Anda di halaman 1dari 20

KORUPSI DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF

OLEH

KELAS 1.A

NI LUH PUTU ARY APRILIYANTI


NIM : P07120216017

KEMENTRIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN DIV KEPERAWATAN
TAHUN AKADEMIK
2016/2017
KORUPSI DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF

Berbicara mengenai “korupsi” tidak bisa dilepaskan dari istilah dan ruang
lingkup konsep tersebut. Untuk memberikan pemahaman mengenai korupsi maka perlu
mengetahui pengertian/definisi korupsi dengan baik. Selain itu dibutuhkan juga
pengetahuan mengenai ruang lingkup dari istilah tersebut. Demi mendapatkan
pemahaman yang komprehensif, perlu dimengerti istilah korupsi dengan baik, serta
pemahaman korupsi dalam berbagai konteks, seperti konteks sejarah, budaya dan
hukum.
Korupsi sendiri menurut definisi yang banyak di acu, termasuk World Bank dan
UNDP, adalah “ The abuse of public office for private gain”. Dalam arti yang luas
definisi korupsi dapat diartikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan publik untuk
kepentingan pribadi atau privat yang merugikan publik dengan cara-cara yang
bertentangan dengan kekkuatan hukum yang berlaku (Wijayanto, 2009: 6). Difinisi ini
cenderung berhubungan dengan penyalahgunaan kepercayaan yang dilakukan pejabat
publik/pejabat pemerintahan. Sementara itu, penyalahgunaan kepercayaan dalam
berbagai bentuk penyelewengan yang dilakukan oleh disektor privat tidak termasuk
sebagai korupsi.
Difinisi korupsi dari UNDP walaupun banyak diacu dan sangat membantu
dalam mendifinisikan tindakan korupsi, namun belum sepenuhnya mencakup arti yang
sangat luas. Definisi korupsi menurut pengertian ini cenderung fokus pada sektor
publik. Sementara tindakan korupsi yang dilakukan oleh privat belum tercakup
walaupun sama-sama merugikan publik.
Difinisi korupsi yang lebih memadai dan fleksibel untuk mengkategorikan
tindakan korupsi yaitu difinisi yang dikeluarkan oleh Tranparansi Internasional.
Difinisi korupsi diartikan sebagai “penyalahgunaan kepercayaan yang diberikan orang
lain, untuk kepentingan pribadi”. Dengan mengacu pada defini ini, maka segala bentuk
ilegal seperti penggelapan uang, baik yang melibatkan pejabat publik ataupun tidak
bisa dikategorikan sebagai korupsi.

1
Disisi lain, istilah korupsi juga dapat dilihat dari berbagai konteks seperti
sejarah, budaya dan hukum. Masing-masing konteks memiliki karakteristik tertentu
sesuai dengan ruang lingkupnya. Konteks sejarah cenderung melihat korupsi dari sudut
pandang kesinambungan historisnya. Sementara dalam konteks budaya, hukum, social,
teknologi, politik ekonomi, Agama dan nilai-nilai pancasila.
1. Korupsi dalam Presfektif Sejarah
Korupsi tergolong sebagai suatu tindakan penggelapan uang atau barang
untuk kepentingan pribadi atau kelompok, yang merugikan kepentingan
masyarakat banyak dan negara. Korupsi memiliki sejarah panjang dalam
kehidupan manusia didunia. Prilaku koruptif telah ada sejak dahulu dengan modus
bervariasi disetiap zamannya.
Pada tahun 1970 di era pemerintahan Soehrto, Muhamaan Hatta ditunjuk
sebagai Penasihat Presiden dalam upaya pemberantasan korupsi. Hal ini
menunjukkan bahwa jejak-jejak korupsi sebenarnya telah ada sejak dahulu, paska
Negara Indonesia mulai merdeka. Pernyataan Hatta bahwa korupsi telah
membudaya di bangsa Indonesia menunjukkan pengertian bahwa Indonesia telah
memiliki reputasi sebagai negara yang korup (Margana, dalam Wijayanto,
2009:417). Jika ditelusuri lebih jauh lagi, maka praktek-praktek tindakan korupsi
dan penyelewengan telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka, ketika Indonesia
masih dalam bentuk kerajaan dan masa kolonial. Praktek-praktek korupsi yang
marak terjadi di Indonesia pada zaman sekarang merupakan wujud
kesinambungan historis. Kesinambungan historis ini merupakan legacy (warisan)
dari sistem pemerintahan yang korup yang ada pada sistem pemerintahan
sebelumnya dalam sejarah Indonesia, yaitu Sistem pemerintahan feodal Jawa ala
Mataram dan kombinasi Pemerintahan ala VOC yang kemudian dipertahankan
pada masa kolonial Hindia-Belanda (Margana, dalam Wijayanto, 2009:424).
Seperti diatakan oleh W.F. Wertheim bahwa meluasnya korupsi dan
penyelewengan di Indonesia memiliki hubungan dengan feodalisme. Dalam
bukunya berjudul Indonesian Society in Transition, Weirtheim menyatakan bahwa
Korupsi di Indonesia antara lain bersumber pada peninggalan pandangan Feodal,

2
yang sekarang menimbulkan “Conflicting Loyalities” antara kewajiban terhadap
keluarga dan kewajiban untuk Negara (Soedarso, 2009:13).
Sementara, Kebangkrutan VOC di Indonesia menimbulkan perdebatan
panjang dikalangan sejarawan yang memiliki spekulasi bahwa Korupsi dan
penyelewengan sebagai penyebab kebangkrutan VOC tersebut. Lemahnya
Integritas para pejabat VOC membuat tindakan penyelewengan dan korupsi terus
menggerogoti dan menciptakan kehancuran di tubuh VOC pada akhir abad
kedelapan belas. Di Jawa, VOC dipandang sebagai penerus Patrimonialisme yang
dipraktekkan oleh Kerajaan-kerajaan di Jawa pada abad ketujuh belas (Margana,
dalam Wijayanto ,2009:245). Sistem patrimonial ini sebagai sistem pemerintahan
yang dominan di Indonesia sejak dahulu, seperti apa yang disebut Max Weber
sebagai Patrimonial Bureaucratic State (Negara Patrimonial Birokrasi.) Sistem
pemerintahan yang patrimonial telah menjadikan praktik-praktik penyelewengan
dan korupi di tubuh pemerintahan menjadi tindakan/prilaku yang masif.
Prilaku koruptif sebagai warisan yang diberikan dari sistem pemerintahan
sebelumnya, menjadikan korupsi berakar kuat dan sulit diberantas. Sistem
pemerintahan patrimonial yang dominan pada zaman kerajaan jawa, kemudian
pada masa pemerintahan Kolonial VOC, dan pemerintahan kolonial Hindia-
Belanda, telah mempengaruhi kehidupan dan sistem pemerintahan zaman
sekarang. Dimana praktek-praktek korupsi dan penyelewengan yang mengikuti
sistem patrimonial tersebut mewariskan perilaku korup kepada manusia di zaman
modern ini.
Dinasti Ratu Atut di Banten merupakan contoh nyata dari sistem
patrimonial yang masih hidup dalam Pemerintahan di Indonesia saat ini. Korupsi
dan penyelewengan dalam tubuh dinasti Atut menunjukkan bahwa praktek korupsi
memiliki kesinambungan historis yang panjang dalam bentuk sistem patrimonial.
Sistem patrimonial ini marak terjadi di berbagai pemerintahan di seluruh
Indonesia, dan dalam berbagai tingkatan.
Sejarah panjang dari praktek korupsi dan penyelewengan di Indonesia telah
berdampak besar bagi stabilitas kehidupan bangsa. Warisan sejarah berupa sistem

3
pemerintahan yang korup telah berpengaruh besar dan menyebar luas dalam
berbagai sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Sehingga sekarang dapat dilihat
bagaimana tindakan penyelewengan dan korupsi tidak hanya terjadi di lingkungan
pemerintahan saja, namun di kalangan swasta atau masyarakat sipil, praktek
korupsi dan penyelewengan menjadi sesuatu yang masif terjadi.
Seperti halnya penyelewengan atau korupsi dana bantuan bencana alam,
telah banyak terjadi di bangsa Indonesia saat ini. Tidak hanya korupsi dana
pemerintahan, namun di sektor dana sosial yang notabene sebagai dana bantuan
musibah yang bernilai simpati dan empati juga tidak luput dari tindakan korupsi.
Telah banyak kasus yang terungkap dan telah dipidanakan berkaitan dengan
penyelewengan bantuan bencana di Indonesia. Kasus yang terungkap tersebut
misalnya; korupsi dan penyelewengan dana bantuan Bencana Tsunami Aceh
2004, penyelewengan dana bantuan bencana Gempa di Bantul 2006,
penyelewengan bantuan bencana di Garut dari 2008, Penyelewengan Beras
bantuan Bencana Alam di Jember 2010, korupsi dana bancana alam di kantor
Bakesbangpol Dagri di Madiun 2014,dan masih banyak lagi kasus-kasus lainnya.
Sejarah panjang praktek korupsi dan penyelewengan bantuan bencana alam di
Indonesia masih menimbulkan pertanyaan besar bagi bangsa ini. Pertanyaan itu
berkaitan dengan tindakan korupsi dan penyelewengan sebagai kesinambungan
historis sebagai warisan tradisi sejak zaman kerajaan dan kolonial. Atau bahwa
tindakan korupsi dan penyelewengan merupakan suatu fenomena baru sebagai
bentuk perubahan sosial berkaitan dengan moral, nilai dan mental masyarakat,
yang juga dipengaruhi oleh kehidupan masalalu dalam bingkaian sejarah. Tentu
hal ini masih menjadi perdebatan panjang dan menarik untuk terus dikaji berkaitan
dengan fenomena korupsi dan penyelewengan bantuan bencana alam di Indonesia.

2. Korupsi Dalam Perspektif Pancasila


a. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Manusia Indonesia percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dalam
hal ini jelas perilaku tindak pidana korupsi ini tidak mencerminkan perilaku

4
tersebut karena perilaku tindak pidana korupsi adalah perilaku yang tidak
percaya dan taqwa kepada Tuhan. Dia menafikan bahwa Tuhan itu Maha
Melihat lagi Maha Mendengar.
b. Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Dalam sila ini perilaku tindak pidana korupsi sangat melanggar bahkan sama
sekali tidak mencerminkan perilaku ini, seperti mengakui persamaan derajat,
saling mencintai, sikap tenggang rasa, gemar melakukan kegiatan
kemanusiaan serta membela kebenaran dan keadilan.
c. Sila persatuan Indonesia
Tindak pidana dan tipikor bila dilihat dalam sila ini, pelakunya itu hanya
mementingkan pribadi, tidak ada rasa rela berkorban untuk bangsa dan Negara,
bahkan bisa dibilang tidak cinta tanah air karena perilakunya cenderung
mementingkan nafsu, kepentingan pribadi atau kasarnya kepentingan perutnya
saja.
d. Sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam
Permusyarawatan perwakilan.
Dalam sila ini perilaku yang mencerminkannya seperti, mengutamakan
kepentingan Negara dan masyarakat, tidak memaksakan kehendak, keputusan
yang diambil harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
serta menjunjung tinggi harkat martabat manusia dan keadilannya. Sangat
jelaslah bahwa tindak pidana korupsi tidak pernah ada rasa dalam sila ini.
e. Keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia
Rata-rata bahkan sebagian besar pelaku tindak pidana korupsi itu, tidak ada
perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana gotong royong,
adil, menghormati hak-hak orang lain, suka memberi pertolongan, menjauhi
sikap pemerasan terhadap orang lain, tidak melakukan perbuatan yang
merugikan kepentingan umum, serta tidak ada rasa bersama-sama untuk
berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan keadilan sosial.
Jadi semua perilaku tindak pidana dan tipikor itu semuanya melanggar
dan tidak mencerminkan sama sekali perilaku pancasila yang katanya ideologi

5
bangsa ini. Selain bersifat mengutamakan kepentingan pribadi, juga tidak
adanya rasa kemanusiaan, keadilan, saling menghormati, saling mencintai
sesama manusia, dan yang paling riskan adalah tidak ada rasa ‘percaya dan
taqwa’ kepada Tuhan Yang Maha Esa.

3. Korupsi dalam Prespektif Budaya


Korupsi sebagai kejahatan pencurian uang dalam bentuk penyalahgunaan
wewenang, memiliki arti yang sangat luas. Jika korupsi dilihat dari sudut pandang
budaya, maka pengertian korupsi memiliki dimensi tradisi atau kebudayaan.
Beberpa ahli mengemukakan pendapat bahwa tindakan korupsi sekarang ini bukan
sebagi fenomena penyimpangan, namun telah manjadi tindakan yang masif terjadi
dan telah menjadi budaya.
Pengertian “membudaya” dalam konteks korupsi memberikan pengertian
bahwa prilaku koruptif telah masuk dalam struktur kesadaran masyarakat sebagai
proses yang wajar dan tak terbantahkan dalam relasi sosial, politik, dan ekonomi.
Hal tersebut seperti pernyataan Mohammad Hatta (wakil presiden RI pertama)
bahwa “prilaku korupsi telah membudaya dalam masyarakat Indonesia”.
Pernyataan hatta tersebut di lontarkannya pada tahun 1970an, ketika ia menjadi
penasehat Presiden Soeharto dalam upaya pemberantasan korupsi saat itu
(Margana, dalam Wijayanto, 2009:415-416).
Melabel korupsi sebagai tindakan yang membudaya akan menghubungkan
korupsi dengan konsep “determinisme kultural” (cultural determinism).
Determinisme kultural ini merupakan konsep yang sering menjadikan acuan
beberapa ahli dalam mengamati dan mempelajari korupsi yang semakin tumbuh
meluas dalam masyarakat. Dimana determinisme kultural memberikan pengertian
bahwa kebudayaan tertentu dalam masyarakat tertentu telah memberikan landasan
mentalitas menguatnya tindakan korupsi dan penyelewengan.
Dalam sejumlah kebudayaan, terdapat nilai-nilai yang sedemikian berbeda
sehingga korupsi kurang dituntut kepengadilan, lebih dapat diterima, atau bahkan
merupakan bagian dari adat istiadat itu (Klitgaard, 2001:82). Nillai-nilai dan adat-

6
istiadat yang sedemikian itu telah menjadikan praktek tindakan korupsi dan
penyelewengan semakin masif terjadi di masyarakat. Perbedaan adat-istiadat,
kebiasaan, dan pedoman berperilaku masyarakat satu dengan masyarakat lain,
pada gilirannya, dapat menjelaskan bagaimana berbagai macam jenis serta tingkat
korupsi terjadi. Perbedaan-perbedaan “budaya” disalahgunakan untuk mendukung
tindakan korupsi.
Banyak teori dapat digunakan untuk menjelaskan korupsi sebagai
persoalan budaya. Diantaranya adalah teori dari Emile Durkheim (185-1917).
Sosiolog Prancis ini memandang bahwa watak manusia sebenarnya bersifat pasif
dipengaruhi dan dikendalikan oleh struktur dalam masyarakatnya. Individu secara
moral, netral, dan masyarakatlah yang menciptakan kepribadiannya (Kamil,
2009:848). Dalam konteks prilaku koruptif dan penyelewengan bantuan bencana,
berarti bahwa sistem budaya dan kelembagaan yang ada dalam masyarakat yang
membentuk prilaku individu. Ketika individu berada dalam struktur kelembagaan
yang korup, maka struktur yang korup tersebut akan membentuk individu yang
korup pula. Sebesar apapun sifat baik yang dimiliki seorang individu, ketika ia
masuk dalam lembaga yang korup maka lama kelamaan akan masuk dalam
pusaran hitam prilaku korupsi.
Sistem budaya yang korup akan mempengaruhi dan membentuk prilaku
individu. Ketika suatu lembaga memiliki sistem budaya yang korup, nilai dan
moral telah bergeser dan membentuk nilai baru, yang selanjutnya dipegang
bersama oleh anggotanya sebagai pedoman berperilaku. Nilai baru inilah yang
dianggap sebagai nilai yang benar walaupun dalam ukuran nilai yang sebelumnya
merupakan nilai yang menyimpang. Sehingga ketika ada seorang Indvidu yang
memiliki kepribadian yang baik dengan pegangan moral dan nilai yang kuat akan
dianggap menyimpang ketika ia berada dalam lembaga yang korup tersebut.
Sementara Gabriel Almond, seorang ahli teori kebudayaan politik yang
banyak dipengaruhi oleh teori Sosiologi Fungsionalisme struktural Talcot Parson
dan Behavioral Science dari disiplin Psikologi, memiliki pengertian yang lain
mengenai tindakan korupsi dan penyelewengan berkaitan dengan kebudayaan.

7
Bagi Almond, yang banyak dipengaruhi fungsionalisme struktural, memahami
kebudayaan dan masyarakat dengan pengertian yang luas, dimana masyarakat
dipandang sebagai suatu sistem dengan bagian-bagian yang saling bergatung
(interdeoendensi). Baginya praktik politik dalam bntuk tindakan korupsi tidak bisa
dilihat sebagai entitas yang berdiri sendiri, namun saling berkaitan dan
berinteraksi dengan struktur lain seperti ekonomi, dan budaya (Kamil,2009:848-
850).
Dalam perspektif budaya, korupsi menjadi sesuatu yang dianggap biasa
karena telah dilakukan, baik secara sadar maupun tidak sadar dalam sikap hidup
sehari-hari. Jika dikategorikan secara berjenjang perilaku seseorang terhadap
praktik korupsi dimulai dari sangat permisif, permisif, antikorupsi, dan sangat
antikorupsi.
Dalam hal ini pelaku sadar bahwa tindakannya akan merugikan suatu pihak
dan akan ada konsekuensi yang dihadapinya apabila kecurangan itu diketahui.
Fenomena kasus koruptif yang sering terjadi dalam dunia kesehatan dan dianggap
sebagai suatu kebiasaan yaitu:
a. Kebiasaan masyarakat memberikan uang pelicin atau tips kepada petugas
kesehatan untuk mendapatkan kemudahan dalam memperoleh pelayanan
kesehatan.
b. Seorang petugas kesehatan merekomendasikan obat pesanan sponsor karena
ia telah menerima gratifikasi dari produsen obat tersebut.
c. Penyalahgunaan kartu miskin/Jamkesmas/Jamkesda untuk mendapatkan
fasilitas kesehatan gratis yang dilakukan masyarakat dalam golongan mampu.
d. Manipulasi data pelaporan tindakan medis yang berdampak pada besarnya
klaim pada asuransi kesehatan atau sejenisnya.
Dalam dunia pendidikan perilaku yang bersifat permisif (menganggap
sebagai hal biasa), tetapi sebenarnya merupakan praktik korupsi yaitu: Orangtua
siswa memberikan uang atau hadiah kepada guru sebagai ucapan terima kasih saat
menerima rapor kenaikan kelas anaknya. Mahasiswa memberikan parsel atau uang
kepada dosen pembimbing dan dosen penguji sebagai ucapan terima kasih

8
menjelang dilaksanakannya seminar proposal atau ujian karya tulis ilmiah.
Orangtua calon mahasiswa memberikan sejumlah uang kepada panitia penerima
mahasiswa baru agar anaknya dapat diterima di perguruan tinggi negeri.
Almarhum Dr. Mohammad Hatta yang ahli ekonomi pernah mengatakan
bahwa korupsi adalah masalah budaya. Pernyataan bung Hatta tersebut dapat
diartikan bahwa korupsi di Indonesia tidak mungkin diberantas kalau masyarakat
secara keseluruhan tidak bertekad untuk memberantasnya. Apakah kita dapat
mengenali secara lebih konkrit kepercayaan, moralitas dan kebiasaan bangsa kita
yang tidak memberikan perangsang pada pemberantasan korupsi? jawabannya
memang ada, yaitu sisa – sisa sistem feodal kita. Dalam sistem ini, menerima
sesuatu dari rakyat, walaupun untuk itu rakyat sendiri harus berkorban dan
menderita, tidaklah merupakan perbuatan tercela dan penerimaan itu jelas tidak
dapat dimasukkan sebagai perbuatan korupsi. Sisa – sisa sistem feodal rupanya
masih ada praktek – praktek dan tradisi yang dianggap ”wajar ”. Artinya,
kebudayaan bangsa Indonesia dewasa ini masih belum berubah ke arah menolak
sama sekali moral dan tradisi sistem feodal. Inilah salah satu kesulitan berat yang
selalu dihadapi oleh hakim yang bertugas mengadili tindak pidana korupsi. Kalau
pengadilan tidak berhasil membuktikan secara hitam diatas putih atau kalau tidak
ada saksi – saksi yang dengan menganut sistem nilai baru yang anti feodal, yang
benar – benar bersedia untuk membantu memperkuat tuduhan korupsi maka
niscaya hakim tidak mempunyai alasan kuat untuk menghukum tertuduh. Jika
masyarakat secara keseluruhan sudah menganut ukuran yang sama dalam hal rasa
keadilan, maka usaha pengenalan dan pengendalian korupsi akan jauh lebih
mudah.
Di negara kita perubahan dari ” Orde Lama ” ke ” Orde Baru ” kemudian
di ikuti dengan masa reformasi, bukannya tanpa pengorbanan yang besar.
Barangkali karena masalah korupsi belum berkembang menjadi masalah yang
benar – benar menggerogoti kelangsungan hidup bangsa Indonesia, maka
penanggulangannya belum perlu dilakukan dengan revolusi. Demikianlah dengan
memahami kaitan – kaitan faktor budaya, maka kita bisa mengerti mengapa usaha

9
– usaha pemberantasan korupsi di Indonesia jarang mencapai hasil yang
memuaskan.

4. Korupsi dalam Presfektif Hukum


Jika dilihat dalam konteks hukum, Korupsi tergolong sebagai suatu
tindakan yang melanggar hukum dan dapat dipidanakan. Dalam konteks hukum,
setiap tindakan yang melanggar peraturan Perundang-Undangan maka dapat
dipidanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Berkaitan dengan
penyelewengan bantuan bencana alam, maka Undang-undang yang dapat menjerat
pelaku yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang pemberantasan tindak
pidana Korupsi.
UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang pemberantasan tindak pidana Korupsi, memuat 29
pasal berkaitan dengan tindakan yang dikategorikan sebagai tindakan korupsi.
Sebagai persoalan hukum dan telah diatur dalam perundang-undangan, maka
segala bentuk tindakan individu ataupun kelompok yang melanggar UU tersebut
dapat dipidanakan dan dikenakan sanksi yang berat.
Adapun pemberatan pidana menurut Undang-undang ini selain ancaman
pidana yang lebih berat dari UU sebelumnya (UU No.3 Th.1971), UU ini juga
memberikan pemberatan terhadap hal-hal sebagai berikut: (Wijayanto: 573-575)
Terhadap perbuatan korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu, ancamannya
dapat berupa pidanan mati. Adapun yang dimaksud dengan keadaan tertentu yaitu
keadaan saat negara ditetapkan dalam keadaan bahaya sesuai dengan UU yang
berlaku; Terjadi Bencana Alam Nasional; Pengulangan tindak pidana korupsi; dan
dalam keadaan krisis moneter.
Apabila oleh UU yang lain dikatakan sebagi perbuatan Korupsi, maka
diberlakukan UU ini; Percobaan, upaya membantu atau permufakatan jahat untuk
melakukan tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama; Orang diluar
negeri yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk

10
terjadinya tindak pidanan korupsi dipidana dengan pidana yang sama dengan
pelaku; Dilakukan dalam hal ini tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.
Dalam perkara pidana korupsi sealain pidana tambahan sebagaimana
dimaksud dalam KUHP, juga dapat dijatuhkan sebagai pidana tambahan berupa:
pertama, Perampasan barang bergerak yang berwujud dan tidak berwujud atau
barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi. Kedua, pembayaran uang Penganti yang jumlahnya sebanyak-
banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi,
dan apabila dalam tenggang waktu satu bulan setelah putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap terpidana tidak membayar uang
pengganti, harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi
uang pengganti tersebut. Namun jika terpidana tidak memiliki harta benda yang
mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka dipidana dengan pidana
penjara yang lamanya melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya
sesudah putusan pengadilan. Ketiga, penutupan seluruh atau sebagian perusahaan
untuk waktu paling lama satu tahun. Keempat, pencabutan seluruh atau sebagian
hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu,
yang telah atau diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
Jika melihat konteks hukum dan perundang-undangan yang berlaku, maka
tidakan individu atau kelompok dalam menyelewengkan bantuan bencana Alam
juga tergolong sebagai tindak pidana korupsi. Sesuai UU no.31 tahun 1999 jo UU
No.20 Tahun 2001, pelaku penyelewengan bantuan menurut UU tersebut dapat
menerima pemberatan pidana yaitu pidana mati. Pidana mati ini dapat dijatuhkan
karena perbuatan korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu, yaitu ketika
negara sedang menghadapi Bencana alam Nasional. Hal ini sesuai dengan Pasal 2
ayat (2) UU No.31 Tahun 1999.
Ancaman pidana mati yang terkandung dalam Pasal 2 ayat (2) UU No.31
Tahun 1999 sesuai dengan pernyataan Kejaksaan Tinggi Jawatimur yang

11
memberikan warning kepada pelaku penyelewengan bantuan bancana alam
meletusnya gunung kelud februari 2014 (EncietyNews, 2014).
Pemberantasan korupsi sebagai persoalan hukum dilakukan sebagai upaya
yang lebih bersifat represif dari pada upaya yang bersifat preventif. Upaya
pemberntasan ini dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK
sebagai lembaga yang bertugas untuk membernatas kasus korupsi di Indonesia
dibentuk berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002.
Sementara untuk mengadili pelaku tindak pidana korupsi dilakukan oleh
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
adalah pengadilan khusus yang berada dilingkungan peradilan umum dan
berkedudukan didaerah kabupaten atau kota yang daerah hukumnya meliputi
daerah hukum pengadilan negeri bersangkutan. Demikian pula ditingkat Banding,
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Ibu kota Provinsi yang daerah hukumnya
meliputi daerah hukum pengadilan tinggi yang bersangkutan. Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi iniberwewenang memeriksa dan memutuskan perkara tindak
pidana korupsi dan tindak pidana lainnya yang berkaitan dengan korupsi (Isra &
Eddy, dalam Wijayanto, 2009:575).
Korupsi Dalam Perspektif Hukum Korupsi harus dipahami sebagai
tindakan melawan hukum dan ada pandangan sebagai kejahatan luar biasa
(extraordinary crime). KPK mengungkap tiga sebab mengapa korupsi di Indonesia
menjadi kejahatan luar biasa yaitu:
Korupsi di Indonesia sifatnya transnasional sehingga beberapa koruptor
Indonesia mengirimkan uang ke luar negeri. Hasil pendataan KPK menunjukkan
bahwa 40 persen saham di Singapura adalah milik orang Indonesia. Oleh sebab
itu, Singapura hingga saat ini tak mau meratifikasi perjanjian ekstradisi dengan
Indonesia. Tujuan dari perjanjian ini adalah meminta buron dari suatu negara yang
lari ke negara lain untuk dikembalikan ke negara asalnya.
Pembuktian korupsi di Indonesia itu super. Artinya, membutuhkan usaha
ekstrakeras. Seperti diketahui, 50 persen kasus korupsi bentuknya penyuapan.

12
Koruptor yang menyuap tidak mungkin menggunakan tanda terima atau kuitansi.
Secara hukum, pembuktiannya cukup sulit.
Dampak korupsi memang luar biasa. Contohnya, dari sektor ekonomi,
utang Indonesia di luar negeri mencapai Rp1.227 triliun. Utang ini dibayar tiga
tahap, 2011–2016, 2016–2021, dan 2021–2042. Permasalahan yang muncul
apakah kita dapat melunasinya pada 2042? Di sisi lain, menjelang tahun itu banyak
timbul utang-utang baru dari korupsi baru. (Republika, 2014) Pandangan lain
berpendapat bahwa tindak pidana korupsi itu hanya dianggap sebagai tindak
pidana biasa dan bukan merupakan extraordinary crime.
Para ahli hukum tersebut merujuk pada Statuta Roma tahun 2002, yang
dalam hal ini statuta tersebut menggolongkan korupsi bukan suatu kejahatan luar
biasa yang tergolong extraordinary crime, yaitu kejahatan genosida, kejahatan
terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Namun, Indonesia
sendiri bukanlah negara yang ikut meratifikasi Statuta Roma tersebut.
Seluruh negara telah menyatakan perang terhadap korupsi dan koruptor,
bahkan sebagai anggapan kejahatan luar biasa maka ada negara yang
memberlakukan hukuman mati untuk para koruptor. Indonesia telah membuat
undang-undang tersendiri untuk mencegah dan memberantas korupsi.
Beberapa Undang – Undang dan peraturan pemerintah yang erat kaitannya
untuk mencegah dan memberantas korupsi yaitu:
a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana;
b. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;
c. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang PemberantasanTindak Pidana
Korupsi;
d. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

13
e. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor
31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
f. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang;
g. Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi;

5. Korupsi Dalam Perspektif Agama


Agama sebagai dasar dari segala kepercayaan dan keyakinan tiap individu
berperan penting. Dalam semua ajaran agama, tidak ada yang mengajarkan
umatnya untuk berlaku atau melakukan tindakan korupsi. Namun, pada
kenyataannya praktik korupsi sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan orang-
orang beragama.
Agama memang mengajarkan dan mengarahkan para penganutnya untuk
hidup jujur, lurus, dan benar. Korupsi termasuk kategori perilaku mencuri yang
diharamkan agama dan tindakan pendosa. Logikanya seseorang yang beragama
atau memegang teguh ajaran agamanya tidak akan melakukan korupsi.
Penyebabnya tentu dapat dilihat dari berbagai perspektif. Harus disadari bahwa
kelakuan seseorang tidak hanya ditentukan oleh agamanya. Ada banyak faktor
yang memengaruhi orang untuk bertindak atau berperilaku koruptif, antara lain
faktor genetik, faktor neurologis, faktor psikologis, faktor sosiologis, faktor
pendidikan dan pengasuhan.
Ada faktor lain yang bisa mengalahkan pengaruh ajaran agama sebagai
godaan manusiawi, yaitu
1. Nilai – nilai agama tidak menjadi pedoman dalam tindak perilaku di
masyarakat
2. Ketiadaan apresiasi terhadap nilai-nilai kemuliaan disertai dengan lemahnya
disiplin diri dan etika dalam bekerja
3. adanya sifat tamak dan egois yang hanya mementingkan diri sendiri.

14
Dengan gaya hidup modern sekarang ini, orang dengan mudah melupakan
atau dengan sengaja mengabaikan ajaran-ajaran agama yang dianutnya, lalu
melakukan tindak pidana korupsi. Ada kalanya uang hasil tindak pidana korupsi
itu digunakan untuk hal-hal yang berbau religi. Dalam hal ini tentu harus ada
introspeksi diri dari kita semua, termasuk dari para pemuka agama.

6. Korupsi Dalam Prespektif Sosial


Dalam perspektif sosial korupsi dipandang suatu perbuatan yang dapat
meningkatkan angka kemiskinan, perusakan moral bangsa, hilangnya rasa percaya
terhadap pemerintah, akan timbul kesenjangan dalam pelayanan umum dan
menurunnya kepercayaan pemerintah dalam pandangan masyarakat. Dalam
sistem ini, menerima sesuatu dari rakyat, walaupun untuk rakyat itu sendiri harus
berkorban dan menderita, tanpa diketahui oleh rakyat itu sendiri mereka telah
diperlakukan tidak adil oleh oknum-oknum korupsi yang tidak bertanggung
jawab, merupakan perbuatan tercela dan penerimaan itu jelas dapat dimasukkan
sebagai perbuatan korupsi.

7. Korupsi Dalam Prespektif Teknologi


Dalam perspektif teknologi korupsi dipandang sebagai sesuatu yang dapat
menghambat perkembangan teknologi yang ada, penyalahgunaan tindakan yang
merugikan negara, dan terorisme yang terus merajalela.

8. Korupsi Dalam Prespektif Politik


Dalam perspektif politik korupsi dapat mempersulit demokrasi dan tata
cara pemerintahan yang baik dengan cara menghancurkan proses formal, sistem
politik akan terganggu cenderung tidak dipercaya oleh masyarakat, akan timbul
aklamasi-aklamasi untuk menguatkan kekuatan politik (menjaga keberlangsungan
korupsi) dan akan timbul ketidakpercayaan rakyat terhadap lembaga-lembaga
politik.

15
9. Korupsi Dalam Prespektif Ekonomi

Dalam perspektif ekonomi korupsi berdampak pada pembangunan


infrastruktur yang tidak merata, tidak sesuai dengan yang dianggarkan
sebelumnya. Pemerataan pendapatan yang buruk, membuat pengusaha asing takut
untuk berinvestasi di Indonesia, pendapatan negara mengalami penurunan dan
membuat beban lebih berat pada masyarakat.

16
DAFTAR PUSTAKA

Klitgaard, Robert. 2001. Membasmi Korupsi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia


Soedarso, Boesono. 2009. Latar Belakang Sejarah dan Kultural Korupsi di
Indonesia. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press)
Wijayanto dkk.2009. Korupsi Mengkorupsi Indonesia: sebab, akibat, dan prospek
pemberantasan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

17

Anda mungkin juga menyukai