Anda di halaman 1dari 13

Penyediaan Air Bersih di Daerah Pesisir

Oleh:
Andi Mutiara Anastasya (K011181312) Musdalifah (K011181018)
Annisa Mauliana Akbar (K011181039) Nur Indriyani (K011181017)
Annisa Mutiara Karim (K011181529) Sitti Khadijah Nur (K011181058)
Annisaa Hanifah Aulyansyah (K011181310) Sri Anugrah Yani (K011181006)
Annisaa Meilani Ali (K011181002) Tiara Erditta (K011181031)
Dewi Rahmawati (K011181037) Umi Roisah (K011181068)
Maftur Al Rafi (K011181069) Zhinta Fitri Yusriani (K011181330)
Muh. Arman Nyomba (K011181057)
Universitas Hasanuddin, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Prodi Kesehatan
Masyarakat; Kelas A.

Pendahuluan.
Air adalah salah satu kebutuhan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup
manusia dan makhluk hidup lainnya, tanpa air tidak akan ada kehidupan di bumi ini.
PBB menjelaskan bahwa air bersih adalah kebutuhan dasar manusia, dan harus mudah
diakses oleh semua orang. Ada cukup air di planet ini untuk mencapai hal ini. Namun,
karena infrastruktur, investasi, dan perencanaan yang buruk, setiap tahun jutaan orang
- kebanyakan dari mereka anak-anak - meninggal karena penyakit yang berkaitan
dengan pasokan air yang tidak memadai, sanitasi dan kebersihan. Air merupakan suatu
sarana utama untuk meningkatkan kesehatan. Fungsi terpenting dari sistem penyediaan
air bersih adalah pencegahan penyebaran penyakit melalui air.

Tujuan sistem penyediaan air bersih adalah agar dapat menyalurkan/mensuplai


air bersih kepada konsumen dalam jumlah yang cukup. Bagian terpenting dalam sistem
penyediaan air bersih adalah sumber air baku. Mengingat peran air bersih yang sangat
penting bagi kelangsungan hidup manusia maka perlu upaya pengadaan perencanaan
sistem penyediaan air bersih. Penyediaan air bersih merupakan hal krusial yang sudah
sepatutnya menjadi perhatian, bahkan termasuk ke dalam tujuan SDGs (Sustainable
Development Goals) yang ke-6 yaitu Menjamin Ketersediaan dan Manajemen Air dan
Sanitasi secara Berkelanjutan.

Definisi wilayah pesisir bisa berbeda-beda, karena belum ditemukan suatu


istilah paten untuk mengartikannya. Sesuai dengan UU No.27 tahun 2007, wilayah
pesisir telah didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara ekosistem daratan dan laut
yang ditentukan oleh 12 mil batas wilayah ke arah perairan dan batas kabupaten/kota
kearah pedalaman. Menurut kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah
suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Dalam beberapa dekade terakhir,
ketersediaan air bersih bagi warga yang tinggal di kawasan pesisir semakin susah. Hal
itu, terlihat dari semakin besarnya biaya untuk konsumsi air bersih di 10.666 desa yang
tersebar di seluruh Indonesia. Fakta tersebut menjelaskan bahwa akses air bersih untuk
masyarakat pesisir semakin memburuk dari waktu ke waktu. Menilik dari berbagai
alasan yang telah termaktub di atas, paper ini akan menjelaskan terkait sistem
penyediaan air bersih di daerah pesisir.

Pembahasan.

1. Selayang Pandang Sistem Penyediaan Air Bersih.

Air merupakan kebutuhan mutlak bagi semua makhluk di dunia. Bagi manusia,
air diperlukan untuk memenuhi kebutuhan domestik, seperti minum, mandi, dan
masak. Air juga berperan dalam menyokong kehidupan manusia dalam hal
transportasi, sumber tenaga listrik, pertanian, peternakan dan peruntukan lainnya.
Pengertian air bersih menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 1405/Menkes/sk/xi/2002 tentang persyaratan kesehatan lingkungan kerja
perkantoran dan industri, adalah air yang dipergunakan untuk keperluan sehari-hari dan
kualitasnya memenuhi persyaratan kesehatan air bersih sesuai dengan peraturan
perundangundangan yang berlaku dan dapat diminum apabila dimasak (Effendi, 2003).

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja
Perkantoran dan industri terdapat pengertian mengenai Air Bersih yaitu air yang
dipergunakan untuk keperluan sehari-hari dan kualitasnya memenuhi persyaratan
kesehatan air bersih sesuai dengan peraturan perundang-undanganyang berlaku dan
dapatdiminum apabila dimasak.
Kualitas air yang buruk dapat dipengaruhi oleh dua faktor, yakni secara alami
dan pengaruh manusia. Menurut Effendi (2001), permasalahan sumberdaya air terbagi
menjadi dua, yaitu kualitas dan kuantitas air. Secara alami apabila air tersebut kontak
dengan batuan alami sehingga tercampur dengan mineral yang terkandung pada batuan.
Contoh lain adalah terjadinya intrusi air laut. Pengaruh manusia yang dapat
memperburuk kualitas air adalah limbah yang diciptakan manusia, seperti limbah
industri, rumah tangga, ataupun penambangan. Ketika terjadi banjir rob, air yang naik
akan masuk ke sungai-sungai, saluran air dan badan air, sehingga air akan bercampur
dengan air laut. Kualitas air menjadi buruk dan tidak dapat dimanfaatkan untuk
pemenuhan kebutuhan air sehari-hari.

2. Selayang Pandang Daerah Pesisir.


Wilayah pesisir merupakan interface antara kawasan laut dan darat yang saling
mempengaruhi dan dipengaruhi satu sama lainnya, baik secara biogeofisik maupun
sosial ekonomi. Wilayah pesisir mempunyai karakteristik yang khusus sebagai akibat
interaksi antara proses-proses yang terjadi di daratan dan di lautan. Ke arah darat,
wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih
dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin;
sedangkan ke arah laut, wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi
oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar,
maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan
dan pencemaran (Poernomosidhi, dalam Supriharyono, 2009 tentang “Konservasi
Ekosistem Sumber Daya Hayati di Wilayah Pesisir dan Laut Tropis”).
Selain itu, menurut Poernomosidhi (2007: 4) mengemukakan bahwa karakteristik
wilayah pesisir diantaranya adalah:
a. Secara sosial, wilayah peisisr dihuni tidak kurang dari 110 jiwa atau 60% dari
penduduk indonesia yang bertempat tinggal dalam radius 50 km dari garis
pantai. Dapat dikatakan bahwa wilayah ini merupakan cikal bakal
perkembangan urbanisasi Indonesia pada masa yang akan datang.
b. Secara administrative kurang lebih 42 daerah kota dan 181 daerah kabupaten
berada di pesisir, dimana dengan adanya otonomi daerah masing-masing
daerah otonomi tersebut memiliki kewenangan yang lebih luas dalam
pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir
c. Secara fisik terdapat pusat-pusat pelayanan sosial – ekonomi yang tersebar
mulai dari sabang sampai merauke, dimana di dalamnya terkandung berbagai
asset sosial dan ekonomi yang memiliki nilai ekonomi dan financial yang
sangat besar.
d. Secara ekonomi, hasil sumberdaya laut dan pesisir telah memberikan
kontribusi terhadap pembentukan PDB nasional
e. Wilayah laut dan pesisir di Indonesia memiliki peluang untuk menjadi
produsen (exporter) sekaligus simpul transportasi laut di wilayah asia pasifik.
f. Wilayah laut dan pesisir kaya akan beberapa sumberdaya pesisir yang
potensial dikembangkan lebih lanjut meliputi pertambangan, perikanan,
pariwisata bahari, dan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi sebagai
daya tarik bagi pengembangan kegiatan “ ecotourism”.
g. Secara politik dan hankam, wilayah laut dan pesisir merupakan kawasan
perbatasan antar – Negara maupun antara – daerah yang sensitive dan
memiliki implikasi terhadap pertahanan dan keamanan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
Sekitar tujuh persen area daratan muka bumi ini terdiri atas pulau-pulau kecil.
Dari jumlah tersebut Indonesia berkontribusi besar terhadap jumlah pulaupulau kecil
di dunia, tidak kurang dari 17.000 pulau-pulau kecil (Tahir, 2010). Karakteristik pulau-
pulau kecil tersebut menyebabkannya menjadi salah satu kawasan yang rentan
(vurnerable). Kerentanan (vurnerability) merupakan salah satu aspek yang mendapat
perhatian banyak pihak. Negara-negara kelompok Small Island Development State
(SIDS) memberikan perhatian yang serius terhadap kajian kerentanan pulau-pulau
kecil (SOPAC, 2005).
3. Kondisi Ketersediaan Air di Daerah Pesisir.
Indonesia adalah negara kepulauan dengan jumlah tidak kurang dari 17.000
pulau. Berbagai potensi masalah yang saling terkait dan tumpang tindih seperti sebuah
rantai makanan, terutama antara kondisi lingkungan sebagai faktor risiko dengan
kesehatan masyarakat pesisir dan pulau kecil antara lain ketersediaan air bersih dalam
jumlah yang cukup dan kualitas baik, limbah cair dan padat, sanitasi dasar, keterbatasan
bahan pangan serta perubahan iklim dan cuaca yang tidak menentu. Perlunya suatu
terobosan dan inovasi kebijakan yang berwawasan pendekatan ekosistem, karena kita
dihadapkan pada suatu tantangan berat terhadap kenyataan permasalahanpermasalahan
di wilayah ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, sebagai berikut:
(1) Perubahan iklim dunia (global climate change);
(2) Ekosistem-ekosistem yang rapuh (fragile ecosystems);
(3) Erosi tanah, degradasi kualitas lahan karena pencemaran;
(4) Terbatasnya sumberdaya air tawar;
(5) Limbah yang tidak diolah dan langsung dibuang ke lingkungan: dan
(6) Permasalahan kritis pada kesehatan masyarakat
Penilaian risiko kesehatan lingkungan menjadi alternatif langkah awal untuk
mendapatkan data permasalahanpermasalahan kesehatan di pulau-pulau kecil.
Penilaian risiko kesehatan lingkungan dalam hal ini juga dikenal dengan
Environmental Health Risk Assessment (EHRA), yaitu suatu studi untuk memahami
kondisi fasilitas sanitasi dan perilakuperilaku yang berisiko pada kesehatan
masyarakat. Fasilitas sanitasi yang akan diteliti salah satunya mencakup Sumber Air
Bersih (SAB). (ISSDP, 2007).
Kuantitas dan kualitas perlu diperhatikan dalam memenuhi kebutuhan air.
Ketersediaan air yang banyak tidak menjamin kesejahteraan manusia akan kebutuhan
air, seperti misalnya di kawasan pesisir. Jumlah air di laut sangat melimpah akan tetapi
kualitasnya tidak sesuai dengan persyaratan baku air untuk peruntukan tertentu,
misalnya minum atau masak, kecuali sudah melalui tahap teknologi tertentu.
4. Sistem Penyediaan Air Bersih di Daerah Pesisir.
Penyediaan air bersih di daerah pesisir dapat dilakukan dengan pengolahan air
payau dengan sistem reverse osmotik.
Menurut Metcalf and Eddy (2004), membran Reverse Osmosis tidak membunuh
mikroorganisme melainkan hanya membuang dan menghambatnya. Pada desain sistem
membran RO terdapat beberapa parameter – parameter kritis yang harus diuji secara
cermat, yaitu : kalsium, magnesium, kalium, mangan, natrium besi, sulfat, barium,
khlorida, amonia, fosfat, nitrat, stronsium, dan sebagainya. Apabila parameter-
parameter tersebut dibiarkan maka akan terjadi penyumbatan (fouling) (Hartomo dan
Widiatmoko, 1994).
Prinsip kerja filter Reverse Osmosis adalah berdasarkan pada peristiwa osmosis
yang terjadi di alam. Osmosis adalah peristiwa bergeraknya air dari larutan yang
mempunyai konsentrasi lebih rendah melalui membran semi permeabel ke larutan yang
mempunyai konsentrasi lebih tinggi sampai tercapainya keseimbangan. Proses Reverse
Osmosis merupakan kebalikan dari proses osmosis, yaitu memberikan tekanan balik
dengan tekanan osmotik lebih besar pada permukaan cairan yang lebih kental, maka
cairan yang lebih murni akan menembus permukaan membran menjadi cairan yang
lebih murni (Heitmann, 1990).
Air yang mengandung garam-garaman (atau air dengan konsentrasi yang tinggi)
dimasukan dengan tekanan tertentu, sehingga melebihi tekanan osmotiknya, kedalam
ruangan di bagian kiri. Maka air (murni) akan berjalan melewati membran semi
permeabel dan tertampung di ruangan sebelah kanan. Tidak semua air bisa dilewatkan
melalui membran tersebut, hal ini tergantung pada tekanan yang diberikan dan karakter
dari membran. Oleh karena itu, dalam filter Reverse Osmosis akan dihasilkan air
limbah (reject), yaitu air yang mengandung garam-garaman konsentrasi tinggi.
Dalam proses filtrasi dengan menggunakan membran reverse osmosis, terdapat
beberapa faktor-faktor yang saling berkaitan sehingga akan mempengaruhi pula
kualitas air hasil filtrasi. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :. Faktor-faktor
tersebut adalah sebagai berikut :
(1) Tekanan Menurut Heitmann (1990), tekanan mempengaruhi laju alir bahan
pelarut yang melalui membran itu. Laju alir meningkat dengan terus
meningkatnya tekanan, dan mutu air olahan (permeate) juga semakin
meningkat. Tekanan memegang peranan penting bagi laja permeate yang
terjadi pada proses membran. Semakin tinggi tekanan suatu membran, maka
semakin besar pula fluks yang dihasilkan permeate (Nassa dan Dewi, 2004).
(2) Temperatur/suhu Standar temperatur yang digunakan dari 70F (21C), tetapi
umumnya yang digunakan mulai dari 85F (29C) (Eckenfelder, 2000).
(3) Kepadatan/kerapatan membran Semakin rapat membran, maka semakin baik
air olahan yang dihasilkan (Eckenfelder, 2000),.
(4) Flux (fluks) Gerakan air yang terus menerus. Untuk menentukan fluks dapat
diperoleh dengan menghitung laju alir permeate per satuan luas membran
(Nassa dan Dewi, 2004).
(5) Recovery Factor Semakin tinggi faktor perolehan maka semakin baik
konsentrasi garam pada proses pengolahan air payau yang didapat. Umumnya
factor recovery mempunyai batasan 75 – 95 % (Eckenfelder, 2000)
(6) Salt Rejection (rejeksi garam-garaman) Garam rejeksi tergantung dari tipe dan
karakteristik pemilihan membran. Namun juga sangat tergantung pada kondisi
operasi, konsentrasi larutan umpan dan debit aliran. Nilai rejeksi merupakan
angka mutlak (Nassa dan Dewi, 2004). Umumnya nilai rejeksi dari 85 – 99,5%
dengan 95% yang lebih sering digunakan (Eckenfelder, 2000)
(7) Ketahanan Membran Membran hanya dapat bertahan sebentar (akan cepat
rusak) apabila terlalu banyak komponen – komponen yang tidak diinginkan
ikut masuk di dalam air umpan, seperti bakteri, jamur, phenol, dan bahkan
nilai pH terlalu tinggi/rendah. Biasanya membran dapat bertahan selama 2
tahun dengan perubahan pada efisiensinya (Eckenfelder, 2000)
(8) pH pH pada membran yang sering digunakan memiliki batasan operasi antara
6 – 7,7
(9) Kekeruhan (Turbidity) Reverse Osmosis digunakan untuk
memindahkan/menyingkirkan kekeruhan dari air umpan (air masuk).
(Eckenfelder, 2000)
(10) Pengolahan awal (Pretreatment) Pretreatment merupakan proses awal
agar membran tidak cepat rusak dan dapat tahan lebih lama. Selain itu
pretreatment juga dilakukan agar partikel – partikel yang tidak diinginkan
yang berat molekulnya lebih besar tidak ikut masuk kedalam membran.
(11) Pembersihan (Cleaning) Pembersihan pada membran tergantung dari
jenis membran yang digunakan dan proses penggunaannya. (Eckenfelder,
2000)

Gambaran Prinsip Dasar Proses Osmosis Balik (Reverse Osmosis)

Di dalam proses desalinasi air laut dengan sistem osmosis balik (RO), tidak
memungkinkan untuk memisahkan seluruh garam dari air lautnya, karena akan
membutuhkan tekanan yang sangat tinggi sekali. Oleh karena itu pada kenyataanya,
untuk mengasilkan air tawar maka air asin atau air laut dipompa dengan tekanan tinggi
ke dalam sutu modul membrane osmosis balik yang mempunyai dua buah outlet yakni
outlet untuk air tawar yang dihasilkan dan outlet untuk air garam yang telah dipekatkan
(reject water).

Di dalam membrane RO tersebut terjadi proses penyaringan dengan ukuran


molekul, yakni partikel yang molekulnya lebih besar dari pada molekul air, misalnya
molekul garam dan lainnya, akan terpisah dan akan terikut ke dalam air buangan (reject
water). Oleh karena itu air yang akan masuk kedalam membran RO harus mempunyai
persyaratan tertentu misalnya kekeruhan harus nol, kadar besi harus < 0,1 mg/l, pH
harus dikontrol agar tidak terjadi pengerakan calsium dan lainnya. Di dalam
prakteknya, proses pengolahan air minum dengan sistem reverse osmosis terdiri dari
dua bagian yakni unit pengolahan pendahuluan dan unit RO.

Karena air baku yakni air laut, terutama yang dekat dengan pantai masih
mengandung partikel padatan tersuspensi, mineral, plankton dan lainnya, maka air
baku tersebut perlu dilakukan pengolahan pendhuluan sebelum diproses di dalam unit
RO. Unit pengolahan pendahuluan tersebut terdiri dari beberapa peralatan utama yakni
pompa air baku, bak koagulasi-flokulasi, tangki reaktor (kontaktor), saringan pasir,
filter mangan zeolit, dan filter untuk penghilangan warna (color removal), dan filter
cartridge ukuran 0,5 µm. Sedangkan unit RO terdiri dari pompa tekanan tinggi dan
membran RO, serta pompa dosing untuk anti scalant, dan anti biofouling dan
sterilisator ultra violet (UV).

Air baku (air laut) dipompa ke bak koagulasi-flokulasi untuk mengendapakan zat
padat tersuspenssi, selanjutnya di alirkan ke rapid sand filter, selanjutnya ditampung di
dalam bak peampung. Dari bak penampung air laut dipompa ke pressure filter sambil
diinjeksi dengan larutan kalium permanganat agar zat besi atau mangan yang larut
dalam air baku dapat dioksidasi menjadi bentuk senyawa oksida besi atau mangan yang
tak larut dalam air. Selain itu dijinjeksikan larutan anti scalant, anti biofouling yang
dapat berfungsi untuk mencegah pengkerakan serta membunuh mikroorganisme yang
dapat menyebabkan biofouling di dalam membrane RO.

Dari pressure filter, air dialirkan ke saringan filter multi media agar senyawa besi
atau mangan yang telah teroksidasi dan juga padatan tersuspensi (SS) yang berupa
partikel halus, plankton dan lainnya dapat disaring. Dengan adanya filter multi media
ini, zat besi atau mangan yang belum teroksidasi dapat dihilangkan sampai konsentrasi
< 0,1 mg/L. Zat besi dan mangan ini harus dihilangkan terlebih dahulu karena zat-zat
tesebut dapat menimbulkan kerak (scale) di dalam membran RO.
Dari filter multimedia, air dialirkan ke filter penghilangan warna. Filter ini
mempunyai fungsi untuk menghilangkan warna senyawa warna dalam air baku yang
dapat mempercepat penyumbatan membran RO. Setelah melalui filter penghilangan
warna, air dialirkan ke filter cartridge yang dapat menyaring partikel dengan ukuran
0,5 µm.

Setelah melalui filter cartridge, air dialirkan ke unit RO dengan menggunakan


pompa tekanan tinggi sambil diinjeksi dengan zat anti kerak dan zat anti biofouling.
Air yang keluar dari modul membran RO ada dua yakni air tawar dan air buangan
garam yang telah dipekatkan (reject water). Selanjutnya air tawarnya dipompa ke
tangki penampung sambil dibubuhi dengan khlorine dengan konsentarsi tertentu agar
tidak terkontaminasi kembali oleh mikroba, sedangkan air garamnya dibuang lagi ke
laut.
Keuntungan dari Reverse Osmosis antara lain:

a. Bisa mengurangi jumlah dari pengolahan kimia,


b. Mengurangi kebutuhan laboratorium,
c. Dapat mencapai pada tekanan tinggi,
d. Dapat mengurangi kandungan garam, karbonat, total hardness, sulfat, dan
nitrat dari air umpan. Zat-zat yang tidak terlarut dalam air juga dipisahkan
seperti kolloid dan bakteri (Metcalf & Eddy, 2004)

Kerugian dari reverse osmosis:

Sering terjadi penyumbatan (fouling/clogging) karena bahan – bahan tertentu


pada permukaan membran seperti membran berkerak karena pengendapan garam
terlarut dalam air karena konsentrasi air cukup pekat dan batas kelarutan terlampaui.
Kerak dapat berupa kalsium karbonat atau sulfat, silika, dan kalsium klorida (Misran,
2002), dan perawatannya lebih mahal dibandingkan dengan pengolahan secara
konvensional (Metcalf & Eddy, 2004).

Kesimpulan.

Permasalahan air bersih di daerah pesisir merupakan masalah kualitas air.


Kuantitas dan kualitas perlu diperhatikan dalam memenuhi kebutuhan air.
Ketersediaan air yang banyak tidak menjamin kesejahteraan manusia akan kebutuhan
air, seperti misalnya di kawasan pesisir. Jumlah air di laut sangat melimpah akan tetapi
kualitasnya tidak sesuai dengan persyaratan baku air untuk peruntukan tertentu,
misalnya minum atau masak, kecuali sudah melalui tahap teknologi tertentu.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja
Perkantoran dan industri terdapat pengertian mengenai Air Bersih yaitu air yang
dipergunakan untuk keperluan sehari-hari dan kualitasnya memenuhi persyaratan
kesehatan air bersih sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
dapat diminum apabila dimasak.

Adapun pengolahan air yang digunakan ialah dengan sistem RO atau Reverse
Osmosis, merupakan kebalikan dari proses osmosis, yaitu memberikan tekanan balik
dengan tekanan osmotik lebih besar pada permukaan cairan yang lebih kental, maka
cairan yang lebih murni akan menembus permukaan membran menjadi cairan yang
lebih murni.

Meskipun alat pengolah air sistem RO tersebut mempunyai banyak keuntungan


akan tetapi dalam pengoperasiannya harus memperhatikan petunjuk operasi. Hal ini
dimaksudkan agar alat tersebut dapat digunakan secara baik dan awet. Untuk
menunjang operasional sistem RO diperlukan biaya perawatan. Biaya tersebut
diperlukan antara lain untuk bahan kimia, bahan bakar, penggantian media penyaring,
servis dan biaya operator.

Sistem pengolahan air sangat bergantung pada kualitas air baku yang akan diolah.
Kualitas air baku yang buruk akan membutuhkan sistem pengolahan yang lebih rumit.
Apabila kualitas air baku mempunyai kandungan parameter fisik yang buruk (seperti
warna dan kekeruhan), maka yang membutuhkan pengolahan secara lebih khusus
adalah penghilangan warna, sedangkan proses untuk kekeruhan cukup dengan
penjernihan melalui pengendapan dan penyaringan biasa. Tetapi apabila kualitas air
baku mempunyai kandungan parameter kimia yang buruk, maka pengolahan yang
dibutuhkan akan lebih kompleks lagi.

Daftar Pustaka.

Achmadi, U. 2008. Horisan Baru Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta.

Achmadi, U. 2011. Dasar-dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. Jakarta: Rajawali Pers.

Arsadi, E. M. et al. 2007. Water resource on small island in Takabonerate islands,


District of Selayar, Province of South Sulawesi. Space at Deputy of Earth
Sciences LIPI. 3 (8). Abstract from Research Center for Geotechnology. LIPI.
[Online]. Available at: http:// dspace.ipk.lipi.go.id/dspace/
handle/123456789/144. (Diakses 17 Oktober 2019)

Atkins J, Mazzi S, Ramlogan C. 1998. A composite index of vulnerability.


Commonwealth Sectretariat, London, United Kingdom.

Badu, A. 2012. Gambaran Sanitasi Dasar Pada Masyarakat Nelayan Di Kelurahan Pohe
Kecamatan Hulonthalangi Kota Gorontalo Tahun 2012. [Online].
http://www.ejurnal.fikk.ung.ac.id/index.php/PHJ/article/download/120/48.
(Diakses 17 Oktober 2019)

Herlina, Renny.,1999, “Uji Kemampuan Membran Reverse Osmosis Untuk


Memperbaiki Kualitas Air Minum: Skripsi”, Program Sarjana, Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, Surabaya.

Kodoatie, Robert J., and Roestam Sjarief, 2010. Pengelolaan Sumber Daya Air
Terpadu. Penerbit Andi Yogyakarta. Yogyakarta

Misran, Erni, 2002, ”Aplikasi Teknologi Berbasiskan Membran dalam Bidang


Bioteknologi Kelautan: Pengendalian Pencemaran: Skripsi”, Fakultas Teknik
Program Studi Teknik Kimia, Universitas Sumatera Utara.

Sutrisno, Totok., 2004, ”Teknologi Penyediaan Air Bersih”, Rineka Cipta, Jakarta.

http://www.kelair.bppt.go.id/Sitpa/Artikel/Ro/ro.html (diakses pada 17 Oktober


2019)

Anda mungkin juga menyukai