OLEH:
NUR ADHA
K201702126
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang
Bencana”
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara kepulauan yang secara geografis terletak di daerah
khatulistiwa. di antara Benua Asia dan Australia serta di antara Samudera Pasifik dan
Hindia, berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia merupakan wilayah
teritorial yang sangat rawan terhadap bencana alam.
Disamping itu, kekayaan alam yang melimpah dan pemanfaatan sumber daya
alam yang tidak seimbang, wilayah yang luas dengan penyebaran penduduk yang tidak
merata, masyarakat yang multi kultural dengan keragaman suku, adat, dan budaya,
pengaruh globalisasi dan permasalah sosial lainnya yang sangat kompleks
menyebabkan Negara Indonesia menjadi wilayah yang berpotensi rawan bencana, baik
bencana yang disebabkan oleh alam ataupun bencana yang disebabkan oleh ulah
manusia itu sendiri.
Bencana-benca alam yang mungkin terjadi diantaranya adalah bencana banjir,
tanah longsor, gempa bumi, gunung meletus, kebakaran hutan ataupun pemukiman,
tsunami, angin puting beliung, maraknya wabah penyakit, konflik sosial yang berujung
pada peperangan, rusaknya alam akibat kegiatan industrialisasi, dan lain sebagainya.
Secara umum terdapat bencana yang dapat berulang setiap tahun, misalnya saja
bencana kekeringan, kemudian disusul dengan bencana kebakaran hutan ataupun
lahan, setelah itu datang banjir besar dan tanah longsor.
Terjadinya bencana alam pasitlah menimbulkan banyak kerugian baik berupa
metrial maupun korban jiwa bagi benduduk yang tertimpa bencana tersebut. Untuk
meminimalisir jumlah koraban jiwa dan harta benda yang diakibatkan oleh suatu
bencana maka perlu dilakukan langkah-langkah starategis dalam menghadapi
kemungkinan bencana yang terjadi. Terutama dalam masalah kesehatan para korban
jiwa. Oleh sebab itu. pada makalah ini penulis akan membahas mengenai Pengurangan
Risiko Bencana (PRR) di Bidang Kesehatan.
Salah satu respon positif sekaligus kebijakan pemerintah tentang
Penanggulangan Bencana adalah memasukan masalah bencana sebagai salah satu
prioritas pembangunan dalam RPJM nasional 2010-2014 yaitu lingkungan hidup dan
pengelolaan bencana. Dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana salah satu
wewenang pemerintah pusat/daerah yaitu membuat perencanaan pembangunan yang
memasukan unsur-unsur kebijakan penanggulangan bencana dan hal ini dipertegas
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2008 tentang Penanggulangan Bencana
bahwa penanggulangan bencana merupakan bagian dari perencanaan pembangunan.
Salah wujud tanggung jawab pemerintah pusat/daerah dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana yaitu Pengurangan Risiko Bencana (PRB) dan pemaduan
PRB dengan program pembangunan. Pengurangan Risiko Bencana dilakukan untuk
mengurangi dampak buruk yang timbul, terutama dilakukan dalam situasi tidak terjadi
bencana, hal ini dimaksudkan bahwa program-program PRB sedapat mungkin
dipadukan ke dalam rencana pembangunan di tingkat pusat dan daerah baik dalam
RPJM, RKP, Renstra dan Renja Kementerian/Lembaga,RPJMD, RKPD, dan Renja
Satuan Kerja Perangkat Daerah.
Secara ringkas Sudibyakto (2012) menyimpulkan bahwa penyebab lemahnya
perencanaan disebabkan oleh beberapa faktor yaitu pemahaman para birokrat daerah
(pemda) adalah bahwa institusi yang menangani kebencanaan (dalam hal ini BPBD)
hanya bekerja pada saat terjadi bencana sehingga perencanaan PB pada saat pra-
bencana yang meliputi pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan tidak menjadi prioritas,
atau dengan kata lain perencanaan penanggulangan bencana bersifat reaktif bukannya
pro-aktif. Hal tersebut sependapat dengan apa yang disampaikan oleh Kartasasmita
(2017), dalam konteks penanggulangan bencana disimpulkan bahwa kegagalan
perencanaan dapat bersumber pada sebab yaitu penyusunan perencanaan tidak tepat,
mungkin karena informasi dan perencanaan mengikuti paradigma yang ternyata tidak
sesuai dengan kondisi dan perkembangan, dimana hal ini mengacu pada pemahaman
paradigm penanganan bencana yang bersifat reaktif bukan pro aktif, sehingga tidak
dapat mengatasi masalah mendasar penanggulangan bencana serta perencanaan di sini
tidak memberikan kesempatan berkembangnya prakarsa individu dan pengembangan
kapasitas serta potensi masyarakat secara penuh, dimana partisipasi dan keterlibatan
masyarakat dalam hal ini perlu terus difasilitasi dan diberdayakan sehingga diharapkan
mereka memiliki kesadaran dan merasa butuh akan pentingnya penanggulangan
bencana.
Sebagaimana amanat dari undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 maka
pendekatan manajemen risiko bencana dalam penyusunan rencana penanggulangan
bencana menurut Maarif (2012 : 205) dan Nurjanah dkk (2012 : 48) dimulai dari
inisiatif dan komitmen Pemerintah, identifikasi risiko bencana, pilihan tindakan
pengurangan risiko bencana, pengaturan pelaku dan alokasi tugas dan kewenangan
serta sumber daya yang tersedia serta mekanisme kesiapan dan penanggulangan
dampak bencana. Rencana penanggulangan bencana ini akan berperan sangat penting
khususnya dalam memberikan arahan kebijakan serta pengaturan pelaku atau
penanggungjawab program sehingga penanggulangan bencana dapat dilakukan secara
efektif, sinergis, tidak terjadi gap dan overlapping aktifitas yang berlebihan.
Secara umum, bahaya alam atau natural hazards diartikan sebagai bahaya atau
risiko yang disebabkan oleh kejadian-kejadian geofisik yang didalamnya termasuk
kejadian gunung meletus, banjir, gempa bumi, dan tsunami. Kejadian geofisik ini jika
bertemu dengan kondisi sosial sistem yang rentan dapat menjadi bencana alam
(Johnson, 2016). Natural hazards juga diartikan jika peristiwa alam yang terjadi
mengancam jiwa dan kepemilikan manusia (Hyndman, Donald and David, 2010) dan
hazards dapat menjadi bencana alam ketika sebuah kejadian alam memberikan dampak
yang signifikan terhadap kehidupan dan properti manusia (Hyndman, Donald and
David, 2010). Dua atau lebih masyarakat yang berbeda yang mengalami peristiwa
bencana yang sama dengan tingkat kekuatan bencana (exposure) yang sama pula,
mungkin saja memiliki hazard atau bahaya yang berbeda. Hal ini disebabkan karena
mereka (kemungkinan) memiliki kerentanan (vulnerability) yang berbeda pula.
Misalnya saja, salah satu wilayah bencana memiliki kondisi sosial dan lingkungan
yang lebih tangguh dibandingkan wilayah yang lainnya dalam menghadapi risiko
bahaya bencana alam, alhasil ia memiliki tingkat hazard yang lebih rendah.
Dengan demikian, bencana dapat menjadi sebuah bencana ketika sebuah
masyarakat dalam kondisi yang rentan terhadap bahaya atau terhadap risiko bencana.
Jika sebuah bencana alam meningkat dalam intensitas dan risiko kerusakan, hal ini
bukan hanya disebabkan oleh meningkatnya kekuatan bencana yang dapat disebabkan
oleh faktor alam, tetapi juga dikarenakan kerentanan masyarakat terhadap bencana
yang juga tinggi (OECD, 2006).
Meskipun becana alam datang tiba-tiba dan cenderung sulit diprediksi, namun
kadang ia bisa diduga. Hal ini bisa dilihat dari kondisi lingkungan yang menjadi
indikator apakah bencana alam bisa terjadi di daerah tersebut atau tidak. Misalnya saja
ada hutan yang sudah mulai gundul di satu wilayah, maka dapat diramalkan bahwa
wilayah tersebut akan mengalami bencana banjir (bandang).
Bencana alam tidak sepenuhnya disebabkan oleh alam atau sebagai satu-
satunya penyebab (kematian dan kerusakan). Kerentanan sosial atau lingkungan yang
disebabkan oleh rencana atau perilaku manusia juga bisa menyebabkan sebuah bencana
alam menjadi sangat berbahaya. Misalnya saja, masyarakat membangun kediaman
yang rentan rubuh pada wilayah dengan intensitas gempa yang sering dan berkekuatan
tinggi. Atau masyarakat menempati wilayah-wilayah jalur lava atau rentan terhadap
risiko bencana gunung meletus. Kemudian manusia merusak hutan di wilayah
pegunungan yang rentan akan banjir bandang, dan seterusnya.
Oleh karena itu, kondisi sosial masyarakat di suatu tempat akan dapat
meningkatkan/menurunkan risiko bencana di wilayah tersebut (OECD, 2006). Potensi
dampak bencana alam juga bukan hanya tergantung pada tingkat kekuatan bencana
tetapi juga pada keadaan sosial masyarakat, (Hyndman dan David, 2010)
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksut dengan risiko bencana?
2. Apa yang dimaksud dengan pemetaan bencana dan tujuan dari pemetaan bencana?
3. Apa pengertian penilaian risiko dan fungsinya dalam penguranagan risiko bencana?
4. Apa yang dimaksut dengan penyuluhan dan tujuan dari penyuluhan dalam
pengurangan risiko bencana?
5. Bagaimana manajemen risiko berbasis masyarakat?
6. Apa yang dimaksut dengan kesiagaan bencana untuk tenaga masyarakat dan
kaitannya dengan pengurangan risiko bencana?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan memahami risiko bencana
2. Mengetahui tujuan dari pemetaan bencana dalam pengurangan risiko bencana
3. Mengethaui panilaian risiko dan fungsinya dalam pengurangan risiko bencana
4. Mengetahui mengenai penyuluhan dan tujuannya dalam penggurangan risiko
bencana
5. Mengetahui manajemen risiko berbasis masyarakat
6. Mengetahui kesiagaan bencana untuk tenaga masyarakat dan kaitannya dengan
pengurangan risiko bencana.
BAB II
PEMBAHASAN
Gambar 3.
Gambar 4. Matrik Skala Bahaya dalam Penilaian Bahaya.
Gambar
7. Contoh matriks penilaian risiko bencana pada suatu daerah.
Bahaya dan kerentanan merupakan dua hal yang menjadi pemicu terjadinya
bencana. Bahaya merupakan fenomena atau kondisi yang sulit (hampir tidak mungkin)
untuk dirubah atau diperbaiki. Sedangkan varibel kerentanan merupakan
situasi/sikap/perilaku individu atau masyarakat yang relatif masih dapat dilakukan
perubahan. Oleh karena itu, dalam penanganan atau pengurangan risiko bencana, hal
yang dilakukan bukanlah dengan mengurangi bahaya, melainkan dengan mengurangi
kerentanan yang ada. Hal ini dikarenakan bahaya merupakan varibel yang sulit untuk
diubah sedangkan kerentanan relatif masih dapat diubah atau diperbaiki. Oleh karena
itu kita perlu melakukan penilaian risiko bencana maka, kita dapat mengetahui
besarnya bencana yang akan terjadi dan dapat melakukan pencegahan dengan
mengurangi kerentanan terhadap bencana.
RESIKO
Dekat=Besar
Jarak antara bahaya dan
kerentanan dianalogikan sebagai
besaran risiko, bila jaraknya dekat,
maka risiko terjadinya bencana juga
besar. Dan semakin besar
perpotongan antara bahaya dan
kerentanan diibaratkan sebagai
besarnya bencana yang terjadi.
N Sehingga untuk mengurangi
NCA
BE A risiko terjadinya bencana dan
mengurani besarnya bencana yang
terjadi, maka satu hal yang dapat
dilakukan yaitu dengan mengurangi
besar kerentanan. Dengan
RESIKO mengurangi besar kerentanan, dapat
Jauh=Kecil diperoleh jarak dengan bahaya yang
lebih jauh serta mengurangi
perpotongan antara bahaya dan
kerentanan.
Gambar 8. Ilustrasi hubungan antara bahaya dan kerentanan untuk mengurangi
risiko bencana.
I. Penyuluhan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia penyuluhan adalah upaya untuk
membantu memberi petunjuk, penjelasan, penggunaan,dsb. Sehingga yang dimaksud
dari penyuluhan bencana adalah upaya yang dilakukan untuk memberikan petunjuk,
penjelasan, atau penggunaan alat untuk mencegah resiko terjadinya bencana ataupun
meminimalkan kerugian yang apabila bencana terjadi.
Dengan adanya penyuluhan diharapkan masyarakat dan pihak-pihak terkait
dapat melakukan upaya-upaya pencegahan dan persiapan dini, apa yang harus
dilakukan dan dipersiapkan apabila suatu bahaya datang.
J. Sasaran
Sebagai Negara yang memiliki potensi besar terjadi bencana, baik karena faktor
alam maupun faktor manusia, sudah selayaknya seluruh komponen masyarakat di
Indonesia mempersiapkan diri. Baik institusi, lembaga, maupun masyarakat individu
harus memiliki tanggung jawab dalam mencegah dan mengagulangi bencana yang
terjadi. Seperti menurut Deputi I Menkokesra, Dr. Asep Karsidi, M.Sc. yang dikutip
dari www.unpad.ac.id bahwa penanggulangan bencana adalah tanggung jawab
bersama, bukan hanya satu elemen seperti pemerintah saja tetapi seluruh elemen
masyarakat. Selain itu beliau juga menyatakan paradigma penanggulangan bencana
konvensional yang telah mengikat di masyarakat seperti bantuan pangan, kesehatan, dll
harus diubah. Paradigma konvensional yang cenderung berorientasi pada penanganan
setelah kejadian dirasa tidak efektif untuk mengatasi masalah yang ada. Oleh sebab itu
diperlukan paradigma baru yaitu usaha pengurangan resiko dengan pelatihan,
perencanaan, identifikasi dan mitigasi yang lebih bersifat preventif.
Penyuluhan adalah salah satu langkah preventif untuk meminimalkan dampak
bencana. Penyuluhan dan pelatihan-pelatihan bencana ditujukan kepada seluruh elemen
masyarakat, baik berupa institusi, lembaga masyarakat, maupun individu. Masyarakat
umum diharapkan dengan mengikuti penyuluhan dapat berperan aktif dalam mencegah
terjadinya bencana. Setelah mendapatkan penyuluhan masyarakat akan mendapatkan
pengetahuan agar mereka tidak menjadi penyebab bencana seperti berhenti membuang
sampah ke sungai atau lebih waspada terhadap bahan-bahan yang mudah terbakar di
lingkungan sekitarnya. Selain itu penyuluhan bagi masyarakat juga diharapkan mampu
memberikan informasi praktis terhadap masyarakat bila suatu bencana terjadi agar
dapat menyelamatkan diri.
Penyuluhan dan pelatihan juga mutlak diperlukan oleh institusi atau lembaga-
lembaga terkait. hal ini dimaksudkan agar mereka dapat bekerja secara profesional dan
sesuai prosedur agar dapat menjalankan perannya dalam penanggulangan bencana
secara maksimal.Contohnya adalah aparat keamanan (TNI dan POLRI) juga
membutuhkan pelatihan SAR dan deteksi bencana susulan karena juga bertugas
mencari korban dan mengamankan lokasi yang ditinggalkan.
K. Materi Penyuluhan
Materi dan siapa yang terlibat dalam suatu penyuluhan bencana akan sangat
kompleks untuk dijelaskan karena tergantung dari jenis bencana, lokasi, waktu, dan
kebijakan pemerintah. Jenis bencana yang satu dengan yang lainnya memiliki
karakteristik tersendiri dan penanganan/pencegahan yang berbeda pula. Begitupun
dengan lokasi yang berbeda, medan yang dihadapi, sumber daya yang ada untuk
dimanfaatkan untuk menanggulangi bencana, serta institusi yang berkompeten
memberi penyuluhan akan berbeda di tiap lokasi.
Namun secara garis besar BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana)
lah yang menjadi tonggak utama penanggulangan bencana (termasuk di dalamnya
edukasi dan penyuluhan) di tingkat nasional berdasarkan UU No.24 Th. 2007. Badan
ini lah yang paling kompeten dalam nanagemen bencana termasuk memberikan
pedoman-pedoman tentang langkah pencegahan dan penanggulangan bencana kepada
institusi lain maupun lembaga dan masyarakat.
Dari situs BNPB pula disebutkan institusi-institusi lain yang bekerja sama
dengan BNPB karena memiliki kompetensi di bidang yang berkaitan dengan
penanggulangan bencana. Beberapa di antaranya adalah Kementrian ESDM yang
berkompetensi dalam merencanakan dan mengendalikan upaya mitigasi terkait
bencana geologi. Kementrian Pertanian berkompetensi dalam mitigasi bencana
kekeringan dan masalah pertanian. Kementrian kesehatan berkompetensi di bidang
pelayanan kesehatan dan medik. Kemenristek berkompetensi melakukan penelitian
untuk perencanaan penanggulangan bencana. BMKG berkompetensi bidang
pemantauan potensi bencana. Basarnas berkompetensi di bidang SAR. Bakosurtanal
berkompetensi bidang pemetaan resiko bencana. Masih banyak instansi lainnya yang
disebutkan BNPB memiliki kompetensi di bidang yang berhubungan dengan bencana
sehingga dapat dijadikan sumber dalam penyuluhan dan edukasi terhadap suatu
bencana.
Lembaga swadaya masyarakat maupun lembaga internasional pun dapat
dijadikan sumber materi penyuluhan bencana ini. Apabila lembaga tersebut memang
memiliki kompetensi yang baik dalam penanggulangan bencana, tidak jadi masalah
bila lembaga tersebut yang melakukan penyuluhan. Seperti yang dijelaskan
sebelumnya bahwa pencegahan dan penanggulangan bencana adalah tanggung jawab
bersama, sehingga peran aktif seluruh elemen sangat dibutuhkan. Jadi asalkan
memiliki kompetensi yang dibutuhkan apapun institusi dan lembaga dapat dijadikan
rujukan dalam materi penanggulangan bencana
L. Contoh Penyuluhan
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa penyuluhan bencana sifatnya sangat
fleksibel tergantung faktor jenis bencana, lokasi, dan lainnya. Oleh karena itu di sini
akan dijelaskan terkonsentrasi pada salah satu contoh bencana dan penyuluhannya
saja. Letusan Gunung Merapi adalah bahasan pada materi ini.
Pada bencana letusan Gunung Merapi penyuluhan yang dapat dilakukan untuk
penanganan bencana ini diantaranya adalah. Pertama melakukan penyuluhan tentang
jalur evakuasi bencana oleh BNPB bekerjasama dengan Pemda setempat. jadi
dilakukan penyuluhan jalur mana saja yang diperkirakan aman saat bencana letusan
Merapi terjadi. Kedua edukasi oleh BMKG tentang resiko bahaya dari status Merapi
dan sejauh mana daerah yang diperkirakan aman dari dampaknya. Ketiga dapat
dilakukan pelatihan di tubuh tim SAR sendiri (termasuk tugas TNI/POLRI) tentang
medan yang dilalui dalam melakukan tugasnya termasuk jalur evakuasi yang harus
dilalui bila bencana susulan terjadi saat mereka melaksanakan tugas.
Manajemen Risiko Berbasis Masyarakat
Indonesia adalah negara yang terdiri dari pulau-pulau dengan berbagai suku
bangsa. Gugusan kepulauan yang menyususn Indonesia ini mempunyai potensi bencana
yang sangat tinggi dan juga sangat bervariasi dari aspek jenis bencana. Masih berkaitan
dengan bencana, dalam proses penanggulangan risiko bencana tentu sangat diperlukan
adanya kerjasama dan saling membantu antarsesama elemen masyarakat agar bencana
yang mungkin terjadi dapat dicegah atau dikurangi dampak buruknya apabila bencana
tersebut benar-benar terjadi. Peminimalan dampak buruk bencana dapat dilakukan dengan
suatu sistem yang disebut Manajemen Risiko Bencana Berbasis Masyarakat (Community-
Based Disaster Risk Management/CBDRM).
Paradigma pengurangan risiko bencana merubah pola pikir yang responsif menjadi
preventif dengan pendekatan manajemen risiko. Manajemen risiko yang saat ini dianggap
paling cocok untuk usaha peminimalan risiko bencana adalah manajemen risiko berbasis
masyarakat. Manajemen Risiko Bencana Berbasis Masyarakat (Community-Based
Disaster Risk Management/CBDRM) merupakan suatu bentuk tindakan preventif terhadap
bencana yang dilakukan dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat. Dalam
program ini masyarakat berperan dan terlibat aktif dalam manajemen risiko bencana. Hal
tersebut berarti masyarakat akan dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan
manajemen risiko bencana ditingkat lokal, propinsi, dan nasional dalam bentuk kerja sama
dalam semua entitas.
Rancangan manajemen risiko dapat dilihat dari gambar 9.
3. Rencana Kontinjensi
Kontijensi adalah suatu keadaan atau situasi yang diperkirakan akan terjadi,
tetapi mungkin juga tidak terjadi. Rencana Kontijensi (RENKON) adalah suatu
proses identifikasi dan penyusunan rencana yang didasarkan pada keadaan
kontijensi atau yang belum tentu tersebut. Rencana Kontijensi sendiri ditekankan
pada kesiapsiagaan yang dapat dilakukan segera setelah ada tanda-tanda awal akan
terjadi bencana atau adanya peringatan dini (early warning). Beberapa jenis
bencana sering terjadi tiba-tiba (waktunya), tanpa ada tanda-tanda terlebih dulu
(misalnya gempa bumi),namun tetap dapat dibuat RENKON-nya.
RENKON harus dibuat secara bersama-sama oleh semua pihak
(stakeholders) dan multisektor yang terlibat dan berperan dalam penanganan
bencana, termasuk diantaranya dari pemerintah (sektor-sektor yang terkait) ,
perusahaan negara, swasta, organisasi non-pemerintah, lembaga internasional dan
pemerintah, lembaga internasional dan masyarakat.
Prinsip-prinsip Penyusunan RENKON :
• proses penyusunan dilakukan bersama,
• skenario dan tujuan yang disepakati bersama,
• dilakukan secara terbuka (tidak ada yg ditutupi)
• menetapkan peran dan tugas setiap pelaku
• menyepakati konsensus yang telah dibuat
bersama,bersama,
• dibuat untuk menghadapi keadaan darurat Aktivasi Pada
Proses perencanaan kontijensi, dimulai dari pengkajian, penyusunan,
saat DARURAT
formalisasi, dan dapat diaktivasi apabila terjadi bencana (darurat).
Penyusunan
Pengkajian Formalisasi