Secara Umum
1. Untuk mengatur berjalannya kehidupan bermasyarakat yang teratur dan damai. Dengan ini
maka prinsip keadilan bisa diterapkan.
2. Melindungi hak dan kepentingan setiap individu sehingga tidak diganggu atau dicampuri oleh
orang lain. Sehingga akan tercipta kehidupan bermasyarakat yang harmonis.
3. Sebagai jaminan bahwa setiap orang tidak melakukan penyimpangan yang dapat menimbulkan
dampak kerugian pada individu lain. Dalam arti lain, mengatur pergaulan manusia.
Hukum memiliki tujuan yang universal yaitu ketertiban, keamanan, ketentraman, kabahagiaan,
dan kesejahteraan dalam kehidupan masyarakat. Berikut ini beberapa tujuan hukum secara
umum :
Selain itu, ada beberapa pendapat dari para ahli yang berbeda beda mengenai tujuan hukum
(menjamin kepastian hukum) berikut ini :
Tujuan hukum semata-mata mencapai keadilan. Artinya, memberikan kepada setiap orang, apa
yang menjadi haknya. Disebut teori etis karena isi hukum semata-mata ditentukan oleh
kesadaran etis mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil.
Hukum bertujuan untuk mencapai keadilan, dan sebagai unsur keadilan adalah ”kepentingan
daya guna dan kemanfaatan”.
4. Van Apeldorn
Tujuan hukum ialah mengatur pergaulan hidup manusia secara damai. Hukum menghendaki
perdamaian. Perdamaian di antara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi
kepentingan-kepentingan hukum manusia seperti: kehormatan, kemerdekaan jiwa, harta benda
dari pihak-pihak yang merugikan (Van Apeldorn : 1958).
Kedamaian hidup manusia yang meliputi ketertiban ekstern antar pribadi dan ketenangan intern
pribadi (Purnadi – Soerjono Soekanto: 1978).
Mengemukakan bahwa tujuan hukum adalah untuk mengadakan keselamatan dan kebahagian
serta tata tertib dalam lingkungan masyarakat.
9. Roscoe Pound
Hukum bertujuan untuk merekayasa masyarakat artinya hukum sebagai alat perubahan sosial (as
a tool of social engeneering), Intinya adalah hukum disini sebagai sarana atau alat untuk
mengubah masyarakat ke arah yang lebih baik, baik secara pribadi maupun dalam hidup
masyarakat.
10. Bellefroid
Menambah kesejahteraan umum atau kepentingan umum yaitu kesejahteraan atau kepentingan
semua anggota2 suatu masyarakat.
Untuk mengatur pergaulan hidup manusia secara damai. Hukum menghendaki perdamaian.
Perdamain diantara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-
kepentingan hukum manusia tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda terhadap
pihak yg merugikan.
Tujuannya yaitu mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia sehingga keamanan dan
ketertiban terpelihara.
Demikianlah informasi dan penjelasan mengenai tujuan hukum secara umum menurut para ahli
lengkap. Setelah melihat ulasan diatas, maka mulai sekarang haruslah kita junjung tinggi hukum
yang seadil adilnya untuk kepentingan bersama.
Fungsi
Secara umum, fungsi hukum ialah :
Mengatur tata kehidupan bermasyarakat agar dapat terciptanya suatu kerukunan, ketertiban,
keadilan dan perdamaian.
Mengatur dan mengkoordinasi berbagai kepentingan yang ada di masyarakat agar tidak terjadi
terbenturnya kepentingan yang berbeda.
Melindungi segala kepentingan seseorang dengan memberikan kekuasaan kepadanya untuk
bertindak dalam rangka kepentingannya itu, misal kepentingan seseorang terhadap jiwanya,
kehormatannya, harta bendanya dan sebagainya.
Berdasarkan uraian fungsi hukum oleh para pakar hukum di atas, dapat disusun fungsi-
fungsi hukum sebagai berikut :
(1) Fungsi hukum untuk memberikan pedoman atau pengarahan pada warga masyarakat untuk
berperilaku.
(2) Fungsi hukum sebagai pengawas atau pengendali sosial (social control).
(3) Fungsi hukum yaitu sebagai penyelesaian sengketa (dispute settlement).
(4) Fungs hukum ialah sebagai rekayasa sosial (social engineering)
SUMARNO
1. Latar Belakang Menurut kodrat alam, manusia dimana-mana dan pada zaman apapun juga
selalu hidup bersama, hidup berkelompok-kelompok, sekurang-kurangnya kehidupan bersama
itu terdiri dari dua orang, suami-istri ataupun ibu dan anak kandungnya. Dalam sejarah
perkembangannya, manusia tidak terdapat seorang pun yang hidup menyendiri, terpisah dari
kelompok manusia lainnya, kecuali dalam keadaan terpaksa dan itupun hanyalah untuk
sementara waktu. Dalam hal ini pun, mereka hidup perlu adanya aturan atau hukum yang
mengatur, mereka baik dalam berinteraksi sosial maupun hal-hal lainnya, yang diatur dalam
aturan maupun hukum tersebut sehingga fungsi hukum bisa berjalan sebagaimana mestinya.
Seperti diketahui bahwa di dalam setiap masyarakat senantiasa terdapat berbagai kepentingan
dari warganya. Di antara kepentingan itu ada yang bisa selaras dengan kepentingan yang lain,
tetapi ada juga kepentingan yang memicu konflik dengan kepentingan yang lain. Untuk
keperluan tersebut, hukum harus difungsikan menurut fungsi-fungsi tertentu untuk mencapai
tujuannya. Dengan kata lain, fungsi hukum adalah menertibkan dan mengatur pergaulan dalam
masyarakat serta menyelesaikan konflik yang terjadi. Dengan adanya hukum, konflik itu tidak
lagi dipecahkan menurut siapa yang paling kuat, melainkan berdasarkan aturan yang berorientasi
pada kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai objektif dengan tidak membedakan antara yang
kuat dan yang lemah, dan orientasi itu disebut keadilan. Berbicara tentang fungsi hukum, maka
yang menjadi pokok kajian adalah sejauh mana hukum dapat memberikan peranan yang positif
dalam masyarakat, baik dalam arti terhadap setiap individu, maupun dalam arti masyarakat
secara keseluruhan. Hukum sebagai kaidah, atau hukum sebagai teori. Dalam hubungan ini,
banyak ahli yang telah mengemukakan pendapatnya, seperti Lawrence M. Friedman yang
dikutip oleh Soleman B. Taneko yang menyatakan bahwa "Fungsi Hukum itu meliputi : 1.
Pengawasan/Pengendalian Sosial (Social Control). 2. Penyelesaian Sengketa (Dispute
Settlement). 3. Rekayasa Sosial (Social Engineering, Redistributive, atau Innovation)". Disini
nampak bahwa menurut ahli tersebut di atas, pada dasarnya hukum mempunyai tiga fungsi yang
harus diperankan dalam suatu masyarakat. Dalam hubungan ini, juga oleh Soerjono Soekanto,
mengemukakan fungsi hukum yang terdiri dari : 1. Untuk memberikan pedoman kepada warga
masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap dalam menghadapi masalah-
masalah dalam masyarakat yang terutama menyengkut kebutuhan-kebutuhan pokok. 2. Untuk
menjaga keutuhan masyarakat yang bersangkutan. 3. Memberikan pegangan kepada masyarakat
yang bersangkutan untuk mengadakan pengendalian sosial (Social Control)". Jika kita menelaah
kedua pendapat yang dikemukakan di atas mengenai fungsi hukum, maka pada dasarnya kedua
pendapat tersebut adalah sama, kendatipun dalam formulasi yang berbeda. Secara kuantitatif
fungsi hukum yang terdiri tiga seperti tersebut di atas, oleh Soleman B. Taneko, justru
mengemukakan bahwa fungsi hukum mencakup lebih dari tiga jenis seperti ungkapannya yang
menyatakan bahwa "Adapun fungsi hukum yang dimaksudkan ialah antara lain meliputi: 1.
Memberikan pedoman/pengarahan pada warga masyarakat untuk berperilaku. 2.
Pengawasan/Pengendalian Sosial (Social Control). 3. Penyelesaian sengketa (Dispute
Settlement). 4. Rekayasa Sosial (Social Engineering)". Dari keempat hal diatas kami disini akan
membahas serta mentikberatkan pada pembahasan dua dari empat fungsi hukum yang ada, yaitu
hukum sebagai pengawasan/pengendalian sosial (social control), dan hukum sebagai rekayasa
sosial (social engineering). 2. Pokok Permasalahan Yang menjadi pokok permasalahan dalam
makalah ini adalah sebagai berikut: a. Taraf apa saja yang mempengaruhi pengendalian social
dalam hukum? b. Bagaimana peran hukum sebagai pengendalian (control) social? c. Seberapa
efektifkah hukum sebagai control social? d. Apa saja pendapat para ahli tentang social
engineering dalam hukum? e. Apa saja langkah-langkah dalam social engineering dalam
penyelesaian masalah hukum? 3. Metode Penulisan Makalah ini disusun dengan menggunakan
metode studi kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan sumber penulisan dari bahan-bahan
bacaan berupa buku, jurnal, internet, dan bahan pustaka lainnya. 4. Secara umum, makalah ini
diharapkan dapat memperluas wawasan pembaca dan menjadi referensi bagi pihak yang
berkepentingan sehingga diharapkan tidak hanya mengetahui tetapi juga memahami fungsi-funsi
hukum di Indonesia, khususnya. Adapun secara khusus, makalah ini bertujuan sebagai berikut.
Pertama, menjelaskan fungsi hokum sebagai control social . Kedua, menjelaskan fungsi hukum
sebagai social engineering (rekayasa sosial.)
BAB II HUKUM DAN PENGENDALIAN SOSIAL (SOCIAL CONTROL) Pada taraf
kehidupan bersama, pengendalian social merupakan suatu kekuatan untuk mengorganisasi
tingkah laku sosial budaya. Sebagaimana halnya dengan kenyataan bahwa kehidupan manusia
dalam artian tertentu dicakup alam semesta, maka pengendalian sosial membimbing manusia
semenjak lahir hingga meninggal dunia. Pengendalian sosial terjadi apabila suatu kelompok
menentukan tingkah laku kelompok lain, atau apabila kelompok mengendalikan anggotanya atau
kalau pribadi-pribadi mempengaruhi tingkah laku pihak lain. Dengan demikian pengendalian
social terjadi dalam tiga taraf yakni: 1. kelompok terhadap kelompok 2. kelompok terhadap
anggotanya 3. pribadi terhadap pribadi Dengan kata lain pengendalian social terjadi apabila
seseorang diajak atau dipaksa untuk bertingkah laku sesuai dengan keinginan pihak lain, baik
apabila hal itu sesuai dengan kehendaknya ataupun tidak. Jika dikatakan pengendalian social itu
memiliki unsur pengajakan atau pemaksaan kehendak kepada pihak lain, maka kesiapan pihak
lain itu untuk menerimanya sudah tentu didasarkan kepada keadaan-keadaan tertentu.
Pengendalian social bertujuan “ to bring about confirmaty, solidarity, and continuity particular
group or society”. Dalam hal ini, Soerjono Soekanto dan Heri Tjandrasari juga secara rinci
menyusun klasifikasi sederhana terhadap tujuan-tujuan pengendalian social, yaitu: 1. yang
tujuannya bersifat eksploitatif, oleh karena dimotivasikan kepentingan diri, baik secara langsung
maupun tidak langsung. 2. yang tujuannnya bersifat regulative, oleh karena dilandaskan pada
kebiasaan atau adat istiadat. 3. yang tujuannya bersifat kreatif atau konstruktif, oleh karena
diarahkan pada perubahan social dan bermanfaat. Melihat dari klasifikasi yang dirumuskan oleh
mereka berdua, kita dapat menyimpulkan bahwa ketiga-tiganya memerlukan sarana untuk
pengaturannya. Sarana untuk pengendalian sosial itu dapat berbentuk badan-badan yang bersifat
institusional maupun noninstitusional, tergantung kepada tujuan yang hendak dicapai. Yang
bersifat institusional salah satu diantaranya adalah hukum. Hukum merupakan lembaga
pengendali sosial yang memiliki kekuatan. Dapat kita bayangkan jika kekuatan hukum sebagai
lembaga pengendali sosial ini pudar, maka tingkah laku masyarakat (baik kelompok maupun
individu) menjadi tidak stabil dan kita tidak dapat membayangkan keadaan masyarakat itu untuk
selanjutnya. Oleh karena itu, penulis menganalisa bahwa hukum diartikan sebagai “kontrol
sosial” dan berhubungan dengan pembentukan dan pemeliharaan aturan-aturan sosial. Analisa ini
berpijak pada kemampuan hukum untuk mengontrol perilaku-perilaku manusia dan menciptakan
suatu kesesuaian didalam perilaku-perilaku tersebut. Sering dikatakan bahwasanya salah satu
karakteristik hukum yang membedakannya dari aturan-aturan yang bersifat normatif ialah
adanya mekanisme kontrol yaitu yang disebut sebagai sanksi. Sedangkan menurut Ronny Hantijo
Soemitro: kontrol sosial merupakan aspek normatif dari kehidupan sosial atau dapat disebut
sebagai pemberi definisi dari tingkah laku yang menyimpang serta akibat-akibatnya seperti
larangan-larangan, tuntutan-tuntutan, pemidanaan dan pemberian ganti rugi. Dari apa yang
dikemukakan oleh Prof. Ronny di atas, kita dapat menangkap isyarat bahwa hukum bukan satu-
satunya alat pengendali atau pengontrol sosial. Hukum hanyala salah satu alat kontrol sosial
dalam masyarakat. Fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial dapat diterangkan sebagai
fungsi hukum untuk menetapkan tingkah laku mana yang dianggap merupakan penyimpangan
terhadap aturan hukum, dan apa sanksi atau tindakan yang dilakukan oleh hukum jika terjadi
penyimpangan tersebut. Olehnya itu Ronny menuliskan bahwa: “Tingkah laku yang
menyimpang merupakan tindakan yang tergantung pada kontrol sosial. Ini berarti kontrol sosial
menentukan tingkah laku yang bagaimana yang merupakan tingkah laku yang menyimpang.
Makin tergantung tingkah laku itu pada kontrol sosial makin berat nilai penyimpangan
pelakunya. Berat ringannya tingkah laku menyimpang itu tergantung …….” Lain lagi dengan JS.
Rouceek yang menyatakan: “Mekanisme pengendalian sosial (mechanisme of social control)
ialah segala sesuatu yang dijalankan untuk melaksanakan proses yang direncanakan maupun
yang tidak direncanakan untuk mendidik, mengajak atau bukan memaksa para warga agar
menyesuaikan diri dengan kebiasaan-kebiasaan dan nilai-nilai kehidupan masyarakat yang
bersangkutan”. Jika kita ingin membuat suatu simpulan dari apa yang diuraikan di atas tentang
hukum sebagai pengendalian sosial, penulis dapat menyatakan bahwa: 1. Fungsi hukum sebagai
alat pengendalian sosial, tidaklah sendirian di dalam masyarakat, melainkan menjalankan fungsi
itu bersama-sama dengan pranata-pranata sosial lainnya yang juga melakukan fungsi
pengendalian sosial 2. Fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial merupakan fungsi “pasif”
di sini artinya hukum yang menyesuaikan diri dengan kenyataan masyarakat. Sehubungan
dengan fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial ini, masih ada hal lain menurut penulis
yang sangat perlu diketahui, yaitu: 1. Fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial, dapt
dijalankan oleh suatu kekuasaan terpusat yang dewasa ini berwujud kekuasaan negara, yang
dilaksanakan oleh “the ruling class” tertentu atau suatu “elit” hukumnya biasanya berwujud
hukum tertulis atau perundang-undangan. 2. Fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial,
dapat juga dijalankan sendiri “dari bawah” oleh masyarakat itu sendiri. Hukumnya biasa
terwujud tidak tertulis atau hukum kebiasaan. Terlaksana atau tidak terlaksananya fungsi hukum
sebagai alat pengendalian sosial, ditentukan oleh dua hal: 1. faktor aturan hukumnya sendiri. 2.
faktor pelaksana (orang) hukumnya.
1. Faktor hukumnya sendiri atau peraturan itu sendiri. Contohnya, tidak diikutinya
asas-asas berlakunya undang-undang, belum adanya peraturan pelaksana yang sangat
dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang serta ketidakjelasan arti kata-kata di dalam
undang-undang yang mengakibatkan kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta
penerapannya.
2. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan
hukum. Contohnya, keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan
pihak lain dengan siapa dia berinteraksi, tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi,
kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali
untuk membuat suatu proyeksi.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Contohnya, dapat
dianut jalan pikiran sebagai berikut : yang tidak ada, diadakan yang baru betul; yang
rusak atau salah, diperbaiki atau dibetulkan; yang kurang, ditambah; serta yang macet,
dilancarkan.
4. Faktor masyarakat, yakni faktor lingkungan dimana hukum tersebut diterapkan.
Contohnya, masyarakat tidak mengetahui akan adanya upayaupaya hukum untuk
melindungi kepentingan-kepentingannya; tidak berdaya untuk memanfaatkan upaya-
upaya hukum karena faktor-faktor keuangan, psikis, sosial atau politik, dan lain
sebagainya.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, rasa yang didasarkan pada karsa
manusia di dalam pergaulan hidup. Contohnya, nilai ketertiban dan nilai ketentraman,
nilai jasmaniah/kebendaan dan nilai rohaniah/keakhlakan, nilai
kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme.
1. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-undang saja.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa
manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari
penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Dengan
demikian, maka kelima faktor tersebut akan dibahas lebih lanjut dengan mengetengahkan
contoh-contoh yang diambil dari kehidupan masyarakat Indonesia.
1. Undang-undang
Undang-undang dalam arti material adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh
Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah (Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1979).
Mengenai berlakunya undang-undang tersebut, terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah
agar undang-undang tersebut mempunyai dampak yang positif. Asas-asas tersebut antara lain
(Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1979):
7. Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan materiel
bagi masyarakat maupun pribadi, melalui pelestaian ataupun pembaharuan (inovasi).
2. Penegak Hukum
Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai
kemampuan-kemampuan tertentu sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapat pengertian dari golongan sasaran, disamping
mampu menjalankan atau membawakan peranan yang dapat diterima oleh mereka.
Ada beberapa halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan yang seharusnya dari
golngan sasaran atau penegak hukum, Halangan-halangan tersebut, adalah:
1. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia
berinteraksi.
3. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk
membuat proyeksi.
4. Belum ada kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama
kebutuhan material.
Halangan-halangan tersebut dapat diatasi dengan membiasakan diri dengan sikap-sikap, sebagai
berikut:
2. Senantiasa siap untuk menerima perubahan setelah menilai kekurangan yang ada pada saat itu.
3. Peka terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya.
5. Orientasi ke masa kini dan masa depan yang sebenarnya merupakan suatu urutan.
9. Menyadari dan menghormati hak, kewajiban, maupun kehormatan diri sendiri dan ihak lain.
10. Berpegang teguh pada keputusan-keputusan yang diambil atas dasar penalaran dan
perhitingan yang mantap.
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berjalan
dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup tenaga manusia yang
berpendidikan dan trampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang
cukup, dan seterusnya.
Sarana atau fasilitas mempunyai peran yang sangat penting dalam penegakan hukum. Tanpa
adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan
yang seharusnya dengan peranan yang aktual. Khususnya untuk sarana atau fasilitas tesebut,
sebaiknya dianut jalan pikiran, sebagai berikut (Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1983):
3. Yang kurang-ditambah.
4. Yang macet-dilancarkan.
4. Faktor Masyarakat
Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam
masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat
mempengaruhi penegakan hukum tersebut.
Masyarakat Indonesia mempunyai kecendrungan yang besar untuk mengartikan hukum dan
bahkan mengidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi).
Salah satu akibatnya adalah, bahwa
baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola prilaku penegak hukum tersebut.
5. Faktor Kebudayaan
Kebudayaan(system) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang
berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik
(sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Pasanagn nilai yang
berperan dalam hukum, adalah sebagai berikut ( Purbacaraka & Soerjono soekantu):
Di Indonesia masih berlaku hukum adat, hukum adat adalah merupakan hukum kebiasaan yang
berlaku dalam masyarakat.