1. PENDAHULUAN
hubungan hukum dan kekuasaan ada dua macam. Pertama, hukum adalah kekuasaan itu
sendiri. Menurut Lassalle dalam pidatonya yang termashur Uber Verfassungswessen,
“konstitusi sesuatu negara bukanlah undang-undang dasar tertulis yang hanya merupakan
“secarik kertas”, melainkan hubungan-hubungan kekuasaan yang nyata dalam suatu negara”.
Pendapat Lassalle ini memandang konstitusi dari sudut kekuasaan.
Dari sudut kekuasaan, aturan-aturan hukum yang tertuang dalam konstitusi suatu negara
merupakan deskripsi struktur kekuasaan yang terdapat dalam negara tersebut dan hubungan-
hubungan kekuasaan di antara lembaga-lembaga negara. Dengan demikian, aturan-aturan
hukum yang termuat dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 merupakan deskripsi
struktur kekuasaan ketatanegaraan Indonesia dan hubungan-hubungan kekuasaan antara
lembaga-lembaga negara. Struktur kekuasaan menurut UUD 1945 menempatkan MPR
(Majelis Permusyawaratan Rakyat) dalam hierarki kekuasaan tertinggi. Hierarki kekuasaan di
bawah MPR adalah kekuasaan lembaga-lembaga tinggi negara, yaitu presiden, DPR (Dewan
Perwakilan Rakyat), DPA (Dewan Pertimbangan Agung), MA (Mahkamah Agung) dan BPK
(Badan Pemeriksa Keuangan). UUD 1945 juga mendeskripsikan struktur kekuasan pusat dan
daerah. Di samping itu, juga dideskripsikan hubungan antara kekuasaan lembaga tertinggi
negara dengan kekuasaan lembaga-lembaga tinggi negara, hubungan kekuasaan di antara
lembaga-lembaga tinggi negara, dan hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah. Hakekat
hukum dalam konteks kekuasaan menurut Karl Olivecrona tak lain daripada “kekuatan yang
terorgansasi”, dimana hukum adalah “seperangkat aturan mengenai penggunaan kekuatan”,
kekerasan fisik atau pemaksaan yang dilakukan oleh penguasa, tidak berbeda dari kekerasan
yang dilakukan pencuri-pencuri dan pembunuh-pembunuh.
Walaupun kekuasaan itu adalah hukum, namun kekuasaan tidak identik dengan hukum.
Mengenai hal ini Van Apeldorn mengemukakan bahwa hukum adalah kekuasaan, akan tetapi
ini tidak berarti bahwa hukum tidak lain daripada kekuasaan belaka. Hukum adalah
kekuasaan, akan tetapi kekuasaan tidak selamanya hukum. “Might is not right,” pencuri
berkuasa atas barang yang dicurinya, akan tetapi tidak berarti bahwa ia berhak atas barang itu.
1. TUJUAN HUKUM
Tujuan hukum menurut teori etis ini adalah semata-mata untuk mencapai keadilan
dan memberikan haknya kepada setiap orang. Sedangkan tujuan hukum menurut
teori utilities adalah untuk memberikan manfaat atau faedah bagi setiap orang
dalam masyarakat. Pada hakikatnya, tujuan hukum ialah memberikan kebahagiaan
ataupun kenikmatan besar dan bermanfaat bagi seseorang atau kelompok dalam
suatu masyarakat dalam jumlah yang besar. Selain itu, ada beberapa pendapat yang
meng mengemukakan tentang beragam tujuan hukum yang berbeda-beda.
4. Van Apeldorn
Menurut pendapatnya yaitu untuk mengatur tata tertib dan pergaulan hidup
manusia secara damai dan adil, dan hukum itu sendiri menghendaki perdamaian.
Mengatakan bahwa hukum bertujuan untuk kedamaian hidup setiap manusia yang
terdiri dari ketertiban ekstern antarpribadi dan ketenangan intern pribadi setiap
masyarakat.
1
Thania Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), 74.
1
7. Geny (D.H.M. Meuvissen: 1994)
Menurut pendapat geny yaitu untuk mencapai sebuah keadilan dan sebagai unsur
keadilannya adalah kepentingan daya guna dan kemanfaatan.
9. Roscoe Pound
Untuk merekayasa masyarakat artinya hukum sebagai alat perubahan sosial (as a
tool of social engeneering), Intinya adalah hukum disini sebagai sarana atau alat
untuk mengubah masyarakat ke arah yang lebih baik, baik secara pribadi maupun
dalam hidup masyarakat.
10. Bellefroid
Menurutnya yaitu untuk mengatur segala pergaulan hidup manusia dengan secara
damai. Hukum menghendaki adanya suatu perdamaian.
Menurut pendapat suharjo untuk mengayomi manusia baik secara aktif maupun
secara pasif. Secara aktif dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan suatu
kondisi kemasyarakatan yang manusia dalam proses yang berlangsung secara
wajar. Sedangkan yang dimaksud secara pasif adalah mengupayakan pencegahan
atas upaya yang sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak secara tidak adil.2
2
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembangunan, (Bandung: Binacipta, 1990), 10.
2
2. MORALITAS HUKUM
Norma berasal dari bahasa Latin mos atau moris, artinya adat istiadat, kebiasaan,
cara, tingkah laku; mores artinya adat istiadat, watak, cara hidup. Maka, hukum
moral adalah aturan-aturan bertingkah laku dalam relasi dengan orang lain.
Hukum moral adalah hukum yang didasarkan pada kehendak Allah. Hukum moral
menjadi benar diterapkan dalam ungkapan iman, karena tindakan manusia
mencerminkan imannya. Orang beriman bertindak bukan semata-mata atas kehendak
dirinya, melainkan lebih atas dasar kehendak Allah.
Setiap pengalaman manusia memberi kontribusi besar pada hukum moral. Ada tiga
ide utama yang perlu dipahami dalam hal ini, antara lain: pemahaman budaya suku
bangsa; keterlibatan dalam budaya; dan keturutsertaan dalam memperjuangkan
keadilan.
Semua orang secara mutlak wajib berpegang teguh pada prioritas hukum moral yang
objektif. Sebab hanya hukum moral itulah yang melibatkan manusia, makhluk Allah
yang berbudi dan dipanggil untuk tujuan adikodrati, menurut hakikat seutuhnya.
Hukum moral itu jugalah, yang bila dipatuhi sepenuhnya dengan setia, mengatur
manusia untuk mencapai kepenuhan, kesempurnaan, serta kebahagiaanya.[4] Kita
bertindak bukan hanya karena keyakinan akan kemampuan intelektual, melainkan
karena dorongan hati agar diri berkembang.
3
Pound menyatakan bahwa kontrol sosial diperlukan untuk menguatkan peradaban
masyarakat manusia karena mengendalikan perilaku antisosial yang bertentangan
dengan kaidah-kaidah ketertiban sosial. Hukum, sebagai mekanisme control sosial,
merupakan fungsi utama dari negara dan bekerja melalui penerapan kekuatan yang
dilaksanakan secara sistematis dan teratur oleh agen yang ditunjuk untuk melakukan
fungsi itu. Akan tetapi, Pound menambahkan bahwa hukum saja tidak cukup, ia
membutuhkan dukungan dari institusi keluarga, pendidikan, moral, dan agama.
Hukum adalah sistem ajaran dengan unsur ideal dan empiris, yang menggabungkan
teori hukum kodrat dan positivistic Hukum sebagai lembaga yang bekerja di dalam
masyarakat minimal memiliki 3 (tiga) perspektif dari fungsinya (fungsi hukum),
yaitu: Pertama, sebagai kontrol sosial dari hukum yang merupakan salah satu dari
konsep-konsep yang biasanya, paling banyak digunakan dalam studi-studi
kemasyarakatan. Dalam perspektif ini fungsi utama suatu sistem hukum bersifat
integratif karena dimaksudkan untuk mengatur dan memelihara regulasi sosial dalam
suatu sistem sosial. Oleh sebab itu dikatakan Bergers,24 bahwa tidak ada masyarakat
yang bisa hidup langgeng tanpa kontrol sosial dari hukum sebagai sarananya.
Selanjutnya menurut Parsons agar hukum dapat mengemban fungsi kontrol tersebut,
mengemukakan ada 4 (empat) prasyarat fungsional dari suatu sistem hukum, yaitu
masalah dasar legitimasi, yakni menyangkut ideologi yang menjadi dasar penataan
aturan hukum; masalah hak dan kewajiban masyarakat yang menjadi sasaran
regulasi hukum proses hukumnya; masalah sanksi dan lembaga yang menerapkan
sanksi tersebut; dan masalah kewenangan penegakan aturan hukum.3
3
Raharjo, Membedah Hukum Progresif , (Jakarta: Kompas Media Nusantara. Cetakan III, 2008), 48.
4
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam pembahasan diatas dapat di simpulkan bahwa, hubungan hukum dan kekuasaan
ada dua macam. Pertama, hukum adalah kekuasaan itu sendiri. Menurut Lassalle dalam
pidatonya yang termashur Uber Verfassungswessen, “konstitusi sesuatu negara bukanlah
undang-undang dasar tertulis yang hanya merupakan “secarik kertas”, melainkan hubungan-
hubungan kekuasaan yang nyata dalam suatu negara”. Pendapat Lassalle ini memandang
konstitusi dari sudut kekuasaan. Ketika kamu melakukan suatu kesalahan atau pelanggaran,
hukum dapat bertindak sesuai dengan wewenangnya karena itu adalah tujuan hukum. Tujuan
utamanya adalah untuk mengatur tingkah laku manusia dalam menjaga ketertiban, keadilan,
serta mengantisipasi kekacauan di lingkungan. Setiap negara memiliki aturan hukumnya
sendiri, begitupun dengan Indonesia
5
DAFTAR PUSTAKA
Rasjidi,Thania Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007, 74.
Raharjo, Membedah Hukum Progresif , Jakarta: Kompas Media Nusantara. Cetakan III, 2008, 48.