PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk mencapai atau menciptakan tata tertib,
keamanan dan ketentraman dalam masyarakat baik itu merupakan usaha pencegahan maupun
pemberantasan atau penindakan setelah terjadinya pelanggaran hukum, dengan perkataan lain baik
secara preventif maupun represif. Sejauh ini peraturan yang mengatur tentang penegakan hukum dan
perlindungan hukum terhadap keluhuran harkat martabat manusia di dalam proses pidana pada
hakekatnya telah diletakkan dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP).
Lembaga peradilan sebagai lembaga penegakan hukum dalam system mperadilan pidana
merupakan suatu tumpuan harapan dari para pencari keadilan yang selalu menghendaki peradilan
yang sederhana, cepat dan biaya ringan sebagaimana yang diatur dalam pasal 2 ayat (4) Undang-
undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Keadilan yang dihasilkan dari suatu
lembaga peradilan melalui suatu proses peradilan yang tertuang di dalam putusan hakim adalah
merupakan syarat utama di dalam mempertahankan kelangsungan hidup suatu masyarakat sebab
putusan-putusan hakim yang kurang adil membuat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga
peradilan menjadi berkurang, sehingga mengakibatkan Universitas Sumatera Utaramasyarakat
enggan untuk menempuh jalur hukum di dalam mengatasi permasalahan hukum yang mereka hadapi.
Maka dalam hal ini hakim sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
mengadili dalam suatu proses peradilan pidana, mempunyai suatu peranan penting dalam penegakan
hukum pidana untuk tercapainya suatu keadilan yang diharapkan dan dicita-citakan.
2 Rumusan Masalah
Berdasarkan pembahasan di atas, maka rumusan masalah yang lahir adalah sebagai berikut:
4. Bagaimana Peristiwa Di lingkungan Sekitar yang Disebabkan Lemahnya Perlindungan dan Penegakkan
Hukum?
3 Tujuan
Mengacu pada rumusan masalah tersebut tujuan yang diharapkan adalah sebagai berikut:
A. TUJUAN HUKUM
Menurut Aristoteles
Tujuan hukum menurut Aristoteles adalah sepenuhnya untuk mencapai keadilan, yang
berarti memberikan kepada setiap orang apa yang telah menjadi haknya. Teori ini yang
kemudian dikenal sebagai teori etis.
Menurut Jeremy Bentham (1990)
Tujuan hukum menurut Jeremy Bentham adalah untuk mencapai kemanfaatan, yang
berarti hukum akan menjamin kebahagiaan bagi sebanyak-banyaknya orang. Teori ini
yang kemudian dikenal sebagai teori utilities.
Menurut Geny (1994)
Tujuan hukum menurut pendapat Geny adalah untuk mencapai keadilan dan sebagai
unsur keadilan yaitu kepentingan dayaguna dan kemanfaatan.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja
Tujuan hukum menurut Mochtar Kusumaatmadja adalah menciptakan ketertiban, yang
menjadi pokok dari terciptanya stuktur sosial yang teratur. Hukum juga bertujuan dalam
rangka mewujudkan keadilan yang sesuai dengan masyarakat dan zaman.
Menurut Van Apeldorn (1958)
Tujuan hukum menurut Van Apeldorn adalah untuk mengatur pergaulan hidup manusia
secara damai. Perdamaian antar manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi
kepentingan hukum seperti kehormatan, kemerdekaan jiwa, dan harta benda dari pihak
yang merugikan.
Menurut Prof Subekti S.H. (1977)
Tujuan hukum secara umum adalah menyelenggarakan keadilan dan ketertiban yang
menjadi syarat untuk mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan.
Menurut Purnadi dan Soerjono Soekanto (1978)
Tujuan hukum bisa difungsikan untuk kedamaian hidup manusia yang meliputi ketertiban
ekstern antar pribadi dan ketenangan intern pribadi.
Menurut Roscoe Pound
Tujuan dan fungsi hukum menurut Roscoe Pound merupakan alat untuk melakukan
perubahan sosial yang akan membawa masyarakat ke arah kehidupan yang jauh lebih
baik, baik secara individu atau dalam kelompok sosial.
Menurut Suharjo
Tujuan hukum adalah untuk memberi pengayoman atau perlindungan kepada manusia
secara pasif maupun aktif. Secara pasif berarti dilakukan dengan cara membuat suatu
upaya pencegahan atas percobaan penyalahgunaan hak atau sikap sewenang-wenang
yang ditujukan kepada seseorang atau sekelompok orang. Sedangkan secara aktif berarti
melakukan suatu usaha guna menciptakan situasi sosial yang manusiawi.
Menurut Bellefroid
Menurut Bellefroid, hukum bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan
kepentingan umum (publik). Dengan kata lain adalah bahwa kepentingan masyarakat
harus didahulukan di atas segalanya.
Menurut S. M. Amin
Tujuan hukum menurut S. M. Amin adalah untuk mengadakan ketertiban dalam
pergaulan manusia, sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara.
Menurut Soejono Dirdjosisworo
Hukum bertujuan untuk melindungi individu dalam berhubungan dengan masyarakat,
sehingga dapat diharapkan terwujudnya keadaan aman, tertib dan adil.
Menurut J. Van Kan
Tujuan hukum menurut J. Van Kan adalah untuk menjaga kepentingan tiap-tiap manusia
agar tidak dapat diganggu. Dengan tujuan ini, dicegah terjadinya perilaku main hakim
sendiri terhadap orang lain karena tindakan itu dicegah oleh hukum.
Menurut Wasis Sp
Menurut Wasis Sp, hukum berfungsi untuk mengatur dan mengendalikan kehidupan
manusia agar kehidupan selalu berada dalam keamanan, keadilan, ketentraman dan
kesejahteraan.
Menurut Sutjipto Rahardjo
Tujuan hukum menurut Sutjipto Rahardjo adalah untuk membimbing manusia pada
kehidupan yang baik, aman, tenteram, adil, damai dan penuh kasih sayang.
B. PENGGOLONGAN HUKUM
A. Menurut sumbernya
3) Traktat (tractaten recht) : Traktat adalah hukum yang ditetapkan oleh negara-negara di
dalam suatu perjanjian antarnegara. Perjanjian tersebut biasanya meliputi bidang-bidang
politik dan ekonomi.
4) Yurisprudensi (yurisprudentie recht) : Yurisprudensi adalah hukum yang terbentuk karena
putusan hakim. Keputusan hakim kemudian dijadikan rujukan oleh hakim pada selanjutnya
untuk memutuskan sesuatu perkara.
5) Hukum ilmu (wetenscaps recht) : Hukum ilmu adalah hukum yang pada dasarnya berupa
ilmu hukum yang terdapat dalam pandangan para ahli hukum yang terkenal dan sangat
berpengaruh.
B. Menurut bentuknya
Menurut bentuknya hukum dapat dibagi dalam hukum yang dikodifikasikan, tertulis, dan tidak
tertulis.
1) Hukum tertulis
Hukum tertulis adalah hukum yang dicantumkan dalam berbagai peraturan perundangan.
Hukum tertulis ada dua macam, antara lain sebagai berikut :
a) Hukum tertulis yang telah dikodifikasikan seperti KUH Perdata/BW (Burgerlijk Wetboek)
dan KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Kodifikasi adalah pembukuan bahan-bahan
hukum yang sejenis secara sistematis dan lengkap dalam satu kitab undang-undang.
b) Hukum tertulis yang belum terkodifikasikan misalnya hukum perkoperasian.
Hukum tidak tertulis adalah hukum yang masih hidup dalam keyakinan di masyarakat tetapi tidak
tertulis (disebut hukum kebiasaan). Hukum tidak tertulis tidak termaktub dalam suatu dokumen,
tetapi diyakini dan ditaati oleh suatu masyarakat tertentu. Dalam praktek kenegaraan, hukum
tidak tertulis disebut konvensi. Contoh: Pidato presiden setiap tanggal 16 Agustus di depan DPR.
1) Ius Constitutum (Hukum positif) : Hukum yang berlaku sekarang bagi suatu masyarakat
tertentu dalam suatu daerah tertentu. Contohnya UUD 1945.
2) Ius Constituendum : Hukum yang diharapkan dapat berlaku di masa yang akan datang
(hukum yang dicita-citakan). Contohnya Aturan Peralihan Pasal 1 UUD 1945.
3) Ius Naturale/Hukum Asasi (Hukum alam) : Hukum yang berlaku di mana-mana dalam
segala waktu dan untuk segala bangsa di dunia. Hukum ini tidak mengenal batas waktu
melainkan berlaku untuk selama-lamanya (abadi) terhadap siapapun juga di seluruh tempat.
Contohnya keadilan.
Ketiga macam hukum ini merupakan hukum duniawi.
(1) Hukuman pokok : Hukuman pokok terdiri dari hukuman mati, penjara, kurungan, dan
denda.
1. Faktor internal yaitu faktor – faktor yang terdapat didalam diri para pelaku pelanggaran
hukum dan HAM tersebut
2. Faktor eksternal yaitu faktor-faktor dari luar diri manusia yang mendorong seseorang
atau sekelompok orang melakukan pelanggaran hukum
Kasus pelecehan seksual yang menimpa Baiq Nuril hingga kini masih menjadi perbincangan di tengah
masyarakat. Baiq Nuril merupakan seorang mantan tenaga honorer di SMA Negeri 7 di Mataram yang
menjadi korban pelecehan seksual oleh M yang merupakan kepala sekolah tempat dirinya bekerja.
Dalam perjalanannya, Baiq dinyatakan bersalah dalam putusan kasasi Nomor 574K/Pid.Sus/2018 yang
dibacakan pada 26 September 2018 atas tindak pidana "mendistribusikan atau mentransmisikan
konten kesusilaan" sebagaimana tertera dalam Pasal 27 Ayat 1 Undang-Undang tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE) dan divonis pidana penjara selama enam bulan dan denda sebesar 500 juta.
Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI
FHUI), Bestha Inatsan Ashila menilai, putusan kasasi tersebut mengundang gejolak di masyarakat.
"Pasalnya, Baiq Nuril dinyatakan bersalah dalam putusan kasasi setelah sebelumnya pada 2017 dirinya
dinyatakan tidak bersalah dalam putusan PN Pengadilan Negeri Mataram No 265/Pid.Sus/2017/ PN.
Mtr," kata Bestha, di Jakarta, Jumat (16/11).
Pascaputusan itu, MaPPI FHUI menilai, sedikitnya terdapat dua permasalahan utama dalam kasus itu.
Pertama, hakim tidak memahami unsur-unsur Pasal 27 Ayat 1 UU ITE dan tidak mengimplementasikan
Perma Nomor 3 Tahun 2017. "Pada dasarnya, apa yang dialami oleh Baiq Nuril adalah merupakan
sebuah bentuk kriminalisasi. Sejak awal ia tidak merekam percakapan tersebut dengan niat untuk
mencemarkan nama baik M, melainkan sebagai bukti bahwa dirinya telah dilecehkan oleh M dan
untuk berjaga-jaga jika terjadi hal-hal buruk di kemudian hari," kata dia.
Sayangnya, majelis hakim tingkat kasasi justru memandang hal tersebut sebagai suatu tindakan
pencemaran nama baik yang dilakukan dengan cara menyebarluaskan suatu konten asusila melalui
elektronik yang sengaja dilakukan oleh Baiq Nuril. Padahal, putusan PN Mataram sebelumnya telah
menyatakan bahwa Baiq Nuril tidak bersalah atas tuduhan pasal tersebut.
Hal ini mengindikasikan bahwa hakim kurang cermat dalam membuktikan unsur dalam Pasal 27 Ayat
1 UU ITE. "Hakim tidak mencermati secara jelas unsur-unsur tindak pidana dalam pasal tersebut, di
mana dalam pasal tersebut yang seharusnya dinyatakan bersalah adalah orang yang
menyebarluaskan," katanya.
Dikatakan, putusan MA dalam kasus tersebut juga tidak sesuai dengan Perma Nomor 3 Tahun 2017
tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Dalam mengadili
perempuan yang berhadapan fengan hukum, hakim diharapkan dapat mengidentifikasi dan
mempertimbangkan fakta persidangan terkait adanya ketidaksetaraan status sosial di masyarakat
yang mengakibatkan adanya ketimpangan gender antara perempuan dan laki-laki.
Selanjutnya, hakim juga diharapkan dapat mengidentifikasi dan mempertimbangkan adanya relasi
kuasa antara para pihak yang berperkara yang mengakibatkan perempuan tidak berdaya. Selain itu,
hakim juga diharapkan dapat mengidentifikasi dan mempertimbangkan riwayat kekerasan yang
dilakukan pelaku serta mempertimbangkan dampak kerugian yang dialami korban dari
ketidakberdayaannya.
"Tanpa adanya inisiatif untuk mengidentifikasi hal-hal kunci dalam kasus kekerasan yang dialami oleh
perempuan, maka putusan yang lahir akan selalu merugikan perempuan," ujar Bestha. Dalam kasus
Baiq Nuril, seharusnya hakim mampu mengindentifikasikan ketidaksetaraan status sosial atau adanya
relasi kuasa antara M dan Baiq Nuril.
Posisi Baiq Nuril sebagai guru honorer sedangkan M merupakan kepala sekolah yang secara struktural
merupakan atasan Baiq. Kondisi itu membuat yang bersangkutan menjadi tidak berdaya melawan
karena posisi strukturalnya yang lebih rendah.
MaPPI FHUI mencatat, pelecehan seksual secara verbal yang dialami Baiq Nuril bukan yang pertama.
Peristiwa serupa sudah ke sekian kali semenjak 2012. Adanya riwayat atau sejarah pelecehan yang
dialami korban ini seharusnya menjadi hal yang juga ditelaah lebih dalam dan dipertimbangkan oleh
Hakim, tidak hanya terbatas pada kejadian yang dilaporkan.
"Dampak psikis korban yang mengalami pelecehan verbal berulang kali maupun tuduhan lingkungan
bahwa ia memiliki hubungan gelap dengan M juga seharusnya digali hakim," ujarnya. Menurutnya,
pelanggaran terhadap norma-norma Perma 3/2017 artinya juga melanggar apa yang telah ditetapkan
dalam kode etik hakim. Putusan Mahkamah Agung dalam kasus Baiq Nuril memperlihatkan bahwa
aparat penegak hukum di negeri ini masih belum berperspektif gender dan HAM.
Saat ini, diingatkan, kriminalisasi terhadap perempuan korban kekerasan harus dihentikan karena
akan melanggengkan praktik kekerasan dan membuat perempuan yang menjadi korban semakin
enggan melaporkan kasusnya. Alih-alih mendapatkan keadilan, perempuan korban kekerasan dalam
proses peradilan selama ini justru menjadi korban untuk kedua kalinya.
Oleh karena itu, MaPPI FHUI mendesak agar MA menjadikan PERMA No. 3 Tahun 2017 tentang
Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan hukum sebagai rujukan dalam
memeriksa dan mengadili perkara perempuan yg menjadi pelaku, korban, maupun saksi
F. Upaya Pemerintah
1. Melakukan peningkatan terhadap kualitas dari pelayanan publik untuk mencegah terjadinyna
pelanggaran HAM.
Hal ini dilakukan berdasrkan pendekatan hukum dan juga pedekatan dialogis yang dimana hal tersebut
haruslah dikemukakan sebagaimana dalam sebuah rangka yang berguna untuk melibatkan berbagai
macam partisipasi masyarakat dalam sebuah kehidupan berbangsa dan bernegara. Para pejabat
penegak hukum haruslah memenuhi tugas dan kewajiban mereka yang dimana untuk memberikan
sebuah pelayanan yang dimana diyakini sangatlah baik dan juga adil kepada masyarakat. Memberikan
sebuah pelindungan kepada setiap orang dari berbagai macam perbuatan yang melanggar hukum.
3. Melakukan peningkatan terhadap pengawasan dari masyarakat dan juga berbagai macam lembaga
politik terhadap berbagai macam upaya dari penegakan HAM yang dimana dilakukan oleh pemerinta.
4. Melakukan peningkatan terhadap berabgai macam prinsip HAM kepada masyarakat luas dengan
cara melalui lembaga pendidikan formal dan juga pendidikan tidak formal.
6. Melakukan peningkatan terhadap kerja sama yang dimana harmonis dan terjadi antar kelompok
atau berbagai macam golongan dalam sebuah masyarakat agar mereka dapat mampu unutuk saling
memahami dan juga menghorati berbagai macam keyakinan dan juga pendapat mereka masing-
masing.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk mencapai atau menciptakan tata tertib,
keamanan dan ketentraman dalam masyarakat baik itu merupakan usaha pencegahan maupun
pemberantasan atau penindakan setelah terjadinya pelanggaran hukum, dengan perkataan lain baik
secara preventif maupun represif. Sejauh ini peraturan yang mengatur tentang penegakan hukum dan
perlindungan hukum terhadap keluhuran harkat martabat manusia di dalam proses pidana pada
hakekatnya telah diletakkan dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP).
Lembaga peradilan sebagai lembaga penegakan hukum dalam system mperadilan pidana
merupakan suatu tumpuan harapan dari para pencari keadilan yang selalu menghendaki
peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan sebagaimana yang diatur dalam pasal 2 ayat
(4) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Keadilan yang
dihasilkan dari suatu lembaga peradilan melalui suatu proses peradilan yang tertuang di dalam
putusan hakim adalah merupakan syarat utama di dalam mempertahankan kelangsungan
hidup suatu masyarakat sebab putusan-putusan hakim yang kurang adil membuat
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan menjadi berkurang, sehingga
mengakibatkan Universitas Sumatera Utaramasyarakat enggan untuk menempuh jalur hukum
di dalam mengatasi permasalahan hukum yang mereka hadapi. Maka dalam hal ini hakim
sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili dalam
suatu proses peradilan pidana, mempunyai suatu peranan penting dalam penegakan hukum
pidana untuk tercapainya suatu keadilan yang diharapkan dan dicita-citakan
B. SARAN
Berdasarkan pembahasan di atas dan simpulan yang telah di kemukakan sebelumnya, pada
bagian ini penulis mengemukakan beberapa saran sebagai berikut:
1. Penulis berharap dari adanya tugas ini dapat memberikan manfaat yang banyak bagi para
pembaca terutama siswa sebagai generasi mudah.
2. Penulis berharap agar siswa lebih mudah memahami perlindungan dan penegakkan
hukum.
3. Penulis menyadari bahwa masih banyak siswa yang belum memahami tentang
perlindungan dan penegakkan hukum maka dalam hal ini perlu mendapatkan perhatian
dari para guru terutama para ahli hukum
DAFTAR PUSTAKA
Halimi Muhammad, Sundawa Dadang, Nasiwan, 2014, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Jakarta,
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Anwar Yesmil, System Peradilan Pidana (Konsep, Komponen dan Pelaksanaannya Dalam Penegakkan Hukum
Di Indonesia), Online, (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/32820/4/Chapter%20I.pdf),
Diakses 25 November 2014