BIDANG KEGIATAN:
KEWARGANEGARAAN
Pendahuluan
I. Latar belakang
Suburnya kejahatan korupsi di negeri kita tentu telah melahirkan berbagai efek
negatif, bukan hanya terhadap negara, tapi juga terhadap masyarakat luas. Selain merusak
kinerja birokrasi pemerintahan, kejahatan korupsi telah menyebabkan kehancuran yang luar
biasa hebat bagi kelangsungan hidup bangsa, utamanya watak dan moralitas generasi bangsa
ini selanjutnya. Artinya, tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas tidak
hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran hak-hak sosial
dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi digolongkan sebagai
kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.
Perlawanan terhadap korupsi saat ini tidak layak lagi menggunakan instrumen hukum
biasa (konvensional), melainkan cara yang luar biasa, dengan mengkategorikan korupsi
sebagai kejahatan kemanusiaan, di mana penanganannya juga dengan menggunakan
instrumen, teknis, dan prosedural regulasi pelanggaran HAM. Dengan begitu, korupsi bukan
lagi merupakan persoalan domestik suatu negara saja melainkan menjadi urusan setiap orang
tanpa dibatasi oleh sekat negara dan bangsa. Karenanya, bangsa di dunia memiliki hak untuk
turut serta melawan dan mewaspadainya sebagai suatu kejahatan yang harus diperangi secara
bersama. Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih
dibandingkan tindak pidana lainnya karena dampak negatif yang terjadi dan yang
ditimbulkan oleh tindak pidana ini.
1. Adakah hukum atau undang-undang yang mencangkup perihal hukuman mati bagi
koruptor di Indonesia?
2. Bagaimana penerapan hukuman mati bagi koruptor yang telah dilaksanakan oleh
Indonesia?
III. Tujuan
Manfaat dari penulisan artikel ini adalah menyediakan referensi bagi masyarakat
mengenai efektif hukuman mati dalam menurunkan angka kejadian korupsi di Indonesia
V. Tinjauan pustaka
1. Batasan Tindak Pidana Korupsi
Menurut buku KPK (KPK, 2006), tindak pidana korupsi dikelompokkan menjadi 7
macam. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut :
Perbuatan yang merugikan negara, dapat dibagi lagi menjadi 2 bagian yaitu :
1) Mencari keuntungan dengan cara melawan Hukum dan merugikan negara. Korupsi
jenis ini telah dirumuskan dalam Pasal Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001
Tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) :
a. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan yang paling lama 20 tahun dan denda
paling sedikit 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
b. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana yang di maksud dalam ayat (1)
dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan (KPK, 2006).
2) Menyalahgunakan jabatan untuk mencari keuntungan dan merugikan negara.
Penjelasan dari jenis korupsi ini hampir sama dengan penjelasan jenis korupsi pada
bagian pertama, bedanya hanya terletak pada unsur penyalahgunaan wewenang,
kesempatan, atau sarana yang dimiliki karena jabatan atau kedudukan. Korupsi jenis ini
telah diatur dalam Pasal 3 UU PTPK sebagai berikut:
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
di pidana dengan pidan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) (KPK, 2006).
b. Suap Menyuap
Suap menyuap yaitu suatu tindakan pemberian uang atau menerima uang atau
hadiah yang dilakukan oleh pejabat pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Contoh ; menyuap pegawai negei yang
karena jabatannya bisa menguntungkan orang yang memberikan suap, menyuap hakim,
pengacara, atau advokat. (KPK, 2006)
Dalam hal ini yang dimaksud dengan penyalahgunaan jabatan adalah seorang pejabat
pemerintah yang dengan kekuasaan yang dimilikinya melakukan penggelapan laporan
keuangan, menghilangkan barang bukti atau membiarkan orang lain menghancurkan barang
bukti yang bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri dengan jalan merugikan negara hal
ini sebagaiamana rumusan Pasal 8 UU PTPK (KPK, 2006).
Selain undang-undang tersebut diatas terdapat juga ketentuan pasal pasal lain yang
mengatur tentang penyalahgunaan jabatan, antara lain:
a. Pasal 9 UU PTPK;
b. Pasal 10 huruf a UU PTPK;
c. Pasal 10 huruf b UU PTPK;
d. Pasal 10 huruf c UU PTPK (KPK, 2006).
d. Pemerasan
Berdasarkan definisi dan dasar hukumnya, pemerasan dapat dibagi menjadi 2 yaitu :
1) Pemerasan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah kepada orang lain atau kepada
masyarakat. Pemerasan ini dapat dibagi lagi menjadi 2 (dua) bagian berdasarkan dasar
hukum dan definisinya yaitu:
2) Pemerasan yang di lakukan oleh pegawai negeri kepada pegawai negeri yang lain.
Korupsi jenis ini di atur dalam Pasal 12 UU PTPK (KPK, 2006).
Pengadaan adalah kegiatan yang bertujuan untuk menghadirkan barang atau jasa yang
dibutuhkan oleh suatu instansi atau perusahaan. Orang atau badan yang ditunjuk untuk
pengadaan barang atau jasa ini dipilih setelah melalui proses seleksi yang disebut dengan
tender (KPK, 2006).
Pada dasarnya proses tender ini berjalan dengan bersih dan jujur. Instansi atau
kontraktor yang rapornya paling bagus dan penawaran biayanya paling kompetitif, maka
instansi atau kontraktor tersebut yang akan ditunjuk dan menjaga, pihak yang menyeleksi
tidak boleh ikut sebagai peserta. Kalau ada instansi yang bertindak sebagai penyeleksi
sekaligus sebagai peserta tender maka itu dapat dikategorikan sebagai korupsi. Hal ini diatur
dalam Pasal 12 huruf i UU PTPK sebagai berikut:
Pegawai Negeri atau penyelenggara Negara baik langsung maupun tidak langsung
dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan yang pada saat
dilakukan perbuatan, seluruh atau sebagian di tugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
Yang dimaksud dengan korupsi jenis ini adalah pemberian hadiah yang diterima oleh
pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara dan tidak dilaporkan kepada KPK dalam jangka
waktu 30 hari sejak diterimanya gratifikasi. Gratifikasi dapat berupa uang, barang, diskon,
pinjaman tanpa bunga, tiket pesawat, liburan, biaya pengobatan, serta fasilitas-fasilitas
lainnya (KPK, 2006).
Korupsi jenis ini diatur dalam Pasal 12B UU PTPK dan Pasal 12C UU PTPK, yang
menentukan:
Korupsi dilakukan dalam berbagai sektor, yakni dalam penerimaan pajak, penerimaan
non pajak, belanja barang dan jasa, bantuan sosial, APBN/APBD, DAU/
DAK/Dekonsentrasi. Beberapa kasus menonjol (celebrity case) yang mendapat perhatian
besar masyarakat, dan membutuhkan upaya dan kerja keras aparat penegak hukum untuk
mengungkapkannya adalah antara lain kasus korupsi pajak, proyek Hambalang, simulator
SIM, dan import daging sapi, yang melibatkan pegawai pajak, anggota DPR, pejabat Polri,
petinggi partai politik, bahkan menteri (Samad, 2013).
Sebagai upaya penanggulangan tindak pidana korupsi sebagai kejahatan yang luar
biasa, pembuat undang-undang mem-formulasikan beberapa hal penting, yang dianggap
dapat dipakai sebagai alat untuk menjerat dan mendatangkan efek jera kepada pelaku, yakni
asas pembuktian terbalik dan sanksi yang berat, termasuk pidana mati. Kebijakan formulasi
pasal-pasal yang berkaitan dengan kedua hal ini tentu didasarkan pada pemikiran dan
dilatarbelakangi oleh keinginan untuk memberantas tindak pidana korupsi. Namun, kebijakan
formulasi ini tidak diikuti oleh kebijakan aplikasi. Sebagaimana asas pembuktian terbalik
enggan untuk diterapkan dalam persidangan tindak pidana korupsi, maka hakim tindak
pidana korupsi juga enggan untuk menerapkan ancaman pidana mati terhadap pelaku tindak
pidana, meskipun nyata-nyata negara telah dirugikan milyaran, bahkan trilyunan rupiah, dan
banyak anggota masyarakat kehilangan kesempatan untuk menikmati kesejahteraan akibat
dari tindak pidana tersebut. Menurut Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqodas, ada 3 kriteria
utama yang membuat seorang pelaku tindak pidana korupsi layak dijatuhi hukuman mati;
1. Nilai uang negara yang dikorupsi lebih dari Rp 100 miliar dan secara massif telah
merugikan rakyat;
2. Pelaku tindak pidana korupsi tersebut adalah pejabat negara;
3. Pelaku korupsi sudah berulang-ulang kali melakukan korupsi.
Salah satu penyebab tidak diterapkannya ancaman pidana mati kepada koruptor
karena perumusan ancaman pidana mati diikuti dengan syarat dalam keadaan tertentu
(Pasal 2 ayat (2). Dalam penjelasan Pasal ini dirumuskan bahwa, yang dimaksud dengan
keadaan dengan keadaan tertentu dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan
bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu
negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi
bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara
dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Ketentuan tersebut di atas mendapat tanggapan
dari Artidjo Alkostar, yang menyatakan ketentuan korupsi yang dilakukan pada waktu negara
dalam keadaan bahaya, terjadi bencana alam nasional, pengulangan tindak pidana korupsi,
atau negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter, malah kontradiksi dengan
pemberantasan korupsi sebab tidak jelas parameternya. Pernyataan demikian tentunya akan
terbantahkan jika diperhadapkan dengan keharusan seorang hakim untuk bertindak kreatif
sesuai dengan makna ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, di mana hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian,
ketidakjelasan pa-rameter seperti dikemukakan di atas bukanlah merupakan alasan yang
menyebabkan hingga kini belum ada hukuman mati bagi koruptor di Indonesia. Hukuman
terberat yang pernah dikenakan terhadap koruptor di Indonesia adalah hukuman seumur
hidup yang pernah dikenai terhadap Dicky Iskandar Dinata yang waktu terbukti melakukan
tindak pidana korupsi secara berulang, terhadap Bank Duta dan Bank BNI.
Hukuman mati pada dasarnya merupakan bentuk hukuman klasik, yang diasumsikan
sebagai bentuk hukuman yang mampu menjerakan bagi yang belum melakukan tindakpidana.
Bentuk hukuman mati, masih merupakan hukuman yang memiliki daya dan power untuk
membuat orang lain jera. Subtansi hukuman yang ideal ketika diterapkan, adalah sejauh mana
hukuman tersebut mampu menteror secara psikis kepada orang lain, untuk tidak melakukan
perbuatan serupa. Dalam berbagai kasus tidak Jarang pelaku kejahatan yang merupakan
residivis yang terus berulang kali melakukan kejahatan karena ringannya hukuman.
Seringkali penolakan hukuman mati hanya didasarkan pada sisi kemanusiaan terhadap pelaku
tanpa melihat sisi kemanusiaan dari korban sendiri, keluarga, kerabat ataupun masyarakat
yang tergantung pada korban. Lain halnya bila memang keluarga korban sudah memaafkan
pelaku tentu vonis bisa diubah dengan prasyarat yang jelas (Anon n.d.).
Pengaturan hukuman mati dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi hanya ada
1(satu) pasal yang mengaturnya, yaitu pasal 2 UU No.31 tahun 1999 jo UU No.20 tahun
2001tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yang berbunyi sebagai berikut:
Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Pasal 2 menyebutkan:
Yang dimaksud dengan secara melawan hukum dalam pasal ini mencakup
perbuatan melawan hokum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun
perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila
perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-
norma kehidupan social dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam
ketentuan ini, kata dapat sebelum frasa merugikan keuangan atau perkonomian Negara
menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formiil, yaitu adanya tindak
pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan
bukan dengan timbulnya akibat.
Yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam ketentuan ini adalah keadaan
yangdapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu
apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi
penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan
sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan penanggulangan tindak
pidana korupsi.
Ketentuan tentang tindak pidana yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) merupakan
delik formil. Dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 juga dijelaskan
sebagai berikut: Dalam undang-undang ini, tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas
sebagai tindak pidana formiil. Hal ini sangat penting untuk pembuktian. Dengan rumussan
secara formiil yang dianut dalam undang-undang ini, meskipun hasil korupsi telah
dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan
tetap dipidana.
Dengan dirumuskanya tindak pidana korupsi sebagai delik formiil, maka adanya
kerugian negara atau kerugian perekonomian negara tidak harus sudah terjadi, karena yang
dimaksud dengan delik formiil adalah delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya
tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang (Wiyono, 2008) .
Dengan demikian agar orang dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi
seperti yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1), tidak perlu adanya alat-alat bukti untuk
membuktikan bahwa memamng telah tejadi kerugian negara atau perekonomian negara.
Jika dibandingkan dengan ketentuan tindak pidana korupsi yang terdapat dalam Pasal
2 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 dengan pasal 1 ayat (1) huruf a Undang-
undang Nomor 3 Tahun 1971, dapat diketahui bahwa ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2
ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 merupakan delik formiil, sedangkan
ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971
merupakan delik materiil, yaitu delik yang dianggap telah terbukti dengan ditimbulkannya
akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang (Penerapan
Hukuman Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi ( Sebuah Upaya Progresif dalam
Pemberantasan Korupsi) Oleh: Muwahid, n.d.).
MENGADILI:
Salah satu perubahan yang dilakukan oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
terhadap Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah perubahan penjelasan Pasal 2 ayat
(2). Sesudah dilakukan perubahan penjelasan pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan keadaan tertentu dalam Pasal 2 ayat (2) adalah keadaan yang dapat
dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila tindak
pidana korupsi dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan
keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan social yang
meluas, penanggualngan krisis moneter, dan penanngulangan tindak pidana korupsi.
Berdasarkan ketentuan yang teradapat dalam Pasal 2 ayat( 2) di atas hukuman mati
dapat diterapkan, apabila korupsi dilakukan dalam kedaaan tertentu. Berhubung yang
dipergunakan adalah kata dapat dalam pasal 2 ayat (2) tersebut, maka penjatuhan pidana
mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi sifatnya adalah fakultatif. Artinya meskipun
tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal
2 ayat (2), terhadap pelaku korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dapat saja
tidak dijatuhi hukuman mati (Wiyono, 2008). Menurut penulis, kata dapat adalah bersifat
subjektif dan membuka peluang untuk disalahtafsirkan dalam rangka meringankan pelaku
korupsi. Keadaan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang demikian itu,
membuat gerakan korupsi apinya semakin menyala, sementara gerakan pemberantasan
korupsi apinya semakin redam.
Jika dibandingkan dengan pengaturan hukuman mati yang terdapat dalam Undang-
Undang tentang Narkotika, maka pengaturan hukuman mati dalam undang-undang tindak
pidana jauh dari sempurna, padahal antara tindak pidana korupsi dan tindak pidana narkotika
sama-sama merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime). Dalam
Undangundang Narkotika pengaturan hukuman mati termuat dalam Pasal 80 ayat (1), (2), (3),
Pasal 81 (3) huruf a, Pasal 82 ayat (1) huruf a, pasal 82 ayat (2) huruf a, pasal 82 ayat (3)
huruf a. Sebagian besar pasal-pasal dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
hanya mengatur mengenai pidana penjara dan denda, misalnya pasal 3, 5, 6,7,8,9,10,12b,12c,
dan 13.
4. Ketentuan Pelaksanaan Pidana Mati Menurut Hukum Pidana Indonesia
Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati diatur dalam UU No.2/Pnps/1964, yaitu Penpres
Nomor 2 Tahun 1964 (LN 1964 No 38) yang ditetapkan menjadi undang-undang dengan UU
Nomor 5 Tahun 1969. UU No.2/Pnps/1964 ini mengatur semua prosedur yang harus
dilakukan sejak terpidana divonis oleh Pengadilan, baik itu Pengadilan Negeri maupun
Pengadilan Militer.Berdasarkan UU No.2/Pnps/1964, sejak sebelum eksekusi pidana mati
dilaksanakan, terpidana mati akan melalui beberapa hal berikut:
1. Selagi menunggu pidana mati dilaksanakan, Terpidana ditahan dalam penjara atau
tempat lain yang khusus ditunjuk Jaksa (Pasal 5).
2. Waktu pelaksanaan pidana mati harus diberitahukan kepada terpidana tiga kali dua
puluh empat jam sebelum saat pelaksanaan pidana mati (Pasal 6 ayat 1).
3. Apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan
empat puluh hari setelah anaknya dilahirkan (Pasal 7).
4. Pidana mati dilaksanakan tidak di muka umum dan dengan cara sesederhana
mungkin, kecuali ditetapkan lain oleh Presiden (Pasal 9).
5. Kepala Polisi Daerah membentuk suatu Regu Penembak dari Brigade Mobile yang
terdiri dari seorang Bintara, 12 orang Tamtama, di bawah pimpinan seorang Perwira
(Pasal 10 ayat 1).
6. Regu Penembak ini berada di bawah perintah Jaksa Tinggi/Jaksa sampai selesainya
pelaksanaan pidana mati (Pasal 10 ayat 3).
8. Jika diminta, terpidana dapat disertai oleh seorang perawat rohani (Pasal 11 ayat 2).
10. Setiba di tempat pelaksanaan pidana mati, komandan pengawal menutup mata
terpidana dengan sehelai kain, kecuali terpidana tidak menghendakinya (Pasal 11
ayat 4).
11. Terpidana dapat menjalani pidana secara berdiri, duduk atau berlutut (Pasal 12 ayat
1).
12. Jika dipandang perlu, Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab dapat
memerintahkan supaya terpidana diikat tangan serta kakinya ataupun diikat kepada
sandaran yang khusus dibuat untuk itu (Pasal 12 ayat 2).
13. Setelah terpidana siap ditembak, Regu Penembak dengan senjata sudah terisi menuju
ke tempat yang ditentukan oleh Jaksa Tinggi/Jaksa (Pasal 13 ayat 1).
14. Jarak antara titik di mana terpidana berada dan tempat Regu Penembak tidak boleh
melebihi 10 meter dan tidak boleh kurang dari 5 meter (Pasal 13 ayat 2).
15. Apabila semua persiapan telah selesai, Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab
untuk pelaksanaannya, memerintahkan untuk memulai pelaksanaan pidana mati
(Pasal 14 ayat 1).
16. Dengan segera para pengiring terpidana menjauhkan diri dari terpidana (Pasal 14
ayat 2).
17. Dengan menggunakan pedang sebagai isyarat, Komandan Regu Penembak memberi
perintah supaya bersiap, kemudian dengan menggerakkan pedangnya ke atas ia
memerintahkan regunya untuk membidik pada jantung terpidana dan dengan
menyentakkan pedangnya ke bawah secara cepat, dia memberikan perintah untuk
menembak (Pasal 14 ayat 3).
18. Apabila setelah penembakan itu, terpidana masih memperlihatkan tandatanda bahwa
ia belum mati, maka Komandan Regu segera memerintahkan kepada Bintara Regu
Penembak untuk melepaskan tembakan pengakhir dengan menekankan ujung laras
senjatanya pada kepala terpidana tepat di atas telinganya. (Pasal 14 ayat 4).
19. Untuk memperoleh kepastian tentang matinya terpidana dapat diminta bantuan
seorang dokter. (Pasal 14 ayat 5).
20. Penguburan diserahkan kepada keluarganya atau sahabat terpidana, kecuali jika
berdasarkan kepentingan umum Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab
memutuskan lain. (Pasal 15 ayat 1)
21. Dalam hal terahir ini, dan juga jika tidak ada kemungkinan pelaksanaan penguburan
oleh keluarganya atau sahabat terpidana maka penguburan diselenggarakan oleh
Negara dengan mengindahkan cara penguburan yang ditentukan oleh
agama/kepercayaan yang dianut oleh terpidana (Pasal 14 ayat 2).
Dari penjelasan Pasal-Pasal dalam UU No.2/Pnps/1964 di atas, metode mati di
Indonesia berdasarkan hukum positif adalah tembak sampa mati terhadap Terpidana yang
dilakukan oleh sebuah grup penembak.
Berdasarkan Resolusi 2857 tahun 1971 dan Resolusi 32/61 tahun 1977, PBB telah
mengambil langkah mengumumkan penghapusan pidana mati sebagai tujuan universal yang
ingin dicapai, meskipun secara terbatas diberlakukan untuk beberapa kejahatan. Beberapa
konvensi regional juga telah disepakati sebagai upaya mendorong penghapusan pidana mati,
antara lain Konvensi Eropa tentang Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar,
dan Konvensi Amerika tentang hak-hak Asasi Manusia. Dengan kata lain, sistem hukum di
dunia semakin menjauh dari hukuman mati. Perdebatan tentang hukuman mati telah ada sejak
jaman Cesare Beccaria di sekitar tahun 1780, yang pernah menyatakan menentang hukuman
mati karena dianggap tidak mahusiawi dan tidak efektif.
Perdebatan tentang efektivitas pidana mati, khususnya bagi tindak pidana korupsi
masih tetap terjadi. Perdebatan ini didasarkan pada asumsi apakah penjatuhan pidana mati
efektif dalam menanggulangi kejahatan korupsi? Terdapat dua kelompok yang secara
komprehensif mengajukan argumentasi mereka, baik yang menentang (abolisionis) maupun
yang mendukung (retensionis) hukuman mati. Kelompok abolisionis mendasarkan
argumennya pada beberapa alasan. Pertama, hukuman mati merupakan bentuk hukuman yang
merendahkan martabat manusia dan bertentangan dengan hak asasi manusia. Atas dasar
argumen inilah kemudian banyak negara menghapuskan hukuman mati dalam sistem
peradilan pidananya. Sampai sekarang ini sudah 97 negara menghapuskan hukuman mati.
6. Penerapan Hukuman Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif
Perlindungan HAM
Jika kita melihat secara tekstual, maka penerapan hukuman mati bertentangan dengan
Hak Asasi Manusia sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 28A, dan 28I UUD 1945, Pasal 4
dan Pasal 9 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999, dan Pasal 3 DUHAM. Pasal 28A UUD
1945 yang menentukan:
bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan
kehidupannya. Pasal 28I ayat (1) menentukan: hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,
hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hokum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hokum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun.
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan
persamaan di hadapan hokum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hokum yang berlaku
suurt adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh
siapapun.
Pasal 3 DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) menentukan:
(setiap orang mempunyai hak untuk hidup, hak atas kebebasan, dan hak atas
keamanan diri). Pasal 3 ini tidak sepesifik mengatur tentang hukuman mati. Namun dalam
perkembangan selanjutnya pasal ini ditafsirkan secara implicit menghendaki penghapusan
hukuman mati. Hal ini dibuktikan dengan dikutipnya pasal 3 DUHAM di dalam konsideran
dari instrument-intrumen internasional yang bertujuan untuk menghapuskan hukuman mati,
seperti bagian konsideran Scond Optional Protocol yang disponsori oleh PBB: meyakini
bahwa penghapusan hukuman mati dapat memberikan sumbangsih bagi meningkatnya harkat
dan martabat manusia serta bagi perkembangan progresif hak-hak asasi manusia.
Berdasarkan dasar hukum sebagaimana di atas, beberapa orang berpendapat bahwa
penerapan hukuman mati bertentangan dengan HAM (Lubis, 2008).
Sudah menjadi pengetahuan di kalangan para ahli hokum bahwa criminal justice
system is not infalible. Sistem peradilan pidana tidaklah sempurna. Peradilan pidana dapat
saja keliru dalam menghukum seseorang yang tidak bersalah. Polisi, jaksa, maupun hakim
adalah manusia yang bias saja keliru ketika menjalankan tugasnya. Berkaitan dengan
hukuman mati maka kekeliruan tersebut dapat berakibat fatal karena penerapan hukuma mati
bersifat irreversibel. Orang yang telah dieksekusi mati tidak dapat dihidupkan kembali lagi
walaupun di kemudian hari diketahui bahwa yang bersangkutan tidak bersalah. Kelompok
yang berpandangan kontra terhadap hukuman mati, perjuangannya adalah upaya
perlindungan hak hidup, permasalahanya upaya tersebut hanya bersifat sepihak yaitu kepada
hak hidup pelaku kejahatan, kemudian bagi korban dan para calon korban, siapa yang
memperjuangkan.
Sementara kelompok yang lain, berbendapat bahwa hukuman mati masih relevan
untuk diterapkan, kelompok ini menganggap bahwa hukuman mati akan memberikan efek
jera (detteren effect), sehingga akan mencegah terulangnya tindak pidana serupa oleh oleh
orang lain. Perdebatan dua arus kuat tersebut, pada dasarnya bisa ditarik titik temunya, point
penting keduanya adalah, bagaimana agar manusia sebagai subjek peradaban ini, dilindungi
harkat dan martabatnya sebagai manusia, sehingga produktifitas peradabannya akan terus
berlangsung, dan eksistensinya sebagai manusia dapat dipertahankan. Doktrin-doktrin
humanisme, telah mengajarkan tentang pentingnya harmonisasi dan perdamaian umat dengan
umat, serta umat dengan lingkungannya.
a. Pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang
bersifat khusus dan alternative.
b. Pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang
apabila terpidana berkelalukuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur
hidup atau selama 20 tahun.
c. Pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa.
d. Eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa
ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit
jiwa tersebut sembuh (MK, 2007).
Hukuman mati yang dipraktikkan negara terhadap warga negaranya (yang melakukan
tindak pidana) adalah merupakan wujud kongkrit dari upaya negara untuk menciptakan
harmonisasi dan perlindungan hak hidup warganegaranya. Upaya mempertentangkan bentuk
hukuman mati dengan konsep HAM, menjadi tidak relevan untuk didiskusikan dan
diberdebatkan. Dalam hal ini, Maria Farida (Hakim Mahkamah Konstitusi dan Pakar Ilmu
perundang-undangan Fakultas Hukum UI mengingatkan: Penjatuhan hukuman mati atas diri
seseorang terjadi karena dalam menjalankan hak asasinya orang yang bersangkutan telah
melanggar hak asasi orang lain di lingkungannya. Dengan demikian, penerapan hukuman
mati bertujuan untuk melindungi masyarakat yang takut tindak pidana tertentu terulang
kembali baik oleh pelaku yang sama maupun orang lain, kita tentu sering mendengar di
masyarakat bahwa para pelaku pembunuhan ataupun pengedar narkotika yang telah
menjalani hukuman atau para residivis seringkali mengulangi perbuatannya begitu kembali
ke masyarakat, tentu saja, tanpa menafikan sebagian residivis yang kemudian berperilaku
baik selepas dari penjara. Masalah sangat penting yang harus diperhatikan pemerintah terkait
dengan hukuman mati adalah memberikan kepastian kepada para terpidana mati mengenai
pelaksanaan eksekusi..
Memperhatikan korban yang hak hidupnya terampas oleh pelaku, serta potensi
hilangnya hak hidup bagi yang lain, idealnya merupakan pertimbangan tersendiri dalam
menentukan kesimpulan apakah hukuman mati tersebut bertentangan dengan HAM atau
tidak. Interprestasi parsial (sepenggal) akan pelarangan hukuman mati atau klaim terjadinya
pelanggaran HAM atas hukuman mati, akan menjadi penafsiran yang dangkal dan tidak
proporsional dalam konteks perlindungan hak hidup atas nama perlindungan HAM.
1. Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 26 Tahun 2006 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia menyatakan Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia.
2. Pasal 4 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2006 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
menyatakan Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran
dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun dan oleh siapapun
3. Pasal 9 ayat (1) Undang-undang Nomor 26 Tahun 2006 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia menyatakan Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan
meningkatkan taraf kehidupannya.
Penerapan pasal yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2006 tentang
pengadilan HAM di atas tentu peruntukannya adalah untuk masyarakat secara umum dan
bersifat prefentif, agar tidak terjadi pelanggaran atas hak hidup, menjadi tidak relevan ketika
pasal tersebut digunakan untuk melindungi hak hidup pelaku kejahatan penghilangan nyawa
orang lain, serta mengabaikan hak hidup masyarakat pada umumnya. Dengan demikian,
hukuman mati pada dasarnya sesuai dengan semangat/spirit Undang-undang Perlindungan
Hak Asasi Manusia. Bahkan dalam pasal 36 dan 37 UU Nomor 26 Tahun 2006 tentang
tentang Pengadilan HAM ditegaskan bahwa hukuman mati tidak melanggar HAM. Namun
demikian menurut Undang-undang ini penerapan hukuman mati tersebut hanya untuk
beberapa jenis kejahatan, yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kejahatan genosida yang dimaksud dalam Undang-undang ini berupa perbuatan yang
dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian
kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara membunuh anggota
kelompok, mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota
kelompok, menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan
secara fisik baik seluruh atau sebagiannya, memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan
mencegah kelahiran di dalam kelompok, memindahkan secara paksa anak-anak dari
kelompok tertentu ke kelompok lain.
Berdasarkan asas lex posteriori derogate legi anteriori (peraturan yang berlaku
kemudian mengesampingkan peraturan yang dahulu), maka Undang-undang Nomor 39 tahun
1999 tentang HAM dikesampingkan oleh Undang-undang Nomor 26 tahun 2006 tentang
pengadilan HAM, maka dapat disimpulkan bahwa hukuman mati tidak melanggar HAM
karena undang-undang tentang pengadilan HAM juga memuat tentang hukuman mati.
Semangat anti hukuman mati yang disuarakan oleh mereka yang sepakat hukuman
mati dihapuskan, sampai hari ini hanya pada level perdebatan akademis, yang tidak
memungkinkan terealisasi sepanjang Undang-Undang yang mengatur penerapan hukuman
mati belum dihapuskan. Dalam perpektif HAM, pendapat yang dominan dan telah menjadi
menstream dunia tentang HAM, adalah penghapusan hukuman mati, karena hukuman mati
dinilai sebagai bentuk hukuman yang sangat tidak manusiawi dan non-adab. Dalam konteks
ini, pernahkah mereka (kelompok pro hukuman mati dihapuskan) mencoba merenungkan,
bahwa mereka yang telah melakukan serangkaian tindakan pidana tersebut, merupakan
perbuatan yang manusiawi. Untuk itu pasal 28A UUD 1945 tersebut menuntut adanya
interprestasi extensif, agar melahirkan rumusan hukum yang proporsional terhadap hukuman
mati. Paling tidak argumen untuk memperkuat keberadaan hukuman mati adalah:
1) Pidana mati menjamin bahwa si penjahat tidak akan berkutik lagi. Masyarakat
tidak akan diganggu lagi oleh orang ini sebab mayatnya telah dikuburkan sehingga tidak
perlu takut lagi terhadap terpidana.
2) pidana mati merupakan suatu alat represi yang kuat bagi pemerintah.
3) Dengan alat represi yang kuat ini kepentingan masyarakat dapat terjamin
sehinggadengan demikian ketentraman dan ketertiban hukum dapat dilindungi.
Dalam perspektif HAM internasional pelarangan hukuman mati, juga tidak bersifat
mutlak, artinya hukuman mati dalam kasus-kasus tertentu hukuman tersebut harus diterapkan,
Pasal 6 ayat (2) Kovenen Internasional Tentang Hak Sipil Politik menyatakan bahwa Di
negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusannya dapat diberikan hanya
untuk kejahatan yang paling berat, sesuai dengan undang-undang yang berlaku pada waktu
kejahatan demikian dilakukan, dan tanpa melanggar suatu ketentuan dari Kovenan ini dan
Konvensi Tentang Pencegahan Dan Penghukuman Kejahatan Pemusnahan (suku) Bangsa.
Hukuman ini hanya boleh dilaksanakan dengan putusan terakhir dari pengadilan yang
berwenang. Lebih lanjut Pasal 6 ayat (4) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil Politik
mengatur bahwa Seseorang yang telah dihukum mati harus mempunyai hak untuk memohon
pengampunan atau keringanan hukuman. Amnesti, pengampunan, atau keringanan hukuman
mati dapat diberikan dalam segala bab.Bagi penulis, tindak pidana korupsi tetap merupakan
jenis kejahatan paling berat (extra ordinarry crime) maka bentuk hukuman mati adalah
hukuman yang ideal dan sederajat dengan jenis perbuatannya. Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (DUHAM) secara tegas memandang bahwa hukuman mati sudah tidak ideal lagi
sebagai bentuk hukuman yang diterapkan. Pandangan DUHAM, memungkinkan relevan
untuk daerah atau negara yang tingkat korupsinya masih rendah dan teori tujuan dalam
pemidaan akan berjalan dengan efektif, bagaimana dengan negara-negara yang level
korupsinya sudah massif dan sudah menjadi budaya, maka teori tujuan menjadi tidak
mempunyai kekuatan untuk memerangi korupsi. Proses membuat penjahat korupsi menjadi
sadarpun butuh waktu yang sangat lama, karena lembeknya bentuk hukuman yang diterima.
Bentuk hukuman mati dalam UU Tipikor yang ada dalam pasal 2 ayat 1(hukuman
mati dalam kasus-kasus tertentu), jauh lebih keras dibanding dengan rekomendasi yang
diberikan oleh UNCAC, diantara yang direkomendasikannya adalah sanksi kerja sosial
masyarakat, denda,dan pembebasan bersyarat (Walters, 2006). Bentuk-bentuk hukuman yang
ditawarkan tersebut adalah pandangan dari kelompok tertentu yang anti terhadap hukuman
mati, hukuman yang lebih manusiawi yang bisa membuka peluang terjadinya proses
penyadaran dan perlindungan terhadap masyarakat.Akan tetapi, di sisi lain mereka juga
berpandangan bah korupsi merupakan kejahatan yang serius, dengan membawa efek yang
serius pula. Pemikiran anti hukuman mati bagi koruptor, dengan alasan sebagai bentuk
pelanggaran HAM, seperti yang didalilkan di atas menjadi tidak logis.
Dalam konteks ini, penerapan hukuman mati bagi koruptor, bukanlah merupakan
pelanggaran HAM, dan hukuman mati merupakan alat bantu yang efektif dalam rangka
memberantas korupsi sampai keakar-akarnya. Asumsi yang didasarkan pada pengalaman
barat, bahwa hukuman mati, tidak bisa menjadikan proses penyadaran kepada calon penjahat,
jelas hal tersebut merupakan utopia, karena belum pernah ada kasus korupsi yang dijatuhi
hukuman mati di Indonesia, bagaimana kemudian dikatakan bahwa hukuman mati
merupakan bentuk hukuman yang belum mampu memberikan efek jera. Mengkaji tentang
perlindungan hak hidup jelas tidak pada tempatnya apabila dikaitkan dengan hukuman mati
kepada koruptor. Jenis kejahatan yang bersifat extra ordinary, menjadi tidak tepat apabila
jenis hukuman yang diperuntukkannya tidak bersifat extra ordinary.
Pidana mati adalah pidana yang terberat, hal ini dikarenakan pelaksanaanya berupa
penyerangan terhadap hak hidup bagi manusia, yang sesungguhnya hak ini hanya dapat
dicabut ditangan Tuhan, maka tidak heran sejak dulu sampai sekarang menimbulkan perdapat
pro dan kontra.
Pandangan yang kontra terhadap penerapan hukuman mati (abolisonism) di Indonesia,
memandang bahwasanya pidana mati sangat bertentangan dengan Hak Asasi Manusia,
sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 28A, dan 28I UUD 1945, Pasal 4 dan Pasal 9
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999, dan Pasal 3 DUHAM.
Sementara itu pandangan yang pro akan pidana mati beranggapan bahwa pidana mati
masih harus dipertahankan dan diterapkan hanya pada kejahatan yang luar biasa (extra
ordinary crime) seperti tindak pidana korupsi, untuk diterapkan, kelompok ini menganggap
bahwa hukuman mati akan memberikan efek jera (detteren effect), sehingga akan mencegah
terulangnya tindak pidana serupa oleh oleh orang lain. Perdebatan dua arus kuat tersebut,
pada dasarnya bisa ditarik titik temunya, point penting keduanya adalah, bagaimana agar
manusia sebagai subjek peradaban ini, dilindungi harkat dan martabatnya sebagai manusia,
sehingga produktifitas peradabannya akan terus berlangsung, dan eksistensinya sebagai
manusia dapat dipertahankan.
Mahkamah Konstitusi sendiri pernah memutuskan bahwa hukuman mati tidak bertentangan
Undang-Undang Dasar, dalam kasus pengujian Undang-undang Narkotika terhadap Pasal
28A, dan Pasal 28I ayat UUD RI Tahun 1945, sebagaimana uraian berikut:
Menimbang pula bahwa dengan memperhatikan sifat irrevocable pidana mati,
terlepas dari pendapat Mahkamah perihal tidak bertentanganya pidana mati dengan UUD
1945 bagi kejahatan-kejahatan tertentu dalam undang-undang Narkotika yang dimohonkan
pengujian dalam permohonan a quo, Mahkamah berpendapat bahwa ke depan, dalam rangka
pembaharuan hokum pidana nasional dan harmonisasi peraturan perundangundangan yang
terkait dengan pidana mati, maka perumusan, penerapan, maupun pelaksanaan pidana mati
dalam system peradilan pidana di Indonesia hendaklah memperhatikan dengan sungguh
sungguh hal-hal berikut:
a. Pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana
yang bersifat khusus dan alternatif;
b. Pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun
yang apabila terpidana berkelalukuan terpuji dapat diubah dengan pidana
penjara seumur hidup atau selama 20 tahun;
c. Pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa;
d. Eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa
ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang
sakit jiwa tersebut sembuh
Mengkritisi perdebatan-perdebatan di atas, marilah kita bersama-sama bijak dalam
memperhatikan korban yang hak hidupnya terampas oleh pelaku, serta potensi hilangnya hak
hidup bagi yang lain, idealnya merupakan pertimbangan tersendiri dalam menentukan
kesimpulan apakah hukuman mati tersebut bertentangan dengan HAM atau tidak.
Salah satu undang-undang yang masih memberlakukan ancaman pidana mati adalah
Undang-Undang nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kebijakan formulasi pasal-pasal yang berkaitan
dengan kedua hal ini tentu didasarkan pada pemikiran dan dilatarbelakangi oleh keinginan
untuk memberantas tindak pidana korupsi.
Pemberlakuan ancaman pidana mati dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, pada Pasal 2 ayat (2) menyebutkan Dalam hal tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat
dijatuhkan. Tindak pidana yang dimaksudkan dalam ayat (1) yakni setiap orang yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonornian negara.
Ancaman pidana mati yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (2) ternyata boleh diterapkan
dengan syarat yakni adanya alasan pemberatan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi.
Pembuat undang-undang memasukan keadaan tertentu sebagai alasan pemberatan. Dalam
penjelasan pasal ini yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini sebagai
pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada
waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu
terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu
negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Pada Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa substansi dari
Pasal 2 ayat (2) tetap yang mengalami perubahan hanya dalam penjelasan pasalnya saja.
Dalam undang-undang ini yang dimaksudkan dengan keadaan tertentu yakni keadaan yang
dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila
tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi
penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan
sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak
pidana korupsi.
Faktor-faktor sehingga penerapan ancaman pidana mati tidak diterapkan dalam
tindak pidana korupsi yakni undang-undang sendiri dimana pembuat kebijakan legislatif
kurang serius dalam perumusan ancaman pidana mati terlihat dari adanya syarat yang
menjadi alasan pemberatan sehingga pidana mati dapat diterapkan. Hal tersebut dapat dilihat
dari penjelasan pasal 2 ayat (2) Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001, yakni pemberatan
tersebut dilakukan dalam keadaan tertentu. Yang dimaksudkan dalam keadaan tertentu
yakni :
1. Dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan
bahaya;
Keadaan bahaya ini juga perlu penafsiran, hal ini menambah ketidak jelasan dari
undang-undang tersebut.
2. Bencana alam nasional;
Bencana nasional ini juga perlu penafsiran apakah bencana alam di suatu provinsi
mempengaruhi provinsi yang lain sehingga dapat dikatakan bencana nasional.
3. Penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas
Kerusuhan sosial yang meluas, kata meluas ini juga menjadi tidak jelas.
4. Penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan;
Krisis ekonomi dan moneter ini juga menjadi hal yang tidak pasti, karena kapan
suatu negara mengalami krisis ekonomi dan moneter.
5. Pengulangan tindak pidana korupsi.
Hal ini dapat diterima, karena pengulanggan (residivis) dalam tindak pidana
korupsi
Syarat-syarat tersebut masih multi tafsir, hal ini tentunya berimplikasi pada belum
adanya penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Idealnya didalam UU
tipikor harus dengan tegas dirumuskan lebih luas lagi terkait dengan pidana mati, sehingga
ada tolak ukur bagi penegak hukum dalam menafsirkan berapa kerugian negara yang dapat
diberikan sanksi pidana mati.
Pro dan kontra pidana mati menjadi pengkajian dan perdebatan yang tidak henti, baik
di kalangan akademisi hukum, praktisi hukum, pemerintahan, lembaga swadaya masyarakat,
masyarakat, bahkan dunia Internasional. Mengapa tidak?, akhir-akhir ini berita eksekusi
pidana mati di Indonesia terhadap 6 (enam) terpidana mati kasus Narkoba yaitu ; Daniel
Enemuo (Nigeria), Marcho Archer Cardoso Morsira (Brazil), Rani Andriani (Indonesia),
Namaona Denis (Malawi) dan Ang Kiem Sosi (Belanda) menimbulkan kontroversial
berkaitan dengan berbagai aspek, di satu sisi penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku
tindak pidana Narkoba merupakan harga mati, karena Indonesia sudah menjadi Negara
Darurat Narkoba yang harus segera ditangani dengan tuntas, memiliki nilai tinggi kejelasan
hukumnya dan menyeluruh dengan melibatkan berbagai pihak, dilain pihak sorotan dan
keritikan dari berbagai lapisan terus menghantam Indonesia, baik dari Intern maupun Ekstern,
dengan menyatakan Indonesia mundur kebelakang karena dianggap tidak menghormati HAM
dan bertentangan dengan aspirasi masyarakat Internasional yang hampir sebagai besar sudah
menghapuskan pidana mati dalam KUHPnya.
Dilema ini, harus disikapi secara bijaksana dan jernih oleh pemerintah Indonesia dan
juga rakyat Indonesia. Sebagai sebuah negara yang berdaulat tentu saja Indonesia harus
punya sikap, karena darurat narkoba saat ini sudah tidak bisa ditolerir, yang terpenting
Penerapan pidana mati di Indonesia sudah memenuhi aspek legalitas, artinya pengaturan dan
penerapan pidana mati di Indonesia sudah berdasarkan Undang-undang, dengan kata lain
sudah mendapat persetujuan Wakil Rakyat. Dari sudut pandang Internasional, meski sebagian
negara- negara khususnya di Eropa dan Amerika sudah menghapuskan pidana mati, tetapi
masih banyak juga negara-negara yang masih menerapkan pidana mati, antara lain China,
Korea Utara, Arab Saudi, khususnya negara-negara Asia dan Afrika. Kontroversi bisa terus
berjalan, tetapi hukum harus ditegakkan, Lex Dura Sed Tamen Scripta, hukum itu keras, tapi
memang demikian adanya.
Penjatuhan pidana mati menimbulkan pro dan kontra dikalangan para ahli hukum,
bahkan dikalangan filsuf dan kaum Agama. Pro dan kontra pidana mati ini memberikan
pendapat yang berbeda-beda. Ada pembela pidana mati yang mengatakan pidana mati itu
perlu untuk menjerakan dan menakutkan penjahat, dan relatif tidak menimbulkan sakit jika
dilaksanakan dengan tepat. Yang menentang pidana antara lain mengatakan bahwa pidana
mati dapat menyebabkan ketidakadilan, tidak efektif sebagai penjara, karena sering kejahatan
dilakukan karena panas hati dan emosi yang diluar jangkauan kontrol manusia. Ada negara-
negara yang belum menghapuskan pidana mati, tetapi pelaksanaannya dipersukar sehingga
menurun seperti Amerika Serikat, antara tahun 1930-1934 sebanyak 155 eksekusi, antara
tahun 1961-1865 sebanyak 26 eksekusi. Adapula negara yang telah menghapuskan pidana
mati seperti : Belanda, Jerman, Italia, Portugal, Austria, Swis dan negara-negara Skandinavia
lainnya, ada pula negara-negara yang pernah menghapuskan pidana mati tetapi kemudian
mengadakan lagi, seperti Rusia, Republik Rakyat China, termasuk negara yang masih
menerapkan pidana mati terhadap terpidana yang melakukan kejahatan-kejahatan berat
seperti perampok bersenjata, pembunuh maupun pemerkosa serta koruptor. Alasan yang pro
terhadap pidana mati antara lain dikemukakan oleh De Bussy yang membela adanya pidana
mati di Indonesia dengan mengatakan bahwa di Indonesia terdapat suatu keadaan yang
khusus. Bahaya terhadap gangguan ketertiban umum di Indonesia masih sangat besar.
Hazewinkel Suringa berpendapat bahwa pidana mati adalah suatu alat pembersih radikal
yang pada setiap masa revolusi dapat digunakan. Van Veen menganggap pidana mati sebagai
alat pertahanan bagi masyarakat yang sangat berbahaya dan penggunaannya harus sangat
hati-hati. Barda Nawi Arief, Guru besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas
Dipenogoro termasuk salah satu pakar hukum pidana yang masih mentolerir penerapan
pidana mati adapun yang kontra terhadap pidana mati antara lain dikemukakan oleh Beccaria
yang mengatakan bahwa hidup adalah suatu yang tak dapat dihilangkan secara legal dan
membunuh adalah tercela, oleh karena itu pidana mati adalah immoral dan makanya tidak
sah. Joseph von Sonnefels menentang pidana mati, karena dianggap bertentangan dengan
Undang-Undang Protokol Opsional kedua Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan
politik, yang ditujukan untuk menghapuskan hukum mati menyebutkan di dalam pasal 1 nya.
Pertama, tidak seorangpun dalam wilayah hukum dan negara pihak pada protokol ini dapat
dihukum mati. Kedua, setiap negara pihak yang meratifikasi kovenan wajib mengambil
langkah- langkah yang dipergunakan untuk menghapuskan hukuman mati didalam wilayah
hukumnya.
b. Efek Jera
Penerapan pidana mati, tidak terlepas dari tujuan pemidanaan, dasar perjatuham
pidana didasarkan pada beberapa teori pemidanaan yaitu : teori retributif (Pembalasan), Doel
Theorien (teori tujuan), dan Vereniging theorien (teori gabungan). Penjatuhan pidana juga
berkaitan erat dengan filsafah pemidanaan. Aliran klasik mendasarkan pada falsafah
pemidanaan Let the funishmet fit the crime / sesuaikan hukuman dengan perbuatannya),
aliran modern falsafah pemidanaannya Let the funisment fit the criminal / sesuaikan
hukuman dengan pelakunya dan alira neo klasik filsah pemidanaannya Let the funishment
fit the crime and the criminal / sesuaikan hukuman dengan perbuatan dan pelakunya. Dari
beberapa teori dan falsafah pemidanaan hukuman mati masih dipengaruhi oleh teori retributif
(teori pembalasan) dan falsafah pemidanaan Let the funisment fit the crime / sesuaikan
hkuman dengan perbuatannya. Dilihat dari sudut pandang kemanusiaan penerapan pidana
mati seolah-olah kejam dan tidak berprikemanusiaan, namun jika direnungkan secara
mendalam, sebenarnya pidana mati memberikan efek jera yang sangat efektif, baik terhadap
si pelaku (efek detterence), maupun terhadap masyarakat yang berpotensi melakukan
kejahatan-kejahatan berat (general detterence). Dari beberapa perspektif pidana mati masih
memiliki tempat dan memberikan harapan agar masyarakat berfikir ribuan kali untuk
melakukan kejahatan-kejahatan berat yang diancam pidana mati, antara lain, kejahatan
narkoba, terorisme, korupsi, pembunuhan berencana dan perampokkan dengan kekerasan.
Meski kritikan terus bertambah terhadap pidana mati, untuk sekarang ini Indonesia masih
memerlukan pidana mati untuk melindungi masyarakat dari ancaman penjahat-penjahat yang
membahayakan kelangsungan hidup bangsa dan jiwa manusia, kita semua hendaknya bisa
berfikir holistik dalam menyikapi persoalan pidana mati, idealnya cita hukum yaitu keadilan,
kepastiam dan manfaat bisa terpenuhi secara bersama-sama, namun dalam praktiknya itu
tidaklah mudah, penerapan pidana mati secara filosofis adalah untuk melenyapkan kejahatan-
kejahatan besar sehingga akan dirasakan keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat banyak
meskipun harus kehilangan satu nyawa, sulit mencapai kesempurnaan, namun demikian
setidak-tidaknya hukum bisa mendekati kesempurnaan dengan ukuran keadilan berdasarkan
kemampuan nalar dan hati nurani manusia.
Kesimpulan
Penerapan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi jika hanya dikaji secara
tekstual, maka penerapan hukuman mati bertentangan dengan Hak Asasi Manusia
sebagaimana dicantukan dalam Pasal 28A ayat (1), 28I ayat(1), jo Pasal 4 Undangundang
Nomor 39 Tahun 1999, jo Pasal 3 DUHAM. Namun jika dikaji secara kontektual dengan
menggunakan penafsiran extentif dan teleologis, maka sebenarnya penerapan hukuman mati
tidak bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. Argumentasi yang diberikan adalah bahwa
akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana korupsi jauh lebih besar dari kejahatan genosida,
terorisme, narkotika, dan kejahatan-kejahatan kemanusiaan lainya.
Tindak tegas terhadap setiap pelaku tindak pidana tanpa memandang latar belakang
merupakan salah satu langkah utama demi meraih kesuksesan dalam membangun peradaban
hukum. Saat ini korupsi merupakan public enemy masayrakat Indonesia yang harus diperangi
secara intens. Dalam kasus ini para penegak hukum memiliki tanggung jawab lebih untuk
menentukan jenis hukuman yang dapat memberi efek jera pada para pelaku. Hukuman mati
yang berlaku dalam struktur hukum Indonesia sebenarnya dapat menjadi salah satu cara
untuk menimbulkan efek jera bagi para koruptor. Tugas para penegak hukum adalah
membangun konsepsi jika batas maksimal hukum bisa mendatangkan efek jera bagi para
pelaku maka tak ada pilihan lain selain menghukum mati para pelaku korupsi.
Daftar pustaka
Acham, K., 1981. Formen und Folgen der Korruption, in C. Brnner (ed.) Korruption und
Kontrolle, Wien.
Anon, Penerapan Hukuman Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Sebuah Upaya
Progresif dalam Pemberantasan Korupsi) Oleh: Muwahid. , hlm.119
Hartanti, Evi, 2007. Tindak Pidana Korupsi, EdK 2, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.1
Huntington, S, 1968. Political Order in Changing Societies. New Haven, Yale University
Press.
Ian Mc.Walters, 2006. Memerangi Korupsi: Sebuah peta Jalan Untuk Indonesia. JP Book,
Surabaya, hlm.111-112.
Latumerissa, D., 2014. Tinjauan Yuridis Tentang Penerapan Ancaman Pidana Mati dalam
Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Sasi, Vol 21. Hlm.8-17
Remmelink, J, 2003. Hukum Pidana, Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm.7
Prakoso, Djoko, 1987. Masalah Pidana Mati (Soal Jawab). Bina Aksara, Jakarta, hlm.35-48
Todung Mulya Lubis & Alaexander Lay, 2008. Kontroversi Hukuman Mati. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas.
Sina, L., 2008. Dampak dan Upaya Pemberantasan serta Pengawasan Korupsi di Indonesia.
Jurnal Hukum Pro Justitia, 26(1), hlm. 42-43.