Anda di halaman 1dari 15

Tujuan Hukum

Secara Umum

1. Mendatangkan kemakmuran masyarakat mempunyai tujuan


2. Mengatur pergaulan hidup manusia secara damai
3. Memberikan petunjuk bagi orang-orang dalam pergaulan masyarakat
4. Menjamin kebahagiaan sebanyak-banyaknya pada semua orang
5. Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin
6. Sebagai sarana penggerak pembangunan
7. Sebagai fungsi kritis

Tujuan Hukum Secara Umum


Jika anda berbicara tentang tujuan dari dibuatnya hukum, maka tujuan hukum secara umum
adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengatur berjalannya kehidupan bermasyarakat yang teratur dan damai. Dengan ini
maka prinsip keadilan bisa diterapkan.

2. Melindungi hak dan kepentingan setiap individu sehingga tidak diganggu atau dicampuri oleh
orang lain. Sehingga akan tercipta kehidupan bermasyarakat yang harmonis.

3. Sebagai jaminan bahwa setiap orang tidak melakukan penyimpangan yang dapat menimbulkan
dampak kerugian pada individu lain. Dalam arti lain, mengatur pergaulan manusia.

Tujuan Hukum Secara Umum

Hukum memiliki tujuan yang universal yaitu ketertiban, keamanan, ketentraman, kabahagiaan,
dan kesejahteraan dalam kehidupan masyarakat. Berikut ini beberapa tujuan hukum secara
umum :

 Mendatangkan kemakmuran masyarakat mempunyai tujuan


 Mengatur pergaulan hidup manusia secara damai
 Memberikan petunjuk bagi orang-orang dalam pergaulan masyarakat
 Menjamin kebahagiaan sebanyak-banyaknya pada semua orang
 Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin
 Sebagai sarana penggerak pembangunan
 Sebagai fungsi kritis
 Untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia.
 Untuk menjaga kepentingan tiap manusia supaya kepentingan itu tidak dapat diganggu.
 Untuk mengatur tata tertib masyarakat secara damai dan adil.
 Mampu menegakkan keadilan dan ketertiban
Tujuan Hukum Menurut Para Ahli

Selain itu, ada beberapa pendapat dari para ahli yang berbeda beda mengenai tujuan hukum
(menjamin kepastian hukum) berikut ini :

1. Aristoteles (Teori Etis )

Tujuan hukum semata-mata mencapai keadilan. Artinya, memberikan kepada setiap orang, apa
yang menjadi haknya. Disebut teori etis karena isi hukum semata-mata ditentukan oleh
kesadaran etis mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil.

2. Jeremy Bentham (Teori Utilitis )

Hukum bertujuan untuk mencapai kemanfaatan. Artinya hukum bertujuan menjamin


kebahagiaan bagi sebanyak-banyaknya orang/masyarakat (Jeremy Bentham : 1990).

3. Geny (D.H.M. Meuvissen : 1994)

Hukum bertujuan untuk mencapai keadilan, dan sebagai unsur keadilan adalah ”kepentingan
daya guna dan kemanfaatan”.

4. Van Apeldorn

Tujuan hukum ialah mengatur pergaulan hidup manusia secara damai. Hukum menghendaki
perdamaian. Perdamaian di antara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi
kepentingan-kepentingan hukum manusia seperti: kehormatan, kemerdekaan jiwa, harta benda
dari pihak-pihak yang merugikan (Van Apeldorn : 1958).

5. Prof Subekti S.H.

Untuk menyelenggarakan keadilan dan ketertiban sebagai syarat untuk mendatangkan


kemakmuran dan kebahagiaan (Subekti : 1977).

6. Purnadi dan Soerjono Soekanto

Kedamaian hidup manusia yang meliputi ketertiban ekstern antar pribadi dan ketenangan intern
pribadi (Purnadi – Soerjono Soekanto: 1978).

7. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H.

Mengemukakan bahwa tujuan hukum adalah untuk mengadakan keselamatan dan kebahagian
serta tata tertib dalam lingkungan masyarakat.

8. Prof. Mr. J Van Kan


Menurutnya Tujuan hukum adalah untuk menjaga kepentingan setiap manusia supaya berbagai
kepentingannya itu tidak dapat diganggu. Lebih jelasnya adalah bertugas untuk menjamin
kepastian hukum di dalam sebuah masyarakat, juga menjaga dan mencegah agar setiap orang
dalam suatu masyarakat tidak menjadi hakim sendiri.

9. Roscoe Pound

Hukum bertujuan untuk merekayasa masyarakat artinya hukum sebagai alat perubahan sosial (as
a tool of social engeneering), Intinya adalah hukum disini sebagai sarana atau alat untuk
mengubah masyarakat ke arah yang lebih baik, baik secara pribadi maupun dalam hidup
masyarakat.

10. Bellefroid

Menambah kesejahteraan umum atau kepentingan umum yaitu kesejahteraan atau kepentingan
semua anggota2 suatu masyarakat.

11. Prof. Mr Dr. LJ. Apeldoorn

Untuk mengatur pergaulan hidup manusia secara damai. Hukum menghendaki perdamaian.
Perdamain diantara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-
kepentingan hukum manusia tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda terhadap
pihak yg merugikan.

12. S.M. Amin (S. M. Amin: 1978)

Tujuannya yaitu mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia sehingga keamanan dan
ketertiban terpelihara.

Demikianlah informasi dan penjelasan mengenai tujuan hukum secara umum menurut para ahli
lengkap. Setelah melihat ulasan diatas, maka mulai sekarang haruslah kita junjung tinggi hukum
yang seadil adilnya untuk kepentingan bersama.

Adapun fungsi dari hukum adalah, sebagai berikut :

1. Sebagai Perlindungan, Hukum melindungi masyarakat dari ancaman bahaya;


2. Fungsi Keadilan, Hukum sebagai penjaga, pelindung dan memberikan keadilan bagi
manusia; dan
3. Dalam Pembangunan, Hukum dipergunakan sebagai acuan tujuan negara.

Fungsi dari hukum secara umum adalah :


1. Hukum berfungsi untuk melindungi kepentingan manusia;
2. Hukum berfungsi sebagai alat untuk ketertiban dan keteraturan masyarakat;
3. Hukum berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial (lahir batin);
4. Hukum berfungsi sebagai alat perubahan social (penggerak pembangunan);
5. Sebagai alat kritik (fungsi kritis); dan
6. Hukum berfungsi untuk menyelesaikan pertikaian.

Fungsi
Secara umum, fungsi hukum ialah :

 Mengatur tata kehidupan bermasyarakat agar dapat terciptanya suatu kerukunan, ketertiban,
keadilan dan perdamaian.
 Mengatur dan mengkoordinasi berbagai kepentingan yang ada di masyarakat agar tidak terjadi
terbenturnya kepentingan yang berbeda.
 Melindungi segala kepentingan seseorang dengan memberikan kekuasaan kepadanya untuk
bertindak dalam rangka kepentingannya itu, misal kepentingan seseorang terhadap jiwanya,
kehormatannya, harta bendanya dan sebagainya.

Fungsi Hukum menurut Soerjono Soekanto, Di Indonesia fungsi hukum di dalam


pembangunan sebagai sarana pembangunan masyarakat. Hal ini berdasarkan pada anggapan
bahwa ketertiban dalam pembangunan merupakan sesuatu yang dianggap penting dan sangat
diperlukan. Sebagai tata kaedah, fungsi hukum yaitu untuk menyalurkan arah kegiatan warga
masyarakat ke tujuan yang dikehendaki oleh perubahan tersebut. Sudah tentu bahwa fungsi
hukum di atas seharusnya dilakukan, di samping fungsi hukum sebagai pengendalian sosial.

Berdasarkan uraian fungsi hukum oleh para pakar hukum di atas, dapat disusun fungsi-
fungsi hukum sebagai berikut :
(1) Fungsi hukum untuk memberikan pedoman atau pengarahan pada warga masyarakat untuk
berperilaku.
(2) Fungsi hukum sebagai pengawas atau pengendali sosial (social control).
(3) Fungsi hukum yaitu sebagai penyelesaian sengketa (dispute settlement).
(4) Fungs hukum ialah sebagai rekayasa sosial (social engineering)

FUNGSI HUKUM SEBAGAI CONTROL SOCIAL DAN SOCIAL ENGINEERING

SUMARNO

1. Latar Belakang Menurut kodrat alam, manusia dimana-mana dan pada zaman apapun juga
selalu hidup bersama, hidup berkelompok-kelompok, sekurang-kurangnya kehidupan bersama
itu terdiri dari dua orang, suami-istri ataupun ibu dan anak kandungnya. Dalam sejarah
perkembangannya, manusia tidak terdapat seorang pun yang hidup menyendiri, terpisah dari
kelompok manusia lainnya, kecuali dalam keadaan terpaksa dan itupun hanyalah untuk
sementara waktu. Dalam hal ini pun, mereka hidup perlu adanya aturan atau hukum yang
mengatur, mereka baik dalam berinteraksi sosial maupun hal-hal lainnya, yang diatur dalam
aturan maupun hukum tersebut sehingga fungsi hukum bisa berjalan sebagaimana mestinya.
Seperti diketahui bahwa di dalam setiap masyarakat senantiasa terdapat berbagai kepentingan
dari warganya. Di antara kepentingan itu ada yang bisa selaras dengan kepentingan yang lain,
tetapi ada juga kepentingan yang memicu konflik dengan kepentingan yang lain. Untuk
keperluan tersebut, hukum harus difungsikan menurut fungsi-fungsi tertentu untuk mencapai
tujuannya. Dengan kata lain, fungsi hukum adalah menertibkan dan mengatur pergaulan dalam
masyarakat serta menyelesaikan konflik yang terjadi. Dengan adanya hukum, konflik itu tidak
lagi dipecahkan menurut siapa yang paling kuat, melainkan berdasarkan aturan yang berorientasi
pada kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai objektif dengan tidak membedakan antara yang
kuat dan yang lemah, dan orientasi itu disebut keadilan. Berbicara tentang fungsi hukum, maka
yang menjadi pokok kajian adalah sejauh mana hukum dapat memberikan peranan yang positif
dalam masyarakat, baik dalam arti terhadap setiap individu, maupun dalam arti masyarakat
secara keseluruhan. Hukum sebagai kaidah, atau hukum sebagai teori. Dalam hubungan ini,
banyak ahli yang telah mengemukakan pendapatnya, seperti Lawrence M. Friedman yang
dikutip oleh Soleman B. Taneko yang menyatakan bahwa "Fungsi Hukum itu meliputi : 1.
Pengawasan/Pengendalian Sosial (Social Control). 2. Penyelesaian Sengketa (Dispute
Settlement). 3. Rekayasa Sosial (Social Engineering, Redistributive, atau Innovation)". Disini
nampak bahwa menurut ahli tersebut di atas, pada dasarnya hukum mempunyai tiga fungsi yang
harus diperankan dalam suatu masyarakat. Dalam hubungan ini, juga oleh Soerjono Soekanto,
mengemukakan fungsi hukum yang terdiri dari : 1. Untuk memberikan pedoman kepada warga
masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap dalam menghadapi masalah-
masalah dalam masyarakat yang terutama menyengkut kebutuhan-kebutuhan pokok. 2. Untuk
menjaga keutuhan masyarakat yang bersangkutan. 3. Memberikan pegangan kepada masyarakat
yang bersangkutan untuk mengadakan pengendalian sosial (Social Control)". Jika kita menelaah
kedua pendapat yang dikemukakan di atas mengenai fungsi hukum, maka pada dasarnya kedua
pendapat tersebut adalah sama, kendatipun dalam formulasi yang berbeda. Secara kuantitatif
fungsi hukum yang terdiri tiga seperti tersebut di atas, oleh Soleman B. Taneko, justru
mengemukakan bahwa fungsi hukum mencakup lebih dari tiga jenis seperti ungkapannya yang
menyatakan bahwa "Adapun fungsi hukum yang dimaksudkan ialah antara lain meliputi: 1.
Memberikan pedoman/pengarahan pada warga masyarakat untuk berperilaku. 2.
Pengawasan/Pengendalian Sosial (Social Control). 3. Penyelesaian sengketa (Dispute
Settlement). 4. Rekayasa Sosial (Social Engineering)". Dari keempat hal diatas kami disini akan
membahas serta mentikberatkan pada pembahasan dua dari empat fungsi hukum yang ada, yaitu
hukum sebagai pengawasan/pengendalian sosial (social control), dan hukum sebagai rekayasa
sosial (social engineering). 2. Pokok Permasalahan Yang menjadi pokok permasalahan dalam
makalah ini adalah sebagai berikut: a. Taraf apa saja yang mempengaruhi pengendalian social
dalam hukum? b. Bagaimana peran hukum sebagai pengendalian (control) social? c. Seberapa
efektifkah hukum sebagai control social? d. Apa saja pendapat para ahli tentang social
engineering dalam hukum? e. Apa saja langkah-langkah dalam social engineering dalam
penyelesaian masalah hukum? 3. Metode Penulisan Makalah ini disusun dengan menggunakan
metode studi kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan sumber penulisan dari bahan-bahan
bacaan berupa buku, jurnal, internet, dan bahan pustaka lainnya. 4. Secara umum, makalah ini
diharapkan dapat memperluas wawasan pembaca dan menjadi referensi bagi pihak yang
berkepentingan sehingga diharapkan tidak hanya mengetahui tetapi juga memahami fungsi-funsi
hukum di Indonesia, khususnya. Adapun secara khusus, makalah ini bertujuan sebagai berikut.
Pertama, menjelaskan fungsi hokum sebagai control social . Kedua, menjelaskan fungsi hukum
sebagai social engineering (rekayasa sosial.)
BAB II HUKUM DAN PENGENDALIAN SOSIAL (SOCIAL CONTROL) Pada taraf
kehidupan bersama, pengendalian social merupakan suatu kekuatan untuk mengorganisasi
tingkah laku sosial budaya. Sebagaimana halnya dengan kenyataan bahwa kehidupan manusia
dalam artian tertentu dicakup alam semesta, maka pengendalian sosial membimbing manusia
semenjak lahir hingga meninggal dunia. Pengendalian sosial terjadi apabila suatu kelompok
menentukan tingkah laku kelompok lain, atau apabila kelompok mengendalikan anggotanya atau
kalau pribadi-pribadi mempengaruhi tingkah laku pihak lain. Dengan demikian pengendalian
social terjadi dalam tiga taraf yakni: 1. kelompok terhadap kelompok 2. kelompok terhadap
anggotanya 3. pribadi terhadap pribadi Dengan kata lain pengendalian social terjadi apabila
seseorang diajak atau dipaksa untuk bertingkah laku sesuai dengan keinginan pihak lain, baik
apabila hal itu sesuai dengan kehendaknya ataupun tidak. Jika dikatakan pengendalian social itu
memiliki unsur pengajakan atau pemaksaan kehendak kepada pihak lain, maka kesiapan pihak
lain itu untuk menerimanya sudah tentu didasarkan kepada keadaan-keadaan tertentu.
Pengendalian social bertujuan “ to bring about confirmaty, solidarity, and continuity particular
group or society”. Dalam hal ini, Soerjono Soekanto dan Heri Tjandrasari juga secara rinci
menyusun klasifikasi sederhana terhadap tujuan-tujuan pengendalian social, yaitu: 1. yang
tujuannya bersifat eksploitatif, oleh karena dimotivasikan kepentingan diri, baik secara langsung
maupun tidak langsung. 2. yang tujuannnya bersifat regulative, oleh karena dilandaskan pada
kebiasaan atau adat istiadat. 3. yang tujuannya bersifat kreatif atau konstruktif, oleh karena
diarahkan pada perubahan social dan bermanfaat. Melihat dari klasifikasi yang dirumuskan oleh
mereka berdua, kita dapat menyimpulkan bahwa ketiga-tiganya memerlukan sarana untuk
pengaturannya. Sarana untuk pengendalian sosial itu dapat berbentuk badan-badan yang bersifat
institusional maupun noninstitusional, tergantung kepada tujuan yang hendak dicapai. Yang
bersifat institusional salah satu diantaranya adalah hukum. Hukum merupakan lembaga
pengendali sosial yang memiliki kekuatan. Dapat kita bayangkan jika kekuatan hukum sebagai
lembaga pengendali sosial ini pudar, maka tingkah laku masyarakat (baik kelompok maupun
individu) menjadi tidak stabil dan kita tidak dapat membayangkan keadaan masyarakat itu untuk
selanjutnya. Oleh karena itu, penulis menganalisa bahwa hukum diartikan sebagai “kontrol
sosial” dan berhubungan dengan pembentukan dan pemeliharaan aturan-aturan sosial. Analisa ini
berpijak pada kemampuan hukum untuk mengontrol perilaku-perilaku manusia dan menciptakan
suatu kesesuaian didalam perilaku-perilaku tersebut. Sering dikatakan bahwasanya salah satu
karakteristik hukum yang membedakannya dari aturan-aturan yang bersifat normatif ialah
adanya mekanisme kontrol yaitu yang disebut sebagai sanksi. Sedangkan menurut Ronny Hantijo
Soemitro: kontrol sosial merupakan aspek normatif dari kehidupan sosial atau dapat disebut
sebagai pemberi definisi dari tingkah laku yang menyimpang serta akibat-akibatnya seperti
larangan-larangan, tuntutan-tuntutan, pemidanaan dan pemberian ganti rugi. Dari apa yang
dikemukakan oleh Prof. Ronny di atas, kita dapat menangkap isyarat bahwa hukum bukan satu-
satunya alat pengendali atau pengontrol sosial. Hukum hanyala salah satu alat kontrol sosial
dalam masyarakat. Fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial dapat diterangkan sebagai
fungsi hukum untuk menetapkan tingkah laku mana yang dianggap merupakan penyimpangan
terhadap aturan hukum, dan apa sanksi atau tindakan yang dilakukan oleh hukum jika terjadi
penyimpangan tersebut. Olehnya itu Ronny menuliskan bahwa: “Tingkah laku yang
menyimpang merupakan tindakan yang tergantung pada kontrol sosial. Ini berarti kontrol sosial
menentukan tingkah laku yang bagaimana yang merupakan tingkah laku yang menyimpang.
Makin tergantung tingkah laku itu pada kontrol sosial makin berat nilai penyimpangan
pelakunya. Berat ringannya tingkah laku menyimpang itu tergantung …….” Lain lagi dengan JS.
Rouceek yang menyatakan: “Mekanisme pengendalian sosial (mechanisme of social control)
ialah segala sesuatu yang dijalankan untuk melaksanakan proses yang direncanakan maupun
yang tidak direncanakan untuk mendidik, mengajak atau bukan memaksa para warga agar
menyesuaikan diri dengan kebiasaan-kebiasaan dan nilai-nilai kehidupan masyarakat yang
bersangkutan”. Jika kita ingin membuat suatu simpulan dari apa yang diuraikan di atas tentang
hukum sebagai pengendalian sosial, penulis dapat menyatakan bahwa: 1. Fungsi hukum sebagai
alat pengendalian sosial, tidaklah sendirian di dalam masyarakat, melainkan menjalankan fungsi
itu bersama-sama dengan pranata-pranata sosial lainnya yang juga melakukan fungsi
pengendalian sosial 2. Fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial merupakan fungsi “pasif”
di sini artinya hukum yang menyesuaikan diri dengan kenyataan masyarakat. Sehubungan
dengan fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial ini, masih ada hal lain menurut penulis
yang sangat perlu diketahui, yaitu: 1. Fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial, dapt
dijalankan oleh suatu kekuasaan terpusat yang dewasa ini berwujud kekuasaan negara, yang
dilaksanakan oleh “the ruling class” tertentu atau suatu “elit” hukumnya biasanya berwujud
hukum tertulis atau perundang-undangan. 2. Fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial,
dapat juga dijalankan sendiri “dari bawah” oleh masyarakat itu sendiri. Hukumnya biasa
terwujud tidak tertulis atau hukum kebiasaan. Terlaksana atau tidak terlaksananya fungsi hukum
sebagai alat pengendalian sosial, ditentukan oleh dua hal: 1. faktor aturan hukumnya sendiri. 2.
faktor pelaksana (orang) hukumnya.

HUKUM DAN REKAYASA SOSIAL (SOCIAL ENGINEERING) Dalam uraian terdahulu,


telah dikemukakan beberapa pendapat ahli yang menjelaskan tentang jenis fungsi hukum di
dalam masyarakat. Salah satu fungsi hukum yang akan dibahas secara singkat disini adalah
fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial. Walaupun tidak semua ahli yang dikemukakan
pendapatnya secara langsung menyebut alat rekayasa sosial sebagai salah satu fungsi hukum,
namun dapat dimaklumi, jika fungsi ini juga tercakup dalam rumusan yang dikemukakan para
ahli dimaksud. Untuk lebih meyakinkan akan adanya fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial
ini, perlu diketengahkan pendapat Rusli Effendi (1991: 81), yang menegaskan bahwa "Suatu
masyarakat di manapun di dunia ini, tidak ada yang statis. Masyarakat manapun senantiasa
mengalami perubahan, hanya saja ada masyarakat yang perubahannya pesat dan ada pula yang
lamban. Di dalam menyesuaikan diri dengan perubahan itulah, fungsi hukum sebagai a tool of
engineering, sebagai perekayasa sosial, sebagai alat untuk merubah masyarakat ke suatu tujuan
yang diinginkan bersama, sangat berarti". Penegasan Rusli Effendy tersebut di atas,
menunjukkan bahwa hukum sebagai alat rekayasa sosial sangat diperlukan dalam proses
perubahan masyarakat yang di manapun senantiasa terjadi, apalagi dalam kondisi kemajuan yang
menuntut perlunya perubahan-perubahan yang relatif cepat. Fungsi Hukum sebagai alat rekayasa
sosial ini, juga sering disebut sebagai a tool of engineering yang pada prinsipnya merupakan
fungsi hukum yang dapat diarahkan untuk merubah pola-pola tertentu dalam suatu masyarakat,
baik dalam arti mengokohkan suatu kebiasaan menjadi sesuatu yang lebih diyakini dan lebih
ditaati, maupun dalam bentuk perubahan lainnya. Perubahan lainnya dimaksud, antara lain
menghilangkan suatu kebiasaan yang memang sudah dianggap tidak sesuai dengan kondisi
masyarakat, maupun dalam membentuk kebiasaan baru yang dianggap lebih sesuai, atau dapat
mengarahkan masyarakat ke arah tertentu yang dianggap lebih baik dari sebelumnya. Sejalan
dengan ini, Soleman B. Taneko mengutip pendapat Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa
"Hukum sebagai sarana rekayasa sosial, innovasi, sosial engineering, menurut Satjipto Rahardjo,
tidak saja digunakan untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat
dalam masyarakat, melainkan juga untuk mengarahkan pada tujuan-tujuan yang dikehendaki,
menghapuskan kebiasaan-kebiasaan yang dipandang tidak perlu lagi, menciptakan pola-pola
kelakuan baru dan sebagainya". Keadaan yang demikian itu berbeda sekali dengan pandangan
atau konsep hukum yang lain, seperti yang diajarkan oleh aliran sejarah. Dalm hal ini Friedrich
Karl Von Savigny,yang juga sering disebut pendiri Aliran pendiri sejarah tersebut, mengatakan
bahwa hukum itu merupakan ekspresi dari kesdaran umum atau semangat dari rakyat
(Volksgeist). Savigny mempertahankan pendapat, bahwa hukum itu pertama-tama dilahirkan
dari keputusan hakim, tetapi bagaimanapun juga diciptakan oleh kekuatan-kekuatan dari dalam
yang bekerja secara diam-diam, dan tidak oleh kemauan sendiri dari pembuat Undang-undang.
Konsep tersebut memang didukung oleh kenyataan dalam sejarah, yaitu pada masyarakat-
masyarakat yang masih sederhana sifatnya. Pada masyarakat –masyarakat seperti itu memang
tidak dijumpai peranan dari pembuat Undang-undang seperti pada masyarakat modern sekarang
ini. Peranan dari hukum kebiasaan adalah lebih menonjol. Sorokin menggambarkan pandangan
dari masyarakat modern tentang hukum itu dengan cukup tajam, yaitu sebagai: “hukum buatan
manusia, yang sering hanya berupa instrumen untuk menundukan dan mengeksploitasi suatu
golongan lain”. Tujuannya adalah sepenunhya utilitarian yaitu keselamatan hidup manusia,
keamanan harta benda dan pemiliknya, keamanan dan ketertiban, kebahagiaan dan kesejahteraan
atau dari masyarakat keseluruhannya, atau dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat.
Norma-normanya bersifat relatif, bisa dirubah dan tergantung pada keadaan. Dalam sistem
hukum yang demikian itu, tidak ada yang dianggap suci dan abadi. Berdasarkan pandangan
Sorokin ini hukum tidak lagi dimaksudkan hanya sebagai sarana untuk mengatur ketertiban dan
keamanan serta kepastian hukum dalam masyarakat, tetapi lebih jauh bagaimana upaya hukum
itu berfungsi sebagai sarana untuk mencapai kehidupan yang maksimal. Adanya pandangan agar
hukum dapat membentuk dan merubah suatu keadaan dalam masyarakat sebenarnya telah lama
dikembangkan oleh seorang sarjana yang bernama Rescoe Pound dengan teori yang terkenal
“law as a tool of social engineering” . Di indonesia teori ini dikembangkan oleh Muhtar Kusuma
Atmadja. Kata ”tool” diartikannya sebagai sarana. Langkah yang diambil dalam sosial
engineering bersifat sistematis dimulai dari identifikasi problem sampai kepada jalan
pemecahannya yaitu : 1. mengenal problem yang dihadapi sebaik-baiknya. Termasuk
didalamnya mengenali dengan seksama masyarakat yang hendak menjadi sasaran dari
penggarapan tersebut. 2. Memahami nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Hal ini penting
dalam hal sosial engineering itu hendak ditrerapkan pada masyarakat dengan sektor-sektor
kehidupan majemuk, seperti : tradisional , modern dan perencanaan. Pada tahap ini ditentukan
nilai-nilai dari sektor mana yang dipilih. 3. Membuat hipotesa-hipotesa dan memilih mana yang
paling layak untuk bisa dilaksanakan. 4. Mengikuti jalannnya penerapan hukum dan mengukur
efek-efeknya. Langkah-langkah ini dapat dijadikan arah bagi menjalankan fungsi hukum sebagai
alat rekayasa sosial. bagaimana upaya hukum dapat merombak pemikiran, kultur maupun sikap
ataupun cara hidup seseorang agar dapat bertindak dan berbuat sesuai tuntutan kehidupan.
Bagaimana hukum dapat merubah orang yang selama ini “ tertidur” , setelah ada hukum menjadi
“terjaga” . mereka yang selama ini menebangi hutan secara liar setelah adanya hukum mereka
tidak lagi berbuat demikian. Hukum sebagai alat rekayasa sosial ini terlibat dalam fungsinya
sebagai independen variabel dimana masyarakat berfungsi sebagai dependent variabel.
Masyarakatlah yang dipengaruhi hukum agar ia terbentuk dalam suatu wujud terbangun
masyarakat. Jika demikian halnya, maka perlu ada perencanaan tentang bentuk masyarakat yang
dikehendaki. Pencapaian kepada bentuk masyarakat yang diinginkan itu diwujudkan melalui
arah kebijaksanaan yang ditetapkan melalui peraturan hukum.

Hukum sebagai Sosial Control


Dalam pembicaraan mengenai fungsi hukum sebagai alat kontrol sosial adalah dalam tahapan
kedudukan hukum untuk melakukan pengedalian terhadap tingkah laku masyarakat didalam
pergaulannya. Pengendalian social terjadi dalam tiga taraf yakni1[6]:
1. kelompok terhadap kelompok
2. kelompok terhadap anggotanya
3. pribadi terhadap pribadi
Yang artinya posisi hukum sebagai social control atau pengendali masyarakat adalah agar
masyarakat dalam pergaulannya tetap dalam koridor yang telah ditentukan hukum sebelumnya.
Ada indikator tertentu dalam hukum melakukan pengendalian terhadap masyarakat. Sehingga
bentuk hukum yang digunakan untuk mengendalikan masyarakat amat-lah menentukan
bagaimana nantinya masyarakat sebagai realitas dapat melaksanakan aktivitas dalam pergaulan
hidup.
Arti dari social control sendiri sebenarnya adalah mengatur tindakan masyarakat yang sekarang
dan mungkin yang akan datang melihat dari kebiasaan (hukum) yang telah terjadi sebelumnya.
Atau tingkah laku masyarakat yang sekarang dan mungkin yang akan datang dibatasi dengan
hukum yang dirumuskan dari tingkah laku masyarakat sebelumya.
Dalam penjelasan yang demikian tidak memperlihatkan posisi yang sebenarnya dari pengaruh
hukum terhadap masyarakat, hukum dalam konteks social enginering masih membicarakan
peran masyarakat terhadap hukum yang ada, karena dalam perumusan hukum yang sekarang
(hukum positif) tetap dipengaruhi oleh keadaan masyarakat yang ada.
Hukum sebagai Social enginering
Berbeda dengan konsop social control yang dalam perumusan hukum yang ada adalah akibat
adanya tingkah laku masyarakat, namun didalam fungsi hukum sebagai social enginering posisi
hukum yang ada bukanlah akibat dari keadaan realitas masyarakat yang ada sebelumnya atau
sekarang, namun rumusan hukum yang nantinya digunakan untuk merekayasa (konteks
mempengaruhi) masyarakat adalah bukan dari keadaan raelitas tingkah laku masyarakat tersebut.
Dalam fungsi hukum sebagai social control menempatkan posisi hukum sebagai hal yang
nantinya akan mempengaruhi masyarakat.
Titik tekan dari fungsi ini adalah adanya rekayasa masyarakat agar tingkah laku atau pola-pola
yang ada didalam masyarakat sesuai dengan hukum yang akan digunakan untuk mempengaruhi
masyarakat tersebut. Hal demikian muncul berdasarkan paendapat Satjpto Rahardjo sebagai
akibat adanya anggapan bahwa kebiasaan, pola-pola dan tingkah laku yang ada didalam
masyarakat perlu diubah dan digantikan dengan yang baru sesuai dengan apa yang nantinya akan
dirumuskan didalam hukum tersebut.2[7]
Pandangan mengenai fungsi hukum sebagai social enginering dan menganggap perlunya ada
rekayasa sosial dengan dalih masyarakat telah usang wajar manakala tetap memperhatikan realita
keadaan masyarakat yang akan diubahnya, atau dalam perumusan hukum yang akan digunakan
sebagai alat perekayasa sosial melihat dari keadaan realitas masyarakat. Melihat sebatas apa
perubahan yang harus dilakukan dan juga melihat situasi masyarakat yang akan diubahnya.
Jangan sampai terjadi dalam perumusan yang tidak melihat realitas atau bahkan didasarkan pada
pandangan teori Hans Kelsen mengenai pure of law yang meniadakan anasir-anasir politik,
sosial, agama, budaya, ekonomi dan lainnya didalam masyarakat (karena dianggap sebagai
pereduksi kedudukan hukum).3[8] Karena jika demikian, maka yang terjadi adalah adanya
pengingkaran terhadap pengaruh hukum terhadap peng-konstitusi-nya yaitu masyarakat yang
hanya bersifat otonomi relatif. Dan bisa jadi jika hal tersebut tetap dilaksanakan artinya
mengingkari otonomi relatif pengaruh hukum terhadap masyarakat, bukan tidak mungkin
nantinya hukum sebagai alat perekayasa sosial dalam penerapannya bahkan ditentang oleh
masyarakat yang akan diubahnya. Hal yang demikian dalam realitasnya banyak terjadi, semisal
pertentangan antara hukum adat dan hukum nasional. Terjadinya pertentangan tersebut muncul
sebagai akibat adanya anggapan bahwa hukum yang ada didalam masyarakat dan pola tingkah
laku didalam masyarakat harus mengikuti hukum positif nasional, dan juga adanya anggapan
bahwa pengaruh hukum didalam masyarakat adalah tidak relatif, sehingga memunculkan
pandangan yang pure of law bahwa hukum yang akan diterapkan didalam masyarakat adalah
harus dilepaskan dari anasir-anasir politik, sosial, agama, budaya, ekonomi dan lainnya didalam
masyarakat.
Dengan demikian pandangan pengaruh hukum yang relatif terhadap pengkonstitusinya yaitu
masyarakat adalah sebagai batasan dari berlakunya hukum yang ada didalam masyarakat. Tidak
menjadi masalah adanya anggapan bahwa masyarakat harus diubah sesuai dengan hukumnya,
namun dalam konteks yang relatif dan tidak boleh dibalik. Karena seperti telah mengemuka
diatas bahwa sebesar apapun pengaruh hukum terhadap masyarakat, pengaruh yang demikian
adalah pengaruh yang relatif (otonomi relatif) karena hukum ada didalam masyarakat adalah
akibat adanya masyarakat yang meng-konstitusi-nya.

Soerjono Soekanto, berpendapat bahwa dalam pelaksanaan penegakan hukum dipengaruhi


beberapa faktor:

1. Faktor hukumnya sendiri atau peraturan itu sendiri. Contohnya, tidak diikutinya
asas-asas berlakunya undang-undang, belum adanya peraturan pelaksana yang sangat
dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang serta ketidakjelasan arti kata-kata di dalam
undang-undang yang mengakibatkan kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta
penerapannya.
2. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan
hukum. Contohnya, keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan
pihak lain dengan siapa dia berinteraksi, tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi,
kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali
untuk membuat suatu proyeksi.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Contohnya, dapat
dianut jalan pikiran sebagai berikut : yang tidak ada, diadakan yang baru betul; yang
rusak atau salah, diperbaiki atau dibetulkan; yang kurang, ditambah; serta yang macet,
dilancarkan.
4. Faktor masyarakat, yakni faktor lingkungan dimana hukum tersebut diterapkan.
Contohnya, masyarakat tidak mengetahui akan adanya upayaupaya hukum untuk
melindungi kepentingan-kepentingannya; tidak berdaya untuk memanfaatkan upaya-
upaya hukum karena faktor-faktor keuangan, psikis, sosial atau politik, dan lain
sebagainya.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, rasa yang didasarkan pada karsa
manusia di dalam pergaulan hidup. Contohnya, nilai ketertiban dan nilai ketentraman,
nilai jasmaniah/kebendaan dan nilai rohaniah/keakhlakan, nilai
kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme.

Faktor-faktor tersebut adalah, sebagai berikut:

1. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-undang saja.

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa
manusia di dalam pergaulan hidup.

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari
penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Dengan
demikian, maka kelima faktor tersebut akan dibahas lebih lanjut dengan mengetengahkan
contoh-contoh yang diambil dari kehidupan masyarakat Indonesia.

1. Undang-undang

Undang-undang dalam arti material adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh
Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah (Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1979).

Mengenai berlakunya undang-undang tersebut, terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah
agar undang-undang tersebut mempunyai dampak yang positif. Asas-asas tersebut antara lain
(Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1979):

1. Undang-undang tidak berlaku surut.


2. Undang-undang yng dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi,

3. mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.

4. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum,


apabila pembuatnya sama.

5. Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang-undang yan berlaku


terdahulu.

6. Undang-undang tidak dapat diganggu guat.

7. Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan materiel
bagi masyarakat maupun pribadi, melalui pelestaian ataupun pembaharuan (inovasi).

2. Penegak Hukum

Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai
kemampuan-kemampuan tertentu sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapat pengertian dari golongan sasaran, disamping
mampu menjalankan atau membawakan peranan yang dapat diterima oleh mereka.

Ada beberapa halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan yang seharusnya dari
golngan sasaran atau penegak hukum, Halangan-halangan tersebut, adalah:

1. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia
berinteraksi.

2. Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi.

3. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk
membuat proyeksi.

4. Belum ada kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama
kebutuhan material.

5. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme.

Halangan-halangan tersebut dapat diatasi dengan membiasakan diri dengan sikap-sikap, sebagai
berikut:

1. Sikap yang terbuka terhadap pengalaman maupun penemuan baru.

2. Senantiasa siap untuk menerima perubahan setelah menilai kekurangan yang ada pada saat itu.
3. Peka terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya.

4. Senantiasa mempunyai informasi yang selengkap mungkin mengenai pendiriannya.

5. Orientasi ke masa kini dan masa depan yang sebenarnya merupakan suatu urutan.

6. Menyadari akan potensi yang ada dalam dirinya.

7. Berpegang pada suatu perencanaan dan tidak pasrah pada nasib.

8. Percaya pada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam meningkatkan


kesejahteraan umat manusia.

9. Menyadari dan menghormati hak, kewajiban, maupun kehormatan diri sendiri dan ihak lain.

10. Berpegang teguh pada keputusan-keputusan yang diambil atas dasar penalaran dan
perhitingan yang mantap.

3. Faktor Sarana atau Fasilitas

Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berjalan
dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup tenaga manusia yang
berpendidikan dan trampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang
cukup, dan seterusnya.

Sarana atau fasilitas mempunyai peran yang sangat penting dalam penegakan hukum. Tanpa
adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan
yang seharusnya dengan peranan yang aktual. Khususnya untuk sarana atau fasilitas tesebut,
sebaiknya dianut jalan pikiran, sebagai berikut (Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1983):

1. Yang tidak ada-diadakan yang baru betul.

2. Yang rusak atau salah-diperbaiki atau dibetulkan.

3. Yang kurang-ditambah.

4. Yang macet-dilancarkan.

5. Yang mundur atau merosot-dimajukan atau ditingkatkan.

4. Faktor Masyarakat

Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam
masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat
mempengaruhi penegakan hukum tersebut.
Masyarakat Indonesia mempunyai kecendrungan yang besar untuk mengartikan hukum dan
bahkan mengidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi).
Salah satu akibatnya adalah, bahwa

baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola prilaku penegak hukum tersebut.

5. Faktor Kebudayaan

Kebudayaan(system) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang
berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik
(sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Pasanagn nilai yang
berperan dalam hukum, adalah sebagai berikut ( Purbacaraka & Soerjono soekantu):

1. Nilai ketertiban dan nilai ketentraman.

2. Nilai jasmani/kebendaan dan nilai rohani/keakhlakan.

3. Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme.

Di Indonesia masih berlaku hukum adat, hukum adat adalah merupakan hukum kebiasaan yang
berlaku dalam masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai