Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemerintah terus mengupayakan adanya keseimbangan antara pembangunan dengan
kelestarian lingkungan hidup. Salah satu upaya tersebut adalah dengan pembentukan
kelembagaan. Efektivitas kelembagaan lingkungan hidup dapat dilihat dari kinerja instansi
pemerintah, perangkat hukum dan peraturan perundang-undangan, serta program yang
dijalankan pemerintah dalam rangka menjaga kelestarian lingkungan hidup dan
melaksanakan pembangunan berkelanjutan. Saat ini, banyak kegiatan atau usaha yang
berhadapan dengan masalah lingkungan karena tuntutan dari masyarakat. Masalah
lingkungan juga dapat mempengaruhi kinerja suatu perusahaan dalam berbagai aktivitas
bisnisnya.
Pemerintah telah melakukan berbagai cara termasuk dengan memperbaiki instrumentinstrumen hukum terutama yang terkait dengan lingkungan hidup. Salah satu produk hukum
terbaru yang disahkan oleh pemerintah adalah UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang yang berlaku sejak oktober 2009 dan
tercatat dalam lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2009 No 140 ini menggantikan
peran dari UU No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Lingkungan merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupuan manusia.
Hal ini dikarenakan dimana seseorang hidup maka akan tercipta suatu lingkungan yang
berbeda dan sebaliknya. Pembangunan adalah sebagai suatu proses multidimensional yang
mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur social, sikap-sikap masyarakat dan
institusi-institusi nasional, disamping, tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi,
penanganan ketimpaan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. agar menjadi lebih baik
dan sehat.
B. Rumusan Masalah
Adapun masalah yang akan dibahas pada makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.

Apa yang dimaksud dengan hukum ?


Apa yang dimaksud dengan lingkungan ?
Apa yang dimaksud dengan hukum lingkungan ?
Apa pengaruh hukum terhadap pelestarian lingkungan ?
1

BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Hukum
Hukum adalah suatu sistem yang dibuat manusia untuk membatasi tingkah laku
manusia agar tingkah laku manusia dapat terkontrol , hukum adalah aspek terpenting dalam
pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan, Hukum mempunyai tugas untuk
menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Oleh karena itu setiap masyarat
berhak untuk mendapat pembelaan didepan hukum sehingga dapat di artikan bahwa hukum
adalah peraturan atau ketentuan-ketentuan tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur
kehidupan masyarakat dan menyediakan sangsi bagi pelanggarnya.
Ada berbagai macam pengertian hukum menurut para ahli, tentunya untuk
mengetahui seperti apa pengertian hukum yang sebenarnya maka kita bisa sembarang
menafsirkan, oleh karena itu berikut informasi tentang pengertian hukum menurut para ahli:
1. Pengertian Hukum menurut E. Utrecht adalah himpunan petunjuk hidup yang
mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan seharusnya di taati oleh anggota
masyarakat yang bersangkutan, oleh karenanya pelanggaran terhadap petunjuk hidup
itu dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah masyarakat itu.
2. Menurut A. Ridwan Halim, Pengertian Hukum merupakan peraturan yang tertulis
maupun yang tidak tertulis, yang pada dasarnya peraturan tersebut berlaku dan diakui
orang sebagai peraturan yang harus ditaati dalam hidup bermasyarakat.
3. Sunaryati Hatono memberikan definisi mengenai Pengertian Hukum yaitu hukum
itu tidak menyangkut kehidupan pribadi seseorang, akan tetapi jika menyangkut dan
mengatur berbagai aktivitas manusia dalam hubungannya dengan manusia lainnya,
atau dengan kata lain hukum mengatur berbagai aktivitas manusia di dalam hidup
bermasyarakat.

4. Pengertian Hukum menurut E. Meyers adalah semua aturan yang mengandung


pertimbangan kesusilaan, ditunjuk kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat
dan yang menjadi pedoman bagi pengusaha negara dalam melakukan tugasnya.
5. Menurut Kant, Pengertian Hukum ialah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini
kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas
dari orang lain, menuruti peraturan hukum mengenai kemerdekaan.
6. Leon Duguit mengungkapkan Pengertian Hukum adalah aturan tingkah laku para
anggota masyarakat, dimana aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu
diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan jika
dilanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran
itu.
7. Menurut J. Van Aperldoorn tidak mungkin memberikan definisi
mengenai Pengertian Hukum, karena begitu luas yang diaturnya. hanya tujuan
hukum saja yang mengatur pergaulan hidup secara damai.
Dari Pendapat para sarjana diatas dapat disimpulkan bahwa,Pengertian Hukum adalah
seperangkat norma atau kaidah yang berfungsi mengatur tingkah laku manusia dengan tujuan
untuk ketentraman dan kedamaian di dalam masyarakat(Masriani,2004).
Tujuan hukum menurut para ahli adalah sebagai berikut :
1. Purnadi dan Soerdjono Soekanto,
tujuan hukum adalah kedamaian hidup antar pribadi yang meliputi ketertiban ekstern
antar pribadi dan ketenangan intern pribadi
2. Prof. Mr. Dr. L.J. van Apeldoorn,
tujuan hukum adalah mengatur pergaulan hidup manusia secara damai. Hukum
menghendaki perdamaian. Perdamain diantara manusia dipertahankan oleh hukum
dengan melindungi kepentingan-kepentingan hukum manusia tertentu, kehormatan,
kemerdekaan, jiwa, harta benda terhadap pihak yg merugikan.

3. Prof. Soebekti, S.H


Dalam buku Dasar-dasar hukum dan Pengadilan tujuan hukum adalah bahwa hukum itu
mengabdi kepada tujuan negara yaitu mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan para
rakyatnya. Hukum melayani tujuan negara tersebut dengan menyelenggarakan keadilan
dan ketertiban. Keadilan lazim dilambangkan dengan neraca keadilan, dimana dalam
keadaan yang sama, setiap orang harus mendapatkan bagian yang sama pula.
4.Aristoteles
hukum mempunyai tugas yang suci yaitu memberi kepada setiap orang yang ia berhak
menerimanya. Anggapan ini berdasarkan etika dan berpendapat bahwa hukum bertugas
hanya membuat adanya keadilan saja.
5.Soejono Dirdjosisworo,
tujuan hukum adalah melindungi individu dalam hubngannya dengan masyarakat,
sehingga dengan demikian dapat diiharapkan terwujudnya keadaan aman, tertib dan adil
6. Roscoe Pound,
hukum bertujuan untuk merekayasa masyarakat artinya hukum sebagai alat perubahan
sosial (as a tool of social engeneering), Intinya adalah hukum disini sebagai sarana atau
alat untuk mengubah masyarakat ke arah yang lebih baik, baik secara pribadi maupun
dalam hidup masyarakat.
7.Bellefroid
tujuan hukum adalah menambah kesejahteraan umum atau kepentingan umum yaitu
kesejahteraan atau kepentingan semua anggota2 suatu masyarakat.
8.Van Kant
hukum bertujuan menjaga kepentingan tiap-tiap manusia supaya kepentingan itu tidak
dapat diganggu. Hukum juga menjaga dan mencegah agar setiap orang tidak menjadi
4

hakim atas dirinya sendiri (eigenrichting is verboden), tidak mengadili dan menjatuhi
hukuman terhadap setiap pelanggaran hukum terhadap dirinya. Tiap perkara harus
diselesaikan melalui proses pengadilan dengan perantara hakim berdasarkan ketentuan
hukum yang berlaku.
9.Suharjo (mantan menteri kehakiman),
tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia baik secara aktif maupun secara pasif.
Secara aktif dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan suatu kondisi
kemasyarakatan yang manusia dalam proses yang berlangsung secara wajar. Sedangkan
yang dimaksud secara pasif adalah mengupayakan pencegahan atas upaya yang
sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak secara tidak adil.
Usaha mewujudkan pengayoman ini termasuk di dalamnya diantaranya :- mewujudkan
ketertiban dan keteraturan- mewujudkan kedamaian sejati- mewujudkan keadilan bagi
seluruh masyarakat- mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat.
B. Definisi Lingkungan Hidup
Pengertian lingkungan hidup adalah semua benda, daya dan kondisi yang terdapat
dalam suatu tempat atau ruang tempat manusia atau makhluk hidup berada dan dapat
mempengaruhi hidupnya. Istilah lingkungan hidup, dalam bahasa Inggris disebut dengan
environment, dalam bahasa Belanda disebut dengan millieu atau dalam bahasa Perancis
disebut dengan lenvironment.
Dalam kamus lingkungan hidup yang disusun Michael Allaby, lingkungan hidup itu diartikan
sebagai: the physical, chemical and biotic condition surrounding and organism.
S.J. McNaughton dan Larry L. Wolf mengartikannya dengan semua faktor eksternal
yang bersifat biologis dan fisika yang langsung mempengaruhi kehidupan, pertumbuhan,
perkembangan dan reproduksi organism Prof. Dr. Ir. Otto Soemarwoto, seorang ahli ilmu
lingkungan (ekologi) terkemuka mendefinisikannya sebagai berikut: Lingkungan adalah
jumlah semua benda dan kondisi yang ada dalam ruang yang kita tempati yang
mempengaruhi kehidupan kita.
Prof. Dr St. Munadjat Danusaputro, SH, ahli hukum lingkungan terkemuka dan Guru
Besar Hukum Lingkungan Universitas Padjadjaran mengartikan lingkungan hidup sebagai
semua benda dan kondisi, termasuk di dalamnya manusia dan tingkah perhuatannya, yang
5

terdapat dalam ruang tempat manusia berada dan mempengaruhi hidup serta kesejahteraan
manusia dan jasad hidup lainnya.
Menurut pengertian juridis, seperti diberikan oleh Undang-Undang tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 1982 :
1. Otto Soemarwoto, Anolisis Mengenal Dampak Lingkungon, Gadjah Mada
University Press, 2001.
2.
Michael Allaby, Dictionary of the Environment, The Mac Milian
Press, Ltd., London, 1979.
3. S.J. McNaughton dan Larry 1_. Wolf, General Ecology Second Edition, Saunders
College Publishing, 1973.
4. Otto Soemarwoto, Permasalahan Lingkungan Hidup, dalam Seminar Segi-segi Hukum
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Binacipta, 1977.
5. St. Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungon, Buku I Umum, Binacipta, 1980.
Selanjutnya dalam buku ini disebut UUPLH 1982), lingkungan hidup diartikan
sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya dan keadaan dan makhluk hidup, termasuk
di dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Pengertian ini hampir tidak berbeda
dengan yang ditetapkan dalam Undang-Undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
No.23 Tahun 1997, yang dalam pembahasan selanjutnya dalam buku ini disebut UUPLH
1997 (PTIK, 2007).
C. Definisi Hukum Lingkungan
Beberapa pakar Hukum Lingkungan,antara lain Prof.Siti Sundari Rangkuti,SH.;
Prof.Koesnadi Hardjaasoemantri,SH dan Prof.Moenadjat Danusaputro,SH memberikan
batasan tentang Pengertian dari Hukum Lingkungan.Menurut pendapat dari para pakar
tersebut diatas, yang dimaksud dengan Hukum Lingkungan adalah :
1.

Prof.Siti Sundari Rangkuti,SH, Hukum Lingkungan itu menyangkut penetapan


nilai-nilai yaitu nilai-nilai yang sedang berlaku dan diperlakukan dimasa
mendatang.Hukum Lingkungaan disebut juga dengan Hukum Tata Lingkungan.

2.

Prof.Koesnadi Hardjasoemantri,SH
Menurut Prof Koesnadi Hardjasoemantri, membedakannya menjadi :Hukum
Lingkungan dan Hukum Tata Lingkungan.Yang dimaksud dengan Hukum Lingkungan
adalah Merupakan Keseluruhan peraturan-peraturaan atau hukum yaang mengatur
aspek- aspek lingkungan dan perkembangannya,sejalan dengan perkembangan atau
kemajuan yang telah dicapai oleh umat manusia. Sedangkan yang dimaksud dengan
6

Hukum Tata Lingkungan adalah Hukum yang mengatur penataan lingkungan guna
mencapai keselarasan lingkungan hubungan antara manusia dan lingkungan hidupnya,
baik lingkungan hidup manusia maupun lingkungan hidup sosial.
3.

Prof.Moenadjat Danusaputro,SH

Menurut Beliau Hukum Lingkungan dibagi menjadi 2, yaitu : Hukum Lingkungan Klasik
dan Hukum Lingkungan Modern.Hukum Lingkungan Modern merupakan hukum yang
menetapkan ketentuan-ketentuan dan norma guna mengatur tindak perbuatan manusia dengan
tujuan untuk melindungi lingkungan dari kerusakannya serta kemerosotanya dan untuk
menjamin kelestarian mutunya agar dapat secara langsung dan terus menerus dapat
digunakan oleh generasi yang akan datang .Sedangkan Hukum Lingkungan Klasik adalah
merupakan Hukum yang mengatur mengenai penggunaan lingkungan semata oleh manusia
yang berorientasi pada pemanfaatan lingkungan tanpa memberikan perlindungan terhadap
lingkungan .
D. Peran Hukum Lingkungan
Hukum lingkungan diperlukan sebagai alat pergaulan sosial dalam masalah lingkungan.
Perangkat hukum dibutuhkan dalam rangka menjaga supaya lingkungan dan sumber daya
alam dimanfaatkan sesuai dengan daya dukung atau kondisi kemampuan lingkungan itu
sendiri. Dalam hukum lingkungan diatur tentang obyek dan subyek, yang masing-masing
adalah lingkungan dan manusia. Lingkungan hidup sebagai obyek pengaturan dilindungi dari
perbuatan manusia supaya interaksi antara keduanya tetap berada dalam suasana serasi dan
saling mendukung (Dunn, 1999).
Lingkungan hidup memberi fungsi yang amat penting dan mutlak bagi manusia. Begitu
pula, manusia dapat membina atau memperkokoh ketahanan lingkungan melalui budi, daya,
dan karsanya. Menurut ilmu ekologi, semua benda termasuk semua makhluk hidup, daya, dan
juga keadaan memiliki nilai fungsi ekosistem, yakni berperan mempengaruhi kelangsungan
kehidupan manusia dan makhluk hidup lain. Dengan demikian tidak ada yang tidak bernilai
dalam pengertian lingkungan hidup karena satu dengan lainnya memiliki kapasitas
mempengaruhi dalam pola ekosistem.

Lingkungan hidup sebagai salah satu aspek kebutuhan manusia, dimana dalam memenuhi
kebutuhan tersebut manusia berhadapan atau melibatkan baik secara perseorangan maupun
antar manusia dan kelompok. Dalam interaksi manusia, baik terhadap lingkungan hidupnya

maupun dengan sesamanya (antar manusia) dengan sasaran lingkungan atau sumbersumber alam, memerlukan hukum sebagai sarana pengaturan masyarakat (Miles dan
Huberman, 1992).
Pengaturan dapat berwujud dalam bentuk apa yang boleh diperbuat yang disebut dengan
hak, dan apa pula yang terlarang atau tidak boleh dilakukan, yang disebut dengan kewajiban
oleh setiap subyek hukum. Pengaturan hukum selain sebagai alat pengatur ketertiban
masyarakat (law as a tool of social order), juga sebagai alat merekayasa atau membarui
masyarakat (law us a tool of sosial engineering).
Dengan demikian, Hukum Lingkungan disini mengandung manfaat sebagai pengatur
interaksi manusia dengan lingkungan supaya tercapai keteraturan dan ketertiban (social
order). Sesuai dengan tujuannya yang tidak hanya semata-mata sebagai alat ketertiban, maka
Hukum Lingkungan mengandung pula tujuan-tujuan kepada pembaruan masyarakat (social
engineering). Hukum sebagai alat rekayasa sosial sangat penting artinya dalam hukum
lingkungan. Karena dengan Hukum Lingkungan yang memuat kandungan demikian,
masyarakat dalam interaksinya dengan lingkungan dapat diarahkan untuk menerima dan
merespons prinsip-prinsip pembangunan dan kemajuan. Misalnya, suatu proyek
pembangunan energi dari alam seperti PLTA, atau pemanfaatan lahan untuk kepentingan
umum, diatur dengan undang-undang atau peraturan yang di dalamnya terdapat nilai atau
prinsip yang mendorong pembaruan masyarakat (Soemarwoto, 2001).
Beberapa hukum yang mengatur masalah pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu :
1. Undang-Undang No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
2. Undang-Undang No.39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan.
3. Undang-Undang No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
4. Undang-Undang No.18 Tahun 2003 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan.
5. Undang-Undang No.26 Tahun 2007 Tentang Tata Ruang.
8

E. Peranan Undang-Undang No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) menurut UU no 32 tahun
2009 pasal 1 ayat (2) adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan
fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan,
pengawasan, dan penegakan hukum.
UU disahkan di Jakarta, 3 Oktober 2009 oleh Presiden dan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia, Andi Mattalatta. UU ini dibuat karena saat ini segala
aktivitas manusia untuk meningkatkan taraf hidup seringkali tidak bertanggung jawab dan
merusak alam. Maka UU ini dibuat sebagai tindakan pemerintah untuk mencegah semakin
rusaknya lingkungan dan untuk mengelola lingkungan menjadi lebih baik.Dalam UU ini
tercantum jelas dalam Bab X bagian 3 pasal 69 mengenai larangan dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang meliputi larangan melakukan pencemaran, memasukkan
benda berbahaya dan beracun (B3), memasukkan limbah ke media lingkungan hidup,
melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar, dan lain sebagainya.
Larangan-larangan tersebut diikuti dengan sanksi yang tegas dan jelas tercantum pada
Bab XV tentang ketentuan pidana pasal 97-123. Salah satunya adalah dalam pasal 103 yang
berbunyi: Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).Pada UU no
32 tahun 2009 pasal 21, disebutkan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang meliputi
kerusakan ekosistem dan kerusakan iklim. Yang termasuk kerusakan ekosistem adalah
kerusakan tanah, terumbu karang, mangrove, gambut, dan yang berkaitan dengan kebakaran
hutan. Sedangkan kerusakan iklim adalah kenaikan temperatur, kenaikan air laut, badai, atau
kekeringan.

Bentuk-bentuk penyelesaian lingkungan hidup diluar pengadilan ini menganut konsep


Alternative Dispute Resolution (ADR),yang dilakukan dalam wujud mediasi ataupun
arbritasi.Dan pada bagian inilah peran Polri dapat masuk dan ikut serta menjadi seorang
mediator dalam pelaksanaan mediasi.Bentuk-bentuk penyelesaian sengketa ini memang
memperkenankan untuk hadirnya orang ketiga sebagai penengah dan bukan penentu
kebijakan.
Sedangkan penyelesaian sengketa melalui peradilan diatur pada bagian ketiga UU No 32
Tahun 2009 dan terdiri dari :
1. Ganti Kerugian dan Pemulihan Lingkungan
2. Tanggung Jawab Mutlak
3. Hak Gugat Pemerintah dan Pemerintah daerah
4. Hak Gugat Masyarakat
5. Hak gugat Organisasi Lingkungan Hidup
6. Gugatan Administratif
Akan tetapi dibalik ini semua, UU No 32 Tahun 2009 mengenal apa yang dinamakan asas
Ultimum Remedium,yakni mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya
terakhir setelah penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil.Yang mana penerapan
asas ini,hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu,yaitu pemidanaan terhadap
pelanggaran baku mutu air limbah,emisi,dan gangguan.
Jika dilihat dari penerapan hukum secara perdata,Hak gugat pemerintah dan pemerintah
daerah,hak gugat masyarakat dan hak gugat organisasi lingkungan hidup merupakan bentukbentuk pengamalan konsep axio popularis,class action dan legal standing.Konsep-konsep ini
merupakan terobosan hukum yang sangat baik dalam penerapannya.Penerapan hukum
perdata ini juga diikuti engan berbagai persyaratan seperti pelaksanaan hak gugat oleh
pemerintah bisa dilakukan oleh Kejaksaan,pelaksanaan clas action yang dapat dilakukan oleh
orang atau sekelompok orang dan pelaksanaan hak gugat oleh organisasi Lingkungan yang
harus memenuhi persyaratan organisasi sesuai dengan apa yang diatur dalam UU No 32

10

Tahun 2009 ini.Ancaman hukuman yang ditawarkan oleh UU No 32 Tahun 2009 ini juga
cukup komprehensif,misalkan mengenai pasal-pasal yang mengatur tentang ketentuan pidana
dan perdata yang mengancam setiap pelanggaran peraturan dibidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup,baik perseorangan,korporasi,maupun pejabat.Contoh yang
paling konkret adalah porsi yang diberikan pada masalah AMDAL.Sekurangnya terdapat 23
pasal yang mengatur mengenai AMDAL,tetapi pengertian dari AMDAL itu sendiri berbeda
antara UU No 32/2009 dengan UU No 23/1997,yakni hilangnya dampak besar. Hal-hal
baru mengenai AMDAL yang termuat pada undang-undang terbaru ini antara lain:
1. AMDAL dan UKL/UPL merupakan salah satu instrumen pencegahan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
2. Penyusunan dokumen AMDAL wajib memiliki sertifikat kompetensi penyusun
dokumen AMDAL.
3. Komisi penilai AMDAL pusat,Provinsi,maupun Kab/Kota wajib memiliki lisensi
AMDAL.
4. AMDAL dan UKL/UPL merupakan persyaratan untuk penertiban izin lingkungan.
5. Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri,Gubenur,Bupati/Walokota sesuai
kewenangannya.
Selain hal-hal yang disebutkan diatas,ada pengaturan yang tegas dan tercantum dalam UU
No 32 Tahun 2009 ini ,yaitu dikenakannya sanksi pidana dan sanksi perdata terkait
pelanggaran bidang AMDAL.Hal-hal yang terkait dengan sanksi tersebut berupa :
1. Sanksi terhadap orang yang melakukan usaha/kegiatan tanpa memiliki izin
lingkungan.
2. Sanksi terhadap orang yang menyusun dokumen AMDAL tanpa memiliki sertifikat
kompetensi.
3. Sanksi terhadap pejabat yang memberikan izin lingkungan yang tanpa dilengkapi
dengan dokumen AMDAL atau UPL/UKL (Rina Suliastini.2009).
F. Peranan Undang-Undang Kehutanan
11

Tata kelola hutan dan lahan di Indonesia terkait dengan beberapa keberadaan hukum
yang memberikan jaminan legal sebagai landasan bagi pemerintah dalam menjalankan tugas
dan tanggungjawabnya.
Sebaliknya tata kelola hutan yang baik tidak dapat dihilangkan dari prinsip
transparansi, partisipasi, akuntabilitas dan koordinasi yang berarti pengelolaan hutan dan
lahan ditujukan dan harus dimanfaatkan oleh publik. Beberapa aturan yang berhubungan
dengan tatakelola hutan dan lahan baik di tingkat internasional maupun nasional disajikan
sebagai berikut:
1. Prinsip Internasional
Pentingnya kesadaran tata kelola kehutanan yang baik dimulai sejak pertemuan
pembangunan berkelanjutan yang merupakan hasil dari KTT Bumi di Rio de Jainero pada
tahun 1992, yang tercantum dalam Forest Principle 19 yang memberikan arahan
pembangunan sumberdaya hutan secara holistik bagi seluruh elemen ekosistem demi
keberlanjutan, yang relevan diantaranya adalah:
States have the sovereign and inalienable right to utilize, manage and develop
their forests in accordance with their development needs and level of socioeconomic development and on the basis of national policies consistent with
sustainable development and legislation, including the conversion of such areas
for other uses within the overall socioeconomic development plan and based on
rational land-use policies (principe 2a)
Governments should promote and provide opportunities for the participation of
interested parties, including local communities and indigenous people, industries,
labour, nongovernmental organisations and individuals, forest dwellers and
women, in the development, implementation and planning of national forest
policies (principe 2d)
Meskipun Forest Principle tidak bersifat mengikat secara hukum (non legally
binding), tetapi prinsip ini merupakan norma dasar bagi tata kelola yang harus
dilaksanakan oleh negara-negara yang menandatanganinya.

12

2. Peraturan Perundangan di Indonesia

Undang-Undang Nomor 41/1999 tentang Kehutanan


Undang-Undang ini merupakan pengganti dari Undang-Undang nomor 5/1967
tentang Pokok-Pokok Kehutanan. Undang-undang nomor 41/1999 membawa nuansa
pengaturan yang memiliki perbedaan mendasar dengan masukkan peran serta masyarakat,
hak masyarakat atas informasi kehutanan dan keterlibatan dalam pengelolaan hutan secara
umum. Dalam undang-undang ini terdapat dua status hutan yaitu hutan negara dan hutan hak.
Meskipun demikian, undang-undang ini belum secara jelas memberikan pengakuan
kepada masyarakat adat yang berdiam di kawasan hutan. Hutan adat dianggap sebagai masih
bagian dari hutan negara yang berada di wilayah masyarakat adat. Dalam undang-undang ini
meski terdapat pengakuan terhadap masyarakat adat, namun dalam praktik pengelolaan dan
pemanfaatan hutan tetap dilakukan di atas hutan negara.
Penggolongan

Tindak

Pidana

Kehutanan

Merujuk kepada Undang - Undang Kehutanan, tindak pidana di bidang kehutanan


meliputi 15 jenis tindak pidana yang dapat digolongkan ke dalam 3 golongan, yaitu ;
1)

larangan

2)

merusak

larangan

sarana

dan

prasarana

menimbulkan

perlindungan

kerusakan

hutan;
hutan;

3) larangan yang bersifat administratif namun memberikan sanksi pidana.


Golongan pertama dan golongan ketiga, merupakan tindak pidana formil
(delik formil); sedangkan golongan kedua, merupakan tindak pidana materiel (delik
materiel) yang mensyaratkan terjadinya akibat kerusakan hutan. Golongan ketiga dari
jenis tindak pidana di bidang kehutanan sesungguhnya merupakan ketentuan
administrative yang menimbulkan suatu akibat (kerusakan hutan) karena ditujukan
kepada penerima izin usaha di bidang kehutanan (izin usaha pemanfaatan kawasan,
pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu,
pemungutan
Jenis

hasil
Sanksi

hutan
dan

kayu
Sistem

dan

bukan
Penjatuhan

kayu).
Sanksi

Ancaman sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Bab XIV, Ketentuan Pidana
dirumuskan secara kumulatif, sanksi pidana penjara dan sanksi pidana denda bersama
13

(Pasal 78 ayat (1) s/d (15)). Undang-undang Kehutanan tahun 1999 tersebut
memasukkan ketentuan mengenai Ganti Rugi dan Sanksi Administratif (Bab XV)
Pasal 80. di dalam undang-undang Kehutanan tersebut, pembentukan undang-undang
menetapkan bahwa terhadap setiap pelanggaran ketentuan Pasal 50 UU Kehutanan
akan menerima sanksi pidana penjara, sanksi pidana denda, sanksi administratif dan
kewajiban

untuk

mengganti

kerugian

dalam

satu

paket

sanksi.

Berdasarkan ketentuan pidana dalam UU Kehutanan tersebut, seharusnya ketentuan


pidana tersebut efektif untuk mencegah dan memberantas illegal logging. Namun di
dalam udang-undang kehutanan juga dimasukkan ketentuan mengenai kewajiban
penyidik PNS Kehutanan untuk menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut
umum (kejaksaan) (Pasal 77 ayat (3) sehingga masih terbuka kemungkinan pihak
Kejaksaan Agung untuk menetapkan tindak pidana di bidang kehutanan sebagai
tindak pidana korupsi, bukan sanksi pidana sebagaimana diatur di dalam Bab XIV
Ketentuan Pidana UU Kehutanan. Ketentuan Pasal 77 ayat (3) UU Kehutanan tersebut
potensial menimbulkan konflik penerapan hukum jika tidak dipahami makna suatu
Undang-Undang sebagai lex specialis systematic di satu sisi dan lex
specialisdisisi

lain.

Kententuan pidana yang diatur dalam Pasal 50 dan sanksi pidananya dalam
Pasal 78 UU No.41/1999 adalah merupakan salah satu dari upaya perlindungan hutan
dalam rangka mempertahankan fungsi hutan secara lestari. Maksud dan tujuan dari
pemberian sanksi pidana yang berat terhadap setiap orang yang melanggar hukum di
bidang kehutanan ini adalah agar dapat menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum
di bidang kehutanan. Efek jera yang dimaksud bukan hanya kepada pelaku yang telah
melakukan tindak pidana kehutanan, akan tetapi kepada orang lain yang mempunyai
kegiatan dalam bidang kehutanan menjadi enggan melakukan perbuatan melanggar
hukum

karena

Kelemahan
Adapun

sanksi

pidananya

dari
kelemahan

yang

Undang-undang
dari

undang-undang

cukup
kehutanan
ini

adalah

berat.
ini
:

1. belum mengatur perihal tindak pidana kehutanan yang melibatkan pegawai negeri,
sehingga aturan hukum yang dipakai untuk menindak pelaku-pelaku khususnya
pegawai negeri yang terlibat dalam kejahatan Kehutanan seperti penebangan liar
(illegal logging) terutama yang menyangkut unsur-unsur korupsi masih terus mengacu
pada
14

undang-undang

tentang

pemberantasan

korupsi

ini.

2. Ternyata Undang-undang ini tidak mengatur tentang tindak pidana yang dilakukan
oleh perusahaan atau korporasi sehingga memberi ruang bagi elit poliitik dan
pengusaha

untuk

memanfaatkan

keadaan

ini

untuk

kelompoknya.

3. Adanya kesalahan koordinasi antara pihak hukum yang berwenang dalam


melakukan penegakkan hukum dalam permalahan kehutanan ini akibat tidak diatur
secara jelasnya pembatasan kewenangan masing-masing pihak. Serta masih banyak
kelemahan lainnya.
G. Peranan Undang-Undang Perkebunan
Dalam Undang-undang No. 8 Tahun 2004 tentang perkebunan, yang dimaksud
dengan Perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah
dan/atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan
barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha
perkebunan dan masyarakat. Tanaman tertentu adalah tanaman semusim dan/atau tanaman
tahunan yang karena jenis dan tujuan pengelolaannya ditetapkan sebagai tanaman
perkebunan. Usaha perkebunan adalah usaha yang menghasilkan barang dan/atau jasa
perkebunan. Pelaku usaha perkebunan adalah pekebun dan perusahaan perkebunan yang
mengelola usaha perkebunan. Pekebun adalah perorangan warga negara Indonesia yang
melakukan usaha perkebunan dengan skala usaha tidak mencapai skala tertentu.
Perusahaan perkebunan adalah pelaku usaha perkebunan warga negara Indonesia atau
badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia yang
mengelola usaha perkebunan dengan skala tertentu. Skala tertentu adalah skala usaha
perkebunan yang didasarkan pada luasan lahan usaha, jenis tanaman, teknologi, tenaga kerja,
modal, dan/atau kapasitas pabrik yang diwajibkan memiliki izin usaha. Industri pengolahan
hasil perkebunan adalah kegiatan penanganan dan pemrosesan yang dilakukan terhadap hasil
tanaman perkebunan yang ditujukan untuk mencapai nilai tambah yang lebih tinggi. Hasil
perkebunan adalah semua barang dan jasa yang berasal dari perkebunan yang terdiri dari
produk utama, produk turunan, produk sampingan, produk ikutan, dan produk lainnya.
Agribisnis perkebunan adalah suatu pendekatan usaha yang bersifat kesisteman mulai dari
subsistem produksi, subsistem pengolahan, subsistem pemasaran, dan subsistem jasa
penunjang. Perkebunan diselenggarakan berdasarkan atas berkelanjutan, keterpaduan,
kebersamaan, berkeadilan. Perkebunan diselenggarakan dengan tujuan: meningkatkan
15

pendapatan masyarakat; meningkatkan penerimaan negara; meningkatkan penerimaan devisa


negara; menyediakan lapangan kerja; asas manfaat dan keterbukaan, serta meningkatkan
produktivitas, nilai tambah, dan daya saing; memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku
industri dalam negeri; dan mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam secara
berkelanjutan. Perkebunan mempunyai fungsi ekonomi, yaitu peningkatan kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat serta penguatan struktur ekonomi wilayah dan nasional; fungsi ekologi,
yaitu peningkatan konservasi tanah dan air, penyerap karbon, penyedia oksigen, dan
penyangga kawasan lindung; dan sosial budaya, yaitu sebagai perekat dan pemersatu bangsa.
H. Perananan Undang-Undang No.39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan.
Pemerintah RI telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang
Perkebunan pada tanggal 17 Oktober 2014 melalui Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 308, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5613,
selanjutnya disebut UU Perkebunan. UU Perkebunan tersebut mempunyai spirit utama untuk
mewujudkan amanat Undang-Undang Dasar 1945. Hal tersebut ditunjukkan antara lain
dengan pengaturan secara eksplisit maupun implisit mengenai keberpihakan kepada
Masyarakat Perkebunan dan Masyarakat (Hukum) Adat; Kemitraan; Peran Serta Masyarakat;
Mengutamakan Penggunaan Penanaman Modal Dalam Negeri (McNaughton dan Larry Wolf,
1973).
UU Perkebunan dibentuk dengan latar belakang atau dasar pemikiran yaitu:
Pertama, dari aspek filosofis, bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalam wilayah Negara Republik Indonesia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa untuk
dimanfaatkan dan dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat
Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Kedua, dari aspek sosiologis, bahwa perkebunan berperan penting dan memiliki potensi
besar dalam pembangunan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan kemakmuran
dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan.
Ketiga, dari aspek yuridis, bahwa penyelenggaraan perkebunan yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan sudah tidak sesuai dengan

16

dinamika dan kebutuhan hukum masyarakat, belum mampu memberikan hasil yang optimal,
serta belum mampu meningkatkan nilai tambah usaha perkebunan nasional, sehingga perlu
diganti (Soemarwoto,1977).
21 (dua puluh satu) perihal yang akan diatur dalam Peraturan Pemerintah, meliputi,
Penetapan batasan luas maksimum dan luas minimum penggunaan lahan untuk Usaha
Perkebunan (amanat Pasal 14 ayat (3)); Sanksi administratif bagi perusahaan perkebunan
yang memindahkan hak atas tanah Usaha Perkebunan dan melanggar kewajiban
mengusahakan Lahan Perkebunan (amanat Pasal 18 ayat (3)); Standar mutu atau persyaratan
teknis minimal (amanat Pasal 24 ayat (4)); Tata cara pencarian, pengumpulan, dan pelestarian
sumber daya genetik (amanat Pasal 27 ayat (5)); Introduksi dari luar negeri terkait bentuk
benih atau materi induk untuk pemuliaan tanaman (Pasal 28 ayat (3)); Tata cara pencegahan
timbulnya kerusakan lingkungan hidup dan pencemaran lingkungan (amanat Pasal 32 ayat
(3)); Syarat dan tata cara pemberian izin usaha perkebunan, luasan lahan tertentu untuk usaha
budi daya Tanaman Perkebunan, dan kapasitas pabrik tertentu untuk usaha Pengolahan Hasil
Perkebunan (amanat Pasal 49); Kemitraan Usaha Perkebunan (amanat Pasal 57 ayat (3));
Fasilitasi pembangunan kebun masyarakat (amanat Pasal 59); Sanksi administratif bagi
perusahaan perkebunan yang tidak memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat (amanat
Pasal 60 ayat (3)); Kawasan pengembangan perkebunan (amanat Pasal 61 ayat (4));
Pengembangan perkebunan berkelanjutan (amanat Pasal 62 ayat (3)); Perlindungan wilayah
geografis yang memproduksi Hasil Perkebunan yang bersifat spesifik (amanat Pasal 66);
Kewajiban membangun sarana dan prasarana di dalam kawasan Perkebunan (amanat Pasal 69
ayat (3)); Sanksi administrasi bagi setiap perusahaan yang tidak membangun sarana dan
prasana di dalam kawasan Perkebunan (Pasal 70 ayat (3)); Ketentuan mengenai pembinaan
dan keterpaduan usaha Pengolahan Hasil Perkebunan dengan usaha budi daya Tanaman
Perkebunan (amanat Pasal 73 ayat (3)); Jenis Pengolahan Hasil Perkebunan tertentu (amanat
Pasal 74 ayat (2)); Sanksi adiministrasi bagi unit Pengolahan Hasil Perkebunan yang
berbahan baku impor yang tidak membangun kebun dalam jangka waktu paling lambat 3
(tiga) tahun (amanat Pasal 75 ayat (3)); Ketentuan mengenai penghimpunan dana dari Pelaku
Usaha Perkebunan, lembaga pembiayaan, dan masyarakat (amanat Pasal 93 ayat (5));
Besaran penanaman modal asing, jenis Tanaman Perkebunan, skala usaha, dan kondisi
wilayah tertentu (Pasal 95 ayat (5)); Pembinaan teknis dan penilaian Usaha Perkebunan
(amanat Pasal 97 ayat (3).

17

Sementara itu, 12 (dua belas) perihal yang diamanatkan oleh UU Perkebunan untuk diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Menteri (Pertanian), meliputi, Sumber daya genetik Tanaman
Perkebunan (amanat Pasal 23 ayat (2)); Syarat-syarat dan tata cara pelepasan atau peluncuran
varietas hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri (amant Pasal 30 ayat (2)); Produksi,
sertifikasi, pelabelan, dan peredaran varietas hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri
(amanat Pasal 31 ayat (3)); Standar minimum sarana dan prasarana pengendalian organisme
pengganggu Tanaman Perkebunan (amanat Pasal 35 ayat (2); Perlindungan Tanaman
Perkebunan (amanat Pasal 38); Pelaksanaan integrasi dan diversifikasi usaha (amanat Pasal
44 ayat (4)); Jenis Tanaman Perkebunan (amanat Pasal 46); Pembukaan lahan tanpa
membakar (amanat Pasal 56); Tata cara kegiatan panen dan pasca panen yang baik (amanat
Pasal 72 ayat (4)); Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan (amanat Pasal 90 ayat (2);
Persyaratan dan tata cara pengawasan dalam Usaha Perkebunan (amanat Pasal 99 ayat (5);
Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan Perkebunan (amanat Pasal 101) (Erwin,
2008).
Apabila dibandingkan dengan UU Perkebunan yang sebelumnya, yaitu Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2004, UU Perkebunan ini memuat beberapa pengaturan yang baru, yaitu,
Penetapan Batasan Luas Maksimum dan Minimum Lahan Usaha Perkebunan ; Perbenihan;
Budi Daya Tanaman Perkebunan; Tindakan yang Dilarang; Kewajiban Memfasilitasi
Pembangunan Kebun Masyarakat; Kewajiban bagi Unit Pengolahan Hasil Perkebunan
Tertentu yang Berbahan Baku Impor; Sistem Data dan Informasi; Pembatasan Penanaman
Modal Asing; Pembinaan Teknis dan Evaluasi atas Kinerja Perusahaan Perkebunan; Peran
Serta Masyarakat; dan Ketentuan Pidana.
Kajian hukum tersebut perlu dilakukan agar Peraturan Pemerintah yang nantinya
dirumuskan selaras dengan konsepsi dengan falsafah negara, tujuan nasional, UUD NRI
Tahun 1945, UU Perkebunan dan undang-undang lain yang telah ada dan peraturan
pelaksanaannya serta kebijakan lainnya yang terkait. Selain itu, dalam rangka penyusunan
Peraturan Pemerintah tersebut, dipandang perlu adanya pengkajian hukum dari aspek
filosofis, teoritis, yuridis, dan sosiologis oleh pihak di luar Pemerintah, baik melalui
pengkajian hukum secara mendalam maupun forum konsultasi dan diskusi yang melibatkan
para ahli dari perguruan tinggi dan organisasi di bidang ekonomi, politik, hukum, hak asasi
manusia, sosial, budaya, kemasyarakatan atau profesi sesuai dengan kebutuhanuntuk
memberikan masukan bagi kesempurnaan dan penyempurnaan substansi Peraturan
18

Pemerintah yang akan disusun, agar dapat diterapkan serta dapat menjamin keadilan,
kepastian hukum dan kebermanfaatan bagi kelangsungan dan keberlanjutan berbagai
pemangku kepentingan kegiatan perkebunan (Anonim. 2001).
I. Peranan Undang-Undang No.18 Tahun 2003 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan Pengganti Undang-Undang No.41 Tahun
1991
Perusakan hutan, terutama berupa pembalakan liar, penambangan tanpa izin, dan
perkebunan tanpa izin telah menimbulkan kerugian negara, kerusakan kehidupan sosial
budaya dan lingkungan hidup, serta meningkatkan pemanasan global yang telah menjadi isu
nasional, regional, dan internasional.
Perusakan hutan sudah menjadi kejahatan yang berdampak luar biasa, terorganisasi, dan
lintas negara yang dilakukan dengan modus operandi yang canggih, telah mengancam
kelangsungan kehidupan masyarakat sehingga dalam rangka pencegahan dan pemberantasan
perusakan hutan yang efektif dan pemberian efek jera diperlukan landasan hukum yang kuat
dan yang mampu menjamin efektivitas penegakan hukum.
Peraturan perundang-undangan telah ada dianggap tidak memadai dan belum mampu
menangani pemberantasan secara efektif terhadap perusakan hutan yang terorganisasi,
berdasarkan pertimbangan tersebut disusun dan diundangkanlah Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H).
Pasal 112 UU No. 18 Th 2013 ttg P3H menyebutkan bahwa:
Ketentuan Pasal 50 ayat (1) dan ayat (3) huruf a, huruf f, huruf g, huruf h, huruf j, serta
huruf k; dan. ketentuan Pasal 78 ayat (1) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat
(1) serta ayat (2) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (3) huruf a dan huruf b,
ayat (6), ayat (7), ayat (9), dan ayat (10) dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (Soemarwoto, 2009).
Adapun daftar tindak pidana bidang kehutanan dalam rumusan UU No. 18 Th 2013 ttg
P3H "pengganti tindak pidana bidang kehutanan tertentu dlm UU No. 41 Th 1999" sebagai
berikut:
19

Selain ketentuan tersebut di atas, khusus untuk pejabat yaitu orang yang diperintahkan
atau orang yang karena jabatannya memiliki kewenangan dengan suatu tugas dan tanggung
jawab tertentu, dalam Pasal 105 disebutkan bahwa: Setiap pejabat yang:
1. Menerbitkan izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan
di dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan kewenangannya.
2. Menerbitkan izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau izin penggunaan kawasan
hutan di dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
3. Melindungi pelaku pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak
sah.
4. Ikut serta atau membantu kegiatan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan
hutan secara tidak sah.
5. Melakukan permufakatan untuk terjadinya pembalakan liar dan/atau penggunaan
kawasan hutan secara tidak sah.
6. Menerbitkan surat keterangan sahnya hasil hutan tanpa hak; dan/atau;
7. Dengan sengaja melakukan pembiaran dalam melaksanakan tugas sehingga terjadi
tindak pidana pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah.
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10
(sepuluh) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) (Hariyanto, 2013).
J. Peranan Undang-Undang No.26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
Perubahan paradigma dalam pembangunan wilayah dan kota, khususnya dalam
penyediaan ruang terbuka hijau di wilayah kota sebagaimana diamanatkan dalam UndangUndang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang hendaknya dilaksanakan sepenuhnya
oleh Bupati/Walikota dengan dukungan penuh dari pihak legislatif di masing-maisng daerah.
Hal ini tentu saja dilaksanakan dengan melihat kondisi bio-geografi lingkungan dan sumber
daya manusia di masing-masing wilayah dan hendaknya dikembangkan secara bertahap. Hal
ini telah dilaksanakan oleh beberapa Bupati dan Walikota yang juga telah mendapat
dukungan penuh dari badan legislatifnya, seperti kelima wilayah kota Provinsi DKI Jakarta,
Surabaya, dan lain-lain (Widjaja, 2005).

20

Pada akhir bulan April 2008 ini, DPRD Kota Semarang secara proaktif akan melakukan
public hearing dengan mengundang para pakar dalam menyusun berbagai peraturan daerah
(Perda), antara lain Rancangan Perda Kota Semarang tentang Penataan Ruang Terbuka
Hijau yang dimaksudkan sebagai perwujudan dari perubahan paradigma dimaksud (Diagram
4).
Diagram 4
Tahapan Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
Penyusunan RTRW Kabupaten berlaku mutatis mutandis (Pasal 28 UUPR No. 26 Tahun
2007) untuk penyusunan RTRW Kota dengan penambahan muatan pada rencana-rencana:
(1) Penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau;
(2) Penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka non-hijau; dan
(3) Penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki, angkutan
umum, kegiatan sektor informal dan ruang evakuasi bencana, yang dibutuhkan untuk
menjalankan fungsi wilayah kota sebagai pusat pelayanan sosial-ekonomi dan pusat
pertumbuhan wilayah (Sudarmaji. Juni 2008).
Model perencanaan tata ruang terakhir yang disepakati para Walikota di dunia pada
Penandatanganan Bersama Kesepakatan Lingkungan Hidup adalah dikenal dengan istilah
Green City. Meskipun terdapat dua persepsi berbeda tentang istilah Kota Hijau ini, yaitu:
1

Sebagai visi (negara bagian di USA) menghijaukan kota-kota dengan menanam

banyak tanaman dan


2

tumbuhan serta membangun taman-taman kota;

Negara-negara Eropa mempunyai persepsi hijau sebagai Kota yang Sehat dan

hampir bebas dari emisi polusi CO2, CO, N2O, dan lain-lain serta orientasinya pada
penggunaan sarana angkutan dengan energi non-fosil.
Meskipun demikian sekitar dua dekade lalu beberapa walikota di beberapa negara sedang
berkembang, seperti di benua Amerika Selatan dan di Asia telah berhasil mengembangkan
lingkungan kota layak huni (habitable) atau apa yang disebut sebagai: Kota Berwawasan
Lingkungan (Siagian, 1998).

Pada hakekatnya penyebab utama perencanaan dan perancangan permukiman kota adalah
ketidakpedulian akan pentingnya sanitasi lingkungan yang higienis, yang kemudian secara
21

sadar maupun tidak, menjadi perilaku (kebiasaan) warga yang tak terpuji. Lingkungan
menjadi semakin buruk akibat tidak ditegakkannya peraturan perundang-undangan yang ada.
Hal ini mengakibatkan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Kondisi sanitasi dasar lingkungan permukiman, menimbulkan masalah kesehatan
yang serius;
2. Persediaan air bersih yang minim (tak cukup bahkan tak ada);
3. Sampah padat dan limbah cair tidak terkelola dengan baik (tak ada sewerage system.
4. Makanan tidak higienis (keracunan, pemakaian zat kimia/pengawet, pewarna,
penyedap),
5. Vektor penyakit (nyamuk, tikus, kecoak, dan lain-lain) tak terkendali;
6. Sistem transportasi/ lalu lintas yang buruk dengan adanya kemacetan lalu lintas dan
polusi udara;
7. Buruknya lingkungan kerja/ kantor (hal ini ditandai dengan berkembangnya bakteri
legionellosi, yang

mengakibatkan sick building syndrome).

Hampir semua permasalahan di atas saling terkait dan merupakan akibat dari
penyelenggaraan penataan ruang yang buruk. Oleh karena itu, dalam rangka menuju
pembangunan Kota Sehat, maka diperlukan persyaratan ketat pembangunan sarana dan
prasarana sanitasi kota (Michael, 1979).
Ruang terbuka hijau adalah ruang terbuka kawasan perkotaan yang merupakan bagian
ruang terbuka suatu kawasan perkotaan, di mana antara lain relatif terdapat banyak unsur
hijau tanaman dan tumbuhan yang sengaja atau tak sengaja ditanam. Unsur hijau ini antara
lain

berfungsi

sebagai

pendukung

keberlangsungan

proses

siklus

alami

(fisik-

ekologis), pendukung bagi upaya peningkatan kesejahteraan warganya (baik dalam bidang
sosial, budaya, ekonomi dan estetika). Sementara itu, ruang terbuka non-hijau kawasan
perkotaan yang permukaan tanahnya bisa diperkeras (paved) untuk kepentingan tertentu,
termasuk di sini adalah ruang terbuka biru (danau, waduk serta jalur sungai atau tepi pantai)
termasuk areal yang sengaja dibangun, diperuntukkan bagi peresapan air permukaan (hujan),
kolam genangan (retention basin), atau luapan air hujan (Miles dan Huberman, 1992)

22

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan juga pemaparan yang sudah disampaikan diatas maka
penulis dapat menyimpulkan beberapa hal mengenai peranan hukum dalam melestarikan
lingkungan. Kesimpulan yang dapat kami tarik anatara lain adalah:
1. Hukum lingkungan diperlukan sebagai alat pergaulan sosial dalam masalah lingkungan.
Perangkat hukum dibutuhkan dalam rangka menjaga supaya lingkungan dan sumber
daya alam dimanfaatkan sesuai dengan daya dukung atau kondisi kemampuan
lingkungan itu sendiri. Dalam hukum lingkungan diatur tentang obyek dan subyek,
yang masing-masing adalah lingkungan dan manusia. Lingkungan hidup sebagai obyek
pengaturan dilindungi dari perbuatan manusia supaya interaksi antara keduanya tetap
23

berada dalam suasana serasi dan saling mendukung. Bentuk penegakan hukum
lingkungan yang digunakan di Indonesia adalah yang pertama penegakan melalui
instrumen administratif yang apabila tidak mampu menyelesaikan permasalahan dan
juga tidak diindahkan oleh pelaku pelanggaran atau kejahatan lingkungan hidup adalah
penggunaan instrumen perdata dan pidana , yang mana kedua instrument sanksi hukum
ini biasa gunakan secara pararel maupun berjalan sendiri sendiri.
2. Hukum lingkungan diperlukan dan dibutuhkan dalam rangka menjaga supaya
lingkungan dan sumber daya alam dimanfaatkan sesuai dengan daya dukung atau
kondisi kemampuan lingkungan itu sendiri.
3. Yang menjadi kendala di dalam penegakan dan juga pengimplementasian hukum
lingkungan antara lain adalah :
1) Perbedaan persepsi antara aparatur penegak hukum dalam memahami dan
memaknai peraturan perundang-undangan yang ada
2) Biaya untuk menangani penyelesaian kasus lingkungan hidup terbatas,
membuktikan telah terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan bukanlah
pekerjaan mudah.
3) Kurangnya partisipasi publik, transparansi, dan demokratisasi dalam pengelolaan
sumber daya alam dan lingkungan hidup.

B. Saran
Berdasarkan pembahasan yang telah diungkapkan diatas maka penulis menyarankan :
1) Sebaiknya aturan-aturan yang disusun oleh pemerintah disusun dengan sejelasjelasnya sehingga tidak terjadi simpang siur akibat ketidakjelasan dari aturan yang
dibuat.
2) Pengawasan mengenai hukum lingkungan yang berlaku sebaiknya dilaksanakan
seoptimal mungkin baik dari pemerintah baik masyarakat.
3) Penanganan kasus pelanggaran hukum lingkungan sebaiknya dikerjakan secara
serius oleh pemerintah karena masalah lingkungan terkait dengan masalah
masyarakat ramai.

24

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Anonim. 2001. Peraturan Perundang-undangan Lingkungan Hidup.


Jakarta: Harvarindo.
Dunn, William.1999.Analisa Kebijakan Publik. Jakarta: Gajah mada university
press.
Erwin.2008. Hukum Lingkungan Dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan
Lingkungan Hidup.Bandung: Penerbit PT Refika Aditama.

25

Masriani, Yulies Tiena. 2004. Pengantar Hukum Indonesia.PT Sinar Grafika:


Jakarta
Michael Allaby.1979.Dictionary of the Environment. London : The Mac Milian
Press.
Miles, Mathew B dan Huberman, A. Michael.1992.Tata Ruang Wilayah. Jakarta:
UI Press.
Suliastini, Rina.2009.Perbandingan UU No 23/1997 dengan UU No 32 /2009.
Jakarta: Grafindo.
Siagian, Sondang, P.1998. Administrasi Pembangunan. Jakarta: PT. Gunung
Agung.
Soemarwoto, Otto.1977.Permasalahan Lingkungan Hidup dalam Seminar Segisegi Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta: Binacipta.
Soemarwoto, Otto.2001.Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Bandung:
Gadjah Mada University Press.
Soemarwoto, Otto.2009. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Yogyakarta:
Gadjah Mada UniversityPress.
Widjaja,AW.2005.Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia. Jakarta: PT. Radja
Grafindo Persada.

Internet :
Alamendah.2012.UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
(http://alamendah.org/peraturan-hukum/undang-undang/uu-no-41-tahun-1999tentang-kehutanan/ )(Diakses pada 03 januari 2016)

Alvon,Kurnia.2010.Analisis

Undang

Undang

Perkebunan.(

http://alvonkurniapalma.blogspot.com/2010/01/analisis-undang-undangperkebunan.html )(Diakses pada 03 Januari 2016)


Arifin,Syamsul.2011. Perundang Undangan Perlindungan dan Pengelolaan
LingkunganHidup.
(https://profsyamsularifin.wordpress.com/2011/12/26/perundang-undangan26

perlindungan-dan-pengelolaan-lingkungan-hidup/ )(Diakses pada 03 Januari


2016)
Anonim.2011.Melibatkan Masyarakat dalam Penanggulangan Kerusakan
Lingkungan. (www.id.wikibooks.org) ( Diakses pada tanggal 29 Desember 2015,
pukul 20:00 WIB).
Hariyanto.2013.Tindak

Pidana

Bidang

Kehutanan.

(http://blogmhariyanto.blogspot.co.id/2013/12/tindak-pidana-bidangkehutanan-dalam.html) (Diakses pada tanggal 28 Desember, pukul 20:00


WIB).
Sudarmaji. Juni 2008. Pembangunan Berkelanjutan, Lingkungan Hidup dan
Otonomi Daerah. (http://geo.vgm.ac.id/archives/125) (Diakses pada tanggal 28
Desember 2015, pukul 21:00 WIB).

27

28

Anda mungkin juga menyukai