Anda di halaman 1dari 61

KORUPSI DALAM PERSPEKTIF BUDAYA

Diajukan untuk memenuhi persyaratan UTS mata kuliah PBAK

PROGRAM STUDI

DIPLOMA III TEKNIK RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN CIREBON

2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat

menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Korupsi Dalam Perspektif Budaya " dengan tepat

waktu. Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kulia PBAK. Selain itu, makalah ini

bertujuan menambah wawasan tentang korupsi dalam perspektif budaya bagi para pembaca dan

juga bagi penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Abdul Gamal S, SKM. MKKK selaku Dosen

pengampu mata kuliah PBAK. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang

telah membantu diselesaikannya makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang

membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Cirebon, 27 Desember 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Korupsi yang terjadi di Indonesia saat ini, sudah dalam posisi yang sangat parah

dan begitu mengakar dalam setiap sendi kehidupan. Perkembangan praktek korupsi

dari tahun ke tahun semakin meningkat, baik dari kuantitas atau jumlah kerugian

keuangan negara maupun dari segi kualitas yang semakin sistematis, canggih serta

lingkupnya sudah meluas dalam seluruh aspek masyarakat. Meningkatnya tindak

pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap

kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan

bernegara pada umumnya. Maraknya kasus tindak pidana korupsi di Indonesia, tidak

lagi mengenal batas-batas siapa, mengapa, dan bagaimana. Tidak hanya pemangku

jabatan dan kepentingan saja yang melakukan tindak pidana korupsi, baik di sektor

publik maupun privat, tetapi tindak pidana korupsi sudah menjadi suatu fenomena.

Penyelenggaraan negara yang bersih menjadi penting dan sangat diperlukan

untuk menghindari praktek-praktek korupsi yang tidak saja melibatkan pejabat

bersangkutan, tetapi juga oleh keluarga dan kroninya, yang apabila dibiarkan, maka

rakyat Indonesia akan berada dalam posisi yang sangat dirugikan. Menurut Nyoman

Serikat Putra Jaya menyebutkan bahwa tindak pidana korupsi tidak hanya dilakukan

oleh penyelenggara negara, antar penyelenggara negara, melainkan juga

penyelenggara negara dengan pihak lain seperti keluarga, kroni dan para pengusaha,

sehingga merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,

serta membahayakan eksistensi negara.


Tindak pidana korupsi merupakan perbuatan yang bukan saja dapat

merugikan keuangan negara akan tetapi juga dapat menimbulkan kerugian-

kerugian pada perekonomian rakyat. Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa,

tindak pidana korupsi merupakan perbuatan yang sangat tercela, terkutuk dan

sangat dibenci oleh sebagian besar masyarakat; tidak hanya oleh masyarakat

dan bangsa Indonesia tetapi juga oleh masyarakat bangsa-bangsa di dunia.

Perkembangan korupsi di Indonesia masih tergolong tinggi, sedangkan

pemberantasannya masih sangat lamban. Romli Atmasasmita menyatakan

bahwa korupsi di Indonesia sudah merupakan virus flu yang menyebar ke

seluruh tubuh pemerintahan sejak tahun 1960-an langkah-langkah

pemberantasannya pun masih tersendat-sendat sampai sekarang. Selanjutnya,

dikatakan bahwa korupsi berkaitan pula dengan kekuasaan karena dengan

kekuasaan itu penguasa dapat menyalahgunakan kekuasaannya untuk

kepentingan pribadi, keluarga dan kroninya.

Oleh karena itu, tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan

sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa

(extraordinary crime). Hal ini dikarenakan, metode konvensional yang selama

ini yang digunakan, terbukti tidak bisa menyelesaikan persoalan korupsi yang

ada di masyarakat. Dengan demikian, dalam penanganannya pun juga harus

menggunakan cara-cara luar biasa (extra-ordinary). Sementara itu, penanganan

tindak pidana korupsi di Indonesia masih dihadapkan pada beberapa kondisi,

yakni masih lemahnya upaya penegakkan hukum tindak pidana korupsi,

kualitas SDM aparat penegak hukum yang masih rendah, lemahnya koordinasi
penegakkan hukum tindak pidana korupsi, serta masih sering terjadinya tindak

pidana korupsi dalam penanganan kasus korupsi.

Pada era reformasi sekarang ini, terwujudnya good governance antara

lain harus didukung dengan penegakkan hukum terhadap tindak pidana

korupsi. Hal ini selaras dengan tujuan yang diamanatkan oleh Undang-Undang

Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas

dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Selanjutnya, beberapa peraturan

perundang-undangan dibentuk dalam upaya memberantas korupsi tersebut,

yaitu: Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya, Undang-Undang Nomor

30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan

Undang Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi.

Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa, karena dapat

merusak sendi-sendi kehidupan bernegara. Namun demikian, pada

kenyataannya, penjatuhan hukuman kepada pelakunya sangat ringan dibanding

dengan ancaman pidananya, sehingga menimbulkan anggapan bahwa

meningkatnya kejahatan dikarenakan para Hakim memberikan hukuman ringan

atas pelaku koruptor. Oleh karena itu, sebaiknya tindakan yang diambil

pengadilan merupakan “ultimum remedium” terhadap pelanggar/pelaku

kejahatan khususnya korupsi.


Selain itu, dalam praktek juga masih terdapat hal-hal yang terabaikan,

karena pada pertimbangan putusan Hakim yang tidak secara jelas dan tegas

membedakan nilai nominal kerugian negara yang hilang akibat perbuatan

terpidana. Maksudnya adalah bahwa Hakim belum melakukan pembedaan atas

pengertian definisi mengenai unsur memperkaya dan/atau menguntungkan diri

sendiri atau orang lain atau suatu korporasi atas setiap kasus pidana korupsi

yang diputuskannya, sehingga mengakibatkan penjatuhan hukuman menjadi

tidak proporsional. Di samping itu, Hakim dalam putusannya juga tidak

mempertimbangkan keberadaan antara tindak pidana korupsi yang telah

merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dengan tindak pidana

korupsi yang akan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Perbedaan sedemikian seharusnya dikemukakan oleh Hakim dalam

putusannya, sehingga terlihat jelas klasifikasi antara suatu tindak pidana

korupsi yang telah merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

(kerugian negara secara nyata telah terjadi atau keuangan negara sudah

berkurang), dengan tindak pidana korupsi yang akan merugikan negara

(kerugian negara belum terjadi atau keuangan negara masih tetap seperti sedia

kala, tidak berkurang).

Putusan pengadilan pada umumnya masih jauh di bawah batas

maksimum dari pidana yang ditetapkan dalam undang-undang. Hakim dalam

menjatuhkan putusan pemidanaan terkait kasus korupsi menerapkan pidana

yang cukup jauh di bawah ketentuan maksimum pemidanaan dalam Undang-

Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lebih jauh lagi, pengadilan


dalam menjatuhkan putusan pemberian sanksi pidana kepada para koruptor,

ternyata memberikan hukuman yang berbeda-beda antara pelaku yang satu

dengan pelaku yang lain. Dengan kata lain, terjadi suatu disparitas pemidanaan,

yaitu penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama.

Oleh karena itu, masalah penjatuhan hukuman tidak hanya penting bagi

Hakim dan proses peradilan. Pola penjatuhan hukuman tersebut sangat penting

bagi proses hukum secara menyeluruh terutama dalam hal penegakan

hukum. Salah satu unsur yang harus dipegang agar proses penegakan hukum

berjalan lancar adalah kepercayaan dan penghargaan yang tinggi terhadap

hukum. Kemungkinan besar hal itu tidak akan tercapai apabila penjatuhan

hukuman terlalu besar variasinya. Hal ini juga menyangkut masalah keadilan

(kesebandingan), yang biasanya diharapkan akan datang dari pengadilan

sebagai lembaga atau peradilan sebagai suatu proses. Selama lembaga tersebut

tidak memperhatikan akibat dan penjatuhan hukuman, maka akan sulit untuk

menumbuhkan kepercayaan warga masyarakat kepada pengadilan. Harapan

sebagian besar masyarakat adalah bahwa hukuman yang dijatuhkan benar-

benar menimbulkan perubahan yang signifikan dalam kasus-kasus dalam

Korupsi yang telah memporak-porandakan sendi-sendi dalam bermasyarakat

dan bernegara.

Pada masyarakat Indonesia yang kebudayaan dan strukturnya sosialanya

kompleks, hukum lebih berfungsi sebagai sarana pembaharuan masyarakat,

hukum lebih banyak tumbuh dari bagian masyarakat yang mempunyai

kekuasaan dan wewenang yang dapat merupakan pencermian dari pada


kepentingan-kepentingan umum. Persoalan mendasar di indoneia adalah budaya

hukum yang belum berjalan dengan baik. Kondisi hukum yang sampai saat ini

masih maraknya kasus korupsi yang dihadapi. Dalam perspektif budaya hukum

korupsi menunjukkan perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai dan norma

baik itu dari kejujuran, sosial, agama atau hukum. Korupsi sendiri

digolongkan serious crime karena mampu mengganggu hak ekonomi dan hak

sosial masyarakat dan negara dalam skala besar. Munculnya korupsi itu sendiri

dipengaruhi oleh kebutuhan dan permintaan individu dan kolektif dan juga

didukung oleh lingkungan sosial budaya yang mewarisi tradisi korupsi, sehingga

tak khayal pejabat pemerintah pun ikut terlinat dalam tindak pidana ini,

sehingga memunculkan opini masyarakat akan korupsi merupakan sudah

menjadi budaya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan korupsi?

2. Apa saja jenis jenis korupsi?

3. Bagaimana perspektif budaya terhadap korupsi?

C. Tujuan Penulisan
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Defenisi Korupsi

Kata Korupsi berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya

busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik atau menyogok. Menurut Dr. Kartini

Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan

jabatan guna mencari keuntungan,  dan merugikan kepentingan umum. Menurut saya

sendiri tindakan korupsi merupakan tindakan dimana para pejabat public

menggelapkan uang untuk kepentingan pribadi sebagai pemuas kebutuhan dalah

kehidupannya. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari

kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan

negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatan-kekuatan formal (misalnya

denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.

Korupsi adalah setiap transaksi antara pelaku dari sektor swasta dan sektor publik

melalui utilitas bersama yang secara ilegal ditransformasikan menjadi keuntungan

pribadi (World Bank, 1997). Menurut Transparency Inter-national, korupsi besar

terdiri dari tindakan yang dilakukan pemerintah yang mendistorsi kebijakan atau

fungsi utama negara, yang memungkinkan para pemimpin untuk mendapatkan

keuntungan dengan mengorbankan para pemimpin untuk mendapatkan keuntungan

dengan mengorbankan kepentingan publik.

Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang

dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatas

namakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman. Hal itu akan masuk dalam
dalam pembahasan saya mengenai tindak korupsi Masyarakat Pancasila Dalam

Persepektif Paradigma Konflik Dan Sruktural Fungsional.

Menurut Andi Hamzah busuk, buruk., bejat, tidak jujur; dari kesucian, kata-kata

atau ucapan yang menghiha atau memfitnah.

Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana- mana.

Sejarah pembuktian bahwa hampir tiap negara dihadapkan pada masalah korupsi.

Tidak berlebihan jika pengertian korupsi selalu berkembang, berubah sesuai

dengan perubahan dan tuntutan zaman.

Menurut Pius Abdillah dan Anwar Syarifudin dalam kamus Bahasa Indonesia

korupsi adalah perbuatan buruk seperti menggelapkan uang, penerimaan uang

sogok, dan sebagainya. Jadi secara etimologis, kata korupsi berarti kemerosotan

dari keadaan yang semula baik, sehat, benar, menjadi penyelewengan, busuk.

Sedangkan pengertian korupsi dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (W.J.S.

Poerwadarminta) adalah sebagai perbuatan curang, dapat disuap, dan tidak bermoral.

Adapun menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi adalah penyelewengan atau

penggelapan uang negara atau perusahaan dan sebagainya untuk kepentingan pribadi

maupun orang lain. Sedangkan di dunia Internasional pengertian korupsi menurut

Black’s Law Dictionary korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud

untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain

secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu

keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya

dan hak-hak dari pihak lain.


Korupsi menurut wikipedia dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis

adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk

pemerintah/pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi

berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan

dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat

yang diresmikan, dan sebagainya.

Jadi, korupsi adalah tindakan yang dilakukan oleh setiap orang yang secara

melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau

suatu korporasi yang dapat merugikan negara atau perekonomian Negara.

Pemerintah Indonesia memang sudah berupaya untuk melakukan pemberantasan

korupsi melaui proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan peradilan sesuai

dengan undang-undang yang berlaku. Namun semuanya juga harus melihat dari sisi

individu yang melakukan korupsi, karena dengan adanya faktor-faktor yangt

menyebabkan terjadinya korupsi maka perlu adanya strategi pemberantasan korupsi

yang lebih diarahkan kepada upaya-upaya pencegahan berdasarkan strategi preventif,

disamping harus tetap melakukan tindakan-tindakan represif secara konsisten. Serta

sukses tidaknya upaya pemberantasan korupsi tidak hanya ditentukan oleh adanya

instrument hukum yang pasti dan aparat hukum yang bersih, jujur,dan berani serta

dukungan moral dari masyarakat, melainkan juga dari political will pemimpin negara

yangFriedman menelaah budaya hukum dari pelbagai perspektif. Ia menganalisa

budaya

hukum nasional yang dibedakan dari sub-budaya hukum yang berpengaruh secara

positif atau negatif terhadap hukum nasional. Ia juga membedakan budaya hukum
internal dan budaya hukum eksternal. Budaya hukum internal merupakan budaya

hukum warga masyarakat yang melaksanakan tugas-tugas hukum secara khusus,

seperti polisi, jaksa hakim dalam menjalankan tugasnya, sedangkan budaya hukum

eksternal merupakan budaya hukum masyarakat pada

umumnya, misalnya bagaimana sikap dan pengetahuan masyarakat terhadap

ketentuan perpajakan, perceraian dan sebagainya. Ia juga membedakan budaya

hukum tradisional dan budaya hukum modern. Dengan adanya pelbagai sistem

hukum dalam suatu komunitas politik tunggal maka disebut pluralisme hukum.

Pluralisme hukum dapat berbentuk horizontal atau vertikal. Pada yang horisontal

masing-masing subsistem atau sub-budaya mempunyai kekuatan hukum sama,

sedangkan yang vertikal kekuatan hukumnya berbeda- beda. Menurut Friedman,

budaya hukum menunjuk pada dua hal yaitu: (1) unsur adatistiadat yang organis

berkaitan dengan kebudayaan secara menyeluruh; dan (2) unsur nilai dan sikap

sosial. Lebih lanjut dikatakan bahwa sistem hukum yang terdiri dari struktur dan

subtansi, bukanlah merupakan mesin yang bekerja. Apabila kedua unsur itu berfungsi

dalam masukan dan keluaran proses hukum, maka kekuatan-kekuatan sosial tertentu

berpengaruh terhadapnya. Kekuatan-kekuatan sosial itu merupakan variabel tersendiri

yang disebut budaya hukum. Variabel itu berproses bersamaan dengan kebudayaan

sebagai suatu variasi, yang kemungkinan variabel tersebut menentang, melemahkan,

atau memperkuat sistem hukum (Lawrence, 1975).13 Friedman melihat bahwa

hukum itu tidak layak hanya dibicarakan dari segi struktur dan subtansinya saja,

melainkan juga dari segi unsur tuntutan-tuntutan (demands) yang berasal dari

kepentingankepentingan (interests) individu dan kelompok masyarakat ketika


berhadapan dengan institusi hukum. Kepentingan kepentingan dan tuntutan-tuntutan

tersebut merupakan kekuatankekuatan sosial (social forces) yang tercemin dalam

sikap dan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Unsur kekuatan-kekuatan sosial tersebut

disebut oleh Friedman sebagai budaya hukum (legalculture). Konsepsi sistem hukum

friedman memberikan pandangan yang cukup jelas. Merujuk dengan sistem hukum

friedman dengan melihat perkembangan sistem hukum di indonesia dalam hal

penanganan kasus korupsi. Maraknya kasus korupsi di indonesia menimbulkan suatu

tanda tanya bawasanya apakah yang menjadi faktor maraknya kasus korupsi di

indonesia? Penalaran perihal tersebut mungkin akan cenderung menitik beratkan

terhadap sistem hukum dan kemudian ditunjang oleh struktur hukum selaku ekskutor

atau motor penggerak dari sistem hukum tersebut lalu pada akhirnya berdampak pada

kehidupan bermasyarakat yang kemudian membentuk sebuah pemikiran atau asumsi.

Perilaku atau budaya merupakan suatu konsepsi yang timbul akibat interaksi antara

hukum dan masyarakat yang memunculkan suatu paradigma, dalam konteks ini

hukumlah yang membentuk masyarakat tersebut. Selanjutnya, sistem hukum tidak

saja merupakan serangkaian larangan atau perintah tetapi juga sebagai aturan yang

bisa menunjang, meningkatkan, mengatur dan menyuguhkan cara mencapai tujuan.14

Lebih jelas lagi bahwa budaya hukum merupakan suatu jaringan nilai-nilai dan sikap

yang berhubungan dengan hukum, atau orang berpaling kepada hukum atau kepada

pemerintah atau meninggalkannya sama sekali.

harapan dan pendapat tentang hukum bahwa:

1. Budaya hukum seseorang akan menentukan perilaku menerima atau menolak

hukum
2. Perbedaan budaya hukum para pelaku dapat menimbulkan interpretasi dan

pemahaman terhadpa norma hukum

3. Dalam menjalankan fungsi hukum maka hukum selalu berhadapan dengan nilai-

nilai atau pola perilaku yang telah mapan dalam masyarakat, sehingga dapat muncul

ketidaksesuaian antara apa yang seharusnya (das sollen) dan apa yang senyatanya

(das sain) ada perbedaan antara law in the book and law in action

4. Budaya hukum eksternal dan budaya hukum internal.

Sehingga dalam kasus pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan melalui

penegakan hukum yang terkait dalam reformasi hukum tidak hanya pembaharuan

undangundang atau substansi tetapi juga pembaharuan sturjtur serta budaya hukum.

Kultur atau budaya alaha nilai-nilai sikap yang mengikat sistem secara bersama atau

menentukan tempat sistem itu secara bersama atau menentukan tempat dari sistem

hukum itu dalam budaya masyarakat sebagai suatu keseluruhan.Selain itu Mochtar

Kusumaatmadja memandang komponen sistem hukum itu terdiri atas; Asas-asas dan

kaidah-kaidah, kelembagaan hukum dan proses-proses perwujudan kaidahkaidah

dalam kenyataan.15 Struktur hukum adalah pola yang memperlihatkan tentang

bagaimana hukum di jalankan menurut ketentuan-ketentuan formalnya, yaitu

memperlihatkan bagaimana proses hukum itu berjalan oleh aparat penegak hukum;

substansi hukum adalah peraturan-peraturan yang dipakai oleh para pelaku hukum

pada waktu melakukan perbuatanperbuatan dan hubungan hukum; sedangkan kultur

hukum adalah tuntutan atas permintaan

yang menghendaki penyelesaian masalah-masalah hukum melalui institusi hukum.


Bentuk atau perwujudan utama korupsi menurut Amundsen dalam Andvig et al.

(2000) menyebutkan bahwa terdapat 6 karakteristik dasar korupsi, yaitu:

1. Suap (Bribery) adalah pembayaran dalam bentuk uang atau barang yang diberikan

atau diambil dalam hubungan korupsi. Suap merupakan jumlah yang tetap,

persentase dari sebuah kontrak, atau bantuan dalam bentuk uang apapun. Biasanya

dibayarkan kepada pejabat negara yang dapat membuat perjanjuan atas nama

negara atau mendistribusikan keuntungan kepada perusahaan atau perorangan dan

perusahaan.

2. Penggelapan (Embezzlement) adalah pencurian sumberdaya oleh pejabat

yang diajukan untuk mengelolanya. Penggelapan merupakan salah satu bentuk

korupsi ketika pejabat pemerintah yang menyalahgunakan sumberdaya public atas

nama masyarakat.

3. Penipuan (Fraud) adalah kejahatan ekonomi yang melibatkan jenis tipu daya,

penipuan atau kebohongan. Penipuan melibatkan manipulaso atau distorsi

informasi oleh pejabat publik. Penipuan terjadi ketika pejabat pemerintah

mendapatkan tanggungjawab untuk melaksanakan perintah. Memanipulasi aliran

informasi untuk keuntungan pribadi.

4. Pemerasan (Extortion) adalah sumberdaya yang diekstraksi dengan menggunakan

paksaan, kekerasan atau ancaman. Pemerasan adalah transaksi korupsi dimana

uang diekstraksi oleh mereka yang memiliki kekuatan untuk melakukannya.

5. Favoritisme adalah kecende-rungan diri dari pejabat negara atau politisi yang

memiliki akses sumberdaya negara dan kekuasaan untuk memutuskan

pendistribusian sumberdaya tersebut. Favoritisme juga memberikan perlakuan


istimewa kepada kelompok tertentu. Selain itu, favoritisme juga mengembangkan

mekanisme pe- nyalahgunaan kekuasaan secara privatisasi.

6. Nepotisme adalah bentuk khusus dari favoritism, mengalokasikan kontrak

berdasarkan kekerabatan atau persahabatan.

Chetwynd et al. (2003) menyatakan bahwa korupsi meme- ngaruhi pertumbuhan

ekonomi dan menghambat pertumbuhan ekonomi berdasarkan beberapa teori berikut:

1. Korupsi menghalangi investasi asing dan domestik. Biaya sewa meningkat dan

menciptakan ketidakpastian, menurunkan insentif pada kedua investor asing dan

domestik.

2. Korupsi pajak kewirausahaan. Pengusaha dan inovator memerlukan lisensi

dan izin dan membayar suap untuk pemotongan barang ke dalam margin

keuntungan.

3. Korupsi menurunkan kualitas infrastruktur publik. Sumberdaya public dialihkan

ke penggunaan pribadi, standar diabaikan, dana untuk operasional dan

pemeliharaan dialihkan ke kepentingan pribadi.

4. Korupsi menurunkan pendapatan pajak. Perusahaan dan kegiatan yang didorong

ke sektor informal dengan mengambil sewa berlebihan dan pajak dikurangi

dengan imbalan hadiah kepada pejabat pajak.

5. Korupsi mengalihkan bakat menjadi rent seeking. Pejabat yang seharusnya dapat

terlibat dalam kegiatan produktif menjadi beralih ke pengambilan keuntungan dari

sewa, dimana mendorong dan meningkatkan pengambilan biaya sewa.


6. Korupsi merusak komposisi pengeluaran publik. Pencari keuntungan akan

mencari proyek paling termudah dan terselubung, mengalihkan dana dari sektor

lain seperti pendidikan dan kesehatan.


B. Ciri-ciri dan jenis korupsi

1. Ciri- ciri korupsi

Ciri – Ciri  Perbuatan Korupsi  Secara Umum

a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang;

b. Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan, kecuali ia telah begitu

merajalela, dan begitu mendalam berurat akar, sehingga individu-individu

yang berkuasa, atau mereka yang berada daalam lingkungannya tidak

tergoda untuk menyembunyikan perbuatan mereka;

c. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik;

d. Mereka yang mempraktikkan cara – cara korupsi biasanya berusaha untuk

menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran

hukum;

e. Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan keputusan

– keputusan yang tegas dan mereka yang mampu untuk mempengaruhi

keputusan – keputusan itu;

f. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan biasanya pada badan publik

atau masyarakat umum;

g. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan;

h. Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari

mereka yang melakukan tindakan itu ;

i. Korupsi tidak hanya berlaku di kalangan pegawai negeri atau anggota

birokrasi negara, korupsi juga terjadi di organisasi usaha swasta;


j. Korupsi dapat mengambil bentuk menerima sogok, uang kopi, salam

tempel, uang semir, uang pelancar, baik dalam bentuk uang tunai atau benda

atau pun wanita;

k. Setiap perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan

pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat,

l. Di bidang swasta, korupsi dapat berbentuk menerima pembayaran uang dan

sebagainya, untuk membuka rahasia perusahaan tempat seseorang bekerja,

mengambil komisi yang seharusnya hak perusahaan.

Ciri – Ciri Perbuatan Korupsi Menurut Pandangan Para Ahli

 Syed Hussein Alatas seorang sosiolog asal Malaysia, mengungkapkan

beberapa ciri dari korupsi, yaitu :

a. Suatu pengkhianatan terhadap kepercayaan. Seseorang yang diberikan

amanah seperti seorang pemimpin yang menyalahgunakan wewenangnya

untuk kepentingan pribadi, golongan, atau kelompoknya;

b. Penipuan terhadap badan pemerintah, lembaga swasta, atau masyarakat

umumnya. Usaha untuk memperoleh keuntungan dengan mengatasnamakan

suatu lembaga tertentu seperti penipuan memperoleh hadiah undian dari

suatu perusahaan, padahal perusahaan yang sesungguhnya tidak

menyelenggarakan undian;

c. Dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan khusus.

Contohnya, mengalihkan anggaran keuangan yang semestinya untuk

kegiatan sosial ternyata digunakan untuk kegiatan kampanye partai politik.


d. Dilakukan dengan rahasia, kecuali dalam keadaan di mana orang-orang

yang berkuasa atau bawahannya menganggapnya tidak perlu. Korupsi

biasanya dilakukan secara tersembunyi untuk menghilangkan jejak

penyimpangan yang dilakukannya.

e. Melibatkan lebih dari satu orang atau pihak. Beberapa jenis korupsi

melibatkan adanya pemberi dan penerima.

f. Adanya kewajiban dan keuntungan bersama, dalam bentuk uang atau yang

lain. Pemberi dan penerima suap pada dasarnya bertujuan mengambil

keuntungan bersama.

g. Terpusatnya kegiatan korupsi pada mereka yang menghendaki keputusan

yang pasti dan mereka yang dapat memengaruhinya. Pemberian suap pada

kasus yang melibatkan petinggi Makamah Konstitusi bertujuan

memengaruhi keputusannya.

h. Adanya usaha untuk menutupi perbuatan korup dalam bentuk pengesahan

hukum. Adanya upaya melemahkan lembaga pemberantasan korupsi

melalui produk hukum yang dihasilkan suatu negara atas inisiatif oknum –

oknum tertentu di pemerintahan.

2. Jenis-jenis Korupsi

a. Korupsi Uang Negara

Jenis-jenis korupsi yang pertama adalah korupsi uang negara. Jenis perbuatan

yang merugikan negara ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu mencari

keuntungan dengan cara melawan hukum dan merugikan negara serta

menyalahgunakan jabatan untuk mencari keuntungan dan merugikan negara.


Syaratnya harus ada keuangan negara yang masih diberikan. Biasanya dalam

bentuk tender, pemberian barang, atau pembayaran pajak sekian yang dibayar

sekian. Di sektor industri alam kehutanan atau pertambangan, korupsi bisa

berupa policy tax agar mereka menyetorkan sekali pajak.

b. Korupsi Suap Menyuap

Jenis-jenis korupsi berikutnya adalah korupsi suap menyuap yang merupakan

tindakan pemberian uang atau menerima uang atau hadiah yang dilakukan

oleh pejabat pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang

bertentangan dengan kewajibannya sebagaimana perbedaan hukum formil dan

materiil. Contoh dari kasus korupsi suap-menyuap seperti menyuap pegawai

negeri yang karena jabatannya bisa menguntungkan orang yang memberikan

suap, menyuap hakim, pengacara, atau advokat. Korupsi jenis ini telah diatur

dalam UU PTPK.

c. Korupsi Tindakan Pemerasan

Tindakan pemerasan merupakan tindakan yang dilakukan oleh pegawai negeri

atau penyelenggara negara untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain

dengan cara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya

dengan memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima

pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya

sendiri.

d. Korupsi Penggelapan Jabatan

Penggelapan dalam jabatan termasuk juga ke dalam kategori yang sering

dimaksud sebagai penyalahgunaan jabatan, yakni tindakan seorang pejabat


pemerintah dengan kekuasaan yang dimilikinya melakukan penggelapan

laporan keuangan, menghilangkan barang bukti atau membiarkan orang lain

menghancurkan barang bukti yang bertujuan untuk menguntungkan diri

sendiri dengan jalan merugikan negara.

e. Korupsi Gratifikasi

Jenis-jenis korupsi berikutnya adalah korupsi gratifikasi yang merupakan

tindakan pemberian hadiah yang diterima oleh pegawai Negeri atau

Penyelenggara Negara dan tidak dilaporkan kepada KPK dalam jangka waktu

30 hari sejak diterimanya gratifikasi. Gratifikasi dapat berupa uang, barang,

diskon, pinjaman tanpa bunga, tiket pesawat, liburan, biaya pengobatan, serta

fasilitas-fasilitas lainnya. Jenis korupsi ini diatur dalam Pasal 12B UU PTPK

dan Pasal 12C UU PTPK.

f. Korupsi Benturan Kepentingan dalam Pengadaan

Pengadaan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk menghadirkan barang

atau jasa yang dibutuhkan oleh suatu instansi atau perusahaan. Orang atau

badan yang ditunjuk untuk pengadaan barang atau jasa ini dipilih setelah

melalui proses seleksi yang disebut dengan tender.Pada dasarnya, proses

tender harus berjalan dengan bersih dan jujur. Instansi atau kontraktor yang

rapornya paling bagus dan penawaran biayanya paling kompetitif, maka

instansi atau kontraktor tersebut yang akan ditunjuk dan menjaga, pihak yang

menyeleksi tidak boleh ikut sebagai peserta. Jika ada instansi yang bertindak

sebagai penyeleksi sekaligus sebagai peserta tender maka itu dapat


dikategorikan sebagai korupsi. Hal ini telah diatur dalam Pasal 12 huruf i UU

PTPK.

Menurut Aditjandra dari definisi tersebut digabungkan dan dapat diturunkan

menjadi tiga macam model korupsi, yaitu :

a. Model korupsi lapis pertama

Berada dalam bentuk suap (bribery), yakni dimana prakarsa dating dari pengusaha

atau warga yang membutuhkan jasa dari birokrat atau petugas pelayanan publik

atau pembatalan kewajiban membayar denda ke kas negara, pemerasan (exortion)

dimana prakarsa untuk meminta balas jasa dating dari birokrat atau petugas

pelayan public lainnya.

b. Model korupsi lapis kedua

Jaring-jaring korupsi (cabal) antar birokrat, politisi, aparat penegakan hokum, dan

perusahaan yang mendapatkan kedudukan istimewa. Menurut Aditjandra, pada

korupsi dalam bentuk ini biasanya terdapat ikatan-ikatan yang nepotism antara

beberapa anggota jaring-jaring korupsi, dan lingkupnya bisa mencapai level

nasional.

c. Model lapis ketiga

Korupsi dalam model ini berlangsung dalam ruang lingkup internasional dimana

kedudukan aparat penegak hokum dalam model korupsi lapis kedua digantikan

oleh lembaga-lembaga internasional yang mempunyai otoritas di bidang usaha

maskapai-maskapai mancanegara yang produknya terlebih oleh pimpinan rezim

yang menjadi anggota jaring-jaring korupsi internasional korupsi tersebut.


C. Penyebab Korupsi

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001. Ada 30 delik tindak pidana korupsi yang dikategorikan

menjadi 7 jenis. Kerugian keuangan negara, penyuapan, pemerasan, penggelapan

dalam jabatan, kecurangan, benturan kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa,

serta gratifikasi.

Ketika perilaku konsumtif masyarakat serta sistem politik yang masih bertujuan

pada materi, maka hal tersebut dapat meningkatkan terjadinya permainan uang dan

merupakan penyebab korupsi. Korupsi tidak akan pernah putus terjadi apabila tidak

ada perubahan dalam memandang kekayaan.

 Penyebab Korupsi di Indonesia

1. Penyebab Korupsi dari Faktor Internal

Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri seseorang.

Penyebab korupsi di Indonesia ini berarti persepsi terhadap korupsi atau

pemahaman seseorang mengenai korupsi tentu berbeda-beda.

Salah satu penyebab korupsi di Indonesia adalah masih bertahannya sikap primitif

terhadap praktik korupsi karena belum ada kejelasan mengenai batasan bagi istilah

korupsi. Sehingga terjadi beberapa perbedaan pandangan dalam melihat korupsi.

Kualitas moral dan integritas individu berperan penting dalam penyebab korupsi

di Indonesia dari faktor internal. Adanya sifat serakah dalam diri manusia dan

himpitan ekonomi serta self esteem yang rendah dapat membuat seseorang

melakukan korupsi. Adapun beberapa pernyataan ahli yang menyimpulkan

beberapa poin penyebab korupsi di Indonesia adalah sebagai berikut:


 Peninggalan pemerintahan kolonial

 Kemiskinan dan ketidaksamaan

 Gaji yang rendah

 Persepsi yang popular

 Pengaturan yang bertele-tele

 Pengetahuan yang tidak cukup dari bidangnya.

Menurut bidang psikologi, terdapat dua teori yang MENJADI penyebab korupsi

di Indonesia, yaitu teori medan dan teori big five personality. 

 Teori medan adalah perilaku manusia penyebab korupsi di Indonesia hasil dari

interaksi antara faktor kepribadian (personality) dan lingkungan

(environment) atau dengan kata lain lapangan kehidupan seseorang terdiri dari

orang itu sendiri dan lingkungan, khususnya

lingkungan Kejiwaan (psikologis) yang ada padanya.Melalui teori ini, jelas

bahwa perilaku korupsi dapat dianalisis maupun diprediksi memiliki dua opsi

motif yakni dari sisi lingkungan atau kepribadian individu terkait.

 Teori penyebab korupsi di Indonesia yang kedua adalah teori big five

personality. Teori penyebab korupsi di Indonesia ini merupakan konsep yang

mengemukakan bahwa kepribadian seseorang terdiri dari lima faktor

kepribadian, yaitu extraversion, agreeableness, neuroticism, openness, dan

conscientiousness.
d. Openness to Experience (Terbuka terhadap Hal-hal baru)

Dimensi Kepribadian Opennes to Experience ini mengelompokan individu

berdasarkan ketertarikannya terhadap hal-hal baru dan keinginan untuk

mengetahui serta mempelajari sesuatu yang baru. Karakteristik positif pada

Individu yang memiliki dimensi ini cenderung lebih kreatif, Imajinatif,

Intelektual, penasaran dan berpikiran luas.

Sifat kebalikan dari “Openness to Experience” ini adalah individu yang cenderung

konvensional dan nyaman terhadap hal-hal yang telah ada serta akan

menimbulkan kegelisahan jika diberikan tugas-tugas baru.

e. Conscientiousness (Sifat Berhati-hati)

Individu yang memiliki Dimensi Kepribadian Conscientiousness ini cenderung

lebih berhati-hati dalam melakukan suatu tindakan ataupun penuh pertimbangan

dalam mengambil sebuah keputusan, mereka juga memiliki disiplin diri yang

tinggi dan dapat dipercaya. Karakteristik Positif pada dimensi  adalah dapat

diandalkan, bertanggung jawab, tekun dan berorientasi pada pencapain.

Sifat kebalikan dari Conscientiousness adalah individu yang cendurung kurang

bertanggung jawab, terburu-buru, tidak teratur dan kurang dapat diandalkan dalam

melakukan suatu pekerjaan.

f. Extraversion (Ekstraversi)

Dimensi Kepribadian Extraversion ini berkaitan dengan tingkat kenyamanan

seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain. Karakteristik Positif Individu

Extraversion adalah  senang bergaul, mudah bersosialisasi, hidup berkelompok

dan tegas.
Sebaliknya, Individu yang Introversion (Kebalikan dari Extraversion) adalah

mereka yang pemalu, suka menyendiri, penakut dan pendiam.

g. Agreeableness (Mudah Akur atau Mudah Bersepakat)

Individu yang berdimensi Agreableness ini cenderung lebih patuh dengan individu

lainnya dan memiliki kepribadian yang ingin menghindari konfilk. Karakteristik

Positif-nya adalah kooperatif (dapat bekerjasama), penuh kepercayaan, bersifat

baik, hangat dan berhati lembut serta suka membantu.

h. Neuroticism (Neurotisme)

Neuroticism adalah dimensi kepribadian yang menilai kemampuan seseorang

dalam menahan tekanan atau stress. Karakteristik Positif dari Neuroticism disebut

dengan Emotional Stability (Stabilitas Emosional), Individu dengan Emosional

yang stabil cenderang Tenang saat menghadapi masalah, percaya diri, memiliki

pendirian yang teguh.

Sedangkan karakteristik kepribadian Neuroticism (karakteristik Negatif) adalah

mudah gugup, depresi, tidak percaya diri dan mudah berubah pikiran. Oleh karena

itu, Dimensi Kepribadian Neuroticism atau Neurotisme yang pada dasarnya

merupakan sisi negatif ini  sering disebut juga dengan dimensi Emotional Stability

(Stabilitas Emosional) sebagai sisi positifnya, ada juga yang menyebut Dimensi

ini sebagai Natural Reactions (Reaksi Alami).

2. Penyebab Korupsi dari Aspek Perilaku dan Sosial

 Aspek Perilaku

Aspek perilaku penyebab korupsi di Indonesia adalah sifat tamak atau

rakus. Korupsi yang dilakukan bukan karena kebutuhan primer atau kebutuhan
pangan. Pelakunya adalah orang yang berkecukupan, tetapi memiliki sifat

tamak, rakus, mempunyai hasrat memperkaya diri sendiri. Unsur penyebab

tindak korupsi berasal dari dalam diri sendiri yaitu sifat tamak/rakus.

Aspek perilaku penyebab korupsi di Indonesia selanjutnya moral yang

kurang kuat. Orang yang moralnya kurang kuat mudah tergoda untuk

melakukan tindak korupsi. Godaan bisa datang dari berbagai pengaruh di

sekelilingnya, seperti atasan, rekan kerja, bawahan, atau pihak lain yang

memberi kesempatan.

Terakhir, aspek perilaku penyebab korupsi di Indonesia adalah gaya hidup

yang konsumtif. Gaya hidup di kota besar mendorong seseorang untuk

berperilaku konsumtif. Perilaku konsumtif yang tidak diimbangi dengan

pendapatan yang sesuai, menciptakan peluang bagi seseorang untuk

melakukan tindak korupsi.

 Aspek Sosial

Keluarga dapat menjadi pendorong seseorang untuk berperilaku korup

atau penyebab korupsi di Indonesia. Menurut kaum bahviouris, lingkungan

keluarga justru dapat menjadi pendorong seseorang bertindak korupsi,

mengalahkan sifat baik yang sebenarnya telah menjadi karakter pribadinya.

Lingkungan justru memberi dorongan, bukan hukuman atas tindakan koruptif

seseorang.

3. Penyebab Korupsi dari Faktor Eksternal

Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri seseorang. Faktor

eksternal yang menjadi penyebab korupsi di Indonesia adalah sebagai berikut:


 Hukum

Sistem hukum di Indonesia untuk memberantas korupsi masih sangat lemah.

Penyebab korupsi di Indonesia ini meliputi hukum yang tidak dijalankan

sesuai prosedur yang benar, aparat mudah disogok sehingga pelanggaran

sangat mudah dilakukan oleh masyarakat.

 Politik

Monopoli kekuasaan merupakan penyebab korupsi di Indonesia, karena tidak

adanya kontrol oleh lembaga yang mewakili kepentingan masyarakat. Faktor

yang sangat dekat dengan terjadinya korupsi adalah budaya penyalahgunaan

wewenang yang berlebih dalam hal ini terjadinya KKN.

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang masih sangat tinggi dan tidak

adanya sistem kontrol yang baik menyebabkan masyarakat meng anggap

bahwa korupsi merupakan suatu hal yang sudah biasa terjadi. Penyebab

korupsi di Indonesia ini sudah seharusnya dimusnahkan.

 Sosial

Lingkungan sosial dapat menjadi penyebab korupsi di Indonesia atau

mempengaruhi seseorang untuk melakukan korupsi. Korupsi merupakan

budaya dari pejabat lokal dan adanya tradisi memberi yang disalahgunakan

oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

4. Penyebab Korupsi dari Sikap Masyarakat

Aspek sikap masyarakat yang menjadi penyebab korupsi di Indonesia ini jarang

disadari. Misalnya, dalam sebuah organisasi, kesalahan individu sering ditutupi

demi menjaga nama baik organisasi. Demikianlah tindak korupsi dalam sebuah
organisasi sering kali ditutup-tutupi. Akibat sikap tertutup ini, tindak korupsi

seakan mendapat pembenaran, bahkan berkembang dalam berbagai bentuk. Sikap

masyarakat yang berpotensi memberi peluang perilaku korupsi antara lain:

 Nilai-nilai dan budaya di masyarakat yang mendukung untuk menjadi

penyebab korupsi di Indonesia. Misalnya masyarakat menghargai seseorang

karena kekayaan yang dimilikinya. Akibatnya masyarakat menjadi tidak kritis

terhadap kondisi, seperti dari mana kekayaan itu berasal.

 Masyarakat menganggap bahwa korban yang mengalami kerugian akibat

tindak korupsi adalah negara. Padahal justru pada akhirnya kerugian terbesar

dialami oleh masyarakat sendiri. Contohnya, akibat korupsi

anggaran pembangunan menjadi berkurang, pembangunan transportasi umum

menjadi terbatas.

 Penyebab korupsi di Indonesia adalah masyarakat kurang menyadari bila

dirinya terlibat dalam perilaku korupsi. Setiap tindakan korupsi pasti

melibatkan masyarakat, namun masyarakat justru terbiasa terlibat dalam

tindak korupsi sehari-hari dengan cara-cara terbuka namun tidak disadari.

 Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi dapat dicegah dan diberantas

bila masyarakat ikut aktif dalam agenda pencegahan dan pemberantasan

korupsi. Umumnya penyebab korupsi di Indonesia justru karena masyarakat

menganggap bahwa pencegahan dan pemberantasan korupsi adalah tanggung

jawab pemerintah.
5. Penyebab Korupsi dari Faktor Politik

Politik uang (money politics) pada Pemilihan Umum adalah contoh tindak

korupsi, yaitu seseorang atau golongan tertentu membeli suatu atau menyuap para

pemilih/anggota partai agar dapat memenangkan pemilu. Perilaku korup seperti

penyuapan, politik uang merupakan fenomena yang sering terjadi.

Terkait hal itu, Terrence Gomes (2000) memberikan gambaran bahwa

politik uang sebagai use of money and material benefits in the pursuit of political

influence (menggunakan uang dan keuntungan material untuk memperoleh

pengaruh politik). Ini penyebab korupsi di Indonesia yang sudah sering terjadi.

Penyimpangan pemberian kredit atau penarikan pajak pada pengusaha,

kongsi antara penguasa dan pengusaha, kasus-kasus pejabat Bank Indonesia

dan Menteri Ekonomi, dan pemberian cek melancong yang sering dibicarakan

merupakan sederet kasus yang menggambarkan aspek politik yang dapat

menyebabkan kasus korupsi.

6. Penyebab Korupsi dari Faktor Ekonomi

Aspek penyebab korupsi di Indonesia adalah ekonomi. Kondisi ekonomi sering

membuka peluang bagi seseorang untuk korupsi. Pendapatan yang tidak dapat

memenuhi kebutuhan atau saat sedang terdesak masalah ekonomi membuka ruang

bagi seseorang untuk melakukan jalan pintas, dan salah satunya adalah dengan

melakukan korupsi. Terkadang, penyebab korupsi di Indonesia ini sulit dihindari.

7. Penyebab Korupsi dari Pengaruh Organisasi

Aspek yang menjadi penyebab korupsi di Indonesia adalah organisasi. Organisasi

dalam arti yang luas adalah yang dimaksud, termasuk sistem pengorganisasian
lingkungan masyarakat. Organisasi biasanya memberi andil pada praktik

terjadinya korupsi karena membuka peluang atau kesempatan terjadinya korupsi.

Aspek-aspek penyebab korupsi dalam sudut pandang organisasi meliputi:

 Kurang adanya sikap keteladanan pemimpin.

 Tidak adanya kultur budaya organisasi yang benar.

 Kurang memadainya sistem akuntabilitas.

 Kelemahan sistem pengendalian manajemen.

 Pengawasan yang terbagi menjadi dua, yakni pengawasan internal

(pengawasan fungsional dan pengawasan langsung oleh pemimpin) dan

pengawasan eksternal (pengawasan dari legislatif dalam hal ini antara lain

KPKP, Bawasda, masyarakat dll).

 Penyebab korupsi di Indonesia dari Teori

1. Menurut Robert Kitgaard

 Teori CDMA: Corruption = Directionary + Monopolu –

Accountability

Korupsi terjadi karena adanya faktor kekuasaan dan monopoli yang

tidak dibarengi dengan akuntabilitas.

 Teori Means-Ends Scheme - Robert Merton

Teori ini menyatakan bahwa korupsi merupakan suatu perilaku

manusia yang diakibatkan oleh tekanan sosial sehingga menyebabkan

pelanggaran norma-norma.

 Teori Solidaritas Sosial


Teori ini dikembangkan oleh Emile Durkehim (1858-1917). Teori ini

memandang bahwa watak manusia sebenarnya bersifat pasif dan

dikendalikan oleh masyarakatnya.

2. Menurut Jack Bologne

 Teori GONE: Greed + Opportunity + Need + Expose

Faktor-faktor penyebab korupsi adalah keserakahan (greed),

kesempatan (Opportunity), kebutuhan (Needs), dan pengungkapan

(Expose). Keserakahan berpotensi dimiliki setiap orang dan berkaitan

dengan individu pelaku korupsi. Organisasi, instansi, atau masyarakat

luas dalam keadaan tertentu membuka faktor kesempatan melakukan

kecurangan.

Faktor kebutuhan erat dengan individu untuk menunjang kehidupan

yang wajar. Sementara faktor pengungkapan berkaitan dengan

tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelakuk kecurangan

apabila pelaku ditemukan melakukan kecurangan.

3. Menurut Donald R Cressey (Fraud Triangle Theory)

Tiga faktor yang berpengaruh terhadap fraud (kecurangan) adalah

kesempatan, motivasi, dan rasionalisasi. Ketiga faktor tersebut memiliki

derajat yang sama besar untuk saling memengaruhi.

 Teori model cost-benefit

Menurut teori ini, korupsi terjadi jika manfaat korupsi yang

didapat/dirasakan lebih besar dari biaya/risikonya (nilai manfaat bersih

korupsi)
 Teori willingness and Opportunity to Corrupt

Korupsi terjadi jika terdapat kesempatan/peluang (kelemahan sistem,

pengawasan kurang, dan sebagainya) dan niat/keinginan (didorong

karena kebutuhan dan keserakahan).

 Teori motivasi pelaku

Menurut Abdullah Hehamauha dalam makalah semiloka "Wajah

Pemberantasan Korupsi di Indonesia Hari Ini," korupsi dapat

dibedakan menjadi lima. Ini meliputi korupsi karena kebutuhan,

korupsi karena ada peluang, korupsi karena ingin memperkaya diri

sendiri, korupsi karena ingin menjatuhkan pemerintah, dan korupsi

karena ingin menguasai suatu negara.

4. Menurut Selo Sumardjan

Mengatakan bahwa korupsi, kolusi dan nepotisme adalah dalam

satu nafas karena ketiganya melanggar kaidah-kaidah kejujuran dan

norma hukum. Adapun factor social pendukung KKN adalah: (1)

Desintegrasi (anomie) social karena perubahan social terlalu cepat

sejak revolusi nasional, dan melemahnya batas milik negara dan milik

pribadi; (2) Fokus budaya bergeser, nilai utama orientasi social beralih

menjadi orientasi harta, kaya tanpa harta (sugih tanpo bondho) menjadi

kaya dengan harta; (3) Pembangunan ekonomi menjadi panglima

pembangunan bukan pembangunan social atau budaya; (4)

Penyalahgunaan kekuasaan negara sebagai short cut mengumpulkan

harta; (5) Paternalisme, korupsi tingkat tinggi, menurun,menyebar,


meresap dalam kehidupan masyarakat. Bodoh kalau tidak

menggunakan kesempatan menjadi kaya (aji mumpung); (6) Pranata-

pranata social control tidak efektif lagi.

5. Menurut Evi Hartanti

Menyebutkan faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi

dikarenakan lemahnya pendidikan agama dan etika, kolonialisme,

kurangnya pendidikan, kemiskinan, tidak adanya sanksi yang keras,

kelangkaan lingkungan yang subur untuk pelaku anti korupsi, struktur

pemerintahan, perubahan radikal, dan keadaan masyarakat. Namun

demikian factor yang paling penting dalam dinamika korupsi adalah

keadaan moral dan intelektual para pemimpin masyarakat (Hartanti,2006).

6. Menurut Luhut M.

Menurut Luhut M. Pangaribuan (2002),perilaku koruptif yang

terjadi pada hampir semua penegak hukum, bukan karena moral yang

rendah namun sebagai akibat terjadinya demoralisasi dari para penegak

hukum itu sendiri. Akibatnya, menerima uang secara tidak halal, menurut

persepsi mereka, bukanlah sesuatu yang aneh lagi, akan tetapi menjadi

suatu keharusan untuk mereka lakukan. Setidaknya terdapat empat

hal faktor penyebab yang dapat dikemukakan dari perilaku koruptif dari

para penegak hukum yaitu : (1) Kesejahteraan atau gaji rendah, akan tetapi

life style-nya tinggi; (2) Adanya ketidakpercayaan timbal balik di


antara penegak hukum itu sendiri; (3) Akibat pola korupsi yang terjadi

pada masa Orde Baru; (4) Tidak adanya standar profesi bagi advokat

(Luhut, 2002).

D. Korupsi Perspektif Budaya

Jangan sebut korupsi sebagai budaya karena budaya bangsa ini terlalu mahal

untuk dikonotasikan dengan istilah korup. Tapi faktanya, korupsi memang menjadi

penyakit yang seolah telah membudaya di negeri ini. Tidak hanya di pemerintahan,

tapi juga di berbagai aspek kehidupan kita, korupsi seolah menjadi bagian negatif

yang tak bisa ditinggalkan dalam sistem birokrasi. Korupsi disebabkan karena adanya

keinginan dan kesempatan. Keinginan berkaitan dengan moral seseorang, sedangkan

kesempatan berkaitan dengan sistem. Trend usia Koruptor semakin lama semakin

muda, mulai mengarah ke usia di bawah 40 tahun. Uniknya lagi, tindakan korupsi

mulai melibatkan hubungan keluarga. Fakta-fakta menyedihkan ini menunjukkan

betapa keluarga sangat berpengaruh terhadap tindakan seseorang untuk melakukan

upaya korup. Hal ini menjadi keprihatinan bersama rakyat Indonesia. Busro

Muqoddas (2015), memaparkan betapa besar peran keluarga dalam pencegahan

korupsi. Tanpa kita sadari, keluarga menjadi salah satu pemicu seseorang untuk

melakukan tindakan korupsi karena pola hidup boros dan konsumtif yang dibina dari

keluarga. Oleh karena itu, pendidikan anti-korupsi dan penanaman hidup sederhana

dalam keluarga menjadi hal yang paling utama dan menjadi salah satu fokus utama

KPK saat ini. Memang perlu adanya pendidikan anti-korupsi di tingkat keluarga.

Upaya ini dilakukan mengingat pembiasaan-pembiasaan hidup dalam keluarga

menjadi faktor utama tindakan seseorang di masa depan. Ikatan antara suami-istri, 10
orangtua-anak, maupun antartetangga menjadi sesuatu yang potensial untuk

menanamkan nilai kejujuran berbasis keluarga. Indonesia dengan national content

yang sangat kuat menjadi tempat yang tepat untuk program pencegahan korupsi

berbasis budaya lokal. Terlebih lagi mengingat budaya yang kental akan nilai-nilai

kejujuran dan berbudi luhur masih terwariskan dengan baik di Indonesia. Tentu upaya

ini tidak akan maksimal jika hanya lembaga tertentu yang bergerak, misalnya KPK

hanya bekerja sendiri. Oleh karena itu dengan mengajak berbagai komponen

masyarakat, salah satunya.

Adapun usaha-usaha yang harus dilakukan masyarakat untuk dapat mencapai

tujuan-tujuan dari pendidikan anti-korupsi agar menjadi budaya yang baik, yaitu

dengan:

a. Budaya memahami informasi Bahaya korupsi biasanya ditunjukkan

menggunakan argument ekonomi, sosial dan politik. Masyarakat tentunya akan

sulit untuk memahami, untuk itu perlu ‘diterjemahkan’ ke dalam bahasa sehari-

hari dengan menunjukkan bagaimana korupsi mengancam kepentingan mereka

dan kepentingan keluarga dan orang lain.

b. Budaya mengingat Tidak diragukan lagi, dengan proses mengulang, seseorang

akan terbiasa mengingat, namun jika yang sama diulang lebih dari tiga kali,

seseorang akan merasa jenuh dan merasa kehilangan hak untuk membuat pilihan

bebas. Jadi tidak ada salahnya mengubah bentuk penyediaan informasi dengan

cara yang paling tak terduga dan mengesankan (ada variasi).

c. Budaya membujuk diri sendiri untuk bersikap kritis Sikap kritis menjadi sangat

kuat bila tidak hanya diberikan, tetapi mengarahkan masyarakat untuk


mengembangkannya dengan penalaran intensif. Efeknya akan lebih kuat jika

menggunakan metode pembelajaran aktif.

Dengan adanya pendidikan anti-korupsi, diharapkan akan lahir generasi tanpa

korupsi sehingga dimasa yang akan datang akan tercipta Indonesia yang 11 bebas dari

budaya korupsi. Harapan awal tentunya ini akan berdampak langsung pada semua

elemen pendidikan, seperti dosen, kepala sekolah, guru, karyawan, dan pelajar.

Lingkungan sekolah/kampus akan menjadi pioneer bagi pemberantasan korupsi dan

akan merembes ke semua aspek kehidupan bangsa demi mewujudkan Indonesia yang

bebas dari korupsi.

Alam kebudayaan masyarakat kita sesungguhnya adalah masyarakat agraris

dengan komunalitasnya. Masyarakat yang demikian selalu menunjukkan keinginan

untuk hidup bersama secara damai dan harmonis. Karenanya, mereka cenderung

menghindari konflik agar harmonisasi dalam masyarakat terjadi. Setiap kegiatan yang

melanggar harmonisasi, akan dianggap sebagai anomali (menyimpang) dan layak

untuk dikenai sanksi sosial. Dalam konstruksi tersebut, masyarakat cenderung „diam‟

ketika ada hal-hal yang mungkin tidak disepakatinya. Alasan utama mengedepankan

harmonisasi sosial menjadi pilihan untuk membiarkan berbagai kemungkinan

pelanggaran hukum seperti korupsi. Misalnya, ketika ada kolega atau tetangga yang

melakukan aktivitas yang mengarah pada tindakan memperkaya diri, cenderung

dibiarkan, karena khawatir terjadi konflik di dalamnya.

Masyarakat agraris meminjam terminologi Magnis Suseno (1999:43) cenderung

memiliki sikap untuk memperkatakan hal-hal yang tidak enak secara tidak langsung.

Orang Jawa mampu menutupi kekecewaannya melalui kebiasaan berpura-pura


(ethok-ethok). Kemampuan ini dianggap sebagai keutamaan hidup, sebagai seni yang

tinggi dan bernilai positif. Terhadap yang tidak disukainya, orang Jawa akan

menyampaikan melalui sikap tidak langsung atau menyembunyikan perasaan

kekecewaan tersebut, kecuali pada keluarga inti. Belum lagi, berbagai kendala

kebudayaan lainnya yang turut serta menghambat pemberantasan korupsi, tetapi

justru menyuburkan peluang korupsi selalu terjadi.

Pendekatan kebudayaan dalam penanganan korupsi tidak saja bermanfaat untuk

mencegah terjadinya korupsi, tapi dapat digunakan sebagai penciptaan strategi

kebudayaan dalam pencegahan korupsi secara komprehensif. Pendekatan kebudayaan

akan menyentuh berbagai kondisi mentalitas, moralitas dan alam pikiran yang

melingkupi berbagai peristiwa korupsi begitu mudah terjadi di Indonesia, serta begitu

sulitnya tindakan korupsi itu dicegah dan diberantas.

Selama ini masyarakat cenderung memahami bahwa korupsi itu merupakan

problema yuridis semata, dan hanya bisa didekati dengan pendekatan hukum. Korupsi

itu sesungguhnya terkait juga dengan suatu perilaku yang didorong oleh mentalitas

kebudayaan dan alam pikiran yang menjadikan “harta‟ dan “tahta‟ sebagai hal yang

utama, yakni sebagai alat untuk memperkaya diri bukan untuk pengabdian kepada

kepentingan publik. Korupsi terjadi karena pelaku menganggap bahwa dibalik

kekuasaan yang dimilikinya, termasuk kekuasaan pengelolaan keuangan, adalah suatu

berkah bagi kehidupannya. Kekuasaan tidak lagi menjadi amanah yang suatu saat

dipertanggungjawabkan kepada Tuhan dan publik. Itulah sebabnya, orientasi

kekuasaan yang demikian lebih cenderung menitikberatkan pada pemuasaan hasrat

kepemilikan “harta‟ daripada hasrat menyalurkan manfaat bagi publik yang lebih
luas. Melalui penelitian ini, berbagai hasrat (desire) yang berpotensi melahirkan

perilaku korupsi tersebut dicoba untuk diungkapkan, sehingga deksripsi mendalam

terhadap perilaku korup para koruptor dapat diungkapkan secara komprehensif.

Dalam jangka panjang, disusun sebuah model strategi kebudayaan dalam rangka

pemberantasan korupsi secara berkelanjutan.

Pendekatan kebudayaan merupakan perihal penting dalam setiap upaya

membangun peradaban bangsa yang lebih baik, termasuk di dalamnya adalah soal

pemberantasan dan pencegahan korupsi. Bersepakat dengan JWM Bakker (1984:11),

dalam setiap soal, kebudayaan menampakkan diri sebagai faktor yang tidak dapat

dielakkan, yang mau tidak mau harus diperhatikan agar setiap usaha (merancang

masa depan) tidak menjadi gagal. Dari dalam kebudayaan orang menggali motif dan

perangsang untuk menjunjung perkembangan masyarakat. Dari dalamnya juga

berasal kebiasaan yang menyebabkan rusaknya tatanan sosial, seperti anarkisme,

korupsi dan kemacetan. Artinya, bisa saja terjadi berbagai program pembangunan

(kebijakan) gagal justru karena hambatan kebudayaan yang kita miliki.

Mengapa nilai menjadi penting dalam membentuk kemajuan? Lawrence E.

Harrison and Samuel P. Hutington (2000) dalam Culture Matter: How Values Shape

Human Progress mengatakan bahwa nilai dalam setiap budaya memiliki andil yang

menentukan keberhasilan perubahan yang hendak ditentukan. Hutington, dkk

(2000:xv) mendefinisikan budaya sebagai istilah yang subjektif seperti nilai-nilai,

sikap, kepercayaan, orientasi, dan praduga mendasar yang lazim di antara orang-

orang dalam suatu masyarakat. Mereka memberi contoh dua Negara Ghana dan

Korea Selatan yang pada tahun 1960-an awal menyebutkan betapa miripnya ekonomi
keduanya. Mereka memiliki Produk Domestik Bruto per kapita (PDB) yang setara,

porsi ekonomi mereka yang serupa di antara produk manufacturing dan jasa primer,

serta berlimpahnya ekspor produk primer. Pada`tahun yang sama keduanya menerima

bantuan ekonomi dalam jumlah yang seimbang. 30 tahun kemudian, Korea Selatan

menjadi raksasa industrim dengan ekonomi terbesar ke-14 di dunia, sementara Ghana

tidak ada perubahan sama sekali, bahkan PDB-nya seperlimabelas dari Korea Selatan.

Bagaimana menjelaskan perbedaan yang luar biasa dalam perkembangan ini?

Tahun 90-an, Hutington dkk. meneliti keduanya. Ditemukan fakta mengejutkan

bahwa tidak diragukan lagi ternyata budaya memainkan peran besar dalam

membentuk peradaban masing-masing. Masyarakat Korea Selatan menghargai hidup

hemat, investasi, kerja keras, pendidikan, organisasi, dan disiplin, sebaliknya Ghana

mempunyai nilai yang berbeda yang justru menghambat terjadinya kemajuan bagi

negara tersebut. Dalam konteks ini, strategi kebudayaan bisa dilakukan melalui dua

cara; (1) teknologisasi kebudayaan dan; (2) rekayasa kebudayaan. Teknologisasi

kebudayaan merupakan strategi bagaimana memaksa orang agar sesuai dengan

prinsip nilai yang hendak dicapai, sedangkan rekayasa kebudayaan adalah melalui

cara mendorong orang agar berbuat sesuai dengan prinsip nilai yang ditetapkan. Yang

pertama bersifat mewajibkan, sedangkan yang kedua bersifat penyadaran. Tidak

menjadi persoalan, mana yang harus didahulukan, mana yang belakangan, namun

mendorong orang berbuat positif bukankah lebih baik dari pada memaksa orang

untuk berbuat positif.

Dengan demikian, dalam kondisi-kondisi tertentu memang dibutuhkan

teknologisasi kebudayaan. Dalam masyarakat yang serba permisif dan tidak memiliki
semangat untuk hidup dalam tertib sosial, dibutuhkan kelompok penekan yang

memaksa dan mewajibkannya mengikuti aturan main yang disepakati Michel

Foucault dalam Dicipline and Punish (1975) mengatakan bahwa melalui pemaksaan

diri, sebuah kekuasaan dapat mengontrol orang yang dikuasainya agar kian mudah

dikuasai. Sementara rekayasa kebudayaan diperlukan pada masyarakat dalam situasi

normal, masyarakat yang sejak awal memiliki kesadaran tentang pentingnya aturan

main itu. Masyarakat yang sudah terbiasa hidup dalam tertib sosial, bergerak

berdasarkan komitmen bersama.

Penjelasan di atas cukup penting dalam rangka meletakkan korupsi dalam konteks

kebudayaan. Artinya, diperlukan juga suatu kajian terhadap sistem nilai yang disadari

atau tidak dapat berpotensi membuat korupsi selalu terjadi. Pemberantasan korupsi

dalam pendekatan kebudayaan akhirnya memaksa kita menjalankan dua fungsi

sekaligus, yakni memaksa orang untuk taat asas pengelolaan kekuasaan, dan

mendorong orang untuk menjadi baik dan bijak dalam pengelolaan kekuasaan agar

korupsi bisa dicegah, yakni mempersiapkan sumberdaya manusia sekarang demi

kepentingan masa depan kebangsaan Indonesia.

Menurut Friedman, budaya hukum menunjuk pada dua hal yaitu : (1) unsur adat

istiadat yang organis berkaitan dengan kebudayaan secara menyeluruh; dan (2) unsur

nilai dan sikap social. Lebih lanjut dikatakan bahwa sistem hukum yang terdiri dari

struktur dan subtansi, bukanlah merupakan mesin yang bekerja. Apabila kedua unsur

itu berfungsi dalam masukan dan keluaran proses hukum, maka kekuatan-kekuatan

social tertentu berpengaruh terhadapnya. Kekuatan-kekuatan social itu merupakan

variable tersendiri yang disebut budaya hukum. Variabel itu berproses bersamaan
dengan kebudayaan sebagai suatu variasi, yang kemungkinan variabel tersebut

menentang, atau memperkuat sistem hukum (Lawrence,1975).

Friedman melihat bahwa hukum itu tidak layak hanya dibicarakan dari segi

struktur dan substansinya saja, melainkan juga dari segi unsur tuntutan-tuntutan

(demands) yang berasal dari kepentingan (interests) individu dan kelompok

masyarakat ketika berhadapan dengan institusi hukum. Kepentingan dan tuntutan

tersebut merupakan kekuatan social (social forces) yang tercermin dalam sikap dan

nilai yang ada di masyarakat. Unsur kekuatan social tersebut disebut oleh Friedman

sebagai budaya hukum (legal culture) (Satjipto,1980). Tuntutan tersebut datangnya

dari masyarakat atau para pemakai jasa hukum dan menghendaki suatu penyelesaian

atau pemilihan cara penyelesaian dari alternatif penyelesaian. Pemilihan tersebut akan

didasarkan pada pengaruh factor orientasi, pandangan, perasaan, sikap dan perilaku

seseorang dalam masyarakat terhadap hukum. Faktor-faktor tersebut didasarkan pada

besarnya pengaruh dorongan kepentingan, ide, sikap, keinginan, harapan dan

pendapat orang tentang hukum. Jika ia memilih pengadilan, hal tersebut disebabkan

karena bersangkutan mempunyai persepsi positif tentang pengadilan dan dipengaruhi

oleh factor-faktor pendorong tersebut (Satjipto,1991).

Jika konsep budaya hukum ini dipergunakan untuk melihat penanganan korupsi,

maka akan Nampak bahwa makna korupsi itu sendiri akan sangat ditentukan oleh

nilai-nilai yang ada dibalik korupsi itu sendiri. Dari berbagai pengertian korupsi yang

telah dikemukakan di muka, Nampak bahwa korupsi merupakan suatu perbuatan

yang bertentangan dengan nilai dan norma kejujuran, social, agama, dan hukum.

Namun demikian munculnya korupsi itu sendiri sangat dipengaruhi oleh tuntutan
kebutuhan individual maupun kelompok serta didukung oleh lingkungan social-

budaya yang mewarisi tradisi korup. Di samping itu budaya hukum elit penguasa

tidak menghargai kedaulatan hukum, akan tetapi lebih mementingkan status social,

ekonomi, dan politik para koruptor. Budaya hukum internal penegakan hukum sendiri

juga tidak mendukung pemberantasan korupsi, yang ditunjukkan dengan adanya

praktek korupsi dalam proses peradilan (judicial corruption).

E. Pendidikan Anti Korupsi sebagai Strategi Kebudayaan

Sebagaimana diketahui, meski korupsi merupakan peristiwa hukum, tapi korupsi

tidaklah sekedar persoalan hukum semata. Ada banyak faktor yang terlibat dan

membentuk perilaku mengapa muncul perilaku korup. Selain karena ada faktor

keserakahan penguasaan harta benda, juga terkait dengan problema kebudayaan yang

terwarisi dari sikap, persepsi dan perilaku yang menjadi penyimpangan

kebiasaankebiasaan dalam pengelolaan kewenangan kekuasaan. Misalnya, persepsi

terhadap kekuasaan yang menempatkannya sebagai jabatan, ketidakmampuan

membedakan antara kepemilikan privat dan kepemilikan publik, sehingga

berimplikasi kepada penyalahgunaan kewenangan publik untuk kepentingan privat,

diperparah dengan perilaku banalitas korupsi; dimana korupsi tidak lagi dilakukan

secara personal, melainkan dilakukan secara komunal. Realitas ini mengindikasikan

ada tren baru dalam perilaku korupsi, bahwa kejahatan akan menjadi lebih aman jika

dilakukan secara bersama dan disembunyikan bersama-sama pula. Istilah korupsi

berjamaah menjadi tepat untuk menunjukkan terjadinya banalitas korupsi tersebut.

Sebagian besar kasus korupsi, baik melalui mekanisme mark up, pembelian dan
kegiatan fiktif tidak mungkin dilakukan perorangan, melainkan sistemik direncanakan

oleh sekelompok orang yang memiliki kekuasaan kewenangan.

Dalam perspektif di atas, menjadi penting dilakukan mekanisme kontrol terhadap

pengelolaan kekuasaan sekaligus juga internalisasi pendidikan anti korupsi kepada

khalayak terkait dengan pengetahuan dan pemahaman mereka terhadap korupsi.

Selama ini mekanisme kontrol sebenarnya sudah dilakukan melalui sistem

pengawasan melekat (waskat) terhadap pelaksanaan pengelolaan kewenangan

kekuasaan. Namun demikian, meskipun sistem pengawasan sudah diselenggarakan,

korupsi dalam kenyataannya tidaklah surut, justru kian masif dan mengalami proses

modifikasi secara ekstrem (FGD dengan dosen 24 April 2014 dan mahasiswa, 16 Mei

2014). Hal tersebut ditandai dengan kian banyaknya kasus-kasus korupsi yang

terungkap dan disidangkan di pengadilan tindak pidana korupsi di Indonesia. Kian

banyak kasus korupsi diungkapkan, di satu sisi merupakan prestasi bagi KPK dan

penegak hukum, di sisi lain menunjukkan ironi dalam pengelolaan birokrasi

pemerintahan yang bersih. Realitas ini seolah mengindikasikan bahwa kian ketatnya

pengawasan, tetap saja bisa dilakukan upaya menyiasatinya, sehingga korupsi sulit

dibuktikan.

Berdasar pada kondisi yang demikian, tampaknya pengawasan terhadap perilaku

korup yang dilakukan oleh aparatur negara, tidak hanya dilakukan oleh pihak internal

maupun eksternal, melainkan juga perlu dilakukan oleh masyarakat luas. Masyarakat

perlu mendapatkan pendidikan anti korupsi yang baik agar mereka mendapatkan

informasi yang benar terkait dengan apa dan bagaimana korupsi bisa terjadi, serta apa
yang harus mereka lakukan ketika mencurigai atau menemukan fakta terjadinya

korupsi di sekitar mereka.

Pertama, internalisasi pendidikan anti korupsi ke dalam sistem pembelajaran.

Setidaknya sebagai salah satu pengkondisian agar masyarakat, memiliki kemampuan

untuk mencegah terjadinya korupsi. Kedua, peningkatan wawasan masyarakat

melalui pembentukan simpul-simpul anti korupsi. Mengapa masyarakat perlu

dilibatkan? Bukan sebagai penegak hukum, melainkan sebagai kelompok non

pemerintah yang berpartisipasi dalam mengawal pengelolaan pemerintahan yang

transparan dan bersih.

Pendidikan anti korupsi dalam konteks ini meliputi internalisasi ke dalam mata

pelajaran atau kuliah untuk siswa/mahasiswa dan internalisasi dalam dunia kehidupan

untuk masyarakat. Siswa/mahasiswa dan masyarakat (non akademik) harus dilibatkan

sebagai komponen sosial utama dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Mereka

adalah kekuatan di luar negara yang dapat berfungsi efektif mengontrol perilaku

birokrasi pengelola pemerintahan. Asumsinya sederhana, pengelola birokrasi

pemerintahan adalah anggota masyarakat yang hidup dalam lingkungan warga.

Masyarakatlah yang sesungguhnya paling dekat dengan mereka, sehingga

memiliki informasi yang baik terhadap profil setiap orang yang menjadi birokrat

pengelola pemerintahan. Profil itulah yang dapat dijadikan informasi terkait dengan

sepak terjang birokrat dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan anti korupsi bukanlah

sekedar penyebarluasan pengetahuan tentang korupsi, melainkan upaya internalisasi

nilai-nilai moralitas publik kepada masyarakat agar mereka memiliki kepedulian

terhadap kepemilikan publik (kekayaan negara sebagai milik bersama). Ada tiga (3)
hal upaya yang dilakukan dalam rangka keberhasilan menciptakan masyarakat anti

korupsi, yakni: 1) pembiasaan dan penciptaan perilaku; 2) internalisasi melalui

pendidikan; 3) komitmen bersama yang ditegakkan melalui public policy (kebijakan

publik) yang mengarusutamakan kepentingan bersama. Ketiga model pendekatan ini

dianggap representatif dalam rangka menciptakan masyarakat anti korupsi. Hal ini

karena perilaku korupsi sesuungguhnya menyangkut juga persoalan (nilai) karakter

yang terbentuk dalam kebiasaan hidup sehari-hari.

Pendidikan anti korupsi dianggap menjadi salah satu strategi kebudayaan dalam

rangka membangun masyarakat anti korupsi. Bagi peneliti, sektor pendidikan

dianggap sebagai sarana paling efektif dalam rangka menyebarluaskan ide-ide

gerakan anti korupsi dan mencetak generasi yang jujur dan profesional. Di setiap

negara, selalu menjadi pendidikan sebagai strategi kebudayaan dalam membangun

peradaban bangsa. Strategi kebudayaan harus dipahami sebagai suatu siasat yang

direncanakan dalam membangun sebuah peradaban atau kondisi masyarakat yang

diinginkan. Strategi kebudayaan ini diletakkan dalam rangka membangun suatu

mentalitas dan perilaku sosial masyarakat yang diharapkan sesuai dengan sistem nilai

yang hendak diwujudkan.

Bercermin dari realitas tersebut, pendidikan jelas merupakan strategi kebudayaan

yang paling penting dalam rangka membangun masa depan masyarakat yang anti

korupsi. Pembiasaan dan penciptaan perilaku peserta didik yang sejak awal

terinternalisasi nilai-nilai yang anti perilaku koruptif, nepotif, dan kolutif, diarahkan

pada pola pembiasaan yang berlanjut ketika mereka menjadi bagian penting dalam

masyarakat. Pendidikan merupakan strategi kebudayaan yang penting dalam rangka


menciptakan generasi muda yang memiliki kejujuran dan anti korupsi. Melalui

pendidikan, diharapkan tercipta generasi muda yang memiliki integritas kepribadian,

sehingga ketika saat menjadi pemimpin dan bekerja di birokrasi pemerintahan atau

yang lainnya mampu menciptakan good governance yang transparan dan jujur.

Mengubah mentalitas memang bukanlah hal mudah. Meski hal itu bukanlah tidak

mungkin dilakukan. Keinginan melakukan revolusi mental patut diapresiasi sebagai

bagian penting dalam rangka mengubah kebiasaan-kebiasaan buruk yang mendorong

terjadinya korupsi. Revolusi mental itu mengandaikan suatu penanganan ekstrem

yang efektif mengubah karakter. Dalam perspektif peneliti, hal tersebut hanya

mungkin dilakukan melalui dua jalan, sebagaimana disebutkan di atas, yakni strategi

memaksa dan strategi mendorong. Pertama berorientasi kepada bentuk-bentuk

paksaan, terutama melalui berbagai kebijakan (sistem/aturan) yang bersifat preventif

terhadap kemungkinan munculnya perilaku korupsi. Sedangkan yang kedua,

menginisiasikan pembiasaan dan penciptaan perilaku positif agar terbiasa dengan

kebiasaan-kebiasaan yang positif juga.

Mengubah perilaku yang sudah melembaga membutuhkan kerja serius dari semua

pihak. Salah satu yang paling efektif adalah melalui pendidikan. Mengapa

pendidikan? Pertama, setiap anak bangsa pernah melalui proses persekolahan.

Penanaman nilai-nilai anti korupsi menjadi bagian integral dari penanaman nilai

karakter bangsa. Setiap anak bangsa selayaknya mendapatkan pembelajaran yang

mengarusutamakan pelembagaan nilai-nilai karakter bangsa. Pendidikan menjadi

sarana efektif dalam rangka membentuk perilaku atau kebiasaan anak didik yang

berorientasi kepada nilai-nilai positif yang disepakati. Kedua, pendidikan dipercaya


sebagai transfer pengetahuan sekaligus transfer nilai. Artinya, melalui pendidikan

terjadi proses pewarisan nilai dari generasi satu ke generasi lainnya. Nilai yang

diwariskan adalah nilai-nilai luhur yang berperan membangun karakter bangsa.

Karenanya, proses pendidikan sangat efektif dijadikan sebagai tempat dimana nilai-

nilai karakter yang anti korupsi dapat ditanamkan.

F. Model Strategi Kebudayaan Pemberantasan Korupsi

Strategi kebudayaan ini menginisiasikan dua kegiatan yang bertumpu pada dua

hal, yakni teknologisasi budaya dan rekayasa budaya. Teknologisasi budaya

merupakan suatu upaya menjadikan masyarakat ‟dipaksa‟ peduli terhadap berbagai

gejala-gejala anomali, terkait dengan praktik hidup seorang individu yang menjadi

bagian dalam lingkungan tersebut. Rekayasa budaya lebih merupakan upaya

mendorong masyarakat untuk hidup tertib sosial secara baik. Keduanya hanya

berbeda dalam tindakan praksis, karena yang pertama lebih bersifat sebagai strategi

memaksa, yang kedua sebagai strategi mendorong.

Pada masyarakat yang masih serba permisif dan longgar terhadap berbagai

pelanggaran hukum atau norma, maka strategi memaksa menjadi suatu pilihan logis,

sedangkan pada masyarakat yang sudah mulai rasional-tertib, maka strategi

mendorong untuk peduli pada upaya pemberantasan korupsi adalah pilihannya.

Dengan demikian, setelah terbentuknya suatu model strategi kebudayaan

pemberantasan korupsi, diharapkan dapat dilakukan suatu eksperimentasi penerapan

model pada lingkungan sekolah atau lingkungan masyarakat suatu RT/RW sebagai

prototipe pengembangan model tersebut.


Secara garis besar, strategi kebudayaan dalam rangka pemberantasan korupsi

tersebut berdasar dari adanya temuan penting dalam penelitian tahun pertama: 1) kian

masifnya dan sistematisnya korupsi yang terjadi di berbagai birokrasi pemerintahan;

2) korupsi yang sistematis terjadi bukan karena lemahnya sistem pengawasan,

melainkan karena menguatnya kecenderungan habituasi korupsi tersebut; 3)

ditemukannya kendala-kendala kultural yang berdampak pada lemahnya upaya

pemberantasan korupsi.

Strategi kebudayaan yang pertama adalah teknologisasi kebudayaan.

Teknologisasi kebudayaan adalah istilah yang diciptakan dalam rangka menciptakan

kepatuhan publik kepada moralitas publik. Mengacu pada konsep strategi kebudayaan

Van Peursen (1988: 9-15) dan Koentjaraningrat (1994: 52) yang secara jelas

menggambarkan bahwa berbagai kebiasaan dalam masyarakat yang terbentuk akibat

dari masih belum selesainya proses perkembangan pemikiran umat manusia. Kedua

pemikir kebudayaan tersebut secara eksplisit menyebutkan bahwa jika kita percaya

bahwa proses berpikir umat manusia itu berkembang dari yang sederhana (mistik) ke

yang lebih kompleks (fungsional logis), diperlukan berbagai proses belajar yang terus

menerus dari masyarakat tersebut untuk setia dan tunduk pada proses berpikir yang

berpijak pada kebenaran ilmu pengetahuan. Artinya, kebiasaan yang hidup dan

berkembangan dalam masyarakat memang perlu diatur berdasarkan pada kajian

fungsional logis (keilmuan), yang memang sudah dapat dipertanggungjawabkan

secara keilmuan.

Dalam konteks pemberantasan korupsi, maka konsep teknologisasi kebudayaan

sebagai strategi memaksa seseorang atau sekelompok orang mengikuti aturan dalam
suatu ikatan moral kelompok, setidaknya dapat dilakukan melalui beberapa cara,

yakni: 1) regulasi kebijakan pengelolaan kekuasaan politik dan ekonomi; 2)

pembatasan jumlah kekayaan bagi birokrasi/PNS, terutama pengelola kekuasaan; 3)

pakta integritas anti korupsi setiap pengelola kekuasaan yang memiliki kewenangan

mengelola keuangan negara; 4) regulasi rekrutmen pegawai dan pejabat, terutama

kriteria etika, moral, dan integritas. Teknologisasi kebudayaan itu sifatnya adalah

„memaksa‟ setiap individu penyelenggara pemerintahan dan yang terlibat kerjasama

dengannya untuk hidup dibawah sistem yang bersifat imperatif tersebut.

Teknologisasi kebudayaan ini seperti sistem panopticon-nya Foucault yang selalu

mengawasi dan memantau perilaku kehidupan penyelenggara pemerintahan, tidak

hanya dalam lingkup pekerjaannya, melainkan juga bagaimana kehidupan keseharian

mereka. Hal yang paling sederhana dalam konsep teknologisasi kebudayaan adalah

„pembatasan ruang gerak‟ bagi setiap penyelenggara negara dalam akses kepemilikan

harta benda. Bukan berarti tidak boleh memiliki harta benda, melainkan membatasi

kepemilikan, terutama yang bersumber dari kekayaan negara. Setiap PNS wajib

melaporkan harta kekayaan dan sumbersumbernya, sekaligus membuktikan darimana

asal usul harta kekayaan itu diperoleh. Sistem pelaporan harus disertai dengan

verifikasi di lapangan secara terbuka oleh publik. Hal ini agar publik juga mengetahui

bahwa seorang birokrat sebagai pelayan publik dapat mempertanggungjawabkan

harta kepemilikannya secara transparan. Selama ini memang ada kewajiban pelaporan

harta kekayaan, tetapi hampir tidak pernah diverifikasi di lapangan. Kalaupun ada

verifikasi, dalam banyak hal lebih dilakukan ketika ada proses-proses politik semata.
Sedangkan yang kedua adalah rekayasa budaya sebagai strategi mendorong

seseorang atau sekelompok orang agar berkehidupan sesuai dengan ikatan moral

kelompok, dapat dilakukan melalui: 1) civic education terkait dengan korupsi dan

ruang lingkupnya; 2) memberikan ruang partisipasi publik terhadap persoalan-

persoalan korupsi; 3) pembiasaan dan penciptaan perilaku anti korupsi sejak dini,

terutama diinternalisasikan melalui pendidikan. Sebagaimana dijelaskan di atas,

pendidikan, utamanya pendidikan dasar sesungguhnya bukanlah sekedar pendidikan

akademik, melainkan penanaman integritas kepribadian. Pendidikan merupakan

strategi kebudayaan paling strategis dalam rangka membangun kualitas sumberdaya

manusia yang memiliki integritas sebagai pribadi maupun integritas sebagai warga

negara.

Hal ini karena meminjam terminologi Aristoteles, sebagaimana dikutip oleh Yudi

Latif (2013), kebaikan manusia sebagai manusia tidak selamanya beriringan dengan

kebaikan manusia sebagai warga negara. Diharapkan melalui pendidikan dapat

menjadi salah satu pilar dalam membangun masyarakat yang memiliki civic virtue

atau keutamaan hidup sebagai warga sipil, yakni memiliki tanggungjawab moral dan

penghargaan terhadap etika publik berbangsa dan bernegara. Pendidikan lebih

diletakkan sebagai rekayasa kebudayaan, karena hasilnya baru dapat dilihat pada

masa depan. Rekayasa kebudayaan tidak lain adalah suatu proses pembentukan

generasi masa depan yang memiliki nilai karakter yang baik dan anti korupsi.

Pembentukan nilai-nilai karakter, tidaklah cukup dilakukan satu atau dua tahun,

apalagi hanya satu atau dua mata kuliah dalam sistem pembelajaran, melainkan suatu

mekanisme pembelajaran karakter sejak dini –sejak pendidikan dasar hingga


perguruan tinggi--, agar tujuan pendidikan sebagai mekanisme transfer nilai karakter

(transfer of value) terlaksana secara baik.

Sebagaimana ditulis oleh Durkheim (1964) dan Neil Postman (1999) bahwa

pendidikan dasar, terutama untuk anak usia pra-konvensional (usia 6-16 tahun) lebih

tepat diarahkan sebagai pendidikan bagi pembentukan dasar kepribadian mereka.

Dasar kepribadian menjadi penting dan utama dalam rangka menciptakan generasi

yang berkarakter utama. Tidak berlebihan jika disebutkan bahwa pendidikan dasar

merupakan penjaga gawang bagi kepribadian bangsa. Ketika pendidikan dasar gagal

mengupayakan terinternalisasinya pendidikan karakter, maka jangan salahkan jika ke

depan terbentuk generasi yang bisa jadi cerdas dalam penguasaan ilmu-ilmu

pengetahuan, tetapi tidak berintegritas.

Sistem pendidikan yang mengharusutamakan kepada penciptaan perilaku

berkarakter jelas memerlukan mekanisme pembicaraan yang serius dan mendalam,

terutama, dalam pemberlakuan kurikulum yang hendak diterapkan kepada peserta

didik. Artinya, pendidikan harus dipercaya sebagai strategi kebudayaan paling

penting yang menentukan keberhasilan pembentukan karakter siswa. Tampaknya

hampir tidak ada institusi formal yang dapat diandalkan dalam pembentukan karakter,

kecuali keluarga dan sekolah. Karenanya, desain kurikulum harus benar-benar

diarahkan pada terjadinya pembentukan dan perubahan perilaku siswa didik menjadi

lebih baik (Durkheim, 1974). Sebagai peristiwa kebudayaan, maka melawan korupsi

yang sudah melembaga dan membudaya harus dengan budaya yang anti korupsi

(Wirawan, 2013).
Selain melalui rekayasa kebudayaan tersebut diatas, memang harus ada

teknologisasi kebudayaan sebagai cara memaksa setiap individu berperilaku anti

korupsi. Caranya dengan mengintervensi ketiga komponen korupsi, baik sebagai

kognisi, sebagai perilaku maupun sebagai artefak kebudayaan agar mengarah pada

sistem kebudayaan yang anti korupsi. Pertama, mengintervensi sistem kognisi

masyarakat agar terbangun masyarakat dengan keutamaan nilai anti korupsi. Cara ini

biasanya melalui program pendidikan, karena pendidikan merupakan alih

pengetahuan sekaligus alih nilai (value). Kedua, mengintervensi perilaku melalui

keteladanan moral dari elit politik. Ketiga, melalui penciptaan artefak kebudayaan

yang meminimalisir peluang terjadinya korupsi, seperti pembuatan e-KTP, layanan

satu pintu atau satu atap dalam urusan pelayanan publik serta pelaporan kekayaan

bagi setiap pejabat publik.

DAMPAK KORUPSI

a. Bidang Demokrasi

Korupsi menunjukkan tantangan serius terhadap pembangunan. Dalam dunia

politik, itu merusak demokrasi dan good governance (pemerintahan yang baik)

dengan menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan

legislatif mengurangi akuntabilitas dam perwakilan di sistem pembentukan

kebijaksanaan. Korupsi di sistem pengadilan menghentikan supremasi hokum,

dan korupsi dalam administrasi publik mengakibatkan ketidakseimbangan dalam

pelayanan sipil.
Secara umum, korupsi mengikis kapasitas kelembagaan pemerintah, karena

pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau

mengangkat posisi bukan karena prestasi. Pada saat yang sama, korupsi

mempersulit nilai demokrasi serta kepercayaan dan toleransi.

b. Bidang Ekonomi

Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi

dan inefisiensi yang tinggi. Di sector swasta, korupsi meningkatkan biaya

perdagangan karena kerugian dari pembayaran illegal, biaya manajemen dalam

negosiasi dengan pejabat korup, dan resiko pembatalan perjanjian atau untuk

penyelidikan.

Meskipun beberapa telah menyarankan bahwa korupsi mengurangi biaya

(komersial) untuk menyederhanakan birokrasi, consensus yang muncul

menyimpulkan bahwa ketersediaan suap menyebabkan pejabat untuk membuat

aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi yang menyebabkan biaya

perdagangan inflasi, korupsi juga mengganggu bidang perdagangan.

Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sector public dengan

mengalihkan investasi public ke proyek-proyek masyarakat dimana suap dan

upah yang lebih mudah tersedia.

Ekonom memberiokan pendapat bahwa salah satu factor keterbelakangan

ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di Afrika, adalah bentuk korupsi yang

menyebabkan perpindahan investasi sewa penagihan (penanaman modal) di

negara ( maka ejekan mereka sering benar bahwa dictator Afrika yang
memiliki rekening bank Swiss). Berbeda sekali dengan dictator Asia seperti

Suharto, yang sering mengambilm sepotong dari semua itu (meminta suap),

melainkan memberikan kondisi untuk pembangunan, melalui investasi

infrastruktur, hukum dan ketertiban, dan lain-lain.

Para ahli dari University of Massachusetts perkiraan 1070-1996, pelarian

modal dari negara-negara 30 sub-sahara mencapai US $ 187 miliar melebihi

jumlah hutang luar negeri mereka sendiri. ( Hasilnya, dalam hal pengembangan

telah dimodelkan dalam teori ekonomi oleh Mancur Olson. Dalam kasus

Afrika, salah satu faktornya adalah ketidakstabilan politik, dan juga kenyataan

bahwa pemerintahan baru sering mengeyel aset pemerintah lama yang sering

didapat dari korupsi. Ini memberi dorongan bagi para pejabat untuk

mengumpulkan kekayaan mereka di luar negeri, jauh dari jangkauan

pengambilalihan di masa depan.

c. Bidang kesejahteraan negara

Korupsi politik di banyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga.

Korupsi politik berarti kebijakan pemerintah yang menguntungkan sering

menyuap pemberi, daripada orang-orang pada umumnya. Contoh lain adalah

bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar,

namun merugikan perusahaan kecil (SME).

CARA MEMBERANTAS TINDAK PIDANA KORUPSI

1. Strategi Preventif

Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan dengan diarahkan pada

hal-hal yang menjadi penyebab timbulnya korupsi. Setiap


penyebab yang terindikasi harus dibuat upaya preventifnya,

sehingga dapat meminimalkan penyebab korupsi. Disamping itu

perlu dibuat upaya yang dapat meminimalkan peluang untuk

melakukan korupsi dan upaya ini melibatkan banyak pihak dalam

pelaksanaannya adar dapat berhasil dan mampu mencegah adanya

korupsi.

2. STrategi deduktif

Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan

diarahkan agar apabila suatu perbuatan korupsi terlanjur terjadi,

maka perbuatan tersebut akan dapat diketahui dalam waktu yang

sesingkat-singkatnya, sehingga dapat ditindaklanjuti dengan tepat .

Dengan dasar pemikiran ini banyak sistem-sistem tersebut akan

dapat berfungsi sebagai aturan yang cukup tepat memberikan

sinyal apabila terjadi suatu perbuatan korupsi. Hal ini sangant

membutuhkan adanya disiplin ilmu bak itu ilmu hokum, ekonomi

maupun ilmu politik social.

3. Strategi Represif

Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan

untuk memberikan sanksi hokum yang setimpal secara cepat dan tepat

kepada pihak-pihak yang terlibat dakam korupsi. Dengan dasar pemikiran

ini proses penanganan korupsi sejak dari tahap penyelidikan, penyidikan

dan penuntutan sampai dengan peradilan perlu dikaji untuk dapat


disempurnakan di segala aspeknya, sehingga proses penanganan tersebut

dapat dilakukan secara tepat. Namun implementasinya harus dilakukan

secara integritas.
Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan sebagai

berikut:

Pertama, bahwa bentuk peran serta masyarakat dalam pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia dapat dilakukan melalui beberapa cara,

baik terkait peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana

korupsi. Bentuk pencegahan tindak pidana korupsi oleh masyarakat yang dapat dilakukan

antara lain melalui perilaku jujur, tidak menyuap dalam pengurusan yang berkaitan

dengan pelayanan oleh birokrasi seperti pengurusan sim, pengurusan ktp, pembayaran

pajak dan pengurusan lainnya. Sedangkan dalam pemberantasan tindak

pidana korupsi hal yang paling efektif dapat dilakukan adalah dengan melaporkan setiap

perilaku dari oknum pejabat/pegawai negeri yang memberikan pelayanan kepada

masyarakat ataupun pihak swasta/individu agar melaporkan kepada aparat penegak

hukum yang berwenang terhadap adanya dugaan tindak pidana korupsi.

Kedua, bahwa peran serta masyarakat dalam menumbuhkan budaya anti korupsi di

Indonesia antara lain dapat dilakukan dengan menumbuh kembangkan budaya anti

korupsi sejak dini baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, kampus, serta dalam

lingkungan kerja dengan membiasakan diri melakukan hal yang jujur. Peran serta

tersebut dapat dilakukan oleh masing-masing individu, sesuai dengan lingkup kegiatan

baik sebagai individu di lingkungan keluarga, sekolah, kampus dan juga dalam
lingkungan pekerjaan. Apabila hal tersebut dilakukan secara konsisten, maka akan

menjadi langkah yang sangat penting dalam mewujudkan pencegahan korupsi di masa

yang akan datang. Adapun cara yang dapat dilakukan adalah dengan senantiasa

menanamkan sifat-sifat terpuji yang akan menjadi karakter dalam diri. Mengingat bahwa

upaya menumbuh kembangkan budaya korupsi bukanlah hal yang dapat dilakukan

seketika, akan tetapi merupakan pembiasaan yang dilakukan sejak dini.

Anda mungkin juga menyukai