Anda di halaman 1dari 10

Nama : Meina Ridha

NPM : 2206005241
Peminatan : Kebijakan dan Hukum Kesehatan

ANALISIS HUKUM, KAITAN LIBERTY DENGAN TEORI TUJUAN


HUKUM

HUBUNGAN ANTARA LIBERTY DENGAN TEORI TUJUAN HUKUM


1. Civil Liberty atau Kebebasan Sipil
Pengertian kebebasan sipil adalah bagian dari hak asasi manusia secara alamiah,
merupakan hak kodrati setiap orang yang diberikan suatu negara dan dilindungi
oleh konstitusi negara yang dibangun di atas Undang-Undang, namun dibatasi
oleh hukum-hukum yang berlaku dalam negara tsb.
2. Natural Liberty atau Hak Asasi Manusia
Pada masa pemikiran filsafat modern, salah satu filsuf, yaitu Thomas Hobbes
mengemukakan bahwa Hak Alamiah (The Right of Nature) adalah suatu
kebebasan tiap manusia untuk menggunakan kekuatannya sendiri sesuai dengan
kehendaknya dalam rangka pemeliharaan atas dirinya demi hidupnya.

TEORI TUJUAN HUKUM


1. Utilitarianisme
Teori utilitarianisme yang digagas oleh Jeremy Bentham (juga John Stuart
Mill dan Rudolf von Jhering) adalah bentuk reaksi terhadap konsepsi hukum alam
pada abad ke delapan belas dan sembilan belas. Bentham mengecam konsepsi
hukum alam, karena menganggap bahwa hukum alam tidak kabur dan tidak tetap.
Bentham mengetengahkan gerakan periodikal dari yang abstrak, idealis, dan
apriori sampai kepada yang konkret, materialis, dan mendasar.
Menurut Bentham, tujuan hukum adalah memberikan kemanfaatan dan
kebahagiaan terbesar kepada sebanyak-banyaknya warga masyarakat. Jadi,
konsepnya meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Ukurannya
adalah kebahagian yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya orang ( “The
greatest happiness of the greatest number”). Penilaian baik-buruk, adil atau
tidaknya hukum ini sangat tergantung apakah hukum mampu memberikan
kebahagian kepada manusia atau tidak. Kemanfaatan diartikan sama sebagai
kebahagiaan (happiness). Istilah tersebut lebih cocok diartikan sebagai jaminan
kebahagiaan individu yang harus diberikan oleh negara kepada warga negaranya
serta menghilangkan penderitaan bagi masyarakat melalui instrumen hukum,
sehingga tolak ukur dari instrumen hukum tersebut adalah “kebahagiaan” dan
“penderitaan”. Sekilas, memberikan kebahagiaan yang besar kepada masyarakat
terlihat benar adanya, tetapi penjelasan yang berakhir dengan kesimpulan tersebut
dinilai masih kurang tepat karena istilah “The greatest happiness of the greatest
number” diletakkan oleh Jeremy Bentham untuk menyebutkan salah satu batu uji
dari teori utilitarianismenya, bukan sebagai poin penting yang menyebutkan
bahwa “agar memenuhi kemanfaatan, maka hukum harus memenuhi keinginan
mayoritas.” Pandangan utilitarianisme pada dasarnya merupakan suatu paham
etis-etika yang menempatkan tindakan-tindakan yang dapat dikatakan baik adalah
yang berguna, memberikan faedah (manfaat), dan menguntungkan, sedangkan
tindakan-tindakan yang tidak baik adalah yang memberikan penderitaan dan
kerugian. Lebih lanjut, kebahagiaan tersebut menurut sudut pandang
utilitarianisme tidak memihak karena setiap orang pasti menginginkan
kebahagiaan dan bukannya penderitaaan, oleh karena itu konsep utilitarianisme
mendasarkan kebahagiaan sebagai batu uji moralitas yang sifatnya “impartial
promotion of well-being”, yaitu menjunjung kebahagiaan/ kesejahteraan yang
tidak memihak.
Dari sini, kita mendapatkan alasan mengapa Jeremy Bentham
mengistilahkan kebahagiaan sebagai “The greatest number”, yaitu karena suatu
tindakan yang etis atau bermoral tersebut dapat dirasakan oleh semua orang
melalui kebahagiaan, karena sifat kebahagiaan tersebut yang seharusnya tidak
memihak dan dapat dirasakan oleh siapapun. Namun apabila demikian, maka
kemanfaatan sebagai suatu tujuan hukum harus dipertanyakan kembali, apakah
benar teori utilitarianismenya Jeremy Bentham membahas tentang tujuan hukum
yang berujung kepada keinginan mayoritas, atau justru membahas metode etis-
etika dari sebuah produk hukum melalui sudut pandang utilitarianisme. Untuk itu,
selain memaparkan lebih lanjut tentang teori utilitarianisme beserta dengan
konsep-konsepnya, penelitian ini juga akan mencoba mencari tahu letak dan
posisi dari teori utilitarianisme Jeremy Bentham, apakah betul membahas tentang
tujuan hukum atau justru membahas metode uji hukum yang harus beretika/
bermoral. Kajian ini akan mencoba mengupas sedalam-dalamnya (sejauh yang
penulis sanggup) mengenai alam pemikiran Jeremy Bentham yang terdapat di
dalam karyanya yang diterbitkan pada tahun 1781 dengan judul “Introduction to
the Principles of Morals and Legislation.”
Menurut A'an Efendi dan Dyah Ochtorina Susanti dalam buku Ilmu Hukum
(2021), berikut pengertian utilitarianisme: "Utilitarianisme adalah teori moral
yang menyatakan bahwa sebuah tindakan disebut benar secara moral, jika
menghasilkan kebaikan bagi semua orang yang terpengaruh." Konsep ini secara
umum, lebih berkaitan dengan filsafat moral, baik bagi mereka yang gigih
menjadi pembela atau menentang suatu hal.
Jadi menurut saya, prinsip Utilitarianisme di atas telah sejalan dengan civil
liberty dan natural liberty karena tujuan hukum Utilitarianisme adalah
mementingkan kebahagiaan banyak orang artinya kebebasan individu tidak boleh
menyebabkan penderitaan dari orang lain, juga hukum tsb mencapai tujuan
apabila memberikan kebahagiaan dan kebaikan bagi semua orang yang
terpengaruh atas dampak hukum tsb dan tidak untuk memberikan kebaikan dan
kebahagiaan pada satu pihak saja.

2. Ethics
Aristoteles menjelaskan bahwa tujuan hukum adalah untuk mencapai
sebuah keadilan artinya memberikan kepada setiap orang atas apa yang sudah
menjadi haknya. Teori itu kini dikenal sebagai teori etis. Pendapat Aristoteles ini
dikenal sebagai teori Etis. Disebut dengan teori etis karena isi hukumnya semata-
mata ditentukan oleh kesadaran etis mengenai apa yang adil dan yang tidak adil.
Aristoteles membagi keadilan ke dalam dua jenis, yakni keadilan distributif dan
komunikatif.
a. Keadilan distributif: keadilan yang “jatahnya” diberikan sesuai dengan jasa
seseorang. Artinya, keadilan ini tidak menuntut agar semua orang diberikan
bagian yang sama banyak, namun diberikan berdasarkan jasa yang telah
diberikan seseorang.
b. Keadilan komunikatif: keadilan yang diberikan sama banyaknya kepada setiap
orang, tanpa memperhitungkan jasa atau prestasi seseorang.
Teori etis kerap menuai banyak pertentangan. Salah satu yang
menentangnya adalah Sudikno Mertokusumo (dalam Effendy, 1991:80) yang
menyatakan bahwa pada hakikatnya hukum tidak lain adalah perlindungan
masyarakat dalam bentuk kaidah atau norma atau jika diartikan, hukum aturan
yang dapat melindungi masyarakat.
Jadi menurut saya, tujuan hukum berdasarkan teori etis di atas ini telah
sejalan dengan civil liberty dan natural liberty karena hukum itu harus adil dalam
memberikan putusan atau kebahagiaan bagi setiap orang, namun keadilan di sini
harus merujuk kepada kebebasan seseorang sebagai sipil (bagian dari warga
negara) dan kebebasan sebagai manusia untuk dapat memenuhi kehidupan dan
kebahagiaannya dengan tidak merugikan ataupun mengurangi kehidupan atau
kebahagiaan manusia lain.

3. The Spirit Of Law


Teori The Spirit Of Law ini berasal dari Charles-Louis de Secondat (Baron
de La Brède et de Montesquieu) yang menyatakan bahwa “Hukum adalah gejala
sosial dan perbedaan hukum dikarenakan oleh perbedaan alam, politik, etnis,
sejarah, dan faktor lain dari tatanan masyarakat. Untuk itu hukum suatu negara
harus dibandingkan dengan hukum negara lain”. Inti ajaran dari The spirit of The
Laws antara lain :
1. Untuk menyelenggarakan hukum sebagai hal yang selalu ada dengan
sewajarnya yang akan menerangkan terjadinya berbagai jenis politik yuridis
karena sifat ketergantungannya pada fenomena sosial lainnya seperti adat
istiadat, penduduk, agama, niaga, dan lain-lainnya.
2. Mencari ke bawah kulit peraturan formal hukum untuk mendapatkan inspirasi
serta hubungannya dengan bentuk pemerintahan dan dengan suatu struktur
sosial yang dapat berubah dari kelompok politik yang mendasarinya.
3. Meletakkan kajiannya pada persoalan Bagaimana hubungan hukum dengan
negara sebagai pelaksana hukum.
4. Hukum tergantung pada bentuk dan bagaimana fisik setempat sehingga
kajiannya menggunakan fisika sosial.
5. Membebaskan sosiologi hukum dari segala kecenderungan metafisika yang
dogmatis dan membawanya pada telaah yang lebih dekat pada
perbandingan hukum.
6. Hukum diselenggarakan oleh pembuat undang-undang dan
membedakan hukum dengan adat istiadat.
7. Hukum merupakan bagian integral dari kebudayaan masyarakat.
8. Menekankan pada aspek statis hukum.
9. Hukum merupakan hasil dari berbagai faktor dalam masyarakat seperti adat
istiadat, lingkungan fisik, dan lain-lain sehingga hukum dapat dipahami
ketika hukum itu berkembang.
10. Hukum bersifat relatif secara abstrak tidak ada hukum yang baik atau buruk
jika dipelajari sesuai masyarakat hukum itu baik.
11. Metode yang digunakan montesquieu adalah sosiologis komparatif dan
naturalisme.
12. Dua factor utama yang membentuk watak masyarakat, yaitu secara fisik dan
mental. Faktor fisik adalah iklim dan letak geografis yang mengakibatkan
munculnya mental tertentu. Faktor moral juga berpengaruh penting terhadap
agama, kebiasaan, ekonomi, dan perdagangan.
13. Pembagian kekuasaan negara yang disebut dengan trias politica yaitu
pemisahan yudikatif, eksekutif, dan legislatif yang semua berasal dari John
Locke.
14. Hukum dan bentuk pemerintahan ditentukan oleh banyaknya orang yang
berkuasa dan prinsip nilai yang digunakan. Pemerintahan dibagi menjadi tiga
macam: republik, monarki, dan depotis.

Dalam hasil karyanya ini Montesquieu menulis tentang konstitusi Inggris


yang antara lain mengatakan, bahwa setiap pemerintahan terdapat 3 jenis
kekuasaan yang diperincinya dalam kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif,
dan kekuasaan yudikatif. Munculnya gagasan pemisahan dari Montesquieu ini
adalah gagasan bahwa demi terjaminya kebebasan politik rakyat perlu ada
pemisahan kekuasaan negara. Kebebasan merupakan hal penting dalam pemikiran
Montesquieu. Gagasan berupa keharusan adanya jaminan kebebasan inilah di
antaranya yang menyebabkan Montesquieu merumuskan konsep perlunya
pembatasan kekuasaan. Dapat kita dipahami, gagasannya ini sebagai respons
terhadap wacana kekuasaan yang hidup pada masanya. Montesquieu menilai
bahwa kekuasaan Raja Eropa di abad XVII dan sebelumnya bersifat absolut.
Kekuasaan yang bersifat anti kritik, sementara dilain pihak tidak ada kekuatan
yang secara efektif melakukan kontrol kekuasaan, maka pembatasan kekuasaan
merupakan keharusan untuk menghindari kemungkinan terbentuknya kekuasaan
mutlak. Kekuasaan raja harus dibatasi. Tanpa itu, yang akan timbul adalah
kesewenang-wenangan.
Jadi menurut saya, tujuan hukum berdasarkan teori The Spirit of The Laws
di atas yang mengacu kepada alam, etnis kebudayaan, politik, sejarah dan faktor
lain dari tatanan masyarakat tertentu yang berbeda satu sama lain dalam setiap
kelompok masyarakat, maka akan memperhatikan juga civil dan natural liberty
yang menjadi bagian dari kelompok masyarakat tertentu.

4. Progresif dan Responsif


Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam bukunya berjudul “Law and
Society in Transition, Toward Responsive Law” disimpulkan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara sistem pemerintahan sebuah negara dengan
hukum yang dianutnya. Dalam sistem pemerintahan yang otoriter, hukum
menjadi subordinasi dari politik. Artinya, hukum mengikuti politik. Dengan kata
lain, hukum digunakan hanya sekadar menunjang politik penguasa. Sebaliknya
dalam sistem pemerintahan yang demokratis, hukum terpisah secara diametral
dari politik. Artinya, hukum bukan menjadi bagian dari politik, akan tetapi hukum
menjadi acuan berpolitik dari sebuah bangsa. Nonet dan Selznick mengemukakan
bahwa pemahaman kita tentang perubahan sosial tidak akan utuh jika kita
mencari cara-cara adaptasi yang melahirkan alternatif-alternatif historis yang baru
dan yang mampu terus bertahan misalnya perubahan dari status ke kontrak dari
Gemeinschaft (masyarakat pengguyuban dan Gesellsschaft (masyarakat
patembayan) dari hukum yang keras kepada keadilan.
Perkembangan hukum diperlukan untuk mengontrol kehidupan negara,
sesuai perkembangannya bangsa modern mencita-citakan terwujudnya jaminan
kepastian dalam pelaksanaan hukum sebagai sarana penata tertib itu. Hukum
menuntut modelnya yang baru ini diperlukan para reformis untuk mengatasi
kesemena-menaan hukum.
Konsep hukum responsif/otonom diidentifikasi berdasarkan proses
pembuatan hukum, pemberian fungsi hukum, dan kewenangan menafsirkan
hukum. Disini Nonet dan Selznick memberikan perhatian khusus pada variabel-
variabel yang berkaitan dengan hukum yaitu peranan paksaan dalam hukum,
hubungan antara hukum dan politik negara, tatanan moral, tempat diskresi,
peranan tujuan dalam keputusan-keputusan hukum, partisipasi, legitimasi dan
kepatuhan terhadap hukum. Nonet dan Selznick lewat hukum responsif
menempatkan sebagai sarana respons atau fasilitator dari berbagai respon
terhadap kebutuhan, ketentuan sosial dan aspirasi sosial atau publik. Maka tipe
hukum ini mengedepankan akomodasi untuk menerima perubahan sosial demi
mencapai keadilan dan emansipasi publik.
Sifat responsif dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan
sosial yang dialami dan ditemukan, tidak oleh pejabat melainkan oleh rakyat.
Sifat responsif mengandung arti suatu komitmen kepada “hukum di dalam
perspektif konsumen”. Dua ciri yang menonjol dari konsep hukum responsif
adalah: a. Pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan;
b. Pentingnya kerakyatan baik sebagai tujuan hukum maupun cara untuk
mencapainya.
Hukum responsif berorientasi pada hasil, yaitu pada tujuan-tujuan yang
akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif, tatanan hukum
dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi atau dipaksakan. Ciri
khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam
peraturan dan kebijakan. Dalam model hukum responsif ini, mereka menyatakan
ketidaksetujuan terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai interpretasi yang
baku dan tidak fleksibel.
Dengan demikian potensi responsivitas dalam setiap tertib hukum yang
maju, pemenuhan janji akan responsivitas tersebut tergantung pada konteks
politik yang mendukung. Hukum responsif mengisyaratkan masyarakat yang
memiliki kapasitas politik untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahannya,
menetapkan prioritas-prioritas dan membuat komitmen-komitmen yang
dibutuhkan. Karena hukum responsif bukanlah pembuat keajaiban di dunia
keadilan. Pencapaiannya bergantung pada kemauan dan sumber daya dalam
komoditas politik. Kontribusinya yang khas adalah memfasilitas tujuan publik
dan membangun semangat untuk mengkoreksi diri sendiri ke dalam proses
pemerintahan. Memaknai hukum sebagai perangkat peraturan yang mengatur
masyarakat, barulah berarti didukung dengan sistim sanksi yang tegas dan jelas
sehingga tegaknya suatu keadilan. Keadilan yang dimaksud adalah keadilan
vundikatif bukan keadilan absolut yang mana menjatuhkan suatu hukuman
berdasarkan prosedur hukum dan alasan yang jelas dan mendasar, dalam arti tidak
berdasarkan perasaan sentimen, kesetia-kawanan, kompromistik, atau alasan lain
yang justru jauh dari rasa keadilan.
Proses untuk mencapai rasa keadilan adalah merupakan mata rantai yang
tidak boleh dilepas-pisahkan, paling tidak sejak pembuatan peraturan perundang-
undangan, terjadi kasus atau peristiwa hukum, sampai di proses verbal di
kepolisian serta penuntutan jaksa atau gugatan dalam perkara perdata dan
kemudian diakhiri dengan vonis hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap (inkracht vangeweisde) sehingga kualitas proses itulah sebenarnya sebagai
jaminan kualitas titik kulminasi hasil atau manfaat seperangkat peraturan
perundang-undangan yang dibuat.
Jadi menurut saya, teori tujuan hukum “Progresif dan Responsif” ini
merupakan hukum yang terus berkembang dan harus mengikuti perubahan tsb
sehingga teori ini akan bisa mengakomodasi prinsip dari civil dan natural liberty
yang juga terus berkembang.

5. A Theory Of Justice
John Rawls, seorang filsuf Amerika Serikat yang dianggap salah satu filsuf
politik terkemuka abad ke-20. Dalam bukunya “A Theory of Justice”, ia
menyatakan bahwa keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial,
sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran".
Keadilan menurut Rawls pada dasarnya merupakan sebuah fairness, atau
yang ia sebut sebagai pure procedural justice. Dari gagasan itu, teori keadilan
Rawls mengaksentuasikan pentingnya suatu prosedural yang adil dan tidak
berpihak yang memungkinkan keputusan-keputusan politik yang lahir dari
prosedur itu mampu menjamin kepentingan semua orang. Lebih
jauh, fairness menurut Rawls berbicara mengenai dua hal pokok, pertama,
bagaimana masing-masing dari kita dapat dikenai kewajiban, yakni dengan
melakukan segala hal secara sukarela persis karena kewajiban itu dilihat sebagai
perpanjangan tangan dari kewajiban natural (konsep natural law) untuk bertindak
adil, kedua, mengenai kondisi untuk apakah institusi (dalam hal ini negara) yang
ada harus bersifat adil. Itu berarti kewajiban yang dituntut pada institusi hanya
muncul apabila kondisi yang mendasarinya (konstitusi, hukum, peraturan-
peraturan di bawahnya) terpenuhi.
Ada tiga klaim moral dalam teori keadilan Rawls, yaitu:
i. Klaim penentuan diri, yakni masalah otonomi dan independensi warga negara
ii. Distribusi yang adil atas kesempatan, peranaan, kedudukan, serta barang dan
jasa milik publik (primary social goods)
iii. Klaim yang berkaitan dengan beban kewajiban dan tanggungjawab yang adil
terhadap orang lain.
Dengan kata lain, konsep keadilan berkaitan dengan distribusi hak dan
kewajiban demi sebuah apa yang dinamakan Rawls sebagai a well-ordered
society. Untuk mewujudkan itu, Rawls menekankan pentingnya pengakuan
terhadap hak-hak politik warga. Di pihak lain ia juga menekankan keadilan
sebagai fairness yang menuntut semua anggota masyarakat, demi kepentingan
hak-hak diatas, untuk bersedia memikul beban kewajiban dan tanggung-jawab
yang sama serta tunduk pada konstitusi yang berlaku.
Rawls juga mengemukakan mengenai dua prinsip keadilan Rawls yang
merupakan solusi bagi problem utama keadilan, yaitu
A. Pertama, adalah prinsip kebebasan yang sama sebesarbesarnya
(principle of greatest equal liberty). Prinsip ini mencakup :
- Kebebasan untuk berperan serta dalam kehidupan politik (hak bersuara,
hak mencalonkan diri dalam pemilihan).
- Kebebsan berbicara (termasuk kebebasan pers).
- Kebebasan berkeyakinan (termasuk keyakinan beragama).
- Kebebasan menjadi diri sendiri (person).
- Hak untuk mempertahankan milik pribadi.
B. Kedua, prinsip keduanya ini terdiri dari dua bagian, yaitu :
- Prinsip perbedaan (the difference principle) mengandung arti bahwa
perbedaan sosial dan ekonomi harus diukur agar memberikan manfaat
yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung. Istilah
“perbedaan sosial ekonomi” menunjuk pada ketidaksamaan dalam
prospek seseorang untuk mendapatkan unsur pokok kesejahteraan,
pendapatan, dan wewenang. Sedangkan istilah “yang paling kurang
beruntung” menunjuk pada mereka yang paling kurang mempunyai
peluang atau kesempatan ,dan wewenang.
- Prinsip persamaan yang adil atas kesempatan (the prinsiple of fair
equality of opprtunity) mengandung arti bahwa ketidaksamaan sosial
ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga membuka jembatan
dan kedudukan sosial bagi semua yang ada di bawah kondisi
persamaan kesempatan. Orang-orang dengan ketrampilan, kompetensi,
dan motivasi, yang sama dapat menikmati kesempatan yang sama pula.
Dari prinsip-prinsip di atas, Rawls mengajukan dua prioritas dalam
melaksanakan tiga prinsip tersebut dikarenakan usaha melaksanakan sebuah
prinsip mungkin berdiri dalam konflik dengan prinsip yang lain. Prioritas tsb,
yaitu: a. Prioritas pertama menetapkan bahwa prinsip kebebasan yang sama
sebesar-besarnya secara leksikal berlaku lebih dahulu dari pada prinsip
kedua, baik prinsip perbedaan maupun prinsip persamaan atas
kesempatan. Itu berarti jika – dan hanya – jika – pertama-tama kita
memenuhi tuntutan prinsip pertama sebelum berlanjut memenuhi
prinsip kedua. Prioritas pertama dalam keadilan sosial adalah
kebebasan yang sebesar besarnya. Hanya setelah kebebasan
diagungkan sepenuhnya, kita dapat bebas pula mengarahkan usaha
mengejar tuntutan yang terdapat dalam prinsip kedua.
b. Prioritas kedua merupakan relasi antar dua bagian prinsip keadilan
yang kedua. Menurut Rawls prinsip persamaan yang adil atas
kesempatan secara leksikal berlaku lebih dahulu dari pada prinsip
perbedaan.
Prioritas pertama menetapkan bahwa kebebasan dasar tidak boleh dibatasi
atas nama untung material lebih besar bagi semua orang atau bahkan bagi mereka
yang paling kurang diuntungkan sekalipun. Jika harus diadakan pembatasan,
kebebasan hanya boleh dibatasi demi keseimbangan kebebasan yang lebih besar
bagi setiap orang. Dengan kata lain pembatasan tertentu atas kebebasan hanya
boleh diadakan demi mencapai sistem kebebasan yang paling luas bagi semua
orang.
Jadi menurut saya, tujuan hukum berdasarkan teori A Theory Of Justice di
atas yang mengacu kepada klaim moral, dua prinsip keadilan dan prioritas dalam
melaksanakan prinsip keadilan tsb sangat relevan untuk mengakomodir dari civil
dan natural liberty karena John Rawls dalam teorinya sudah mengembangkan
mengenai perbedaan dari kebebasan manusia begitu juga dengan persamaan dari
setiap manusia dengan memperhatikan moral manusia itu.

KESIMPULAN
Teori tujuan hukum terus berkembang sesuai dengan jamannya dan teori-teori
tujuan hukum di atas dapat diaplikasikan sesuai dengan kebutuhannya dengan tetap
mengutamakan prinsip dari civil liberty dan natural liberty, jadi tujuan yang akan
dicapai tidak boleh bertentangan dengan kebebasan manusia secara alamiah dan
sebagai bagian dari bangsa dan negara.
Teori-teori di atas dapat diaplikasikan dalam mencapai tujuan hukum, jadi
negara sebagai penegak hukum harus mengetahui, kapan dan teori apa yang akan
digunakan dalam menegakkan hukum tsb, dengan tidak bertentangan terhadap civil
liberty dan natural liberty.
DAFTAR PUSTAKA

- Arianto, Henry. April 2010. Hukum Responsif dan Penegakan Hukum di Indonesia.
Universitas Esa Unggul : Fakultas Hukum.
https://digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Journal-4644-Henry-Arianto.pdf

- Besar. 30 Juni 2016. Utilitarianisme dan Tujuan Perkembangan Hukum Multimedia


di Indonesia. Universitas Bina Nusantara: Hukum Bisnis.
https://business-law.binus.ac.id/2016/06/30/utilitarianisme-dan-tujuan-
perkembangan-hukum-multimedia-di-indonesia/

- Darnela, Lindra. 2 Oktober 2020. Teori Keadilan John Rawls: Sebuah Review.
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga : Pusat Studi Syariah dan Konstitusi.
https://ps2k.uin-suka.ac.id/id/kolom/detail/311/teori-keadilan-john-rawls-sebuah-
review

- Farouk, Peri Umar. 1993. M Armen Lukman. Hukum & Pemerintahan Dalam
Teropong Klasik Montesquieu (Dari Buku J.R. Sunaryo : Membatasi kekuasaan:
telaah mengenai jiwa undang-undang). Magister Hukum UGM.
http://mhugm.wikidot.com/artikel:007

- Fattah, Damanhuri. Desember 2013. Teori Keadilan menurut John Rawls. Jurnal
TAPIs Vol.9 No.2 Juli-Desember 2013.
https://core.ac.uk/download/pdf/267855963.pdf

- Katrin, Atmadewi. 2009. Eksistensi Hak Individu dalam Bernegara Kajian Filosofis
Pemikiran Robert Nozick Dalam Kehidupan Bernegara. Universitas Indonesia:
Skripsi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya.
https://lib.ui.ac.id/file?file=digital/127420-RB16K40e-Eksistensi%20hak-HA.pdf

- Kurniasih, Wida. 2021. 12 Tujuan Hukum Menurut Para Ahli. Gramedia Blog.
https://www.gramedia.com/literasi/tujuan-hukum-menurut-para-ahli/

- Napisah, Ina. 2009.


http://repository.uinbanten.ac.id/3549/3/revisi%20BAB%20I.pdf

- Pratiwi, Endang. Theo Negoro. Hassanain Haykal. 02 Juni 2022. Teori


Utilitarianisme Jeremy Bentham: Tujuan Hukum atau Metode Pengujian Produk
Hukum?. Jurnal Konstitusi, Volume 19, Nomor 2, Juni 2022.
DOI: https://doi.org/10.31078/jk1922

- Putri, Vanya Karunia Mulia. 05 Januari 2023. Utilitarianisme: Pengertian dan


Prinsipnya. Kompas.com/Skola.
https://www.kompas.com/skola/read/2023/01/05/070000769/utilitarianisme--
pengertian-dan-prinsipnya?page=all
- Rehatta, Veriena. J.B. 28 April 2015. Penerapan Hukum Responsif di Indonesia.
Universitas Pattimura : Fakultas Hukum.
https://fh.unpatti.ac.id/penerapan-hukum-responsif-di-indonesia/
- Sulaiman. 2014. Hukum Responsif: Hukum sebagai Institusi Sosial Melayani
Kebutuhan Sosial melayani Kebutuhan Sosial dalam Masa Transisi.
https://repository.unimal.ac.id/1744/1/Hukum%20Responsif%20Sulaiman.pdf

- Tahik, Maria Stefania. 30 Desember 2022. Ketahui Teori Pionir Dari Charles Louis
de Secondat Dalam Karyanya Yang Berjudul The Spirit of the Laws. Info
Temanggung.com
https://temanggung.pikiran-rakyat.com/pendidikan/pr-2616032794/ketahui-teori-
pionir-dari-charles-louis-de-secondat-dalam-karyanya-yang-berjudul-the-spirit-of-the-
laws?page=4

- Tim Hukum Online. 9 Agustus 2022. 3 Aliran Tujuan Hukum: Etis, Utilitas, dan
Campuran. Hukumonline.com.
https://www.hukumonline.com/berita/a/aliran-tujuan-hukum-
lt62f116ec9a50c?page=1#!

Anda mungkin juga menyukai