Anda di halaman 1dari 20

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI_______________________________________________________1

KATA PENGANTAR _______________________________________________2

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG__________________________________________3
B. RUMUSAN MASALAH________________________________________3

BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN KORUPSI ______________________________________4


B. SEJARAH KORUPSI DI INDONESIA ____________________________7
C. DAMPAK KORUPSI BAGI BIROKRASI PEMERINTAHAN_________10
D. FENOMENA KORUPSI DI INDONESIA _________________________11
E. KEBIJAKAN PEMBERANTASAN KORUPSI _____________________12
F. FAKTOR PENDORONG TERJADINYA KORUPSI_________________12
G. KENDALA PEMBERANTASAN KORUPSI_______________________13
H. UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI__________________________13
I. PENGEMBANGAN ANTI KORUPSI_____________________________17

BAB III

PENUTUP

A. SIMPULAN _________________________________________________20
B. DAFTAR PUSTAKA__________________________________________20

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik dan Hidayah nya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam
bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan
sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam pendidikan

Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi
makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Dalam pembuatan makalah kali ini,saya akan membahas materi yang berkenaan
dengan “PENDIDIKAN ANTI KORUPSI” mungkin terdapat banyak korupsi yang sering
kali terjadi di kalangan masyarakat,terutama masyarakat indonesia.jadi saya akan membahas
dalam makalah tentang korupsi ini sendiri.semoga makalah ini bisa memberikan manfaat bagi
penulisnya dan pembacanya dan menjadi lading pahala amal jariyah untuk kita semua

Dalam pembuatan makalah kali ini,saya memohon maaf yang sebesar-besarnya jika
ada kesalahan kata.karena saya masih dalam proses pembelajaran.terima kasih

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG.
Korupsi di negeri ini sekarang sedang merajalela bahkan telah menjadi suatu
“kebiasaan”. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dalam menangani korupsi
dan hukum yang sangat tegas. Namun, tetap saja korupsi masih terdapat di negeri ini.
Salah satu mengapa orang berani melakukan tindak pidana korupsi yaitu karena
kurangnya kesadaran pribadi tentang bahaya korupsi. Tentu saja kita tidak bisa
menyadarkan para koruptor karena mereka sudah terlanjur terbiasa dengan
tindakannya tersebut.
Jadi, salah satu upaya jangka panjang yang terbaik untuk mengatasi korupsi
adalah dengan memberikan pendidikan anti korupsi dini kepada kalangan generasi
muda sekarang. Karena generasi muda adalah generasi penerus yang akan
menggantikan kedudukan para penjabat terdahulu. Juga karena generasi muda sangat
mudah terpengaruh dengan lingkungan di sekitarnya.
Tindakan korupsi dirasakan semakin buruk di negara kita ini, maka dari itu
banyak dilakukan upaya-upaya pemberantasan korupsi tetapi faktanya masih banyak
ditemukan para pejabat yang melakukan tindakan tersebut. Salah satu upaya yang
memang sedang gencar-gencarnya dilakukan adalah melalui pendidikan, hal ini
mengarah pada pokok pembahasan kita yaitu “Pendidikan Anti Korupsi”

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dari anti korupsi ?
2. Bagaimana sejarah terjadinya korupsi di indonesia?
3. Apa dampak korupsi bagi birokrasi pemerintahan?
4. Bagaimana fenomena korupsi di Indonesia?
5. Bagaimana kebijakan pemberantasan korupsi?
6. Apa factor pendorong terjadinya korupsi?
7. Apa kendala dalam memberantas korupsi?
8. Bagaimana upaya pemberantasan korupsi?
9. Bagaimana pengembangan pendidikan anti korupsi?

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN KORUPSI.
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 pengertian korupsi adalah
perbuatan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri atau orang lain
yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. Korupsi sebagai suatu
fenomena sosial bersifat kompleks, sehingga sulit untuk mendefisinikannya secara
tepat tentang ruang lingkup konsep korupsi. Korupsi di Indonesia berkembang secara
sistemik, yang berarti tindakan korupsi yang sepertinya sudah melekat kedalam sistem
menjadi bagian dari operasional sehari-hari dan sudah dianggap lazim serta tidak
melanggar apa pun.
Misalnya sebuah instansi yang menerima uang dari rekanan dan kemudian
dikelolanya sebagai dana taktis, entah itu sebagai semacam balas jasa atau apa pun.
Kalau mark up atau proyek fiktif sudah jelas-jelas korupsi, tetapi bagaimana
seandainya itu adalah pemberian biasa sebagai ungkapan terimakasih. Kalau itu
dikategorikan korupsi, maka mungkin semua instansi akan terkena. Dana taktis sudah
merupakan hal yang biasa dan itu salah satu solusi untuk memecahkan kebuntuan
formal. Ada keterbatasan anggaran lalu dicarilah cara untuk menyelesaikan banyak
masalah.Bagi banyak orang korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum,
melainkan sekedar suatu kebiasaan.
Dalam seluruh penelitian perbandingan korupsi antar negara, Indonesia selalu
menempati posisi paling rendah. Hingga kini pemberantasan korupsi di Indonesia
belum menunjukkan titik terang melihat peringkat Indonesia dalam perbandingan
korupsi antar negara yang tetap rendah.Hal ini juga ditunjukkan dari banyaknya
kasus-kasus korupsi di Indonesia.
Sesuai dengan kehendak yang ingin dicapai,maka pelaksanaan pendidikan anti
korupsi perlu memperhatikan beberapa hal yaitu
1. Pengetahuan tentang korupsi.
Untuk memiliki pengetahuan yang benar dan tepat tentang korupsi, siswa
perlu mendapatkan berbagai informasi yang, terutama informasi yang
memungkinkan mereka dapat mengenal tindakan korupsi dan juga dapat
membedakan antara tindakan kejahatan korupsi dengan tindakan kejahatan
lainnya. Untuk itu pembahasan tentang kriteria, penyebab dan akibat

4
korupsi merupakan materi pokok yang harus diinformasikan pada siswa.
Disamping itu siswa juga memiliki argumen yang jelas mengapa perbuatan
korupsi dianggap sebagai perbuatan yang buruk dan harus dihindari.
Analisis penyebab dan akibat dari tindakan korupsi pada berbegai aspek
kehidupan manusia, termasuk aspek moralitas akan memberi siswa
wawasan tentang korupsi yang lebih luas. Pada akhirnya berbagai
alternatif yang dapat ditempuh untuk menghindari korupsi dapat menjadi
inpirasi bagi siswa tentang banyak cara yang dapat dilakukan dalam
memberantas korupsi. Kesemua ini merupakan modal dasar dalam
penanamanatau pembentukan sikap dan karakter antikorupsi. Berdasarkan
pengetahuan yang dimiliki tersebut diharapkan siswa mampu untuk
menilai adanya perilaku korup dalam masyarakat atau institusi
disekitarnya. Karena itu pemberian informasi tentang korupsi bukanlah
untuk memberikan informasi sebanyak mungkin kepada siswa, melainkan
informasi itu diperlukan agar siswa mampu membuat pertimbangan
pertimbangan tertentu dalam menilai. Dengan kata lain berdasarkan
informasi dan pengetahuannnya tentang korupsi siswa mampu menilai
apakah suatu perbuatan itu termasuk korupsi atau tidak, dan apakah
perbuatan tersebut dikategorikan baik atau buruk. Dengan pertimbangan
tersebut selanjutnya siswa dapat menentukan perilaku yang akan
diperbuatnya.
2. Pengembangan sikap
Sebagai pendidikan nilai dan karakter, pendidikan antikorupsi memberi
perhatian yang besar pada pengembangan aspek sikap siswa. Sikap adalah
disposisi penilaian yang diberikan terhadap suatu objek yang didasarkan
atas pengetahuan, reaksi afektif, kemauan dan perilaku sebelumnya akan
objek tersebut (Fishbean, & Ajzen 1973).). Kesemua elemen diatas saling
berhubungan dan saling bertukar tempat misalnya reaksi afektif dibayangi
oleh perilaku yang biasa dilakukan. Karena itu sikap yang pro pada
korupsi bukanlah sebuah kategori saja melainkan juga mengandung hal
lainnya . Perubahan pada satu elemen akan merubah pula elemen yang
lainnya. Misalnya menghilangkan intensi dan perilaku mungkin akan
merubah kognisi, sikap dan reaksi afektif. Oleh karena itu ketika
memberikan informasi tentang korupsi, guru berusaha mengembangkan
5
sikap berdasarkan kognisi. Untuk itu siswa harus memiliki kognisi atau
pengetahuan yang benar dan dipahami secara baik, sehingga pengetahuan
itu bisa bertahan lama dalam memorinya dan dapat dipergunakan setiap
kali mereka akan membuat pertimbangan tertentu. Disamping itu
keterlibatan yang intens dalam aktifitas yang mengandung nilai-nilai
antikorupsi juga akan mengembangkan sikap yang sesuai dengan nilai
tersebut.
3. Perubahan sikap
Merubah sikap yang telah dimiliki sebelumnya merupakan pekerjaan dan
tugas yang tidak gampang dan terkadang menimbulkan rasa frustasi.
Apalagi jika sikap yang telah dimiliki tersebut berlawanan dengan sikap
yang dikehendaki guru atau pendidik, misalnya sikap yang menganggap
curang dalam ujian adalah hal yang biasa dikalangan siswa, atau
mencontoh tugas kawan untuk diakui sebagai tugas sendiri merupakan hal
yang lumrah. Hal ini akan berlanjut terus dengan sikap terhadap fenomena
dalam masyarakat seperti menyogok polisi karena melanggar peraturan
lalu lintas, dan lain sebagainnya. Pendidikan antikorupsi menghendaki
sikapsikap seperti ini perlu untuk dirubah agar sesuai dengan nilai-nilai
dasar antikorupsi. Untuk itu diperlukan pola dan strategi perubahan sikap
yang bisa dipakai dari berbagai sumber misalnya untuk membentuk
persepsi tentang korupsi yang berlawanan dengan persepsi yang dimiliki
siswa dapat dilakukan dengan menyajikan informasi secara tak terduga
melaui permainan atau parodi. Strategi lain dalam merubah sikap adalah
dengan didasarkan pada fakta bahwa pengetahuan dan sikap disimpan
dalam tempat atau memori yang berbeda, karena itu diperlukan waktu
untuk mencapai keduanya, artinya proses pengetahuan berubah menjadi
sikap memerlukan waktu yang cukup panjang. Karena itu jika ada sikap
yang pro pada korupsi sebaiknya tidak diserang secara langsung atau
diatasi dengan cara persuasif. Dalam waktu panjang sikap tersebut akan
berganti dengan sendirinya jika informasi yang mendiskreditkan korupsi
disajikan dalam cara yang bermakna dan memancing siswa untuk berpikir
secara kritis tentang fenomena tersebut. Karena disinilah reaksi yang
disebut postponement effect, (Innerney, 2006), dimana pada awalnya

6
informasi tidak akan dipercayai tapi kemudian pengetahuan yang benar
akan mengatasi reaksi afektif.
4. Perspektif Moral dan Konvensional
Pendidikan anti korupsi didasarkan pada pendidikan nilai yang tidak
begitu membedakan secara tegas antara dua regulasi sosial yaitu moralitas
dan konvensi. Dalam perspektif moral, perilaku yang baik dikatakan baik
karena diterima secara universal dan merupakan kewajiban semua orang
tanpa melihat apa yang dipikirkan orang secara individual. Selanjutnya
dari perspektif moral suatu tindakan dinilai sebagai baik atau buruk dengan
melihat pada konsekuensinya, apakan tindakan itu menyakitkan bagi orang
laian, atau membawa kerusakan, atau melanggar rasa keadilan bagi semua
orang. Selanjutnya kualitas suatu tindakan mungkin ditentukan oleh niat
seseorang. Suatu tindakan tidak dapat diterima jika niat atau maksud
pelakunya itu buruk, meskipun pada suatu situasi hasilnya tidak jelek atau
buruk, dan sebaliknya dapat dipertimbangkan jika niatnya baik meskipun
hasilnya gagal. Konvensi adalah norma yang didasarkan pada kesepakatan
bersama yang ada pada suatu masyarakat pada suatu waktu tertentu, jadi
tidak menjadi wajib bagi komunitas lain karena itu tidak universal. Dalam
kehidupan nyata moralitas dan konvensi saling terkait. Prinsip moral yang
umum turun menjadi norma seperti jangan mencuri, jangan berbohong,
bertindak adil pada orang lain. Sedangkan pelanggaran terhadap konvensi
yang dianggap sangat penting oleh suatu komunitas seperti menghormati
orang yang telah mati, bisa juga menjadi pelanggaran moral karena itu
menyakiti perasaan orang lain. Dengan kata lain moralitas dan konvensi
berada pada konsep yang berbeda dan juga punya logika yang berbeda
pula

B. SEJARAH KORUPSI DI INDONESIA

Dalam konteks perjalanan bangsa Indonesia, persoalan korupsi memang telah


mengakar dan membudaya. Bahkan dikalangan mayoritas pejabat publik, tak jarang
yang menganggap korupsi sebagi sesuatu yang “lumrah dan Wajar”. Ibarat candu,
korupsi telah menjadi barang bergengsi yang jika tidak dilakukan, maka akan
membuat “stress” para penikmatnya. Korupsi berawal dari proses pembiasan,

7
akhirnya menjadi kebiasaan dan berujung kepada sesuatu yang sudah terbiasa untuk
dikerjakan oleh pejabat-pejabat Negara. Tak urung kemudian, banyak masyarakat
yang begitu pesimis dan putus asa terhadap upaya penegakan hukum untuk
menumpas koruptor di Negara kita. Jika dikatakan telah membudaya dalam
kehidupan, lantas darimana awal praktek korupsi ini muncul dan berkembang?
Tulisan ini akan sedikit memberikan pemaparan mengenai asal-asul budaya korupsi di
Indonesia yang pada hakekatnya telah ada sejak dulu ketika daerah-daerah di
Nusantara masih mengenal system pemerintah feodal (Oligarkhi Absolut), atau
sederhananya dapat dikatakan, pemerintahan disaat daerah-daerah yang ada di
Nusantara masih terdiri dari kerajaan-kerajaan yang dipimpin oleh kaum bangsawan
(Raja, Sultan dll).

Secara garis besar, budaya korupsi di Indonesia tumbuh dan berkembang melalui
3 (tiga) fase sejarah, yakni ; zaman kerajaan, zaman penjajahan hingga zaman modern
seperti sekarang ini.

Mari kita coba bedah satu-persatu pada setiap fase tersebut.

- Fase Zaman Kerajaan

Budaya korupsi di Indonesia pada prinsipnya, dilatar belakangi oleh adanya


kepentingan atau motif kekuasaan dan kekayaan. Literatur sejarah masyarakat
Indonesia, terutama pada zaman kerajaan-kerajaan kuno, seperti kerajaan Mataram,
Majapahit, Singosari, Demak, Banten dll, mengajarkan kepada kita bahwa konflik
kekuasan yang disertai dengan motif untuk memperkaya diri (sebagian kecil karena
wanita), telah menjadi faktor utama kehancuran kerajaan-kerajaan tersebut.

Coba saja kita lihat bagaimana Kerajaan Singosari yang memelihara perang antar
saudara bahkan hingga tujuh turunan saling membalas dendam berebut kekuasaan,
mulai dari Prabu Anusopati, Prabu Ranggawuni, hingga Prabu Mahesa Wongateleng
dan seterusnya. Hal yang sama juga terjadi di Kerajaan Majapahit yang menyebabkan
terjadinya beberapa kali konflik yang berujung kepada pemberontakan Kuti, Nambi,
Suro dan lain-lain.

Bahkan kita ketahui, kerajaan Majapahit hancur akibat perang saudara yang kita
kenal dengan “Perang Paregreg” yang terjadi sepeninggal Maha Patih Gajah Mada.
Lalu, kerajaan Demak yang memperlihatkan persaingan antara Joko Tingkir dengan

8
Haryo Penangsang, ada juga Kerajaan Banten yang memicu Sultan Haji merebut tahta
dan kekuasaan dengan ayahnya sendiri yaitu Sultan Ageng Tirtoyoso. Hal menarik
lainnya pada fase zaman kerajaan ini adalah mulai terbangunnya watak opurtunisme
bangsa Indonesia. Salah satu contohnya adalah posisi orang suruhan dalam kerajaan,
atau yang lebih dikenal dengan “abdi dalem”.

Abdi dalem dalam sisi kekuasaan zaman ini, cenderung selalu bersikap manis
untuk menarik simpati raja atau sultan. Hal tersebut pula yang menjadi embrio
lahirnya kalangan opurtunis yang pada akhirnya juga memiliki potensi jiwa yang
korupsi yang begitu besar dalamtatanan pemerintahan kita dikmudian hari.

- Fase Zaman Penjajahan

Pada zaman penjajahan, praktek korupsi telah mulai masuk dan meluas ke dalam
sistem budaya sosial-politik bangsa kita. Budaya korupsi telah dibangun oleh para
penjajah colonial (terutama oleh Belanda) selama 350 tahun. Budaya korupsi ini
berkembang dikalangan tokoh-tokoh lokal yang sengaja dijadikan badut politik oleh
penjajah untuk menjalankan daerah adiministratif tertentu, semisal demang (lurah),
tumenggung (setingkat kabupaten atau provinsi), dan pejabat-pejabat lainnya yang
notabene merupakan orang-orang suruhan penjajah Belanda untuk menjaga dan
mengawasi daerah territorial tertentu.

Mereka yang diangkat dan dipekerjakan oleh Belanda untuk memanen upeti atau
pajak dari rakyat, digunakan oleh penjajah Belanda untuk memperkaya diri dengan
menghisap hak dan kehidupan rakyat Indonesia. Sepintas, cerita-cerita film semisal Si
Pitung, Jaka Sembung, Samson & Delila, dll, sangat cocok untuk menggambarkan
situasi masyarakat Indonesia.

- Fase Zaman Modern

Seperti yang telah diketahui, pada saat sekarang ini banyak terdapat
penyalahgunaan kekuasaan oleh para pejabat-pejabat yang ada di Indonesia hanya
untuk kepentingan pribadi, keluarga ataupun kelompoknya tanpa memikirkan orang
yang ada dibawahnya.

9
C. DAMPAK KORUPSI BAGI BIROKRASI PEMERINTAHAN.

Dampak terhadap briokrasi Pemerintahan:

Korupsi, tidak diragukan, menciptakan dampak negatif terhadap kinerja suatu


sistem politik atau pemerintahan.

1. Pertama, korupsi mengganggu kinerja sistem politik yang berlaku. Pada dasarnya,
isu korupsi lebih sering bersifat personal. Namun, dalam manifestasinya yang
lebih luas, dampak korupsi tidak saja bersifat personal, melainkan juga dapat
mencoreng kredibilitas organisasi tempat si koruptor bekerja. Pada tataran
tertentu, imbasnya dapat bersifat sosial. Korupsi yang berdampak sosial sering
bersifat samar, dibandingkan dengan dampak korupsi terhadap organisasi yang
lebih nyata.
2. Kedua, publik cenderung meragukan citra dan kredibilitas suatu lembaga yang
diduga terkait dengan tindak korupsi.
3. Ketiga, lembaga politik diperalat untuk menopang terwujudnya berbagai
kepentingan pribadi dan kelompok. Ini mengandung arti bahwa lembaga politik
telah dikorupsi untuk kepentingan yang sempit.Dalam kasus seperti ini, kehadiran
masyarkat sipil yang berdaya dan supremasi hukum yang kuat dapat
meminimalisir terjadinya praktik korupsi yang merajalela di masyarakat.

Sementara itu, dampak korupsi yang menghambat berjalannya fungsi pemerintah,


sebagai pengampu kebijakan negara, dapat dijelaskan sebagai berikut :

- Korupsi menghambat peran negara dalam pengaturan alokasi,

- Korupsi menghambat negara melakukan pemerataan akses dan aset,

- Korupsi juga memperlemah peran pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi dan
politik.

Dengan demikian, suatu pemerintahan yang terlanda wabah korupsi akan


mengabaikan tuntutan pemerintahan yang layak. Menurut Wang An Shih, koruptor
sering mengabaikan kewajibannya oleh karena perhatiannya tergerus untuk kegiatan
korupsi semata-mata. Hal ini dapat mencapai titik yang membuat orang tersebut
kehilangan sensitifitasnya dan akhirnya menimbulkan bencana bagi rakyat.

10
Korupsi yang merajalela di lingkungan pemerintah akan menurunkan kredibilitas
pemerintah yang berkuasa. Ia meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap
berbagai tindakan pemerintah. Jika suatu pemerintah tidak lagi mampu memberi
pelayanan terbaik bagi warganya, maka rasa hormat rakyat dengan sendirinya akan
luntur. Jika pemerintahan justru memakmurkan praktik korupsi, maka lenyap pula
unsur hormat dan trust (kepercayaan) masyarakat kepada pemerintahan. Karenanya,
praktik korupsi yang kronis menimbulkan demoralisasi di kalangan masyarakat.

D. FENOMENA KORUPSI DI INDONESIA.


Fenomena umum yang biasanya terjadi di negara berkembang contohnya
Indonesia ialah:
- Proses modernisasi belum ditunjang oleh kemampuan sumber daya manusia pada
lembaga-lembaga politik yang ada.
- Institusi-institusi politik yang ada masih lemah disebabkan oleh mudahnya “ok-
num” lembaga tersebut dipengaruhi oleh kekuatan bisnis/ekonomi, sosial, keaga-
maan, kedaerahan, kesukuan, dan profesi serta kekuatan asing lainnya.
- Selalu muncul kelompok sosial baru yang ingin berpolitik, namun sebenarnya
banyak di antara mereka yang tidak mampu.
- Mereka hanya ingin memuaskan ambisi dan kepentingan pribadinya dengan dalih
“kepentingan rakyat”.
Sebagai akibatnya, terjadilah runtutan peristiwa sebagai berikut :
- Partai politik sering inkonsisten, artinya pendirian dan ideologinya sering beru-
bah-ubah sesuai dengan kepentingan politik saat itu.
- Muncul pemimpin yang mengedepankan kepentingan pribadi daripada kepenting-
an umum.
- Sebagai oknum pemimpin politik, partisipan dan kelompoknya berlomba-lomba
mencari keuntungan materil dengan mengabaikan kebutuhan rakyat.
- Terjadi erosi loyalitas kepada negara karena menonjolkan pemupukan harta dan
kekuasaan. Dimulailah pola tingkah para korupsi
- Sumber kekuasaan dan ekonomi mulai terkonsentrasi pada beberapa kelompok
kecil yang mengusainya saja. Derita dan kemiskinan tetap ada pada kelompok
masyarakat besar (rakyat).

11
- Lembaga-lembaga politik digunakan sebagai dwi aliansi, yaitu sebagai sektor di
bidang politik dan ekonomi-bisnis.Kesempatan korupsi lebih meningkat seiring
dengan semakin meningkatnya ja-batan dan hirarki politik kekuasaan.
E. KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI
Mewujudkan keseriusan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi, Telah di
keluarkan berbagai kebijakan. Di awali dengan penetapan anti korupsi sedunia oleh
PBB pada tanggal 9 Desember 2004, Presiden susilo Budiyono telah mengeluarkan
instruksi Presiden Nomor 5tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi,
yang menginstruksikan secara khusus Kepada Jalsa Agung Dan kapolri:
- Mengoptimalkan upaya – upaya penyidikan/Penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi untuk menghukum pelaku dan menelamatkan uang negara.
- Mencegah & memberikan sanksi tegas terhadap penyalah gunaan wewenang yg di
lakukan oleh jaksa (Penuntut Umum)/ Anggota polri dalam rangka penegakan
hukum.
- Meningkatkan Kerjasama antara kejaksaan dgn kepolisian Negara RI, selain
denagan BPKP,PPATK,dan intitusi Negara yang terkait denagn upaya penegakan
hukum dan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi
- Kebijakan selanjutnya adalah menetapkan Rencana aksi nasional Pemberantasan
Korupsi (RAN-PK) 2004-2009. Langkag – langkah pencegahan dalam RAN-PK
di prioritaskan pada :
- Mendesain ulang layanan publik .
- Memperkuat transparasi, pengawasan, dan sanksi pada kegiatan pemerintah yg
berhubungan Ekonomi dan sumber daya manusia.
- Meningkatkan pemberdayaan pangkat – pangkat pendukung dalam pencegahan
korupsi.
F. FAKTOR PENDORONG TERJADINYA KORUPSI.
- Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab
langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan
demokratik.
- Gaji yang masih rendah, kurang sempurnanya peraturan perundang-undangan,
administrasi yang lamban dan sebagainya.
- Sikap mental para pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara yang haram, tidak
ada kesadaran bernegara, tidak ada pengetahuan pada bidang pekerjaan yang
dilakukan oleh pejabat pemerintah.
12
- Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
- Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari
pendanaan politik yang normal.
- Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
- Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan “teman lama”.
- Lemahnya ketertiban hukum.
- Lemahnya profesi hukum.
G. KENDALA YANG DIHADAPI DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI.

Korupsi dapat terjadi di negara maju maupun negara berkembang seperti Indonesia.
Adapun hasil analisis penulis dari beberapa teori dan kejadian di lapangan, ternyata
hambatan/kendala-kendala yang dihadapi Bangsa Indonesia dalam meredam korupsi
antara lain adalah :

- Penegakan hukum yang tidak konsisten dan cenderung setengah-setengah.


- Struktur birokrasi yang berorientasi ke atas, termasuk perbaikan birokrasi yang
cenderung terjebak perbaikan renumerasi tanpa membenahi struktur dan kultur.
- Kurang optimalnya fungsi komponen-komponen pengawas atau pengontrol,
sehingga tidak ada check and balance.
- Banyaknya celah/lubang-lubang yang dapat dimasuki tindakan korupsi pada
sistem politik dan sistem administrasi negara Indonesia.
- Kesulitan dalam menempatkan atau merumuskan perkara, sehingga dari contoh-
contoh kasus yang terjadi para pelaku korupsi begitu gampang mengelak dari
tuduhan yang diajukan oleh jaksa.
- Taktik-taktik koruptor untuk mengelabui aparat pemeriksa, masyarakat, dan
negara yang semakin canggih.
- Kurang kokohnya landasan moral untuk mengendalikan diri dalam menjalankan
amanah yang diemban.
H. UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI.

Korupsi di Indonesia dimulai sejak era orde lama sekitar tahun 1960-an dan pembentukan
Tim Pemberantasan Korupsi berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 228 tahun 1967
yang dipimpin langsung oleh Jaksa Agung belum membuahkan hasil yang nyata pada era
orde baru muncul Undang undang nomor 31 tahun 1971 dengan Operasi Tertibnya yang
dilakukan oleh komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, namun dengan

13
kemajuan iptek modus operandi korupsi semakin canggih dan rumit sehingga Undang-
undang tersebut gagal dilaksanakan dan selanjutnya dikeluarkan sehingga Undang-
undang nomor 31 tahun 1999. Dan undang-undang nomor 20 tahun 2001.

KPK yang ditetapkan melalui Undangundang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk mengatasi, menanggulangi dan
memberantas korupsi merupakan komisi independen yang diharapkan mampu mengatasi
korupsi tersebut : Adapun yang merupakan agenda KPK adalah antara lain :

1. Membangun kultur yang mendukung pemberantasan korupsi


2. Mendorong pemerintah untuk melakukan reformasi publik sektor dengan
mewujudkan goo governce.
3. Memmbangun kepercayaan masyarakat.
4. Mewujudkan keberhasilan penindakan terhadap pelaku korupsi besar.
5. Memacu aparat hukum lain untuk memberantas korupsi.

Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam memberantas tindak korupsi di
Indonesia, antara lain sebagai berikut :

1. Upaya Pencegahan (Preventif)


a. Menanamkan semangat nasional yang positif dengan mengutamakan pengabdian
pada bangsa dan negara melalui pendidikan formal, informal dan agama.
b. Melakukan penerimaan pegawai berdasarkan prinsip keterampilan teknis.
c. Para pejabat dihimbau untuk mematuhi pola hidup sederhana dan memiliki tang-
gung jawab yang tinggi.
d. Para pegawai selalu diusahakan kesejahteraan yang memadai dan ada jaminan
masa tua.
e. Menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur dan disiplin kerja yang tinggi.
f. Sistem keuangan dikelola oleh para pejabat yang memiliki tanggung jawab etis
tinggi dan dibarengi sistem kontrol yang efisien.
g. Melakukan pencatatan ulang terhadap kekayaan pejabat yang mencolok.
h. Berusaha melakukan reorganisasi dan rasionalisasi organisasi pemerintahan mela-
lui penyederhanaan jumlah departemen beserta jawatan di bawahnya.

14
2. Upaya Penindakan (Kuratif)
Upaya penindakan, yaitu dilakukan kepada mereka yang terbukti melanggar
dengan dibe-rikan peringatan, dilakukan pemecatan tidak terhormat dan dihukum
pidana. Beberapa contoh penindakan yang dilakukan oleh KPK :
a. Dugaan korupsi dalam pengadaan Helikopter jenis MI-2 Merk Ple Rostov Rusia
milik Pemda NAD (2004).
b. Menahan Konsul Jenderal RI di Johor Baru, Malaysia, EM. Ia diduga melekukan
pungutan liar dalam pengurusan dokumen keimigrasian.
c. Dugaan korupsi dalam Proyek Program Pengadaan Busway pada Pemda DKI
Jakarta (2004).
d. Dugaan penyalahgunaan jabatan dalam pembelian tanah yang merugikan
keuangan negara Rp 10 milyar lebih (2004).
e. Dugaan korupsi pada penyalahgunaan fasilitas preshipment dan placement
deposito dari BI kepada PT Texmaco Group melalui BNI (2004).
f. Kasus korupsi dan penyuapan anggota KPU kepada tim audit BPK (2005).
g. Kasus penyuapan panitera Pengadilan Tinggi Jakarta (2005).
h. Kasus penyuapan Hakim Agung MA dalam perkara Probosutedjo.
i. Menetapkan seorang bupati di Kalimantan Timur sebagai tersangka dalam kasus
korupsi Bandara Loa Kolu yang diperkirakan merugikan negara sebesar Rp 15,9
miliar (2004).
j. Kasus korupsi di KBRI Malaysia (2005).
3. Upaya Edukasi Masyarakat/Mahasiswa
a. Memiliki tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial
terkait dengan kepentingan publik.
b. Tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh.
c. Melakukan kontrol sosial pada setiap kebijakan mulai dari pemerintahan desa
hingga ke tingkat pusat/nasional.
d. Membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang penyelenggaraan
pemerintahan negara dan aspek-aspek hukumnya.
e. Mampu memposisikan diri sebagai subjek pembangunan dan berperan aktif dalam
setiap pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat luas
4. Upaya Edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)
a. Indonesia Corruption Watch (ICW) adalah organisasi non-pemerintah yang
mengawasi dan melaporkan kepada publik mengenai korupsi di Indonesia dan
15
terdiri dari sekumpulan orang yang memiliki komitmen untuk memberantas
korupsi melalui usaha pemberdayaan rakyat untuk terlibat melawan praktik
korupsi. ICW la-hir di Jakarta pd tgl 21 Juni 1998 di tengah-tengah gerakan
reformasi yang meng-hendaki pemerintahan pasca-Soeharto yg bebas korupsi.
b. Transparency International (TI) adalah organisasi internasional yang bertujuan
memerangi korupsi politik dan didirikan di Jerman sebagai organisasi nirlaba
sekarang menjadi organisasi non-pemerintah yang bergerak menuju organisasi
yang demokratik. Publikasi tahunan oleh TI yang terkenal adalah Laporan
Korupsi Global. Survei TI Indonesia yang membentuk Indeks Persepsi Korupsi
(IPK) Indonesia 2004 menyatakan bahwa Jakarta sebagai kota terkorup di
Indonesia, disusul Surabaya, Medan, Semarang dan Batam. Sedangkan survei TI
pada 2005, Indonesia berada di posisi keenam negara terkorup di dunia. IPK
Indonesia adalah 2,2 sejajar dengan Azerbaijan, Kamerun, Etiopia, Irak, Libya
dan Usbekistan, serta hanya lebih baik dari Kongo, Kenya, Pakistan, Paraguay,
Somalia, Sudan, Angola, Nigeria, Haiti & Myanmar. Sedangkan Islandia adalah
negara terbebas dari korupsi.

Berikut adalah beberapa perspektif pengalaman praktik yang sudah terjadi di Indonesia:

1. Perspektif hukum memandang bahwa korupsi merupakan kejahatan (crime), koruptor


adalah penjahat dan oleh karenanya yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah
menindak para koruptor dengan jerat-jerat hukum serta memberantas korupsi dengan
memperkuat perangkat hukum seperti undang-undang dan aparat hukum. Perspektif
ini kemudian melahirkan matakuliah semacam Hukum Pidana Korupsi pada sejumlah
Fakultas Hukum.
2. Perspektif politik memandang bahwa korupsi cenderung terjadi di ranah politik,
khususnya korupsi besar (grand corruption) dilakukan oleh para politisi yang
menyalahgunakan kekuasaan mereka dalam birokrasi. Perspektif ini kemudian
melahirkan matakuliah semacam Korupsi Birokrasi atau Korupsi Politik pada
sejumlah fakultas Ilmu Politik.
3. Perspektif sosiologi memandang bahwa korupsi adalah sebuah masalah sosial,
masalah institusional dan masalah struktural. Korupsi terjadi di semua sektor dan
dilakukan oleh sebagian besar lapisan masyarakat, maka dianggap sebagai penyakit
sosial. Perspektif ini kemudian melahirkan antara lain matakuliah Sosiologi Korupsi
di sejumlah program studi Sosiologi atau Fakultas Ilmu Sosial.

16
4. Perspektif agama memandang bahwa korupsi terjadi sebagai dampak dari lemahnya
nilai-nilai agama dalam diri individu, dan oleh karenanya upaya yang harus dilakukan
adalah memperkokoh internalisasi nilai-nilai keagamaan dalam diri individu dan
masyarakat untuk mencegah tindak korupsi kecil (petty corruption), apalagi korupsi
besar (grand corruption). Perspektif ini kemudian melahirkan antara lain matakuliah
Korupsi dan Agama pada sejumlah Fakultas Falsafah dan Agama.
5. Beberapa perspektif lain yang menggarisbawahi fenomena korupsi dari sudut pandang
tertentu dapat menjadi fokus dari sebuah matakuliah.

I. PENGEMBANGAN KARAKTER ANTI KORUPSI.

Pendidikan antikorupsi bukanlah seperangkat aturan perilaku yang dibuat oleh


seseorang dan harus diikuti oleh orang lain. Sebagaimana halnya dengan kejahatan
lainnya, korupsi juga merupakan sebuah pilihan yang bisa dilakukan atau dihindari.
Karena itu pendidikan pada dasarnya adalah mengkondisikan agar perilaku siswa sesuai
dengan tuntutan masyarakat. Agar perilaku tersebut dapat menjadi karakter siswa, maka
beberapa langkah bisa dilakukan dalam pendidikan antikorupsi, diantaranya adalah:

a. Melatih siswa untuk menentukan pilihan perilakunya. Untuk itu siswa harus diberi
tahu tentang hak, kewajiban dan konsekuensi dari tindakan yang dilakukannya. Jika
dalam diskusi siswa mengemukakan pilihannya terhadap sesuatu maka guru bisa
memberikan beberapa alternatif lain, misalnya untuk mendapatkan nilai bagus banyak
cara yang bisa dilakukan. Berdasarkan alternatif pilihan tersebut siswa bisa
menentukan mana yang baik atau yang buruk. Jika siswa mampu memutuskan sendiri
berdasarkan pilihan yang dibuatnya, maka mereka juga berani mengatakan tidak atau
ya terhadap sesuatu.
b. Memberi siswa kesempatan untuk mengembangkan pemahaman yang luas dengan
menciptakan situasi yang fleksibel dimana siswa bisa berkerjasama, berbagi, dan
memperoleh bimbingan yang diperlukan dari guru. Karena itu kegiatan dalam
menganalisis kasus, diskusi, bermain peran atau wawancara siswa merupakan situasi
yang akan mengembangkan karakter antikorupsi pada diri siswa.
c. Tidak begitu terfokus pada temuan fakta seperti, berapa persen PNS yang terlibat
korupsi, berapa banyak uang Negara yang hilang dikorupsi pertahun atau berapa
hukuman yang tepat untuk pelaku korupsi dsb. Hal itu juga penting tetapi yang lebih
penting adalah bagaimana membantu siswa menemukan sumber informasi, seperti

17
bagaimana dan dengan cara apa 298 informasi bisa dikumpulkan, seberapa penting
informasi yang didapat, pengetahuan apa yang bisa diandalkan, dan posisi apa yang
harus dipilih dsb. Siswa diminta untuk menganalisis posisi yang diambilnya,
menyatakan pilihanya dan mengapa posisi lain tidak diambil. Dengan melatih siswa
menggunakan tehnik berpikir kritis pertanyaan tersebut akan dapat dijawabnya.
d. Melibatkan siswa dalam berbagai aktifitas sosial disekolah dan di lingkungannya. Ini
ditujukan untuk menanamkan rasa tanggung jawab dan respek pada orang lain dalam
rangka melatih mereka untuk berbagi tanggung jawab sosial dimana mereka tinggal.
Bukan berarti karakter lain tidak penting tetapi dengan mengemukakan rasa tanggung
jawab dan respek pada orang lain akan mengurangi rasa egoisme dan mementingkan
diri sendiri yang pada umumnya banyak dimiliki para koruptor. Implikasi Terhadap
Pembel

IMPLIKASI TERHADAP PEMBELAJARAN.

Mengacu pada tujuan dan target pendidikan antikorupsi di atas, maka pembelajaran
antikorupsi hendaklah didisain secara moderat dan tidak indoktrinatif. Pembelajaran yang
dialami siswa merupakan pembelajaran yang memberi makna bahwa mereka merupakan
pihak atau warganegara yang turut serta memikirkan masa depan bangsa dan Negara ini
ke depan, terutama dalam upaya memberantas korupsi sampai ke akarnya dari bumi
Indonesia. Hanya dengan menempatkan siswa pada posisi inilah pendidikan antikorupsi
akan mempunyai makna penting bagi siswa, jika tidak mereka akan cenderung
beranggapan bahwa pendidikan antikorupsi hanyalah urusan politik semata sebab mereka
bukanlah orang-orang yang melakukan korupsi dan belum tentu juga akan berbuat korup
dimasa depannya. Mengingat peran kognisi dalam pembentukan sikap dan perilaku
manusia,

maka pembentukan pengetahuan yang tepat tentang korupsi merupakan langkah


pertama dalam pendidikan antikorupsi. Untuk itu pembelajaran harus memberi perhatian
pada proses bagaimana pengetahuan itu bisa dimiliki siswa. Pengetahuan mungkin bisa
diperoleh melalui berbagai sumber, terakumulasi dan disimpan dalam bentuk
sebagaimana dia diterima, tetapi pengetahuan yang kuat dan mendalam berasal dari
keaktifan individu dalam membangun makna akan sesuatu seiring dengan interaksinya
dengan lingkungan fisik dan lingkungan sosialnya (Kozulin, 2003). Karena itu belajar
adalah proses aktif dalam membangun pengetahuan dan makna, dan membangun

18
pengetahuan akan memberi jalan untuk membangun pemahaman konseptual yang
merupakan faktor penting dalam memecahkan suatu masalah. Dengan demikian
pembelajaran antikorupsi haruslah melibatkan siswa secara aktif dalam membangun
pengetahuan yang bermakna. Belajar secara aktif memerlukan aktifitas belajar dimana
siswa diberikan otonomi yang cukup untuk mengontrol arah aktifitas belajar seperti
menginvestigasi, memecahkan masalah, belajar dalam kelompok kecil, dan sebagainya.
Dengan kata lain pembelajaran antikorupsi dapat menggunakan berbagai cara atau
strategi, asalkan cara atau strategi tersebut melibatkan siswa secara aktif baik fisik
maupun mental.

secara aktif terjadi ketika siswa mengamati atau mendengarkan seseorang ketika
melakukan sesuatu yang terkait dengan topic yang dipelajari. Misalnya mengamati ketika
guru menunjukan table indeks persepsi korupsi Negara-negara di dunia, mendengarkan
dialog tentang korupsi melalui audio, atau menonton potret kemiskinan masyarakat yang
tidak terselesaikan oleh Negara. Proses mengamati ini bisa dilakukan secara langsung
maupun tidak langsung. Dialog yang terjadi dalam proses belajar aktif bisa dengan diri
sendiri dan juga bisa dengan orang lain. Dialog dengan diri sendiri terjadi apabila siswa
berfikir reflektif tentang korupsi yang terjadi. Misalnya siswa bertanya pada dirinya
sendiri tentang bagaimana seharusnya dia berpikir dan berpendapat tentang korupsi. Pada
saat ini siswa berpikir tentang pikirannya sendiri dan ini menyangkut berbagai pertanyaan
yang tidak hanya berada pada aspek kognitif saja. Guru bisa meminta siswa untuk
menulis catatan di buku harian pada skala kecil atau membuat portofolio belajar pada
skala yang lebih besar.

Pada kesempatan lain siswa bisa menulis tentang apa yang dia pelajari dari topic
tersebut, bagaimana peranan pengetahuan itu dalam kehidupannya, bagaimana hal ini bisa
membuat dia merasa seperti itu dan lain sebagainnya. Sementara dialog dengan orang lain
dapat dilakukan dan muncul dalam berbagai bentuk. Dialog yang dinamis dan aktif
adalah ketika guru menempatkan siswa dalam kelompok kecil untuk mendiskusikan suatu
topik. Kadang kadang guru juga bisa menciptakan cara kreatif untuk terjadinya dialog
dengan orang lain, seperti mengundang nara sumber yang akan berbicara tentang
pemberantasan korupsi yang bisa dilakukan di kelas atau diluar kelas. Dialog bisa
dilakukan secara langsung, melalui tulisan atau melalui email.

19
BAB III

PENUTUP

A. SIMPULAN

Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 pengertian korupsi adalah perbuatan


melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dapat
merugikan keuangan atau perekonomian negara. Korupsi sebagai suatu fenomena sosial
bersifat kompleks, sehingga sulit untuk mendefisinikannya secara tepat tentang ruang
lingkup konsep korupsi. Korupsi di Indonesia berkembang secara sistemik, yang berarti
tindakan korupsi yang sepertinya sudah melekat kedalam sistem menjadi bagian dari
operasional sehari-hari dan sudah dianggap lazim serta tidak melanggar apa pun.

Tindakan korupsi dirasakan semakin buruk di negara kita ini, maka dari itu
banyak dilakukan upaya-upaya pemberantasan korupsi tetapi faktanya masih banyak
ditemukan para pejabat yang melakukan tindakan tersebut. Salah satu upaya yang
memang sedang gencar-gencarnya dilakukan
B. DAFTAR PUSTAKA.
- Gie. 2002. Pemberantasan Korupsi Untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran,
Kesejahteraan dan Keadilan.
- Mochtar. 2009. “Efek Treadmill” Pemberantasan Korupsi : Kompas
- UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
- Strategi pencegahan & penegakan hukum Tindak Pidana Korupsi
(Chaerudin,SH.,MH. Syafudin Ahmad Dinar,SH.,MH. Syarif Fadillah,SH.,MH.)
- Hamzah jur andi,(2005), pemberantasan korupsi, Jakarta,PT Raja Grafindo
Persada
- Dikoro wirdjono projo,(2005),tindak pidana tertentu di Indonesia, Jakarta,PT
Raja Grafindo Persada
- Komisi Pemberantasan Korupsi (2008), Survei Persepsi Masyarakat Terhadap
KPK dan Korupsi,Tahun 2008

20

Anda mungkin juga menyukai