perencanaan penanggulangan bencana disusun


berdasarkan hasil identifikasi risiko bencana di suatu daerah. Setelah diidentifikasi,
kemudian dilakukan analisis risiko dengan mempertimbangkan data-data yang telah
diperoleh selama proses identifikasi. Setelah proses analisis selesai maka dapat ditentukan
tindakan apa yang tepat untuk keadaan tersebut. Tindakan-tindakan yang akan dilakukan
berupa program kerja yang dilaksanakan oleh masyarakat bersama dengan pihak
pemerintah dan pihak swasta. Lebih jauh lagi, pendekatan ini meyakini bahwa masyarakat
yang selalu waspada dan siap menghadapi resiko bahaya yang mungkin terjadi di
lingkungan mereka, cenderung lebih tahan banting, serta mampu meningkatkan ketahanan
diri mereka sendiri. Sehingga, pada saatnya, akan terbangun organisasi komunitas yang
mempunyai kemampuan lokal untuk menangani resiko bencana.
Manajemen risiko bencana berbasis masyarakat ini memang suatu tindakan yang
titik pentingnya pada masyarakat, namun masyarakat tidak mampu untuk berjalan sendiri.
Peran pemerintah dan pihak swasta juga sangat vital. Adapun hal-hal yang perlu
dipersiapkan, diperhatikan, dan dilakukan bersama-sama oleh pemerintah, swasta maupun
masyarakat antara lain:
1. Kebijakan yang mengatur tentang pengelolaan kebencanaan atau mendukung usaha
preventif kebencanaan seperti kebijakan tataguna tanah agar tidak membangun di
lokasi yang rawan bencana;
2. Kelembagaan pemerintah yang menangani kebencanaan, yang kegiatannya mulai dari
identifikasi daerah rawan bencana, penghitungan perkiraan dampak yang ditimbulkan
oleh bencana, perencanaan penanggulangan bencana, hingga penyelenggaraan
kegiatan-kegiatan yang sifatnya preventif kebencanaan;
3. Identifikasi lembaga-lembaga yang muncul dari inisiatif masyarakat yang sifatnya
menangani kebencanaan, agar dapat terwujud koordinasi kerja yang baik;
4. Pelaksanaan program atau tindakan ril dari pemerintah yang merupakan pelaksanaan
dari kebijakan yang ada, yang bersifat preventif kebencanaan;
5. Meningkatkan pengetahuan pada masyarakat tentang ciri-ciri alam setempat yang
memberikan indikasi akan adanya ancaman bencana.
A. Kesiagaan Bencana untuk Tenaga Kesehatan
1. Bencana dan Rencana Bantuan
Bencana tidak dapat diprediksi kedatangannya, sehingga dengan persiapan
yang tidak matang akan membuat risiko bencana yang besar. Berdasarkan analisis
resiko bencana, dapat disusun perencanaan penanggulangan bencana atau biasa
disebut Disasster Management Plan (DMP).
Pada tingkat nasional DMP diatur dalam Rencana Nasional Penanggulangan
Bencana 2010-2014 sedangkan pada tingkat provinsi/ kab/ kota diatur dalam
Rencana Penanggulangan Bencana.
Dalam tiap bencana, perencanaan penanggulangan bencana pada umumnya
dibagi menjadi empat jenis yaitu:
a. Rencana Kedaruratan (Emergency Plan) /Rencana Mitigasi
b. Rencana Kontinjensi (Contingency Plan)
c. Rencana Operasi (Operation Plan)
d. Rencana Pemulihan (Recovery Plan)
Berikut merupakan gambar yang menunjukkan kedudukan tiap rencana dalam
suatu bencana dimana rencana tersebut dimaksudkan untuk dibentuk sedini mungkin
dan diterapkan pada saat tertentu.

2. Rencana Kedaruratan atau Rencana Mitigasi


Seperti yang dijelaskan di awal bahwa yang dimaksud dengan mitigasi
adalah upaya yang ditujukan untuk mengurangi dampak dari bencana baik bencana
alam, bencana ulah manusia maupun gabungan dari keduanya dalam suatu negara
atau masyarakat.
Jadi, rencana mitgasi disusun untuk mengurangi terjadinya resiko bencana
yang besar. Rencana mitigasi dasarnya dibagi menjadi dua yaitu rencana mitigasi
struktural dan non struktural dimana keduanya dimaksudkan untuk mengurangi
dampak bencana yang terjadi.
Rencana mitigasi struktural merupakan rencana mitigasi yang dapat
dilakukan untuk mempersiapkan segala sesuatu untuk mencegah bencana atau
mengurangi dampak bencana jangka panjang.Sedangkan rencana mitigasi non
struktural merupakan rencana yang berisi tindakan yang dapat dilakukan untuk
memprediksi bencana dan tindakannya untu mengurangi dampaknya.
Struktural Non Struktural
Gempa Tektonik dan Vulkanik Gempa Tektonik dan Vulkanik
-Pembuatan rumah dan prasarana fasilitas -Rencanakan penempatan pemukiman untuk
umum yang tahan gempa mengurangi tingkat kepadatan hunian
-Area terbuka hijau/area evakuasi didaerah rawan bencana.
-Peningkatan/pembuatan jalur ke area -Asuransi.
evakuasi -Zonasi daerah rawan bencana dan
-Bangunan harus dibangun dengan pengaturan penggunaan lahan.
konstruksi tahan getaran/gempa. -Pendidikan kepada masyarakat tentang
-Perkuatan bangunan dengan mengikuti gempabumi.
standar kualitas bangunan. -Masyarakat waspada terhadap risiko gempa
-Pembangunan fasilitas umum denggan bumi.
standar kualitas yang tinggi. -Masyarakat mengetahui apa yang harus
-Perkuatan bangunan bangunan vital yang dilakukan jika terjadi gempa bumi.
telah ada. -Masyarakat mengetahui tentang
-Rambu penunjuk arah ke tempat evakuasi pengamanan dalam penyimpanan barang
barangyang berbahaya bila terjadi
gempabumi.
- Ikut serta dalam pelatihan program upaya
penyelamatan dan
kewaspadaanmasyarakat terhadap gempa
bumi.
-Pembentukan kelompok aksi penyelamatan
bencana dengan pelatihan
pemadamankebakaran dan pertolongan
pertama.
-Persiapan alat pemadam kebakaran,
peralatan penggalian, dan
peralatanperlindungan masyarakat lainnya.
-Rencana kontingensi/kedaruratan untuk
melatih anggota keluarga dalam
menghadapigempa bumi.

3. Rencana Kontinjensi
Kontijensi adalah suatu keadaan atau situasi yang diperkirakan akan terjadi,
tetapi mungkin juga tidak terjadi. Rencana Kontijensi (RENKON) adalah suatu
proses identifikasi dan penyusunan rencana yang didasarkan pada keadaan
kontijensi atau yang belum tentu tersebut. Rencana Kontijensi sendiri ditekankan
pada kesiapsiagaan yang dapat dilakukan segera setelah ada tanda-tanda awal akan
terjadi bencana atau adanya peringatan dini (early warning). Beberapa jenis
bencana sering terjadi tiba-tiba (waktunya), tanpa ada tanda-tanda terlebih dulu
(misalnya gempa bumi),namun tetap dapat dibuat RENKON-nya.
RENKON harus dibuat secara bersama-sama oleh semua pihak
(stakeholders) dan multisektor yang terlibat dan berperan dalam penanganan
bencana, termasuk diantaranya dari pemerintah (sektor-sektor yang terkait) ,
perusahaan negara, swasta, organisasi non-pemerintah, lembaga internasional dan
pemerintah, lembaga internasional dan masyarakat.
Prinsip-prinsip Penyusunan RENKON :
• proses penyusunan dilakukan bersama,
• skenario dan tujuan yang disepakati bersama,
• dilakukan secara terbuka (tidak ada yg ditutupi)
• menetapkan peran dan tugas setiap pelaku
• menyepakati konsensus yang telah dibuat
bersama,bersama,
• dibuat untuk menghadapi keadaan darurat Aktivasi Pada
Proses perencanaan kontijensi, dimulai dari pengkajian, penyusunan,
saat DARURAT
formalisasi, dan dapat diaktivasi apabila terjadi bencana (darurat).

Penyusunan

Pengkajian Formalisasi

4. Rencana Operasional Penanganan Darurat


Dalam situasi keadaan Darurat bencana sering terjadi kegagapan
pananganan dan kesimpang siuran informasi dan data korban maupun
kondisi kerusakan, sehingga mempersulit dalam pengambilan kebijakan untuk
penanganan darurat bencana.Sistem Koordinasi juga sering kurang terbangun
dengan baik, Penyaluran bantuan, distribusi logistic sulit terpantau dengan
baik sehingga kemajuan kegiatan penanganan tanggap darurat kurang
terukur dan terarah
Dalam manajemen tanggap darurat sebenarnya diperlukan tiga C :
1.Command (komando)
2. Control (pengendalian)
3.Coordination (kordinasi)
Dengan tercapainya ketiga kondisi diatas dapat menciptakan keteraturan
yang baik saat menanggapi bencana. Oleh karena itu disusunlah Rencana
Operasional Penanggapan Darurat (ROPD).
Di dalam ROPD diatur tata cara pembentukkan pos komando sebagai pusat
komando dan koordinasi tanggap darurat bencana yang baik, terstruktur dan
sistematis yang akan bertindak sesuai Standard Operating Procedure (SOP)
Tanggap Darurat.
5. Rencana Pemulihan
Rencana pemulihan harus berkualitas, disusun secara lengkap dan
disempurnakan dari tahun ketahun. Makin pendek masa pemulihan, makin kecil
kerugian akibat bencana. Sebaliknya, makin panjang masa pemulihan, makin lama
mulainya kembali masa produktif. Dengan demikian pendek waktu pemulihan
merupakan hal yang terpenting, setiap hari perpanjangan waktu pemulihan
mungkin adalah satu hari perpanjangan masa tidak produktif entitas tersebut.
Kondisi fisik aset belum pulih mengganggu estetika (rasa keindahan), memelihara
rasa gamang, duka-nestapa, yang menyebabkan semangat membangun terganggu
bahkan berisiko menyebabkan kerusakan moral.
Strategi pemulihan pasca bencana telah dimulai sebelum bencana terjadi,
menggunakan ancangan risk management untuk (1) risiko yang tak terduga dan
(2) risiko yang diduga pasti akan terjadi dan tak dapat dielakkan. Bila bencana
berskala besar, Presiden dapat mengangkat seorang Menteri Khusus untuk
pemulihan bencana, untuk mengatasi masalah lintas departemen pemerintah
(Jepang, Kobe) dalam kurun waktu cukup lama. Manajemen Pemda bertanggung
jawab menyusun DRP paripurna, mengkomunikasikannya kepada DPRD. Semua
persiapan DRP dilakukan, dicadangan dan dialokasikan oleh APBD, sekalipun
dalam usulan anggaran defisit.
Individu penanggung jawab bencana harus diidentifikasi secara jelas.
Bagian peran tanggung jawab tiap individu dan kelembagaan harus jelas, jangan
terjadi tumpang tindih. Tumpang tindih tugas kelembagaan antara Departemen
Pemerintah Pusat untuk pemulihan bencana harus dibersihkan terus menerus oleh
Presiden.
Manajemen Ase Berbasis Bencana
Pada Disaster Recovery Planning, probabilitas dan frekuensi bencana
diidentifikasi dan diurutkan, lalu kemudian menyusun:
a. Daftar aset utama yang harus dijaga kelestariannya dibuat pada masa
tenteram dan damai, sebelum bencana, disahkan sebagai basis perencanaan
pemulihan bila terjadi bencana. Harga akuisisi aset baru (atau replacement
cost) telah diketahui dan diperbarui-dimutakhirkan. Entitas membuat dana
khusus untuk penggantian aset yang berisiko terkena bencana yang tak dapat
diasuransikan. Dengan demikian tak terjadi kegusaran perebutan sumber daya
pemulihan di antara stakeholder, yang pada umumnya minta diprioritaskan
pada waktu bencana terjadi.
b. Daftar aset utama/kritikal yang dapat diasuransikan, termasuk
asuransi jiwa.
c. Daftar aset yang dapat dihindarkan dari risiko bencana disusun, dan
rencana kerja penghindaran risiko dilaksanakan (relokasi, proteksi fisik dll).
d. Semua asset tersebut diatas apabila rusak atau malfungsi dapat menyebabkan
kelumpuhan atau bangkrut, harus mendapat prioritas perencanaan
perlindungan dan penggantian.
Manajemen Pemda bertanggung jawab untuk menyusun DRP paripurna
dan mengkomunikasikannya kepada DPRD. Semua persiapan DRP dilakukan,
dicadangkan dan dialokasikan pada APBD, sekalipun dalam rencana anggaran
defisit.
Individu penanggung jawab bencana harus diidentifikasi secara jelas, pada
umumnya para pejabat di wilayah administrasi keuangan dan akuntansi
Pemda. Bagian peran serta tanggung jawab tiap individu dan kelembagaan harus
jelas, agar tidak terjadi tumpang tindih.
6. Siap Siaga Bencana
a. Kesiapsiagaan bencana merupakan modal utama dalam menghadapi bencana.
b. Dapat diwujudkan melalui sosialisasi dalam berbagai media.
c. Menyiapkan diri sebaik-baiknya melalui manajemen pengembangan sistem
prakiraan bencana beserta penyebarluasan informasi peringatan dini kepada
masyarakat (Early Warning Disaster Preparadnes) misalnya bekerja sama
dengan pemerintah juga dapat memanfaatkan provider telekomunikasi yang ada
untuk memberikan informasi-informasi tentang prakiraan cuaca, prakiraan
gempa, letusan gunung dan informasi penting lainnya lewat SMS.
7. Rencana Aksi Kesehatan
Bencana sering dikaitkan dengan masalah kesehatan sebagai kerentanan
orang terhadap penyakit meningkat yang dibatasi juga oleh permasalahan pangan
dan papan. Setiap langkah antisipasi bencana, beberapa rencana kesehatan harus
disusun oleh Dinas Kesehatan dengan melakukan konsultasi dan bantuan dari biro
kesehatan setempat. Beberapa rencana aksi kesehatan tersebut mencakup :
a. Pengawasan kesehatan dan gizi daerah yang terkena bencana.
imunisasi masal populasi yang rentan terhadap wabah epidemi, terutama
imunisasi campak dan meningitis.
b. Pemeriksaan kesehatan anak-anak di sekolah, tambahan gizi dan vitamin,
misalnya pemberian vitamin A.
c. Melakukan deteksi dini gizi buruk
d. Melaksanakan sosialisasi aktivitas tentang pembentukan dan penggunaan
dapur umum
e. Kunjungan ke situs bencana dan penyediaan bantuan medis.
f. Koordinasi kegiatan LSM yang berkenaan dengan tindakan kesehatan.
g. Menyediakan jasa sanitasi dasar.
h. Menjamin adanya pengadaan obat tepat waktu yang umum digunakan dan
sanitasi peralatan medis lainnya.
8. Tujuan Kesiapan Kesehatan Bencana dan Respons
Tujuan dari kesiapsiagaan bencana dan kegiatan tanggap bencana dalam
sektor kesehatan adalah sebagai berikut:
1. Untuk mencegah tingginya tingkat kematian karena bencana yang dapat
disebabkan oleh dampak langsung dari bencana, penundaan dalam penyelamatan
dan bantuan korban, kurangnya perawatan kesehatan yang sesuai dan tepat
waktu, adanya gangguan terhadap perawatan korban, bantuan kesehatan dan
pencegahan kerusakan dan terkadang karena kekurangan gizi.
2. Untuk memberikan perawatan yang sesuai dan tepat waktu bagi korban karena
bencana seperti luka ringan, luka bakar, patah tulang, trauma kekurangan gizi,
perawatan untuk akut kasus epidemi dan bencana kimia.
3. Untuk mencegah pajanan terhadap kondisi iklim dan lingkungan yang
merugikan (kekurangan makanan, air, sanitasi yang buruk, tempat tinggal yang
kurang memadai, pakaian, keracunan).
4. Untuk mencegah morbiditas jangka pendek dan jangka panjang akibat bencana
yang terkait: wabah penyakit menular, peningkatan karena
kerusakan infrastruktur kesehatan dan ketidakmampuan untuk menyediakan
pelayanan kesehatan dasar karena rusaknya infrasturktur kesehatan yang ada,
pengenalan penyakit baru karena pemukiman korban kembali diperbaharui, dan
terjadinya kekurangan gizi saat bencana.
5. Untuk membangun kembali layanan kesehatan dengan atau di atas tingkat
penanganan pra bencana diarahkan dengan memberikan perhatian khusus
kepada rekonstruksi dan perbaikan fasilitas kesehatan yang rusak, renovasi
fasilitas kesehatan yang memadai dan tepat sasaran, reorganisasi pelayanan
kesehatan berdasarkan pelayanan kesehatan primer.
9. Pelaksanaan Upaya Perlindungan
Bencana alam yang datang secara tiba-tiba sering tidak memberikan waktu
yang cukup untuk melaksanaan upaya perlindungan. Seringkali pada
bencana jangka panjang atau ketika sistem peringatan dini yang digunakan tidak
efektif, tindakan perlindungan bagi korban sangat bergantung pada tingkat
kesadaran dan kesiapsiagaan masyarakat dan pemerintah setempat dan tenaga
kesehatan. Selama manajemen penanganan dan perlindungan pada fase darurat
bencana, efektifitas keadaan korban tergantung pada kesiapan fasilitas kesehatan
setempat dan bantuan eksternal yg memadai.
10. Langkah nyata PMI dalam mewujudkan kesiapsiagaan bencana untuk tenaga
kesehatan
Anak-anak merupakan salah satu kelompok rentan yang paling berisiko
terkena dampak bencana. Kerentanan anak-anak terhadap bencana dipicu oleh
faktor keterbatasan pemahaman tentang risiko-risiko di sekeliling mereka, yang
berakibat tidak adanya kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Salah satu upaya
yang telah PMI lakukan untuk mengarusutamakan kesiapsiagaan bencana dan
pengurangan risiko dalam pendidikan sekolah adalah melalui mobilisasi jaringan
Palang Merah Remaja (PMR) dan relawan yang tersebar di 33 provinsi. Mulai 2006
PMI telah menjalankan program Sekolah Siaga Bencana.
Program ini adalah upaya PMI untuk mempromosikan konsep kesiapsiagaan
bencana dan pengurangan risiko bagi anak dan remaja sekolah melalui
pengembangan program pemanfaatkan pendidikan ekstrakurikuler yang diterima
oleh PMR serta menggunakan pendekatan kelompok remaja sebaya. PMR, sebagai
anggota remaja PMI mempunyai peran dan peluang memengaruhi kelompok
sebayanya, baik di sekolah maupun luar sekolah, untuk meningkatkan keterampilan
hidup sehingga dapat mengurangi masalah kesehatan serta dampak yang
ditimbulkan akibat bencana. Anak dan remaja bersama-sama bertukar informasi,
mengidentifikasi masalah, merancang dan membuat kesepakatan solusi melalui
kegiatan dan perilaku pengurangan risiko. Perilaku positif yang diawali sejak dini
akan berdampak pada peningkatan kualitas hidup mereka di masa mendatang dan
memberikan pengaruh kepada perilaku positif orang dewasa.
Pencapaian Program Sekolah Siaga Bencana 
1.     Konsep, strategi, dan pendekatan Sekolah Siaga Bencana telah diperkenalkan
dan diintegrasikan dalam Program Pengurangan Risiko Terpadu Berbasis
Masyarakat (PERTAMA) di 13 provinsi.
2.    Peran PMR sebagai peer leader (model), peer support (dukungan) dan peer
educator(pendidik sebaya) untuk pengurangan risiko, serta memfasilitasi
kegiatan-kegiatan pengurangan risiko pada anak dan remaja.
3.    Anak dan remaja telah dilibatkan dalam proses pengkajian, pengambilan
keputusan, perencanaan, pelaksanaan kegiatan pengurangan risiko.
4.    Mendukung sosialisasi strategi pendidikan remaja sebaya dalam kesiapsiagaan
bencana dan pengurangan risiko, PMI telah memproduksi manual Ayo Siaga
Bencana bagi PMR, panduan fasilitator Ayo Siaga Bencana serta media KIE
(Komunikasi, Informasi dan Edukasi).
5.    Di tingkat nasional, PMI telah memainkan peranan penting dalam Dewan
Pengarah KPB serta aktif melakukan advokasi. Di tingkat kabupaten, PMI juga
aktif melakukan advokasi dalam mengintegrasikan kesiapsiagaan bencana dan
pengurangan risiko ini ke dalam kurikulum sekolah.
PMI dalam Mengurangi Risiko Dampak Bencana telah melaksanakan Program
Pengurangan Risiko Terpadu Berbasis Masyarakat (PERTAMA) sejak tahun 2002 di
13 provinsi yaitu di Lampung, Sumatera Barat, Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera
Utara, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Kalimantan Selatan,
Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat dan Sulawesi Utara. Program PERTAMA
merupakan program berbasis masyarakat yang mendorong pemberdayaan kapasitas
masyarakat untuk menyiagakan diri dalam mengurangi risiko dan dampak bencana
yang terjadi di lingkungannya. Tahapan Program PERTAMA Secara kronologis,
Program PERTAMA dimulai dengan seleksi area. Daerah yang dipilih adalah yang
dinilai paling rawan bencana dan adanya komitmen dari masyarakat untuk
mengembangkan kemampuan dan sumber dayanya. Selanjutnya PMI bersama
masyarakat melakukan VCA (Vulnerability and Capacity Assessment) atau Kajian
Kerentanan dan Kapasitas dengan menggunakan alat PRA (Participatory Rural
Appraisal). Survei dasar (baseline) dan PSK (Pengetahuan, Sikap, dan Ketrampilan)
menjadi tahap berikutnya untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap, dan
keterampilan masyarakat di lokasi-lokasi Program PERTAMA akan dilaksanakan.
Pengembangan kapasitas 
Untuk meningkatkan kapasitas PMI dan masyarakat dalam menjalankan
Progam PERTAMA, PMI merekrut dan melatih Korps Sukarela (KSR) serta Tim
Sibat (Siaga Bencana Berbasis Masyarakat) yang ada di masyarakat. Korps Sukarela
dan Tim Sibat bersama masyarakat melakukan pemetaan ancaman, kerentanan, risiko,
dan kapasitas, yang menjadi salah satu bahan pembuatan rencana aksi. Rencana Aksi
Pengurangan Risiko dibuat secara bottom up dan melibatkan partisipasi penuh dari
masyarakat, kemudian diadvokasi dan disosialisasikan kepada Pemerintah Daerah
setempat untuk mendapatkan dukungan teknis dan pendanaannya.
Pencapaian Program PERTAMA Penanggulangan Bencana Masyarakat telah
meningkat kemampuannya sebagai first responder dalam tanggap darurat dan
melaksanakan mitigasi terhadap bencana. Berbagai upaya pendidikan, pelatihan, dan
simulasi telah dilakukan untuk memperkuat ketrampilan membuat peta rawan
bencana, menentukan jalur evakuasi dan sistem peringatan dini berbasis masyarakat.
Pengembangan Kapasitas. Pendidikan dan pelatihan berjenjang diberikan kepada staf
dan relawan PMI, sehingga mereka mampu melakukan upaya penyadaran dan
mobilisasi masyarakat, melakukan sosialisasi dan advokasi, sekaligus menjalin
kemitraan dengan Pemerintah Daerah dan para pemangku kepentingan kesehatan.
Dengan fasilitasi dari KSR dan Sibat, telah dilakukan upaya penyadaran mengenai
hidup bersih dan sehat, perbaikan sarana air bersih, pencegahan penyakit yang
disebabkan oleh sanitasi buruk, lingkungan yang kotor, air limbah, dan lain-lain.
Ekonomi. Walaupun pengentasan kemiskinan bukanlah bidang kegiatan dari PMI,
akan tetapi sebagai salah satu upaya untuk mengurangi kerentanan masyarakat, maka
sumber-sumber penghidupan masyarakat perlu dilindungi.
Implementasi 
Program PERTAMA di PMI Cabang Jakarta Barat dan Jakarta Timur telah
mendorong terbentuknya koperasi serta tabungan di masyarakat sebagai upaya
pengurangan risiko di bidang ekonomi. PMI Cabang Lampung Barat mencoba
mengatasi ancaman tanah longsor di Desa Suoh dengan menanami lereng dengan
bambu dan pohon-pohon perdu, dan di Kabupaten Polewali Mandar, masyarakat
melakukan penanaman pohon bakau di sepanjang pantai untuk mengatasi ancaman
abrasi. Sejak munculnya bencana sebagai dampak dari perubahan iklim, pada tahun
2005 Program PERTAMA mendapat dukungan Red Cross/Red Crescent (RD/RC)
Climate Center berkomitmen untuk membantu masyarakat dalam mengembangkan
kapasitas dalam mengintegrasikan komponen perubahan iklim melalui kegiatan
penyadaran, aksi, advokasi, dan analisis. Pengarustamaan. Konsep, strategi, dan
pendekatan Program PERTAMA telah diintegrasikan dalam Rencana Strategis PMI
tahun 2004-2009. PMI juga telah melakukan pengembangan manual dan panduan
pelatihan PERTAMA, manual dan panduan pelatihan VCA, manual dan panduan
pelatihan Pemetaan, serta media KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) untuk
mendukung perubahan perilaku masyarakat. (DM)
BAB III
PENUTUP

Pengurangan risiko bencana adalah upaya sistematis untuk mengembangkan dan


menerapkan kebijakan, strategis dan tindakan yang dapat meminimalisir jatuhnya korban
jiwa dan hilang atau rusaknya aset serta harta benda akibat bencana, baik melalui upaya
mitigasi bencana (pencegahan, peningkatan kesiapsiagaan) ataupun upaya mengurangi
kerentanan (fisik, material, sosial, kelembagaan, perilaku/sikap).
Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko bencana dalam bidang
kesehatan diantaranya adalah melakukan pemetaan bencana, melakukan penilaian risiko
adri bencana, penyuluhan, manajemen risiko berbasis masyarakat, dan kesiagaan bencana
untuk tenaga kesehatan. Hal-hal tersebut dilakukan untuk mengurangi dampak dan
kerugian yang ditimbulkan dari suatu bencana.
Pengurangan resiko bencana menjadi tanggung jawab bersama seluruh elemen
masyarakat dan Pemerintahan. Dibutuhkan kerjasama antar elemen yang terlibat dalam
menanggulangi bencana agar faktor resiko dapat diminimalkan.
Manajemen bencana sendiri merupakan disiplin yang berkaitan dengan risiko
bencana dan bagaimana menghindarinya. Dalam hal ini, bagaimana kita dapat
mempersiapkan infrastruktur dan diri kita sebelum bencana terjadi, kemudian bagaimana
respon kita ketika terjadi bencana dan setelah terjadi bencana, serta bagaimana
membangun kembali masyarakat dan lingkungan setelah bencana. Secara umum,
manajemen bencana merupakan proses yang dilakukan terus menerus oleh individu,
kelompok dan masyarakat dalam mengelola risiko atau bahaya (hazard). Tindakan ini
merupakan usaha untuk menghindari dampak bencana sebagai akibat dari hazard
(Yuniarto, 2010).
Penanganan bencana dilakukan pada saat terjadi bencana dan setelah terjadi
bencana. Umumnya, saat terjadi bencana, pemerintah Tiongkok menurunkan bantuan dari
tentara selain ada komisi General Emergency Directing Centre (Pusat pengarahan darurat
umum) yang berkoordinasi dengan institusi pemerintah lainnya dari tingkat provinsi
hingga wilayah. Setelah bencana terjadi, maka analisa peristiwa bencana akan membawa
pada usaha pengurangan risiko bencana. Pengurangan risiko bencana ini meliputi mitigasi
bencana dan respon tanggap darurat pertolongan korban bencana. Harapannya, peristiwa
bencana yang terjadi dapat mengurangi risiko, khususnya, pada jumlah korban bencana.
Bencana alam atau musibah yang menimpa masyarakat dapat datang secara tiba-
tiba, sehingga masyarakat yang berada di lokasi musibah bencana, tidak sempat melakukan
antisipasi pencegahan terhadap musibah tersebut. 87% wilayah Indonesia adalah rawan
bencana alam, atau sebanayak 383 dari 440 kabupaten atau kotamadya merupakan daerah
rawan bencana alam. Pemerintah Indonesia secara resmi dan legal menangani pengelolaan
bencana dengan membentuk Badan Koordinasi Nasional (Bakornas) yang bertugas
merumuskan dan menetapkan kebijakan, mengkoordinasikan pelaksanaan serta
memberikan standard dan pengarahan terhadap upaya penanggulangan bencana di
Indonesia.
Penanggulangan Bencana di Indonesia berdasarkan Undang-undang RI Nomor 24
Tahun 2007 menjelaskan beberapa tahapan yang perlu diperhatikan dalam penanganan
bencana yaitu, Kesiapsiagaan (Preparedness), Mitigasi (Mitigation), Tanggap darurat
(Response), Rehabilitasi / pemulihan ( Rehabilitation / Recovery), dan Rekonstruksi
(Reconstruction. Dalam penanganan bencana di Indonesia diperlukan sinergi dan
koordinasi dari berbagai pihak misalnya, pemerintah, masyarakat, para relawan dan
lembaga swadaya masyarakat bahkan dengan masyarakat internasionnal.
DAFTAR PUSTAKA

Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2008, Peraturan Kepala BNPB/No. 4 Tahun


2008/Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana,Jakarta.
Bakornas PBP, Modul Penilaian Resiko,
http://atdr.tdmrc.org:8084/jspui/bitstream/123456789/94/1/MODUL
%208%20PENILAIAN%20RESIKO__.pdf, diunduh pada 8 maret 2012.
Sadisun, Imam A., 2007, Peta Rawan Bencana : Suatu Informasi Fundamental dalam
Program Pengurangan Risiko Bencana, Pusat Mitigasi Bencana ITB, Bandung.
Harian Seputar Indonesia, 2012, Bencana Alam - 321 Daerah Masuk Kategori Risiko
Tinggi , edisi: Jumat, 10 Februari 2012
Menteri Dalam Negeri, 2006, Peraturan Mentri Dalam Negeri, No. 33 Tahun 2006 Tentang
Pedoman Umum Mitigasi Bencan. Jakarta
2003.Kifle,Yared dkk.Health Consequences of Disaster For the Ethiopian Health Center
Team. Harayama University
Pan American Health Organization. 2000. Bencana Alam: Perlindungan Kesehatan
Masyarakat. Jakarta:EGC
Majalah Komunika vol 08 No.1, 2005.Jakarta: LIPI
http://www.bnpb.go.id/userfiles/file/buku/Renas%202010-2014/10%20BAB%20V
%20Program.pdf diakses tgl 5 3 2012 pukul 9.50 pm
http://www.pikiran-rakyat.com/node/130963
http://pmi-yogya.org/main/umum/Penyuluhan-Penanggulangan-Bencana-Di-Kelurahan-
Se-Kota-Yogyakarta.html
http://www.mpbi.org/files/TOR-CBDRM%20final.pdf
http://geospasial.bnpb.go.id/ diakses pada tgl 16 Maret 2012, pukul 03.50 am
http://www.unpad.ac.id/archives/20570 diakses 16 Maret 2010, pukul 19.36
http://www.sinovia.org/index.php?option=com_content&view=article&id=92:tenaga-
kesehatan-jiwa-untuk-bencana-alam-Indonesia&catid=46:essay&Itemid=76
http://www.swatt-online.com/2011/09/membudayakan-kesiapsiagaan-bencana-bagian-ii-
habis/
http://industrikimia.com/tutorial/mengenal-jenis-alat-pelindung-diri-apd
http://www.psmbupn.org/article/perencanaan-simulasi-untuk-meningkatkan-kesiapsiagaan-
komunitas-dalam-menghadapi-bencana.html

Anda mungkin juga menyukai