Asuransi
Kesehatan
Nasional
Hasbullah Thabrany
Ilmu kedokteran merupakan salah satu ilmu yang tertua yang berkembang
sejak manusia mengalami berbagai risiko dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu
kedokteran telah ada sejak manusia ada. Hanya saja, ilmu kedokteran tua
berkembang berdasarkan instink manusia dalam menyembuhkan berbagai luka atau
penyakit yang menimpa manusia. Berbeda dengan binatang yang terus mengikuti
instinknya, manusia terus mengembangkan pengalaman menyembuhkan dirinya
dan teman-temannya. Dari instink, ilmu kedokteran berkembang menjadi tradisi
penggunaan bahan-bahan alami yang diturunkan sebagai budaya ribuan tahun
lamanya. Secara manusia mengenal tulis baca, pengalaman mencari pengobatan
dan hasilnya terus dicatat dan dikembangkan. Eksperimenpun mulai dilakukan
manusia dalam kurun waktu seriba tahun terakhir. Kini ilmu kedokteran telah sangat
maju berkat ketekunan dan dukungan berbagai ilmu lain seperti ilmu kimia, biologi,
fisika, elektronik, komputer, ekonomi dll.
Perkembangan ilmu dan praktik ekonomi dalam pemeliharaan dan
penyembuhan penyakit telah meningkatkan risiko finansial bagi penduduk di banyak
negara. Maka ilmu kedokteran dan berbagai penunjangnya telah menjadi bisnis
yang mencapai volume lebih dari US$ 5 Triliun
Asuransi Kesehatan Nasional (AKN) merupakan satu solusi yang banyak
diterapkan di berbagai negara maju dan berpendapatan ekonomi menengah.
Perkembangan demokrasi dan keadilan sosial telah mendorong semua negara
untuk menyediakan layanan kesehatan secara gratis atau hampir gratis atau
mengembangkan Asuransi Kesehatan Nasional. Semua negara bersepakat bahwa
semua penduduk berhak atas layanan kesehatan, paling tidak ketika penduduk
mengalami musibah sakit. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) baru saja
meluncurkan laporan tahun 2010 yang melaporkan dan mendorong seluruh negara
mengembangkan jaminan kesehatan untuk semua penduduknya (Universal
Coverage).
Asuransi Kesehatan Nasional merupakan suatu mekanisme pendanaan
kesehatan bagi semua penduduk. Penerapan AKN memerlukan pengetahuan
tentang asuransi dan prilaku penduduk serta fasilitas kesehatan ketika sebuah
sistem asuransi kesehatan diterapkan. Pengetahuan tentang hal itu memang
menunjukkan adanya pola seragam di berbagai negara. Namun demikian, pilihan
dan kesepakatan penerapan AKN memiliki juga karakteristik yang berbeda di tiap-
tiap negara, khususnya dalam rincian pelaksanaan, besarnya biaya, mekanisme
perolehan layanan, dan berbagai pengalaman lainnya.
Semua pelaku AKN dan juga petugas di fasilitas kesehatan hendaknya
memahami berbagai aspek AKN agar sebuah sistem AKN di Indonesia dapat
berjalan dengan baik memenuhi Sila Keadilan Sosial dan Kemanusiaan yang Adil
dan Beradab. Buku ini diharapkan memberikan bekal bagi semua penduduk yang
peduli dengan nasib sesama dan peduli dengan kemajuan bangsa. Semoga
bermanfaat.
Penulis
Hasbullah Thabrany
Daftar Isi
1. Pendahuluan
2. Sejarah Asuransi Kesehatan di Dunia
Sejak 1.000 tahun Sebelum Masehi masyarakat kuno telah mengenal prinsip dasar
asuransi—yaitu yang dikenal dengan istilah “Hukum Laut”. Dalam konsep hukum laut di
jaman kuno, perahu-perahu mengalami kesulitasn mendarat akibat malam yang gelap
gulita. Untuk mengatasi hal itu disepakati mengupayakan penerangan dengan cara
melemparkan sesuatu kelaut, sehingga laut menjadi terang dan hasilnya dapat dinikmasti
para nelayan. Karena penerangan yang dihasilkan oleh upaya itu dinikmati bersama oleh
para nelayan, maka disepakati untukn menanggung bersama upaya itu. Dengan kata lain
“Segala yang dikorbankan untuk manfaat bersama harus dipikul (kontribusi) secara
bersama-sama”. Hukum kuno tersebut menjadi dasar dari prinsip asuransi, bukan hanya
asuransi kesehatan, tetapi semua asuransi “a common contribution for the common good”
(HIAA, 1994)1.
Di kalangan masyarakat China kuno juga sudah dikenal konsep asuransi yaitu
masyarakat memberikan dana secara rutin kepada sinshe tanpa memperhatikan apakah
mereka sakit atau tidak. Ketika salah seorang anggota keluarga masyarakat sakit, mereka
membawa si sakit ke shinse tanpa membayar lagi. Di Timur Tengah, konsep asuransi
juga sudah berkembang sejak jaman kuno yang tumbuh di kalangan pedagang yang
berbisnis lintas daerah (kini lintas negara). Berdagang di gurun pasir luas dari Yaman di
Selatan sampai Suriah di Utara atau dari Libia di Barat sampai Iran di Timur, mempunyai
risiko kehilangan arah karena luasnya gurun pasir. Untuk menghindari beban ekonomi
para keluarga kafilah yang berdagang jauh tersebut, para kafilah bersepakat
mengumpulkan dana yang akan digunakan untuk memberikan santunan kepada anggota
keluarga kafilah yang hilang atau meninggal dalam perjalanan bisnisnya.
Asuransi modern berkembang luas di Eropa pada pertengahan abad ke 19 pasca
Hal 2
revolusi industri. Masa itu tumbuh harapan kehidupan baru yang baik, namun disisi lain
terjadi peningkatan risiko dalam kehidupan rumah tangga. Kehidupan tradisional
berbasis pertanian lebih menjanjikan kestabilan dan kepastian pendapatan jangka panjang
perawatan, akan tetapi pengganti upah yang hilang karena tidak mampu bekerja (tuna
karya sementara) akibat suatu penyakit. Pada awalnya, kewajiban ini hanya dikenakan
peserta dan dana ini merupakan fenomena umum yang sampai sekarang terjadi di banyak
negara berkembang. Akibatnya peserta tidak merasakan manfaat bergabung kedalam
dari anggaran pemerintah pusat. Pada awalnya, hanya rawat inap yang dijamin oleh
AKN. Pada tahun 1972, paket jaminan diperluas dengan rawat jalan. Kini seluruh
penduduk Kanada menikmati pelayanan kesehatan komprehensif tanpa harus memikirkan
AKN di Kanada
pada praktek dokter, baik yang praktek mandiri maupun kelompok, masih harus dibayar
sendiri oleh penduduk.
Negara tetangga Kanada (Amerika Serika) telah lama bergelut untuk mewujudkan
sebuah AKN. Pasa saat ini, AS dapat dikatakan mempunyai asuransi kesehatan nasional
rawat inap untuk penduduk diatas 65 tahun saja (lansia) yang disebut Medicare part A.
Karena AKN di Amerika Serikat hanya berlaku bagi penduduk lansia, tidak semua
penduduk Amerika yang berjumlah sekitar 280 juta jiwa memiliki asuransi kesehatan.
Sekitar 50 juta penduduk AS yang berusia di bawah 65 tahun (sekitar 25% penduduk usia
produktif) tidak memiliki asuransi kesehatan. Ini merupakan suatu bukti kegagalan
mekanisme pasar dalam bidang kesehatan, karena AS memang didominisasi oleh
asuransi kesehatan komersial. Dengan belanja kesehatan per kapita kini lebih dari US$
5.000 per tahun, AS adalah satu-satunya negara maju yang tidak mampu memiliki
asuransi kesehatan nasional.13
Di Amerika di tahun 1970an, terdapat 15 usulan RUU (Bill) AKN yang semuanya
kandas akibat banyaknya interes bisnis dan politik sehingga kepentingan publik tidak
terlindungi dengan baik.14 Di kala itu, 23% penduduk AS tidak memiliki asuransi
kesehatan, sedangkan saat ini angka tersebut masih berkisar 18%. Dalam masa hampir
40 tahun, sejak Medicare diluncurkan, AS tidak mampu meningkatkan perluasan
penduduk yang dicakup asuransi. Berbagai reformasi sistem asuransi kesehatan yang
dilakukan Amerika, misalnya dengan UU Portabilitas Asuransi dan berbagai UU lain
yang bertujuan memperluas cakupan asuransi secara parsial, tanpa AKN, tidak mampu
mancapai cakupan universal. Inilah salah satu bukti market failure dalam pencapaian
cakupan universal asuransi kesehatan. Sesungguhnya di AS telah diusulkan puluhan
model pendanaan dan penyelenggaraan yang dapat digolongkan menjadi tiga model yaitu
(1) kombinasi kontribusi wajib (payroll taxes) dan anggaran pemerintah seperti model
Inggris, (2) perluasan program Medicare dengan kontribusi wajib kepada seluruh
penduduk seperti model umum di negara maju lain, dan (3) bantuan premi dari
pemerintah untuk penduduk miskin dan tidak mampu.15 Upaya terakhir untuk
Hal 9
mewujudkan AKN di Amerika dilakukan oleh Presiden Bill Clinton di tahun 1993, yang
juga gagal karena kekuatan perusahaan asuransi, yang takut kehilangan pasar dan
memiliki dana lebih besar, lebih mampu mempengaruhi rakyat Amerika dan anggota
AKN di Australia
Sebagai sekutu Jerman dalam Perang Dunia II di Asia, Jepang memiliki pola
sistem asuransi kesehatan yang mengikuti pola Jerman dengan berbagai modifikasi. Di
Jepang istilah AKN (Kokuho, Kokumin Kenko Hoken) digunakan untuk penyelenggaraan
asuransi kesehatan bagi pekerja mandiri (self-employed), pensiunan swasta maupun
pegawai negeri, dan anggota keluarganya. Penyelenggara AKN diserahkan kepada
pemerintah daerah. Sementara asuransi kesehatan bagi pekerja aktif di sektor formal
diatur dengan UU asuransi sosial kesehatan secara terpisah. Jepang telah memulai
mengembangkan asuransi sosial kesehatan sejak tahun 1922 dengan mewajibkan pekerja
di sektor formal untuk mengikuti program asuransi kesehatan sosial. Akan tetapi,
mewajibkan asuransi kesehatan bagi pekerja sektor formal saja tidak bisa menjamin
penduduk di sektor informal dan penduduk yang telah memasuki usia pensiun
mendapatkan asuransi kesehatan. Untuk memperluas jaminan kesehatan kepada seluruh
penduduk (universal coverage), Jepang kemudian memperluas cakupan asuransi
kesehatan dengan mengeluarkan UU AKN. Dalam sistem asuransi kesehatan di Jepang,
peserta dan anggota keluarganya harus membayar urun biaya (cost sharing) yang
besarnya bervariasi antara 20-30% dari biaya kesehatan di fasilitas kesehatan. Bagian
urun biaya inilah yang menjadi pangsa pasar asuransi kesehatan komersial. 26,27,28
AKN di Taiwan
Negara Asia yang pertama kali secara eksplisit menggunakan istilah AKN dengan
melakukan pooling nasional adalah Taiwan. Komitmen Presiden yang sangat kuat
dibuktikan dengan lahirnya UU AKN pada tahun 1995 dengan sistem yang dikelola oleh
Hal 13
Biro NHI, suatu Biro di dalam Depkes Taiwan, sebagai satu-satunya pengelola. Sistem
AKN di Taiwan ini dimulai dengan menggabungkan penyelenggaraan asuransi kesehatan
bagi pegawai negeri, pegawai swasta, petani dan pekerja di sektor informal, yang
Korea Selatan memulai asuransi sosial pada Desember 1963 dengan mewajibkan
perusahaan yang mempekerjakan 500 karyawan atau lebih menyediakan asuransi
kesehatan bagi karyawannya. Kewajiban itu ditingkatkan sampai kepada perusahaan
yang mempekerjakan satu orang karyawan. Cakupan askes untuk pekerja mandiri sudah
diuji-coba sejak tahun 1981 dan pada tahun 1989 seluruh penduduk telah memiliki
asuransi. Suatu prestasi yang luar biasa, karena dalam waktu relatif singkat Korea telah
mampu mencapai cakupan universal. Tetapi penyelenggaraanya masih dikelola oleh lebih
dari 300 badan asuransi kesehatan yang bersifat nirlaba yang dikelola oleh kelompok
pekerja atau pemerintah daerah. Mengingat mobilitas penduduk yang tinggi dan
rendahnya efisiensi pengelolaan program AKN, maka dilakukan reformasi menuju satu
sistem AKN. Sejak tahun 2000, AKN di Korea Selatan dikelola oleh satu badan nasional
dengan iuran maksimum 8% dari upah, ditanggung bersama antara pekerja, pemberi
kerja dan subsidi pemerintah.34,35,36
AKN di Thailand
Hal 14
AKN di Filipina
Hal 15
4. Sejarah Asuransi Kesehatan di Indonesia
Asuransi Sosial
Sesungguhnya, Pemerintah Indonesia sudah mulai mencoba memperkenalkan
prinsip asuransi sejak tahun 1947, dua tahun setelah Indonesia merdeka. Seperti juga
yang berkembang di negara maju, asuransi kesehatan berkembang dimulai dengan
asuransi sosial dalam bidang kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Pada waktu itu
Pemerintah mewajibkan semua perusahaan untuk mengasuransikan karyawannya
terhadap kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Namun demikian, karena situasi
keamanan dalam negeri pasca kemerdekaan yang masih belum stabil akibat adanya
berbagai pembrontakan dan upaya Belanda untuk kembali merebut Indonesia, maka
upaya tersebut belum memungkinkan untuk terlaksana dengan baik.
Setelah kestabilan politik relatif tercapai, di tahun 1960 pemerintah mencoba
memperkenalkan lagi konsep asuransi kesehatan melalui undang-undang Pokok
Kesehatan tahun 1960 yang meminta Pemerintah mengembangkan ‘dana sakit’ dengan
tujuan untuk menyediakan akses pelayanan kesehatan untuk seluruh rakyat.45 Akan tetapi
karena berbagai kondisi sosial ekonomi seperti disampaikan dimuka belum kondusif,
maka perintah undang-undang tersebut sama sekali tidak bisa dilaksanakan. Pada tahun
1967, Menteri Tenaga Kerja (Menaker) mengeluarkan Surat Keputusan untuk mendirikan
Dana mirip dengan konsep Health Maintenance Organization (HMO) atau Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) yang berkembang kemudian guna
mewujudkan amanat undang-undang kesehatan tahun 1960 tersebut. Mentri menetapkan
iurannya sebesar 6% upah yang ditanggung majikan sebesar 5% dan karyawan 1%.46
Hal 17
Istilah Kartu Kuning dikenal sejak program dikelola oleh BPDPK karena kartu oeserta
berwarna kuning.
Kesehatan Tenaga Kerja dinilai layak untuk masuk dalam program jaminan sosial.
Di bulah Februari 1992, undang-undang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(Jamsostek) disetujui DPR dan diundangkan. Undang-undang Jamsostek ini mencakup
dan pengelolaan sanitasi. Di Kupang dan Bali juga berkembang upaya sama yang
didorong oleh pemerintah daerah/dinas kesehatan guna meningkatkan kesadaran
masyarakat untuk membiayai kesehatan dirinya sendiri. Upaya pengembangan dana sehat
membuat rupiah terpuruk dari nilai sekitar Rp 2.300 per $1 AS menjadi sampai Rp
15.000 untuk $1 AS, menyebabkan harga barang dan jasa khususnya barang impor,
menjadi sangat mahal, sehingga akses pelayanan kesehatan menjadi sangat rendah.
Di tahun 1999, Uni Eropa sangat prihatin melihat hancurnya sistem sosial di
Indonesia setelah krisis nilai tukar yang berlanjut dengan krisis ekonomi. Negara-negara
Eropa tersebut menawarkan bantuan untuk memperkuat sektor sosial, antara lain sistem
5. Penutup
Asuransi kesehatan berkembang dimulai dengan solidaritas bersama yang sifatnya
kumpulan kecil semacam dana sehat, dana sakit, dan sebagainya. Usaha yang kecil-kecil
ini umumnya tidak memadai untuk berkembang karena sifatnya yang sukarela dan
besaran premi/iuran tidak dihitung secara memadai. Untuk mengatasi kegagalan sistem
asuransi kecil dan bersifat lokal terdapat dua modus besar yaitu pengelolaan secara
komersial dengan tingkat profesional yang tinggi dan pengelolaan secara asuransi sosial
yang bersifat wajib diikuti oleh semua orang dalam suatu golongan. Model asuransi
sosial berkembang pesat di Eropa, dimulai di Jerman, dan menyebar luas ke seluruh
dunia. Sementara sistem asuransi kesehatan komersial lebih berkembang di Amerika
Serikat karena Amerika membatasi tumbuhnya asuransi sosial untuk kecelakaan kerja
dan asuransi kesehatan bagi orang tua saja. Perkembangan asuransi komersial
sesungguhnya didukung dengan adanya asuransi sosial. Di Indonesia, perkembangan
asuransi kesehatan dimulai dengan asuransi sosial yaitu asuransi kesehatan pegawai
Hal 25
negeri diikuti oleh asuransi sosial kecelakaan kerja, dan dilanjutkan dengan asuransi
sosial kesehatan bagi pegawai swasta. Karena peraturan perundangan yang membolehkan
opt out bagi pekerja swasta, asuransi kesehatan sosial bagi pekerja swasta tidak
1
HIAA. Group life and health insurance. Part A. HIAA, Washington DC, 1994
2
Stierle, Friedeger. Social health insurance in Germany. Makalah disajikan dalam Seminar Asuransi
Kesehatan Nasional, Jakarta, 1998.
3
HIAA. Group health insurance. Part A. HIAA, Washington DC. 1997
4
Dixon A and Mossialos E. Health system in eight countries: trends and challenges. The
european observatory on health care systems. London, 2002
5
Henderson JW. Op Cit
Hal 26
6
Rejda, GE. Social insurance and economic security. 3rd Ed. Prentice hall, New Jersey, USA.
1988
26
Yoshikawa A, Bhattacharya J, Vogt WB. Health economics of Japan. University of Tokyo
Press, Tokyo, 1996
42
Novales MA dan Alcantara MO. National health insurance program in Philippines. Makalah
disampaikan pada Summit Jakarta
Hal 29
1. Pendahuluan
Pemahaman tentang asuransi kesehatan di Indonesia masih sangat beragam.
Dahulu banyak yang menganggap bahwa JPKM bukan asuransi kesehatan, apalagi
asuransi kesehatan komersial; perkembangan selanjutnya menyebutkan JPKM sebagai
asuransi sosial karena dijual umumnya kepada masyarakat miskin di daerah-daerah.
Padahal dilihat dari definisi dan jenis programnya, JPKM jelas bukan asuransi kesehatan
social. Asuransi kesehatan sosial (social health insurance) adalah suatu mekanisme
pendanaan pelayanan kesehatan yang semakin banyak digunakan di seluruh dunia karena
kehandalan sistem ini menjamin kebutuhan kesehatan rakyat suatu negara. Namun di
Indonesia pemahaman tentang asuransi kesehatan sosial masih sangat rendah karena
sejak lama kita hanya mendapatkan informasi yang bias tentang asuransi kesehatan yang
didominasi dari Amerika yang didominasi oleh asuransi kesehatan komersial. Litetarur
yang mengupas asuransi kesehatan sosial juga sangat terbatas. Kebanyakan dosen
maupun mahasiswa di bidang kesehatan tidak memahami asuransi sosial. Pola pikir
(mindset) kebanyakan sarjana kita sudah diarahkan kepada segala sesuatu yang bersifat
komersial, termasuk dalam pelayanan rumah sakit. Sehingga, setiap kata “sosial”, seperti
“asuransi sosial” dan “fungsi sosial rumah sakit” hampir selalu difahami sebagai
pelayanan atau program untuk orang miskin. Sesungguhnya asuransi sosial bukanlah
asuransi untuk orang miskin. Fungsi sosial bukanlah fungsi untuk orang miskin. Bahkan
konsep Undang-undang Kesehatan yang dikeluarkan tahun 1992 (UU nomor 23/1992)
Hal 30
2. Rasional asuransi
Dalam kamus atau perbendaharaan kata bangsa Indonesia, tidak dikenal kata
asuransi yang dikenal adalah istilah “jaminan” atau “tanggungan”. Kata asuransi berasal
dari bahasa Inggris insurance, dengan akar kata in-sure yang berarti “memastikan”.
Hal 31
atau cacat seumur hidup, sehingga akan menjadi beban masyarakat juga. Kisah 2
kelompok ekstrim pada ilustrasi tersebut menggambarkan ketidakadilan social. Orang
yang berpenghasilan rendah yang tidak sanggup membayar biaya pelayanan, justru tidak
disebut sebagai suatu mekanisme risk pooling. Dana yang terkumpul dari masing-masing
penduduk digunakan untuk kepentingan bersama. Oleh karenanya, asuransi dapat juga
disebut seuatu mekanisme hibah bersama karena darkumpul tersebut merupakan hibah
asuransi adalah risiko yang terkait dengan kerugian baik berupa materiil maupun berupa
kehilangan kesempatan berproduksi akibat menderita penyakit berat. Dilihat dari
ketidakpastiannya, risiko mengadung kesamaan dengan kata rejeki yang menurut
Manajemen Risiko
Dalam ilmu manajemen risiko atau risk management, kita mengenal beberapa
teknik menghadapi risiko yang dapat terjadi pada semua aspek kehidupan. Teknik-teknik
tersebut adalah (vaughan, 2003)2, Rejda3:
1. Menghindarkan risiko (risk avoidance). Kalau kita merokok, ada risiko terkena
penyakit kanker paru atau penyakit jantung (kardiovaskuler). Salah satu cara
menghindari terjadinya risiko terkena penyakit paru atau jantung tersebut adalah
menjauhi bahan-bahan karsinogen (yang menyebabkan kanker) yang terkandung
dalam rokok. Kalau kita tidak ingin mendapat kecelakaan pesawat terbang, jangan
pernah naik pesawat terbang. Banyak orang melakukan teknik manajemen ini untuk
risiko besar yang kasat mata. Seseorang akan menghindari naik gunung yang terjal
Hal 35
tanpa alat pengaman, karena risiko jatuh ke jurang dapat dilihat langsung oleh mata.
Tetapi banyak orang tidak menyadari bahawa risiko tersebut dapat muncul 20-30
tahun seperti yang terjadi pada risiko kanker paru atau kelainan jantung akibat
tidak selalu menyadari risiko besar itu, maka mekanisme menurunkan risiko saja
tidak memadai. Imunisasi hepatitis tidak menjamin seratus persen setiap orang yang
berprilaku demikian disebut pengambil risiko (risk taker). Apabila semua orang bersikap
sebagai pengambil risiko, maka usaha asuransi tidak akan pernah ada. Sebaliknya, jika
seseorang bersikap sebagai penghindar risiko (risk averter) maka ia akan berusaha
1. Risiko tersebut haruslah bersifat murni (pure). Menurut sifat kejadiannya, risiko
dapat timbul benar-benar sebagai suatu kebetulan atau accidental dan dapat
timbul karena suatu perbuatan spekulatif. Risiko murni adalah risiko yang
spontan, tidak dibuat-buat, tidak disengaja, atau dicari-cari bahkan tidak dapat
dihindari dalam jangka pendek. Orang berdagang mempunyai risiko rugi, tetapi
risiko rugi tersebut dapat dihindari dengan manajemen yang baik, belanja dengan
hati-hati, dan sebagainya. Risiko rugi akibat suatu usaha dagang merupakan risiko
spekulatif yang tidak dapat diasuransikan. Oleh karenanya tidak ada asuransi yang
menawarkan pertanggungan kalau suatu perusahaan merugi. Suatu risiko yang
timbul akibat suatu tindakan kesengajaan, karena ingin mendapatkan santunan
asuransi misalnya, tidak dapat diasuransikan. Contoh, seseorang mempunyai
asuransi kematian sebesar satu milyar rupiah, dapat saja dibunuh oleh ahli
warisnya guna mendapatkan manfaat/jaminan asuransi sebesar satu milyar rupiah
tersebut. Kematian yang disebabkan karena kesengajaan seperti itu tidak dapat
ditanggung. Seseorang yang sengaja mencoba bunuh diri dengan meminum racun
serangga dan gagal sehingga perlu perawatan di rumah sakit tidak berhak atas
Hal 38
jaminan perawatan, karena risiko sakitnya bukanlah risiko murni. Contoh risiko
murni adalah penyakit kanker. Sakit kanker, yang membutuhkan perawatan yang
lama dan mahal, tidak pernah diharapkan oleh si penderita dan karenanya
dampak yang besar. Dari semua dampak yang terjadi, hanya risiko finansial
berupa biaya perawatan dan kehilangan penghasilan akibat kehilangan jiwa atau
kecacatan. Dampak rasa nyeri dan perasaan kehilangan tidak dapat diasuransikan
Selain persyaratan sifat atau jenis risiko diatas, ada beberapa persyaratan terkait
dengan teknis asuransi dan kelayakan suatu risiko diasuransikan. Kelayakan dalam
konteks ini diartikan kelayakan dalam aspek ekonomis. Suatu produk asuransi yang
preminya terlalu mahal tidak bisa dijual atau tidak menarik bagi masyarakat untuk ikut
asuransi tersebut. Harga premi atau besaran iuran yang menghabiskan 30% penghasilan
seseorang, tidak layak untuk dikembangkan. Persyaratan teknis asuransi adalah besarnya
probabilitas kejadian, besar populasi yang terkena risiko kejadian tersebut dan volumen
pool yang dapat dikumpulkan. Syarat yang terakit dengan teknis asuransi adalah:
3. Populasi harus cukup besar dan homogen yang akan diikutsertakan dalam skema
asuransi. Jika suatu asuransi hanya diikuti oleh sepuluh orang, padahal risiko yang
dipertanggungkan dapat bervariasi dari--seribu rupiah sampai satu milyar rupiah,
4. Jenis Asuransi
Telah dibahas sebelumnya bahwa asuransi adalah manajemen risiko, dimana
seseorang atau sekelompok kecil orang (yang disebut pemegang polis/policy holder atau
peserta/participant) melakukan transfer risiko yang dihadapinya kepada pihak asuransi
(yang disebut asuradur/insurer atau badan penyelenggara asuransi)dengan membayar
sejumlah premi (iuran atau kontribusi). Bila pemegang polis atau peserta adalah
perseorangan, maka ia akan menjamin dirinya sendiri dan atau termasuk anggota
keluarganya. Dalam hal pemegang polis atau peserta bersifat kelompok kecil (misalnya
suatu perusahaan atau instansi), maka yang dijamin biasanya anggota kelompok tersebut
(karyawan dan anggota keluarganya). Dengan pembayaran premi/iuran tersebut, maka
segala risiko biaya yang terjadi akibat kejadian yang terjadi pada pemegang polis atau
Hal 43
peserta sesuai kesepakatan yang tercantum dalam perjanjian/ kontrak akan menjadi
kewajiban asuradur. Peserta yang termasuk dalam daftar yang dijamin sesuai ketentuan
dalam kontrak atau peraturan disebut tertanggung atau insured. Risiko yang harus
uang tertentu daan pesertannya disebut pemegang polis (policcy holder) dan anggotta
keluaarga yang dijjamin disebuut tertanggunng. Dalam asuransi
a keseehatan yang dikelola oleeh
bukann perusahaan
n asuransi di Amerika (yyang biasa dikenal
d di Indonesia dengan manageed
Kotrak Asuransi
Mekanisme asuransi merupakan hubungan kontraktual yang mengatur kewajiban
dan hak para pihak. Peserta wajib membayar premi, dan berhak mendapatkan manfaat
asuransi, sedangkan asuradur berhak menerima pembayaran premi dan wajib
membayarkan manfaat dalam bentuk uang langsung kepada peserta atau membayarkan
manfaat tersebut kepada pihak ketiga yang memberikan pelayanan kepada peserta, seperti
bengkel mobil atau fasilitas kesehatan. Namun demikian, dibandingkan dengan hubungan
kontraktual lainnya, kontrak asuransi memiliki ciri khas yang secara bersama-sama tidak
dimiliki oleh hubungan kontraktual lainnya. Karena kekhasan kontrak asuransi inilah,
maka pengelolaan atau bisnis asuransi diatur sangat ketat atau dilaksanakan langsung
oleh pemerintah. Hanya saja, asuransi yang dikelola Pemerintah atau badan khusus yang
dibentuk Pemerintah menggunakan peraturan perundangan sebagai pengganti kontrak.
Pada hakikatnya, isi peraturan perundangan juga sama dengan kontrak yang mengatur
hak dan kewajiban peserta dan badan penyelenggara. Sementara dalam asuransi
komersial, karena variasi paket manfaat dan premi, pengaturan hak dan kewajiban diatur
dalam kontrak asuransi yang disebut polis asuransi. Ciri khas kontrak asuransi tersebut
adalah sebagai berikut:
Bersifat kondisional. Dalam kontrak asuransi, kewajiban asuradur baru akan
terjadi jika kondisi yang telah ditentukan (misalnya sakit atau kehilangan harta benda)
Hal 45
terjadi pada diri tertanggung. Apabila tertanggung tidak mengalami kejadian tersebut,
maka tidak ada kewajiban asuradur memberikan manfaat. Ciri tersebut tidak akan
ditemukan dalam kontrak lain, seperti kontrak pembelian barang atau sewa gedung. Oleh
mempunyai hak mendapatkan manfaat lagi dan juga tidak akan dituntut untuk melunasi
selisih biaya sebesar Rp 149 juta. Sebaliknya, seorang peserta atau pemegang polis yang
telah membayar premi sebesar Rp 250.000 per bulan selama 10 tahun (total
Pembayaran Premi
Menurut sifat kepesertaannya, asuransi dapat dibagi menjadi dua golongan besar
yaitu kepesertaan yang bersifat wajib dan sukarela. Sifat kepesertaan itu terkait dengan
kewajiban membayar premi yang juga bersifat wajib dan sukarela (lihat ilustrasi di
halaman sebelumnya). Asuransi dengan kepesertaan wajib disebut asuransi social,
sedangkan asuransi yang kepesertaannya sukarela, digolongkan sebagai asuransi
Hal 47
komersial karena tidak ada kewajiban seseorang untuk ikut atau membeli asuransi. Sifat
membeli merupakan suatu transaksi sukarela dalam perdagangan (commerce). Banyak
pihak di Indonesia yang mengasosiasikan asuransi sosial sebagai asuransi bagi kelompok
5. Asuransi sosial
Banyak pihak di Indonesia yang mempunyai pengertian keliru tentang asuransi
sosial. Kebanyakan orang beranggapan bahwa asuransi sosial adalah suatu program
asuransi untuk masyarakat miskin atau kurang mampu. Pada berbagai kesempatan
interaksi dengan masyarakat di kalangan sektor kesehatan, banyak yang beranggapan
bahwa Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) yang diperkenalkan
Departemen Kesehatan (Depkes) juga merupakan program jaminan untuk masyarakat
miskin. Hal ini barangkali terkait dengan program JPKM dalam rangka Jaring Pengaman
Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK) dimana Depkes memberikan insentif kepada
organisasi di kabupaten yang disebut pra bapel (badan penyelenggara) untuk
mengembangkan JPKM. Program JPSBK ini memberikan dana Rp 10.000 per tahun
untuk tiap keluarga miskin (gakin) kepada pra bapel yang berjumlah 354 di seluruh
Indonesia. Dana tersebut digunakan untuk membiayai administrasi pra bapel sebesar
Rp.800, dan sisanya untuk membiayai pelayanan kesehatan peserta yang dikelolanya.
Diharapkan setelah dua tahun program berjalan, pra bapel dapat membuat produk JPKM
dan menjualnya kepada masyarakat selain gakin. Mungkin dengan program inilah maka
terbentuk pemahaman bahwa program JPKM adalah program asuransi sosial.
Sebenarnya, konsep JPKM adalah konsep asuransi komersial yang dilandasi oleh
kepesertaan sukarela. Diskusi lebih lanjut tentang hal ini dibahas lebih lanjut dalam bab
asuransi komersial.
Dalam Undang-Undang No 2/92 tentang asuransi disebutkan bahwa program
asuransi sosial adalah program asuransi yang diselenggarakan secara wajib berdasarkan
suatu undang-undang, dengan tujuan untuk memberikan perlindungan dasar bagi
Hal 48
tersebut yang mau membeli, perusahaan asuransi/bapel akan menarik premi sangat besar
untuk menutupi biaya berobat yang tinggi. Atau mereka tidak bersedia menjamin orang-
negara yang lebih dekat ke sosialis, yang tidak memiliki sistem asuransi sosial atau
jaminan langsung oleh negara. Di Amerika misalnya, semua orang—tanpa kecuali, yang
mempunyai penghasilan harus membayar premi Medicare. Medicare adalah program
rakyat. Itulah sebabnya, sebuah asuransi sosial yang memenuhi syarat haruslah diatur
berdasarkan undang-undang. Di Indonesia, salah satu contoh asuransi sosial yang diatur
egaliter berarti you get what you need yang lebih pas untuk kesehatan. Prinsip equity
egaliter menjamin seseorang untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan
kebutuhan medisnya dan membayar kontribusi sesuai kemampuan ekonominya. Itulah
Seorang tukang ojek yang menderita tifus tetapi takut ke rumah sakit karena
informasi yang dia peroleh dari tetangga dan kenalannya bahwa biaya perawatan di
rumah sakit dapat menghabiskan ratusan ribu sampai jutaan rupiah. Setelah berusaha
meninggal dunia.
Untuk menghindarkan kondisi sebagaimana digambarkan diatas, harus
diselenggarakan asuransi sosial yang membuat baik si manajer maupun si tukang sayur
program yang tidak ditentukan dimuka. Itulah sebabnya, premi asuransi sosial atau
jaminan sosial sering disebut sebagai social security tax, jadi sangat mirip dengan ear-
marked tax.
komersial, bukan asuransi sosial. Asuransi sosial sering disebut sebagai asuransi publik
(public insurance), untuk membedakannya dengan asuransi swasta (private insurance)
yang umumnya bersifat komersial dan for profit. Ada banyak bentuk asuransi swasta
Keunggulan
Penyelenggaraan asuransi sosial mempunyai banyak keunggulan mikro dan
makro yang antara lain dapat dijelaskan di bawah ini.
1. Tidak terjadi seleksi bias. Seleksi bias, khususnya adverse selection atau anti
seleksi, merupakan keadaan yang paling merugikan pihak asuradur. Pada anti
seleksi terjadi keadaan dimana orang-orang yang risiko tinggi atau di bawah
standar saja yang menjadi atau terus melanjutkan kepesertaan. Hal ini terjadi pada
asuransi yang sifatnya sukarela/komersial. Dalam asuransi sosial yang
mewajibkan semua orang, paling tidak dalam suatu kelompok tertentu seperti
pegawai negeri atau pegawai swasta untuk ikut, tidak akan terjadi anti seleksi.
Semua orang harus ikut, sehingga orang yang memiliki risiko standar, sub
standar, maupun diatas standar ikut serta pada program tersebut, dengan demikian
memungkinkan sebaran risiko yang merata sehingga perkiraan klaim/biaya dapat
dihitung lebih akurat.
2. Redistribusi/subsidi silang luas (equity egaliter). Karena semua orang dalam suatu
kelompok wajib ikut; baik yang kaya maupun yang miskin, yang sehat maupun
yang sakit, dan yang muda maupun yang tua; maka pada asuransi sosial
memungkinkan terjadinya subsidi silang yang luas. Yang kaya memberi subsidi
kepada yang miskin, yang sehat memberi subsidi kepada yang sakit, dan yang
Hal 57
muda memberi subsidi kepada yang tua. Dalam asuransi komersial hanya terjadi
subsidi antara yang sehat dengan yang sakit.
tidak sedikit yang menghabiskan sampai 50% dari premi yang diterima.
7. Pengaturan tarif fasilitas kesehatan lebih seragam. Karena pool yang besar,
asuransi sosial besar kemungkinan dapat melakukan pengaturan tarif fasilitas
penduduk terjamin. Hal ini hanya mungkin jika asuransi yang diselenggarakan
adalah asuransi sosial yang mewajibkan semua penduduk menjadi peserta,
tentunya secara bertahap. Asuransi sosial memungkinkan terselenggaranya
Kelemahan
Selain berbagai keuntungan yang dapat dinikmati masyarakat baik secara mikro
maupun secara makro, asuransi sosial tidak lepas dari berbagai kelemahan. Kelemahan-
kelemahan tersebut antara lain:
1. Pilihan terbatas. Karena asuransi sosial mewajibkan penduduk dan pengelolanya
yang merupakan suatu badan pemerintah atau kuasi pemerintah, maka masyarakat
tidak memiliki pilihan asuradur. Para ahli umumnya berpendapat bahwa hal ini
tidak begitu penting, karena pilihan yang lebih penting adalah pilihan fasilitas
kesehatannya. Asuransi sosial memungkinkan peserta bebas memilih fasilitas
kesehatan yang diinginkan. Itu dimungkinkan karena fasilitas kesehatan dapat
dibayar secara FFS atau cara lain yang tidak mengikat. Berbeda dengan konsep
HMO/JPKM kini, yang memberikan pilihan asuradur tetapi setelah itu pilihan
fasilitas kesehatan terbatas pada yang telah mengikat kontrak. Bagi peserta tentu
akan lebih menguntungkan adanya kebebasam memilih fasilitas kesehatan dengan
biaya murah dibandingkan memilih asuradur tetapi pilihan fasilitas kesehatan
terbatas.
2. Manajemen kurang keratif/responsif. Karena asuransi sosial mempunyai produk
yang seragam dan biasanya tidak banyak berubah, maka tidak ada motivasi
pengelolan untuk berusaha merespons keinginan (demand) peserta. Apabila askes
sosial dikelola oleh pegawai yang kurang selektif dan tidak memberikan insentif
pada yang berprestasi, maka manajemen cenderung kurang memuaskan peserta.
Hal lain adalah karena penyelenggaranya tunggal, tidak ada tantangan untuk
bersaing, sehingga respons terhadap tuntutan peserta kurang cepat.
Hal 60
5. Asuransi Komersial
Seperti telah dijelaskan dimuka, asuransi komersial berbasis pada kepesertaan
sukarela. Kata komersial berasal dari bahasa Inggris commerce yang berarti berdagang.
Dalam berdagang tentu tidak boleh ada paksaan. Dasarnya adalah pedagang menawarkan
barang atau jasanya dan sebagian masyarakat yang merasa memerlukan barang atau jasa
tersebut akan membelinya. Tidak ada paksaan bahwa seseorang harus membeli
barang/jasa tersebut. Agar seorang pedagang atau suatu perusahaan dapat menjual barang
atau jasanya, maka ia harus bekerja keras memperoleh informasi tentang barang/jasa apa
Hal 61
yang diminati (ada demand) masyarakat. Kalau seorang pedagang menjual barang yang
tidak diminati masyarakat, maka barang atau jasa yang dijualnya tidak akan laku dan
pedagang tersebut akan merugi. Sebaliknya jika pedagang tersebut sangat jeli melihat
yang ditanggung. Jadi asuransi komersial dimulai dari penyusunan paket yang
diperkirakan diminati pembeli, lalu dilakukan perhitungan premi untuk dijual. Di
Indonesia paket-paket yang dijual sangat bervariasi dari yang hanya menjamin penyakit
Kekuatan
Hal 63
keuangannya.
sehingga lebih mempunyai peluang menetapkan marjin keuntungan yang besar pula.
Kedua mekanisme pasar asuransi kesehatan dan provider (penyelenggara pelayanan
kesehatan), maka harga akhir yang dibebankan kepada konsumen akan tetap tinggi. Hal
Amerika menghabiskan rata-rata 12% faktor loading (biaya operasional, laba, dan
berbagai biaya non medis lainnya) (Shalala dan Reinhart, 1999). Departemen Kesehatan
RI membolehkan bapel menarik biaya loading sampai 30%.9 Asuradur swasta di
tidak selalu berarti bahwa pemerintah harus menyediakan seluruh pelayanan dengan
cuma-cuma. Yang dimaksud pendanaan oleh publik adalah pendanaan oleh pemerintah
dalam bentuk anggaran belanja negara atau oleh penyelenggara asuransi sosial atau
Pembiayaan
Penyediaan Publik Swasta
pelayanan kesehatan
Publik Inggris Indonesia dan Negara
berkembang lainnya
Swasta Kanada, Jerman, Jepang, Amerika
Korea, Taiwan, dan negara-
negara maju lainnya
* Jepang dan Jerman menyerahkan sebagian besar pembiayaan dan penyediaan kepada sektor
swasta, akan tetapi bersifat sosial (nirlaba) yang diatur oleh pemerintah, sementara Amerika menyerahkan
kepada mekanisme pasar (for profit dan not for profit).
Apabila pembiayaan diserahkan kepada sektor publik, yang bersifat sosial atau
nirlaba, maka terdapat dua pilihan utama yaitu pembiyaan dari penerimaan pajak (general
tax revenue) seperti yang dilakukan Inggris dan pembiayaan melalui asuransi sosial
seperti yang dilakukan Kanada, Taiwan, Jepang dan Jerman. Kanada dan Taiwan
memberlakukan sistem monopoli Propinsi dan Negara dengan hanya menggunakan satu
badan penyelenggara, yang sering dikenal Asuransi Kesehatan Nasional. Sementara
Jerman dan Jepang menggunakan undang-undang wajib asuransi sosial dengan banyak
Hal 69
rendah) tidak menggantungkan sistemnya pada asuransi kesehatan swasta, baik dalam
bentuk tradisional-indemnitas maupun dalam bentuk managed care (HMO, PPO, maupun
POS). Tentu saja argumen teoritis yang dikemukan diatas tidak cukup meyakinkan tanpa
Tabel 1
Perbandingan model asuransi, cakupan, biaya dan status kesehatan di berbagai negara maju.
Dari tabel tersebut dapat kita lihat bahwa Amerika yang merupakan satu-satunya
negara maju yang menggantungkan sistem asuransinya pada asuransi komersial
menunjukkan biaya kesehatan yang harus ditanggung asuransi, hampir dua kali biaya
termahal di negara lain, dan lebih dari dua kali dari biaya kesehatan di Jepang dan Jerman
yang sama-sama memiliki banyak badan penyelenggara asuransi kesehatan. Bahkan
biaya rawat inap perhari di Amerika mencapai 5-10 kali lebih mahal dibandingkan negara
maju lain yang memiliki pendapatan per kapita tidak jauh berbeda. Jika dilihat cakupan
asuransinya, Amerika masih memiliki 17% penduduk (43 juta jiwa) yang tidak
Hal 72
mempunyai jaminan (uninsured). Sementara indikator makro kesehatan, IMR dan LE,
tidak menunjukkan status yang lebih baik dari banyak negara atau dari tetangganya
Kanada.
Hal 73
16
Amerika Jerman Kanada
14 Perancis Jepang Inggris
12
10
8
6
4
2
0
1970 1975 1980 1985 1990 1997
Suatu mekanisme pasar dapat dikatakan alamiah bila pelaku ekonomi, pembeli
dan penjual, dapat bebas bergerak sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.
Peningkatan kapasitas pembeli (demand) tanpa adanya peningkatan kapasitas penjual
(supply) menyebabkan harga naik. Sebaliknya peningkatan suplai barang/jasa tanpa
adanya peningkatan demand akan menyebabkan harga barang turun. Mekanisme tersebut
adalah mekanisme yang sangat lazim terjadi pada pasar. Hasil (outcome) dari mekanisme
ini adalah tercapainya efisiensi. Semakin tinggi tingkat persaingan, peningkatan suplai,
semakin rendah harga suatu barang/jasa, dan sebaliknya. Jadi konsumen akan
diuntungkan. Akan tetapi di dalam asuransi kesehatan dan pelayanan kesehatan15,
dampak persaingan yang menghasilkan efisiensi tinggi ini selalu dipertanyakan. Apakah
benar dengan mekanisme pasar, pelayanan kesehatan akan lebih murah dan lebih
berkualitas? Suatu barang atau jasa pelayanan kesehatan dapat saja tidak lebih murah
akan tetapi kualitasnya lebih baik. Jadi terjadi efisiensi juga. Selain efisiensi yang
merupakan keluaran umum yang diharapkan dari suatu mekanisme pasar, di dalam
Hal 74
Jaminan Uang
Tradisi asuransi, termasuk asuransi kesehatan, adalah memberikan penggantian
uang. Undang-undang No.2/92 tentang Asuransi di Indonesia juga mempunyai definisi
Hal 75
yang sama. Dalam asuransi kesehatan di masa lalu, dimana provider belum cukup banyak
dan moral hazard belum meluas, jaminan uang berjalan cukup baik. Dalam praktik,
pemberian jaminan uang sering bermasalah karena mudahnya terjadi moral hazard dan
Hal 76
Contoh Asuransi Komersial (contoh ini adalah produk yang dijual di Jakarta dan Jawa
Barat tanpa menyebutkan nama perusahaannya).
Sebuah perusahaan asuransi menjual paket standar perawatan kelas III dengan premi
Rp 22.500 per orang per bulan dan TIDAK menanggung hemodialisa. Seorang
pegawai atau pedagang bergaji Rp 700.000 dan memiliki dua anak tidak akan mampu
membeli paket ini karena ia harus membayar 4 x Rp 22.500 = Rp 90.000 per bulan.
Ini sama dengan 13% penghasilannya sebulan. Kalau anggota keluarga ini perlu rawat
inap atau hemodialisa, maka ia harus bayar sendiri. Jika ia tidak memiliki uang, maka
ya mungkin nyawa mengancam jiwanya karena tidak ada yang menanggung.
Seorang pengusaha kecil berpenghasilan Rp 5.000.000 sebulan merasa perlu memilki
Hal 77
asuransi dan membeli paket standar diatas. Dia memiliki dua anak dan satu istri juga,
maka dia mampu membayar Rp 90 000 - yang merupakan 1 8% dari penghasilannya
Kelebihan
1. Tidak perlu ada kontrak atau kerja sama dengan Pemberi Pelayanan Kesehatan
(fasilitas kesehatan, provider). Pada asuransi indemnitas, peserta dapat
mengajukan klaim berdasarkan kwitansi biaya berobat di rumah sakit dan tidak
diperlukan kontrak khusus antara perusahaan asuransi dengan provider. Pada
umumnya produk indemnitas di Indonesia hanya menanggung biaya rumah sakit.
2. Pilihan fasilitas kesehatan luas. Akibat tidak adanya kontrak dengan fasilitas
kesehatan, maka peserta atau tertanggung mempunyai kebebasan memilih fasilitas
kesehatan sebagai tempat mendapatkan pengobatan. Pilihan yang luas ini sangat
disukai orang-orang yang menghendaki pelayanan yang sesuai dengan seleranya.
Pada umumnya golongan ekonomi menengah atas, apalagi yang mobilitasnya
tinggi, sangat menyukai asuransi model ini. Pilihan bebas ini dapat diberikan oleh
usaha asuransi komersial maupun asuransi sosial pada asuransi kecelakaan kerja
(workers’ compensation, occupational injury, dll).
3. Pembayaran fasilitas kesehatan Fee For Service (FFS). Karena manfaat diberikan
dalam bentuk uang sejumlah tertentu atau reimbursement dan tanpa ada kontrak
dengan provider, maka pembayaran fasilitas kesehatan dilakukan sesuai dengan
jasa yang diberikan (fee for service). Cara pembayaran ini sangat disukai oleh
fasilitas kesehatan karena mereka tidak perlu menanggung risiko finansial.
4. Kepuasan peserta lebih tinggi. Kepuasan peserta tinggi karena mereka tidak harus
mendapatkan pelayanan dari fasilitas kesehatan yang belum mereka kenal.
Apabila mereka mendapatkan fasilitas kesehatan yang kurang baik pelayanannya,
peserta tidak bisa menyalahkan asuradur.
5. Kepuasan fasilitas kesehatan lebih tinggi. Pembayaran jasa per pelayanan dan
pilihan bebas fasilitas kesehatan memberikan kepuasan tinggi kepada fasilitas
Hal 78
kesehatan karena tidak ada risiko finansial. Provider yang mampu memberikan
pelayanan baik dan memuaskan akan mendapat pasien lebih banyak.
mutu ini berlaku untuk semua asuradur yang melakukan kontrak pelayanan. Jadi
kendali mutu bukanlah monopoli organisasi managed care/bentuk JPKM.
8. Ringkasan
Setelah berbagai model asuransi kesehatan dibahas diatas, maka di bawah ini
disajikan ringkasan berbagai aspek yang dapat dihasilkan dari jenis asuransi kesehatan
tersebut dan contoh-contoh yang ada di Indonesia dan di dunia.
Berbagai aspek yang dapat dihasilkan atau difasilitasi oleh asuransi kesehatan
sosial dan komersial
Pembiayaan
Penyediaan Publik Swasta
pelayanan
Publik Inggris Indonesia dan negara
berkembang lainnya
Swasta Kanada, Jerman, Jepang Amerika
dan Taiwan
• Jepang dan Jerman menyerahkan sebagian besar pembiayaan dan penyediaan kepada sektor swasta,
akan tetapi bersifat sosial (nirlaba) yang diatur oleh pemerintah, sementara Amerika menyerahkan
kepada mekanisme pasar (for profit dan not for profit).
• Yang dimaksud dengan pembiayaan publik adalah pembiayaan dari dana pemerintah atau asuransi
sosial/jaminan sosial
Istilah Penting
Negara Kesejahteraan
Jaminan sosial
Asuransi sosial
Public insurance
Hal 83
Bantuan sosial
Means test
Populasi homogen
Accidental
Pure risk
Indemnitas
Moral hazard
Workers’ compensation
Rujukan
1
Thabrany, Hasbullah. Asuransi Kesehatan di Indonesia. Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan FKMUI, Depok
2001.
2
Vughan. Principle of …
3
Rejda. Principle
4
WHO. World Health Report 2000. Geneva, 2001
5
Laporan WHO 2000.
6
HIAA. Managed Care part B. Washington, D.C., 1997
7
HIAA. Health Insurance Premier, Washington, D.C., 2000
8
Health Insurance Association of America (HIAA). Source Book of Health Insurance Data. HIAA,
Wahington D.C., 1999.
9
Depkes RI. Pembinaan Bapel JPKM: Kumpulan Materi. Depkes RI, Jakarta, 1995.
10
Thabrany, H. Introduksi Asuransi Kesehatan. Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia, Jakarta, 1999.
11
Depkes Taiwan. Public Health in Taiwan, ROC. Taipei, 1997
12
Shalala, DE dan Reinhardt UE. Interview: Viewing the US Health Care System from Within: Candid
Talk from HHS. Health Affairs 18(3): 47-55, 1999
13
Anderson, GF. And Paullier, JP. Health Spending, Access, and Outcomes: Trends in Industrialized
Countries. Health Affairs, 18(3):178-192
14
Ikegami, N dan Campbell, JC. Health Care Reform in Japan: The Virtue of Muddling Trhough. Health
Affairs 18(3):56-75.
15
Pelayanan kesehatan disini adalah berbagai lingkup pelayanan kesehatan mulai dari promotif sampai
rehabilitatif, termasuk obat dan alat medis.
Hal 87
1. Pendahuluan
Askes 88 H. Thabrany
karena UU Kesehatan nomor 23/1992 telah dinyatakan tidak berlaku dan telah diganti
dengan UU Kesehatan yang baru, nomor 36/2009. Dalam UU 36/2009 dinyatakan bahwa
sistem pendanaan kesehatan Indonesia diatur tersendiri dengan mekanisme asuransi
sosial secara nasional (yaitu UU SJSN). Setelah keluarnya UU SJSN, PT Askes berupaya
berkonsentrasi pada askes sosial dalam SJSN. Produk asuransi kesehatan komersial
dilepaskan kepada anak perusahaan yaitu PT InHealth, yang berbentuk perusahaan
asuransi Jiwa. Akan tetapi, sistem pendanaan dan penyediaan layanan dalam asuransi
kesehatan wajib Askes menggunakan teknik-teknik managed care seperti yang ingin
dikembangkan oleh JPKM (HMO) dulu. Perbedanaanya dengan JPKM adalah bahwa
askes PNS ini bersifat wajib atau merupakan bentuk asuransi sosial sehingga lebih tepat
disebut Asuransi Sosial Kesehatan Terkendali (managed social health insurance).
2. Sejarah
setelah uang Indonesia sudah digunakan, batas gaji diubah menjadi Rp 850 sebulan.
Pengelolaan dana untuk penggantian biaya berobat PNS ini dilakukan oleh Dinas
Restitusi Dirjen Bina Waluya. Pegawai yang sudah memasuki pensiun tidak
Askes 89 H. Thabrany
mendapatkan penggantian biaya berobat. Dapat dibayangkan bahwa dengan cara
penggantian yang didasarkan atas jasa per pelayanan, maka banyak terjadi penyalah-
gunaan dan mendorong timbulnya moral hazard.
Pada tahun 1960 Menteri Kesehatan waktu itu mengeluarkan instruksi untuk
mengembangkan jaminan kesehatan ini kepada pensiunan dan pegawai pemerintah
dengan nama “Jakarta Pilot Project” yang memang dimulai di Jakarta. Sistem
penggantian biaya diganti dengan sistem pembayaran langsung kepada fasilitas kesehatan
dan tidak lagi ada perbedaan antara yang golongan gaji tinggi dengan golongan gaji
rendah. Jaminanpun terbatas pada jaminan rawat inap dan obat-obatan. Sistem
pembayaran masih tetap menggunakan per pelayanan. Birokrasi pemerintah
menyebabkan sistem ini juga tidak efisien. Poyek ini berhasil memperluas cakupan
namun demikian biaya yang harus ditanggung pemerintah terus membengkak. Padahal
sistem ini tidak membayar jasa dokter. Karena jasa dokter tidak dibayar inilah akhirnya
sistem ini tidak juga memberikan keadilan yang merata, karena pegawai yang miskin
tidak mendapatkan pelayanan yang sama dengan pegawai yang kaya yang mampu
membayar dokter. Uji coba ini menyebabkan pemerintah defisit sebesar Rp 600 juta pada
saat itu. Sejalan dengan konsep kewajiban masyarakat untuk ikut bertanggung jawab atas
kesehatannya, maka mulai dipikirkan untuk menggalang sumber dana dari pegawai
negeri sendiri.
Pada tahun 1966 Menteri Kesehatan Siwabessy mengeluarkan instruksi
pembentukan Komite “Dana Sakit” dengan iuran dari pegawai negeri sendiri. Dana yang
dihimpun harus digunakan semaksimal mungkin untuk kepentingan peserta, bukan untuk
mencari laba bagi pengelola. Sayangnya komite tersebut tidak berhasil menelurkan
konsep yang diharapkan. Pada tahun 1968 Menkes kemudian membentuk Panitia
Pembentukan Badan Pemeliharaan Kesehatan Pegawai Negeri dan Penerima Pensiun.
Pada masa itu pemerintahan Orde Baru masih mengalami kesulitan keuangan akibat
Pemberontak PKI di tahun 1965. Mulai tahun anggaran 1968/69 pemerintah tidak lagi
mengalokasikan dana untuk penggantian biaya kesehatan pegawai negeri. Pada 18-3-68
Hal 90
Mentri Tenaga Kerja Awaloedin Djamin membentuk Tim Kerja Kesejahteraan Pegawai
Negeri (TKKPN) setelah upaya memperoleh persetujuan dari Presiden tidak berhasil.
Tim ini mendirikan tonggak sejarah penting berkembangnya asuransi kesehatan wajib di
Askes 90 H. Thabrany
Indonesia. Modal awal adalah 50% dana kesejahteraan pegawai negeri yang selama itu
telah terkumpul dari potongan 10% gaji pegawai aktif dan 5% uang pensiun. Badan
hukum pengelola dikuatkan oleh Kepres No 230 tanggal 15 Juli 1968 yang merupakan
cikal bakal PT Askes Indonesia. Untuk mendanai program tersebut dikeluarkan Kepres
no 122/68 menetapkan potongan gaji pegawai negeri sebesar 5% untuk mendanai
pemeliharaan kesehatan bagi dirinya.
Selama Pelita I sampai Pelita III atau sejak tahun 1968 sampai tahun 1984,
asuransi kesehatan pegawai negeri ini dikelola oleh suatu badan yang disebut Badan
Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK) yang berada di Departemen
Kesehatan. Iuran untuk asuransi kesehatan ini besarnya 5% dari gaji pokok. Pada
awalnya jaminan diberikan dengan bebas dimana peserta dapat memilih fasilitas
kesehatan pemerintah atau swasta dengan pembayaran fee for service. Manajemen masih
sangat sentralistis. Pemakaian berlebihan tentu saja tidak dapat dihindarkan, tidak heran
pada awalnya program ini juga mengalami defisit anggaran. Pada tahun 1970 besarnya
iuran dikurangi menjadi hanya 3,89% gaji pokok untuk pegawai aktif sementara
pensiunan masih mengiur 5% dari pensiun yang diterima yang diatur dengan Kepres No.
22/70. Sampai dengan tahun 1973, berbagai upaya pengendalian biaya dan pelayanan
terus dilakukan guna menyelematkan program ini dari kebangkrutan. Bahkan upaya
untuk memperluas program asuransi kesehatan PNS kepada masyarakat non PNS
sebenarnya sudah mulai dipikirkan pada periode ini. Pada periode yang sama mutu
pelayanan sudah mulai mendapat perhatian dan karena berbagai standar pelayanan dan
pengaturan obat sudah mulai dilakukan. Pada tahun 1974, besar iuran dikurangi lagi dari
3,89% mejadi 2,75% gaji pokok, pensiunan tetap membayar iuran 5%. Pada tahun 1977
dikeluarkan Kepres No 8/77 yang menetapkan potongan iuran sebesar 2% gaji pokok
yang berlaku bagi pegawai aktif dan pensiunan. Sistem kapitasi kepada puskesmas sudah
mulai diperkenalkan pada tahun 1979 di Jakarta. Selama periode ini dasar-dasar
pengendalian biaya yang kini dikenal dengan teknik managed care sudah dilaksanakan
oleh BPDPK. Pada tahun 1980 jumlah anak yang ditanggung dibatasi sebanyak-banyak
Hal 91
tiga orang.
Untuk meningkatkan profesionalitas dan mengurangi birokrasi maka pada tahun
1984 pengelolaan asuransi kesehatan PNS ini mulai dipisahkan dari Depkes melalui PP
Askes 91 H. Thabrany
No. 22 dan 23 tahun 1984. Perubahan bentuk badan ini juga untuk menyesuaikan diri
fungsi pengelolaan dana masyrakat yang tidak bisa dikelola menurut sistem akuntansi
pemerintahan yang masih terikat dengan ICW (Indische Comptabiliteit Wet) yang
mengharuskan segala dana disetor ke kas negara. Mulai tahun 1984 itu BPDPK berubah
bentuk menjadi Perusahaan Umum Husada Bhakti atau disingkat Perum PHB. Menteri
teknis yang mengawasi PHB ini tetap Menteri Kesehatan. Prakteknya, penyelenggaraan
Perum PHB baru dilaksanakan secara penuh pada 23 April tahun 1986. Di daerah-daerah
dibentuk Kantor Cabang yang terus berkembang sejalan dengan pertambahan jumlah
pegawai negeri. Pada awal tahun 1992 jumlah cabang di seluruh Indonesia sudah
berjumlah 27 cabang, masing-masing satu cabang di tiap propinsi. Pada masa PHB inilah
tenaga-tenaga khusus yang mengerti masalah asuransi kesehatan mulai dididik. Untuk
pendidikan ini PHB bekerja sama dengan Pusdiklat Depkes RI, USAID, dan Zieken
Fonds Belanda. Pada masa ini sistem pelayanan terkendali dengan menggunakan teknik-
teknik managed care semakin dimantapkan. Daftar obat yang dijamin disusun
berdasarkan Daftar Obat Esensial Nasional dan diperkenalkan dengan nama Daftar
Pelafon Harga Obat, DPHO, di tahun 1987. Berbeda dengan bentuk BPDK, pada masa
Perum PHB ini sumber dana tidak lagi hanya bergantung dari iuran peserta akan tetapi
sudah dapat ditambahkan dari penghasilan investasi dana yang belum terpakai.
Untuk lebih memberikan keluwesan perusahaan, menjawab tantangan jaman, dan
memenuhi peraturan yang telah dikeluarkan sebelumnya, maka status PHB ditingkatkan
menjadi PT Persero melalui PP No. 6/92 dengan nama PT Asuransi Kesehatan Indonesia
disingkat dengan nama PT Askes.1 Dengan bentuk Persero ini, Askes diberikan
wewenang untuk memperluas kepesertaan kepada berbagai badan usaha pemerintah
maupun swasta. Pada awalnya kewenangan ini sempat menimbulkan ketegangan antara
PT Askes dan PT Jamsostek yang ditunjuk untuk mengelola JPK untuk pegwai swasta.
Namun setelah komunikasi semakin baik, terdapat saling pengertian yang baik. PT Askes
memang mendapat kemudahan dari PP 14/93 yang mengatur bahwa perusahaan yang
memberikan jaminan lebih baik boleh tidak mendaftarkan diri pada PT Jamsostek. PT
Hal 92
Askes 92 H. Thabrany
UU nomor 2/1992 tentang Asuransi yang mengharuskan badan penyelenggara asuransi
sosial hanya menyelenggarakan program asuransi sosial. Kekeliruan UU 2/1992 adalah
penyelenggaraan asuransi sosial diserahkan kepada BUMN.
Setelah keluar UU 40/2004, yang awalnya PT Askes ditetapkan sebagai salah satu
badan penyelenggara, maka PT Askes mempersiapkan diri untuk menjadi salah satu
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Setelah Pemerintah memutuskan untuk
mengembalikan surplus untuk pengembangan program di tahun 2007, di tahun 2009
didirikanlah anak perusahaan PT Askes yang diberi nama PT Asuransi Jiwa InHealth.
Perusahaan ini kemudian diserahkan mengelola seluruh produk asuransi kesehatan
komersial yang sebelumnya dikelola oleh PT Askes. Dengan pelepasan produk
komersial, PT Askes berharap bisa menyelenggarakan asuransi sosial yang lebih
konsisten menurut UU SJSN.
Namun demikian, sampai dengan akhir Juni 2011, penetapan PT Askes sebagai
BPJS masih belum mendapat kepastian. Pembahasan RUU BPJS yang menjadi inisitatif
DPR masih belum final. Dalam RUU BPJS, DPR mengusulkan peleburan ke-empat
BUMN yang ditetapkan sebagai BPJS dalam UU SJSN menjadi satu BPJS, suatu badan
hukum khusus yang dibentuk UU BPJS yang menyelenggarakan kelima program jaminan
sosial. Pola ini mirip Social Security Administration di Amerika, suatu Badan Federal
yang mengelola seluruh program jaminan sosial (OASDHI, Old Age, Survivors,
Disability and Health Insurance). Di lain pihak, awalnya Pemerintah (sampai dengan
tanggal 1 Mei 2011—May Day, tidak bersedia mengubah ke-empat BUMN dan bertahan
pada rumusan “penatapan” BPJS tanpa ada pengaturan. Hal ini dapat ditafsirkan sebagai
tidak ingin mengubah status badan hukum BUMN menjadi badan khusus yang dibentuk
UU. Tetapi, setelah aksi serikat pekerja yang dikoordinir oleh Komite Aksi Jaminan
Sosial (KAJS) melakukan demo besar May Day, akhirnya Daftar Isian Masalah (DIM)
Pemerintah tertanggal 9 Mei 2011 menyetujui pembentukan dua BPJS baru, tanpa
membatalkan ke-empat BUMN. Usulan ini masih dalam pembahasan ketika naskah ini
ditulis.
Hal 93
Askes 93 H. Thabrany
3. Peserta
Semua yang tersebut diatas wajib menjadi peserta Askes dengan pembayaran
iuran yang dipotong langsung dari gaji atau uang pensiun bulanan mereka. Masa menjadi
Askes 94 H. Thabrany
peserta dimulai pada waktu iuran dipotong dari gaji seorang pegawai atau pembayaran
iuran. Masa kepesertaan berhenti jika iuran atau iuran tidak lagi dibayarkan.
Peraturan pemerintah itu juga mengatur kewajiban peserta sebagai berikut:
(1) Peserta wajib memberikan keterangan yang sebenarnya tentang jati dirinya
beserta keluarganya untuk penyusunan data peserta.
(2) Peserta beserta keluarganya wajib memiliki tanda pengenal diri yang diterbitkan
oleh Badan Penyelenggara.
(3) Peserta dan keluarganya wajib mengetahui dan mentaati peraturan
penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan.
4. Iuran
Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun wajib membayar iuran setiap bulan yang
besarnya serta tata cara pemungutannya ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Besarnya
iuran yang ditetapkan Kepres saat ini adalah 2% dari gaji pokok pegawai negeri.
Pemerintah sebagai majikan mulai ikut membayar iuran sebesar 0,5% upah di tahun 2004
dan akan teruskan dinaikan secara bertahap. Kewajiban Pemerintah tersebut ditetapkan
dengan PP 28/2003 Sebelum otonomi daerah, pemungutan iuran Askes dilakukan
langsung oleh oleh Dirjen Anggaran Departemen Keuangan dengan cara pemotongan
Hal 95
langsung dana gaji pegawai sebelum gaji tersebut dikirimkan kepada bendahawaran
pembayar gaji di berbagai isntransi pemerintah. Setelah masa otonomi daerah,
pemotongan gaji dilakukan oleh bendaharawan pembayar gaji di daerah yang kemudian
Askes 95 H. Thabrany
menyetorkannya ke Dirjen Anggaran. Barulah kemudian Dirjen Anggaran menyerahkan
dana tersebut kepada PT Askes.
Iuran untuk Veteran dan Perintis Kemerdekaan, ditanggung Pemerintah atas
beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Iuran atau iuran dari badan lainnya
yang ikut program Askes secara sukarela/komersial diatur dan ditagih langsung oleh PT
Askes.
Jumlah penerimaan iuran telah meningkat dari Rp 104 milyar di tahun 1989
menjadi Rp 519 milyar di tahun 1999 dan meningkat menjadi Rp 5.883 milayr di tahun
2010. Sementara jumlah pegawai dan pensiun yang menjadi peserta mengalami
pertumbuhan dari 3,7 juta pegawai menjadi 5,1 juta pegawai. Sementara itu jumlah
tertanggung telah meningkat dari 11,8 juta di tahun 1989 menjadi 13,7 juta di tahun 1999
dan menjadi 16,3 juta di tahun 2010. Jumlah peserta dan tertanggung mengalami
penurunan di antara tahun 1994-1996. Hal tersebut disebabkan karena perbaikan sistem
informasi sehingga data ganda dapat dikurangi. Selain itu, penurunan jumlah tertanggung
yang cukup drastis disebabkan karena perubahan kebijakan jaminan jumlah anak yang
ditanggung dari tiga orang menjadi hanya dua orang saja. Ke depan, jika UU SJSN sudah
diterapkan, jumlah peserta Askes akan meningkat karena seluruh anak seharusnya
ditanggung.
Jumlah iuran yang diterima perkaryawan mengalami kenaikan dari Rp 28.136 di
tahun 1989 atau Rp 2.345 per pegawai per bulan menjadi Rp 101.272 tahun 1999 atau Rp
8.349 per pegawai per bulan. Jika diperhitungkan besaran iuran per tertanggung, maka
penerimaan iuran di tahun 1989 adalah Rp 8.786 atau Rp 732 per kapita per bulan dan Rp
37.844 di tahun 1999 atau sebesar Rp 3.154 per kapita per bulan. Di tahun 2010, besaran
iuran per kapita program Askes telah meningkat menjadi sekitar Rp 30.000 per kapita per
bulan.
Masalah utama penerimaan iuran pegawai negeri adalah kecilnya gaji pokok
pegawai negeri dibandingkan dengan pengerimaan (take home income) pegawai negeri
yang menyebabkan juga rendahnya iuran yang diterima. Penggajian pegawai negeri
Hal 96
Askes 96 H. Thabrany
prakteknya pegawai negeri merupakan kelompok yang relatif lebih kaya dibandingkan
dengan pegawai swasta2, iuran dari gaji pokok pegawai negeri menjadi relatif kecil.
Karena besarnya iuran hanya diperhitungkan dari gaji pokok. Disisi lain, prilaku dan
demand terhadap pelayanan kesehatan pegawai negeri terkait dengan penghasilan riel
yang menyebabkan masih cukup banyak pegawai negeri tidak menggunakan haknya,
karena mereka mampu membeli layanan kesehatan dari sektor swasta.
Masalah kedua dari iuran Askes ini adalah kenaikan gaji pokok pegawai negeri
tidak selalu mengikuti perubahan biaya kesehatan atau perubahan harga-harga pelayanan
kesehatan dan obat. Bahkan kenaikan tersebut tidak dapat ditentukan periodenya. Pada
suatu ketika kenaikan gaji dapat berlaku tiga tahun sekali akan tetapi pada waktu lain bisa
terjadi perubahan kenaikan gaji setahun setelah perubahan gaji sebelumnya. Besaran
pembayaran Askes ke fasilitas kesehatan diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan
yang periode kenaikannya tidak sama dengan periode kenaikan gaji dan iuran. Sehingga
kinerja keuangan Askes berfluktuasi cukup besar, yang dapat dilihat dalam grafik pada
bab selanjutnya.
5. Paket Jaminan
Askes 97 H. Thabrany
3. Pemeriksaan penunjang diagnostik sederhana (darah lengkap, urin
lengkap, dahak pada kasus TBC, foto rontgen dada, foto rontgen gigi, dan
tes kehamilan) (klinik pribadi atau swasta)
4. Tindakan medis sederhana yang dapat dilakukan oleh dokter umum
maupun dokter gigi
5. Pemberian obat-obatan/resep obat sesuai dengan indikasi medis mengacu
obat standar yang tercantum dalam Daftar Plafon Harga Obat (DPHO)
6. Pelayanan Keluarga Berencana (alat kontrasepsi dalam rahim/IUD, Pil KB
dan suntik KB)
7. Pelayanan KIA: pemeriksaan kehamilan, pemeriksaan bayi dan balita,
pemberian imunisasi dasar (BCG, DPT, Campak, Polio, Hepatitis B)
Askes 98 H. Thabrany
Kesehatan tk.lanjutan di mana peserta dan/atau anggota keluarganya dirawat inap di
ruang perawatan paling singkat 1 hari, mencakup:
1. Rawat Inap di Ruang Perawatan Khusus, seperti di ruang perawatan
ICU/NICU/PICU/ICCU dan HCU
2. Pelayanan terhadap proses lahirnya bayi baik kurang bulan maupun cukup
bulan secara spontan maupun disertai penyulit yang memerlukan tindakan
medis termasuk pasca persalinannya.
3. Pelayanan Persalinan
4. Pelayanan ESWL, CT Scan, MRI, Transplantasi organ, dan Pelayanan darah
5. Pelayanan Jantung
6. Pelayanan Dialisis, meliputi:
a. Pelayanan Hemodialisis, yaitu Pelayanan proses pencucian darah
dengan menggunakan mesin cuci darah dan sarana hemodialisis
(consumable set yang meliputi Bloodline, AV Fistula, Dialisat
Bicarbonat Powder/Liquid, dan Hollow Fiber)
b. Pelayanan CAPD yaitu pelayanan pemasangan alat CAPD di tubuh
pasien dan secara berkala penggantian pemakaian cairan CAPD
7. Pelayanan Kedokteran Forensik meliputi pembuatan visum et repertum atau
surat keterangan medik berdasarkan pemeriksaan medik orang hidup (forensik
klinik), pemeriksaan psikiatri forensik, atau pemeriksaan jenazah
8. Pelayanan Obat mencakup Pemberian obat-obatan yang diperlukan untuk
pelayanan kesehatan tk.lanjutan sesuai dengan indikasi medik dan mengacu
kepada Daftar dan Harga Obat (DPHO) yang berlaku (ditentukan PT
Askes)
9. Pelayanan Gawat Darurat mencakup pelayanan kesehatan tingkat lanjutan
yang harus diberikan secepatnya untuk mengurangi risiko kematian atau
kecacatan, tanpa memperhitungkan jumlah kunjungan dan pelayanan yang
idberikan kepada peserta atau anggota keluarganya.
Hal 99
Askes 99 H. Thabrany
11. Tindakan Medis yang bersifat operatif dan non operatif yang dilaksanakan
baik untuk tujuan diagnostik maupun pengobatan
12. Rehabilitasi Medik Pelayanan yang diberikan untuk pemeliharaan kesehatan
peserta dalam bentuk fisioterapi, terapi okupasi, terapi wicara dan bimbingan
sosial medik
milik Pemda dan Pemda berada di bawah otoritas Mendagri. Setelah desentralisasi,
kewenangan/otonomi penuh diberikan kepada pemda (Provinsi atau kota/kabupaten),
termasuk pengaturan tarif RS publik. Maka peraturan tarif Askes terakhir, tahun 2011,
dapat dilayani oleh dokter praktik umum (sering diklaim sebagai dokter keluarga) yang
dibayar secara kapitasi antara Rp 5.500-6.500 per kapita per bulan, termasuk obat.
Sesungguhnya PP 69/91 telah lama membolehkan layanan kesehatan dasar/primer
dapat diperoleh di rumah sakit terdekat, pada umumnya rumah sakit pemerintah daerah,
pusat, atau rumah sakit tentara atau Polri. Di rumah sakit, pasien Askes seharusnya
diperiksa oleh spesialis yang diperlukan. Namun dalam praktek di daerah, pemeriksaan
memberikan pelayanan. Pada sistem penggantian biaya rumah sakit saat itu, praktis nilai
asuransi PNS menjadi sangat kecil. Sebab dalam banyak hal, besarnya urun biaya yang
harus ditanggung peserta bisa lebih besar dari biaya yang ditanggung Askes. Kini
Askes. Hal ini tentu saja membuat biaya yang sedikit itu menjadi sangat kurang jika
sebagian besar biaya semua pelayanan harus ditanggung.
Sampai tahun 1999 PT Askes masih mempunyai kinerja keuangan yang baik, yang dalam
kriteria pemeriksa pemerintah (BPK/BPKP) selalu masuk kategori sehat karena
penerimaannya selalu naik, sementara pembayaran ke fasilitas kesehatan dikendalikan
dengan tarif yang diatur oleh Menteri. Satu-satunya faktor yang menentukan penyerapan
populasi umum karena peserta Askes cenderung berpendidikan lebih tinggi dan tergolong
berpenghasilan lebih baik. Hal ini dapat diamati dari distribusi peserta Askes menurut
golongan pangkat dimana hanya sekitar 35% peserta berasal dari golongan I dan II.
Tabel 1
Distribusi Peserta Askes Menurut Kelompok Pegawai dan Status Peserta, 2009
Jika diperhatikan sebaran usia peserta Askes, tampak bahwa peserta Askes
merupakan populasi tua yang mempunyai komposisi 30% peserta berusia diatas 55 tahun.
Hanya 2,3% peserta Askes yang berusia di bawah lima tahun. Hal ini terjadi karena
kebijakan jaminan hanya dua anak yang diterapkan ketika masa Orde Baru yang
disesuaikan dengan kebijakan dua anak cukup untuk pegawai negeri. Setelah reformasi,
kebijakan kependudukan Pemerintah tidak lagi membatasi atau berupaya membatasi
jumlah anak sampai dua saja. Undang-undang SJSN juga tidak membatasi jumlah anak
sampai dua, hanya saja pegawai harus menambah iuran jika mereka memiliki atau
menghendaki jumlah anak lebih dari dua. Akan tetapi, program Askes belum
menyesuaikan diri. Akibatnya, anak yang telah terdaftar pada umumnya anak yang sudah
berusia lebih tua. Hanya pegawai negeri baru yang memiliki anak balita yang
mendaftarkan anaknya. Sementara itu, di masa dekade terakhir Orde Baru, terjadi
penahanan pertumbuhan pegawai sehingga pegawai ngeri muda menjadi relatif sedikit.
Maka dapat dimaklumi jika hampir 60 persen peserta Askes adalah berusia 41 tahun atau
lebih. Pola distribusi usia yang tua ini menimbulkan risiko penyakit dan risiko biaya yang
berbeda
Hal 110
Dengan distribusi peserta tersebt diatas, dapat difahami jika angka utilisasi
(utilization rate) per 1.000 peserta per bulan (per mil) relatif lebih tinggi dibandingkan
angka utilisasi peserta Jamsostek atau Jamkesmas. Tabel di bawah ini menunjukkan
bahwa angka utilisasi rawat jalan primer (rawat jalan tingkat pertama) yang umumnya
masih diberikan di puskesmas, mencapi 202 per mil di tahun 2008 namun angka utilisasi
tersebut turun menjadi hanya 123 permil di tahun 2009. Penurunan ini bisa jadi karena
bias pelaporan karena puskesmas dibayar secara kapitasi, bukan klaim, sehingga tidak
ada insentif bagi puskesmas untuk melaporkan seakurat mungkin. Hal ini berbeda
dengan angka utilisasi rawat inap di puskesmas (RITP, rawat inap tingkat pertama) yang
selama tiga tahun terakhir terlihat relatif konstan pada angka 0,3 permil. Demikian juga
dengan angka rawat jalan tingkat lanjutan (RJTL) atau rawat jalan sekunder yang relatif
stabil pada 50-58 permil. Variasi yang terjadi merupakna variasi normal. Angka rawat
inap tingkat lanjut, di rumah sakit, dimana pembayaran Askes berdasarkan klaim RS juga
Hal 111
Dengan pola utilisasi yang relatif stabil karena hukum angka besar yang berlaku,
Askes mampu memiliki kinerja keuangan yang baik. Namun, kinerja keuangan yang baik
bukan hanya terjadi karena stabilitas angka utilisasi (klaim), tetapi juga terjadi karena
tarif yang dibayarkan Askes kepada fasilitas kesehatan dipatok oleh Pemerintah
(Kementrian Kesehatan dan Kementrian Dalam Negeri). Apabila terjadi satuan biaya
klaim yang meningikat, maka hal tersebut dapat dipastikan terjadi karena perubahan tarif
yang ditetapkan Pemerintah. Di bawah ini disajikan rata-rata satuan klaim per episode
pengobatan secar nasional. Tampak bahwa biaya satuan klaim rawat jalan primer (RJTP)
relatif konstan di tahun 2007-2008 kemudian mengalami kenaikan di tahun 2009 yang
mencapai Rp 9.726 per pengobatan. Rendahnya biaya klaim rawat japan primer karena
rawat jalan primer dilakukan di puskesmas yang memang memiliki tarif yang sangat
rendah. Pola yang sama terjadi pada rawat jalan sekunder (spesialis/rujukan) yang
meningkat dari Rp 41.933 di tahun 2007 menjadi RP 77.331 di tahun 2009. Kenaikan ini
Hal 112
terjadi sama dengan pla kenaikan tarif lainnya, karena memang terjadi kenaikan
pembayaran berdasarkan ketetapan Pemerintah di tahun 2009. Biaya rawat inap di
puskesmas per episode perawatan juga sangat rendah, akibat rendahnya tarif puskesmas
Tabel 5
Distribusi Rata-rata Biaya Satuan (Rupiah) Klaim Layanan Kesehatan Menurut
Jenis Layanan, Tahun 2007-2009
Jika dirinci lebih lanjut rata-rata biaya klaim per kasus/episode perawatan di RS,
tampak bahwa biaya klaim di RS Publik (RS Pemerintah, RS TNI/POLRI, RS Khusus,
Hal 113
dan RS Jiwa) lebih tinggi dari rata-rata biaya klaim di RS swasta. Biaya klaim di RS
khusus mengalami perubahan yang tidak berpola yang tampaknya tidak dianalisis atau
dikelompokan dengan seksama oleh Askes. Secar teori, RS Khusus seperti RS Jantung,
Tabel 6
Distribusi Biaya Klaim Rawat Inap Per Kasus Menurut Kepemilikan RS Tahun
2007-2009
Data-data klaim perorangan Askes sayangnya belum bersih ketika laporan ini
ditulis. Berbagai kendala perolehan data klaim individu yang ada di Askes dan
pencocokan no peserta dalam data base kepesertaan dan data klaim memakan waktu
panjang. Hal ini menyebabkan pekerjaan analisis data pengalaman klaim data Askes
belum dapat disajikan lengkap disini. Diperlukan waktu cukup lama untuk pembersihan,
Hal 114
Siwabessy mengharapkan pengumpulan dana asuransi kesehatan ini bukan untuk cari
untung. Namun demikian, pendangan pengambil keputusan pemerintah hanya melihat
bahwa bentuk Persero lebih mampu meningkatkan mutu pelayanan dan menghasilkan
laba tanpa melihat misi utama asuransi sosial. Banyak RS yang mengatakan bahwa
1
Historical Development PT (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia. PT Askes. Jakarta, 1995
2
Thabrany, H. Pegawai Negeri Memang Lebih Kaya. Kompas 1996.
3
Annual Report, PT Askes Indonesia. PT Akse Indonesia, Jakarta. Diakses dari www.ptaskes.com pada
tanggal 10 Agustus 2010.
4
Sulastomo. Sistem Pembayran Kapitasi di PT Askes. Dalam Thabrany H dan Hidayat B (Ed).
Pembayaraan Kapitasi. FKMUI, Depok, 1998.
Hal 116
1. Pendahuluan
Program Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja) merupakan suatu program jaminan yang
diselenggarakan pemerintah untuk memenuhi Konvensi ILO (International Labour Organization)
tentang hak-hak tenaga kerja yang meliputi program jaminan hari tua (JHT), jaminan kematian
(JKM), jaminan kecelakaan kerja (JKK), dan jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK). Meskipun
Indonesia tidak meratifikasi konvensi international tersebut yang sudah disepakati hampir setengah
abad yang lalu, Indonesia berkewajiban memenuhi hak-hak tenaga kerja. Dalam pemenuhan hak-hak
tenaga kerja tersebut, Indonesia telah mengeluarkan UU No.3/1992 tentang Jamsostek. Undang-
undang ini dikeluarkan dalam waktu hanya semingga setelah UU No. 2/92, tentang asuransi yang
secara eskplisit memberikan ijin kepada perusahaan asuransi jiwa dan kerugian untuk menjual produk
asuransi kesehatan. Kini setelah ada UU 40/04, Program Jamsostek harus disesuaikan dengan UU
baru tersebut. Beberapa kendala masih dihadapi, antara lain adanya pihak-pihak yang menginginkan
UU Jamsostek diamenden tersendiri, terpisah dari UU 40/04, meskipun dalam Amanat Presiden tahun
2003, ketika DPR berinisitatif untuk mengamendemen UU Jamsostek, Presiden sudah menjawab
bahwa isi amademen UU Jamsostek sama dengan RUU SJSN ketika itu, dan karenanya menetapkan
UU SJSN sudah sekaligus merevisi pengaturan Jamsostek.
Program jaminan sosial merupakan program yang diselenggarakan oleh semua negara maju di
dunia dan merupakan program pemerintah dalam rangka ketahanan nasional dalam bidang sosial.
Luusnya program jaminan sosial (dalam artian manfaat jaminan dan penduduk yang dijamin)
tergantung dari kemampuan ekonomi dan kemampuan umum suatu negara. Organisi tenaga kerja
dunia dalam Konvensi Jaminan Sosial No 102/52 menetapkan sembilan macam program yang
merupakan bagian dari jaminan sosial, yaitu: (1) pemeliharaan kesehatan, (2) tunjangan sakit, (3)
jaminan hamil dan bersalin (maternity benefit), (4) santunan kecelakaan kerja, (5) tunjangan cacat, (6)
tunjangan kematian, (7) tunjangan hari tua, (8) santunan pengangguran, dan (9) tunjangan keluarga.
Hal 117
Secara umum Indonesia sudah hampir memenuhi kesembilan program tersebut, hanya saja beberapa
program digabung menjadi satu, misalnya pemeliharaan kesehatan, tunjangan sakit, dan maternitiy
sesungguhnya sudah dicakup dalam satu program jaminan kesehatan. Istilah program JPK yang
Hal 121
sesuai haknya dan bila terdapat selisih biaya yang timbul maka peserta membayar
selisih biaya perawatan
Pelayanan Persalinan
Pelayanan persalinan meliputi:
1. Persalinan normal, diberikan dalam bentuk pelayanan kesehatan di sarana
pelayanan kesehatan yang ditunjuk atau bantuan tunai maksimum sebesar Rp.
500.000,- per persalinan
2. Pelayanan persalinan dengan risiko tinggi: persalinan yang disertai penyulit atau
kelainan yang berpotensi meningkatkan risiko kematian ibu dan janin.
3. Manfaat diberikan dalam bentuk pelayanan meliputi:
a. Kamar perawatan untuk ibu dan bayi di kelas II RS pemerintah atau kelas
III RS TNI/Polri/BUMN/Swasta, maksimum 5 hari
Hal 123
b. Tindakan persalinan
c. Visite dokter yang merawat maksimum 1x per hari
d. Konsultasi dokter spesialis sesuai kebutuhan medis
e. Pemeriksaan penunjang diagnostik
JPK Jamsostek Hasbullah Thabrany
f. Pemberian obat-obatan sesuai indikasi medis mengacu ke Standar Obat
JPK Jamsostek
Pelayanan Khusus
Cakupan pelayanan khusus meliputi:
Hal 124
Hal 125
Pelayanan Emergensi
Kriteria Emergensi sesuai indikasi medis:
1. Kecelakaan/Ruda Paksa yang bukan kecelakaan kerja, contoh kasus: Trauma
kepala, patah tulang terbuka/tertutup, luka robekan/sayatan pada kulit/otot
2. Serangan jantung, contoh kasus: henti irama jantung, irama jantung yang
abnormal, nyeri dada akibat penyempitan/penutupan pembuluh darah jantung
3. Panas tinggi diatas 39 derajat Celsius atau disertai kejang demam, contoh kasus:
kejang demam
4. Perdarahan hebat, contoh diagnosis: Trauma dengan perdarahan hebat,
muntah/berak darah, abortus (keguguran) , Demam Berdarah Dengue Grade
dengan komplikasi perdarahan
5. Muntaber disertai Dehidrasi sedang s/d berat, contoh kasus: Kholera,
Gastroenteritis akut dengan dehidrasi sedang/berat, mual dan muntah pada ibu
hamil disertai dehidrasi sedang/berat
Hal 126
6. Sesak Napas, contoh kasus: Asma sedang/berat dalam serangan, infeksi paru berat
7. Kehilangan kesadaran, contoh kasus: Ayan/epilepsy, Syok/pingsan akibat
kekurangan cairan, gangguan fungsi jantung, alergi berat, infeksi berat
8. Nyeri kolik, contoh kasus: kolik abdomen, kolik renal, kolik ureter, kolik uretra
JPK Jamsostek Hasbullah Thabrany
9. Keadaan gelisah pada penderita gangguan jiwa
Pelayanan Farmasi
Prosedur Pelayanan Farmasi
Pasien berhak mendapatkan resep dari dokter spesialis atau dokter Fasilitas
Kesehatan I dengan ketentuan:
1. Resep dokter spesialis di Rumah Sakit harus sesuai dengan indikasi medis dan
diagnosis pasien.
2. Khusus Fasilitas Kesehatan I dokter dapat memberikan resep obat apabila Fasilitas
Kesehatan I tidak menyediakan obat atau khusus untuk penyakit
kronik/degeneratif yang kontrol rutin di dokter spesialis, seperti penyakit TBC
paru dan dapat diberikan resp untuk 1 (satu) bulan dengan pemberian obat 3 (tiga)
kali dengan jarak waktu 10 (sepuluh) hari.
3. Pasien yang mendapatkan resep dari Fasilitas Kesehatan yang ditunjuk, pada
kasus emergensi (maksimum3 hari) atau rawat inap atas indikasi medis.
Hal 128
4. Pasien Rawat Jalan yang mendapat resep dari dokter akan membawa resep
tersebut beserta fotocopy surat rujukan, fotocopy KPK, ke apotek yang ditunjuk
Kepesertaan
Program Jamsostek sebagaimana dijabarkan sebelumnya telah berlangsung selama 17
tahun dengan jumlah peserta yang relatif kecil dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja di
sektor formal yang menjadi target program Jamsostek. Hal ini terjadi karena sifat kepesertaan
program JPK Jamsostek yang dalam UU 3/92 seharusnya wajib bagi semua perusahaan,
dijadikan wajib bersyarat (opt out) dalam Peraturan Pemerintah nomor 14/1993 yang sampai
kini tidak pernah diubah. Dalam PP tersebut, pemberi kerja yang dapat memilih memberikan
jaminan kesehatan melalui cara lain, diluar mendaftar kepada Jamsostek, asalkan manfaat
yang disediakan lebih baik dari yang disedikan Jamsostek. Akibatnya kurang dari 10% tenaga
kerja yang didaftarkan melalui Jamsostek. Kelemahan kedua adalah bahwa batas atas upah,
ceiling, untuk penghitungan iuran sejak tahun 1993 tidak pernah disesuaikan yaitu tetap Rp
1.000.000 sehingga iuran yang diterima Jamsostek relatif rendah. Sebagaimana tampak dalam
Tabel 1, di tahun 2009 hanya 1,9 juta pekerja (baik pekerja lajang maupun pekerja
berkeluarga) yang didaftarkan dalam program JPK Jamsostek. Seharusnya, sesuai perintah
UU SJSN, program ini sudah disesuaikan paling lambat 19 Oktober 2009 sehingga perluasan
Hal 130
peserta dapat dilakukan. Hal ini menunjukkan buruknya kinerja Pemerintahan dalam
melindungi tenaga kerja swasta atau tenaga kerja mandiri (yang tidak menerima upah).
Berikutnya disajikan besarnya klaim dalam bentuk rupiah, nilai berlaku, selama lima
tahun terakhir yang tampaknya tidak banyak mengalami kenaikan. Apabila disesuaikan
Hal 134
dengan nilai inflasi, maka kenaikan tersebut tidak mengalami kenaikan berarti atau dapat
dikatakan bahwa kenaikan biaya medis tidak meningkatkan perbaikan penghasilan kepada
provider atau fasilitas kesehatan. Hal ini sangat berbahaya bagi kelangsungan program
jaminan kesehatan nasional. Tidak sesuainya kenaikan biaya medis dengan perkembangan
Tabel 4
Besar Biaya Pelayanan Kesehatan Per Tertanggung Per Tahun Menurut Jenis layanan
Kesehatan, Tahun 2005-2009
Besar Biaya (Rp) Per Tertanggung Per Tahun
PELAYANAN
KESEHATAN 2005 2006 2007 2008 2009
RAWAT JALAN TK. I
Dokter Umum 17.644 20.149 21.473 26.721 23.348
Dokter Gigi 3.187 3.719 4.010 5.428 4.251
Obat-obatan/Resep 17.089 21.022 21.637 24.797 22.013
Penunjang Diagnostik
Sederhana 345 423 463 745 548
Tindakan Medis Umum 540 653 665 679 655
Tindakan Medis Gigi 1.031 1.633 1.712 1.881 1.484
Persalinan 11.571 11.664 10.371 13.096 10.396
Hal 135
Program JPK Jamsostek memang berkembang tidak seperti yang diharapkan ketika
UU Jamsostek disetujui Pemerintah. Intervensi pada PP 14/1993 yang bertujuan memberikan
peluang bisnis asuransi kesehatan swasta ternyata tidak berjalan seperti yang diharapkan.
Volume peserta asuransi kesehatan swasta ternyata diperkirakan tidak melebih dari 5 juta
orang tetapi menghasilkan iuran yang cukup besar yaitu sekitar Rp 1,9 Triliun di tahun 2010.
Namun demikian, volume premi tersebut bukanlah volume premi murni asuransi kesehatan,
melainkan volume premi asuransi kecelakaan diri dan kesehatan (Personnal Accident and
Health) yang memberikan indikasi bahwa skenario yang diperkirakan bisa menjamin seluruh
pekerja dengan melibatkan perusahaan asuransi swasta, ternyata tidak terjadi.
Hasil analisis tim SJSN dalam Naskah Akademik RUU SJSN menunjukkan bahwa
ketika itu (2004) jumlah peserta JPK Jamsostek tidak lebih dari 1,2 juta tenaga kerja dan
jumlah peserta/pegawai yang dijamain oleh asuransi kesehatan swasta tidak lebih dari 3 juta
jiwa. Selebihnya, karyawan dijamin oleh program sendiri seperti di Pertamina, Bank
Indonesia, PT PLN, dsb atau dijamin dengan penggantian biaya berobat. Rendahnya
kepesertaan JPK Jamsostek menunjukkan kurang aktifnya pengelola dan persepsi program
yang kurang baik. Jika pemberi kerja dan pekerja menilai program JPK Jamsostek memadai,
Hal 137
maka tanpa harus diwajibkan, mereka akan mendaftarkan diri ke JPK Jamsostek.
Dalam antisipasi penerapan SJSN dengan satu BPJS, maka pada pertengahan tahun
2011 PT Jamsostek berupaya mempertahankan diri dengan meningkatkan iklan-iklan tentang
Hal 138
1. Pendahuluan
Dalam UU SJSN yang dalam konsepnya menggunakan prinsip asuransi sosial, untuk
menjadi peserta penduduk miskin dan tidak mampu tetap membayar iuran. Hanya saja,
karena mereka tidak mampu, iuran tersebut dibayar oleh Pemerintah. Program ini disebut
Program Bantuan Iuran yang diatur lebih lanjut oleh sebuah Peraturan Pemerintah dan pada
bulan Juni 2011 masih dalam proses finalisasi. Bantuan iuran dapat diberikan oleh
Pemerintah maupun oleh pemerintah daerah. Dalam perjalanannya, bantuan iuran telah
dimulai dengan Askeskin yang kemudian berubah menjadi Jamkesmas. Perubahan ini lebih
banyak berbobot politis daripada teknis. Setelah perubahan ke Jamkesmas dengan
meniadakan jaminan berdasarkan surat keterangan tidak mampu, Kementrian Kesehatan
mengharuskan pemda menjamin penduduk yang tidak mampu yang tidak masuk kuota
Jamkesmas. Dalam perjalannya, tidak semua pemda mampu menyediakan kuota yang
memadai dan tidak semua pemda mengelola jaminan tersebut, yang kemudian diberi nama
Jamkesda, dengan peraturan atau pola yang sama. Ada pemda yang mengelola sendiri dengan
administrasi dipegang Dinas Kesehatan, ada yang mengontrak ke PT Askes, ada yang
mengembangkan badan sendiri (meskipun tidak ada dasar hukumnya), dan ada yang
mengontrakkan ke perusahaan asuransi.
Dalam bab ini disajikan bahasan tentang program bantuan iuran yang mencakup
program Jamkesmas dan program Jamkesda yang bersumber dari kajian yang dilakukan
untuk Kantor Wakil Presiden RI dalam rangka keterpaduan program penanggulangan
kemiskinan. Selain itu, data dan temuan yang disajikan dalam bab ini juga berasal dari kajian
yang dilakukan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia pada tahun 2010.
Hal 139
Berdasarkan hasil pengamatan, paket manfaat yang diberikan dalam program jaminan
kesehatan sosial (wajib) bagi pekerja formal PNS maupun non PNS, paket manfaat program
Jaminan Kesehatan Masyarakat dan Jaminan Kesehatan Daerah hampir sama, yaitu paket
manfaat komprehensif meliputi:
3. Pemeriksaan dan pengobatan oleh dokter gigi untuk pelayanan dasar gigi
meliputi: pembersihan karang gigi, pencabutan gigi, penambalan gigi
berlubang, dan perawatan saraf gigi.
5. Perawatan sehari (One Day Care) untuk pelayanan yang tidak memerlukan
perawatan inap.
Fasilitas kesehatan yang dapat memberikan pelayanan RJTL ini adalah rumah sakit di
bagian rawat jalan atau perawatan sehari (One Day Care=ODC) dengan rincian:
2. RS milik swasta yang bersedia bekerja sama dengan program Jamkesmas atau
Jamkesda dengan tarif yang disepakati atau ditetapkan.
Hal 141
1. Kamar perawatan biasa meliputi mondok dan makan di kamar kelas III.
5. Perawatan dan tindakan khusus seperti operasi jantung, transplantasi organ, dan
hemodialisa dijamin Jamkesmas. Namun, bannyak program Jamkesda yang meskipun
dalam aturannya mengikuti pola Jamkesmas, tidak menjamin layanan yang mahal
ini.Hal ini memang ironis, karena ketika penduduk tidak mampu membyar sendiri,
pemda malah tidak menjaminnya. Sebaliknya, perawatan primer yang masih mampu
dijamin sendiri, malah dijamin pemda. Umumnya pemda hanya menjamin layanan
yang dapat disediakan di RS publik di daerah itu.
Kepesertaan
Meskipun secara teoritis dan perencanaan peserta Jamkesmas berjumlah 76,4 juta
jiwa, dalam praktiknya belum semua perhitungan tersebut terpenuhi. Penyebab utamanya
adalah perhitungan 76,4 juta jiwa merupakan perhitungan perkiraan dari 19,1 juta rumah
tangga miskin yang merupakan hasil pendataan BPS tahun 2005. Karena perhitungan jaminan
didasarkan pada jumlah orang, bukan rumah tangga, ketika itu diasumsikan bahwa tiap RT
terdiri atas 4 jiwa. Maka diperolah angka 76,4 juta jiwa. Praktik di lapangan, RT tersebut
menyampaikan anggota RT yang ternyata rata-ratanya tidak mencapai 4 orang per RT. Oleh
karenanya, secara total, data yang tersedia di PT Askes untuk penerbitan kartu hanya
mencapai 69,4 juta jiwa. Sisa kuota jumlah peserta tersebut di tahun 2010 diisi oleh penduduk
yang berada dalam penjara dan panti-panti asuhan.
Tabel 1
Distribusi Peserta Jamkesmas Menurut Usia.
KELOMPOK
UMUR LAKI-LAKI PEREMPUAN TOTAL
0 - 4 880.866 809.448 1.690.314
5 - 9 3.248.445 3.023.398 6.271.843
10 - 14 3.755.448 3.448.455 7.203.903
15 - 24 6.703.764 6.225.920 12.929.684
25 - 44 11.177.139 11.227.069 22.404.208
45 - 54 4.083.391 4.098.572 8.181.963
55 - 64 2.526.553 2.659.073 5.185.626
65 - 74 1.666.736 1.686.245 3.352.981
75 + 1.120.212 1.127.642 2.247.854
35.162.554 34.305.822 69.468.376
Terlepas dari banyaknya kritik tentang banyak peserta atau pemegang kartu
Jamkesmas yang tidak menggunakan haknya, data klaim Jamkesmas menunjukkan bahwa
Hal 143
klaim yang diajukan oleh RS cukup besar jumlahnya. Data utilisasi puskesmas memang tidak
dikumpulkan karena puskesmas dibayar secara kapitasi, tanpa klaim.
Tabel 2
Jumlah Kunjungan, hari rawat dan rata-rata biaya per episode pengobatan pasien Jamkesmas
tahun 2009
RJTL RITL
RATA2 RATA2 RATA2
JML JML HR Av
KARAKTERISTI BIAYA BIAYA/H BIAYA/
KUNJ RWT LOS
K /KUNJ R PASIEN
JENIS KELAMIN
Terlepas dari masalah hukum dan perundangan yang tidak sejalan, program
Jamkesmas yang dikelola oleh Kemenkes telah mempersiapkan sistem informasi yang kelak
dapat digunakan untuk analisis dan evaluasi jaminan kesehatan yang lebih realistis. Meskipun
mengisian (entri) data diagnosis dan tagihan masih belum sempurna dan banyak terdapat
salah entri sehingga memerlukan waktu lama untuk pembersihan data, cleaning, Jamkesmas
telah memiliki visi untuk memelihara data klaim. Sayangnya, data klaim yang dapat dilolah
di tahun 2010 baru merupakan data klaim dari 722 RS sedangkan sisa lebih dari 200 RS
belum menyerahkan data klaim sampai dengan pertengahan Agustus 2010. Oleh karena itu,
data klaim Jamkesmas belum bisa secara akurat digunakan untuk perhitungan kecukupan
iuran. Tingkat kredibilitas tagihan data Jamkesmas boleh dikatakan masih pada perkiraan
sebesar 70%, karena baru sekitar 70% RS yang menyampaikan laporan klaim perorangan.
Kesulitan menggunakna data klaim Jamkesmas adalah tidak randomnya RS yang
menyampaikan klaim, sehingga meskipun diketahui bahwa klaim yang masuk mencapai
70%, tidak berarti klaim tersebut mewakili 70% peserta. Hal ini menambah kesulitan
penggunaan klaim tersebut untuk perhitungan iuran. Jika diperhatikan data klaim Jamsostek,
tampak bahwa kasus-kasus terbanyak, persalinan dan infeksi, yang merupakan kasus-kasus
dengan biaya pengobatan yang relattif murah. Hal ini sejalan dengan komposisi peserta
Jamkesmas yang merupakan masyakat golongan ekonomi lemah dan usia yang lebih muda
dibandingkan peserta Askes. Namun demikian, distribusi klaim dan rata-rata biaya klaim
yang sudah menggunakan besaran INA DRG (kini beranama INA-CBG), dapat digunakan
untuk perbandingan dan analisis dengan data utilisasi/frekuensi klaim yang lebiih akurat dan
telah lama dikerjakan, yaitu data klaim Askes dan Jamsostek.
Hal 145
No
Urut Diagnosis Sesuai Kode DRG Total Kasus
1 Vaginal Delivery 43.473
2 Other Bacterial & Parasitic Diseases 40.181
3 Other Gastroenteritis & Abdominal Pain 35.620
4 Other Digestive System Diagnoses 28.883
5 Neonate, Birthwt >2499 Grams Without Major Procedure 28.789
6 Cesarean Delivery 26.425
7 Respiratory Infections & Inflammations 24.333
8 Non-Bacterial Infections 23.547
9 Red Blood Cell Disorders Except Sickle Cell Anemia Crisis 18.518
10 Schizophrenia 18.459
11 Antepartum Disorders 17.519
12 Peptic Ulcer & Gastritis 14.019
13 Dilation & Curettage, Intrauterine & Cervical Procedures 13.025
14 Intraocular & Lens Procedures 12.083
15 Hypertension 11.447
16 Asthma & Bronchiolitis 11.087
17 Head Trauma 10.415
Vaginal Delivery With Procedure Except Sterilization &/Or Dilation &
18 Curettage 10.210
19 Inguinal & Femoral Hernia Procedures 9.314
20 Other Skin, Subcutaneous Tissue & Breast Procedures 9.277
21 Sple Pneumonia & Whooping Cough 9.209
22 Heart Failure 9.114
23 Appendiceal Procedures 8.941
24 Liver Disorders Except Malignancy, Cirrhosis Or Alcoholic Hepatitis 8.882
25 Fever 8.776
26 Kidney & Urinary Tract Malignancy & Renal Failure 8.613
27 Chronic Obstructive Pulmonary Disease 8.423
28 Diabetes And Nutritional & Misc Metabolic Disorders 8.241
Tabel 4
Distribusi Rata-Rata Biaya Klaim Per Kasus 50 Diagnosis Terbanyak Rawat Inap Pasien
Jamkesmas 2009
Rata-Rata
Diagnosis
Pembayaran, Rp
Hypertension 2.127.540
Chemotherapy 1.757.764
Seizure 1.092.437
Program Jamkesmas sayangnya kini tidak dikelola secara asuransi seperti ketika
Askeskin dulu sehingga perkembangan rasio klaim tidak tersedia. Riwayat rasio klaim
diperlukan untuk menghitung kemampuan jangka panjang. Demikian juga program Jamkesda
yang dikaji yang sebagian besar dikelola oleh pegawai Pemda yang tidak memahami
manajemen asuransi. Sebagian program Jamkesda juga tidak secara eksplisit mengalokasikan
jumlah dana per orang per bulan. Data rasio klaim program Jamkesda tidak tersedia ketika
kajian ini dilakukan. Sesungguhnya Kemenkes telah melakukan pencatatan klaim yang
terpusat yang sudah dimulai sejak tahun 2009. Sayangnya, tidak semua RS yang telah
diberikan uang Jamkesmas menyampaikan laporan klaim secara memadai. Akibatnya, data
klaim yang dimiliki Jamkesmas belum cukup memadai untuk dijadikan dasar perhitungan.
Kajian data klaim Jamkesmas, meskipun sudah punya sistem yang mengumpulkan
klaim-klaim secara nasional, menunjukkan bahwa penataan data klaim masih belum memadai
untuk tujuan evaluasi serapan dana dengan memadai. Tambahan, banyak RS tidak
melaporkan klaim pada waktu yang memadai. Hal itu disebabkan karena klaim baru dapat
diakui setelah diverifikasi oleh Kemenkes cq Kantor P2JK (Pusat Pembiayaan dan Jaminan
Kesehatan). Masalah kelambatan verfikasi yang berdampak kelambatan laporan klaim
memang ditemui di lapangan. Di satu RS misalnya, klaim bulan Januari 2009 baru
ditetapkan dan diakui (meskipun hanya 60,3%) di bulan Februari 2010. Proses klaim yang
lama bisa bersumber dari verifikasi (sekedar administrasi) klaim di RS dan di Kemenkes.
Dalam proses klaim Askes dan Jamsostek, proses verifikasi, pengakuan dan pembayaran
dilakukan di kantor cabang di daerah. Banyak pimpinan RS mengakui bahwa klaim-klaim
Askes dan Jamsostek sudah dibayarkan dalam waktu satu bulan. Dengan demikian,
pencatatan di basis data administrais klaim dapat lebih akurat dan lebih sesuai waktu.
Sayangnya, karena variasi yang sangat luas dalam program bantuan iuran di daerah,
sajian singkat tentang kinerja program-program Jamkesda sulit digeneralisir. Maisng-masing
Hal 149
pemda punya sistem, besaran dana yang disedikan, aliran dana, sistem pengelolaan dan
kapasitas manajemen yang sangat bervariasi. Hal ini tentu saja menjadi tantangan besar
dalam penerapan program nasional kelak.
1. Pendahuluan
Dari bab-bab terdahulu tampak fakta bahwa paket manfaat jaminan kesehatan yang
berlaku bagi semua program jaminan kesehatan publik sama yaitu komprehensif dengan
perbedaan terletak pada jenis fasilitas yang dapat digunakan oleh peserta. Program Jaminan
Kesehatan Publik adalah istilah lain yang sering digunakan di berbagai negara untuk
menjelaskan jaminan kesehatan yang didanai dari pajak dan atau asuransi sosial. Potret
variasi manfaat yang sudah digunakan tersebut menjadi patokan tentang perlunya satu paket
standar nasional. Paket manfaat jaminan kesehatan berlaku kini dapat diringkas sebagaimana
disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 1
Variasi Manfaat Program Jaminan Kesehatan Publik yang Berlaku
Tampak bahwa variasi manfaat dalam berbagai program jaminan kesehatan publik
hanya terletak pada prosedur, proses mendapatkan pelayanan, kelas perawatan, cara
pembayaran dan besaran biaya penggantian biaya medis. Pada umumnya program Jamkesda
tidak menjabarkan paket manfaat dan pengecualian karena ketidak-tersediaan tenaga yang
memahami. Pendekatan praktis yang digunakan berbagai program Jamkesda, kecuali yang
diserahkan pengelolaannya kepada PT Askes, adalah mengikuti pedoman dan aturan yang
digunakan untuk peserta Jamkesmas. Hanya saja, peserta yang dijamin oleh program
Jamkesda adalah sejumlah penduduk kurang mampu yang belum dijamin oleh (diluar kuota)
Jamkesmas. Luasnya manfaat yang dijamin Jamkesda bervariasi sesuai kemampuan Pemda
setempat. Sebagian pemda hanya menyediakan layanan Puskesmas gratis untuk seluruh
penduduknya sejauh layanan tersedia di puskesmas dan RSUD. Pemda Sumsel menjamin
seluruh penduduk dengan cara demikian. Pemda Jawa Timur hanya menjamin layanan di
fasilitas kesehatan milik Pemda atau milik Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Secara eksplisit,
program Jamkesda tidak menjamin layanan kesehatan di RS vertikal, yaitu RS milik
Kementrian Kesehatan yang dinilai sebagai RS Pemerintah Pusat. Akibatnya, jika ada
penduduk yang membutuhkan layanan kesehatan di RS dan ia bertempat tinggal dekat
dengan RS milik Kemenkes (misalnya di RS Saiful Anwar Malang) ia harus ke RS Sutomo di
Surabaya milik Pemerintah Provinsi untuk mendapat jaminan dari program Jamkesda.
Hal 152
Variasi lain adalah penggunaan fasilitas rawat inap. Jamkesmas menyediakan manfaat
perawatan RS kelas III untuk seluruh peserta baik di rumah sakit milik pemerintah maupun
RS milik swasta, sedangkan Jamkesda umumnya menyediakan manfaat perawatan kelas III di
Terlepas dari jenis program jaminan kesehatan, apakah program publik ataupun
privat, pendanaan yang cukup dan berkesinambungan adalah satu-satunya kunci sukses.
Kecukupan dana diukur dengan tersedianya dana cair setiap saat untuk membiayai layanan
kesehatan yang diklaim ataupun dibayar dimuka kepada fasilitas kesehatan. Dalam program
asuransi swasta, besaran pembayaran sangat tergantung dari harga pasar layanan kesehatan.
Dalam program jaminan kesehatan publik, besaran pembayaran dapat diatur dengan
peraturan pemerintah. Meskipun dalam program jaminan kesehatan publik besaran
Hal 153
pembayaran dapat diatur sehingga kecukupan dana dapat dipelihara, besaran pembayaran
yang jauh di bawah harga rata-rata pasar menghasilkan kualitas layanan yang tidak baik dan
tidak memuaskan peserta. Keseimbangan jangka panjang antara dana tersedia dan
Sumber Dana
Pendanaan program jaminan kesehatan publik bersumber dari anggaran pemerintah
(pusat dan daerah) dan dari iuran peserta. Pendanaan program Jamkesmas bersumber dari
APBN dengan perhitungan sebesar Rp 5.000 per orang per bulan yang tidak berubah selama
lima tahun pertama, yaitu sejak tahun 2005 sampai tahun 2009. Besaran alokasi sebesar Rp
5.000 itu awalnya didasarkan pada ketersediaan anggaran Kemenkes, bukan atas dasar
perhitungan aktuarial yang memadai. Program ini bisa bertahan dan “mencukupi” karena
Kemenkes mengendalikan pengeluaran atau belanjanya dengan tarif tertentu (kini dengan
tarif INA-CBG), membatasi penggunaan fasilitas kesehatan, membatasi jumlah orang yang
Hal 154
menggunakan seperti meniadakan SKTM sejak 2008, dan penggunaan obat generik. Pada
tahun 2010 besaran anggaran dinaikkan menjadi Rp 6.000 per orang (kapita) per bulan.
Karena sebagian besar layanan kesehatan disedikan di fasilitas kesehatan publik, maka
Hal 155
Utara
Jamkesda Pulau Sesuai klaim yang
Tidak spesifik Tidak spesifik NA
Buru diajukan RSUD
memungkinkan terjadinya subsidi silang antara daerah yang mampu dan yang kurang
mampu.
Dalam program Jamsostek yang diwajibkan mengiur hanya pemberi kerja atau
majikan. Karena perbedaan iuran antara yang lajang dan yang berkeluarga, banyak pemberi
kerja melakukan moral hazard, dengan mendaftarkan pekerjanya sebagai lajang, khususnya
pegawai perempuan, agar iurannya menjadi hanya separuh. Biasanya mereka memberi alasan
bahwa perempuan bukan kepala keluarga, sehingga tidak wajib menanggung anggota
keluarga. Nah, bagaimana seandainya suami pekerja sedang menganggur atau bekerja di
sektor informal yang tidak memiliki jaminan apapun. Praktik yang dilakukan pemberi kerja
seperti ini tentu sangat merugikan karyawan. Oleh karena itu UU SJSN mengoreksi dan
mengubah kewajiban iuran jaminan sosial menjadi tanggungjawab bersama antara karyawan
dan pemberi kerja. Model seperti ini adalah model yang paling lazim diberlakukan di dunia.
Dalam asuransi komersial, iuran disebut premi yang merupakan nilai atau harga suatu
polis asuransi dengan manfaat yang sangat bervariasi. Semakin luas manfaat, misalnya
mencakup bedah jantung atau cuci darah, semakin mahal harga premi. Harga premi tidak
tergantung penghasilan penduduk. Harga premi juga dinaikkan ketika pembeli berisiko lebih
besar. Seseorang yang berusia lanjut, seperti pegawai negeri golongan IVE yang biasanya
berusia diatas 50 tahun, harus membayar premi yang lebih mahal dibandingkan dengan
seseorang yang berusia 20 tahun. Model asuransi komersial memang memberikan variasi
harga premi yang di pasaran Indonesia berkisar Rp 50.000 per orang per bulan (bukan per
keluarga) sampai yang berharga Rp 2.000.000 per orang per bulan. Dalam asuransi
komersial, metode perhitungan premi dilakukan dengan metoda aktuaria berdasarkan
pengalaman klaim tahun-tahun sebelumnya dan disesuaikan dengan kelompok risiko
pembeli. Yang tua, karena lebih sering sakit harus membayar premi lebih mahal dari yang
muda, untuk paket jaminan yang sama. Orang yang pernah menderita penyakti darah tinggi
atau penyakit jantung tidak bisa mendapatkan jaminan biaya berobat untuk penyakit yang
sudah dideritanya, atau ia harus membayar premi lebih tinggi lagi. Perempuan, karena
biasanya lebih sering sakit seperti gangguan menstruasi, dan melahirkan harus membayar
premi lebih mahal Model asuransi komersial ini pasti hanya bisa dibeli oleh penduduk
berpenghasilan tinggi dan itupun tidak menjamin semua pengobatan penyakitnya dijamin.
Hal 158
Premi yang terkumpul ditujukan untuk menjamin kecukupan klaim dan keuntungan
perusahaan. Sifatnya jangka pendek dan mengkotak – kotakkan peserta (pemegang polis)
sesuai dengan kemampuan membeli. Karena volume peserta (pemegang polis) biasanya
Karena sifat program asuransi sosial dengan penekanan kesimbangan dana jangka
panjang, program asuransi sosial umumnya jauh lebih sustainabel. Pengalaman rasio klaim
peserta Askes dan Jamsostek relatif stabil yang dapat dilihat pada Gambar 1. Dalam Gambar
Gambar 1.
Tren Rasio Klaim Jaminan Kesehatan Askes dan Jamsotek, 1984-2009
100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30% Askes
20% Jamsostek
10%
0%
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Program Jamkesmas dengan jumlah peserta puluhan juta sayangnya belum dikelola
secara asuransi seperti ketika Askeskin dulu sehingga perkembangan rasio klaim tidak
Hal 161
1. Pendahuluan
dasar akan tetapi dikenal paket dasar (basic benefits). Paket dasar dalam asuransi kesehatan
komersial umumnya adalah medical, surgical and hospitalization, yaitu layanan kesehatan
yang cukup mahal yang tidak mampu dibayar sendiri oleh sebuah rumah tangga karena
Skenario Jaminan Kesehatan Nasional Hasbullah Thabrany
harganya yang mahal. Sedangkan layanan kesehatan rawat jalan yang murah, seperti
pengobatan pilek dan diare, umumnya tidak dijamin oleh asuransi kesehatan komersial. Atau,
jika hal itu dijamin, maka paket layanan tersebut dikenal dengan nama paket komprehensif
(comprehensive health benefits). Untuk kejelasan, bagian ini akan membahas lebih lanjut
perbedaan kebutuhan dasar dan paket dasar jaminan.
memenuhi keinginan (want, demand) seseorang. Sedangkan dua pilar pertama memenuhi
kebutuhan (need), yang bersifat absolut. Kebutuhan (need) tidak bisa dikompromikan atau
dibahas secara demokratis. Kebutuhan adalah syarat bilologis suatu mahluk hidup dapat
terakhir kehidupannya, karena ia menderita penyakit tekanan darah tinggi atau kencing
manis. Jumlah dana yang dihabiskan untuk mempertahankan ia terbebas dari gejala
penyakitnya selama 30 tahun telah melebihi nilai Rp 200 juta. Ada orang yang kemarin masih
belum ada titik temu adalah konsep dasar layanan komprehensif. Masih banyak komentar
yang mengatakan bahwa negara tidak akan sanggup mendanai seluruh layanan tersebut.
Pemahaman mengenai jaminan kesehatan harus terus disosialisasikan secara benar kepada
menggunakan haknya. Banyak orang yang merasa mampu tidak menggunakan fasilitas
publik yang murah dan seringkali dengan antrian panjang (juga merupakan salah satu
kendali). Tidak masalah. Jika ia punya uang sendiri dan ia tidak mau menggunakan haknya,
diperlukan alat USG berwarna dan empat dimensi. Alat rontgen biasa yang harganya jauh
lebih murah sudah cukup. Layanan dengan obat dan alat standar yang efektif tetapi murah
inilah yang disebut Paket Standar Nasional.
1
Inilah doktrin hukum “lex posterior derogate lex anterior” yang harus ditegakan. Beberapa orang
yang ingin mempertahankan UU 3/1992 menyatakan bahwa UU SJSN tidak membatalkan UU Jamsostek dan
karenanya UU 3/1992 ttg Jamsostek masih tetap berlaku. Argumen tersebut secara hukum tidak bisa dibenarkan
dan pasal 52 UU SJSN secara tegas menyatakan Jamsostek harus menyesuaikan diri dengan UU SJSN. Untuk
menyesuaikan diri dengan UU SJSN tidak berarti UU 3/1992 harus diamendemen. Hal itu sudah jelas dalam
penjelasan UU SJSN yang menyatakan
“…Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam TAP Nomor X/MPR/2001 menugaskan
Presiden untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial
yang menyeluruh dan terpadu. …Sistem Jaminan Sosial Nasional pada dasarnya merupakan program Negara
yang bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
….penejleasan tentang kekurangan dan ketidak-cukupan berbagai program jaminan sosial yang sudah
ada, mencakup yang dikelola oleh Jamsostek, Taspen, Askes, dan ASABRI…
Berbagai program tersebut di atas baru mencakup sebagian kecil masyarakat. Sebagian besar rakyat
belum memperoleh perlindungan yang memadai. Di samping itu, pelaksanaan berbagai program jaminan sosial
tersebut belum mampu memberikan perlindungan yang adil dan memadai kepada para peserta sesuai dengan
manfaat program yang menjadi hak peserta.
Sehubungan dengan hal di atas, dipandang perlu menyusun Sistem Jaminan Sosial Nasional yang
mampu mensinkronisasikan penyelenggaraan berbagai bentuk jaminan sosial yang dilaksanakan oleh beberapa
penyelenggara agar dapat menjangkau kepesertaan yang lebih luas serta memberikan manfaat yang lebih besar
bagi setiap peserta... “
Jelaslah bahwa UU SJSN disusun sebagai reformasi UU/Peraturan pemerintah yang ada
sebelumnya untuk menjamin bahwa SELURUH RAKYAT Indonesia mendapatkkan jaminan sosial yang
menjadi haknya. Mohon baca dengan teliti seluruh UU SJSN, khususnya penjelasan umum yang menjelaskan
latar belakang dan sekaligus keinginan menjadikan UU SJSN sebagai reformasi SEMUA penyelenggaraan
jaminan sosial sebelumnya.
Hal 169
dan prinsip muda, dan yang telah bekerja, ada majikan, dikategorikan
ekuitas. berisiko tinggi dan telah mampu dan karenanya wajib iur.
rendah; Meskipun pekerja dan majikan bukan
b. kepesertaan yang tergolong perusahan besar dengan gaji
orang.
(3) Setiap peserta Yang dimaksud Namun demikian, disadari bahwa
dapat dengan anggota keluarga pembatasan anak merupakan hak setiap
Skenario Jaminan Kesehatan Nasional Hasbullah Thabrany
Rumusan dalam Penjelasan UU SJSN Konsekuensi Rumusan Paket Manfaat
UU SJSN dan Iuran
mengikutserta yang lain dalam orang, sehingga mereka yang mau
kan anggota ketentuan ini adalah memiliki anak lebih dari 3, harus
keluarga yang anak ke-4 dan membayar tambahan iuran, dari
lain yang seterusnya, ayah, ibu, potongan upahnya.
menjadi dan mertua. Pasal ini juga memberikan solusi agar
tanggunganny Untuk anak menjamin orang tua/termasuk
a dengan mengikutsertakan mertua untuk dijamin dengan cara
penambahan anggota keluarga yang membayar iuran tambahan. Kita tidak
iuran. lain, pekerja ingin, seorang anak baru babak belur
memberikan surat kuasa mencari dana untuk berobat ketika anak
kepada pemberi kerja ke-4 dst atau orang tua/mertua sakit. Hal
untuk menambahkan ini akan memberatkan ekonomi
iurannya kepada Badan keluarga. Jika mereka mengiur,
Penyelenggara Jaminan katakankan 1% upah per tambahan
Sosial sebagaimana orang, secara rutin tiap bulan, maka
ditetapkan dalam beban itu tidak terasa. Majikan tidak
Undang-Undang ini. membayar iuran untuk tambahan
anggota keluarga ini. Adil!
Hal 177
kendali mutu biaya termasuk Cara pembayaran kapitasi atau DRG dan
pelayanan, dan menerapkan iur biaya besarannya merupakan sistem kendali
sistem pembayaran untuk mencegah biaya dan sekaligus kendali mutu.
(3) Besarnya Pengertian secara berkala Besaran iuran untuk Penerima Bantuan
iuran jaminan dalam ketentuan ini Iuran (yang dulu disebut Askeskin, yang
kesehatan untuk adalah jangka waktu prosesnya sudah sesuai UU SJSN)
dibanding mengandalkan
Pemerintah/pemda membayar 100%
subsidi iuran (dana bantuan sosial) untuk
3. Besaran Iuran
Besaran iuran dalam skenario SJSN terdiri dari dua pola iuran yaitu prosentase upah
untuk pekerja penerima upah atau yang sering dikenal dengan sektor formal dan besaran
nominal untuk pekerja yang tidak menerima upah (sektor informal) yang memiliki
penghasilan dari surplus jualan eceran, penjualan hasil tani, penjualan hasil nelayan, dll.
Kedua iuran tersebut harus berada pada nilai nominal aktuaria yang setara agar terjadi
keadilan dan tidak terjadi subsidi esktrim dari pekerja penerima upah dan bukan penerima
upah. Untuk penerima bantuan iuran, yang iurannya dibayar oleh Pemerintah (bersama
pemda, sesuai kemampuan pemda) harusnya berbasis pada nilai estimasi per orang atau per
keluarga. Di bawah ini disajikan perhitungan iuran yang dilakukan oleh Tim Kajian FKMUI
(Hasbullah Thabrany dan Kasir Iskandar) atas permintaan Lembaga Bantuan Teknis Jerman
(GIZ) untuk disampaikan kepada Dewan Jaminan Sosial Nasional.
Asumsi kenaikkan gaji dan inflasi biaya pengobatan. Jika iuran dinyatakan dalam
bentuk prosentase maka kenaikan gaji dalam realisasi seharusnya lebih tinggi dari
kenaikkan biaya pengobatan. Kenaikkan gaji rata rata setiap tahun sebesar 7 % dan
Kenaikan biaya kesehatan rata-rata setiap tahun sebesar 6 % .
Skenario Jaminan Kesehatan Nasional Hasbullah Thabrany
Margin klaim. Besarnya margin klaim ditetapkan 5 %
Biaya operasinal. Biaya operasional ditetapkan sebesar 5 % dari iuran (iuran bruto).
Hasil Investasi. Iuran diterima BPJS secara bulanan sehingga tidak sempat
dinvestasikan oleh karenanya diasumsikan hasil investasinya 0 %.
Upah. Besarnya rata-rata upah nominal perbulan digunakan data statistik yang diolah
dari hasil penelitaian distribusi upah industri pada tahun 2006 kemudian diproyeksikan
mengalami kenaikkan sebesra 7 % setiap tahunnya . Rata-rata nominal upah perbulan
pada tahun 2011 diperkirakan sebesar Rp.1.036.187,-
X = (( E (c ) ( 1 + m ) + E )/U) 100%
Pada tahun 2008 biaya klaim perpeserta per bulan sebesar Rp. 12.878,24 yang
meliputi rawat jalan primer, rawat jalan sekunder dan rawat inap. Dengan menggunakan
asumsi dan ketetapan aktuaria yang ditetapkan diperoleh iuran untuk tahun 2011 sebesar
Rp.16.952 atau sebesar 1,63 % dari rata-rata upah . Jika ditetapkan bahwa rata-rata satu
keluarga terdiri dari 4 peserta maka iuran perkeluarga per bulan adalah 6,5 % dari upah
Biaya klaim pada tahun 2009 per peserta per bulan yang meliputi seluruh paket
manfaat primer, sekunder dan tersier adalah sebesar RP. 13.565. Dengan menggunakan
Hal 195
Tabel 2.
Skenario Iuran per Bulan Asuransi Kesehatan Nasional, Nilai Tahun 2011
Iuran perbulan perorang terendah adalah Rp 8.597 per orang per bulan atau 0,83%
dari rata-rata upah nasional, sedang untuk iuran perkeluaga adalah Rp.34.390,- per bulan atau
3,32 % dari rata-rata upah nasional. Iuran perbulan perorang tertinggi adalah Rp.16.298,- atau
1,57 % rata-rata upah nasional dan untuk satu keluarga adalah sebesar Rp.65.190,- atau
sebesar 6,29 % dari rata-rata upah nasional.
Kelembagaan dan Manajemen merupakan topik yang paling sensitif yang menjadi
bahan perdebatan dan saling tuding kelemahan masing-masing. Sebelum UU SJSN hanya ada
Hal 197
dua lembaga jaminan kesehatan publik yaitu PT Askes dan PT Jamsostek. Namun
keberadaan kedua lembaga tersebut yang berbadan hukum PT (Persero) tidak konsisten
dengan sifat transaksi program jaminan kesehatan publik yang berdasarkan transaksi iuran
dengan model Jamkesmas oleh Dinas Kesehatan dan sebagian besar (lebih dari 200 Pemda)
dikelola oleh PT Askes. Akibat pengelolaan oleh aparat Pemda yang tidak memiliki
kompetensi khusus program jaminan, maka data-data klaim dan kelengkapan kesinambungan
Hal 199